konflik sosial - repository.uinjkt.ac.id

82
KONFLIK SOSIAL DALAM MASYARAKAT MODEREN Penyelesaian Menurut Hukum Positif, Politik dan Adat Dr. Alfitra, SH., MH

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Untitleddan Adat
Tentang Hak Cipta:
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
ciptaan pencipta atau memberi izin untuk itu, dapat dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait, dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iii
dan Adat
DALAM MASYARAKAT MODEREN Penyelesaian Menurut Hukum Positif, Politik dan Adat
© Dr. Alfitra, SH., MH
Editor : Irma Novida, SE. MSi. Layout : Team WADE Publish Design Cover : Team WADE Publish Diterbitkan oleh:
Jln. Pos Barat Km.1 Melikan Ngimput Purwosari Babadan Ponorogo Jawa Timur Indonesia 63491 Website : BuatBuku.com Email : [email protected] Phone : 0821 3954 7339 Anggota IKAPI 182/JTI/2017 Cetakan Pertama, September 2017 ISBN: 978-602-6802-92-7 Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa seizin tertulis dari Penerbit. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) x+258 hlm.; 13,5 x 20,5 cm
v
Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan buku
ajar yang berjudul KONFLIK SOSIAL DALAM
MASYARAKAT MODEREN Penyelesaian Menurut
pakan jawaban dari banyak pertanyaan mahasiswa,
LSM, aktifis pemberdayaan masyarakat, mengenai bu-
daya konflik dan kekerasan yang terjadi dalam masya-
rakat dewasa ini, baik yang diadakan dalam bentuk dis-
kusi ilmiah, lokakarya, simposim.
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
kita mengenai dampak yang ditimbulkan dari suatu
budaya konflik yang dilakukan sekelompok orang men-
jadi tidak wajar dan tidak biasa, bila masyarakat yang
terlibat dalam budaya konflik untuk saling membunuh
dan menghancurkan, tampa mengetahui dengan jelas
penyebab dan manfaat dari budaya konflik itu. banyak
terjadi di dalam masyarakat baik secara vertikal maupun
horizontal dan banyak menimbulkan korban jiwa mau-
pun harta benda dan bagai mana cara mengatasinya.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam buku
ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan buku ajar yang telah kami buat
vi
yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga buku yang sederhana ini dapat dipahami
bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya buku yang
telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri mau-
pun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi perbaikan buku ini di
waktu yang akan datang. Pada doa istri dan putra dan
putri tercinta yang selalu mendukung eksitensi napas
ini dalam menulis buku ini supaya dapat menjadi nilai
tambah karya tulis.
KEKERASAN ...................................................................... 53
B. Manfaat dan akibat konflik Sosial .......................... 65
C. Konflik dan Kekerasan Kolektif .............................. 80
D. Sumber Terjadinya Konflik Sosial .......................... 89
E. Bentuk-bentuk Konflik kekerasan Sosial ............... 95
F. Proses Terjadinya Konflik Sosial ............................ 96
BAB III PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI
NON LITIGASI ................................................................ 118
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya
Konflik dan kekerasan ........................................... 120
Melalui Hukum ....................................................... 134
1. Pendekatan Musyawarah dan Mufakat ........ 143
2. Pendekatan kerjasama antar daerah ............... 145
E. Upaya Penyelesaian Konflik dan Kekerasan
Melalui Kebiasaan ................................................... 148
1. Konsiliasi ............................................................. 148
2. Mediasi ................................................................ 149
3. Arbitrase.............................................................. 149
4. Koersi ................................................................... 150
5. Detente ................................................................. 151
KONFLIK DAN KEKERASAN ...................................... 152
Konflik ...................................................................... 152
C. Hakekat Dasar Masyarakat Multikultural........... 181
D. Hakikat Dasar Konflik dan kekerasan Sosial ...... 183
E. Kebijakan Kriminal Terhadap Konflik dan
Kekarasan Kolektif .................................................. 187
3. Memahami Damai ............................................. 199
F. Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik di
Masa Depan ............................................................. 217
2. Upaya Penanganan Konflik Sosial
berdasarkan UURI N0 7. Tahun 2012 ............. 220
3. Pola Penyelesaian Konflik ................................ 227
ix
5. Prinsip Dasar Membangun Mekanisme
Penanganan Konflik Sosial di Indonesia
Sebagai Masyarakat Multikultural .................. 235
terhadap berbagai literatur yang terkait dengan konflik
telah banyak dibahas, akan tetapi penulis mencoba
menguraikan dari sisi lain, Konflik Sosial dalam Masya-
rakat Moderen Penyelesaian Menurut Hukum Positif
dan Adat. Akhir-akhir ini banyak pertentangan dan
pemahaman, apalagi dari berbagai macam budaya. Se-
hingga menimbulkan banyak konflik yang selalu hadir
dalam setiap pribadi maupun kelompok manusia adalah
suatu realitas, sehingga dapat diterima sebagai kewajar-
an dan sangat biasa. Namun konflik menjadi tidak wajar
dan tidak biasabila konflik telah mengakibatkan korban
jutaan umat manusia (meninggal, cacat, kehilangan kasih
sayang, kehilangan relasi sosial, kehilangan tempat
hunian), kehancuran sebagai sarana fisik dan nilai-nilai
sosial. konflik, menjadi tidak wajar dan tidak biasa bila
konflik yang menimbulkan korban sebanyak itu adalah
bentuk konspirasi dan terjadi dalam suatu masyarakat
yang cinta damai, menjunjung, menghargai dan melak-
sanakan nilai kekeluargaan, persekutuan, dan rela ber-
2
penulis mencoba memberikan solusi permasalahan di
atas.
banyak sekali menghadapi ancaman serius berkaitan
dengan mengerasnya konflik dalam masyarakat, baik
vertikal maupun horizontal. Sumber konflik tersebut
bisa berasal dari perbedaan nilai-nilai dan idiologi, mau-
pun intervensi kepentingan, baik dari dalam maupun
dari luar yang dapat menimbulkan perpecahan dan
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara dan keselamatan bangsa. Konflik tersebut apabila
didukung oleh kekuatan nyata yang terorganisir tentu-
nya akan menjadi musuh berpotensial bagi Negara kesa-
tuan Republik Indonesia, di mana konflik menjadi feno-
mena yang sering muncul karena konflik selalu menjadi
begian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik
serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perobah-
an sosial-politik (Kornblurn, 2003: p. 294).
Beberapa peristiwa kongrit dalam ilmu konflik
yang banyak ditemuka dalam masyarakat, baik masya-
rakat moderen maupunn dalam masyarakat tradisional
masalah konflik dan kekerasan yang terjadi ditanah air
beberapa tahun belakangan ini yang cukup serius yang
bersifat vertikal maupun horizontal antara lain: (1).
Konflik yang bernuansa politis akibat isu kecurangan
pemilihan kepala daerah, pemekaran wilayah, dibe-
berapa daerah ditanah air yang berakibat penyerangan,
pembakaran, perusakan, penganiayaan antar pendu-
kung, (2). Konflik yang bernuansa seperatisme, seperti
3
Ambon, Kalbar, Kalteng, Lapung selatan, Lampung
tengah, Blang Bintang, Tidore, sumbar, (4). Konflik yang
bernuangsa idiologi/faham seperti faham komunis, dan
faham Radikalis dan fundamentalis.(5). Konflik yang
bernuangsa ekonomi seperti konflik antar kelompok
nelayan diselat sunda, antar preman pasar dan sopir
angkot, dan antar pedagang, konflik lahan pertanian. (6).
Konflik yang bernuangsa solidaritas liar, seperti konflik
dan kekerasan antar siswa, mahasiswa, suporter bola,
dan tawuran antar wilayah. (7). Konflik karena isu
kebijakan Pemerintah Pusat seperti kenaikan ongkos
atau tarif angkot/bis, kenaikan harga BBM, TDL, LPG,
BOS, UMP, (8). Konflik isu agama atau aliran keper-
cayaan yang dapat menimbulkan konflik seperti pengi-
kut Gafatar, Ahmadiyah, pengikut Lia Aiden, pengikut
Ahmad Musadik, aliran Ahmadi, Siah di Jawa Timur
dan aliran sesat lainya (Ronny Nitis Baskara, 2001: p. 3)
(8) Konflik yang bernuangsa Agama/SARA seperti
peristiwa 411, 212 dan 412 tahun 2016 tetapi yang
memakan korban adalah peritiwa 411 yang menyulut
pertikaian vidio rekaman pidato Gubenur DKI Jakarta Ir.
Basuki Cahaya Purna, MM. Alias Ahok.
Secara umum terdapat beberapa jenis dan penye-
bab terjadinya konflik dan kekerasan dalam masyarakat
sebagai berikut (Romli Atmasasmita, 1993: p. 33)
a) Perbedaan kepentingan antar individu dan kelom-
pok. Di mana manusia memiliki perasaan, pen-
dirian, maupun latar belakang kehidupan dan bu-
4
yang bersamaan, maing-masing orang atau kelom-
pok memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang
sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda.
b) Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pen-
dirian dan perasaan. Setiap manusia adalah indiv-
idu yang unik artinya, setiap orang mempunyai
pendirian, perasaan yang berbeda-beda antar yang
satu dengan yang lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang
nyata ini dapat menjadi faktor penyebab terjadinya
konflik dan kekerasan sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalkan ketika berlangsung-
nya pentas orgen tunggal atau musik di lingkungan
pemungkiman, tentu perasaan setiap warga akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena
berisik tetapi banyak pula yang merasa terhibur
c) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan
pola-pola pemikiran dan pendirian yang berbeda itu
pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan indi-
vidu yang dapat memicu terjadinya konflik.
d) Terdapatnya perubahan-perubahan nilai yang cepat
dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan ada-
lah suatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan men-
dadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya
5
pedesaan yang mengalami proses industrilisasi
yang mendadak akan memunculkan konflik sosial
sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional
yang biasanya bercocok tanam seecara cepat ber-
ubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-
nilai yan berubah itu seperti nilai kegotongroyongan
berganti dengan nilai kontrak kerja dengan upah
yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan
struktural yang disusun dalam organisasi formal
perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah men-
jadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfatan
waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi
pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja
dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-
perobahan ini, jika terjadi secara cepat atau men-
dadak, akan membuat kegoncangan proses-proses
sosial di masyarakat, akan membuat kegoncangan
proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk
perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehidupan masyarakat yang telah ada.
