situ gede 2

Upload: nendras

Post on 05-Oct-2015

102 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

situ gede

TRANSCRIPT

Warga Kota Tasikmalaya tentu sudah mengetahui keberadaan Situ Gede. Keberadaannya cenderung lebih dikenal dari aspek wisata karena memang pengelolaannya telah ditetapkan dalam bentuk peraturan Walikota Tasikmalaya No. 9 tahun 2006tentang pemanfaatan Sumber Daya Alam Di Objek Daya Tarik Wisata Situ Gede.Letaknya berada di Kelurahan Mangkubumi dan Kelurahan Linggajaya Kecamatan Mangkubumi, sekitar 3 km ke arah barat daya dari pusat Kota Tasikmalaya. Dapat ditempuh dengan waktu sekitar 3 jam dengan menggunakan kendaraan bermotor dari Bandung ataupun Cirebon. Karena Letaknya yang strategis situ buatan Belanda ini dilewati oleh moda transportasi umum yaitu angkutan kota 04 yang berangkat dari terminal Pancasila kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki 1 km. Secara geografis, letak Situ Gede adalah sebagai berikut: Di sebelah utara berbatasan dengan lahan pertanian Kecamatan Indihiang Di sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman Kelurahan Mangkubumi Di sebelah barat berbatasan dengan permukiman Kelurahan Cipari Di sebelah timur berbatasan dengan permukiman Kecamatan Cihideung.

Situ Gede merupakan wilayah perairan umum dengan luas lahan 47 Ha dan kedalaman air rata-rata 6 meter. Kawasan ini memiliki potensi yang sangat besar sebagai penampung air bagi kawasan pertanian di Kecamatan Mangkubumi dan sekitarnya seluas 227 Ha. Selain potensial sebagai penampung air, kawasan ini juga memiliki potensi yang besar untuk kawasan wisata dan perikanan. Ketersediaan air di kawasan Situ Gede berasal dari kawah Gunung Galunggung yang mengalir melalui aliran Sungai Cikunir dan Saluran Cibanjaran di sebelah barat situ, Master Plan Situ Gede (2008: 19).Situ terluas di kota dengan julukan kota santri ini secara cultural memiliki fungsi bagi perputaran roda sosio-ekonomi masyarakat Tasikmalaya. Potensi sumber daya alam yang luar biasa yaitu bentangan objek wisata air berupa Situ terluas di Kota Tasikmalaya dengan keanekaragaman flora dan fauna dapat dinikamati dengan udara yang cukup sejuk dan segar. Bagi para pemancing mania, bibir situ, rakit, atau gazebo yang tersedia merupakan tempat yang nyaman untuk menununggu ikan yang kebanyakan ikan gabus memakan umpan pancingan yang dipasang. Kenikmatan-kenikmatan tersebut menjadi berlipat tatkala dilanjutkan dengan wisata kuliner menyantap suguhan aneka ragam panganan yang dijual masyarakat setempat terutama makanan olahan ikan air tawar. Fasilitas berupa joging track tersedia sebagai wisata olahraga dengan lintasan track yang menarik yaitu mengelilingi pinggiran situ, masuk keluar hutan, melewati pemukiman warga yang disertai fasilitas toilet, gazebo pada beberapa spot untuk beristirahat hingga menjelang sore menantikan senja datang melihat pemandangan alam yang indah.

Selain potensi sumber daya alam, Situ Gede juga memiliki potensi wisata pilgrim. Potensi ini merupakan pulau kecil (Pulau Nusa) yang terdapat ditengah situ dengan luas 1 Ha yang dapat dijangkau dengan menggunakan rakit sambil menikmati keindahan Situ. Pada pulau ini terdapat sebuah makam, yaitu makam Eyang Prabudilaya Kusumah yang sering menjadi tempat ziarah para wisatawan yang tidak hanya berasal dari daerah sekitar akan tetapi kebanyakan datang dari luar kota seperti Cirebon, Sukabumi, dan lain sebagainya. Wisatawan ini berkunjung dengan tujuan yang bermacam-macam, mulai dari melakukan tawasul di depan makam sampai dengan meminta kenaikan pangkat atau agar lulus dalam menempuh ujian. Di samping makam Eyang Prabudilaya terdapat 2 buah makam pengikutnya yaitu Jayakerta beserta isteri yang konon isteri Jayakerta ini piawai nyinden (baca: nyanyi) karena itu tidak sedikit peziarah yang datang supaya suaranya menjadi merdu.Bersumber dari masyarakat setempat, dapat diketahui perjalanan Eyang Prabudilaya sampai dengan dimakamkan di tempat tersebut. Eyang Prabudilaya ini merupakan tokoh yang dihormati masyarakat Tasikmalaya yang memiliki garis keturunan dengan wali. Dituturkan bahwa beliau memiliki 2 orang isteri yang bernama Sekar Karembong yang kini dimakamkan di Bantar. Sedangkan isteri berikutnya yakni Sembahdalem sampai saat ini tempat persemayaman terakhirnya tidak diketahui konon menghilang begitu saja (dalam bahasa sunda nilem). Suatu ketika isteri sang Eyang Prabudilaya satu dengan yang lain saling mencari karena sang suami menghilang dalam waktu yang lama. Isteri pertama mencari ke tempat isteri kedua begitupun sebaliknya sehingga mereka memutuskan untuk mencari bersama-sama.

