studi kasus – lingkungan dan konflik sosial

Upload: deutschesafz

Post on 29-Oct-2015

255 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pada 19 Juli 2004 Tesso Nilo, juga disebut sebagai Taman Nasional Tesso Nilo (TNNP), didirikan sebagai taman nasional. Walaupun pendirian taman nasional Tesso Nilo dianggap secara garis besar sebagai konservasi yang berhasil, Tesso Nilo terus berada di bawah ancaman karena pembalakan liar yang terus berlangsung, perburuan satwa liar, dan perambahan hutan. Studi komparatif internasional mengungkapkan bahwa proyek konservasi hutan yang dikelola oleh negara adalah yang paling kecil tingkat keberhasilannya. Kepemilikan pribadi dan pengelolaan oleh masyarakat homogen kecil, seperti suku lokal, lebih efektif. Namun pendekatan ini tidak digunakan kepada masyarakat yang memiliki etnis heterogen seperti di Indonesia. Walaupun demikian, daripada hak kepemilikan komunal, kepemilikan individu harus dilihat sebagai solusi yang memungkinkan. Gagasan komunal ini umumnya dimulai oleh inisiatif orang luar yang menyebabkan hasil yang tidak pasti dan menyebabkan kekerasan. Hak kepemilikan pribadi yang efektif, memberikan insentif kepada pemiliknya untuk terlibat dalam pengelolaan berkelanjutan terhadap kekayaan alam yang mereka miliki. Hal ini juga merupakan cara paling efektif untuk menyeimbangkan antara pembangunan dan konservasi alam di dalam konteks sosial Indonesia yang beragam.

TRANSCRIPT

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    1

    Studi Kasus Lingkungan dan Konflik Sosial

    Volume 2 2012 Issue 4

    Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo : Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam

    BUKAN UNTUK PEREDARAN UMUM TANPA IZIN EKSPLISIT DAN TERTULIS DARI PENULIS

    Copyright 2012 Deutsche Asienforschungszentrum. All rights reserved.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    2

    DAFTAR ISI1. RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................................................................................................... 4 2. KONTEKS, TINJAUAN KERJA, PENDEKATAN EVALUASI, DAN BATASAN EVALUASI ................. 4 3. PENDIRIAN TESSO NILO DAN PERKEMBANGANNYA. .............................................................................. 4 4. OBJEKTIF PROYEK .................................................................................................................................................... 4 5. PENYIMPANGAN DARI KESEPAKATAN AWAL ........................................................................................... 5 6. RELEVANSI, EFEKTIVITAS, EFISIENSI, DAN KEBERLANGSUNGAN KEGIATAN PROYEK .......... 5 7. APAKAH ASET KEUANGANNYA MEMADAI? ................................................................................................ 6 8. KEGAGALAN DAN KESUKSESAN ....................................................................................................................... 6 9. SEBUAH TINJAUAN KRITIS TERHADAP MODEL KONSERVASI ARUS UTAMA A GREENPEACE, WWF, DAN CITES ............................................................................................................................ 6 10. "THE TRAGEDY OF THE COMMONS" DAN EFEK DARI KEPEMILIKAN PRIBADI ........................ 7 11. KESIMPULAN ............................................................................................................................................................ 7

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    3

    GAMBAR DAN TABEL

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    4

    Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo : Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam

    1. RINGKASAN EKSEKUTIF Pada 19 Juli 2004 Tesso Nilo, juga disebut sebagai Taman Nasional Tesso Nilo (TNNP), didirikan sebagai taman nasional. Tesso Nilo awalnya mencakup sekitar 35.000 hektar di Pelalawan dan Indragiri. Pada tanggal 19 Oktober 2009 Daerah ini diperluas menjadi sekitar 80.000 hektar. Batas wilayah secara tepat adalah masalah ketidakpastian. Pada prosesnya, Pemerintah Indonesia mendirikan Tesso Nilo dengan melibatkan organisasi donor, LSM, perusahaan swasta, dan perwakilan dari masyarakat setempat. LSM menyebut proses yang melibatkan berbagai pihak dalam mendirikan Tesso Nilo sebagai bentuk kolaborasi, Namun sayangnya tidak melibatkan masyarakat setempat dalam penentuannya.

    Walaupun pendirian taman nasional Tesso Nilo dianggap secara garis besar sebagai konservasi yang berhasil, Tesso Nilo terus berada di bawah ancaman karena pembalakan liar yang terus berlangsung, perburuan satwa liar, dan perambahan hutan. Penelitian kami menunjukkan bahwa dua pertiga dari wilayah taman nasional telah dihancurkan. Akibatnya, meskipun keterlibatan LSM asing dan dalam jumlah yang cukup besar untuk bantuan keuangan, Taman Nasional Tesso Nilo tidak dapat dikatakan sebagai konservasi yang berhasil. Hal ini sebagian disebabkan oleh kurangnya dukungan masyarakat, diakibatkan dari adanya fakta bahwa realitas ekonomi telah diabaikan. Baik pemerintah maupun program taman nasional yang dibawa oleh WWF tidak dapat menghentikan penghancuran besar-besaran yang telah terjadi sejak pendirian taman nasional. Penduduk setempat tergantung pada hutan untuk pendapatan dan pembentukan Taman Nasional telah mengancam pendapatan ini. Prakarsa pribadi yang dilakukan oleh Asia Pacific Resource International LTD/APRIL dan World Wildlife Find/WWF yang awalnya dianggap sebagai bentuk upaya kerjasama, digantikan dengan aktivisme militan yang didukung oleh kelompok gabungan perwakilan seperti Jikalahari, yang menyebabkan kematian dan pembakaran. Digantikannya bentuk kerja sama ini adalah sebagai bentuk strategi kampanye LSM global, bersamaan dengan aktivisme militan

    Studi komparatif internasional mengungkapkan bahwa proyek konservasi hutan yang dikelola oleh negara adalah yang paling kecil tingkat keberhasilannya. Kepemilikan pribadi dan pengelolaan oleh masyarakat homogen kecil, seperti suku lokal, lebih efektif. Namun pendekatan ini tidak digunakan kepada masyarakat yang memiliki etnis heterogen seperti di Indonesia. Walaupun demikian, daripada hak kepemilikan komunal, kepemilikan individu harus dilihat sebagai solusi yang memungkinkan. Gagasan komunal ini umumnya dimulai oleh inisiatif orang luar yang menyebabkan hasil yang tidak pasti dan menyebabkan kekerasan. Hak kepemilikan pribadi yang efektif, memberikan insentif kepada pemiliknya untuk terlibat dalam pengelolaan berkelanjutan terhadap kekayaan alam yang mereka miliki.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    5

    Hal ini juga merupakan cara paling efektif untuk menyeimbangkan antara pembangunan dan konservasi alam di dalam konteks sosial Indonesia yang beragam

    Selain itu, sebagai kepemilikan komunal, Tesso Nilo menerima akibat dari dua sistem insentif yang merugikan, yitu: Pertama, tragedi masalah bersama, yang hanya dapat ditangani dengan memperkuat hak kepemilikan individu penduduk lokal; dan kedua, fakta bahwa pendanaan publik adalah sebuah fungsi yang terus memperpanjang dan memperparah permasalahan yang disebabkan oleh proyek, yang menurunkan insentif penjaga taman untuk meningkatkan performansinya.

    Saat ini, , World Wildlife Fund (WWF) menggunakan Taman Nasional Tesso Nilo untuk tujuan berbeda dari tujuan perancangan awal pembuatannya. Ini merupakan perubahan dari Surat Keputusan Menteri yang dibuat dalam dokumen pendanaan yang asli. Pergeseran ini, yang pertama kali diidentifikasi pada tahun 2005, terkait dengan hilangnya luas habitat dan hilangnya pendapatan bagi masyarakat lokal. Perubahan dari surat keputusan menteri mencerminkan kegagalan mendasar untuk mencapai tujuan Taman Nasional Tesso Nilo. Taman nasional sekarang dimanfaatkan sebagai perpanjangan untuk menegosiasikan konsesi perusahaan swasta untuk memaksa mereka mengakui kebijakan pelestarian yang diajukan oleh LSM global.

    Hubungan antara pemangku kebijakan WWF dan APRIL bersitegang dengan WWF sekarang melakukan usaha kampanye semi-langsung dengan mengandalkan aktivis militan lokal yang saat ini telah menyusupi kelompok WWF di Riau. Lebih lanjut, kantor LSM global gagal mendeteksi sinyal bahwa konflik lokal yang ditimbulkan oleh jaringan mereka telah berputar dengan cepat di luar kendali, yang tidak sepenuhnya dipahami oleh baik WWF ataupun donor asing termasuk pemerintah. Munculnya gerakan militan ini adalah akibat langsung dari tidak adanya pengawasan asing yang kami identifikasi dari kasus ini dan penelitian lainnya.

    Walaupun strategi kepedulian bagus untuk strategi pengumpulan dana dan menyenangkan bagi beberapa aktivis, pendekatan ini gagal mencapai tujuan konservasi dan perlawanan oleh industri terhadap taktik pemerasan yang dilakukan oleh WWF dan aktornya akan menjadi bumerang. Juga kegagalan memperhitungkan dampak negatif konservasi yang diterima. Hasil kesimpulan laporan ini adalah, ekskalasi konflik yang cepat sedang berlangsung dengan menempatkan LSM pada jalur yang berseberangan dengan pemangku kepentingan lainnya, dan dengan hasil yang tidak menentu. Tentu saja korban pertamanya adalah lingkungan.

    2. KONTEKS, TINJAUAN KERJA, PENDEKATAN EVALUASI, DAN BATASAN EVALUASI

    Indonesia merupakan negara emerging market yang yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam beberapa dekade terakhir. Sementara itu, Indonesia adalah negara berpenghasilan menengah ke bawah dengan tingkat kemiskinan yang meluas, dan memiliki sejumlah tantangan pembangunan. Indonesia masih menjadi negara dengan potensi tinggi,

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    6

    mengingat populasi usia muda yang cukup besar yang terus tumbuh dan tersedianya kekayaan sumber daya alam.

    Hutan Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam yang penting. Lebih dari 110 juta hektar, atau sekitar 60 persen dari luas total, telah diklasifikasikan sebagai kawasan hutan permanen. Kira-kira setengah dari daerah ini telah dilestarikan untuk tujuan lingkungan (setara dengan ukura seluruh Perancis atau Spanyol) dan sisanya untuk sektor kehutanan.

    Luas wilayah Indonesia, iklim tropis, dan geografi kepulauan, mendukung keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia (setelah Brazil). Flora dan fauna yang terkandung di dalamnya adalah percampuran spesies Asia dan Australasia. Spesies hewan besar seperti harimau, badak bercula, orang-utan, gajah, dan macan tutul pernah berlimpah sampai ke Bali, namun jumlah dan penyebarannya berkurang secara drastis karena adanya urbanisasi dan pembangunan yang merampas habitat mereka. Kelompok lingkungan mengaitkan penurunan populasi hewan dengan banyaknya aktivitas penebangan oleh perusahaan besar; namun kami menemukan bahwa masalah ini lebih rumit daripada yang dikemukakan oleh kelompok tersebut. Ini adalah penyederhanaan kasar untuk mencari siapa yang bertanggung jawab atas suatu masalah atau lainnya. Jika komentar terbaru Presiden Yudhoyono diperhitungkan, maka akan terlihat bahwa tren sebaliknya sedang terjadi. Pada bulan Juni 2012, beliau mengatakan dalam pidatonya di Centre for International Forestry Research (CIFOR): "Dengan senang saya memberitahukan bahwa laju deforestasi kita telah turun dar i3,5 juta hektar pertahun menjadi kurang dari setengah juta hektar pertahun dalam beberapa dekade."1 Ini adalah pernyataan berlawanan yang diabaikan oleh masyarakat secara luas. Usaha Pemerintah Indonesia memerangi pembalakan liar telah mendapatkan sedikit hasil. Hal ini juga disebabkan oleh adanya korupsi dalam pemerintah Indonesia sendiri. Ini diungkapkan dari sebuah lapran dari Catatan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berjudul "Karbon Hijau, Perdagangan Gelap" . Pada bulan Mei 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani moratorium yang melarang konversi hutan primer dan lahan gambut untuk dua tahun.

