konflik sh winongo dan sh terate
DESCRIPTION
Makalah ini membahas tentang latar belakang terjadinya pertikaian antara dua Setia Hati di Madiun, yaitu SH Winongo dan SH Terate.Pada awalnya, kedua SH tersebut berasal dari satu perguruan yang sekarang bernama SH Panti, namun karena adanya perbedaan aliran dan pandangan, beberapa murid dari SH Panti memutuskan untuk membentuk SH sendiri, hingga pada akhirnya memunculkan sikap egoisme dan rasa bangga yang berlebihan bagi para warganya, terutama yg berusia muda.TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pencak silat merupakan olahraga bela diri tradisional yang juga merupakan hasil
kebudayaan asli dari Indonesia. Olahraga ini tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik
saja melainkan juga kemampuan rohaniah dan batiniah. Hampir setiap daerah di wilayah
Indonesia memiliki perguruan silat, salah satunya di daerah Madiun, Jawa Timur.
Perguruan silat “Setia Hati Terate (SHT)” dan “Setia Hati Tunas Muda Winongo (SHW)”
merupakan dua perguruan silat terbesar di wilayah karasidenan Madiun.
Kedua perguruan silat tersebut memiliki visi, misi dan ajaran yang sama karena
pendirinya berasal dari satu guru, yaitu Ki Ngabehi Soerodiwiryo. Namur dalam
prakteknya, dua perguruan silat ini memiliki ideologi yang berbeda sehingga
menyebabkan konflik kekerasan yang berujung pada pengrusakan, pembakaran,
pencurian bahkan korban jiwa. Kerusuhan antara dua Setia Hati (SH) itu selalu
mewarnai kegiatan tahunan SH suronan. Korban dari kerusuhan tersebut tidak hanya dari
kedua pihak tersebut, namun juga masyarakat setempat. Kerusuhan juga meluas hingga di
luar wilayah Madiun, seperti : Ponorogo, Ngawi, Magetan dan Caruban. Berkenaan
dengan hal di atas maka penulis tertarik untuk membahas makalah tentang “Latar
Belakang Terjadinya Konflik Kekerasan antara Perguruan Silat di Karasidenan Madiun”
1.3 Rumusan Masalah
1) Bagaimana sejarah berdirinya kedua perguruan silat Setia Hati di Madiun ?
2) Apa saja latar belakang terjadinya konflik kekerasan antara kedua belah pihak
3) Bagaimana bentuk perubahan sosial yang terjadi
1.3 Tujuan
1) Untuk memaparkan sejarah berdirinya perguruan silat Setia Hati di Madiun.
2) Untuk memaparkan latar belakang terjadinya konflik kekerasan antara kedua
SH.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Berdirinya Perguruan Silat di Madiun
Perkelahian secara turun temurun antar SH Terate dan SH Winongo tidak lepas dari
sejarah yang melatarbelakangi. Kedua perguruan tersebut awalnya merupakan satu
perguruan yaitu “Joyo Gendilo Cipto Mulyo” yang berdiri di kampung Tambak
Gringsing Surabaya oleh KI Ngabehi Soerodiwiryo dari Madiun pada tahun 1903. Pada
tahun tersebut KI Ngabehi hanya dengan 8 orang siswa, didahului oleh 2 orang saudara
yaitu Noto/Gunadi (adik kandung KI Ngabehi sendiri) dan kenevel Belanda. Organisasi
silat tersebut mendapat hati di kalangan masyarakat sekitar tahun 1917, yang mana Joyo
Gendilo Cipto Mulyo melakukan demonstrasi silat secara terbuka di alun–alun Madiun
dan menjadikannya sebagai perguruan yang popular di kalangan masyarakat karena
gerakan yang unik penuh seni dan bertenaga. Pada tahun 1917 Joyo Gendilo Cipto Mulyo
bergati nama dengan Setia Hati.