Penyelesaian konflik seharusnya sesuai dengan
konteks dan atau di mana konflik dan kekersan itu ter-
jadi, dalam hal ini pendekatan yang universal sebanar-
nya tidak relevan diterapkan dalam menangani masalah
konflik. Ada bentuk lain dari pendekatan penyelesaian
konflik dan kekerasan yang sering dilupakan yaitu:
6
kearifan-kearifan lokal yang sangat potensial dalam
penyelesaian konflik dan kekerasan sosial untuk mencip-
takan damai (peace). Misalnya: Dalihan Natalu (Tapa
Nuli), Rumah Betang (Kalimantan Tengah), Menyama
Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan (NTB), Siro
yo Ingsun yo Siro (Jawa Timur), Alon-alon Asal Kelakon
(Jawa Tengah/Yogyakarta), Basun Sirih (Melayu/
Sumatra), Peradilan Adat Clan Selupu Lebong (Beng-
kulu) Musyawarah dan Mufakat (Sumatra Barat). (Ayub
Mahmod Mustopa. 2005: p. 77)
Sesuai dengan tipologi konflik yang terjadi
selama ini, sistem penanganan konflik yang dikem-
bangkan lebih mengarah kepada penanganan yang ber-
sifat militeristik/represif. Beberapa contoh konflik
horizontal yang bersifat pasif dan pola penyelesaiannya
menggunakan cara-cara militeristik/ represif tersebut
antara lain: konflik sosial di Sambas, konflik sosial di
Maluku Utara, konflik sosial Ambon, konflik sosial Poso,
konflik sosial Irian Jaya Barat, dan konflik sosial Papua.
Penyelesaian terhadap konflik-konflik tersebut belum
dilaksanakan secara komprehensif dan integratif, ter-
masuk peraturan perundangan-undangan yang bersifat
parsial dan dalam bentuk peraturan perundang-undang-
an yang dikeluarkan oleh Pemerintah seperti dalam
bentuk Instruksi Presiden. (Simon Fisher 2001: p. 57)
Berbagai upaya terus dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk
membentuk kerangka regulasi baru. Mengacu kepada
7
rintah, maka kerangka regulasi yang ada juga mencakup
tiga strategi, yaitu: pertama, kerangka regulasi dalam
rangka upaya pencegahan konflik seperti regulasi
mengenai kebijakan dan strategi pembangunan yang
sensitif terhadap konflik dan upaya-upaya untuk tidak
terjadinya konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi
kegiatan penanganan konflik pada saat terjadi konflik
yang meliputi upaya penghentian kekerasan sosial dan
mencegah jatuhnya banyak korban manusia maupun
harta benda. Ketiga, adalah peraturan yang menjadi
landasan bagi pelaksanaan penanganan pasca konflik
yaitu ketentuan yang berkaitan dengan tugas penye-
lesaian sengketa/proses hukum, serta kegiatan-kegiatan
recovery, reintegrasi dan rehabilitasi (Cullen dan Agnew,
2003: p. 207)
dalam menangani konflik sosial di Indonesia sebagai-
mana dicontohkan di atas. Pentingnya kajian ini didasar-
kan pada setidaknya 3 (tiga) argumentasi, yaitu argu-
mentasi filosofis, sosiologis, dan suku bangsa.
Argumentasi filosofis berkaitan dengan pertama,
jaminan tetap eksisnya mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat perbedaan pen-
dapat atau konflik yang terjadi di antar kelompok dan
golongan. Kedua, tujuan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
yang terdiri dari beragama suku bangsa, agama dan
budaya dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk
8
takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Ketiga, tanggung
jawab negara memberikan perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya
penciptaan suasana yang aman, tentram, damai dan
sejahtera lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap
orang atas perlindungan diri pribadi keluarga, kehor-
matan, martabat dan harta benda yang di bawah kekua-
saannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasinya. Bebas dari rasa
takut, jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai,
adil dan sejahtera.
1998: p.2) Pertama, Negara Republik Indonesia dengan
keanekaragaman suku bangsa, agama dan budaya yang
masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidak-
adilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, politik, kemis-
kinan berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik di
tengah masyakarat. Kedua, Indonesia yang sedang meng-
alami transisi demokrasi dan pemerintahan membuka
peluang bagi munculnya gerakan radikalisme di dalam
negeri pada satu sisi, dan pada sisi lain hidup dalam
tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh-pengaruh
asing, sangat rawan dan berpotensi menimbulkan
konflik. Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan daya
dukung lingkugan yang semakin terbatas dapat menim-
9
pun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya
yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat se-
tempat. Keempat, Konflik menyebabkan hilangnya rasa
aman dan menciptakan rasa takut masyarakat, serta
kerusakan lingkungan, kerusahan pranata sosial, kerugi-
an harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis
(dendam, kebencian, perasaan permusuhan), melebar-
nya jarak segresi antar para pihak yang berkonflik,
sehingg dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan
umum. Kelima, Penanganan konflik dapat dilakukan
secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel
dan transparan serta tepat sasaran dengan mendasarkan
pada pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan
landasan hukum yang memadai. Keenam, dalam meng-
atasi dan menangani berbagai konflik tersebut, Pemerin-
tah Indonesia belum menemukan suatu format kebijakan
penanganan konflik yang menyeluruh (comprehensive),
integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan serta
tepat sasaran dengan mendasarkan pada pendekatan
dialogis dan cara damai.
tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegara-
an, bersifat sektoral, reaktif, serta tidak memakai menjadi
landasan hukum penanganan konflik yang comprehen-
sive dan interatif. Adapun bermacam-macam suku bang-
sa di Indonesia ditandai dengan adanya yang sukar
dipahami oleh orang lain yang bukan berasal dari suku-
nya sendiri. Masyarakat pluralistik di kota-kota besar
10
ditandai oleh adanya ketegangan sosial, sebagai akibat
benturan sistem nilai budaya yang di bawah oleh pen-
duduk yang berasal dari kelompok etnis yang berlainan.
Di sini jelas, berlaku Prepasisi Sellin yang menyatakan
bahwa pemicu konflik budaya antara lain suatu
kelompok kebudayaan bermigrasi ke daerah kelompok
kebudayaan yang lain, dan norma atau hukum dari
suatu
tersebut dapat disimpulkan, bahwa konflik kebudayaan
merupakan hasil yang tumbuh secara alami atas suatu
proses di Ferensiasi Sosial proses yang mana meng-
hasilkan pengelompokkan masyarakat secara eksklusif
yang mempunyai pengertian sendiri atas kehidupan
hubungan sosial dan kelompok lainnya. (Aggleton Peter,
1987: p.55) Transformasi kebudayaan dari suatu masya-
rakat homogen dan terintegrasi (dalam kelompok) ke
dalam masyarakat yang heterogen, yang tidak/ belum
teritegrasi dalam suatu kelompok juga merupakan faktor
yang menyebabkan semakin meningkatnya konflik
sosial ini terlihat jelas dalam kasus Madura versus
Dayak, Melayu dan Cina di Kalimantan. (Moeljatno,
1988: p. 55)
lam penyelesaian sengketa yang dilatar belakangi unsur
kultur yang tidak semata-mata melalui penggunaan
kebijaksanaan hukum pidana, melainkan mengacu kepa-
da pentingnya pemahaman nilai-nilai kekerasan kolektif
11
perangkatnya harus dilibatkan.
menunjuk pada semua tingkah laku yang bertentangan
dengan undang-undang baik berupa ancaman saja
maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang
mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik
atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Konflik
kekerasan selain dilakukan secara individual dapat juga
dilakukan secara kolektif, kekerasan kolektif dapat
dibedakan atas tiga kategori yaitu; kekerasan kolektif
primitif, kekerasan kolektif reaksioner, dan kekerasan
kolektif modern. (Ronny Nitibaskara, 2001: p. 76)
Kekerasan kolektif primitif pada umumnya
bersifat non politis ruang lingkupnya terbatas pada
suatu komunitas lokal misalnya; pengeroyokan dalam
bentuk pemukulan atau penganiayaan terhadap penco-
pet yang tertangkap tangan. Peristiwa pengeroyokan
dalam pembantaian terhadap dukun teluh, leyak, atau
praktek perdukunan di berbagai daerah lainnya di
Indonesia, termasuk kategori ini. Kasus pembunuhan
terhadap dukun santet di Banyuwangi dan Ciamis, juga
tawuran di kalangan siswa antar sekolah. Termasuk pula
vandalisme kerusuhan sepak bola, nampaknya juga
termasuk kategori kekerasan kolektif primitif.
Sementara yang dimaksud dengan kategori
kekerasan kolektif reaksioner umumnya merupakan
reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya
tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal,
12
dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan
atau sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Dalam
kategori ini termasuk kasus angkot atau bis di berbagai
daerah yang mogok (didukung oleh mahasiswa) disulut
oleh adanya kenaikan retribusi dua kali lipat dari Rp.
3000 menjadi Rp. 6000, kasus lahan pertanahan
dipelabuhan Sape di Bima, blang Padang disumatra
Utara, kasus perkebunan kelapa sawit di Jambi dan
kasus sampang di Madura antara sunni dengan umat
islam lainya yang menyulut kekerasan kolektif.
(Kompas, September 2010: p. 5)
Kekerasan kolektif modern merupakan alat
untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu
organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik,
contoh: terorisme yang di tembak di Temanggung Jawa
Tengah (Tahun 2009), dan Pamulang (Tahun 2010, pe-
nembakan 4 orang tahana di LP Cebongan Yogjakarta
tanggal 3 April tahun 2013. (Republika, April 2013: p. 12)
Konflik kekerasan yang terjadi awal tahun 2012
di Mesuji lampung, dan Ternate konlfik antar TNI dan
Polri yang menewaskan seorang anggota TNI dari
kesatuan Kostrat, serta konflik yang terjadi di Jakarta
antar geng motor yang menewaskan anggota TNI dari
kesatuan Marinir yang dilakukan oleh salah seorang
anak perwira tinggi Mabes Polri. Peristiwa terorisme
yang terdapat di berbagai daerah Solo, dan Jakarta
daerah Tambora dan Beji Depok yang merupakan ke-
kerasan kolektif moderen yang lebih diutamakan adanya
politisasi. Paling banyak memakan korban harta, jiwa
13
puran kekerasan primitif dan kekerasan kolektif modern.
Setiap kekerasan kolektif memberikan dukungan ke-
rumunan (crowd) dan kebebasan dan tanggung jawab
moral, dengan demikian orang dapat menyalurkan
dorongan hati. Secara psikologis orang yang berada
dalam kerumunan merasa bahwa tidak ada orang lain
yang memperhatikan dan mengenalnya.
gampang meniru perbuatan orang lain. Kondisi seperti
inilah yang mengakibatkan anggota kerumunan lepas
kendali sehingga memungkinkan seseorang melakukan
tindak agresif dan destruktif. Dari sinilah lahir tingkah
laku yang lepas kendali sehingga memungkinkan sese-
orang melakukan tindakan agresif dan destruktif. Dari
sinilah lahir tingkah laku manusia yang kejam dan
sadistis terjadi proses penurunan intelektual dan moral,
serta hilangnya rasionalis dari para individu yang ada
dalam kerumunan tadi. Hal ini kadang-kadang disertai
dengan tidak adanya kepercayaan akan sistem hukum
yang berlaku. Bila dicermati, konflik dan kekerasan di
Indonesia akhir-akhir ini mengindikasikan dua gejala
menarik untuk disimak yaitu; (1) Tindakan kekerasan
bertetangga secara damai, tolong menolong, dan saling
mengunjungi; (2) Cepat sekali meluasnya tindakan ke-
kerasan kolektif itu terjadi disuatu wilayah.