    Kontribusi industri kehutanan - kayu manufaktur dan industri bubur kayu dan kertas - untuk kesejahteraan ekonomi Indonesia cukup signifikan. Menurut sebuah laporan berjudul "Kontribusi Ekonomi Hutan Berbasis Industri di Indonesia,"2 kontribusi sektor ini sekitar Rp 21 miliar terhadap PDB Indonesia, atau sekitar 3,5 persen dari perekonomian nasional. Perspektif yang timpang mengenai pentingnya kontribusi ekonomi adalah hasil dari upaya yang sengaja yang dilakukan oleh semua pihak-kelompok lingkungan dan industri-untuk memutar perdebatan. Sangat sedikit upaya telah dilakukan di waktu sebelumnya oleh pelaku 1 http://blog.cifor.org/9657/indonesian-president-makes-speech-at-cifor-on-sustainable-growth-with-equity/; Diakses 13 Juni 2012 2 Laporan dibuat oleh ITS Global, konsultan Australia yang diserang sebagai 'green-washing' oleh LSM.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    7

    utama, bahkan oleh organisasi seperti CIFOR di bawah kepemimpinan sebelumnya, untuk secara positif melibatkan pihak lainnya dan hal ini sering kali hanya sebagai 'after-thought'. Kita harus menanyakan strategi apakah yang tepat untuk Indonesia -mengacu kepada sebuah studi Universitas Utrech sebagai bagian dari strategi 'wortel dan tongkat'.3 Saat ini, pemerintah donor menyebarkan sejumlah besar dana ke tangan aktor LSM atas dasar laporan dan pernyataan, yang tidak didasari analisis kritis.

    Kelompok koordinator di dalam WWF disusupi oleh kelompok aktivitas militan yang muncul dari kelompok ekstrim kiri spektrum politik. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk pengawasan yang lebih besar dan keterlibatan oleh negara pendonor. Pemberian dana kepada aktor penggerak LSM yang mempunyai agenda tersendiri tersebut dapat mengakibatkan penggunaan dana yang tidak bijak.

    Keterlibatan donor dengan industri dan masyarakat dibutuhkan lebih besar. Menyadari perlunya pembangunan pembangunan yang seimbang, di beberapa daerah di Indonesia yang digunakan untuk konservasi dan kurangnya alokasi dana lokal untuk kepentingan tersebut, donor internasional harus membiayai pembentukan taman nasional di Indonesia. Tesso Nilo di Provinsi Riau, Sumatra, merupakan salah satu taman nasional yang didanai asing. Penelitian kami mengenai sejarah taman nasional itu membawa kami untuk menyimpulkan bahwa sebuah taman nasional yang dibiayai asing tidak akan terus bertahan. Insentif kepada masyarakat lokal juga diperlukan untuk melindungi nilai pentingnya konservasi. Model yang digunakan saat ini memberikan mentalitas yang bergantung pada donor dan menghambat keterlibatan industri lokal. Kelompok komersil yang memiliki kekuatan finansial mempunyai potensi untuk melindungi taman nasional. Hubungan permusuhan antara industri, pemerintah, dan LSM, telah menyebabkan lingkaran setan yang tidak menyelesaikan masalah. Strategi utama WWF yang memperluas area taman nasional dan mengambil kepentingan swasta, telah mengasingkan perusahaan dan industri yang seharusnya dijadikan mitra dalam melindungi area konservasi. Akibatnya, kelompok LSM dan Industri berkubu dan menampilkan permusuhan terbuka satu sama lain. Bukti anekdotal menunjukkan bahwa bahasan dalam komunitas LSM kini semakin sempit dan tidak terbuka dengan solusi alternatif, sehingga semakin militan. Untuk memastikan bahwa dana tidak digunakan secara keliru oleh pemerintah, lembaga donor melakukan studi mandiri untuk mengevaluasi peranan LSM dan efektivitas pengelolaan cagar alam di Indonesia. Studi ini, secara luas, juga untuk menganalisis strategi pemberian bantuan dana pembangunan kepada Indonesia. Tujuan dari proyek ini adalah untuk memahami peran aktor seperti LSM, donor asing, dan masyarakat lokal, untuk menentukan:

    1. Apa peran dari berbagai aktor tersebut? 3 Studi tersebut mengatakan bahwa perusahaan hanya akan beraksi , yang memenuhi permintaan dari LSM, ketika diancam

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    8

    2. Seberapa efektif pengelolaan cagar alam? 3. Apa saja keberhasilan proyek tersebut? 4. Apa saja kekurangan proyek tersebut? 5. Apa saja yang dapat diperbaiki dari proyek tersebut? 6. Apa masukan untuk proyek yang akan datang?

    Pengkajian proyek ini merupakan bagian dari rangkaian studi mengenai konflik dan perkembangan masyarakat sipil di Indonesia. Pendekatan ini sengaja dipilih dengan tujuan untuk menghasilkan pandangan se-objektif mungkin. Meskipun memungkinkan evaluasi yang lebih independen, pendekatan ini juga memiliki kekurangan. Misalnya, dokumen resmi seperti laporan keuangan, untuk itu dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam.

    Selain itu, beberapa aktor yang penting tidak bersedia untuk diwawancarai meskipun berulang kali mencoba untuk menghubungi mereka. Seperti, Direktur Eksekutif WWF Indonesia dan Direktur Eksekutif Greenomics, yang tidak bisa dihubungi dalam jangka waktu tertentu. Salah satu pendiri jaringan LSM Jikalahari, yang dulu terlibat dalam pengelolaan Tesso Nilo dari WWF dan sekarang bekerja untuk sebuah perusahaan pertambangan, bertemu dengan salah satu anggota tim pengkaji di Jakarta. Namun anehnya ia menolak untuk diwawancarai mengenai masalah Tesso Nilo. Meskipun demikian, ia memiliki dokumen internal proyek dan bersedia menjualnya. Kami menemukan sikap yang membingungkan dari anggota komunitas LSM ini.

    Di Pekanbaru, pengkaji berhasil menemui Direktur Eksekutif Yayasan Taman Tesso Nilo dan sejumlah perwakilan LSM lain, seperti Wakil Koordinator Jikalahari. Jikalahari sebagian besar dibiayai oleh WWF, tetapi juga mendapatkan dana dari Pemerintah Indonesia. Sayangnya kunjungan ke Tesso Nilo itu sendiri kami nilai tidak layak, karena membutuhkan izin dari pihak yang berwenang (membutuhkan "biaya administrasi" tambahan). Proses ini juga membutuhkan waktu yang lebih lama dari waktu yang dialokasikan untuk proyek evaluasi Taman Nasional Tesso Nilo.

    Di Jakarta, tim penilai menemui seorang eksekutif senior dari salah satu perusahaan bubur kayu dan kertas, APRIL. Perspektif dari perusahaan APRIL ini diperlukan karena perusahaan sangat berperan dalam pembentukan konservasi Tesso Nilo, karena memiliki dan menyerahkan area konsesi perkebunan yang luas, yang kemudian dimasukkan ke dalam area taman nasional. Kontribusi APRIL pada penciptaan Tesso Nilo jarang diakui oleh LSM. APRIL juga menjadi sasaran serangan berulang-ulang oleh LSM global, yang telah menggunakan Tesso Nilo sebagai titik serang terhadap perusahaan. Strategi melancarkan serangan tersebut telah terjadi walaupun perusahaan merupakan pengaruh utama bagi pembuatan Taman Nasional Tesso Nilo . Kami percaya ini bahwa strategi ini diciptakan untuk menekankan pentingnya LSM itu sendiri dalam pembangunan taman nasional dan mengucilkan peran sektor swasta dalam upaya konservasi di Indonesia. Kami juga berusaha menemui Direktur Keberlanjutan dan Keterlibatan Pemangku Kebijakan (Director of Sustainability and Stakeholder Engagement) dari Asian Pulp dan kelompok Paper (APP), namun sayangnya tidak dapat dihubungi.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    9

    Seorang anggota tim pengkaji yang tinggal di Pekanbaru merasa tidak nyaman dengan pertemuan dengan perwakilan APRIL di Pekanbaru karena secara terbuka dapat menimbulkan rasa tidak dari percaya komunitas LSM lokal. Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa beberapa LSM yang tidak transparan dan terbuka untuk berdialog, seperti yang ering mereka katakan. Selain itu, meskipun tim pengkaji diundang untuk presentasi pengelolaan lahan gambut oleh Jikalahari, mereka tidak diizinkan untuk memasuki kamar hotel konferensi di mana lokakarya itu diadakan. Pejabat tinggi pemerintah menghadiri lokakarya.

    Selama merumuskan laporan ini. kami menemukan kekeliruan data ilmiah yang disengaja dalam jumlah yang besar.4 Kami berharap bahwa laporan kami akan dilihat seperti yang dimaksudkan - yaitu untuk memberikan perspektif yang sama sekali independen tentang isu-isu penting dan kompleks yang bisa berfungsi sebagai titik awal untuk perdebatan yang lebih moderat dan lebih seimbang, dan sebagai penelitian objektif yang menyediakan beberapa perspektif alternatif untuk semua pemangku kepentingan.

    3. PENDIRIAN TESSO NILO DAN PERKEMBANGANNYA. Pembentukan Taman Nasional Tesso Nilo sejak awal mengalami banyak kesulitan. Aktor utama dalam pembentukan taman nasional adalah WWF. APRIL, yang pada saat itu telah memiliki hak pembalakan atas wilayah yang nantinya menjadi area Taman Nasional Tesso Nilo. Setelah lobi awal WWF tidak berhasil membujuk APRIL untuk menyerahkan area konsesinya, kelompok yang berpusat di Swiss mulai menekan klien dan pelanggan APRIL. Mereka kemudian meminta CNN untuk melakukan laporan mengenai APRIL dan Tesso Nilo. Pada Februari 2002, afiliasi Friends of The Earth Inggris merilis laporan yang mengkritisi APRIL dan menyerukan pemboikotan produk-produk APRIL di Eropa. Karena hal tersebut, APRIL berjanji untuk menghentikan semua penebangan di area Tesso Nilo, menghentikan pembangunan kedua jalan yang melaluinya, dan berhenti membeli jayu dari pemasok lain yang terlibat dalam pembalakan liar.5 4 Dalam wawancara dengan berbagai orang di dalam organisasi masyarakat sipil, mereka memperlihatkan sikap yang sebanding dengan mentalitas di area blokade. Kebanyakan aktivis yang diwawancara, memendam ketidakpercayaan kepada orang luar, namun takut kepada baik pemerintah maupun kepentingan perusahaan. Ketika mengajukan usul untuk menemui pihak perusahaan, semua LSM yang diwawancara secara terpisah menolak ide tersebut. Di pihak perusahaan, kami menemukan sikap permusuhan yang sama. Sejak LSM melakukan strategi kampanye militan, ide pertemuan juga sangat ditolak. Hilangnya nyawa pada tanggal 13 Juli 2011 dan tindakan pembakaran, memberikan kontribusi terhadap ketidakpercayaan pada kelompok-kelompok militan yang terlibat dengan aktor proksi yang bertindak atas nama WWF. 5 Pada kondisi yang mengarah ke pendirian Tesso Nilo, lihat artikel article Environmentalists, Loggers Near Deal on Asian Rainforest, http://online.wsj.com/article/SB114066232214180908.html Diakses pada Desember 2012)

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    10

    Pada bulan September 2002, ketika APRIL melarang penebang lain yang sedang menggunakan feri pribadi di sungai dekat hutan, massa marah dan menyerang penjaga keamanan di pos-persimpangan feri dan membakarnya. Seorang ayah berusia 31 tahun dari dua anak kecil dan pemuda berusia 19 tahun secara brutal dipukuli sampai mati dan mayat mereka dibuang di sungai. Menurut penyelidik dan sumber yang berbasis di Riau, pelaku pembunuhan tersebut terlibat dalam praktik pembalakan liar dan menggunakan feri sebagai jalan pintas. Seseorang yang diduga sebagai pemimpin kelompok yang melakukan pembunuhan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan politisi lokal yang menjabat sebagai bupati.6 Karena kejadian tersebut, APRIL, WWF, dan pejabat lokal, sepakat untuk mengatur pos pemeriksaan dan mengadakan patroli pemeriksaan bersama APRIL-WWF untuk memerangi pembalakan liar. Pada periode ini, APRIL menyerahkan audit pembelian kayunya untuk menunjukkan bahwa kayu yang didapat berasal dari sumber yang resmi, dan berkomitmen untuk menjaga "Lahan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi" di konsesi hutan Indonesia.