Pendiri perguruan tersebut meninggal pada tanggal 10 November 1944 dalam usia
75 tahun, dengan meninggalkan wasiat supaya rumah dan pekarangannya diwakafkan
kepada Setia Hati dan selama bu Ngabehi Soerodiwiryo masih hidup tetap menetap di
rumah tersebut dengan menikmati pensiun dari perguruan tersebut. KI Ngabehi
dimakamkan di Desa Winongo Madiun dengan batu nisan garnit dengan dikelilingi
bunga melati. Dan oleh berbagai kalangan makam Ki Ngabei dijadikan pusat dari
perguruan Setia Hati. Dan pada Tahun 1922 Murid KI Ngabei Soerodiwiryo mendirikan
Setia Hati Teratai sebagai respon untuk mengembangkan Pencak silat dengan ideologi
ke- SH-an. Pertentangan ideologi memulai memuncak ketika pendiri SH meninggal yang
mana konflik tersebut di motori oleh dua murid kesayangan Ki Ngabehi Soerodiwiryo
yang mengakibatkan pecahnya SH dan terbagi dalam 2 wilayah teritorial yaitu SH
Winongo yang tetap berpusat di Desa Winongo dan SH Terate di Desa Pilangbangau
Madiun. Konflik kedua murid merambat sampai akar rumput sampai sekarang yang di
penuhi rasa kebencian satu sama lain.
2.2 Latar Belakang Terjadinya Konflik Kekerasan antara Kedua SH
Berdasarkan sumber artikel internet, seperti www.mail-archive.com, shterate.com
maka dapat diketahui bahwa :
a. Konflik Setia Hati Terate (SHT) dan Setia Hati Winongo (SHW) dimulai setelah Ki
Ngabehi Soerodiwiryo, pendiri ajaran ke-SH-an meninggal pada tanggal 10
November 1944 dalam usia 75 tahun. Dugaan tersebut didasarkan pada satu
keyakinan bahwa ketika seseorang yang ditokohkan dalam suatu organisasi tidak ada,
apalagi dalam dunia persilatan, maka besar kemungkinan mereka yang masih ada
akan berebut kekuasaan dan pengaruh.
b. Sepeninggal Eyang Soero, SH terpecah menjadi dua, yaitu : SH Terate dengan basis
pendukung dari daerah pinggiran dan pedesaan dengan pusatnya di desa Pilangbangau
dan SH Winongo dengan basis wilayah perkotaan dengan pusatnya di desa Winongo,
tempat dimakamnya Ki Soero. Tokoh pendiri SH Terate adalah Ki Hajar Harjo
Utomo, sedangkan pendiri SH Winongo adalah R. Djimat Hendro Soewarno. Dari
sini seolah ada klaim kebenaran (social identify theory) dari pihak masing-masing.
Setia Hati Terate menganggap bahwa dirinya adalah penerus aliran SH yang
sebenarnya, sementara Setia Hati Winongo juga menganggap dirinya penerus ajaran
SH yang didirikan sejak 1903.
c. Tahun 1945-1965, di antara anggota salah satu perguruan yang diduga berafiliasi
(bekerja sama) dengan PKI. Sementara perguruan yang lain menganggap ilmu ke-SH-
an yang diturunkan Mbah Soero berbasis ajaraan islam sehingga perguruan tersebut
dianggap keluar dari jalur. Konflik fisikpun tak dapat dihindari. Puncaknya, ketika
terjadi pembersihan PKI tahun 1967-1971, diduga banyak anggota salah satu
perguruan yang menjadi algojo, diantaranya terhadap orang-orang anggota perguruan
tersebut (Syahril, 2007). Dari peristiwa tersebut terkesan ada dendam sejarah diantara
keduanya. Konflik kekerasan terjadi sebagai bagian dari babak sejarah.
d. Konflik semakin parah dengan adanya pihak ketiga yang memiliki kepentingan.
Misalnya mantan bupati Ponorogo 1998, yang juga tokoh parpol menjadi anggota
kehormatan salah satu perguruan. Demikian juga Ketua DPRD Kota Madiun sekarang
dijabat oleh tokoh berpengaruh darri salah satu perguruan. Artinya, ketika pihak-
pihak yang seharusnya dapat menyelesaikan masalah secara fair, justru menjadi
bagian dari konflik itu sendiri. Sehingga kesan diskriminatif, yaitu perlakuan yang
tidak sama terhadap kelompok masyarakat menjadi sulit dihindarkan.
