reintegrasi sosial pasca konflik maluku

16
9 Bab Dua Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka Pengantar Pada bab ini, digunakan beberapa perspektif teoritis untuk memahami realitas sosial yang dipelajari. Ada tiga konsep besar yang digunakan dalam penelitian ini, yakni; integrasi sosial, konflik sosial dan modal sosial. Ketiga konsep 1 Sekalipun dalam bentuknya yang klasik, sosiologi Emile Durkheim terlalu memberi tekanan pada struktur dan mengabaikan individu sebagai pelaku kebudayaan, namun patut diakui bahwa sumbangan teorinya dinilai oleh penulis masih relevan untuk menje- laskan dinamika reintegrasi sosial dalam kehidupan satu masyarakat pasca konflik, saat ini. tersebut merupakan pintu masuk untuk menje- laskan realitas reintegrasi sosial pasca konflik dalam kehidupan suatu masyarakat. Reintegrasi sosial dalam konteks ini merupakan proses berintegrasinya kembali kelompok-kelompok berbeda agama yang pernah terlibat dalam konflik sosial. Integrasi Sosial 1 Dalam konsep Integrasi dan Konflik sosial, ada konsep-konsep penting yang diguna- kan untuk menjelaskan kedua konsep tersebut.

Upload: dotuyen

Post on 23-Jan-2017

244 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

9

Bab Dua

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

Pengantar

Pada bab ini, digunakan beberapa perspektif teoritis untuk memahami realitas sosial yang dipelajari. Ada tiga konsep besar yang digunakan dalam penelitian ini, yakni; integrasi sosial, konflik sosial dan modal sosial.

Ketiga konsep1

Sekalipun dalam bentuknya yang klasik, sosiologi Emile Durkheim terlalu memberi tekanan pada struktur dan mengabaikan individu sebagai pelaku kebudayaan, namun patut diakui bahwa sumbangan teorinya dinilai oleh penulis masih relevan untuk menje-laskan dinamika reintegrasi sosial dalam kehidupan satu masyarakat pasca konflik, saat ini.

tersebut merupakan pintu masuk untuk menje-laskan realitas reintegrasi sosial pasca konflik dalam kehidupan suatu masyarakat. Reintegrasi sosial dalam konteks ini merupakan proses berintegrasinya kembali kelompok-kelompok berbeda agama yang pernah terlibat dalam konflik sosial.

Integrasi Sosial

1Dalam konsep Integrasi dan Konflik sosial, ada konsep-konsep penting yang diguna-kan untuk menjelaskan kedua konsep tersebut.

Page 2: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

10

Dengan menggunakan analogi organik, masyarakat dipahami oleh Durkheim terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi dan saling tergantung [Jones, 2010]. Ada empat pilar yang menjadi perhatian Durkheim [the sacred, klasifikasi, ritus, dan ikatan solidaritas], the sacred adalah poros utama yang mencakup seluruh dinamika masyarakat. “Yang keramat” merupakan ikatan primordial masyarakat yang mempersatukan. Ketika melakukan analisis terhadap sosiologi Durkheim, Supriyono mengatakan bahwa dalam masyarakat selalu ada nilai-nilai yang disakralkan atau disucikan. Nilai-nilai yang disepakati, atau the sacred itu, berperan untuk menjaga keutuhan dan ikatan sosial sebuah masyarakat serta secara normatif mengendalikan gerak dinamika masyarakat tersebut [Sutrisno et.al. 2005]. Durkheim sangat tertarik dengan cara di mana solidaritas terbentuk, dengan kata lain, cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Atas dasar itu, ia membagi dua tipe solidaritas, mekanis dan organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena semua orang adalah generalis [Ritzer at.el. 2008]. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda2

Supriyono mengatakan bahwa, sebenarnya, ketika membicara-kan klasifikasi [the sacred and the profane], kita sudah menyentuh satu bagian solidaritas yaitu solidaritas terluka. Kejahatan dalam sebuah masyarakat dirasakan sebagai luka bagi seluruh anggota masyarakat tersebut. Solidaritas yang terluka diakibatkan karena terjadinya pelanggaran terhadap the sacred [Sutrisno et.al. 2005]. Edward Shils mencoba menjawab pertanyaan: “bagaimana orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda dapat hidup bersama dalam masyarakat”? Jawabannya karena sacred center merupakan unsur yang menyatukan. Sacred center adalah fokus identitas kolektif masyarakat. The sacred

.