    Pada tahun 2005, APRIL dan WWF sepakat untuk melipatgandakan luas area Taman Nasional Tesso Nilo hingga 1.000 km persegi, setelah sebelumnya menyerahkan hak area penebangannya dan berjanji untuk membujuk pemegang hak penebangan lainnya untuk melakukan hal yang sama. Pada tahun yang sama, pertemuan antara staf WWF dan masyarakat desa berujung pada kerusuhan. membakar pos dan membunuh stafnya. Pada tahun 2009, mobil patroli yang dimiliki oleh kantor Taman Nasional Tesso Nilo diserang dan dibakar.7 Dilaporkan bahwa penduduk desa menentang perluasan area taman nasional.

    Taman Nasional Tesso Nilo disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. Kpts 255/Menhut-II/2004, tanggal 19 Juli 2004.8 Pada bulan Juli 2007, Pemerintah Provinsi Riau membentuk tim untuk memberantas perambahan hutan melalui Keputusan Gubernur No. Kpts: 271.a/VII/2007, tertanggal 3 Juli 2007. Pengawas taman diangkat pada bulan Oktober 2006.9 Tesso Nilo secara resmi diperluas melalui Keputusan 6 Salah satu tersangka utama yang dilaporkan kemudian ditangkap- bukan untuk tuduhan pembunuhan, tapi untuk tuduhan pencurian perkebunan kelapa sawit milik polisi. 7 Lihat http://news.detik.com/read/2009/02/13/155109/1084589/10/mobil-patroli-milik-dephut-dibakar-perambah-hutan-tesso-nilo (Diakses Desember 2012). 8 Lihat http://www.wwf.or.id/berita_fakta/lembar_fakta/?22500/Sekilas-Taman-Nasional-Tesso-Nilo (Diakses December 2012). 9 Lihat Laporan CEPF "Laporan Lengkap Proyek Akhir CEPF "pada bulan September 2007 . CEPF merupakan kepanjangan dari Critical Ecosystem Partnership Fund yang merupakan badan antar pemerintah yang terdiri dari enam institusi: LAgence Franaise de Dveloppement, Conservation International, the

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    11

    Menteri Kehutanan No 663/Menhut-II/2009, yang ditandatangani pada tanggal 15 Oktober 2009.10 Beberapa area Tesso Nilo berdekatan dengan sisa area konsesi: Seperti bekas HPH PT Dwi Marta (Sekarang PT RAPP) di sebelah utara, sekitar 4.600 hektar.; Koperasi Primer/Asian Agri (perusahaan minyak sawit) di sebelah timur; dan Koperasi Lubuk Batu Indah (minyak sawit) juga di sebelah timur. Di selatan, PT Putri Lindung Bulan (perkebunan kayu) bertentangan dengan Tesso Nilo

    Batas area Tesso Nilo adalah sekitar 112 km. Perlu dicatat bahwa setelah 10 tahun, penggambaran area perbatasan masih belum selesai. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Tesso Nilo status saat ini (Desember 2012) adalah bahwa proses pembatasan area hampir selesai, dengan sekitar tujuh km tersisa yang belum ditetapkan pembatasannya. Proses ini membutuhkan waktu yang lama karena penduduk desa terus menghapuskan pos demarkasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kebencian penduduk lokal masih berlangsung sampai saat ini. Masalah ini menimbulkan pertanyaan dasar atas model advokasi LSM di taman nasional, apakah model mereka berkesinambungan Tampak bahwa konsep taman nasional ditolak oleh masyarakat yang sebelumnya diuntungkan dari ekstraksi kayu untuk tujuan komersil.

    Berdasarkan Critical Ecosysrem Partnership Fund (CEPF) anggaran tahunan untuk Tesso Nilo tidak diketahui dengan pasti. Pendanaan untuk Tesso Nilo berasal dari berbagai sumber. Menurut sebuah laporan laporan (data sampai 2007), CEPF mengalokasikan 16 bantuan dengan total sebesar $162.261.996 ke Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh, tetapi total pengeluaran tampaknya telah lebih dari $8 juta (lihat di bawah)11. Tesso Nilo Conservation Forest Trust Fund didirikan untuk membiayai pengelolaan jangka panjang di daerah tersebut. WWF AS dan WWF Jepang mendukung pembentukan dana ini, dengan WWF Jepang memberikan kontribusi $ 40.000. Pemerintah Australia telah menyediakan dana untuk proyek dan Pemerintah Belgia berkomitmen untuk menyediakan EUR 200.000 dalam bentuk bantuan untuk pembangunan pusat konservasi gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo. Kuartal pertama dana tersebut dicairkan pada tahun 2011. Proyek ini bertujuan untuk mendanai relokasi puluhan gajah jinak dari Minas di Siak kabupaten, ke Tesso Nilo12. Global Environment Facility, Pemerintah Jepang, the John D. and Catherine T. MacArthur Foundation, dan Bank Dunia. Lihat www.cepf.net. 10 Lihat http://www.attayaya.net/2011/07/taman-nasional-tesso-nilo-tntn-riau.html (Diakses December 2012) 11 Laporan Lengkap Proyek Akhir CEPF Tahun 2007 menyebutkan adanya pengeluaran sebesar $ 2.261.996 sampai tahun 2007. 12

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    12

    Tesso Nilo telah menerima bantuan keuangan yang cukup besar selama bertahun-tahun. Klaim yang berbeda dari kami menemukan jumlah bantuan yang jauh lebih besar dengan tidak adanya hasil yang nyata. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah audit keuangan independen dengan fokus pada korupsi diperlukan untuk meneliti adanya indikasi korupsi.

    Tesso Nilo Trust Fund didirikan di Indonesia dan luar negeri, dengan sekretariat Trust Fund di Jakarta. trust Fund memiliki basis di Brunei Darussalam dan HMR Trust Ltd menjadi pengawas untuk Tesso Nilo Censervation Trust. WWF juga membangun kemitraan dengan HSBC Singapura sehingga keduanya bisa bertindak sebagai pengawas13. Menurut The Trust Fund, Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo adalah satu-satunya agen lokal yang menerima bantuan. The Nature Conservation Agency (Balai Konservasi Sumber Daya Alam, BKSDA14) telah membeli tanah seharga $ 150.000 untuk kantor taman nasional. Rincian tentang pengelolaan dan alokasi ke dana ini tidak jelas.

    Taman Nasional Tesso Nilo dikelola oleh Yayasan Tesso Nilo, yang melibatkan 17 pemangku kepentingan dari dari komunitas LSM, sektor swasta, dan masyarakat setempat. The Tesso Nilo Community Forum (Forum Komunitas Tesso Nilo) mewakili 22 desa keseluruhan. Direktur Eksekutif Yayasan Tesso Nilo memperkirakan bahwa terdapat sekitar 7.000 penduduk desa yang masih terus hidup di dalam area taman nasional. Jumlah tersebut merupakan 0,13% dari 5,5 juta penduduk di Riau.15 Seperti yang ditunjukkan dari kasus kekerasan yang disebutkan di atas, Tesso Nilo menanggung beban akibat kurangnya dukungan penduduk setempat. Masalah utamanya adalah karena hilangnya pendapatan (dari penebangan, perkebunan kecil, pertanian, dan perburuan satwa liar) dan adanya konflik antara manusia dengan satwa liar. Untuk mengatasi masalah tersebut, Yayasan Tesso Nilo meluncurkan proyek eco-tourism Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Tesso_Nilo_National_Park (diakses Desember 2012). 13 HSBC telah menjadi pendukung aktif mereka (Forest Stewardship Council) FSC, eksekutif HSBC mengatakan tim penilai penilai secara off the record bahwa kebijakan perjanjian jangka panjang akan mencegah bankir dari kritikan atau penyerangan oleh organisasi LSM militan, serta mempersiapkan sistem perbankan untuk skema perdagangan karbon baru. HSBC, selain Deutsche Bank, yang berinvestasi di sistem perbankan non-tradisional (Wawancara dengan eksekutif perbankan senior kebijakan bank terkait dengan masyarakat OMS seperti WWF). Bawaan alamiah mengenai kepercayaan masih menjadi misteri, karena kepercayaan tidak cukup memenuhi transparansi laporan, tidak termasuk pendanaan pajak dan praktik akuntansi publik. 14 Pada tanggal 15 Januari 2013, dalam upaya untuk memulihkan beberapa daerah taman, pihak berwenang berencana untuk meracuni pohon kelapa sawit dan mengusir pekerja migran. 15 Lihat Central Bureau of Statistics: Census 2010; http://www.bps.go.id/65tahun/SP2010_agregat_data_perProvinsi.pdf (diakses Desember 2012).

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    13

    (www.tessoniloecotour.com) dan melakukan patroli "flying squads" yang menggunakan gajah terlatih untuk mengusir gajah liar.

    Kami menemukan bahwa strategi ini adalah untuk memenuhi kampanye lingkungan global dan untuk pengumpulan dana, daripada menghasilkan pembangunan berkelanjutan, lapangan kerja untuk masyarakat, atau hasil nyata dalam menjaga lingkungan.