Pencarian itu berbuah hasil. Ditemukan sang suami sedang matigeni di suatu tempat, lalu oleh isterinya dibawa pergi untuk kemudian dibunuh sehingga darahnya mengalir merah yang kini tempat terbunuhnya tersebut dinamakan Situ Cibeureum. Oleh pengikutnya Eyang Prabudilaya dibawa pergi dengan dipangku (baca: digotong) menggunakan samping (baca: kain sarung) yang diikatkan pada bambu panjang. Di tengah perjalanan bambu tersebut patah akan tetapi dapat disambung kembali dengan menggunakan tanah untuk kemudian dipangku lagi. Sehingga sampai dengan sekarang tempat menyambungkan bambu menggunakan tanah tersebut dinamakan daerah Mangkubumi. Perjalan berlanjut namun setelah cukup lama berjalan tiba-tiba pengikutnya tersebut nagog (baca: jongkok) sehingga sampai dengan saat ini tempat nagog tersebut diberi nama daerah Nagrog. Tak lama perjalanan dilanjutkan kembali, setelah cukup jauh berjalan lewatlah pada suatu tempat yang cuaca/udaranya lumayan tiis (baca: cukup sejuk) dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tempat peristirahatan tersebut sampai dengan sekarang disebut daerah Maniis. Setelah lama beristirahat digotong lagi jenazah Eyang Prabudilaya hingga pada akhirnya dimakamkan di pulau yang terletak di tengah Situ Gede.Masih bersumber dari warga daerah Maniis yang terletak di arah timur laut Situ Gede, tinggi muka air pada bibir pulau di tengah Situ selalu sama meskipun pada musim kemarau ataupun hujan. Bahkan keadaan tersebut tetap demikian di saat bagian situ yang lainnya dalam keadaan kering. Adanya fenomena tersebut disimpulkan bahwa Pulau tersebut dalam kondisi terapung tidak bersentuhan dengan lantai situ. Di tuturkan pula bahwa pasangan pacaran yang datang ke Situ Gede dapat dipastikan akan berakhir dengan perpisahan. Dan satu lagi adalah tuturan bahwa Situ Gede memiliki hubungan dengan Situ Panjalu yang berada di wilayah pemerintah Kabupaten Ciamis. Keterhubungan tersebut dari keberadaan ikan si kokol yang selalu berpindah-pindah dari Situ Gede ke Situ Panjalu dan sebaliknya.Sampai dengan saat ini tidak bisa dipastikan bahwa seluruh masyarakat setempat mengetahui betul akan cerita-cerita tempat tinggalnya di masa silam. Meskipun hanya secara singkat akan tetapi tuturan-tuturan di atas sedikitnya dapat dijadikan sebagai permulaan untuk selanjutnya digali lagi lebih komprehensif dalam konteks sejarah yang unik sehingga mampu menarik minat wisatawan lebih banyak.

STRUKTUR KOMUNITAS PLANKTON DI SITU GEDE KECAMATAN MANGKUBUMI KOTA TASIKMALAYA, JAWA BARATGilang Kodrat Hikmatullah, Zahidah - Hasan, Ayi - Yustiati

Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 September 2011 sampai dengan 8 Oktober 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas plankton di perairan Situ Gede dihubungkan dengan beberapa parameter kualitas airnya dan diharapkan dapat memberikan informasi serta menjadi pertimbangan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan terutama oleh pihak-pihak terkait di Situ Gede Kota Tasikmalaya Jawa Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan plankton di Situ Gede terdiri dari kedalam 8 kelas diantaranya 5 kelas fitoplankton dan 3 kelas zooplankton. Kelas fitoplankton terdiri dari kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae, Chlorophyceae, Euglenophyceae dan Myxophyceae. Zooplankton terdiri dari kelas Crustaceae, Rhizopoda dan Rotifera. Kegiatan yang ada di Situ Gede sangat mempengaruhi kualitas air yang terdapat di Situ Gede. Nilai indeks keanekaragaman Simpsons fitoplankton adalah 0,76 sampai 0,84, sedangkan zooplankton adalah 0,71 sampai 0,87. Nilai biomassa fitoplankton di Situ Gede saat itu adalah sebesar 17632,71 g/L. Hal ini menunjukkan ketersediaan pakan alami di Situ Gede dikategorikan cukup baik.

