konflik antarbudaya

10
CROSS-CULTURAL CONFLICT (Konflik Antar-Budaya) A. Pendahuluan Konflik merupakan bagian dari aspek kehidupan manusia, yang meliputi aspek sosial dari semua bentuk hubungan. Namun, akar penyebab konflik bisa berbeda, dan cara pandang atau pendekatan dalam memahami konflik sangat penting untuk menentukan tingkat besar-kecilnya konflik, jenis-jenis metode pendekatan yang akan digunakan dan pada akhirnya kita mampu merancang strategi untuk mengelola atau menyelesaikannya. Salah satu konsep akar penyebab konflik yakni adanya persaingan antara individu atau kelompok karena memiliki tujuan yang berbeda atau ketersediaan sumber daya yang terbatas. Namun membangun sebuah konsep mengenai akar penyebab konflik tidak hanya terbatas pada permasalahan kelangkaan sumber daya saja melainkan kita harus melihat dari sudut pandang, persepsi atau keyakinan yang berbeda mengenai sifat situasi, pemikiran orang lain maupun, diri sendiri. Menurut Duane Ruth-Hefelbower (1998), konflik adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan tindakan salah satu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. B. Mengapa konflik harus ada di masyarakat? Jika dilihat dari sifat konflik (The Nature of Conflict), Konflik harus ada dan terjadi dimasyarakat karena apabila tidak ada

Upload: ferdinand-august

Post on 24-Apr-2015

583 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Konflik AntarBudaya

TRANSCRIPT

Page 1: konflik antarbudaya

CROSS-CULTURAL CONFLICT (Konflik Antar-Budaya)

A. Pendahuluan

Konflik merupakan bagian dari aspek kehidupan manusia, yang meliputi aspek sosial dari

semua bentuk hubungan. Namun, akar penyebab konflik bisa berbeda, dan cara pandang atau

pendekatan dalam memahami konflik sangat penting untuk menentukan tingkat besar-kecilnya

konflik, jenis-jenis metode pendekatan yang akan digunakan dan pada akhirnya kita mampu

merancang strategi untuk mengelola atau menyelesaikannya.

Salah satu konsep akar penyebab konflik yakni adanya persaingan antara individu atau

kelompok karena memiliki tujuan yang berbeda atau ketersediaan sumber daya yang terbatas.

Namun membangun sebuah konsep mengenai akar penyebab konflik tidak hanya terbatas pada

permasalahan kelangkaan sumber daya saja melainkan kita harus melihat dari sudut pandang,

persepsi atau keyakinan yang berbeda mengenai sifat situasi, pemikiran orang lain maupun, diri

sendiri. Menurut Duane Ruth-Hefelbower (1998), konflik adalah kondisi yang terjadi ketika dua

pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan

tindakan salah satu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat

tujuan pihak lain kurang berhasil.

B. Mengapa konflik harus ada di masyarakat?

Jika dilihat dari sifat konflik (The Nature of Conflict), Konflik harus ada dan terjadi

dimasyarakat karena apabila tidak ada konflik dapat kita bayangkan bagaimana masyarakat

menjadi kerdil, kurang stimulus, kehidupan masyarakat mandek dan masyarakat tidak akan

mampu beradaptasi dengan situasi dan keadaan yang berubah tiba tiba di masyarakat. Terkadang

ada beberapa orientasi konflik yang ada di dunia. Pertama, realisme dan yang kedua

contruktivisme. Akan tetapi keduanya terkadang dalam realitasnya berusaha menutupi banyak

kompleksitas sosial dan perilaku, baik hal-hal yang berhubungan dengan sifat konflik, dan

berbagai cara mengelola sekaligus menyelesaikannya.

Konflik yang ada di masyarakat menurut para ahli dapat dibagi menjadi 3 aliran

berdasarkan periodesasi waktu, ketiga teori tersebut antara lain:

1. Aliran tradisional: Dalam aliran tradisional membahas tentang konflik sebagai suatu

peristiwa yang merugikan, karena dalam konflik diindikasikan terdapat permasalahan

oleh karena itu konflik harus dihindari.

Page 2: konflik antarbudaya

2. Aliran positif: Dalam aliran positif membahas bahwa konflik merupakan kejadian yang

alamiah terjadi dikehidupan bermasyarakat dan bukan merupakan sesuatu yang

menggangu, tidak perlu dihindari, justru konflik merupakan sesuatu yang penting untuk

membangun kebersamaan.