    4. OBJEKTIF PROYEK16 Menurut CEPF, dua tujuan utama pendirian Taman Nasional Tesso Nilo adalah untuk "konservasi hutan dataran rendah" dan "konservasi keanekaragaman hayati". WWF menambahkan tujuan tersebut dengan "berjuang untuk memastikan keberadaan masyarakat yang terlibat dalam penebangan liar, yang akan kehilangan pendapatan mereka karena perluasan area taman nasional. Dua ancaman untuk proyek ini adalah : 1. Lahan, karena adanya penebangan liar, perambahan, dan kebakaran di area hutan konversi; dan 2. Perburuan spesies utama, seperti harimau dan gajah. Nampaknya, sampai saat ini tidak ada penilaian publik terhadap kegagalan dan keberhasilan proyek tersebut. Dari bukti-bukti yang kuat, nampaknya ada indikasi bahwa setidaknya dua pertiga dari luas seluruh area taman nasional telah terdegradasi sejak awal 17. Dua kegiatan pengelolaan utama di Tesso Nilo yang terdaftar di CEPF adalah : 1. Perluasan area taman nasional untuk menyelamatkan habitat gajah dan harimau; dan 2. Pengelolaan taman nasional yang meliputi kegiatan patroli, peningkatan jumlah staf pengelola taman dan mitra utama, dan bantuan teknis untuk efektivitas pengelolaan taman. Menurut WWF, Tesso Nilo merupakan hutan sekunder yang kaya keanekaragaman hayati. Tesso Nilo adalah hutan dataran rendah yang tersisa di Sumatera, yang terdiri dari 215 pohon dan spesies tumbuhan 82 (beberapa di antaranya digunakan oleh masyarakat pribumi sebagai untuk obat herbal), dan rumah bagi 34 spesies hewan, beberapa di antaranya dikategorikan terancam punah.18 Tujuan dari konservasi alam di atas cenderung menikmati kesepakatan sosial yang besar di negara berkembang; namun penjelasan mengenai keuntungan mereka tidak jelas. Sebagai 16 Bab ini tergambar dengan jelas pada dokumen CEPF, Assessing Five Years of CEPF Investment in the Sumatra Forests Ecosystem of the Sundaland Biodiversity Hotspot, Maret 2007. 17 Lihat data perusahaan pada bab 6 laporan 18 Informasi ini diambil dari brosur Yayasan Tesso Nilo

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    14

    contoh, penggiat konservasi secara langsung mengemukakan keuntungan ekonomi dan sosial yang terkandung di dalam keanekaragaman hayati yang besar, seperti untuk bahan pengobatan herbal. Pemanfaatan aset kekayaan alam oleh perusahaan swasta (contohnya farmasi) ini menimbulkan pertanyaan mengapa keuntungannya boleh diprivatisasi, sedangkan biaya pemeliharaan lingkungan yang sangat besar (contohnya seperti bentuk taman nasional) disosialisasikan kepada masyarakat (yang ditanggung oleh pembayar pajak). Secara sama konservasi alam liar secara keseluruhan memberikan keuntungan untuk masyarakat, tetapi di negara berkembang menimbulkan risiko yang besar kepada penduduk lokal, seperti hilangnya mata pencaharian, dan juga menimbulkan ancaman bahaya seperti ketika gajah menghancurkan perkebunan dan harimau menyerang penduduk desa. Romantisasi terhadap alam dapat mengabaikan sisi asli alam yang terkadang berakibat pada hilangnya nyawa manusia.

    5. PENYIMPANGAN DARI KESEPAKATAN AWAL Tujuan bentuk konservasi untuk Taman Nasional Tesso Nilo jelas diartikulasikan pada saat pembentukannya. Ada indikasi awal bahwa taman nasional digunakan untuk tujuan asing. Dalam sebuah dokumen 2005, WWF menyatakan: " Program Lanskap Tesso Nilo WWF menggunakan data harimau secara ekstensif untuk dijadikan lahan lobi penggunaan lahan, analisis HCVF, dan penggalangan dana"19 Secara kritis, pernyataan ini menunjukkan bahwa desain WWF adalah untuk menggunakan Taman Nasional Tesso Nilo tersebut untuk dijadikan bahan lobi dan untuk mengumpulkan dana. Tidak jelas seberapa besar tujuan WWF ini mengambil alih peran utama taman nasional sebagai tempat perlindungan. Tidak jelas pula sampai sejauh apa dana bantuan diselewengkan dari tujuan awal dan apakah sumber tersebut dikelola dengan bertanggung jawab. Namun, pada tahun 2012, WWF tampaknya telah secara sepihak mendefinisikan kembali tujuan Tesso Nilo, fokusnya lebih pada peran potensial dari taman dalam penyimpanan karbon dan sebagai landasan peluncuran untuk serangan pada perusahaan swasta, dari pada perannya dalam konservasi alam dan satwa liar. Hal ini terlihat dari presentasi WWF kepada Departemen Kehutanan Republik Indonesia, yang menyatakan penghitungan karbon dan MRV (Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi), mengembangkan dokumen desain proyek menggunakan VCS dan CCBS, pendaftaran proyek, dan mengembangkan pemerintahan dan lembaga sebagai kegiatan utama WWF di Tesso Nilo20. Presentasi dalam slide-nya, yang diupayakan sejauh ini, menyatakan bahwa "Hutan di area non-negara dan konversi hutan 19 Lihat http://www.panthera.org/sites/default/files/STF/2005-0013-028.pdf; halaman 38 (terakhird diakses pada 24 December 2012) 20 Lihat http://forestclimatecenter.org/redd/2012-03-28%20Presentation%20-%20WWF%20Indonesia%20REDD+%20Project%20Development.pdf (Diakses December 2012);

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    15

    produksi harus menjadi target pertama untuk ditangani, dan saling berhubungan dengan lainnya, misalnya perencanaan tata ruang, mengurangi dampak pembalakan, HCV, RCA, pendekatan partisipatif masyarakat, dan sebagainya "Tidak ada satupun dari pernyataan tersebut merujuk pada upaya konservasi, yang merupakan maksud awal pendirian taman nasional. Berdasarkan presentasi itu, WWF juga bermaksud untuk menargetkan hutan non-pemerintah (swasta) dan konversi hutan dari studi yang didapatkan dari Tesso Nilo. Hal ini tampaknya menunjukkan rencana WWF untuk menjauh dari tujuan awal pendirian taman nasional dan menggunakannya untuk melakukan serangan terhadap kepentingan pribadi, yang merupakan bagian dari strategi kampanye global,sejalan dengan Friends of the Earth. Tampak bahwa model konservasi yang diajukan oleh WWF di Tesso Nilo telah gagal (lihat dibawah) Berangkat dari motivasi asli untuk menjaga hutan dan satwa liar, tampaknya WWF sekarang bertujuan untuk membuat Tesso Nilo sebagai sebuah situs percontohan REDD +.21 Upaya LSM sehubungan dengan Tesso Nilo telah bergeser dari tujuan utamanya yang fokus pada konservasi, telah bergeser untuk menjadikannya bahan percobaan konsep REDD+ yang tidak terbukti. Hal ini mungkin dimaksudkan sebagai pengalihan dari kenyataan bahwa WWF gagal dalam mencapai tujuan proyek. Pendekatan baru yang diusulkan tidak berefek apapun pada perambahan hutan dan bahkan dapat menurunkan keberlangsungan Tesso Nilo, karena REDD + tidak akan melibatkan penduduk setempat dengan memberikan insentif kepada mereka untuk mengelola hutan di sekitar mereka secara lestari. Pada akhirnya, tampaknya bahwa Taman Nasional Tesso Nilo telah menjadi proyek ilmu sosial, sebagai agenda percobaan yang dilakukan oleh LSM asing di Indonesia

    6. RELEVANSI, EFEKTIVITAS, EFISIENSI, DAN KEBERLANGSUNGAN KEGIATAN PROYEK

    Pembentukan Taman Nasional Tesso Nilo, pengelolaan taman, konservasi hutan dan satwa liar, maupun kompensasi ekonomi kepada penduduk lokal atas hilangnya pendapatan karena pembangunan taman nasional, memerlukan pengujian lebih lanjut tentang prinsip good-governance yang dapat diterima secara luas, efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan taman nasional. Sebagaimana telah disebutkan di atas, sebagian besar Tesso Nilo digunakan sebagai area konsesi perusahaan swasta, termasuk APRIL. Negosiasi antara WWF dan APRIL berdampak 21 Lihat http://forestclimatecenter.org/redd/2012-03-28%20Presentation%20-%20WWF%20Indonesia%20REDD+%20Project%20Development.pdf; 10 Mai 2012; Proyek Pengembangan REDD+ WWF

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    16

    pada pendeklarasian Taman Nasional Tesso Nilo oleh Pemerintah Indonesia. Status hukum taman nasional memasukkan hutan dan satwa liar secara resmi dilindungi oleh negara. Karena itu, dalam istilah resmi, pembuatan Tesso Nilo sesuai dengan tujuan konservasi alam. Namun metode pelaksanaannya kurang efektif dan kurang bisa bertahan, selama penduduk setempat tidak memainkan peranan penting dalam pembangunan taman nasional. Keberadaan LSM tidak merundingkan masalah ini. Bahkan setelah LSM pemberian edukasi kepada penduduk desa mengenai pentingnya konservasi alam, sebagian besar penduduk desa tetap menentangnya dan mengabaikan aturan yang ada (seperti larangan perambahan). Area Tesso Nilo, yang masih memperbolehkan penduduk untuk menggunakannya, telah ditentukan. Tetapi tidak mengurangi fakta bahwa sebagian besar lahan yang digunakan penduduk, dianggap oleh penduduk sebagai miliknya, atau hak mereka untuk menggunakan dan menguangkannya, sebagai gambaran area yang secara de facto bukan diperuntukkan untuk mereka. Pelucutan tiang batas demarkasi terus menerus oleh penduduk desa setempat, membuktikan kurangnya keberlangsungan taman nasional. Manajemen taman nasional, dalam arti luas, bertanggung jawab dalam pemeliharaan area taman, yaitu menjaga wilayah taman nasional dari perambah hutan, penebang, dan pemburu satwa liar; yang secara langsung relevan dengan tujuan proyek taman nasional. Pengurus taman nasional juga mengontrol prosedur pengambilan keputusan. Metode kolaboratif yang digunakan yayasan Tesso Nilo tidak meningkatkan penerimaan taman nasional oleh penduduk lokal, yang dengan demikian tidak dapat dikatakan efektif atau berkelanjutan. Namun, penilai tidak diberikan informasi apapun tentang kebuntuan atau kemacetan proses pengambilan keputusan oleh yayasan ini. Seberapa efektifkah kinerja pengelola taman nasional dalam perlindungan taman nasional? Menurut laporan publik dan informasi yang dikumpulkan selama evaluasi, gambarannya nampak sangat suram. Perambahan, pembalakan liar, dan pembunuhan satwa liar terus terjadi. Bahkan pihak pengelola taman sendiri dicurigai terlibat dalam aktifitas ini. Laporan CEPF tahun 2008 mengungkapkan bahwa "staf korup pada pengelola taman nasional dilaporkan terlibat pada pembalakan liar"22 Laporan CEPF lainnya pada tahun 2007 membawa pada kesimpulan bahwa "sekitar 20% staf taman nasional terlibat pada aktifitas pembalakan liar dan perambahan" dan juga bahwa "tidak ada tindakan tegas untuk menghentikan tindakan ini"23 Bukti mengenai besarnya perambahan hutan masih belum jelas, tapi dari informasi yang 22 Lihat CEPF (2008): Perluasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Perlindungan Ekosistem perluasannya, Formulir Lengkap Proyek Akhir 23 Lihat CEPF (2007): Penilaian Lima Tahun Investasi CEPF di Ekosistem Hutan Sumatera dari Sunderland Biodiversity Hotspot.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    17

    dikumpulkan oleh penulis, menunjukan aktifitas perambahan hutan yang besar. Berdasarkan laporan CEPF, perambahan diperkirakan naik dua kali lipat dari 18.000 hektar menjadi 35.000 hektar pada tahun 2006.24 Ketika ditanya oleh tim pengkaji untuk menunjukkan gamparan peresntase keseluruhan area Taman Nasional Tesso Nilo yang mengalami kerusakan, Deputi Pelaksana Jikalahari/WWF tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada salah Eksekutif Senior Perusahaan Indonesian Pulp and Paper pada bulan Desember 2012, ia memberikan angka mengejutkan, yaitu sekitar dua pertiga luas wilayah dan mengindikasikan adanya sejumlah peta yang mendukung estimasi ini.25 Peta didapatkan dari sumper pemerintah, termasuk peta yang didapatkan dari Yayasan Tesso Nilo, mengkonfirmasi tingkat deforestasi yang tinggi (lihat peta dibawah) GAMBAR 1: PETA TESSO NILO26

    24 Lihat CEPF (2007): Pembuatan dan Pengelolaan Kawasan Lindung Tesso Nilo sebagai Pusat Koridor Konservasi Tesso Nilo Bukit Tigapuluh Sumatra 25 Eksekutif tersebut menolak memberikan soft copy peta kepada pengkaji. 26 Sumber: Didapatkan dari Direktur Eksekutif Yayasan Tesso Nilo tahun 2012. obtained from Tesso Nilo Foundation Executive Director, dated 2012 Peta ini menunjukkan bahwa hanya daerah hijau ditutupi dengan hutan. Daerah putih di dalam Taman Nasional Tesso Nilo adalah wilayah yang terdegradasi

