konflik sosial
DESCRIPTION
Kasus Konflik SosialTRANSCRIPT
KONFLIK SOSIAL
A. KONFLIK DALAM MASYARAKAT
1. Definisi Konflik Sosial
Istilah konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti percekcokan, perselisihan,
pertentangan. Menurut asal katanya, istilah ‘konflik’ berasal dari bahasa Latin ‘confligo’, yang berarti
bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang, berselisih, atau berperang.
Dalam pustaka Sosiologi, ada banyak definisi mengenai konflik sosial. Berikut adalah beberapa di
antaranya:
a. Konflik sosial adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan
status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang
sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi
juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka. (Lewis A. Coser)
b. Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia
berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai
dengan ancaman dan/atau kekerasan. (Leopold von Wiese)
c. Konflik sosial adalah konfrontasi kekuasaan/kekuatan sosial. (R.J. Rummel)
d. Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan
‘posisi’ yang tidak selaras, tidak cukup sumber, dan/atau tindakan salah satu pihak menghalangi,
mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. (Duane Ruth-
Heffelbower)
2. Pemahaman Teoretik Mengenai Konflik Sosial
Ada dua sudut pandang yang umumnya digunakan untuk memahami kenyataan konflik dalam
masyarakat, yaitu pendekatan konsensus (teori fungsional-struktural) dan pendekatan konflik (teori
konflik).
Secara ringkas, perbandingan antara pendekatan konsensus dan pendekatan konflik dapat
dirangkum seperti yang tampak dalam tabel berikut.
Tabel Perbandingan Teori Fungsional-Struktural dan Teori Konflik
Dimensi Teori Fungsional-struktural Teori Konflik
Pandangan mengenai masyarakat Stabil, terintegrasi secara baik Ditandai oleh adanya ketegangan
dan konflik antarkelompok
Tingkat analisis yang ditekankan Makrososial, analisis pada skala besar Makrososial, analisis pada
skala besar
Pandangan mengenai individu Individu anggota masyarakat disosialisasi untuk menunjukkan fungsi
sosialnya Individu anggota masyarakat diatur melalui kekuasaan, paksaan, dan kewenangan
Pandangan mengenai tata sosial Tertib sosial terpelihara melalui kerjasama dan konsensus Tertib
sosial terpelihara melalui kekuasaan/kekuatan dan paksaan
Pandangan mengenai perubahan sosial Dapat diperkirakan Perubahan dapat terjadi di setiap waktu
dan mungkin memiliki dampak positif
Konsep-konsep kunci Sistem, keseimbangan, stabilitas, pembagian kerja, fungsi manifes, fungsi
laten, disfungsi sosial Kekuasaan, eksploitasi, persaingan kepentingan, ketidaksamaan sosial,
penaklukan kelompok, alienasi
Tokoh perintis Auguste Comte, Emile Durkheim, Herbert Spencer Karl Marx, Max Weber, George
Simmel
Tokoh penerus Talcott Parsons, Robert K. Merton, Jeffrey C. Alexander, Niklas Luhmann Ralf
Dahrendorf, Lewis Coser, Joseph Hims, Jonathan Turner, Barrington Moore, Jeffrey Paige, Theda
Sockpol
3. Konflik dan Kekerasan
1. Kekerasan
Istilah ‘kekerasan’ (violence) berasal dari bahasa Latin vis (kekuatan, kehebatan, kedahsyatan,
kekerasan) dan latus (membawa). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ‘kekerasan’
diartikan sebagai perbuatan orang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang.
Ada dua macam pengertian mengenai kekerasan, yaitu:
a. Pengertian sempit, kekerasan menunjuk pada tindakan berupa serangan, perusakan,
penghancuran terhadap diri (fisik) seseorang maupun milik atau sesuatu yang secara potensial
menjadi milik seseorang. Dengan demikian menunjuk pada kekerasan fisik yang sifatnya personal
(mengarah pada orang atau kelompok tertentu) yang dilakukan secara sengaja, langsung, dan
aktual.
b. Pengertian luas, kekerasan menunjuk pada kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis, baik
dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, personal atau struktural.
Yang dimaksud kekerasan struktural adalah kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial yang
tidak adil.
Jadi, konflik sosial bernuansa kekerasan adalah konflik sosial yang di dalamnya terdapat serangan,
perusakan, penghancuran terhadap diri (fisik dan psikis) seseorang maupun sesuatu yang secara
potensial menjadi milik seseorang, yang dilakukan sengaja, langsung, dan aktual.
2. Konflik bernuansa kekerasan
Dalam hal ini, Coser membedakan konflik dalam dua kategori sebagai berikut.
a. Konflik realistik, yaitu pertentangan yang bersumber pada rasa frustasi mengenai hal-hal yang
spesifik dalam sebuah hubungan, juga dari dugaan mengenai keuntungan yang diperoleh pihak lain.
Contoh, konflik antarkelompok pendukung dan penentang kenaikan BBM. Bagi para penentang
kenaikan BBM, konflik tersebut merupakan alat untuk membuat agar kebijakan kenaikan BBM
dibatalkan.
b. Konflik nonrealistik, yaitu pertentangan yang timbul bukan karena adanya persaingan untuk
mencapai tujuan spesifik tertentu, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan untuk melepaskan
ketegangan terhadap kelompok lain dalam masyarakat.