Kondisi umum masyarakat yang buruk seolah-
olah merupakan pemyebab langgsung dari berbagai tin-
dakan kekerasan, namun bila dilihat lebih jauh, kondisi
yang sesungguhnya sebagai katalisator atau memper-
14
penyelesaian masalah yang berlarut-larut; keempat
lemahnya penegakan hukum yang dapat dipercayai;
kelima keadaan masyarakat yang tidak pasti dan tidak
ada sumber informasi yang dapat dipercaya dan keenam
pemberitaan massa yang belebihan tentang situasi yang
sebenarnya. (Agus Harjana, 1999: p.73)
Dalam konflik antar kelompok, keenam
determinan di atas akan semakin menguat akibat dari
hubungan antar kelompok itu sendiri. Dalam kehidupan
sehari-hari, setiap orang mempunyai status, pekerjaan,
suku, agama, dan sebagainya. Bila sejumlah orang me-
ngelompokkan dirinya atas dasar salah satu atau lebih
status tadi maka terjadi proses kategorisasi secara sosial,
dan melalui kategoresasi ini, orang terdorong untuk
mencari kesamaan dalam kelompoknya dan selanjutnya
akan mencari perbedaan pada kelompok lain, yang
akhirnya akan menjelma kelompok kita (us/ in group)
dan kelompok mereka (them/ out group). Suatu peristiwa
kekerasan individu seperti penganiayaan dan pem-
bunuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang
lain atau sekelompok orang terhadap orang lain atau
sekelompok orang terhadap seseorang atau seseorang
terhadap sekelompok orang, pada hakikatnya tidaklah
sulit untuk ditangani secara hukum.
Tidak ada kesulitan dalam menerapkan Pasal-
pasal KUHP yang berlaku mengenai penganiayaan
mulai dari Pasal, 351 sampai dengan pasal 355, atau
pasal-pasal pembunuhan 338 dan Pasal 340 KUHP atau
15
bentuk kekerasan kolektif baik primitif, reaksioner
maupun modern dan adil dan efektif terhadap keru-
munan yang melakukan kerusuhan atau kekerasan ter-
sebut? Hukum pidana kita tidak mengenal pertanggung
jawaban kolektif. Sanksi lebih ditujukan pada individu
pelanggar menjatuhkan sanksi kepada semua pelaku
secara merata sangat tidak mungkin dilakukan. Semen-
tara itu kekerasan kolektif sering kali dicoba diatur oleh
pasal 170 dan pasal 358 KUHP.Dalam kenyataan suatu
peristiwa kekerasan masal seringkali mengandung
akibat yang luas, di samping fasilitas umum yang rusak
maka korban bukan hanya pelaku yang terlibat bentrok
fisik melainkan juga masyarakat umum atau penonton
yang ada di sekitar peristiwa tadi. (Muladi, 1992: p. 27).
Karena adanya interaksi maka masyarakat itu
selalu berubah. Tidak ada suatu masyarakat pun yang
statis,dengan kata lain masyarakat selalu dalam proses
perubahan dan tidak mudah untuk meramalkan apa
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam
hubungan dengan perubahan ini, apabila ada perubahan
dari sesuatu yang mantap dan stabil ke suatu struktur
yang tidak teratur atau sebaliknya, maka perubahan itu
condong menimbulkan penyimpangan atau pembang-
kangan sosial. Perlu diperhatikan bahwa apa yang diten-
tukan masyarakat sebagai persoalan kejahatan atau
pembangkangan adalah akibat dari proses interaksi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kita
telah masuk dalam masalah sosial. Jika kita mempelajari
masalah sosial secara mendasar, maka akan menemukan
16
kejahatan dan penjahat itu sendiri belum tentu dapat
menjawab atau menerangkan masalah sosial. Masalah
sosial dapat berkembang menjadi masalah budaya dan
struktural, karena struktur dan budaya masyarakat
mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku jahat.
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai keja-
hatan, atau dikatakan sebagai tindak pidana apabila
perbuatan seseorang ditakaan bersifat melawan hukum
dan dapat dicela sehingga dapat dipidana. Apabila
terhadap perbuatan itu sudah ada putusan hakim yang
menyatakan bersalah dengan menjatuhkan pidana, serta
putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, maka orang itu dianggap telah melakukan
kejahatan atau tindak pidana. Salah satu bentuk pola
perilaku yang mengganggu masyarakat adalah pola
perilaku kekerasan yang apabila dipergunakan sedemi-
kian rupa sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan
fisik maupun psikis. (Aris Gosita, 1993: p.55).
Perilaku ini dapat dikualifikasikan sebagai keja-
hatan dengan kekerasan menunjuk kepada tingkah laku
yang bertentangan dengan undang-undang. Secara po-
tensial, perilaku kekerasan yang sudah ada pada manu-
sia sejak masa bayi dan tetap ada sampai usia lanjut, baik
pada kaum lelaki maupun perempuan. (Adi Sukadana
1999: p. 45). Manifestasi perilaku kekerasan ini berbeda-
beda dalam hal ini jenis, bentuk frekuensi, dan inten-
sitasnya. Walaupun ada yang tidak setuju atau kurang
setuju dengan perilaku kekerasan, masyarakat di mana-
17
semua perilaku kekerasan.
melekat pada tiap masyarakat juga ia merupakan
sesuatu yang normal, seperti yang ditulis oleh E.
Durkheim bahwa oleh karena kejahatan itu melekat
pada tiap masyarakat, maka ia merupakan fenomena
sosial. Manusia seolah-olah tidak dapat menghindar dari
padanya. Oleh karena itu, pelbagai ahli muncul dengan
berbagai konsep dalam melihat permsalahan konflik dan
kekerasan. Hal ini mengakibatkan jatuhnya banyak
korban harta benda maupun jiwa manusia. (Emile
Durkheim, 1991: p. 30). Perkelahian ini merupakan peri-
laku kekerasan yang dilakukan baik terhadap orang
maupun harta benda. Akibat dari perilaku ini orang
menderita luka-luka pada fisik, keadaan pingsan mau-
pun kematian serta harta benda menjadi rusak dan
musnah. Hal ini disebabkan karena yang berkelahi
memakai alat bantu seperti parang, panah, batu untuk
melempar, dan bom molotov.
kekerasan ini digolongkan ke dalam perbuatan kejahatan
kekerasan. Perkelahian di antara penduduk di beberapa
desa dan kelompok dapat digolongkan sebagai konflik
kekerasan itu merupakan suatu fenomena yang sudah
tidak asing lagi bagi mereka. Baik hanya persoalan
remaja maupun persoalan ekonomi yang dapat menye-
babkan persentuhan yang tidak diingini oleh kedua
belah pihak, sehingga menimbulkan korban baik harta
18
seseorang dapat dikatakan merupakan unsur kebudaya-
an dari suatu masyarakat. Selain itu, yang paling men-
dasar dari adanya perkelahian boleh dikatakan sebagai
kausanya adalah dendam lama yang belum terbalaskan.
Dendam ini selalu dituturkan dari orang tua yang
mulanya menjadi korban, kepada anaknya dilanjutkan
terus ke keturunan berikutnya.
konflik dan kekerasan itu perlu dijelaskan dengan
menelaah kaitannya dengan skala nilai sosial, aspek
budaya, serta faktor struktur masyarakat yang bersang-
kutan. Berdasarkan pemahaman tersebut maka perbuat-
an seperti ini dikatakan sebagai perbuatan yang dikua-
lifikasikan sebagai kejahatan yang berlatar belakang
konflik kekerasan. Penggunaan kekerasan dengan te-
rang-terangan dalam bentuk perkelahian fisik baik antar
pribadi maupun antar kelompok biasanya dianggap
sebagai refleksi nilai-nilai dasar suatu bagian masya-
rakat. Seperti yang dikemukakan oleh Wolfgang bahwa
“overt use of force or violence, either in relationship or in
group interaction, is generally viewed as a reflection of basic
values”. Kadang-kadang konflik yang sudah merupakan
kebiasaan itu merupakan rangsangan yang berbahaya
untuk melakukan tindakan yang sifatnya kriminal. Hal
ini terlihat apabila dalam berinteraksi dengan orang lain
yang memepunyai karakter yang sama. Berbagai upaya
telah dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun
oleh pemuka agama setempat, namun hal itu tidak dapat
19
timbul lagi.
berpendidikankah mereka? Tidak dipidanakah mereka?
Terisolasikah mereka? Jawaban atas pertanyaan-per-
tanyaan di atas adalah tidak, karena tidak sedikit pen-
duduk desa yang mengecap pendidikan formal hingga
perguruan tinggi. Sekurang-kurangnya penduduk yang
berusia sekolah dan yang lebih tua mengecap pendi-
dikan formal sampai ketingkat sekolah dasar. Seba-
hagian besar antara keluarga-keluarga penduduk mem-
punyai anak-anak yang memegang jabatan penting di
pemerintahan, beberapa dari para pelaku yang terlibat
dalam perkelahian yang pernah terjadi telah diproses di
pengadilan dan telah memperoleh pidana yang mem-
punyai kekuatan hukum tetap dan sudah menjalani
pidananya.
kukan dengan menerapkan hukum pidana, yaitu men-
cari unsur dengan menerapkan hukum pidana, yaitu
mencari unsur-unsur kesalahan yang cocok dengan nor-
ma-norma hukum pidana yang dilanggar, kemudian
hakim menjatuhkan pidana sesuai dengan ancaman
pidana yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan
perkataan lain, usaha untuk memberlakukan atau me-
nerapkan hukum pidana terhadap kejahatan kekerasan
ini demi penegakkan hukum telah dilakukan, namun
hasilnya kurang memuaskan.
terjadi, yang telah menjalani pidananya di lembaga
pemasyarakatan terlibat kembali pada waktu terjadi
perkelahian lagi. Hal ini disebabkan karena kausa dari
permasalahan ini tidak terselesaikan. Yang diselesaikan
selama ini hanya gejalanya saja dengan menjadi kausa
atau latar belakang permasalahan tersebut dan mencoba
untuk menemukan cara dan metode penyelesaian.
Penyelesaikan gejala ini hanya mengandalkan
kekuatan hukum pidana sajakah? Untuk menyelesaikan
gejala tersebut mengingat apa yang telah dikemukakan
di atas bahwa ada faktor-faktor subkultur yang men-
dasari perkelahian fisik yang merupakan konflik dan
kekerasan ini. Gejala konflik ini akan dikaji dari pen-
dekatan sobural suatu (akronim dari “skala nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat”) dari masyarakt yang bersangkutan dengan difokuskan pada
budaya kekerasan. Hukum pidana memamg merupakan
sarana hukum yang diandalkan, namun hukum pidana
itu sendiri harus membuka diri terhadap kenyataan
skala nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural
masyarakat yang bersangkutan. (J.E. Sahetapy, 1992: p.