3. Aliran moderat: Dalam aliran moderat membahas bahwa konflik sebagai kekuatan yang

diperlukan untuk menciptakan pembatas sehingga muncul sesuatu yang baru

dimasyarakat.

Contoh konflik yang ada saat ini yakni konflik agraria (konflik tanah) yang terjadi antara

pemerintah dan masyarakat. Teori Kelas Sosial Karl Marx terebut dapat menganalisa konflik

perebutan lahan warga untuk pemerintah dimana dalam teori tersebut Karl Marx meletakkan

materi sebagai pusat perubahan dan faktor ekonomi menjadi dasar dari berbagai permasalahan

dasar hidup manusia. Dengan membagi kelas menjadi dua kelompok, yaitu kelas borjuis dan

kelas ploletar, dapat digambarkan bahwa ketika pemerintah melakukan perebutan tanah yang

dimiliki oleh warga maka pemerintah bertindak sebagai kaum borjuis, sedangkan masyarakat

yang lahannya diambil oleh pemerintah dapat disamakan dengan kaum Proletar. Dengan situasi

dan kondisi yang demikian maka konflik akan mudah terjadi antara pemerintah dengan

masyarakat. Untuk mengatasi konflik dan menyelesaikannya pemerintah sebelum mengambil

tanah yang ada dimasyarakat harus melakukan pendekata kepada masyarakat tentang apa alasan

mengambil tanah tersebut, setelah itu pemerintah harus memberikan ganti rugi yang sesuai

bahkan lebih besar agar masyarakat paham serta tidak menimbulkan gejolak yang ada

dimasyarakat mengenai pengambilan tanah tersebut oleh pemerintah. Sedangkan masyarakat

ketika tanahnya diambil dan digunakan oleh pemerintah harus paham dan berfikir positif bahwa

dengan diambilnya tanah mereka digunakan untuk kepentingan yang lebih besar. Dengan kondisi

yang saling pengertian yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah maka diharapkan konflik

yang akan terjadi dapat dihindari, serta solusi yang diberikan dari masalah tanah tersebut dapat

dterima dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

C. Mengapa Harus Budaya?

Ketika mendengar kata “budaya” atau “kebudayaan”, apa yang tergambar dalam benak

kita? Biasanya, kita akan langsung mengasosiasikan budaya—culture [Inggris], cultuur

[Belanda],  atau kultur [Jerman]—dengan kesenian, entah itu seni tari, seni musik, seni lukis,

Page 3: konflik antarbudaya

seni suara, seni pahat, dan sebagainya. Asosiasi tersebut sering pula ditambah dengan adat

istiadat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Ini tidak salah, karena kesenian

dan adat istiadat termasuk salah satu unsur pembentuk kebudayaan. Akan tetapi,

mengasosiasikan budaya dengan kesenian atau adat istiadat, pada kenyataannya telah

mempersempit makna budaya itu sendiri.

A Van Peursen (2001), kebudayaan merupakan gejala manusiawi dari kegiatan berfikir

(mitos, ideologi, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan teknologi),

dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana. Demikian pula Sumardjan dan Soelaeman

Soemardi (1978), Kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide yang ada

dalam pikiran manusia dalam pengalaman sehari hari yang sifatnya abstrak. Mereka mengartikan

budaya sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dengan demikian, budaya atau

kebudayaan memiliki makna yang sangat luas dan seolah tidak ada batasnya. Ia mencakup

berbagai dimensi kehidupan manusia yang lahir sebagai hasil olah akal dan budi, mulai yang

terkecil hingga yang terbesar; mulai dari tata cara makan hingga tata cara mengelola sebuah

negara. Oleh karena luasnya cakupan kebudayaan, ada sekian banyak definisi atau arti budaya

yang diungkapkan para sarjana. Dalam buku Culture: A Critical Review of Concepts and

Definitions misalnya, David Kroeber dan Kluckhohn (1999) menghimpun sekitar 160 definisi

budaya yang diungkapkan para ilmuwan. Dari sekian banyak definisi tentang budaya, tidak ada

satu pun definisi yang mampu menghimpun semua kompleksitas dari budaya itu sendiri. Setiap

definisi hanya menekankan pada satu atau beberapa aspek saja dari kebudayaan.

Sebuah pepatah latin kuno yang mencerminkan tentang  kebudayaan adalah: Tempus

Mutantur, Et Nos Mutamur In Illid. Yang artinya: Waktu berubah, dan kita (ikut) berubah juga di

dalamnya. Pepatah tersebut menunjukkan kepada kita bahwa seiring konteks zaman yang

berubah, orang-orang dengan alam pikir dan rasa, karsa, dan cipta, kebutuhan dan tantangan

yang mengalami perubahan, serta budaya pun ikut berubah. Oleh karena itu, pertanyaan

mengapa harus budaya terjawab sudah.