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    18

    Sumber: Diperoleh dari Direktur Eksekutif Yayasan Tesso Nilo, pada tanggal 2012 . Peta ini menunjukkan bahwa hanya daerah hijau ditutupi dengan hutan. Daerah putih di dalam Taman Nasional Tesso Nilo tidak lagi diklasifikasikan sebagai hutan alami

    Pada bulan Februari 2013, tepat sebelum publikasi laporan ini, peta tambahan diperoleh dari sumber LSM menggambarkan serangkaian waktu degradasi dalam daerah yang sekarang ditetapkan sebagai Taman Nasional Tesso Nilo selama periode tahun 12 sampai sampai April 2012 berdasarkan pemantauan Landsat, dilengkapi dengan gambar satelit satelit yangdivalidasi oleh foto udara. Data baru ini menunjukkan bahwa sejak bulan April 2012, 64 persen dari Taman Nasional Tesso Nilo dapat dikategorikan sebagai "serius terdegradasi" dan lebih dari 12.000 hektar hutan alam dihancurkan selama periode 25-bulan dari Februari 2010 sampai April 2012. Peta terbaru ini menunjukkan tingkat degradasi dari taman nasional yang jauh lebih tinggi daripada yang diungkapkan oleh LSM atau pejabat publik ungkapkan sebelumnya. Baru-baru ini, tanggal 25 Januari 2013, LSM Jikalahari membuat pernyataan di media mengenai degradasi, dengan mengatakan bahwa "Hasil pemantauan menunjukkan bahwa kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 15.714 hektar."27 LSM-LSM mengklaim bahwa migrasi besar-besaran ke wilayah Tesso Nilo bertanggung jawab atas perambahan lahan. Bukti kuat untuk mendukung klaim ini kurang dan bahkan jika itu benar itu akan mengubah apa-apa dalam analisis akhir. Bukti bergambar menunjukkan adanya kampanye sistematis dan terorganisir yang dilakukan, untuk mengkonversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit skala kecil, dan menunjukkan bahwa metode saat ini yang digunakan untuk menggulanginya hampir sepenuhnya tidak efektif. Pertanyaan mengenai "siapakah" perambah di kawasan lindung kurang penting dibandingkan pertanyaan mengenai "mengapa" hal tersebut terjadi dan "bagaimana" cara untuk menghadapi masalah ini. Tidak jelas apakah WWF menyarankan larangan migrasi sebagai langkah untuk mengatasi perambahan. Hal ini akan sama saja dengan merestui pemerintahan otoriter - sesuatu yang akan membutuhkan pemimpin otoriter, konsep tidak dapat diterima di demokrasi Indonesia saat ini. Hal ini menimbukan pertanyaan, apakah baik rencana penggusuran kepada pendatang dan upaya meracuni pohon,28 adalah peninggalan dari kebijakan masa lalu. 27 Lihat http://pekanbaru.tribunnews.com/2013/01/25/gajah-sering-masuk-ke-lahan-warga-yang-merambah-tntn 28 Kami mempertanyakan kelogisan dari meracuni pohon sawit daripada membiarkan vegetasi alami mengambil alih, yang pada kondisi tropis akan membutuhkan kurang dari enam bulan.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    19

    Patroli anti perburuan telah dilakukan dan relevan dengan tujuan proyek. Efektivitas mereka tidak dapat ditentukan. Pada tahun 2007, kegiatan patroli telah menyita 33 perangkap (11 perangkap harimau dan 18 perangkap buran di wilayah Tesso Nilo dan empat perangkap penjerat mangsa di perbatasan). Hal ini nampaknya, ketika diambil sebagai perbandingan biaya, merupakan taktik yang kurang efektif untuk mencegah atau memberikan hasil secara signifikan terhadap populasi harimau yang terancam punah. Efektifitas mitigasi konflik antara manusia dengan satwa liar juga nampak kurang. Dua belas gajah dilaporkan tewas dibunuh di riau selama dua bulan pada tahun 2006. Sebelumnya juga diperkirakan bahwa populasi gajah mengalami penurunan sebesar 75 %, dari 1.067-1.617 gajah pada tahun 1985 menjadi 353-431 gajah pada tahun 2003. Informasi mengenai jumlah pasti populasi gajah di taman nasional sangat bervariasi. Dalam sebuah publikasi dari CIna pada tanggal 13 Juni 2012, estimasi jumlah gajah sdiperkirakan menjadi 2.400 sampai 2.800, turun dari 3.000 sampai 5.000 pada tahun 2007. 29 Pada bulan Oktober 2012, ditemukan lagi gajah yang tewas, dengan total delapan gajah dilaporkan tewas di Tesso Nilo dari Maret sampai Oktober 2012.30 Kami menemukan bahwa perbedaan data merupakan bagian dari politic of fear yang sengaja dipilih oleh WWF dan LSM untuk menimbulkan keresahan publik. Tetapi jika kita mengambil kedua data, ditemukan perbedaan dari 680 persen antara laporan dari Cina dengan WWF. Hal ini membutuhkan klarifikasi ilmiah minimum. Dalam wawancara dengan Bapak Yuliantony, Direktur Eksekutif Yayasan Tesso Nilo mengatakan bahwa Yayasan kekurangan jumlah "flying squads" yang memadai untuk melindungi desa dari serangan gajah. Walaupun kami menemukan kredibilitas yang kecil pada program yang ditempuh ini untuk menanggulangi kerusakan taman nasional, dan berkurangnya pengawasan WWF/LSM (karena menganggapnya sebagai entrusted assets), yang tidak relevan jika kita melihatnya dalam konteks konservasi Sampai saat ini belum ada pembayaran finansial kepada penduduk desa sebagai kompensasi atas restriksi yang dibebankan kepada mereka karena pembangunan Tesso Nilo. Dalam hal apapun, hanya pemberian dana bantuan saja tidak akan berkelanjutan, penduduk desa mengharapkan untuk mendapat bayaran yang lebih dari itu dan insentif untuk menjadi mandiri secara finansial. Sekali lagi, kami menemukan program ini kontra produktif yang menjadikan masyarakat hanya sebagai penerima bantuan sosial saja. 29 Lihat http://www.china.org.cn/environment/2012-06/13/content_25636032.htm (Diakses December 2012). 30 Lihat http://www.wwf.or.id/en/about_wwf/whatwedo/forest_species/where_we_work/ tessonilobukittigapuluh/?26180/Eight-Elephants-Dead-in--Tesso-Nilo (accessed December 2012)

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    20

    Tidak jelas apakah penduduk setempat mendapatkan keuntungan dari adanya ekowisata yang diluncurkan baru-baru ini. Bagaimanapun sangat tidak mungkin hasil dari kegiatan ini akan signifikan. Baik untuk berkontribusi dalam agenda pembangunan nasional, atau menjaga lingkungan. Mengingat kurangnya keberhasilan dan tindakan yang berkesinambungan, cukup beralasan jika mengatakan bahwa efisiensinya sangat rendah.

    7. APAKAH ASET KEUANGANNYA MEMADAI? Lembaga antarnegara CEPF (yang mengkoordinasikan dana bantuan dari pemerintah Perancis dan Jepang seperti Bank Dunia) mengalokasikan 16 hibah sebesar USD 2.261.996 untuk Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh sampai tahun 2007 . Dari tabel di bawah yang berasal dari dokumen CEPF, Terlihat bahwa dana bantuan proyek Tesso Nilo minimal lebih dari USD 8,2 juta.31 Ini merupakan jumlah yang besar tanpa hasil yang nyata, tidak bisa dikatakan sebagai pengelolaan dana bantuan publik yang yang efisien dan tidak dapat diterima. Total pembelanjaan oleh donor mungkin secara signifikan lebih tinggi dari dana yang dikucurkan CEPF. TABEL 1: PENGELUARAN DONOR TESSO NILO

    31 Lihat http://www.cepf.net/Documents/asia.sari.surjadi.cepf.pdf (Diakses Desember 2012). Tidak ada penjelasan pada tabel presentasi.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    21

    Hal signifikan yang tidak diketahui lainnya adalah seberapa besar penggalangan dana WWF selama beberapa dekade terakhir untuk proyek Tesso Nilo, dan bagaimana pengelolaan uang tersebut. Tampaknya pendanaan untuk Tesso Nilo telah dan terus diarahkan untuk aktivisme on-the-ground di propinsi Riau. WWF Indonesia tidak transparan mengenai penggunaan dan pendanaan keuangan mereka. Masalah ini diperparah dengan fakta bahwa Jikalahari, yang dibiayai secara besar oleh WWF bukanlah organisasi konservasi, namun kelompok aktivis kampanye di Riau (tertulis dalam website mereka demikian).

    Kelompok aktivis lainnya di Riau yang mirip dengan WWF. "Eyes on the Forest adalah koalisi dari tiga organisasi lingkungan di Riau, Sumatra, Indonesia, seperti: WWF Indonesia untuk Program Tesso Nilo, Jikalahari, dan Walhi Riau", berdasarkan situs mereka. Tidak diketahui dengan jelas apakah WWF mengalihkan dana Tesso Nilo untuk Eyes in the Forest. Pada 20 Desember 2012, Eyes in the Forest melakukan serangan yang agresif kepada perusahaan APRIL, bersama dengan demonstran dari LSM lainnya.Ini adalah demonstrasi lainnya yang dilakukan oleh LSM setelah satu tahun sebelumnya, pemerintahan Presiden Yudhoyono memanggil LSM asing dengan mengatakan kepada mereka "jauhi urusan dalam negri"32 Hal ini cukup dapat diperkirakan, melihat kesulitan dan tingkat degradasi Taman Nasional Tesso Nilo yang dihadapi, WWF, Yayasan Tesso Nilo, dan penyokong proyek lainnya sekarang mencari dan menekankan perlunya banyak dana untuk meningkatkan kinerja mereka. Namun dari paparan diatas, sulit dipercaya bahwa lebih banyak uang akan mengarang pada konservasi yang lebih baik.

    Peningkatan dana bantuan lebih memungkinkan untuk meningkatkan praktik korupsi, daripada untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Sebagai tambahan, karena Tesso Nilo bukanlah bentuk pengelolaan swasta, maka jika masalah berlanjut akan meminta dana bantuan terus menerus karena pengelolaan taman nasional tidak memberikan insentif untuk menaikan kinerja. Nampaknya dapat diperkirakan bahwa mereka akan terus bekerja secara kurang optimal agar terus mendapatkan dana dan menaikan dana bantuan. TABEL 2: RELEVANSI, EFEKTIFITAS, EFISIENSI, DAN KEBERLANGSUNGAN KEGIATAN PROYEK

    Project activity Relevan Efektif Efisien Berkelanjutan

    Status legal taman nasional

    Ya Tidak: adanya perambahan

    Tidak Tidak: Penduduk lokal tidak mendukung

    Manajemen taman nasional

    Ya Tidak: korupsi Tidak Tidak: Taman nasional bukan manajemen properti

    32 Lihat http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/23/sby-tells-foreign-ngos-back-domestic-affairs.html; 23 December 2011

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    22

    pribadi

    Perlindungan hutan dan satwa liar

    Ya No: pembalakan liar dan peracunan gajah

    TIdak Tidak

    Ekowisata sebagai sumber pendapatan alternatif untuk penduduk lokal

    Ya Tidak Belum teruji dan belum terbukti

    Tidak: Penduduk lokal tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan

    Kami menemukan bahwa terlalu banyak fokus yang merupakan agenda sekunder, menggunakan Tesso Nilo, daripada fokus terhadap tujuan konservasi. Hal ini tampak dari adanya kemuduran dengan mempertanyakan bahwa status hukum manajemen taman nasional sedang dalam proses perubahan, atau perjanjian yang telah ada sedang dilanggar, karena pengawasan eksternal dan transparansi publik sangat sedikit tersedia. 8. KEGAGALAN DAN KESUKSESAN Berdasarkan yang tertulis di atas, sulit untuk mengidentifikasi kesuksesan. Tujuan proyek dalam konservasi alam dan satwa liar mengalami banyak kegagalan, dari besarnya tingkat perambahan hutan dan pembalakan liar yang menghancurkan taman nasional. Terlebih lagi, beberapa orang yang dipercaya untuk menjaga Tesso Nilo, diduga mengambil bagian dari kehancuran tersebut.