58-65)
karena kejahatan selalu interen dalam setiap masyarakat.
Untuk hal ini diharapkan bentuk penyelesaian non-penal
juga di ikut sertakan sebagai suatu bentuk kebijakan
kriminal, oleh karena sumber kejahatan ini dan moti-
vasinya terletak pada nilai-nilai budaya masyarakat itu.
21
bertalian dengan sobural. Dalam perspektif ini perlu
dikaji konflik dan pendekatan secara sobural dalam
kerangka kriminal, akibat kurang berhasilnya penye-
lesaian dari perspektif pemindaan berdasarkan hukum
pidana. Dengan demikian kebijakan kriminal menyang-
kut permasalahan kejahatan tidaklah terlepas dari
sobural masyarakat yang bersangkutan.
kebijakan politik hukum terhadap terjadinya konflik di
beberapa daerah pada umumnya. Pada dasarnya
berlawanan dengan empirisme, positivisme atau pan-
dangan bahwa pengertian hanya mungkin dilakukan
dengan mempelajari fakta-fakta masyarakat dan feno-
mena. Grand Teory yang dikemukakan oleh Hans. J.
Morgenth dalam bukunya yang terkenal “Politics Among
Nations” menekankan pada konsep keseimbangan,
pengambilan keputusan, sistim dan bentuk komunikasi
sebagai sarana dasar perangkat pengatur (central
organizing device) untuk mengkaji hubungan inter-
nasional. (Hans. J. Morgenth, 1999: p. 33-35).
Seperti diketahui kriminologi adalah kumpulan
dari berbagai ilmu perihal sebab-sebab causa kejahatan
(termasuk kekerasan), sebagai masalah manusia (ilmu ini
ditunjang oleh sejumlah disiplin ilmu lainnya seperti:
Antropologi, Sosiologi, Hukum Pidana, Psikiatri,
Psikologi, Biologi dan sebagainya. Akan tetapi menurut
Sellin sebenarnya belum ada seseorang yang betul-betul
ahli dalam semua bidang ilmu pengetahuan tersebut
yang penting untuk mempelajari kejahatan kekerasan.
22
ini antara kriminolog sendiri masih mempunyai kon-
sepsi yang beraneka ragam mengenai peristilahan keja-
hatan dan penjahat. Kejahatan adalah suatu kata yang
menggambarkan perbuatan-perbuatan, bukan sesuatu
jahat.
Hak Azasi Manusia (HAM) menurut Jan Materson dari
Komisi Hak Azasi Manusia Perserikatan bangsa-bangsa
(PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada
manusia, tanpa manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia. Pada dasarnya HAM terdiri atas dua hak dasar
yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak
kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang
lainya, tanpa kedua hak dasar ini, hak azasi manusia
lainya akan sulit ditegakkan. (Baharudin Lopa, 1996: p.
1-3).
atas martabat manusia dan nilai-nilai substansi kema-
nusiaan. Sedemikian urgennya persoalan hak azasi
manusia tidak mengherankan jika masalah ini menjadi
topik pembahasan bagi para filosof, pemimpin agama,
kaum politisi, sosiolog, ahli hukum, ahli ekonomi dan
sastrawan. Tidak mengherankan bahwa hak-hak ter-
sebut menjadi sebab bagi peristiwa-peristiwa sejarah
besar yang dalam beberapa keadaan berakhir dengan
terjadinya revolusi politik, sosial, perkembangan
pemikiran, perubahan hukum dan perundang-undang-
23
maupun internasional.
esensial yang harus dijamin perlindungannya. Hanya
dengan perlindungan kemanusiaan dan kepentingan
yang rasional, negara berhak untuk membatasi kebe-
basan yang dimiliki warga negara. Hal ini pulalah yang
merupaka salah satu ciri negara hukum, perlindungan
hukum terhadap warga negara dengan prinsip HAM
merupakan salah satu syarat penting yang harus di-
tegakkan. Dapat dikatakan pula bahwa pengakuan dan
perlindungan terhadap hak azasi manusia mendapat
tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan utama
dari negara hukum. (Philipus M. Hadjono, 1987: p. 71).
Dalam ajaran agama Islam larangan agar konflik
dan kekerasan sosial terhadap pembunuahan manusia
pertama.
(27)
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil
dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mem-
persembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari
mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain
(Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Ber-
kata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban)
24
(Ayoub Muhmud Mustofa: 2000)
dituntut untuk melindungi hak azasi bagi sesamanya
termasuk orang kafir yang meminta perlindungan.
Namun demikian, Islam telah mengatur prinsip-prinsip
hak persamaan dan hak kebebasan secara seimbang dan
saling melengkapi. Bahkan Islam menekankan agar lebih
dahulu melaksanakan kewajiban asasi, selanjutnya diim-
bangi dengan tuntutan hak asasi. Begitu juga dalam hal
pergaulan dengan sessama muslim, sebagaimana hadis
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yang artinya:
Bersabda Rasulullah s.a.w.: “Seseorang muslim
sebagai saudara kepada sesama muslim, tidak boleh meng-
aniaya atau menbiarkan dianiaya. Dan siapa yang sedang
menyampaikan hajat saudaranya, maka Allah akan melak-
sanakan hajatnya. Dan siapa yang membebaskan kesukaran-
nya dihari kiamat. Dan siapa yang menutupi kejelekan seorang
muslim, Allah akan menutupi kejelekannya dihati kiamat.” Dari uraian tersebut secara tegas Islam meng-
ajarkan bahwa manusia mempunyai kewajiban melin-
dungi serta melindungi kehormatannya seperti tidak
saling menganiaya, kewajiban membebaskan kesukaran
orang lain serta kewajiban untuk tidak mengungkap aib
atau kejelekan orang lain. Manusia mempunyai kewa-
jiban melindungi orang lain dan manusia pun memer-
lukan kehidupan yang bebas dari ancaman terhadap
keselamatan jiwa dan raganya, dan Allah akan mem-
balas yang setimpal di akhirat nanti dari apa yang telah
25
sangat berbeda dengan prinsip pengaturan dan perlin-
dungan HAM sebagaimana pemikiran barat yang lebih
mengedepankan tuntan hak dengan tidak diimbangi
untuk melaksanakan kewajiban.
bagai tipe gangguan. Sebagai sosial heritage, teori ini
dimulai tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku
komsutif kelas menengah di Amerika. Teori sub-culture
sebenarnya dipengaruhi kondisi intelektual (intelectual
heritage) aliran Chicago, konsep Anomie Robert K.
Merton dan Selomon Kobrin yang melakukan pengujian
terhadap hubungan antara gang jalanan dengan laki-laki
yang berhasil dari komunitas kelas bawah (lower class).
(Romli Atmasasmita, 1999: p. 78). Hasil pengujiannya
menunjukkan bahwa ada ikatan antara hirarki politis
dan kejahatan teroganisir. Karena ikatan tersebut begitu
kuat sehingga Kobrin mengacu kepada “kelompok
pengontrol tunggal”(single controlling group) yang
melahirkan konsep komunitas integrasi.
adalah mengatur agar manusia dapat mengerti bagai-
mana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.
Istilah budaya berasal dari kata culture yang merupakan
istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebu-
dayaan, berasal dari kata latin "colere" yang berarti
26
petani. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk
menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya
dapat diabdikan pada keperluan masyarakat.
Cipta merupakan kemampuan mental, kemam-
puan berpikir dari orang-orang yang hidup bermasya-
rakat dan antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan, baik yang berwujud murni, maupun yang
telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehi-
dupan sehari-hari. Rasa dan Karsa dinamakan kebu-
dayaan rohaniah (spiritual dan immaterial culture). Dalam
konteks ini, hasil rasa masyarakat mewujudkan norma-
norma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang sangat perlu
untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan
kemasyarakatan. Hal ini dimaksudkan untuk melin-
dungi dari kekuatan-kekuatan yang buruk yang tersem-
bunyi dalam masyarakat. Dengan demikian, hakikatnya
penciptaan norma-norma dan kaidah-kaidah adalah
merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana ma-
nusia harus bertindak dan berlaku di dalam pergaulan
hidup.
dinamakan pola-pola perilakuan (pattern of behavior).
Pola-pola perilakuan tersebut adalah cara-cara bertindak
atau berkelakuan yang sama daripada orang-orang yang
hidup bersama dalam masyarakat yang harus diikuti
oleh semua anggota masyarakat tersebut. Pola perila-
27
yaannya.
E. B. Taylor dalam Soekanto (1996: p. 55) mem-
berikan definisi mengenai kebudayaan ialah; "kebuda-
yaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan
kepercyaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
lain kemampuan-kemampuan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat".
Soekanto (1996: p. 55) merumuskan "kebudayaan sebagai
semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Koentjaraningrat Dari asal arti tersebut yaitu "colere" ke-
mudian "culture" diartikan sebagai segala daya dan
kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam
(Koentjaraningrat dalam Soekanto, 1969: p. 55).
Sedangkan ciri-ciri kebudayaaan adalah sebagai
berikut; Pertama, merupakan budaya sendiri yang berada
di daerah tersebut dan dipelajari. Kedua, dapat disam-
paikan kepada setiap orang dan setiap kelompok serta
diwariskan dari setiap generasi. Ketiga, bersifat dinamis,
artinya suatu sistem yang berubah sepanjang waktu.
Kelima, bersifat selektif, artinya mencerminkan pola
perilaku pengalaman manusia secara terbatas. Keenam,
memiliki unsur budaya yang saling berkaitan. Dan
ketujuh, etnosentrik artinya menggangap budaya sendiri
sebagai, budaya yang terbaik atau menganggap budaya
yang lain sebagai budaya standar.
28
teori sub-culture, yaitu:
cahkan masalah bagaimana kenakalan sub- culture
dimulai menggabungkan perspektif teori Disorganisasi
sosial dari Shaw dan McKay, teori Differential Associsntion
dan Edwin H. Sutherland, dan teori Anomie Cohen
berusaha menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku
delinkuen di daerah kumuh (slum). Karena itu, konklusi
dasarnya menyebutkan bahwa perilaku delinkuen di
kalangan remaja, usia muda masyarakat kelas bawah,
merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan
nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi
kultur Amerika.
budaya yang oleh Cohen disebut sebagai “status
frustration”. Akibatnya, timbul keterlibatan lebih lanjut
anak-anak kelas bawah dalam gang-gang dan berprilaku
menyimpang yang bersifat “nonutilitarian, malicious and negativistic (tidak berfaedah, dengki, dan jahat)”.