D. Bagaimana Konflik Antar-Budaya Terjadi?Ada banyak pengertian mengenai konflik antarbudaya. Secara umum, konflik

antarbudaya merupakan konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok sosial yang

dipisahkan oleh batas-batas budaya. Individu-individu dalam komunitas terpecah-pecah lagi

menjadi kelompok-kelompok yang berbeda ciri seperti kelompok kekeluargaan, agama, bahasa,

Page 4: konflik antarbudaya

bangsa dan lainnya. Jika suatu komunitas sosial semakin beragam maka, potensi terhadap

konflik antarbudaya akan semain tinggi pula. Selain itu, konflik antarbudaya juga dapat terjadi

pada level yang berbeda seperti budaya Amerika dan China. Samuel Huntington (2000)

menyatakan bahwa budaya bukanlah penyebab terjadinya konflik. Hal ini ditunjukkan pada

pasca perang dunia, pembagian warga dunia menjadi tujuh yaitu barat, Konfusius, islam, hindu,

ortodoks, amerika latin, dan afrika tidak menjadi penyebab konflik antar warga tersebut.

Sebanarnya konflik yang terjadi antarbudaya merupakan konflik kepentingan dan kelangkaan

sumberdaya.

Namun, dilihat dari beberapa kasus yang ada, konflik antarbudaya terjadi karena

beberapa unsur diantaranya:

a. adanya cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dalam meloihat suatu fenomena

sosial atau gejala sosial.

b. terjadinya kesalahpahaman, kurang komunikasi terhadap perbedaan cara pandang dan

kebiasaaan antarbudaya tersebut sehingga memunculkan konflik

Menurut Koentjaraningrat (1996) sumber konflik antara suku dan golongan di Indonesia

antara lain adalah kalau warga dari satu suku bangsa memaksakan unsur-unsur dari

kebudayaannya dan agamanya kepada warga suku bangsa lain. Dengan demikian sesungguhnya

sumber konflik itu komplek dan saling terkait satu sama lain sehingga memperkuat munculnya

sebuah konflik.

Sebagai contoh, Indonesia yang terdiri dari beragam budaya. Di Kalimantan Tengah pada

tahun 2001 terjadi konflik kekerasan yang berujung pada korban jiwa yang dikenal dengan kasus

Sampit. Konflik tersebut merupakan contoh nyata dari konflik antarbudaya. Perbedaan dan

kesalahpahaman akan budaya masing-masing yang telah terjadi sebelum tahun 2001 semakin

memuncak dan akhirnya berakhir dengan kerusuhan dan korban jiwa pada titik eskalasi konflik

pada tahun 2001.

E. Hubungan Budaya, Identitas, dan Konflik

Dalam kasus ini menjelaskan fakta-fakta terkait dengan apokaliptik, fundamentalis

Kristen membentuk budaya Davidian dan pandangan dunia melalui pemikiran frame kognitif dan

diskursif untuk komunikasi interpersonal, tetapi hal tersebut belum membantu pemberian

identitas sangat berarti untuk Davidian. Budaya bagian dari identitas identitas dalam melalui dua

Page 5: konflik antarbudaya

cara utama. Pertama, budaya membentuk simbol reservoir bersama yang merupakan identitas

kolektif atau kelompok. Kedua, banyaknya simbol-simbol yang diinvestasikan mempengaruhi

emosi dan keanggotaan dalam kelompok tertentu yang mengikat emosional individu, kolektif

seperti identitas individu. Budaya, menghubungkan individu dan kolektif identitas, selain itu,

budaya mendefinisikan batas-batas potensial antara kelompok sosial. Simbol merupakan ilustrasi

dari proses untuk menghubungkan dan memahami hubungan budaya dengan konflik, hal tersebut

diungkapkan oleh Vamik Volkan yang disebut trauma. Trauma dalam hal ini mengacu kepada

pengalaman dari permasalahan yang besar yang merupakan sejarah dari suatu kelompok.

Pengalaman tersebut menjadi simbol bagi anggota kelompok sebagai ancaman, ketakutan, rasa

sakit, dan perasaan keputusasaan. 

Permasalah tersebut dicontohkan melalui Holocaust Nazi bagi orang Yahudi, perbudakan

Dunia Baru untuk Afrika Amerika, dan kekalahan abad keempat belas Turki Serbia di Kosovo.