    TABLE 3: OBJEKTIF PROYEK DAN INDIKATORNYA Objektif Proyek Berhasil/gagal Indkator

    Perlindungan hutan dan satwa liar

    Gagal Perambahan besar-besaran, pembalakan liar, peracunan gajah, konflik antara manusia dan hewan, dan kurangnya dukungan masyarakat.

    Pendapatan alternatif untuk penduduk lokal

    Gagal Perambahan, kecilnya nilai ekonomi dari ekowisata/

    Dukungan penduduk lokal

    Gagal Kekerasan: hilangnya nyawa manusia dan pembakaran mobil polisi hutan, pengapusan tiang pembatas wilayah

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    23

    Pembangunan Taman Nasional Tesso Nilo telah merampas pendapatan penduduk lokal, dan sebagai kompensasinya adalah kurangnya dukungan dari masyarakat. Masalah di Tesso Nilo ini juga disertai oleh adanya korupsi dan manajemen yang tidak efektif. Kelompok lingkungan asing (termasuk WWF) telah keluar dari fokus utama proyek yang murni untuk melakukan konservasi, dan sekarang berusaha meraih tujuan lain seperti melakukan perlawanan terhadap pemain sektor swasta. Ketidakpercayaan dan kekesalan telah menjadi hasil masalah ini.

    Mungkin pelajaran besar yang diambil dari kasus Tesso Nilo ini adalah untuk menghindari penggunaan model Tesso Nilo, di waktu yang akan datang. Pengkajian dari LSM sendiri menunjukkan penolakan-baik secara disengaja atau tidak disengaja- untuk mengagui kenyataan tersebut. Pembalakan liar, korupsi, dan penyalahgunaan taman nasional yang dilakukan oleh staf taman nasional itu sendiri, telah meluas.

    Jika data mengindikasikan bahwa 66 persen kehancuran area taman telah dikonfirmasi akurat, seseorang harus mulai menanyakan pertanyaan sulit seperti: Apakah alternatif dari model perlindungan lindungan yang baru untuk mencegah penyalahgunaan di masa datang? Mengapa tidak ada diskusi mendalam dengan sektor swasta untuk terlibat sebagai donor penting dalam model berbasis kerjasama? (Ini berbeda dari pendekatan yang berseberangan saat ini)

    Bukti anekdot memberitahukan bahwa kepemimpinan LSM di Riau saat ini terdiri dari aktivis garis keras yang dikenal lebih menyukai aktivitas militan. Fakta bahwa aksi kekerasan oleh anggota kunci jaringan aktivis LSM yang beroperasi di Riau, seperti pembunuhan kontraktor APRIL pada bulan Juli 2011, dan hubungan terbuka antara tokoh kunci LSM dengan militan yang diduga terlibat dalam kekerasan, telah menjadi perhatian pengamat lokal tentang adanya perubahan menuju ke arah yang militan. Sangat sedikit kecenderungan adanya kompromi dari kedua belah sisi.

    Kegagalan Tesso Nilo juga mendatangkan pertanyaan mengenai kualitas manajemen, kekeliruan, dan tingkat kemampuan tersebut, sedang digunakan oleh kelompok lingkungan global, termasuk WWF dan lainnya untuk mengelola dana bantuan yang didapatkan dari pemerintah dan masyarakat secara pribadi, untuk tujuan tertentu. Dugaan kesalahan manajemen ini tidak hanya ditemukan dalam kasus di Indonesia. WWF juga menghadapi dugaan ini di Tanzania tahun 2012.33 Hal ini nampaknya menjadi peringatan atas kurangnya pengawasan menyeluruh dan kurangnya tuntutan akuntabilitas untuk dana yang didapatkan dari lembaga donor, maupun pemerintah. Cukup mengejutkan mengingat besarnya jumlah dana dari sektor swasta saat ini sedang diarahkan kepada proyek-proyek konservasi di Indonesia. 33 Lihat http://www.trust.org/alertnet/news/corruption-allegations-hit-wwf-programmes-in-tanzania

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    24

    9. SEBUAH TINJAUAN KRITIS TERHADAP MODEL KONSERVASI ARUS UTAMA A GREENPEACE, WWF, DAN CITES

    Model konservasi mainstream fokus pada pembuatan properti publik, pengesahan larangan, edukasi publik, dan yang terbaru adalah skema perdagangan karbon (carbon trading schemes). Lembaga yang mempungai pengaruh besar nterhadap hal ini adalah WWF, Greenpeace, dan Konvesi Perdagangan Internasional untuk Fauna dan Flora Liar yang Terancam (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, CITES). Mereka menggunakan model arus utama dalam perlindungan terhadap lingkungan dan satwa liar. Tinjauan sepintas di situs mereka mengungkapkan strategi utama yang mereka gunakan. Greenpeace bertujuan untuk mencapai "zero deforestasi, secara global, pada tahun 2020".34 Terlepas dari kenyataan bahwa pernyataan ini tidak memedulikan hutan komersil dan kebutuhan dunia akan kertas, ini adalah tujuan keseluruhan greenpeace yang berkaitan dengan kehutanan. Berdasarkan website mereka, greenpeace terlibat dalam aksi korporasi ("menyelidiki, membongkar, dan menentang kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan"), mempengaruhi konsumen, "solusi" politis seperti Penurunan Emisi dari Degradasi dan Deforestasi (Reduced Emission from Degradation and Deforestation, REDD), bekerjasama dengan komunitas asli, dan sertifikasi Dewan Kepengurusan Hutan (The Dorest Stewardship Council, FSC). Dalam aksi korporasinya, greenpeace bertujuan untuk mengkriminalisasi penyimpangan di sektor korporasi, mengklaim standar moral yang tinggi, dan melakukan aksi langsung yang melampaui batas kelegalannya ke properti swasta, seperti ketika memasang spandung yang tersebar di seluruh gedung perusaan sebagai bentuk kampanye efektif mereka. Berkenaan dengan Indonesia, Greenpeace menyatakan:35 34 Lihat http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/forests/solutions/ (diakses Januari 2013). Greenpeace dan WWF adalah pendukung teori perubahan iklim yang kontroversial. Meskipun kami bukan ilmuwan iklim, kami tidak semerta-merta mengambil sesuatu yang memiliki banyak pertentangan di kalangan ahli. (contohnya Heidelberg Appeal), kurangnya bukti, dan klaim berlebaihan yang tampaknya memiliki motif politik. Jika perubahan iklim yang diakibatkan oleh manusia sebesar masalah yang diklaim, tekanan pemerintah dan birokrasi berlebihan tidak diperlukan.

    35 Lihat http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/forests/asia-pacific/ (diakses Januari 2013).

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    25

    "Para pemusnah masalah hutan hujan Indonesia dan lahan gambut kaya karbon untuk minyak sawit dan kertas adalah alasan utama mengapa Indonesia menjadi negara dunia ketiga penyumbang efek rumah kaca terbesar. Greenpeace mengkampanyekan untuk secepatnya mencanangkan moratorium untuk hutan dan lahan gambut di Indonesia, dan menghilangkan deforestasi pada tahun 2015" Greenpeace nampaknya melihat bahwa musuh utama mereka adalah perusahaan swasta, dan karena itu mereka fokus melakukan kampanye sentimen kepada pelanggan perusahaan tersebut dan pasokan mereka. "Untuk mencapai tujuan ini, kami melakukan penyelidikan terhadap pemasok dunia yang membuat hutan indonesia menjadi produk konsumsi di seluruh dunia, dan kami akan membuka perusahaan yang melakukan perusakan hutan. Setelah beberapa tahun, dengan kampanye dan tekanan bersama pendukung kami, telah membuat Nestle, Uniliver, dan perusahaan besar lainnya membatalkan kontrak dengan pemasok penghancur hutan seperti Sinar Mas". Selain berkampanye melawan kepentingan swasta, larangan penebangan (moratorium), sertifikasi FSC dan REDD, greenpeace nampaknya tidak menawarkan strategi konkret untuk melindungi hutan. Greenpeace berfokus pada strategi "antipati", yaitu strategi antipati atau menentang sesuatu yang dientifikasikan sebagai "bad guys", daripada mengusulkan solusi mandiri layak yang tidak menggunakan tekanan (secara legal dan terkadang secara ilegal) dan pelarangan secara jalur hukum. Sertifikasi FSC membebani biaya yang besar kepada sektor usaha, kerugian pada negara berkembang, dan memusatkan kekuasaan (dan uang) kepada pemberi sertifiikat. 36 Skema "cap and trade" karbon, seperti yang terkandung dalam REDD37, menciptakan pasar buatan yang dampak utamanya adalah peningkatan biaya bisnis. Ekonom Robert Murphy telah menunjukkan: 36 Lihat http://worldgrowth.org/2012/09/new-report-fscs-closed-shop-shutting-down-forestry-in-the-developing-world/ (di akses Januari 2013). 37 Menurut PBB, " REDD adalah mekanisme untuk menciptakan insentif bagi negara-negara berkembang untuk melindungi, mengelola dan menggunakan sumber daya hutan mereka secara bijaksana, berkontribusi terhadap perang global melawan perubahan iklim. Strategi REDD bertujuan untuk membuat hutan lebih berharga untuk tetap berdiri daripada menebangnya, dengan menciptakan nilai finansial bagi karbon yang tersimpan di pohon-pohon Setelah karbon ini dinilai dan diukur, tahap akhir dari REDD melibatkan negara-negara maju membayar kompensasi karbon kepada negara berkembang untuk hutan mereka yang masih berdiri. REDD adalah langkah mutakhir kehutanan yang bertujuan untuk menaikan keseimbangan ekonomi dan mendukung kelestarian hutan juga menguatkan perekonomian, lingkungan dan kebutuhan sosial dan keuntungan jasa negara, masyarakat, keanekaragaman hayati dan pengguna hutan, sementara juga berkontribusi penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca." Lihat http://www.un-redd.org/UNREDDProgramme/FAQs/tabid/586/language/en-US/Default.aspx (diakses Januari 2013).