Konsekuensi logis dari konteks di atas karena
tidak adanya kesempatan yang sama dalam mencari
status sosial pada struktur sosial maka para remaja kelas
bawah akan mengalami problem status dikalangan
remaja. Akhirnya, Albert K. Cohen bersama james Short
melakukan klasifikasi sub-sub budaya delinkuen,
menjadi:
29
originally identified to delinguent boys.
b. The conflict-oriented sub-culture the culture of a large
gang that angages in collective violence.
c. The drug addict sub-culture groups of youth whose lives
revolve around the purchase sale. Use of narcotics.
d. Semi profesional theft-youths who angage in the theft or
robbery of merchandise for the purpose of later sale and
monetary gain.
because of the pressures of livimg in middle-class environ-
ments.
tunity) dikemukakan Richard A.Cloward dan Leyod
E.Ohlin dalam bukunya Delenquency and Opportunity: a
Theori of Deelinquent Gang yang membahas prilaku
delinkuen kalangan remaja (gang) di Amerika dengan
Prespektif Show dan Mckay serta Sutherland.
Menurut Cloward terdapat struktur kesempatan
kedua yang tidak dibahas teori anomie Robert K. Merton
yaitu adanya kesempatan yang tidak sah (The Illegitimate
Opportunity Strukture). Pada dasarnya teori Defferential
Opportunity berorientasi dan membahas penyimpangan
di wilayah perkotaan. Penyimpangan tersebut meru-
pakan fungsi perbedaan kesempatan yang dimiliki anak-
anak untuk mencapai tujuan legal maupun ilegal. Untuk
itu, Cloward dan Ohlin mengemukakan 3 (tiga) tipe
gang kenakalan Sub-culture, yaitu:
kelompok pada remaja yang belajar dari orang
dewasa. Aspek itu berkorelasi dengan organisasi
kriminal. Kriminal sub-culture menekankan aktivitas
yang menghasilkan keuntungan materi, uang atau
harta benda dan berusaha menghindari penggunaan
kekerasan.
liki struktur kesempatan dan lebih banyak mela-
kukan perilaku menyimpang (mabuk-mabukan,
(c) Conflict Sub-culture, terdapat dalam suatu masya-
rakat yang tidak terintegrasi, sehingga suatu orga-
nisasi menjadi lemah. Gang sub-culture demikian ini
cenderung memperlihatkan perilaku yang bebas.
Ciri khas gang ini seperti adanya kekerasan, peram-
pasan harta benda, dan perilaku menyimpang lain-
nya.
mampu melaksanakan kebajikan dan meninggalkan
kemungkaran. Sebagaimana diserukan Allah agar manu-
sia memperoleh keuntungan maka melaksanakan
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mence-
gah dari yang munkar. Sedangkan konsep keadilan
dalam hukum adalah keadilan yang dapat meujutkan
ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar
bagi masyarakat.
31
pandang bulu, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap keluarganya, kerabatnya maupun kaum/
golongannya. Allah juga menegaskan agar menegakan
keadilan dan kebenaran secara objektif dengan meng-
hindari hal-hal yang bersifat subjektif, antara lain
mengikuti hawa nafsu dan rasa kebencian golongan.
(lihat Q.S. al-Nisaa (4: 58))
Dari beberapa firman Allah swt., dapat dijadikan
ukuran bahwa dalam menegakkan keadilan terkandung
di dalamnya:
nepotism).
Nawawi Arif, 2008: p. 9-12).
Dengan demikian dalam hukum Islam meman-
dang keadilan itu sangat komrehensif, bahkan sangat
menyentuh pada kehidupan manusia itu sendiri. Dalam
islam, Allah meminta manusia agar tidak merusak ke-
adilan (keseimbangan). Bila salah satu tidak berdasarka
keadilan, maka seluruh sistim jagat raya akan terganggu.
Dalam bahasa hukum alam keadilan adalah sifat kene-
tralan atau berfungsinya dua hal yang berbeda. (Rifyal
Ka’bah, 1999: p. 28)
Konflik norma-norma tingkah laku dapat timbul
dalam berbagai cara seperti adanya perbedaan-perbe-
daan dalam cara hidup dan nilai sosial yang berlaku di
32
bisa mengharapkan terjadinya konflik norma dengan
berpindahnya orang desa ke kota. Tentu saja tingkat
konflik tersebut dapat berbeda-beda. Konflik antara
norma-norma dari aturan-aturan kultural yang berbeda
dapat terjadi antara lain.
dapat terjadi apabila aturan-aturan tersebut ber-
benturan pada batas di daerah kultur yang berdam-
pingan. Misalnya bertemunya orang-orang kulit
putih dengan orang-orang Indian di Amerika di
mana bukan hanya terjadi kontak budaya dengan
orang kulit tetapi juga agamanya, cara-cara bisnis
dan minuman kerasnya yang dapat melemahkan
suku Indian tersebut.
perluas daerah berlakunya terhadap budaya yang
lain. Hal ini terjadi dengan norma hukum di mana
undang-undang suatu kelompok kultural diper-
lakukan untuk daerah lain. Misalnya diberlakunya
Hukum Perancis terhadap Suku Khabile di al Jazair.
Juga dalam kasus di mana hukum soviet diber-
lakukan di Serbia.
orang yang hidup dengan budaya tertentu kemu-
dian pindah ke daerah lain dengan budaya yang
berbeda. Misalnya terjadi pada orang-orang sicilia
yang pindah ke Amerika, maka dia akan tunduk
33
vandetta).
antar konflik primer dan konflik sekunder. (Sudarto,
1999: p. 159). Konflik primer dapat terjadi ketika norma
dari dua kultur, bertentangan. Pertentangan ini dapat
terjadi pada batas areal kultur yang dimiliki masing-
masing, ketika hukum dari kelompok lain muncul
kepermukaan daerah/ teritorial lain atau ketika orang-
orang satu kelompok pindah pada kultur lain.
Sedangkan Konflik Sekunder timbul ketika dari
sebuah kultur kemudian terjadi varietas kultur, salah
satunya dibentuk penormaan sikap/tabiat. Tipe konflik
ini terjadi ketika kesederhanaan kultur pada masyarakat
yang homogen berubah menjadi masyarakat yang
komplek. (A. Mulder, 2008: 23). Asumsi dasar teori kon-
flik berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut:
a) Konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam
masyarakat.
perubahan. Sehingga disetiap perubahan, peranan
kekuasaan terhadap kelompok masyarakat lain
terus terjadi.
d) Dalam kompetisi, penggunaan kekuasaan hukum
dan penegakan hukum selalu menjadi alat dan
mempunyai peranan penting dalam masyarakat.
34
konflik menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang
berbeda.
minkan kekuasaan politik.
memiliki kekuasaan politik.
memelihara kekuasaanya. (Sudarto, 2001: p. 150)
Berangkat dari asumsi dasar dan prinsip-prinsip tersebut di atas maka bentuk konflik dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: (Lilik Mulyadi, 2004: p. 101)
(1) Konflik konservatif
penggunaanya. Teori ini beranggapan bahwa konflik
terjadi di antara kelompok-kelompok yang mencoba
menggunakan kontrol atas suatu situasi. Teori konflik
mempunyai asumsi bahwa siapa yang memiliki kekua-
saan lebih tinggi dalam kelas sosial akan memiliki
powerful members pada masyarakat. Dengan kekuasaan
nya tersebut mereka dapat mempengaruhi pembuatan
keputusan, juga dapat memaksakan nilai-nilai terhadap
kelas sosial yang lebih rendah.
Pada proses pembentukan hukum, kelas sosisal
yang lebih dominan dalam masyarakat akan mengguna-
35
dengan nilai-nilai mereka. Kelas sosaial mereka akan
menjadi pemegang dan siapa yang menentang mereka
akan menjadi target dari penegak hukum.
Teori konflik konservatif juga mengemukakan
hubungan antara penggunaan kekuasaan dan pemben-
tukan hukum. Pembentukan hukum merupakan perwu-
judan nilai-nilai para pembuatanya, hukum dalam me-
nentukan pembuatan kriminalisasi lebih diarahkan
kepada mereka yang berada di luar kelompok pemegang
kekuasaan. (Lilik Mulyadi, 2001: p. 17).
Dua teori konflik yang mengilustrasikan
karakteristik bentuk konflik adalah George B. Vold dan
Austin T. Vold. Keduanya melahirkan suatu teori
dengan menekankan bahwa dalam suatu masyarakat
terdapat kelompok alamiah dan berbagai kelompok
kepentingan yang berlomba terhadap kelompok alamiah
lainnya. Vold menilai, di antara kelompok tersebut akan
terjadi konflik kepentingan dan berkompetisi. Vold
berbicara mengenai adanya konflik dalam hukum
pidana, sebagai berikut: “the whole process of law making,
law breaking, and law enforcement directly refleas deep-seated
and fundamental conflics between group interest and the more
general struggles amomg group for control of the police of the
state”. (Welker, Negel, 1987: p. 87).
Akhirnya Vold berpendapat bahwa sejak kelom-
pok minoritas tidak memiliki kekuatan untuk mem-
pengaruhi proses legislatif, tingkah laku mereka akan
dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. George
menganalisis mengenai konflik, kekuasaan, dan keja-
36
merupakan produk kekuasaan politik dalam masyarakat
yang heterogen.
tengtang law making, law breaking and law enforcement.
Perilaku kejahatan menjelaskan dalam hubungan
ideologi konflik di mana konflik timbul, berakibat,
sebagai akses dari kelompok minoritas dengan sedikit
atau tanpa kekuasaan yang mempengaruhi perubahan
dalam hukum.
mengatakan bahwa ketertiban masyarakat merupakan
hasil dari kekuasaan kelompok tertentu untuk mengon-
trol masyarakat itu sendiri. Kontrol ini adalah pemak-
saan dari penempatan nilai-nilai ke dalam hukum dan
kemudian adanya kekuasaan untuk menegakkan hu-
kum. Turk memulai konflik dengan artikel yang
disebutnya sebagai “the study of criminality as opposed to
criminal behavior”.
penjahat dalam hubungan antara penguasa dan subyek.
Turk kemudian menyatakan bahwa kejahatan meru-
pakan status yang diperoleh penentang norma, yang
37
yang penting. Turk melihat bahwa penguasa harus
menghadapi fakta dalam kehidupan, yang biasa nya me-
merlukan alat untuk menjalankan kekuasaanya.
Lebih lanjut, turk mengemukakan dua cara yang
dipergunakan untuk mengontrol masyarakat. Pertama,
penguasa menggunakan paksaan atau kakuatan fisik.