2 Untuk membandingkan dengan teori evolusi Spencer, lihat Perrin [1995].

Page 3: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

11

adalah sumber solidaritas masyarakat.The sacred dapat dilembagakan dalam agama,3

Giddens [1972] memberikan pemaknaan terhadap realitas ter-sebut dengan mengatakan bahwa kesadaran kolektif dalam dua tipe masyarakat tersebut memiliki empat dimensi; volume, kekuatan,

merupakan dimensi yang menjangkau secara luas pengalaman manusia. Dimensi religius masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sosial dalam porsi yang cukup besar. Gejala-gejala sosial sering ditafsirkan dengan perspektif religius. Oleh karena itu, masyara-kat akan berpaling pada agama untuk mencari jawaban atas kom-pleksitas sosial yang rumit. Semakin permasalahan itu fundamental dalam hidup sosial, semakin agama dengan mudah ditemukan. Artinya, agama menemukan makna aktualnya dalam interaksi dalam pergulatan masyarakat [Sutrisno et. al. 2005]. Agama menurut Durkheim, merupakan representasi kolektif masyarakat [Hamilton, 1995]. Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa agama dapat menjadi ikatan solidaritas masyarakat. Smith [2001] mengatakan bahwa, agama dalam pengertian luas dapat ditemukan dalam setiap kelompok. Selain agama wahyu, kita bisa menemukan aneka agama sipil. Agama sipil cende-rung tidak melembaga dan dalam rumusan doktrin lebih absurd, memiliki orang kudus sendiri, memiliki nilai-nilai hidupnya sendiri dan dihayati masyarakat.

Durkheim mengatakan bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat, yaitu pemahaman, norma dan kepercayaan bersama. Kesadaran kolektif kurang signifikan dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organis daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanis. Masyarakat modern lebih mungkin bertahan dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang dimiliki orang lain daripada bertahan dengan kesadaran kolektif bersama dan kuat [Ritzer at.el. 2008].

3Yang secara sosiologis disebut agama tidak hanya merujuk pada agama wahyu atau agama-agama mondial. Agama di sini dapat saja berupa keyakinan yang dihasilkan oleh masyarakat dan menjadi acuan fundamental masyarakat tersebut. Bagi Durkheim, agama dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bahkan keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Lihat Daniel L Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Agama [terjemahan dari Seven Theories of Religion]. Yogyakarta: Ircisod, 2001.

Page 4: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

12

kejelasan, dan isi. Volume adalah sejumlah orang yang diikat bersama oleh suatu kesadaran kolektif; Kekuatan adalah bagaimana sebenarnya individu merasakan kesadaran kolektif tersebut; Kejelasan adalah bagaimana semua itu didefinisikan dengan jelas; dan Isi adalah bentuk yang dihasilkan oleh kesadaran kolektif di dalam kedua tipe masya-rakat. Giddens percaya bahwa di dalam masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanis, kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya; dia sangat diyakini, sangat rigid; dan isinya sangat bersifat religius. Sementara dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organis, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok; tidak dirasakan terlalu mengikat; kurang rigid dan isinya adalah kepentingan individu yang lebih tinggi daripada pedoman moral [Ritzer at.el. 2008].

Hemat penulis, realitas ini didasarkan pada pemikiran sosiologis di mana tindakan individu yang bersifat diskursif (disciursive conscioeness) dan kesadaran praktis ditunjukkannya dalam tindakan-nya sehari-hari4. Itu berarti, konsekuensi yang diharapkan maupun tidak diharapkan akan muncul sebagai implikasi pilihannya (individu) untuk bertindak berdasarkan keputusannya sendiri, sebab individu bebas menentukan tindakannya5

4 Tindakan individu bukan disebabkan oleh beberapa ”kekuatan dari luar” (seperti yang dimaksudkan oleh kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh ”kekuatan dari dalam” (seperti yang dinyatakan oleh kaum reduksionis-psikhologis). Manusia dapat berinisiatif melakukan tindakan, tanpa harus menunggu datangnya ransangan dari luar yang mendorong mereka bertindak. Tindakan individu bertujuan, untuk mewujudkan apa yang ada dalam pikirannya. Ini adalah individu yang sadar dan re-fleksif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui proses self-indication, di mana individu mengetahui sesuatu, menilai, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana ia menafsirkan tindakan itu (Blumer, 1969: 80-81; Charon , 1998).