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    26

    "Perlu dipahami bahwa yang yang disebut dengan cap-and-trade yang dianggap sebagai salah satu proses pasar bebas, tidak bebas sama sekali. Dengan cap-and-trade, pemerintah membatasi jumlah emisi yang diproduksi dan perusahaan dapat melakukan tawar menawar atas jumlah emisi yang tersedia. Pembatasan pemerintah terhadap penjualan emisi di 'pasar' bukanlah bentuk pasar bebas. Jadi walaupun diluarnya tampak mirip, cap-and-trade bukanlah pasar bebas. Jumlah yang diizinkan ini adalah bentuk kelangkaan yang dibuat berdasarkan kewenangan pemerintah. Dalam pasar yang sebenarnya, harga mengindikasikan kelangkaan yang sebenarnya. Jika pipa minyak diserang, harga minyak akan melambung, hal ini kemudian menyebabkan industri dan konsumen melakukan penghematan pada komoditas tersebut. Ini adalah respon yang rasional karena pasokan yang tersedia benar-benar turun. Namun jika harga minyak, batu bara, dan bahan bakar fosil lainnya melambung karena program cap-and-trade , ini tidak merefleksikan kelangkaan ekonomi yang sebenarnya. Konsumen akan ditekan untuk membatasi penggunaan bukan karena kekurangan pasokan, tapi dari angka yang dikemukakan oleh birokrat di Washington. Ini bukan lagi harga pasar jika pemerintah memutuskan untuk menjual izin bersin yang diperbolehkan kepada setiap orang (Cukup masuk akal karena bernapas mengeluarkan CO2). Cap-and-trade bukanlah solusi berbasis pasar, karena bergantung pada skema politik untuk meningkatkan biaya, dan kemudian dapat dilihat sebagai pajak, baik tersembungi atau tidak, pada sumber kehidupan perekonomian kita. Jadi inilah perbedaan jelasnya : topeng cap-and-trade menyebabkan harga konsumen yang lebih tinggi daripada pajak. Inilah tepatnya mengapa banyak politisi yang mendukungnya."38 Lebih jauh lagi, pada pemeriksaan selanjutnya, REDD tidak lebih dari kebijakan redistribusi sederhana ("negara maju membayar negara berkembang untuk hutan mereka", yaitu, untuk tidak mengembangkan lahan mereka). Hal ini perlu dikritik karena menggantikan industri yang produktif denan bantuan asing jangka pendek yang menyebabkan ketergantungan sumber keuangan.39 The NGO World Growth yang merupakan saingan ENGO karena The World Drowth diklaim sebagai juru bicara sektor industri, cukup tepat mengungkapkan bahwa REDD + "mengizinkan negara kaya untuk membeli izin untuk melakukan pencemaran, dan lalu menyalahkan negara miskin untuk melepaskan pertubuhan ekonomi dan menambah ketergantungan pada bantuan internasional".40 Walaupun REDD tidak "menyalahkan "negara-negara miskin untuk tetap terjebak dalam kemiskinan, tapi menciptakan insentid yang bertentangan dengan pembangunan yang mandiri. Terlebih lagi, 38 Lihat http://www.instituteforenergyresearch.org/2008/06/04/cap-trade-is-not-a-market-solution/ (diakses Januari 2013). 39 Lihat http://worldgrowth.org/site/wp-content/uploads/2012/11/WG_REDD_2012_271112.2.pdf (diakses Januari 2013). 40 Ibid.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    27

    pada faktanya skema tersebut menciptakan pasar buatan, harga yang tertera pada karbon simpanan di hutan didasari dari perhitungan sewenang-wenang yang perlu dikritik.41

    WWF Indonesia menggunakan empat strategi utama untuk "menjamin keberlangsungan konservasi hutan ": 1. Pengelolaan Konservasi, 2. Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan, 3. Reformasi sektor dan 4. Pendanaan konservasi secara berkelanjutan. Dengan "pengelolaan konservasi", WWF mengerti pembentukan " secara ekologis, jaringan keterwakilan mengelola kawasan lindung dengan efektif dan menjaga keanekaragaman hayati", "keterlibatan dan dukungan masyarakat lokal", dan meningkatkan "efektifitas daerah yang dilindungi". Perancangan lahan berkelanjutan bertujuan untuk membuat "ekonomi karbon rendah". Dari "reformasi sektor", WWF mengimplikasikan "praktik bisnis berkelanjutan" sebagaimana dinilai oleh sertifikasi FSC. Pada akhirnya, seperti greenpeace, WWF melihat peluang pendanaan berkelanjutan dalam REDD.42 Seperti disebutkan di atas, FSC kontroversial karena terlalu meningkatkan biaya operasi dan secara berpihak, ENGOs tampaknya menggunakan skema standardisasi untuk mendorong agenda ideologi mereka sendiri. World Growth menjadi paling vokal dalam mengkritik ini: "(...) FSC sangat dipolitisasi. Politisasi FSC dan kegagalan pemerintah menyebabkan FSC digunakan tidak seperti sebuah sistem untuk memprompsikan pengelolaan hutan berkelanjutan, tapi sebagai untuk membatasi kegiatan kehutanan. (...) Sertifikasi hutan harus berfungsi untuk memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang mereka beli telah disertifikasi di bawah sistem yang berpegang pada prinsip yang kokoh, dan menjamin produsen bahwa standar yang mereka patuhi tidak berpihak dan apolitis. (...) Sertifikasi dibawah FSC tidak dapat memberikan jaminan ini. Standar FSC berusaha untuk mendapatkan pengakuan kegiatan kehutanan yang 'bertanggung jawab'- sebagai pembanding untuk SFM. Susunan kalimat ini disengaja, dan tidak didasari dari posisi konsensus; ini mencerminkan bahwa FSC berupaya untuk mengatur aktifitas yang diluar kewenangan yang diberikan kepadanya dari skema sertifikasi kehutanan. FSC mengklaim sebagai organisasi berbasis anggota yang beroperasi secara transparan dan didasari oleh konsensus. Namun struktur organisasi FSC menempatkan secara sewenang-wenang para pemegang kekuasaan menjadi eksekutif mereka, tanpa ada protes. FSC gagal memenuhi persyaratan kunci yang terkait dengan praktik pengaturan standar dan kesesuaian. Tidak 41 Lihat http://worldgrowth.org/2012/11/press-release-western-deforestation-aid-is-immoral-threatens-developing-economies/ (Diakses pada bulan Januari 2013). Menurut sumber ini, "review dari program oleh Bank Dunia juga menunjukkan [REDD] sangat tidak efisien, biaya US $ 22 juta untuk mencairkan hanya $ 4 juta dalam bentuk hibah." Dan: "analisis baru menunjukkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi telah telah ditemukan untuk dilebih-lebihkan sebanyak 100 persen. 42 Lihat http://www.wwf.or.id/en/about_wwf/whatwedo/forest_species/strategies/ (diakses January 2013).

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    28

    ada pemisahan yang kredibel antara bagian pengaturan standar, bagian akreditasi, dan payung organisasi akreditasi mereka. Ini berarti bahwa FSC dalam posisi kedua posisi, yaitu organisasi yang melakukan pengaturan terhadap standardisasi dan organisasi yang menentukan mana yang berhak mendapatkan sertifikat. Lebih jauh lagi, perannya dalam payung organisasi akreditasi mereka berarti memberikan penilaian sendiri terhadap ketidakberpihakan mereka. Terdapat juga unsur yang perlu diperhatikan dari FSC, seperti kurangnya sains dalam standar mereka, dan eksekutif mereka dapat menggunakan penilaian sewenang-wenang terhadap siapapun yang mungkin menggunakan standar ini, terlepas dari apakah mereka bertemu atau tidak."43 Pembuatan kawasan lindung, seperti yang diajukan oleh WWF, adalah betuk pengadaan properti publik yang biasanya berbentuk taman nasional. Properti publik cenderung mengalami "tragedi masalah umum". Ini adalah "pengurasan sumber daya bersama oleh individu, bertindak secara independen dan rasional untuk kepentingan setiap orang, walaupun mereka mengerti bahwa pengurasan sumber daya tersebut bertentangan dengan kepentingan jangka panjang."44 "Sumber daya bersama" merupakan suatu properti yang tidak dimiliki secara individu atau keluarga, tetapi dimiliki oleh sekelompok besar individu yang tidak berhubungan satu sama lain secara spesifik, seperti negara. Dalam kondisi ini, setiap individu yang ingin memanfaatkan properti mendapatkan dorongan untuk menggunakannya secara berlebihan dan menggeser pengguna lainnya untuk mendapatkan hasil yang lebih. Contohnya adalah penggembalaan berlebihan di padang rumput dan perburuan binatang liar, baik yang dimiliki secara publik atau yang tidak dimiliki sama sekali, yang berujung pada kepunahan seperti paus dan bison. Selain itu, pemerintah tidak memberikan insentif yang besar untuk melindungi kepemilikan publik seperti alam. Ekonom Murray Rothbard mengungkapkan : "Akan tetapi, kepemilikan pemerintah bukanlah kepemilikan yang sebenarnya. Karena pejabat pemerintah, walaupun mampu mengontrol sumber daya, tidak dapat meningkatkan nilai tambah di pasar. Pejabat pemerintah tidak dapat menjual sungai atau menjual saham kepemilikannya. Oleh karena itu, mereka tidak punya insentif ekonomi untuk melestarikan dan menghargai sungan (yang dimiliki secara publik)"45 43 Lihat http://worldgrowth.org/2012/09/new-report-fscs-closed-shop-shutting-down-forestry-in-the-developing-world/ (diakses Februari 2013). 44 Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Tragedy_of_the_commons (diakses Januari 2013). 45 Lihat http://mises.org/daily/5978/The-Libertarian-Manifesto-on-Pollution (diakses Januari 2013). he fact that a good long-term policies tend to benefit the successors rather than the initiator of democracy with the election cycle often provide disincentives for past policies and incentives to generate short-term gains possible long-term effects of the disaster

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    29

    Terutama (tetapi tidak semata-mata) di negara-negara berkembang, dimana penegakan hukum lemah. Kepemilikan pemerintah dapat menyebakan korupsi dan mempengaruhi proses legislatif dengan kepentingan ekonomi. Bagaimanapun juga, "bisnis besar" dan "pemerintahan besar" adalah 'teman tidur' yang sempurna. Hal ini juga terjadi di negara demokrasi barat yang modern, politisi memberikan insentif jangka panjang agar mereka dapat dipilih pada pemilihan selanjutnya.46 Sebagai pengelola properti jangka pendek, pemerintah memberikan kebijakan insentif yang berbeda dari pemilik properti. Pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah adalah metode terburuk untuk menjaga lingkungan. Klaim ini juga diungkapkan oleh penelitian terbaru CIFOR, yang mengatakan bahwa, "Laju deforestasi meningkat secara substansial pada lahan yang dilindungi oleh pemerintah, daripada hutan yang dikelola oleh masyarakat".47 Pandangan ini juga dimiliki oleh Fred Pearce of the American Property and Environment Research Center: "Ketika negara berkuasa, peraturan langsung ditegakan, korupsi semakin sering terjadi, dan penghuni hutan mempunyai kecenderungan yang kecil dalam menjaga sumber daya hutan karena mereka tidak memilikinya. Ketika masyarakat yang tinggal di sana dapat memiliki kontrol atas hutan, mereka akan cenderung menjaganya "48 Model konservasi berbasis komunitas bagaimanapun membutuhkan tingkat homogenitas dan keterikatan sosial dan tinggi, yang biasanya hanya ditemukan pada komunitas kecil. Pada suku asli dan perkampunga kecil dimana setiap orang saling mengenal, perburuan liar dan pembalakan liar dapat diartikan seperti mencuri barang milik tetangga mereka. Bentuk kontrol sosial seperti ini cenderung lebih bekerja. Ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat besar yang heterogen. Karena dalam masyarakat besar yang heterogen, masyarakat tidak saling mengenal dan hubungan antar personal mereka tidak terlalu kuat. Jenis kontrol sosial ini mudah untuk hancur. Pada kasus ini, perburuan liar berarti mencuri dari seseorang yang tidak mereka kenal.

    46 Lihat Hans-Hermann Hoppe (2001): Democracy - God Failed, Transaction, New Brunswick. fakta bahwa kebijakan jangkan panjang cenderung untuk menguntungkan suksesor daripada penggantinya, dalam demokrasi dengan siklus pemilu yang sering memberikan halangan untuk meluluskan kebijakan dan dorongan untuk menghasilkan keuntungan jangka pendek, yang efek jangka panjang dapat menimbulkan malapetaka. 47 Lihat http://www.forestsclimatechange.org/media-forestsnclimate-change/press-releases.html?tx_fccpressrelease%5Bid%5D=6045 (diakses November 2012). 48 See http://perc.org/articles/busting-forest-myths-people-part-solution (di akses November 2012).