B. FAKTOR PENYEBAB, FUNGSI, AKIBAT, DAN CARA MENGATASI KONFLIK
1. Faktor Penyebab
Menurut Loepold von Wiese dan Howard Becker, secara umum ada empat faktor utama yang
menjadi penyebab terjadinya konflik, yaitu:
a. Perbedaan individual
b. Perbedaan kebudayaan
c. Perbedaan kepentingan
d. Perubahan sosial
Sementara itu, menurut teori konflik, penyebab utama terjadinya konflik sosial adalah adanya
perbedaan atau ketimpangan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang
memunculkan diferensiasi kepentingan. Secara lebih rinci, faktor-faktor penyebab konflik menurut
teori ini adalah sebagai berikut:
• Ketidakmerataan distribusi sumber-sumber daya yang terbatas dalam masyarakat.
• Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah.
• Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan kepentingan.
• Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah serta lambatnya
mobilitas sosial ke atas.
• Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi masyarakat bawah dan/atau elit.
• Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal.
2. Fungsi dan Akibat Konflik
George Simmel menyatakan bahwa masyarakat yang sehat tidak hanya membutuhkan hubungan
sosial yang sifatnya integratif dan harmonis, tetapi juga membutuhkan adanya konflik (Veeger,
1990). Berdasarkan pandangan Simmel tersebut, Lewis Coser dan Joseph Himes melakukan studi
lebih lanjut mengenai fungsi positif konflik bagi kelangsungan masyarakat. Menurut Coser (1956),
konflik memiliki fungsi positif, yaitu:
a. Konflik akan meningkatkan solidaritas sebuah kelompok yang kurang kompak.
b. Konflik dengan kelompok tertentu akan melahirkan kohesi dengan kelompok lainnya dalam
bentuk aliansi. Misalnya, konflik antara Perancis dengan Amerika Serikat tentang serangan ke Irak
memunculkan kohesi yang lebih solid antara Perancis dan Jerman.
c. Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga yang semula pasif untuk kemudian
memainkan peran tertentu secara lebih aktif.
d. Konflik juga memiliki fungsi komunikasi.
Sementara itu, menurut Himes (Schaefer & Lamm, 1998), konflik memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Secara struktural, konflik dapat mengubah keseimbangan kekuasaan antara kelompok dominan
dan kelompok minoritas.
b. Dari sisi komunikasi, konflik meningkatkan perhatian masyarakat terhadap hal yang
dipersengketakan dalam konflik, meningkatkan kesediaan media massa untuk memberitakannya,
memungkinkan masyarakat memperoleh informasi baru, dan mengubah pola komunikasi berkenaan
dengan hal tersebut.
c. Dari sisi solidaritas, konflik akan meningkatkan dan memantapkan solidaritas di antara kelompok
minoritas.
d. Dari sisi identitas, konflik akan menumbuhkan kesadaran mengenai siapa mereka dan
mempertegas batas-batas kelompok.
Meskipun memberikan fungsi positif, namun dalam kenyataannya konflik sering kali menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat. Adanya konflik sosial mengakibatkan terhentinya kerja sama yang
sebelumnya terjalin di antara para pihak yang terlibat konflik. Lebih buruk lagi, konflik yang disertai
dengan kekerasan sering kali mengakibatkan hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ada dua macam konflik, yaitu konflik
fungsional dan konflik destruktif. Konflik fungsional adalah konflik yang berdampak positif bagi
perkembangan masyarakat. Konflik ini biasanya terjadi tanpa diwarnai kekerasan. Sedangkan
konflik destruktif adalah konflik yang merusak kehidupan sosial. Konflik ini umumnya disertai dengan
kekerasan sehingga sering disebut sebagai kekerasan sosial.
3. Cara Mengatasi Konflik
Mengikuti alur pemikiran pendekatan konsensus maupun pendekatan konflik, ada empat cara pokok
yang umumnya dipakai untuk mengelola/mengatasi konflik, yaitu:
a. Paksaan/Koersi
Cara ini dilakukan dengan memaksa para pihak yang bersengketa untuk mengadakan perdamaian.
Paksaan dilakukan secara psikologis maupun fisik. Cara paksaan ini dilakukan oleh pihak yang kuat
terhadap pihak yang lemah. Pihak yang kuat biasanya mengajukan syarat-syarat untuk mengakhiri
konflik atau syarat-syarat perdamaian yang harus diterima oleh pihak yang lemah.
b. Arbitrasi
Kata arbitrasi berasal dari bahasa Latin arbitrium, yang berarti keputusan wasit (K. Prent, 1969: 61).
Arbitrasi merupakan proses untuk mengatasi konflik dengan melalui pihak tertentu yaitu arbitrator.
Pihak ini dipilih secara bebas oleh pihak yang bersengketa. Arbitrator itulah yang memutuskan
penyelesaian konflik tanpa terlalu terikat pada hukum-hukum.
c. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian konflik dengan menggunakan pihak ketiga yang memilki
hubungan baik dengan para pihak yang berkonflik. Pihak ketiga ini secara aktif terlibat dalam
negosiasi dengan para pihak yang berkonflik, serta mengarahkan para pihak yang berkonflik
sedemikian rupa sehingga penyelesaian dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya
tidak terlalu mengikat terhadap para pihak yang berkonflik. Jadi pihak ketiga tersebut melakukan
fungsi-fungsi konsultatif secara aktif. Selanjutnya, pihak-pihak yang berkonflik itu sendiri yang
mengambil keputusan untuk menghentikan konflik.
d. Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian konflik atas inisiatif pihak-pihak yang berkonflik. Dalam
proses ini, kedua pihak yang berkonflik melakukan pembicaraan dalam bentuk tawar-menawar
mengenai syarat-syarat mengakhiri konflik.