; dan oleh sebab itu self-determination merupakan salah satu indikator dari manusia sebagai subjek yang

5 Konsekuensi Giddens berbeda dengan konsep fungsionalisme Merton yang melihat konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan muncul sebagai hasil dari operasi-onalisasi sistem sosial, dimana konsekuensi yang muncul dari keputusan subjek merupakan konsekuensi fungsional akibat peran dan status yang disandangnya (Craib, 1992:36).

Page 5: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

13

memiliki kebebasan dalam hidupnya6. Itulah sebabnya, dalam interaksi sosial, individu menjadikan ”ruang” sebagai latar, dan ”waktu” sebagai aliran peristiwa untuk mencapai stabilisasi7; seperti yang diyakini Sen8

Dari Marx, ia menggunakan ekuivalen dari pembedaan basis/ suprastruktur. Jadi, ia membagi eksistensi sosial menjadi dua dimensi – sistem sosial [social system] dan dunia kehidupan [life-world]. Sistem sosial adalah dunia di mana segala sesuatu dibuat, dan di mana fenomena struktural mempengaruhinya, sedangkan dunia kehidupan adalah dimensi tindakan dan makna [Jones, 2010]. Bagi Habermas, ‘dunia-kehidupan’ merepresentasikan perspektif internal, sementara sistem merepresentasikan sudut pandang eksternal. “Masyarakat dili-hatnya sebagai sistem yang harus memenuhi syarat bagi terpeliharanya dunia-kehidupan sosiokultural. Masyarakat yang terformula adalah kompleks tindakan dari kelompok-kelompok yang terintegrasi secara

bahwa, mengidentifikasi diri dengan pihak lain bisa menjadi hal yang sangat penting untuk hidup bermasyarakat.

Pada bagian lain, Jurgen Habermas [1994] menggunakan konsep “dunia-kehidupan” sebagai pintu masuk ketika ia merumuskan teori integrasi sosial dan integrasi sistem. Menurut Bowring [1996], secara umum, konsep ini [dunia-kehidupan] berasal dari sosiologi fenome-nologis, dan secara khusus dari teori Alfred Schutz. Namun tafsiran Habermas atas gagasan George Herbert Mead pun juga turut berperan bagi pemahaman tentang ‘dunia-kehidupan’. Habermas memadukan gagasannya dengan gagasan-gagasan berbagai teoritisi sosiologi, ter-utama dari Marx, Weber dan teori tindakan sebagai unsur utama perspektifnya [Jones, 2010].

6 Lihat Anthony Giddens, (1984) “The Constitution of Society”, juga Daniel Ross dalam Peter BeilhARz: “Social Theory” (Australia: Allen & Unwin Pty. Ltd, 1991) hal. 124-125. 7Anthony Giddens, “Modernity and Self-Identity”; Canbridge Polity Press 1991; menyatakan bahwa didalam ruang dan waktu, individu mampu berpikir dan mengenal identitas dirinya sebagai sebuah proyek diri (self-identity as a project) dan individu akan berusaha untuk menyusun lintasan biografi dirinya dari masa lalu ke masa depan yang telah diantisipasinya (lihat juga Sutrisno, 2007, ”Cultural Studies”). 8Amartya Sen “Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas”, Cetakan Pertama 2007, Pener-bit, PT Buku Kita, Jakarta.

Page 6: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

14

sosial. Dalam pandangan Ritzer, Habermas menyebut kedua strategi konseptual tersebut [dunia-kehidupan dan sistem] dengan integrasi sosial dan integrasi sistem [Ritzer at.el. 2008]. Perspektif integrasi sosial Habermas [1987] terfokus pada ‘dunia-kehidupan’ dan bagaimana sistem tindakan terintegrasi melalui konsensus yang dijamin secara normatif atau pun melalui konsensus yang dicapai secara komunikatif. Sedangkan perspektif integrasi sistem lebih berfokus pada sistem dan bagaimana dia dapat terintegrasi melalui kontrol eksternal atas ke-putusan individu yang tidak terkoordinasi secara subjektif.