e. Konflik semakin meluas dengan perebutan pengaruh yang berarti juga perebutan basis
ekonomi. Contohnya saja pada kasus yang terjadi pada tahun 2002, Setia Hati Terate
melakukan pelantikan setiap tanggal 1 Suro sejumlah 1000-2000 anggota baru. Jika
saja setiap anggota dikenakan 700 ribu rupiah, maka uang yang akan masuk ke
organisasi sebesar 700 juta hingga 1,4 milyar per tahun (Umam, 2007). Meskipun
kebenaran data ini perlu ditelusuri lebih jauh.
f. Sejarah Madiun yang lekat dengan tradisi kekerasan, kultur masyarakat yang bersifat
agraris dengan banyak waktu luang. Ideologi pencak silat yang dekat dengan olah
kebatinan (kejawen) tampaknya menjadi faktor pendorong dan pada saat yang sama
membuat konflik kekerasan berlangsung cukup lama.
2.3 Paradigma dan Perubahan Sosial
Dari kasus peristiwa konflik antara SH Terate dan SH Winongo di atas, bisa
dikatakan kasus tersebut menuju kearah paradigma positivisme yang mempunyai ciri-ciri
rasional, berkembang, selalu berulang dan dapat diukur.
Hal ini bisa dilihat dari sejarah terjadinya konflik tersebut yang sudah berlangsung
dari berpuluh-puluh tahun yang lalu dan terus menerus secara turun temurun dari generasi
ke generasi. Hal tersebut menggambarkan betapa kuatnya masing-masing kelompok
sosial untuk mempertahankan diri dan saling menyatakan bahwa kelompoknyalah yang
paling yang lebih baik daripada yang lain dengan berbagai atribut-atribut yang ada.
Kasus konflik perkelahian antar SH di Madiun itu jika ditinjau dari perubahan
sosial adalah perubahan ajaran kesetiahatian dan perubahan kepentingan. Dulu waktu
pertama kali SH didirikan oleh Eyang Soero ajaran SH merupakan ajaran ke-SH-an yang
berintikan pada olahraga dan olah batin untuk mencapai keluhuran budi guna meraih
kesempurnaan hidup (Soewarno, 1994). Ajaran ini sebenarnya tetap dianut oleh kedua
SH tersebut, namun yang membedakan adalah sifat keanggotaan. SH rintisan Ki Soero,
anggotanya terbatas pada golongan “kaum ningrat”, seperti: bupati, camat dan pegawai
pemerintah. Alasannya, agar kualitas ilmu SH memang relatif terjaga, karena dengan
kriteria tersebut mereka yang menjadi anggota dianggap telah memiliki stabilitas emosi,
sosial dan finansial. Sedangkan SH Terate perekrutan anggota didominasi oleh kalangan
bawah terutama golongan pemuda yang berusia belasan tahun. Konsekuensinya, terjadi
distorsi ilmu SH sebagai akibat belum matangnya kepribadian sebagaian anggotanya. SH
Winongo sebelumnya sama seperti SH yang didirikan Ki Soero, yaitu sama-sama
merekrut dari golongan ningrat, namun dalam perkembangan selanjutnya anggota SH
Winongo lebih condong kepada para remaja. Kalau dulu SH digunakan sebagai bentuk
usaha perlawanan terhadap Belanda namun sekarang lebih condong pada kepentingan
politik dan kepentingan ekonomi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik Identitas antara Setia Hati Winongo dan Setia Hati Teratai yang di mulai
dengan klaim kebenaran tentang pemegang teguh ajaran ke-SH-an sekarang mulai
merebak pada perebutan basis ekonomi serta di manfaatkanya kelompok silat sebagai
penyokong parpol tertentu. Di lain sisi masyarakat pun ikut melestarikan adanya konflik
tersebut. maka untuk menghindari adanya konflik ideologis yang berkepanjanngan perlu
di lakukan tindakan yang tegas oleh aparat kepolisian. Serta pemerintah daerah setempat
harus menciptakan media sosial yang lain yang dapat membuat masyarakat keluar dari
rutinitas sehari-hari dan terlepas dari berbagai tekanan sosial ekonomi yang selalu
menghantui. Selain itu pemerintah daerah harus mempunyai program pembangunan yang
berorentasi pada kesejahteraan rakyat.karena kita ketahui hadirnya konflik tersebut tidak
lepas dari budaya kemiskinan masyarakat setempat.
DAFTAR RUJUKAN