Penguasa lebih banyak menggunakan paksaan agar
hukum ditaati. Hal ini diperlukan karena mereka merasa
kesulitan untuk mengontrol masyarakat. Bentuk kontrol
yang kedua, lebih bersifat halus. Menurut mereka,
hukuman merupakan sesuatu yang penting. Karena itu
terdapat dua tipe hukum, yaitu:
a. Aturan dari petugas tengtang bentuk perilaku jahat
beserta pidana yang dikenakan.
orang-orang melalui penilaian sistem hukum. Di-
gunakannya proses hukum ini memperlihatkan
para penguasa menggunakan kontrol secara halus.
(2) Konflik Radikal
ekonomis menuju perbedaan nilai. Sangat sulit untuk
menentukan pendekatan apa yang digunakan.Para
tokoh teori ini adalah Camblis, Quinney, Gordon Bohm,
dan K. Mark. Semua versi dari tokoh-tokoh di atas
menyesuaikan uraiannya terhadap pendapat Marx.
Ketika Marx sangat sedikit menyinggung masalah keja-
38
menyesuaikan contoh-contoh umum masyarakat untuk
menjelaskan mengenai kejahatan.
disebabkan adanya hak manusia atas sumber-sumber
tersebut, khususnya mengenai kekuasaan. Ketidak-
samaan ini tercipta karena konflik kepentingan antara
yang memiliki dan yang tidak memiliki kekuasaan.
Dalam masyarakat industri, konflik akan
timbul di antara para pekerja dan kaum pemilik modal.
Para pekerja, yang merupakan kaum buruh, akan
mengembangkan prinsip perebutan (struggle), dan
mereka menganggap kedudukan sebagai pemilik modal
dalam masyarakat merupakan hal yang sangat menarik
perhatian.
merupakan:
cipta dalam proses pembuatan hukum. Menurut kaum
radikal, terdapat dua hal yang menyebabkan kelompok,
yakni perebutan kepentingan dan persepsi terhadap
konflik. Biasanya, konflik kepentingan tercipta dalam
proses pembuatan hukum.
nya merupakan alat dari kaum rulling class. Pengertian
kejahatan dalam hukum merupakan refleksi pada
konsep kapitalisme. Sedangkan perilaku rulling class
secara umum tidak ditempatkan di bawah hukum pi-
dana.
jumlah buruh sebagai suatu permasalan dalam masya-
rakat kapitalis. Berlebihnya buruh akan menyebabkan
gaji rendah, tetapi berlebihnya jumlah buruh yang
sangat besar akan menimbulkan permasalahan.
Selanjutnya, Spitzer mengemukakan lima tipe
akibat berlebihnya jumlah buruh yang diakatakan
sebagai population problem, yaitu:
2. Mereka akan menolak untuk bekerja;
3. Mereka tetep menggunakan obat bius;
4. Mereka menolak untuk sekolah atau tidak percaya;
terhadap yang diperoleh dari kehidupan keluarga;
5. Mereka akan mengusulkan suatu masyarakat yang
nonkapitalis.
bagian dari politik, maka hukum pidana mengandung
arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan meru-
muskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
40
mana dikemukakan Marc Ancel, yang mempunyai arti
sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum
pidana. (Barda Nawawi Arif,1996: p. 29).
Selanjutnya dikatakan oleh Sue Titus Reid bahwa
apabila didasarkan pada pendekatan hukum, maka
“crime is an act defined by law unless the elements specified by statuory or case law are present anda proved beyond a
reasonable doubt, a person may not convicted or a crime”. Jadi menurut Sue Titus Reid, (Topo Santoso, 2001: p. 45) untuk
merumuskan kejahatan secara hukum, maka ada hal-hal
yang perlu diperhatikan yaitu:
dipidana hanya karena pikirannya, melainkan harus
ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak.
Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan
kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum
untuk bertindak dalam kasus tertentu.
2) Merupakan pelanggaran hukum pidana.
3) Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau
pembenaran yang diakui secara hukum.
4) Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu
kejahatan atau pelanggaran.
Robert Merton Social theori and social cultur dalam
mengkaji pemisahan studi empiris yang dikemukakan
oleh Tolcott Person. Dia menjelaskan dalam Colture
Conflict sebagai teori yang berbohong, tapi diperlukan
hipotesis yang berkembanga dan usaha-usaha yang
41
Culture Conflict telah menjadi bagian dasar sosiologi
seperti: reteatisme, ritualisme, manifest, dan latent functions,
opportunity struktur, paradikma, reverece grup, rolesets, self
fulfilling propechy dan unitended concequence.
Pemikiran dalam Culture Conflict secara langsung
atau tidak lanngsung dapat mempengaruhi pandang ahli
sosilog Menurut J. E. Sahetapy, apa yang dinamakan
kejahatan itu sebenarnya merupakan suatu abstraksi
mental, suatu penamaan perwujudan yang secara relatif
berakar pada tempat, waktu, skala nilai sosial, aspek
budaya, dan faktor struktural suatu masyarakat. Apabila
konotasi mengenai apa yang dinamakan kejahatan itu
kemudian dijabarkan melalui suatu mekanisme dan
proses dalam masyarakat tertentu sehingga akhirnya
dapat tertuang dalam suatu bentuk ketentuan tertulis
dengan akibat suatu sanksi bila dilanggar, barulah hal
itu mempunyai arti dan fungsi yang konkrit. (Gwynn
Nettler, 1978: p. 23-34).
suatu bentuk perilaku menyimpang yang dapat di-
jumpai dalam masyarakat. Mengenai perilaku menyim-
pang (deviance) ini bergantung juga pada penamaan
terhadap perilaku tertentu suatu budaya atau masya-
rakat tertentu. (Refisrull dkk, 2004: 81) Dengan demikian
suatu perilaku dianggap menyimpang (deviance) dapat
dilihat dari sudut pandang kelompok tertentu dan
dalam kurun waktu tertentu. Demikian juga dengan apa
yang dinyatakan salah dan benar.
42
satu bagian dari gaya hidup dan ini semua dengan teori
sub culture of violence menurut Walfgang yang
mengatakan sumber-sumber kultur dari kejahatan ke-
kerasan terletak pada berseminya sub kebudayaan
kekerasan yang merupakan nilai-nilai dan norma-norma
yang mendukung pola perilaku kekerasan.
Ada dua pandangan yang memberi arti bagi
perilaku menyimpang ini yaitu: pertama, perspektif
etiologis, yang mengatakan bahwa perilaku menyim-
pang adalah bertentangan dengan atau pelanggaran
terhadap aturan-aturan dan norma-norma yang diharap-
kan. Sedangkan perspektif kedua, yaitu perspektif reaksi
sosial, menyatakan bahwa perilaku menyimpang dide-
finisikan dalam arti reaksi sosial terhadap atau atas
suatu kelakuan.
masalah kejahatan, terhadap berbagai sudut pandang
dalam melakukan analisis terhadap masalah kejahatan
yaitu:
dipandang dari segi struktur sosial dan dampaknya;
teori-teori ini melihat masyarakat itu ada kelompok-
kelompok sosial atau starata sosial yang mem-
punyai ciri-ciri tertentu. Dari perspektif teori ini
adanya penyimpangan tingkah laku disebabkan
karena kondisi ekonomi dalam masyarakat atau
kondisi struktur sosial masyarakat. Teori ini misal-
nya, teori anomi dan teori konflik.
43
sekelompok orang melakukan kejahatan; teori ini
banyak ditekankan pada kejahatan dan pelakunya,
atau kejahatan dan penjahat. Teori-teori ini misalnya
teori labeling (labeling theory) dan teori kontrol sosial
(social control theory).
menjelaskan kejahatan dalam konteks kolektif atau
dalam perbedaan subkultur. (J.E. Sahetapy, 1989: p.
9).
Indonesia ditandai adanya perbedaan agama yang dia-
nut, bahasa, watak, serta nilai budaya yang sukar dipa-
hami oleh orang lain yang bukan berasal dari sukunya
sendiri. Masyarakat pluralistik di kota-kota besar seperti
Jakarta seringkali menimbulkan permasalahan sendiri
yang ditandai oleh adanya ketegangan sosial, sebagai
akibat benturan sistem nilai budaya yang dibawa oleh
penduduk yang berasal dari kelompok etnis yang
berlainan ini yang terjadi dibeberapa daerah seperti
dayak kalimantan dengan Madura. Mengenai konflik
kekerasan secara yuridis pengertiannya belum diatur
dengan jelas dalam KUHP. Bentuk kejahatan ini diatur
dalam Buku II KUHP, sedangkan Pasal 89 KUHP hanya
menyebutkan bahwa membuat orang menjadi pingsan
atau tidak berdaya lemah, dapat disamakan dengan
menggunakan kekerasan. Melakukan kekerasan dapat
diartikan sebagai menggunakan tenaga atau kekuatan
jasmani yang tidak kecil, misalnya, memukul dengan
44
sebagainya. (Moelyatno, 1999: p. 90).
Kekerasan (violence) adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang menuju pada pembinaan seseorang,
hewan, atau sesuatu objek. Dengan demikian dapat di-
katakan bahwa apabila kekerasan yang digunakan sede-
mikian rupa sehingga mengakibatkan terjadinya keru-
sakan baik fisik maupun psikis yang dilakukan secara
melawan hukum adalah kekerasan yang bertentangan
dengan hukum, oleh karena itu merupakan kejahatan.
Bertolak dari pengertian di atas jelas bahwa konflik
kekerasan menunjuk pada tingkah laku yang harus
bertentangan dengan undang-undang, yang menimbul-
kan akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik
atau mengakibatkan kematian pada seseorang.
Namun dilihat dari pandangan kriminologi,
konflik kekerasan ini menunjuk pada tingkah laku yang
berbeda-beda baik mengenai motif maupun mengenai
tindakannya, seperti perkosaan atau pembunuhan.
Kedua macam kejahatan ini diikuti dengan kekerasan
yang keduanya memiliki motif yang berbeda. Karena
banyak perbedaan dalam motif dan tindakan dalam
kejahatan dengan kekerasan, maka sulitlah untuk
menentukan kausa dari kejahatan tersebut.
Apabila dianalisis dari perspektif sobural, maka
(kejahatan) kekerasan dapat dikategorikan sebagai:
a) Kekerasan kolektif, yaitu bentuk kekerasan yang
didukung oleh kultur. Bentuk kekerasan semacam
ini berbentuk institusional.
kekerasan pribadi.
disebut kekerasan sosial.
bersumber pada atau di dorong oleh apa yang di-
namakan sara (akronim dari suku, agama, ras antar
golongan).
berikut:
yang bersifat agresif disebabkan karena amarah atau
perasaan takut yang meningkat.
lingkungannya.
tingkah laku perorangan yang bersifat kekerasan
dengan tujuan tertentu.
yang melibatkan kelompok tertentu yang ditujukan
untuk mencapai tujuan tertentu. (Romli Atma-
sasmita, 1992: p. 56).
kekerasan yang telah dikemukakan di atas dikaitkan
dengan bentuk kekerasan yang berupa perkelahian antar
penduduk, maka dapatlah dikatakan perkelahian fisik
antar penduduk ini dapat digolongkan sebagai keke-
rasan antar kelompok (intergroepsgeweld). Hal ini
disebabkan karena perkelahian itu sendiri melibatkan
46
Selain itu perkelahian ini juga merupakan pencetusan
dari emotional violence yang menunjuk pada tingkah laku
yang bersifat agresif disebabkan karena amarah dari
mereka yang terlibat perkelahian. Menurut Hacker tidak
semua agresi merupakan kekerasan, namun sebaliknya
semua kekerasan adalah merupakan agresi. Kekerasan
sifatnya lebih terbuka atau terang-terangan secara fisik.