Dari Weber, ia melihat arti penting modernitas dalam hal munculnya rasionalitas sebagai landasan bagi tindakan. Seperti Weber, Habermas membedakan dua tipe tindakan rasional – rasionalitas instrumental [tindakan yang berorientasi pada pencapaian efisiensi dalam kehidupan manusia], dan rasionalitas berorientasi nilai [penggu-naan akal sehat untuk membedakan benar dan salah]. Bagi Weber, modernitas itu tidak sekedar kemenangan rasionalitas, melainkan rasionalitas instrumental. Kita dapat menggunakan pikiran atau akal sehat untuk berpikir tentang bagaimana seharusnya kita hidup di samping menggunakannya untuk menghitung bagaimana agar efisien. Habermas tidak setuju. Ia sependapat dalam pengunaan akal sehat [nalar] yang dikonsepsikan Weber, ia memandang potensi yang kaya untuk menggunakan nalar demi kepentingan mencapai tujuan yang lebih mulia – yakni untuk memberikan kemampuan kepada kita untuk berbuat baik dan menjadi baik [Jones, 2010].

Robert Merton [Sztompka, 2000; Tiryakian, 1991] mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar dari analisis fungsional sebagaimana dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowski dan Radcliffe Brown. Yang pertama, adalah postulat kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat. Pandangan ini mengandung arti bahwa berbagai bagian sistem sosial pasti menun-jukkan tingginya level integrasi. Namun, Merton berpandangan bahwa meskipun hal ini berlaku bagi masyarakat kecil dan primitif, generali-

Page 7: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

15

sasi ini dapat diperluas pada masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks.

Fungsionalisme universal adalah postulat kedua. Jadi, dinyatakan bahwa semua bentuk dan struktur sosial memiliki fungsi positif. Merton berpendapat bahwa ini bertentangan dengan apa yang kita temukan di dunia nyata. Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat istiadat, gagasan, keyakinan, nilai, dan sebagainya, memiliki fungsi positif. Yang ketiga adalah postulat indispensabilitas. Argumennya adalah bahwa seluruh aspek standar masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan bagian-bagian tak terpisahkan dari ke-seluruhan. Postulat ini mengarah pada gagasan bahwa seluruh struktur dan fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat [Ritzer at.el. 2008].

Apabila konsep solidaritas, kesadaran kolektif dan integrasi seperti yang telah dijelaskan di atas diletakkan dalam dinamika suatu masyarakat pasca konlik, khususnya bagaimana individu masing-masing kelompok merespons perubahan-perubahan sosial yang terjadi, maka sudah tentu mereka memiliki mekanisme tersendiri dalam merespons realitas masalah akibat perubahan lingkungan. Hal ini dila-kukan masyarakat sebagai reaksi terhadap realitas yang dijumpai untuk menunjukkan potensi dan kapasitas mereka dalam mengelola masalah yang dihadapinya.

Hasil studi sosiologik yang dilakukan W.A. Shadid [1984] misal-nya, menggambarkan bagaimana para pekerja Maroko yang bekerja di negeri Belanda mewujudkan integrasi sosial, untuk mengekspresikan pengalaman empirik mereka yang hidup dalam suasana terpolarisasi, tetapi mereka memiliki harapan untuk membangun kehidupan yang terintegrasi dengan orang Belanda. Harapan-harapan inilah, yang men-jadi dasar bagi kesadaran mereka untuk senantiasa menjalin hubungan interaksional dalam berbagai konteks hubungan sosial, sekalipun dite-mui adanya resistensi dari sebagian kecil masyarakat Belanda terhadap mereka. Sikap resistensi inilah yang dikemas dalam berbagai tingkah

Page 8: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

16

laku9

Seen (2006) menggaris-bawahi penting kiranya untuk memberi-kan perhatian khusus pada pengalaman Inggris yang dinilainya berada di garis depan dalam mendukung multikulturalisme inklusif. Ada keberhasilahn dan ada kendalanya, sebagaimana terjadi juga di negara-negara Eropa lainnya serta Amerika Serikat

sebagai cara untuk merendahkan, menyindir, bahkan menolak. Pada hal, dorongan bagi keberagaman budaya jelas memberi banyak sumbangan bagi kehidupan masyarakat, dengan syarat bahwa orang memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memilih praktik kebudaya-annya [Seen, 2006].