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    30

    CITES mengatur perdagangan internasional spesies terancam. Berdasarkan catatan di situs mereka, "perdagangan internasional satwa liar diperkirakan bernilai miliaran dolar pertahun"49. CITES berperan di perdagangan internasional dalam spesimen spesies tertentu pada batas terntentu, "berdasarkan tingkat proteksi yang mereka butuhkan".50 Fungsi utama CITES adalah untuk membatasi perdagangan spesies langka. Permintaan atas spesies tersebut terbukti sangat tidak elastis (permintaan tidak selalu berikatan kuat dengan harga). Akibatnya, harga semakin melambung ketika ada pembatasan yang menciptakan kelangkaan buatan (karena adanya larangan perdagangan). Itulah mengapa pembatasan tersebut kontraproduktif. Dalam argumennya mengenai perdagangan cula badak, ekonom Michael't Sas-Rolfes yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan konservasi selama 25 tahun mengatakan: "Pelarangan mengakibatkan kurangnya pasokan secara tidak alami. Hal ini membuat harga melambung pada tingkat yang sangat tinggi dan menarik minat sindikat organisasi kriminal yang berpengalaman dalam perdagangan ini. (...) Permintaan obat di Asia terus terjadi dan nampaknya menjadi bagian dalam budaya yang mengakibatkan permintaan menjadi inelastis terhadap harga (relatif tidak berpengaruh pada kenaikan harga). Ini berarti pelarangan perdagangan cula badak mengakibatkan kenaikan harga dan mendorong perburuan liar "51

    10. "THE TRAGEDY OF THE COMMONS" DAN EFEK DARI KEPEMILIKAN PRIBADI

    Tesso Nilo menanggung akibat dari masalah yang dinamakan oleh ekonom sebagai Tragedy of the Commons. ". Ini adalah "pengurasan sumber daya bersama oleh individu, bertindak secara independen dan rasional untuk kepentingan setiap orang, walaupun mereka mengerti bahwa pengurasan sumber daya tersebut bertentangan dengan kepentingan jangka panjang."52 Hal ini, dalam pandangan kami, diperpalah oleh kepentingan LSM untuk menyalahkan kegagalan mereka kepada orang lain. Dalam kasus ini, seperti yang sudah dicontohkan, sektor industri swasta disalahkan atas kegagalan konservasi. Sumber daya bersama" merupakan suatu properti yang tidak dimiliki secara individu atau keluarga, tetapi dimiliki oleh sekelompok besar individu yang tidak berhubungan satu sama 49 Lihat http://www.cites.org/eng/disc/what.php (diakses Januari 2013). 50 Lihat http://www.cites.org/eng/disc/how.php (diakses Januari 2013). 51 Lihat http://perc.org/articles/q-rhino-and-tiger-economics (diakses January 2013). Lihat juga http://perc.org/articles/african-success-namibia-people-and-wildlife-coexist, http://perc.org/articles/shoot- elephant-save-community, http://perc.org/articles/saving-african-rhinos-market-success-story, http://perc.org/articles/save-wildlife-namibias-farmers-take-control (diakses January 2013). 52 Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Tragedy_of_the_commons (diakses Januari 2013).

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    31

    lain secara spesifik, seperti negara. Dalam kondisi ini, setiap individu yang ingin memanfaatkan properti mendapatkan dorongan untuk menggunakannya secara berlebihan dan menggeser pengguna lainnya untuk mendapatkan hasil yang lebih. Dapat dikatakan bahwa penyebab utama deforestasi berlebihan adalah karena area hutan tidak dimiliki oleh perseorangan. 53 Jika hak kepemilikan atas hutan terlindungi, kecil kemungkinan terjadinya deforestasi skala besar. Di negara dimana hak kepemilikan hutan sangat terlindungi, hutan akan stabil atau semakin besar. Kita harus berterima kasih kepada hutan komersil yang menambah jumlah hutan baru melebihi jumlah kayu dan kertas yang dikonsumsi di dunia setiap tahunnya.54 Kelompok pecinta lingkungan mungkin membantah fakta ini, tapi tidak ada alasan untuk percaya bahwa perusahaan kertas tidak peduli untuk memelihara hutan. Sebaliknya, industri kertas bergantung pada pohon dan hutan karena mereka mendapatkan bahan baku untuk produk-produknya dan berkontribusi memberikan cadangan karbon, yang kemudian dibantah oleh LSM global55 Perlindungan terhadap hak kepemilikan dapat membantu tujuan dari penjagaan hutan karena pemilik lahan terinsentif untuk mengelola hutan milik mereka secara berkelanjutan. Insentif tersebut didapatkan dari fakta bahwa keuntungan jangka panjang kepemilikan individu akan lebih besar dari keuntungan jangka pendek: "Kepemilikan pribadi memastikan bahwa tanaman, hewan, dan satwa liar berharga lainnya akan semakin berkembang karena pemiliknya akan mendapatkan keuntungan lebih banyak dengan menjaga kepemilikan mereka, dibandingkan membiarkannya musnah atau berkurang. Dalam melestarikan aset berharga ini, mereka akan mengembangbiakkan mereka untuk tujuan penjualan terus-menerus. Misalnya dengan mengembangbiakkan ternak dan menjualnya terus-menerus lebih menguntungkan daripada membunuh mereka hanya untuk sekali penjualan."56 Sebagai tambahan, pasar mempunyai keunggulan dalam mengindikasi kelangkaan dan menyediakan sarana untuk meningkatkan pasokan untuk menanggulangi kelangkaan. Jika terlalu banyak pohon yang ditebang, harga kayu akan meningkat secara eksponensial dan 53 Lihat Kel Kelly (2010): The Case for Legalizing Capitalism, The Ludwig von Mises Institute, halaman 386ff. Buku ini tersedia di www.mises.org. Lihat juga Murray Rothbard (1973): The Libertarian Manifesto of Pollution, http://mises.org/daily/5978/The-Libertarian-Manifesto-on-Pollution (diakses November 2012); dan Steffen Hentrich (Hrsg., 2011): Eigentum und Umweltschutz, Friedrich Naumann Stiftung. 54 Lihat Floy Lilly (2009): Three Myths about Trash, http://mises.org/story/3887 (diakses November 2012). 55 Perusahaan kertas memiliki kepentingan untuk menjaga hutan, dan perusahaan akan mengelola hutan secara lestari jika hutan tersebut adalah milik pribadi perusahaan. 56 Lihat Kel Kelly (2010): The Case for Legalizing Capitalism, The Ludwig von Mises Institute, halaman 386ff.

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    32

    usaha pepohonan akan tumbuh lebih menguntungkan daripada, katakanlah, lahan parkir atau penggunaan lahan lainnya. Hal ini akan meningkatkan pertumbuhan investasi pada reboisasi. Reboisasi dan pertembuhuan ekonomi tersebut tidak berdiri sendiri, berdasarkan studi laporan New York Times pada November 2006 yang juga dikonfirmasi oleh American National Academy of Science yang mengatakan bahwa "reboisasi telah menjadi pola yang menyebar di negara-negara mapan dan juga di negara yang tidak terlalu mapan" dan juga "reboisasi sangat berhubungan dengan kesejahteraan"57 . Pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah adalah metode terburuk untuk menjaga lingkungan. Klaim ini juga diungkapkan oleh penelitian terbaru CIFOR, yang mengatakan bahwa, "Laju deforestasi meningkat secara substansial pada lahan yang dilindungi oleh pemerintah, daripada hutan yang dikelola oleh masyarakat".58 Pandangan ini juga dimiliki oleh Fred Pearce of the American Property and Environment Research Center: "Ketika negara berkuasa, peraturan langsung ditegakan, korupsi semakin sering terjadi, dan penghuni hutan mempunyai kecenderungan yang kecil dalam menjaga sumber daya hutan karena mereka tidak memilikinya. Ketika masyarakat yang tinggal di sana dapat memiliki kontrol atas hutan, mereka akan cenderung menjaganya "59 Menurut CIFOR, hutan lindung terbaik di Dunia Ketiga adalah bagian-bagian dari hutan hujan Amazon yang ditetapkan sebagai milik masyarakat atau komunitas yang dikelola penduduk lokal, seperti yang dilakukan oleh suku Indian Kayapo dan sebagainya. Pengelolaan hutan berbasis komunitas efektif menghadapi tragedi masalah bersama karena jumlah pemilik yang dapat berkembang jadi lebih besar. Pendekatan komunitas ini cenderung berhasil hanya di masyarakat yang homogen seperti pada suku lokal- tetapi hampir tidak mungkin bekerja pada kondisi masyarakat yang beragam seperti di indonesia dimana terdapat sejumlah besar etnik, suku, dan perantau yang berbeda, yang saling berinteraksi satu sama lain. Secara kebetulan, penelitian serupa pada hutan yang berbeda di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sama seperti laporan ini. Para penulis tiba pada kesimpulan berikut: 57 Lihat http://www.nytimes.com/2006/11/20/opinion/20mon4.html?pagewanted=print&_r=0 (diakses November 2012). 58 Lihat http://www.forestsclimatechange.org/media-forestsnclimate-change/press-releases.html?tx_fccpressrelease%5Bid%5D=6045 (diakses November 2012). 59 See http://perc.org/articles/busting-forest-myths-people-part-solution (di akses November 2012).

  • Taman Nasional Sumatra Tesso Nilo: Kegagalan LSM dan Manajemen Negara dalam Konservasi Alam Deutsche Asienforschungszentrum 2012, Volume 2, Issue 4

    33

    "Peraturan Top-down pemerintah yang mengabaikan sistem sosial dan budaya telah mendegradasikan kearifan lokal dan merusak relevansi sistem kearifan lokal. Masyarakat telah tersingkirkan dari tanah mereka, dan menjadi bergantung pada pengelolaan dan eksploitasi luar, (...) Ini akan masuk akal jika hak-hak dan kepentingan dari pemilik tradisional Hutan Lindung Rendani diakui [oleh negara] (...) Situasi yang terjadi di hutan Rendani adalah gambaran dari lingkaran setan dalam mengatur pengelolaan sumber daya secara salah, yang mengakibatkan hak kepemilikan tradisional masyarakat lokal diabaikan dan penerapan sistem pengelolaan tidak mengakui hak-hak dan kepemilikan masyarakat tradisional. Yang dibutuhkan di Rendani, seperti jiga di tempat lain di Papua, adalah perubahan dasar pemikiran mengenai sumber daya dan kepemilikan mereka, untuk membangun kerjasama kepentingan antara aktor lokal dan pemerintah untuk keuntungan bersama dan keberlangsungan pengelolaan sumber daya"60

    11. KESIMPULAN Laporan ini bukan untuk mencari siapa yang harus disalahkan karena tidak cukupnya materi yang tersedia secara umum untuk menghasilkan kesimpulan yang pasti. Sebaliknya, laporan ini mengidentifikasikan perlunya penyelidikan menyeluruh dan transparan dan meninjau penyebab dan akibat dari kegagalan di Tesso Nilo. Dari banyaknya dan berbagai agenda yang terlibat, tinjauan ini harusnya dilakukan oleh sebuah badan independen yang tidak ditunjuk oleh baik WWF atau industri, untuk menghindari situasi seperti yang dialami oleh WWF di Tanzania. Ini akan menghindari situasi yang terjadi dengan penyelidikan kasus tanzania seperti yang disebutka di atas, ketika WWF melakukan peninjauan bersama dengan sesama LSM lainnya. Peninjauan kembali strategi donor (dari perspektif donor), preses pengambilan keputusan, kontrol audit, dan melibatkan semua pemangku kepentingan, sangat dibutuhkan untuk m