(M. M. Djojodigoeno, 1998: p. 24-27). Selanjutnya Hacker
menulis bahwa kekerasan merupakan jalan pintas atau
pelarian terakhir untuk menyelesaikan masalah.
Seringkali cara penyelesaian lain yang lebih baik
tidak perlu digunakan. Seringkali juga orang meng-
gunakan kekerasan oleh karena tidak mempunyai
alternatif lain. Kebanyakan mereka yang terlibat dalam
perkelahian antar penduduk desa itu merasa bahwa
dengan perkelahian masalah dapat diselesaikan. Namun
sebaliknya, dengan perkelahian tersebut menjadikan
masalahnya makin membesar dan berkepanjangan.
Selain itu, dalam situasi tertentu juga kekerasan dapat
menimbulkan rasa kebanggaan seseorang dan sering
dipakai untuk mengejar kehormatan yang tidak patut
secara tidak benar. (Ronny Nitibaskara, 1993: p. 233).
Dalam menelaah Resolusi konflik ini M.
Wolfgang dan F. Ferracuti mengetengahkan proposisi
antara lain bahwa norma-norma yang mengijinkan dan
mendukung kekerasan sebenarnya terdapat dalam
lingkungan si pelanggar hukum sendiri dan banyak
pelanggaran hukum yang menghayati dan dipengaruhi
oleh norma-norma tersebut. Norma tersebut berasal dari
47
sendiri.
nya perbuatan atau tindakan kekerasan dalam masya-
rakat adalah teori subkultur kekerasan (subculture of
violence) diajukan oleh M. Wolfgang dan Franco Ferracuti
di Sadinia, Italia. Dalam konsep yang diajukan mengenai
subkultur kekerasan ini ditulis bahwa tiap penduduk
yang terdiri dari tiap kelompok etnik tertentu dan kelas-
kelas sosial tertentu memiliki sikap yang berbeda-beda
tentang penggunaan kekerasan. Sikap yang mendukung
penggunaan kekerasan diwujudkan ke dalam sepe-
rangkat norma yang telah melembaga dalam kelompok
tertentu dalam masyarakat. Dengan dasar pemikiran
tersebut Wolfgang dan Ferracuti menegaskan bahwa
“subculture of violence represents values that stand apart from the dominat, central, or parent culture of society”. (Soerjono
Soekanto, 1993: p.233). Hal ini berarti bahwa subkultur
yang ada dalam masyarakat.
hasil untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rates of
violence di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat
di Sardinia. bahwa tidak smeua orang dalam setiap
kelompok memiliki nilai-nilai yang dicerminkan dalam
subkultur kekerasan atau sebaliknya subkultur non
kekerasan. Kehormatan, harga diri maupun hak seseo-
rang maupun kelompok merupakan unsur-unsur sub-
kultur tertentu dari suatu masyarakat. Dikatakan sebagai
subkultur, karena hanya menunjuk pada suatu sub-
kategori dari kultur atau budaya secara keseluruhan.
48
dari suatu kultur kebudayaan. Kebudayaan atau kultur
(terjemahan dari culture) mempunyai kedudukan dan
peranan penting di dalam kehidupan manusia. Seperti
dikatakan oleh Koentjaraningrat bahwa hampir seluruh
tindakan manusia adalah “kebudayaan”. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindak dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dija-
dikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan
mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari oleh
manusia sebagai warga masyarakat dari alam dan
masyarakat itu sendiri. Joselin de Jong memberikan
definisi pada kebudayaan atau kultur sebagai keseluruh-
an pernyataan hidup yang tidak turun temurun dari
suatu kelompok manusia yang sadar, bahwa mereka
merupakan suatu kesatuan. Dari apa yang dikemukakan
oleh Tylor dan De Jong di atas tersimpul pengertian
yang sama bahwa dari keseluruhan dari satu pernyataan
hidup manusia, bentuknya tidak ditentukan oleh ke-
turunan. (Soerjono Soekanto,1987: p. 8).
Bertolak dari definisi kebudayaan yang diajukan
oleh A.L Kroeber dan Kluckhon maupun beberapa batasan
mengenai budaya atau kultur yang telah dikemukakan,
maka dapat dikatakan bahwa kultur atau budaya tidak
lain dari kesatuan norma, nilai, sikap serta harapan dari
suatu kelompok orang atau masyarakat. Kekerasan
dapat dikatakan bagian dari kebudayaan atau subkultur
karena kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku
seseorang atau kelompok. Juga karena batasan subkultur
49
serta sifat-sifat badaniah lainnya. (Moeljadno, 1998:
p.102). Dengan demikian konflik kekerasan (perkelahian
fisik) dapat dijelaskan dengan melihat budaya atau
kultur masyarakat di mana kejahatan itu muncul, karena
dianggap sebagai reaksi nilai-nilai dasar dari bagian
sistem normatif masyarakat itu.
individual dapat juga dilakukan secara kolektif dapat
dibedakan atas tiga kategori yaitu kekerasan kolektif
primitif, kekerasan kolektif reaksioner, dan kekerasan
kolektif modern. Kekerasan kolektif primitif pada
umumnya bersifat non politis. (Ronny Nitibaskara, 1999:
p. 98). Ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas
lokal misalnya pengeroyokan. Dalam bentuk pemukulan
atau penganiyayaan, terhadap pencopet yang tertangkap
tangan peristiwa pengeroyokan dan pembantaian ter-
hadap dukun teluh, sementara yang dimaksud dengan
kekerasan kolektif reaksioner umumnya merupakan
reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya
tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal,
melainkan siapa saja yang merasa kepentingan dengan
tujuan kolektif yang menentang suaut kebijakan atau
sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Sedangkan
kekerasan kolektif modern merupakan alat untuk
mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu
organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.
Dalam suatu situasi konflik biasa orang merasa
didorong untuk melakukan tindakan kekerasan apabila
mendengar komentar yang sedikit menyinggung perasa-
50
Perkelahian fisik dengan memakai parang merupakan
suatu keberanian dan kenekatan untuk mempertahan-
kan hak dan kehormatan, sudah merupakan ekspresi
subkultur.
muncul pada seseorang yang sedang terlibat dalam
interaksi sosial dengan orang lain yang mempunyai
mekanisme yang sama, maka serangan fisik, perteng-
karan, dan pertentangan keluarga yang panas kemudian
berlanjut ke penganiayaan dan pembunuhan adalah
akibat yang umum terjadi. Selanjutnya Wolfgang ber-
pendapat bahwa "....the use of violence in a subculture is not
necessarily viewed as illicit conduct, and the user therefore do
not have to deal with feelings of guilt about their aggression
(Sutherland & Donald R, 1999: p. 23-28). Timbul
pertanyaan apakah pernyataan Wolfgang di atas dapat
dipakai untuk mereka yang terlibat dalam konflik
tersebut? Dengan perkataan lain, mungkinkah mereka
yang terlibat dalam kejahatan kekerasan kolektif yang
secara struktural berkonfli secara massal dengan senjata
tajam atau membakar dan menghancurkan harta benda
itu tidak merasa bersalah dan menyesal.
Konflik Sosial, akibat dari perilaku ini dilarang
dan diancam dengan hukum pidana. Istilah kejahatan
dalam tulisan ini diartikan sebagai salah satu perbuatan
yang melanggar hukum tertulis atau KUHP, yaitu salah
satu perbuatan yang diatur dalam Buku II KUHP. Yang
dimaksud dengan istilah kekerasan kolektif ialah bentuk
kekerasan yang didukung atau dibenarkan oleh kultur
51
legitimasi pada berakarnya perbuatan kekerasan.
Apabila dalam perkelahian fisik dimaksud telah menim-
bulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleh undang-undang, maka hal itu dianggap telah
melakukan kejahatan dengan Konflik sosial ini karena
bersumber pada kekerasan kolektif, maka melalui pen-
dekatan kriminologis ditelaah kaitannya dengan kultur
masyarakat di mana kejahatan itu timbul. (Otje Salman,
1993: p. 45-47).
dipahami manifestasinya secara teoritik maupun secara
empirik melalui perspektif hukum pidana. Dengan me-
mahami kejahatan kekerasan kolektif ini, akan dike-
temukan konsep-konsep antara lain: konflik kekerasan
kolektif. Terhadap masalah kedua, kejahatan kekerasan
kolektif dilihat melalui perspektif kriminologi, dengan
mengindentifikasi sejumlah teori kriminologi yang dapat
menjelaskan masalah kejahatan, maka teori Sobural
(sosial, budaya, kultural) pada dasarnya suatu abstraksi
mental dan oleh sebab itu segalanya dilihat sebagai
perwujudan yang relatif. Konotasi tentang perwujudan
yang relatif itu tentu berakar pada masyarakat dan oleh
karena itu bergantung dari hasil proses/interaksi dalam
wadah nilai-nilai subural masyarakat yang bisa men-
dapat rangsangan dari berbagai praktek, misalnya:
kemiskinan, pengganguran, ketidak seimbangan pribadi,
ketidak puasan keluarga, kebijakan penguasa yang
berpihak, penegakan hukum yang tidak adil, undang-
52
dipakai untuk menganalisis kejahatan kekerasan kolek-
tif.
239
Mediasi Desa, Kerjasama LP3ES-NZAID, Jakarta
2004.
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Afan Gaffar, Javanese Voters A Case Study of Election Under
Hegemonic Party Sistem, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1992.
Dan Taktik Penyidikan), Angkasa, Bandung, 1991.
Aggleton, Peter, Deviance, Tavistoock Publication,
London.1987.
Pengembangan Hukum Nasional, 2011.
Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung, Jakarta,
2002.
2004.
240
Tumbuh Hilang Berganti, Karya Unipress, Jakarta,
1993.
Indonesia, Ithacha: Doutheast Asia Program,
Cornell University, 2001.
Binacipta, Jakarta, 1985.
Ars Aequi Library, Tegen De Regels En Inleiding In De
Criminologie, Stichting Ars Aequi, Utrect, 1977.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1993.
(Hingga Dekade 1970), Jilid Satu, Penerbit
Gramedia, Jakarta, 1987.
Kebijakan Penanggulangan Kajahatan, Alumni
Semarang, 1988.
Bagir Manan,“Menyonsong Fajar Otonomi Daerah”PSHFH, UII, Yogyakarta, 2001.
Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik, Kompas, Jakarta,
2004
241
Of Conflict, University Of Texas Press, Austin,
1967.
from, 1965-1990 Columbia University Press, 1993.
Bungin Burhan , Analisis Data Penelitian Kualitatif, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
Jogjakarta, 1992.
Allen & Unwin, London,1981.
Quantitative Approaches, Sage Publication,
C. S. C Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1989.
RadjaGrafindo Indonesia, Jakarta, 2004.
University, London, 1989.
Amerika Moderen. Gadjah Mada University
Yogyakarta, 2005.
De Vegt, Nitrnegen, 1976.
Jakarta, 1983.
Pemerintahan Dalam Demokrasi, Abardin, Bandung,
1990.
Dhanani, Shafiq dan Iyanatul Islam, “Poverty, Inequality and Social Protection: Lesson from the
Indonesian Crisis",UNSFIR Working Paper
Eda, Fikar S dan S. Satya Dharma, Eds. Sebuah Kesaksian
Aceh Menggugat, Sinar Harapan, Jakarta.1999
Espe, Kusuma. Provokator(Paradigma Kritis di Tengah
Konflik), Penerbit Awan Indah, Jakarta, 2004.
Ericson, Russell G, Criminal Reaction The Labeling
Perspective, Sexon Hous, Weastmead, England,
1990.
Aditama, Bandung Indonesia, 2005.
PT.Suryandaru Utama, Semarang, 2005.
untuk bertindak, The British Council, Jakarta 2001
Feulner, Frank, "Consolidating Democracy in Indonesia:
Contributions of Civil society and State,UNSFIR
Working Paper 01/04, Jakarta, 2001.
243
Pres, Jakarta, 2006.
proses nominasi dan seleksi calon legissltif
Pemilu 2004, Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Hary Sabarno,Untaian Pemikiran Otonomi Daerah
(Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan
Bangsa), Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Harun, Alrasid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara,
UIP.
vior And Its Control, Megrow-Hill International
Editions, 1987.
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Hendrojono, Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat
dan Hukum, Srikandi, Surabaya 2005.
Ihromi O, T , Antropologi Dan Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1984.
__________ Pokok-Pokok Antropologi Budaya,
Gramedia, Jakarta, 1987.
Irawan, Puguh B, Iftikhar Ahmed dan Iyanatul Islam , Labor
Market Dynamics in Indonesia: Analysis of 18
Key Indicators of The Labor Market (KILM) 1986-
1999, ILO Office, Jakarta, 2000.
Jary, D. dan J. Jary, 'Multiculturalism', Dictionary of
Sociology. New York: Harper, 1991.
J.E Sahatapy. Kejahatan Kekerasan, Suatu Pendekatan
Interdispliner, Sinar Wijaya, Surabaya, 1983.
Jimly, Asshiddiqie,Pokok-pokok Hukum Tata Negara
Indonesia (Pasca Reformasi), PT Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta Barat, 2007.
Fakta, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah(Suatu Solusi
dalam mejawabkebu-tuhan Lokal dan Tantangan
Global, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.
Kato, Tsuyoshi, Adat Minangkabau dan Merantau dalam
perspektif sejarah, PT, Balai pustaka, 2005.
-----------------Pengantar Ilmu Antropologi, Penerbit Rineke
Cipta. Jakarta, 1990.
Jakarta, 2000.
tahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
1979.
bangunan, Gramedia, Jakarta, 1987.
Pengalaman Praktis Bekerja untuk Perdamain
Maluku, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Leo Suryadinata, Elections And Politic In Indonesia, ISEAS,
Singapore, 2002.
dan Viktimilogi, Jembatan, Jkarta 2004.
Lokollo J.E, Perkembangan Pidana Denda Di Indonesia,
Disertasi Universitas Airlangga, 1987.
Jakarta, 2001.
Jakarta, 1996.
Pustaka al Kausar Jakarta, 2008.
Mahfud, MD. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama
Media,Yogyakarta, 1999.
Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
--------------, Hubungan Antara Pusat dan Daerah
Berdasarkan Azas Desentralisasi Menurut Undang
Undang Dasar Negara. Rineka Cipta Jakarta, 2003.
--------------, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistim Peradilan
Pidana, Badan penerbit UNDIP, Semarang, 1997.
--------------, Pendekatan NoPenal Dalam Penanggulangan
Undip, Semarang, 1996.
Yayasan Titian Perdamaian, 2005.
Yogyakarta, 1994.
Yogjakarta, 2005.
Pidana, Alumni Bandung, 1986.
Hukum Undip, Semarang, 1984.
Bandung, 1992.
Alumni Bandung, 1980.
kejahatan (suatu pengantar). Armiko Bandung,
1984.
Maju, Bandung, 2002.
menyelesaikan, mencegah, mengelola dan mengubah
konflik bersumber politik, sosial agama dan ras. Raja
Grafindo Jakarta, 2004.
di Indonesia, seksi Penerbitan Fakultas Sospol
UGM, Yogyakarta, 1968.
Bina Aksara, 1984.
Perdamaian Desa. CV Pancuran juh Jakarta, 1979.
Muhammad Tahir Azhary,Negara Hukum: Suatu Studi
tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta,
2004.
Perkembangan dan Problematika), Pustaka
Bandung, 1993.
(Memahami Keberadaannya Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia), Rineka
dalam kriminologi, Citra Aditiya Bakti, Bandung
1994.
PT.Citra Aditya Bakti Bandung, 1993.
Rahmad Jalaluddin. Psikologi Komunikasi , Rosda Karya ,
Bandung, 2000.
Citra, Jakarta, 1994.
Kriminilogi. PT. Eresco Bandung, 1992.
__________ Bunga Rampai Kriminologi, CV Rajawali,
Jakarta, 1984.
aditama Bandung, 2005.
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
------------------,Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi
Perkemhangan Hukum, Proyek Bank Dunia
(Jakarta: Cyberconsult, 1999.
Kriminilogis (Suatu Pendekatan “Interdisplmeir”), Orasi Ilmiah Dalam Rangka Diesnatalis ke-41
Dan Wisuda Universitas Akademi-Akademi
Press, 2001.
___________ Enografi Kejahatan Di Indonesia,
Pada Fisif UI Jakarta, 1998.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas,
Jakarta, 2007.
Bandung, 2000.
250
ke-II, Alumni Bandung, 1983.
________________, Hukum dan Masyarakat, Angkasa,
Harapan, Jakarta, 1999
Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1964.
Sen, Amartya, Beyond the Crisis, Development Strategies in
Asia, ISEAS, Singapura, 1999.
RajaGrfindo, Persada, Jakarta, 2003.
Persada, Jakarta, 2003.
Persada, Jakarta, 2001.
_________, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif:
Suatu Tinjauan Singkat, edisi I, cet.v. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001
Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi
251
1979.
___________, Pengantar Penelitian ukum (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1982.
Peraturan Daerah, Liberty, Yogyakarta, 1997.
_________, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberti,
Yogyakarta,1995.
Daerah, BPFE, Yogyakarta, 1991.
dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, 1988.
Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum Paradigma Metode
dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Elsam Huma,
2002.
Kompas, Jakarta, 2003.
Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
252
Penyusunan dan Penetapan Peraturan Desa,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2003.
Sudarto, Tentang Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia,
Fakultas Hukum Undip, Semarang,1981.
Bandung, 1981.
Jakarta, 1982.
dalam studi kejahatan, sinar baru bandung 1976
Suekarno Wiriaatmdja, Pokok-Pokok Sosiologi Pedesaan,
Yasaguna, Jakarta.1973.
dalam Masyarakat Majemuk Indonesia’, Indonesia 2002.
......................Menuju Masyarakat lndonesia yang
Multikultural’, Antropologi. Indonesia, 2002.
Indonesia dalam kehidupan politik Indonesia 30 tahun
kembali ke undang-undang dasar 1945). Jakarta
Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Kesatuan, Pustaka Pelajar, 2002.
Thalib, Hambali, Sanksi pemidanaan dalam konflik
pertanahan: kebijakan alternatif penyelesaian
pidana, Kencana Jakarta, 2009
keagamaan, Jakarta 2002.
dari ketegangan politik varian di madukoro. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
UNSFIR, Anatomy Kekerasan Sosial dalam Masa Transisi,
Kasus Indoensia, 1990-2001, UNSFIR, 2002
Viktor Situmorang, Hukum Administrasi Pemerintahan di
Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Yahya, Muhaimin. Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia,
Dalam Prisma 10 Tahun”.
Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2001.
254
Dalam Kelompok, Makalah Pascasarjana UMJ Sosiologi
Hukum 2000.
Bawah, (Studi Kasus Manggarai), Makalah Mahasiswa
Program Pascasarjana UMJ, Angkatan ke VIII, Di
Cipanas Bogor,2000.
Sosiologi Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta,
2000.
Wignyosoebroto, Soetandyo. “Doktrin Supremasi Hu-
kum Sebuah Tinjauan Kritis Dalam Perspektif Historik”, Makalah, Seminar FH UNDIP, 27 Juli 2000.
C. JURNAL
PSHFHUII Yogyakarta, 2001.
Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen
Dalam Negeri. “Permasalahan Batas Wilayah (Kabu-
paten Tebodengan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi)”, 2003.
255
Pramono, S. dan Susie Berindra. “Pemekaran Tak Lagi Jadi “Obat”Mujarab”, Kompas edisi Rabu 30 Agustus 2006 (Politik & Hukum), Jakarta, 2006.
Yayasan Kemala, Tanah Masih dilangit: penyelesaian
masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam di
Indonesia yang tak kunjung tuntas diera reformasi,
2005.
Tahun 1945.
Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian.
Penataan Ruang.
Makamah Konsitusi.
Pemerintahan Daerah.
pemekaran Pasaman.
Penyelesaian Konflik.
Tentang Penanganan Konflik Sosial.
Pembentukan, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2007 tentang Tata Cara pembentukan, penghapusan dan
pengabungan Daerah.
E. MEDIA
September tahun 2010.
tahun 2013.
oleh isu konflik yang banyak terjadi di dalam
masyarakat. Diera pemilihan anggota DPR,DPD, DPRD
TK I.II. dan PILPRES semenjak tahun 2004. Baik media
cetak maupun elektronik selalu memberikan informasi
dan siaran konflik atau perpecahan yang terjadi di
daerah yang sedang merayakan PILKADA, anatar
pendukung yang pro dan kontra terhadap salah satu
paslon, begitu juga yang bisa diakibatkan oleh
pemekaran wilayah atau masalah perbatasan,
Pengusuran yang dilakukan oleh pihak yang punya
kepentingan. Tidak lain ini hanya semuanya
berhubungan dengan masalah isi perut atau ekonomi
yang carut marut.
bawah tapi juga terjadi dikelas atas, baik antar
diparlemen (DPR) satu partai dengan partai lainya.
Konflik dan Perpecahan juga terjadi dibelahan dunia
se