10

Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa; pertama, untuk menjaga dan memelihara integrasi sosial yang telah dicapai dalam berbagai aspek kehidupan satu masyarakat, maka intervensi peran negara sangat diperlukan, karena salah satu peran dari negara adalah kemampuannya untuk menciptakan dan menegakkan hukum dan kebijakan-kebijakan

. Pada tahun 1981, Inggeris mengalami kerusuhan rasial di London dan Liverpool (kendati tidak seheboh seperti yang terjadi di Perancis pada musim gugur tahun 2005), dan hal ini membuahkan upaya lebih lanjut menuju ”integrasi”. Dalam pandangan Sen, proses integrasi di Inggris banyak ditopang oleh dua hal; pertama, fakta bahwa semua penduduk Inggeris (yang berasal dari negara-negara persemakmuran) langsung memiliki hak suara, bahkan tanpa perlu memiliki kewarganegaraan Inggris; kedua, proses integrasi tertolong oleh perlakuan non-diskriminasi dalam layanan publik (pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial).

11

9Dalam perspektif analogikal yang biasanya digunakan dalam psikologi gestalt, ber-anggapan bahwa tingkah laku individu dibentuk karena ada tekanan-tekanan dalam kelompoknya (Soeprapto: 2002) 10Tentang Masalah yang dipikul bersama antara AS dengan Eropa, baca juga Timothy Garton Ash, Free World: Why a Crisis of the West Reveals the Oportunity of Our Time (London: Allen Lane, 2004). 11Tentang peran negara, baca Francis Fukuyama (2005), Memperkuat Negara, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

, untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat. Sebab, jika kehadiran negara tidak meningkatkan kebebasan bagi masyarakat (Sen: 2006), justru mengakibatkan peran negara dalam pembangunan kurang terasa; kedua, kebutuhan akan rasa ”aman”

Page 9: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

17

merupakan hal yang sangat didambakan oleh warga masyarakat. Giddens (1984) memaknai hal ini (kebutuhan akan rasa ”aman”) yang akan mendorong seseorang untuk bertindak sekaligus mewujudkan perannya sebagai pelaku integrasi, yang tercermin dari bentuk-bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari; ketiga, dimensi ”ruang dan waktu” ternyata memberikan sumbangan yang besar demi penca-paian proses integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana dinyatakan Giddens (1991) bahwa individu memposisikan dirinya dalam ”ruang” sebagai subjek, bertindak dan menjadikan ruang sebagai latar, dan ”waktu” sebagai aliran peristiwa dan tindakan dalam proses menjadi stabilisasi.

Konflik Sosial

Sekalipun konstruksi teori konflik Dahrendorf banyak menuai kritik oleh sejumlah analis kritis [misalnya Hazelrigg, 1972; J. Turner, 1973; Weingart, 1969] yang menilai teori konflik Dahrendorf tidak memadai [Ritzer at.el. 2008], namun sumbangan yang diberikannya telah memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya sosiologi.

Dahrendorf adalah pencetus pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat memiliki dua wajah [konflik dan konsensus] dan karena itulah teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian; teori konflik dan teori konsensus [Ritzer at.el. 2008]. Di satu sisi, teoritisi konsensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sementara teoritisi konflik harus menelaah konflik kepentingan dan koersi yang menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Di sisi lain, Ia mengakui bahwa masyarakat tidak mungkin ada tanpa konflik dan konsensus, yang merupakan prasyarat bagi masing-masing.

Kajian tentang dinamika konflik juga diberikan oleh Kriesberg [dalam Hadi et.al. 2007] dengan mengelompokkannya dalam dua perspektif. Perspektif pertama melihat adanya variasi yang beragam terhadap konflik. Variasi dari suatu konflik dapat dilihat dari karakteristik pihak yang bertikai, hubungan antar pihak yang bertikai, konteks sosial konflik, sarana konflik, dan hasil konflik. Perspektif kedua yang ditawarkan Kriesberg berkaitan dengan sumber-sumber

Page 10: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

18

konflik. Kriesberg membagi penjelasan teoritik tersebut dalam tiga kelompok. Kelompok pertama, menekankan perlunya mengkaji faktor-faktor internal, seperti karakter dasar manusia, interaksi sosial dan sistem sosial. Kelompok kedua cenderung pada konteks sistemik suatu konflik. Konteks ini yang biasanya dibahas adalah masalah institusi-budaya, scarcity, distribusi kekuatan, serta konsistensi dan stabilitas sistem. Kelompok ketiga, mengkaji karakter dan hubungan antar pihak yang bertikai. Kelompok ini mencari sumber-sumber konflik dalam variabel-variabel distribusi kekuatan yang tidak simetris, perbedaan filosofi kehidupan antar kelompok, dan potensi integrasi kelompok.