Sejarah Situ Gede Tasikmalaya Diposkan oleh Dudu Dirgahayu SEJARAH SITU GEDE DAN EYANG PRABUDILAYA SITU GEDE1Purnama bersinar, menerangi alam Sumedang yang tengah lelap tertidur, negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi, kini seolah beristirahat menikmati hasil kerjanya selama sehari penuh, diantara kesunyian malam dan sinar purnama, masih terdengar kentungan dipukul orang, menandakan tidak semua warga terlelap, namun masih ada yang terjaga menjaga lingkungannya.Namun di halaman belakang komplek istana kerajaan Sumedang, masih terdengar sesuatu yang agak asing ditelinga, lengkingan suara yang agak tertahan namun mantap mengandung tenaga, disertai desingan sesuatu yang membelah udaha, terdengar jelas dimalam yang telah larut itu, cahaya remang obor bambu, melengkapi sinar purnama yang menyinari seorang pemuda tegap tengah memperagakan ilmu kanuragan dengan gesit, cepat mantap dan bertenaga, itulah Prabu Adilaya, Raja Muda Sumedang yang tengah menempuh ujuan terakhir dari ilmu kanuragan yang dipelajarinya, sebagai seorang raja, tentu saja harus memiliki berbagai ilmu untuk menjaga diri dan menjaga masyarakatnya, disamping ilmu kenegaraan, harus pula dipelajari ilmu lain termasuk ilmu kanuragan dan bela diri.Di bawah pohon yang agak rindang, duduk seorang pria tua berjanggut panjang, mengenakan pakaian serba hitam kepalanya yang berambut putih diikat dengan ikat kepala hitam, kakek ini dengan cermat memperhatikan Sang Prabu yang tengah berlatih, kadang-kadang kepalanya mangut-mangut, atau senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang keriput. Cukup Raden! tiba-tiba si Kakek berseruPrabu Adilaya berhenti, kemudian berbalik menghadap gurunya dengan gerakan menyembah, Terimakasih, Eyang GuruSekarang duduklah, RadenPrabu Adilaya, duduk bersila, kedua tanganya berada di atas pangkuannyaTenang, RadenKakek yang dipanggil Eyang guru, melugas pedang yang berkilau mengkilap diterpa cahaya bulan, tiba-tiba pedang itu menebas punggung Sang Prabu, terdengar suara sesuatu yang patah dan terlempar, Eyang Guru berdiri tegak, memperhatikan pedang yang ternyata sudah patah terpotong dua, ada senyum puas tersungging dari bibir keriput Eyang Guru, kemudian, dengan langkah ringan menghampiri muridnya yang duduk bersila, tangannya terjulur kedepan, seraya berkata dengan mengulum senyum Lulus RadenKetika ayam berkokok dan matahari menyeruak embun pagi, Guru dan murid tengah bercengkrama, di serambi samping istana, disuguhi makanan dan minuman hangat, Raden, semua ilmu yang kumiliki, sudah kuajarkan semua kepadamu, dan Raden sudah menyerapnya dengan baik, namun bagi seorang Raja, kiranya ilmu yang kuajarkan belum cukup, harus disertai dengan ilmu bathin terutama ilmu agama kata Eyang Guru sambil menatap muridnya Saya pun merasakannya, Eyang, ilmu kanuragan yang Eyang ajarkan masih perlu ditambah dengan ilmu agama, sehingga, dalam menjalankan roda pemerintahan, saya memiliki dasar yang kuat dan dapat bertindak bijaksanaPrabu Adilaya, menjawab dengan penuh harap,Kemana lagi saya harus berguru, Eyang?Sang Prabu yang muda dan haus ilmu tampak sangat berkeinginan untuk belajar lebih banyak.Pergilah ke Mataram, bergurulah kepada KYAI SYEH JIWA RAGA, disana Raden akan mendapatkan ilmu-ilmu bathin dan ilmu agamaTerimakasih Eyang guruSang prabu mencium tangan gurunya, orang tua yang sudah berambut putih ini merapatkan kedua tangannya di dada, seraya menghaturkan sembah, dia berkataSaya mohon pamit, RadenSilahkan, terimakasih, EyangSampurasunRampes.**Siang itu Prabu Adilaya menjalankan tugasnya sehar-hari sebagai seorang Raja, disaat tertentu selalu terngiang perkataan gurunya, bahwa ilmu yang kini dimilikinya belumlah cukup untuk seorang Raja, namun harus ditambah dengan ilmu bathin terutama ilmu agama, harus ke Mataram untuk mencarinya, seketika sang prabu merasakan kekosongan, ternyata benar kata pepatah, batang padi semakin berisi semakin merunduk, semakin banyak ilmu seseorang, semakin merasakan kekurangan, semakin haus akan ilmu, namun keinginan untuk menuntut ilmu berarti harus meninggalkan Sumedang dan berbulan-bulan di Mataram, sementara tampuk pemerintahan saat ini sang Prabu-lah yang bertanggung jawab. Tetapi kebingunan itu tidak lama, Prabu Adilaya teringat, bahwa selalu ada orang yang mampu memberi jalan keluar dari semua persoalan yaitu ibunya. Sang prabu pun turun dari singgasananya dan berjalan keluar keprabon, melewati taman sari, tibalah ke kaputren tempat ibunya tinggal.Saya haturkan sembah, Kang Jeng IbuSilahkan Raden, Pangeranku, wajahmu tampak murung, utarakanlah pada Ibu, RadenPrabu Adilaya manarik nafas dalam-dalam, begitu bijaksana Ibunya sehingga dapat melihat kemurungan diwajah anaknya.Dengan lemah lembut Prabu Adilaya menyampaikan maksudnya untuk berguru ke Mataram sebagai bekal untuk dapat memerintah secara adil dan bijaksana, disampaikannya pula bahwa menuntut ilmu agama dan ilmu lainya akan memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun sementara kerabuan di Sumedang harus ditinggalkan, tanpa diduga, Sang Ibu terseyum mendengar keluhan putranya,Bagi seorang raja, sangatlah perlu memiliki ilmu agama dan ilmu lainnya, ibu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa dan bangga ternyata Kangjeng Rama tidak salah pilih menobatkan, sebagai Raja, sudah ada sifat kearifan seorang raja dalam dirimu, keinginanmu untuk menuntut ilmu, merupakan keinginan yang luhur, pergilah anaku, tugasmu sehari-hari akan dilaksanakan oleh adikmuWajah Prabu Adilaya kembali berseri-seri seolah medapat kejatuhan bintang dari langit, sejenak ibunya melanjutkan :Bawalah serta istrimu dan pelayanmu yang setiaPrabu Adilaya pun mohon pamit untuk melakukan persiapan keberangkatannya.