Dalam analis konflik, trauma diingat sebagai hubungan utama antara individu dan

kolektivitas. Pertama, mereka melambangkan kekhasan individu dan kelompok dalam cara

emosional yang menarik situs yang potensial untuk monilisasi di bidang politil. Kedua, mereka

menyediakan individu adari anggota kelompok (pengambil keputusan di antara mereka sensitif

terhadap kelompok masyarakat yang memberikan opini dan dukungan), kognitif dan peta

emosional (Termasuk kelompok lainnya) yang berada disekitarmereka. Efek umum diberikan

oleh trauma, yaitu adanya tidak peduli, atau jahat dan berbahaya di dunia. Pola pikir didasari

oleh identitas berdasarkan trauma konflik, karena salah satu respon dari trauma psikologis adalah

atletik, agresi reaktif terhadap diri atau orang lain.

F. Keterkaitan Budaya, Etnis, dan Konflik Budaya

Budaya memberikan sumber simbolis untuk mendefinisikan batas-batas dari sebuah

kelompok dan di dalam diri kelompok itu sendiri untuk mempengaruhi organisai politik dan

mobilisasi. Saat budaya itu di daftarkan oleh kelompok sosial ia sering menjadikan itu sebagai

sebuah etnik/ suku. Yang berujung kepada kelompok etnik. Demikian pula jika konflik lintas

budaya maka dianggap juga sebagai konflik etnis. Etnis biasanya menjadi sumber daya yang

dimobilisasi oleh individu atau kelompok untuk tujuan politik karena dalam etnsi menyertakan

kesadaran diri adanya perbedaan.

Page 6: konflik antarbudaya

Konflik etnik yang terjadi merupakan konflik budaya dan itu hal penting yang perlu

diingat. Konflik etnik mungkin atau tidak mungkin ditandai oleh kesulitan serius dalam

komunikasi. Cendikiawan J. D. Eller (2001) berpendapat bahwa kelompok-kelompok etnis

dalam suatu konflik, bertikai bukan tentang budaya tetapi dengan budaya. Ini merupakan

perbedaan penting yang perlu diingat saat bergerak dari analisis konflik lintas budaya ke resolusi

konflik lintas budaya.

G. Resolusi Konflik Antar-Budaya

Kartono & Gulo (1987), konflik terjadi karena ada perbedaan ciri yang dibawa oleh

individu dalam interaksi yang terjadi di masyarakat, perbedaan tersebut antara lain: perbedaan

ciri ciri fisik, adat istiadat, keyakinan dan lain lain. Itu semua merupakan hal yang wajar dalam

kehidupan sehari hari dimasyarakat, karena tidak mungkin ada masyarakat yang sama di dunia

ini. Konflik hanya bisa hilang dengan hilangnya peradapan kehidupan masyarakat. konflik

sangat bertentangan dengan integrasi, konflik dan integrasi berjalan bersamaan di masyarakat

walau beda cara penerapannya. Konflik yang terkontrol dapat menyebabkan integrasi sedangkan

integrasi yang keluar jalur akan menyebabkan konflik di masyarakat. Konflik dapat dirubah

menjadi sesuatu yang positif tetapi dalam perubahan tersebut membutuhkan waktu yang sangat

lama. Sehingga untuk merubah konflik agar menjadi sesuatu yang positif dapat dilakukan dengan

cara resolusi konflik.

Resolusi konflik antar-budaya dapat dilakukan dengan cara: (1) oleh diri sendiri, dapat

dilakukan dengan denial dan self-help. (2) Dengan orang lain: Dapat dilakukan dnegan negosiasi

dan mediasi. (3) Maupun oleh orang lain: Dapat dilakukan dengan abritasi dan litigasi.

Tanpa adanya komunikasi yang baik antara kedua belah pihak yang sedang berkonflik

mustahil cara-cara di atas dapat terlaksana dengan baik. Komunikasi dapat mempersatukan

kedua kelompok yang sedang berkonflik. Dengan adanya komunikasi maka permasalahan dalam

konflik dapat ditekan, inilah bagaimana peran komunikasi dalam upaya mitigasi resolusi konflik.

Di Indonesia, dalam menghadapi konflik antar-budaya, maka resolusi yang tepat

dilakukan yaitu: memberikan pemahaman bahwa kita memang berbeda tapi kita mempunyai satu

tujuan, yaitu hidup damai dalam keragaman. Hal ini terwujud dengan menanamkan rasa

kebhineka tunggal ika, bersama lebih nyaman, dan betapa untungnya bersatu.