Untuk mencari solusi dari dinamika suatu konflik yang spesifik dilakukan dengan mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya konflik. Levy [1996] misalnya, berupaya untuk menemukan indevendent variables dari suatu konflik, dengan cara mengkaji sumber-sumber konflik yang berada dalam empat level analisa, yakni level sistemik, sosial kemasyarakatan, organisasi birokrasi, dan individual. Berbeda dengan Levy, Burton tidak dengan segera melakukan identifikasi faktor-faktor penjelas, namun menawarkan titik-titik navigasi yang dapat dipakai untuk mencari sebab-sebab dasar [deeprooted] dari konflik [Hadi et. al. 2007]. Bagi Burton, titik-titik navigasi tersebut adalah keterkaitan resiprokal antara struktur sosial, institusi sosial, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia [basic human needs].

• Diferensiasi Sosial

Diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah dimanipulasi hingga melahirkan konflik sosial. Tetapi, di sisi lain adanya diferensiasi sosial sebenarnya juga tidak berarti akan selalu berubah menjadi konflik apabila masyarakat mampu mengatur dan mengawalnya.

Konsep perbedaan [difference] dicetuskan pertama kali oleh Ferdinand de Saussure, kemudian diadopsi oleh Jacques Derrida. Menurut Lajar, Derrida tidak memakainya begitu saja, melainkan membuat perubahan yang juga mengubah maknanya [Sutrisno et. al. 2005]. Dengan sentuhan artistiknya, Derrida mengubah “difference” menjadi “differance”. Ditambahkan bahwa, kata “difference” akar kata-

Page 11: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

19

nya adalah “differ” yang merupakan kata kerja yang berarti “berbeda” atau “menunda”, tetapi dengan berubah menjadi berakhiran -ance Derrida membentuk sebuah arti baru. Dengan kata ini [differance] Derrida menyerang pendapat Huserl bahwa arti terletak dalam kesadaran pribadi, dan terikat pada konteks serta tidak dapat berdiri sendiri. Atas dasar itu, Derrida [Sutrisno et. al. 2005] mengatakan bahwa setiap komunitas mempunyai cara pandang sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh situasi dan sejarah. Cara pandang yang tidak terlepas dari jaring situasi serta sejarah lokalitas ini tentu saja akan menghasilkan makna-makna yang berbeda terhadap suatu teks [realitas] yang sama.

Hasil studi yang dilakukan oleh Nasikum [1984] dalam Sutanto dan Sudarso [2010] menemukan bahwa, dalam kehidupan masyarakat mana pun, struktur sosial yang ada umumnya ditandai oleh dua ciri yang khas, yakni; pertama, secara vertikal, struktur sosial masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antar kelas sosial; dan kedua, secara horisontal, masyarakat ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, ras, adat, profesi serta perbedaan kedaerahan. Terhadap hal ini, Suyanto dan Sudarso mengatakan bahwa, perbedaan secara vertikal sebagaimana dikemukakan Nasikum di atas, disebut stratifikasi sosial, sedangkan perbedaan secara horisontal disebut diferensiasi sosial [Narwoko, et.al. 2010]. Menurut mereka, secara normatif, di dalam diferensiasi sosial, memang hak dan kewajiban antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain relatif sama di mata hukum. Namun, bagaimana pun harus diakui bahwa di dalam kenyataan yang terjadi, diferensiasi sosial umumnya selalu tumpang tindih dengan stratifikasi sosial. Hubungan antar kelompok dalam diferensiasi sosial senantiasa tidak pernah netral dari dimensi-dimensi stratifikasi sosial.

• Hegemoni

Jika dicermati secara saksama, konsep hegemoni yang dikem-bangkan oleh Gramsci sebenarnya berusaha untuk mematahkan tesis utama Marxisme bahwa dominasi kekuasaan tidak selamanya berakar pada kepentingan ekonomis belaka, melainkan juga karena akar-akar

Page 12: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

20

kebudayaan dan politis [Sutrisno et.al. 2005]. Konsep hegemoni Gramsci menunjuk pada semua cara hidup konsumtif di mana ideologi bekerja mengganggu pandangan dunia seseorang. Hegemoni berarti ketidakmampuan orang-orang yang memiliki keyakinan tertentu bahkan untuk yakin bahwa keyakinan mereka sendiri-pada prinsip-nya-mampu untuk berbeda. Memandang keyakinan sebagai hegemoni, artinya penganut meyakini sepenuhnya sehingga keyakinan tersebut harus selalu dipelihara dengan saksama dan cermat agar senantiasa menunjukkan eksistensinya supaya keyakinan penganut tidak luntur [Jones, 2010].