II

Seolah berlomba dengan ayam berkokok, Prabu Adilaya didampingi istrinya Nyai Raden Dewi Kondang Hapa dan sepasang pelayannya Sagolong dan Silihwati berangkat dari tanah Sumedang kearah timur menyongsong matahari pagi, melalui padang terjal berbukit, mengarungi kelebatan hutan, menuruni lembah dan mendaki bukit, banyak malam harus dilewatkan dengan tidur beralas daun kering berkelambu birunya langit, akhirnya sampai jugalah ke Mataram ke tempat dimana Kyai Jiwa Raga bermukim. Kyai dengan wajah cerah menyambutnya, memberikan tempat yang terbaik bagi sang Prabu dan kedua pelayannya, ketika menyampaikan maksudnya untuk berguru, Kyai dengan senang hati menerimanya sebagai muridnya.Keinginan sang Prabu yang sangat kuat untuk mempelajari Ilmu Agama menyebabkan dia cepat menyerap ilmu yang diajarkan, banyak kitab kuning yang dapat dihapal dalam waktu singkat, banyak pula kitab-kitab lainnya yang masih harus dibacanya dengan tekun dan ulet, kesungguhannya dalam belajar dan kemampuannya yang luar biasa tidak luput dari perhatian Kyai yang mengajarnya yang selalu terkagum-kagum dengan semangat belajar yang sangat tinggi.Tak terasa sudah empat purnama berlalu Prabu Adilaya tak sempat banyak berpikir dan berbuat lain, waktu sesaat pun dimanfaatkan untuk menyerap pelajaran yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, gurunya. banyak hal keduniawian terlupakan termasuk istrinya yang selalu mendampinginya sejak dari Sumedang.Suatu saat, Kyai Jiwa Raga berbicara kepada muridnya:Raden, apa yang saya miliki, sudah saya ajarkan kepadamu, namun mempelajari islam tidak cukup dari satu sumber, Raden harus berguru kepada yang lainPrabu Adilaya menganguk-ngangguk seraya berkata :Setiap saat saya menemukan persoalan yang harus dipecahkan dengan bantuan ajaran Islam, ijinkan saya untuk menambah ilmu yang Kyai berikan, dan mohon petunjuk harus kepada siapa saya berguru ?.Pergilah ke tatar Sukapura, banyak Kyai yang berilmu luhung disana, tetapi sebelum pergi, sudikah Raden membawa putri saya Dewi Cahya Karembong dalam perjalanan Raden Kyai Jiwa Raga menatap muridnya dengan penuh harap.Dengan senang hati KyaiSeandainya Raden berkenan, jadikanlah putri saya sebagai istri raden yang keduaPrabu Adilaya agak kaget mendengar perkataan gurunya, sebagai murid dia harus patuh kepada Guru, namun dia sudah beristri dan sampai saat ini terlupakan karena terlalu tekun dalam mempelajari Agama Islam, tetapi ketaatan kepada gurunya, menyebabkan Prabu Adilaya tidak kuasa menolak tawaran itu,Baiklah, Kyai, saya akan menjadikan Dewi Cahya Karembong sebagai istri keduaTerimakasih RadenTidak berselang lama, dilakukanlah upacara akad nikah antara Prabu Adilaya dengan Dewi Cahya Karembong, putri Kyai Jiwa raga yang cantik jelita, upacara sederhana yang dihadiri oleh seluruh murid Kyai Jiwa Raga, sekaligus menandai bahwa Prabu Adilaya merupakan murid Kyai Jiwa Raga yang paling pandai, yang dinikahkan dengan putri Kyai, tradisi ini bertahan sampai sekarang, santri yang paling pandai dari sebuah pesantren akan dinikahkan dengan putri ajengan (Kyai). Keinginan untuk belajar Ilmu Agama Islam Prabu Adilaya tetap membara, sang prabu berpamitan kepada Kyai, untuk melakukan perjalanan ke Tatar Sukapura mencari Guru yang dapat mengajarkan Agama islam lebih dalam dan lebih banyak, Kyai pun memanjatkan doa untuk keberangkatan menantu dan putrinya yang disertai Raden Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya

III

Perjalanan dari Mataram menuju Tatar Sukapura bukanlah perjalanan dekat, hampir sama dengan perjalanan dari tatar Sumedang ke Mataram, kali ini perjalanan lebih menggembirakan karena anggota rombongan bertambah menjadi enam orang dengan hadirnya Dewi Cahya Karembong, sepanjang perjalanan Prabu Adilaya dengan kedua istrinya selalu kelihatan ceria, untuk membuang kejenuhan sepanjang perjalanan Prabu Adilaya selalu bercerita yang disarikannya dari ceritera sempalan Tarich Islam, tentang kebijakan Rosululloh dalam menyebarkan Agama islam, kesederhanaan Rosul, keberaniannya dalam menegakkan agama Islam terutama kebesaran jiwa Rosul dalam menghadapi musuhnya yang belum beragama Islam, apabila malam menjelang mereka beristirahat melepas lelah, tetapi Prabu Adilaya selalu membaca ulang kitab-kitabnya yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, sampai kedua istrinya tertidur pulas, sang Prabu masih membaca kitabnya dengan teliti, barulah ketika ayam berkokok satu kali, setelah sembahyang tahajud, sang Prabu merebahkan tubuhnya diantara kedua istrinya, ketiganya tertidur berkelambu langit cerah berbintang.Banyak malam telah dilewati, perjalanan pun semakin jauh, Prabu Adilaya tetap dengan kebiasaannya menekuni kitab-kitab ajaran islam sampai larut malam, kebiasaan suami istri terlupakan begitu saja karena bagi Prabu Adilaya membaca kitab jauh lebih mengasikan, sampai suatu saat, ketika memasuki tatar Galuh, Dewi Cahya Karembong merasakan sesuatu yang hilang dari perannya sebagai seorang istri, ada perasaan mungkin dirinya kurang menarik perhatian suaminya, dibanding Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya, perasaan itu mengundang tanda tanya besar dalam diri Dewi Cahya Karembong, sampai suatu saat takala Prabu Adilaya sedang berwudhu dan tidak ada di tengah-tengah kedua istrinya, Dewi Cahya Karembong bertanya kepada Dewi kondang Hapa: Maaf Aceuk*, sejak saya dinikahkan sampai saat ini saya belum pernah melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri, kadang-kadang saya merasa disia-siakan dan diabaikan, apakah Aceuk merasakan hal yang sama atau kalau sama Aceuk biasa-biasa saja? Dewi Kondang Hapa merenung sejenak, pelan sekali dia menjawab:Aceuk pun merasakan hal yang sama, bahkan kalau itu suatu penderitaan, penderitaan Aceuk lebih lama dari yang Nyai rasakan, karena Aceuk menikah sudah hampir setahun ini, tapi belum diperlakukan sebagai istriSungguhkan ? Dewi Cahya Karembong terperanjat mendengarnyaBenar Nyai, sejak menikah Aceuk belum merasakannya kata Dewi Kondang Hapa datar, seolah kepada dirinya sendiriApakah mungkin kakang Prabu memiliki kelainan? Tidak, Nyai, Kakang Prabu seorang laki-laki sejati Dewi Kondang Hapa menjawab dengan tegas.Obrolan kedua istri itu terhenti saat Prabu Adilaya menghampirinya, tetapi dalam bahasan yang sama mereka mengobrol pada saat-saat senggang, tetapi semakin lama, semakin mereka rasakan ada ketimpangan dalam kehidupan perkawinan mereka, mereka merasakan kehampaan dan kesepian, padahal suami yang mereka cintai tidur berdampingan tiap malam, mereka juga merasakan jarak yang makin lebar, padahal setiap saat hampir tidak pernah jauh terpisah. Ketika melihat burung berkasihan dalam perjalanan yang mereka lewati merekapun merasakan lebih hina dari seekor burung. Suatu saat, ketika ada waktu senggang yang cukup panjang, Dewi Kondang Hapa bertanya :Aceuk, Kakang Prabu hendak mencari guru baru?Betul, kalau Kakang Prabu bermaksud untuk berguru lagi, berarti kita semakin tersia-siakanSeandainya Kakang Prabu punya Guru baru dan menjadi murid paling pandai, tentu akan dinikahkan dengan putri gurunya lagi berkata Dewi Cahya Karembong sambil memandang kebiruan langit, seolah hanya untuk didengar oleh dirinya sendiri.Mungkin penderitaan kita akan semakin panjang, disamping menunggu kakang Prabu selesai berguru, juga akan ada istri baruDialog kedua istri yang dilanda sepi berlangsung semakin hangat dan panas, secara bertahap munculnya niat yang kurang baik, entah siapa yang memulai, dari niat itu dikembangkan menjadi sebuah rencana, tanpa disadari Dewi Kondang Hapa menbuka buntelan berisi sebuah keris pusaka yang diwariskan dari orang tuanya, demikian pula Dewi Cahya Karembong melakukan hal yang sama. Malam harinya pada saat Prabu Adilaya mulai merebahkan diri ditengah kedua istrinya dirasakan sangat berat matanya, sebagaimana biasa sebelum tidur, dipanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan karuania Nya, Sang Prabu memejamkan mata sambil menyungging senyum, beberapa saat kemudian, kedua istrinya terbangun, diambilnya pusaka masing-masing, dihunusnya pusaka itu dan diangkat dengan kedua tangan diatas dada Prabu Adilaya yang tengah tertidur pulas, pada saat yang hampir bersamaan, dengan keras dihujamkan pusaka itu ke dada Prabu Adilaya, tidak ada jeritan atau lenguh kesakitan, hanya terdengar sebutan asma Allah, bersamaan dengan itu, Prabu Adilaya menghembuskan nafasnya yang penghabisan, darah merahpun memancar dari dada Prabu Adilaya membasahi pakaian dan sedikit demi sedikit membasahi tanah dimana tubuh sang Prabu terbujur, tanah sekitar tubuh itu berubah warna menjadi merah, demikian pula air tanah yang keluar sekitar tubuh sang Prabu warnanya kemerahan, sejak saat itu tempat dimana sang prabu dibunuh dinamakan CIBEUREUM ( beureum = merah)Burung-burung malam seolah berhenti berkicau, langit cerah mendadak mendung, pucuk-pucuk pohon seolah turut bersedih dengan dihilangkannya nyawa seorang pangeran yang sedang menuntut ilmu dibidang keagamaan, tinggalah dua istri yang kebingungan disertai rasa penyesalan yang mendalam,mereka duduk termenung, sementara kedua pelayannya yang setia Sagolong dan Silihwati masih pulas tertidur, dengan bisik-bisik kedua istri itu berembuk untuk mengubur jenazah di tempat yang jauh dan tersembunyi agar tidak ditemukan utusan dari Sumedang.Akhirnya diputuskan untuk menggotong jenazah yang dimasukan kedalam kain sarung dan digotong dengan sepotong kayu, mereka berangkat kearah barat, sementara kedua pelayannya mengawasi dari kejauhan dengan terheran-heran tanpa bisa bertanya, ketika sampai di tanah datar yang luas., mereka bermaksud untuk mengubur jenazah disana, namun setelah dipikirkan lagi, ternyata ditempat itu akan mudah ditemukan, maka perjalanan pun dilanjutkan menelusuri anak sungai kearah hulu , disuatu tempat kayu yang digunakan untuk menggotong mayat Prabu Adilaya patah, Dewi Cahya Karembong mengambil sebatang kayu pendek dan berusaha menyambung kayu penggotong, tempat bekas menyambung kayu tersebut sampai saat ini dinamakan SAMBONG, perjalanan pun dilanjutkan beberapa kali kayu penggotong patah dan disambung sampai pada suatu saat kedua istri itu merasa bingung karena kayu penggotong ternyata selalu patah sekalipun sudah diganti akhirnya Dewi Kondang hapa mencoba mengganti penggotong yang baru dan melumuri kayu tersebut dengan tanah ternyata kayu tersebut tidak lagi patah, tempat bekas melumuri penggotong dengan tanah tersebut dinamakan MANGKUBUMI (= mengangkat tanah)Karena belum menemukan tempat yang tepat untuk mengubur jenazah, kedua istri Prabu Adilaya berbelok ke utara, mendaki bukit-bukit kecil akhirnya sampai ke daerah rawa-rawa, dari kejauhan terlihat ada tanah yang tidak digenangi air, mereka menuju kesana, ditempat itu Dewi Cahya Karembong memerintahjkan kedua pelayannya untuk menggali lubang, pada saat kedua pelayan itu menggali, Dewi Kondang Hapa berbisik kepada Dewi Cahya Karembong, bahwa seandainya kedua pelayan itu dibiarkan hidup tentu akan melaporkan kepada Raja Sumedang bahwa Prabu Adilaya dibunuh kedua istrinya, kedua istri sepakat bahwa kedua pelayan itu juga harus dihabisi untuk menjaga rahasiah mereka, maka sebelum lubang kubur selesai digali, kedua pelayan itu, Sagolong dan Silihwati dibunuh, dan mayatnya dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Prabu Adilaya.Sebelum matahari tepat diatas kepala penguburan ketiga jenazah itu telah selesai, mereka meninggalkan makam tanpa nisan itu, ada rasa penyesalan tak terkira pada diri mereka, Dewi Kondang Hapa berkata :Seandainya Aceuk kembali ke Sumedang tentu Aceuk akan dihukum, atau setidaknya banyak orang bertanya kemana Prabu Adilaya, kiranya akan lebih baik kalau Aceuk tinggal di daerah ini biar dapat menjaga makam Kakang PrabuBaiklah, Nyai akan pulang ke Mataram, namun apabila ada sebuah padepokan atau pasantren, Nyai akan singgah dan berguru, semoga Allah SWT menerima tobat kita menjawab Dewi Cahya Karembong dengan linangan air mata.Kedua bekas istri Prabu Adilaya berpelukan, mereka memilih jalan masing-masing, Dewi Cahya Karembong memilih suatu tempat di Gunung Goong dan meninggal di sana.