Gramsci berpendapat bahwa Marx benar ketika mengatakan bahwa perubahan sosial tergantung pada kaum proletar yang meman-dang dunia sebagaimana adanya. Namun, ia [Marx] keliru ketika berasumsi bahwa keadaan itu terjadi tanpa tindakan yang hati-hati dan lambat-laun atas nama kebenaran. Menurut Gramsci, sebelum tindakan politik diambil untuk meruntuhkan sistem, hegemoni borjuis harus secara saksama disingkirkan dan dikalahkan. Menghadapi fenomena seperti ini, Gramski menawarkan adanya blok solidaritas12

12Blok solidaritas ini diarahkan untuk mengimbangi daya hegemoni rezim dengan melakukan perang posisi [the war of position] dengan tujuan merebut posisi-posisi vital yang dikuasai oleh rezim

untuk mela-wan rezim fasis. Mekanismenya adalah menggalang seluas mungkin munculnya kekuatan intelektual yang memiliki visi dan sikap dalam mendukung kebebasan [Sutrisno, et. al. 2005].

Berdasarkan konsepsi Gramsci seperti yang dikemukakan di atas, hemat penulis konsep tersebut lebih menekankan pembentukan budaya perlawanan ketimbang menentukan isi kebudayaan itu sendiri. Perspektif Gramsci memang berbeda dengan perspektif sosiolog lain-nya [Lukacs, misalnya] yang menekankan kembali ortodoksi Marxisme. Tetapi kesamaan kedua intelektual ini adalah bahwa analisis mereka sama-sama menolak pandangan yang naif.

Page 13: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

21

Modal Sosial

Hasil penelusuran terhadap berbagai referensi untuk menemu-kan sumbangan para ahli tentang konsep modal sosial, ternyata dijumpai sangat bervariasi antara ahli yang satu dengan yang lainnya. Keragaman ini tentu saja dapat dipahami karena adanya perbedaan perspektif masing-masing ahli dalam memahami konsep tersebut. Putnam (1993:167) misalnya, modal sosial menunjuk pada bagian-bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jejaring, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Pemaknaan yang hampir sama diberikan oleh Fukuyama (1995, 1999) yang mengatakan bahwa modal sosial menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal yang di-miliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memung-kinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka.

Pada bagian lain, Bank Dunia memberikan dua definisi tentang modal sosial, sebagaimana dikutip oleh Lawang (2005), yakni: pertama, modal sosial menunjuk pada norma, institusi dan hubungan sosial yang membentuk kualitas interaksi sosial dalam masyarakat; dan kedua, modal sosial menunjuk pada norma, institusi dan hubungan sosial yang memungkinkan orang dapat bekerja sama. Pemaknaan yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Lawang (2005), sebagai semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital-kapital lainnya. Ada lima komponen sosiologis yang terdapat dalam definisi ini, yakni: kekuatan sosial; komunitas; konstruksi sosial; alat (means); dan komponen terakhir adalah dominan dalam mengatasi suatu masalah sosial13

13 Kekuatan sosial (komponen pertama), menunjuk pada semua mekanisme yang sudah dan akan dikembangkan oleh suatu komunitas dalam mempertahankan hidupnya. Yang menyusun kekuatan itu adalah individu atau kelompok dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan untuk mengatasi semua masalah sosial yang dihadapi. Komunitas (komponen kedua), mengacu pada komunitas mikro, meso dan makro. Kekuatan-kekuatan sosial sebagai kapital sosial dapat terbatas pada komunitas itu saja yang dilihat sebagai bounded social capital. Konstruksi sosial (komponen ketiga), artinya melalui interaksi sosial individu-individu membangun kekuatan sosial (kolektif) bersama untuk

.