IVSemenjak di tinggalkan oleh Prabu Adilaya Dayeuh Sumedang seolah merasakan sesuatu yang hilang, raja yang bijaksana itu sementara pergi meninggalkan Sumedang untuk berguru, namun banyak purnama telah berlalu dan tahun pun berganti, tidak ada kabar berita, Ibu Suri kerajaan Sumnedang tentu saja merasa cemas dan gelisah, akhirnya diputuskan untuk mengutus putra keduanya untuk menyusulnya ke Mataram.Singkat cerita, sampailah di mataram, tetapi ternyata yang disusul sudah pergi kea rah Tatar Sukapura, Adik Prabu Adilaya menyusul kearah sana, tetapi karena tidak adanya keterangan mengenai kakaknya, tempat disemayamkan Prabu Adilaya terlewat, karena tempatnya memang agak tersebunyi, sang adik malah sampai kesuatu daerah di pinggir sungai yang ramai oleh orang berlalu lalang, ternyata disana ada sebuah saembara, siapa yang dapat mengalahkan seekor singa dengan tangan kosong akan dinikahkan kepada putri penguasa daerah yang cantik, banyak pemuda ikut serta tetapi tidak mampu mengalahkan singa tersebut, Pangeran Sumedang itu merasa tertarik, akhirnya dia turun ke gelanggang dan bisa mengalahkan singa tersebut sampai luka parah, sampai saat ini tempat itu dinamakan SINGAPARNA (=singa yang luka parah)Pangeran Sumedang itu mendapatkan putri cantik dan diserahi sebuah daerah untuk dibuka, di daerah itu dibangun sebuah kota yang mirip dengan ibu kota kerajaan dan menamakan daerah itu dengan nama MANGUNREJA. Berbagai kesibukan pangeran Sumedang itu menyebabkan niatnya untuk pulang terlupakan, sehingga Ibunya di Sumedang tetap mengharap kabar baik yang disusul ataupun yang menyusul juga belum kembali, akhirnya diputuskan untuk berangkat sendiri menelusuri jejak Prabu Adilaya.Sesampainya di Mataram ternyata mengecewakan, Prabu Adilaya bersama istri dan kedua pengawalnya sudah berangkat ke tatar Pasundan, tanpa berpikir panjang Sang Ibu berangkat ke Tatar Pasundan, sepanjang perjalanan apabila melewati malam beliau selalu memohon kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk dimana kedua anaknya berada, bila siang perjalananpun dilanjutkan, meleati tanah berpasir dan berbukit, akhirnya sampai ke daerah yang berawa-rawa, dari pinggir rawa, sang Ibu melihat sebuah cahaya, akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan menyebrangi rawa dan sampai ke sebuah nusa.Ternyata cahaya tadi bersumber dari gundukan tanah merah, seolah petunjuk bahwa ada sasuatu di sana, Sang Ibu menengadahkan tangan memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, dan diperoleh petunjuk bahwa disanalah dikuburkan prabu Adilaya dan kedua pelayannya Sagolong dan Silihwati.Tangispun tak tertahankan, airmata berurai deras menetes ke tengah gundukan tanah merah, putra sulungnya, pewaris tahta kerajaan Sumedang terkubur di sana. Doa pun dipanjatkan untuk melindungi makam putranya, maka air rawa itu bertambah naik beberapa meter dan makam Prabu Adilaya berada di pulau sebuah danau yang luas, ada bisikan kepada sang Ibu untuk menancapkan tongkat yang selama ini dibawanya, setelah tongkatnya ditancapkan ke tanah, seketika berubah menjadi pohon-pohonan rimbun yang meneduhi makam putranya.Pada saat akan pulang dan menyebrangi rawa yang sudah berubah menjadi danau, ada empat ekor ikan, sang Ibu menamakan ikan itu dengan nama si Gendam, si Kohkol, si genjreng dan si Layung, dengan tugas untuk menjaga makam dari tangan-tangan jahil yang mengganggunya.Ketika bermaksud untuk pulang. Sang Ibu bertemu dengan dua orang penduduk setempat, beliau berpesan : mugi aranjeun kersa titip anak kuring di pendem di eta nusa, jenengannana sembah dalem Prabu Adilaya, wangku ka prabonan di sumedang mugi kersa maliara anjeuna dinamian juru kunci ( kuncen ) jeung kami mere beja saha anu hoyong padu beres, nyekar ka anak kami oge anu palay naek pangkat atawa hayang boga gawe kadinya, agungna Allah cukang lantaranana sugan ti dinya.

Rahasia Hilangnya Kampung Sinjang Moyang di Situ Gede, Tasikmalaya Posted by sep2sip blogspot at 5:09 PM

Telaga Situ Gede Tasikmalaya ternyata banyak menyimpan rahasia tersembunyi. Salah satunya soal keberadaan Kampung atau Lembur Sinjang Moyang yang sampai sekarang tidak tahu dimana tempatnya. Mungkin para karuhun disana sudah menyembunyikannnya rapat-rapat.

Mengapa? Karena di Situ Gede ini dulunya merupakan kampung penuh aib dan Lembur Sinjang Moyang inipun dulunya itu tempat persembunyian para koruptor di zaman kerajaan bahkan dijadikan tempat menyimpan hasil kejahatannya.

Sekilas tentang Situ Gede

Situ Gede adalah objek wisata alam yang cukup memikat di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Danau ini memiliki luas 47 Ha dengan kedalaman air antara 1,5 meter sampai dengan 6 meter. Persisnya terletak di Kelurahan Linggajaya, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya.

Situ Gede dengan latar belakang G.Galunggung

Salah satu daya tarik Situ Gede adalah adanya sebuah pulau yang terdapat ditengah-tengah danau. Di Pulau tersebut terdapat Makam EyangPrabudilaya, seorang tokoh penguasa pada masa silam yang mitosnya telah menjadi Legenda bagi Masyarakat Sunda dan Makam Eyang Prabudilaya hingga kini masih dikeramatkan oleh masyarakat sekitar danau.

Maka dari itu selain sebagai objek wiasata alam, Situ Gede juga bisa dijadikan tujuan wisata religi sekaligus wisata sejarah. Para pelancong dapat menikmati teduhnya hutan dengan berbagai flora dan fauna yang ada, namun siapa pun tidak diperbolehkan melakukan aktivitas perburuan.

Lembur Sinjang Moyang

Di balik keindahan Situ Gede, ternyata ada sebuah kisah yang tidak pernah terungkap, yakni tentang sebuah kampung yang hilang. Kampung ini pada masa silam diberi nama Lembur Sinjang Moyang yang letaknya berada di kawasan Situ Gede saat ini. Hanya, dimanakah persisnya, itu pula yang menjadi rahasia secara turun temurun.

Kerahasiaan Lembur Sinjang Moyang berkaitan erat dengan cerita pata koruptor di zaman kerajaan. Melalui kisah tersembunyi ini, maka dapat diketahui bila keberadaan koruptor ternyata sudah ada sejak zaman dahulu, khususnya di zaman kerajaan Sunda. Dan kala itu, mereka bersembunyi di Situ Gede, Tasikmalaya.

Riwayat Situ Gede sendiri memang tidak banyak diketahui. Sebab memang tidak ada catatan resmi yang bisa dijadikan pegangan. Yang ada adalah cerita dari mulut ke mulut, dan itu pun dari kalangan terbatas. Apalagi menyangkut kisah hilangnya Lembur Sinjang Moyang.

Soal cerita tersebut, sebenarnya bukan karena banyak yang tidak tahu. Namun memang kisahnya sendiri sudah lama dipendam oleh para leluhur. Jadi sengaja disembunyikan supaya tidak ada yang tahu. Mengapa harus disembunyikan? Sebab kisah ditempat ini tidak baik untuk para generasi penerus.

Situ Gede mulai ada sejak tahun 1530, setelah salah satu gunung di kawasan Tasikmalaya meletus. Nama gunung tersebut adalah Gunung Pancawayana. Soal dimana letak gunung ini sendiri menjadi misteri hingga sekarang. Namun disebut-sebut gunung ini masih ada, hanya sejak lama masyarakat menyebutnya dengan nama lain. Sehingga keberadaan Gunung Pancawanaya ini tidak jelas lagi.

Setelah Gunung Pancawanaya meletus, dari dalam tanah keluarlah air dalam jumlah besar. Lama-lama membentuk telaga yang kini disebut Situ Gede.

Sebelum adanya Situ Gede, persisnya di kawasan Situ Gede ini terdapat sebuah Kampung Kuno. Disebut kampung kuno karena ia sudah berdiri sejak zaman Kerajaan Tarumanegara dan Kampung inilah yang disebut Lembur Sinjang Moyang. [1]***Menurut penulusuran cerita para leluhur, adanya nama Sinjang Moyang setelah ada kejadian besar, yakni peristiwa tahun 1501 Masehi yang mana ketika itu, tepatnya kala subuh hari datanglah dalam jumlah besar pasukan Kerajaan Galuh yang dibantu kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Garut, Tasikmlaya dan Ciamis. Pasukan ini membantai seisi kampung , kecuali kaum hawa dan anak-anak. Mengapa warga Sinjang Moyang dihabisi dan dimusuhi oleh banyak kerajaan ketika itu? [2]

Lembur Sinjang Moyang dari dulu sudah dicurigai dan sering dipakai sebagai tempat bersembunyinya para koruptor. Setiap pembesar kerajaan yang menilep kekayaan kerajaan, larinya pasti ke Lembur Sinjang Moyang ini. Sehingga tidak heran bila prajurit telik sandi kerajaan-kerajaan ietika itu sudah mengawasi keberadaan para koruptor di kampung ini.

Lantas mengapa penduduk Sinjang Moyang juga turut dihabisi? Sebab mereka membantu menyembunyikan para koruptor dan sekaligus mendapat bagian dari hasil kejahatan mereka. Harta-harta kerajaan disembunyikan oleh para koruptor ini antara lain emas, intan dan berlian. Hanya saja, entah bagaimana ceritanya, sehingga kampung Sinjang Moyang ini menjadi tempat pelarian para koruptor tersebut.

Kabarnya, orang Kerajaan Sunda Galuh* yang sembunyi di tempat itu ada yang dari Kerajaan Kendan dan seterusnya sampai ke zaman Padjadjaran. Sinjang Moyang sendiri artinya penutup leluhur. Sehingga oleh leluhur penerus mereka, kisah kampung ini menjadi semacam aib. Sehingga diwanti-wanti kisahnya agar tidak menyebar dan menjadi kisah turun temurun. Tak heran bila cerita tentang Situ Gede ini pun menjadi hilang, karena memang sengaja di tutup-tutupi. [2]

*Kerajaan Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan 2 (dua) kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua Kerajaan tersebut merupakan pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, Ibu Kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi Kota Bogor, sedangkan Ibu Kota Kerajaan Galuh adalah di Kota Kawali, yang sekarang Kawali itu ada di daerah Kabupaten Ciamis.

Read more: http://sep2sip.blogspot.com/2011/06/rahasia-hilangnya-kampung-sinjang.html#ixzz3SvzeDEih