Page 14: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

22

Di satu sisi, konsep modal sosial seperti tersebut di atas mengan-dung tiga elemen pokok yang terkait satu dengan yang lainnya, yaitu jejaring, trust, dan norma-norma. Jejaring adalah suatu keterkaitan kelompok dari orang-orang yang lazim mempunyai atribut sama; dan dalam konteks ini, maka pada saat yang sama, seseorang dapat menjadi bagian lebih dari satu jejaring. Sedangkan trust, mengacu pada tingkat keyakinan bahwa orang lain akan bertindak sebagaimana yang dikata-kan, atau yang diharapkan untuk bertindak, atau apa yang dikatakan, dapat dipercaya. Sementara norma-norma, merupakan pemahaman bersama, aturan-aturan informal, dan konvensi-konvensi yang menen-tukan, melarang atau mengatur perilaku-perilaku tertentu dalam ber-bagai kondisi [Productivity Commission, 2003]. Dengan demikian, in-teraksi sosial antar individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok, merupakan dasar yang sangat penting dalam kerangka pembentukan jejaring baik tanpa atau dengan closure14

Di sisi lain, konsep modal sosial yang dikemukakan para ahli sebagaimana tersebut di atas ternyata memiliki perbedaan yang sangat signifikan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu saja dapat dipahami, karena diduga mereka dilatarbelakangi oleh perspektif berbeda yang memberikan inspirasi pada saat mereka mengkonstruk-sikannya. Dua konsep modal sosial yang dikemukakan oleh Bank Dunia misalnya, secara teoritik formal mungkin tidak ada yang salah, tetapi jika kita melihat kenyataan bahwa norma, institusi dan hubung-an sosial di dalam masyarakat lokal, dewasa ini sedang mengalami

; inter-aksi mana diatur oleh tatanan norma yang berfungsi untuk menjamin agar interaksi tersebut berlangsung sesuai dengan apa yang diharapkan guna mencapai tujuan bersama.

mengatasi masalah sosial yang dihadapi. Dalam membangun kekuatan bersama ini prinsip kegunaan memegang peran penting, mulai dari yang paling menguntungkan menurut penilaian individu, sampai dengan yang paling kurang. Dalam konteks ini, ada kewajiban, norma dan sanksi di dalamnya. Dalam pengertian ini merupakan alat (komponen keempat) yang dikonstruksikan oleh individu-individu dalam mencapai tujuan (end) bersama; dan dominan dalam mengatasi suatu masalah (komponen ke-lima), prinsip sinerji tetap berlaku agar kapital sosial dapat digunakan sebagai kekuatan sosial untuk mencapai tujuan bersama (Robert M.Z. Lawang 2005: 217-218). 14 Coleman menyebut closure sebagai bagian penting dari relasi-relasi sosial dimana efektivitas norma tergantung [dalam Dasgupta dan Serageldin, 1999:23-25].

Page 15: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Integrasi Sosial, Konflik Sosial, dan Modal Sosial: Kajian Pustaka

23

proses pelemahan sebagai akibat kuatnya intervensi negara. Di samping itu, beberapa konsep yang tercermin dari definisinya yang pertama ter-nyata tidak jelas mengartikan konsep-konsep tersebut yang termasuk dalam variabel independen (norma, institusi dan hubungan sosial) dan kualitas interaksi sosial yang termasuk variabel dependen. Menurut hemat saya, ada fleksibilitas yang dapat diperoleh dari definisi tersebut. Terhadap kenyataan ini, Lawang [2005] menduga bahwa ada kemung-kinan otoritas Bank Dunia dengan sengaja membiarkan konsep-konsepnya tidak terdefinisikan secara jelas, sehingga setiap orang dapat menerapkannya sendiri konsep-konsep itu dalam konteks lokal.

Jika dicermati secara saksama, definisi-definisi yang dikemuka-kan para ahli tersebut di atas sangat mengabaikan ”struktur sosial”, padahal secara sosiologis struktur sosial tidak identik dengan modal sosial. Robinson sebagaimana dikutip Lawang [2005) menyatakan bahwa, tanpa struktur sosial, tidak ada modal sosial; tetapi sebaliknya, bisa ada struktur sosial tanpa modal sosial.

Kesimpulan

Argumentasi teoritis yang telah diuraikan di atas merupakan pijakan dari konsep-konsep sosiologik yang terdapat pada sintesa. Keterkaitan antar konsep-konsep tersebut dapat dijadikan titik tolak untuk menjelaskan dinamika reintegrasi sosial pasca konflik.

Studi ini lebih terfokus pada proses-proses sosial yang muncul dan berkembang dalam realitas kehidupan sehari-hari pasca konflik yang diwujudkan oleh dua komunitas pada sejumlah field sehingga memperlihatkan struktur dan sistem sosial yang sudah dan sedang muncul, dijadikan dasar untuk merekonstruksikan reintegrasi sosial.

Page 16: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku