konflik antarbudaya
DESCRIPTION
Konflik AntarBudayaTRANSCRIPT
CROSS-CULTURAL CONFLICT (Konflik Antar-Budaya)
A. Pendahuluan
Konflik merupakan bagian dari aspek kehidupan manusia, yang meliputi aspek sosial dari
semua bentuk hubungan. Namun, akar penyebab konflik bisa berbeda, dan cara pandang atau
pendekatan dalam memahami konflik sangat penting untuk menentukan tingkat besar-kecilnya
konflik, jenis-jenis metode pendekatan yang akan digunakan dan pada akhirnya kita mampu
merancang strategi untuk mengelola atau menyelesaikannya.
Salah satu konsep akar penyebab konflik yakni adanya persaingan antara individu atau
kelompok karena memiliki tujuan yang berbeda atau ketersediaan sumber daya yang terbatas.
Namun membangun sebuah konsep mengenai akar penyebab konflik tidak hanya terbatas pada
permasalahan kelangkaan sumber daya saja melainkan kita harus melihat dari sudut pandang,
persepsi atau keyakinan yang berbeda mengenai sifat situasi, pemikiran orang lain maupun, diri
sendiri. Menurut Duane Ruth-Hefelbower (1998), konflik adalah kondisi yang terjadi ketika dua
pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan
tindakan salah satu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat
tujuan pihak lain kurang berhasil.
B. Mengapa konflik harus ada di masyarakat?
Jika dilihat dari sifat konflik (The Nature of Conflict), Konflik harus ada dan terjadi
dimasyarakat karena apabila tidak ada konflik dapat kita bayangkan bagaimana masyarakat
menjadi kerdil, kurang stimulus, kehidupan masyarakat mandek dan masyarakat tidak akan
mampu beradaptasi dengan situasi dan keadaan yang berubah tiba tiba di masyarakat. Terkadang
ada beberapa orientasi konflik yang ada di dunia. Pertama, realisme dan yang kedua
contruktivisme. Akan tetapi keduanya terkadang dalam realitasnya berusaha menutupi banyak
kompleksitas sosial dan perilaku, baik hal-hal yang berhubungan dengan sifat konflik, dan
berbagai cara mengelola sekaligus menyelesaikannya.
Konflik yang ada di masyarakat menurut para ahli dapat dibagi menjadi 3 aliran
berdasarkan periodesasi waktu, ketiga teori tersebut antara lain:
1. Aliran tradisional: Dalam aliran tradisional membahas tentang konflik sebagai suatu
peristiwa yang merugikan, karena dalam konflik diindikasikan terdapat permasalahan
oleh karena itu konflik harus dihindari.
2. Aliran positif: Dalam aliran positif membahas bahwa konflik merupakan kejadian yang
alamiah terjadi dikehidupan bermasyarakat dan bukan merupakan sesuatu yang
menggangu, tidak perlu dihindari, justru konflik merupakan sesuatu yang penting untuk
membangun kebersamaan.
3. Aliran moderat: Dalam aliran moderat membahas bahwa konflik sebagai kekuatan yang
diperlukan untuk menciptakan pembatas sehingga muncul sesuatu yang baru
dimasyarakat.
Contoh konflik yang ada saat ini yakni konflik agraria (konflik tanah) yang terjadi antara
pemerintah dan masyarakat. Teori Kelas Sosial Karl Marx terebut dapat menganalisa konflik
perebutan lahan warga untuk pemerintah dimana dalam teori tersebut Karl Marx meletakkan
materi sebagai pusat perubahan dan faktor ekonomi menjadi dasar dari berbagai permasalahan
dasar hidup manusia. Dengan membagi kelas menjadi dua kelompok, yaitu kelas borjuis dan
kelas ploletar, dapat digambarkan bahwa ketika pemerintah melakukan perebutan tanah yang
dimiliki oleh warga maka pemerintah bertindak sebagai kaum borjuis, sedangkan masyarakat
yang lahannya diambil oleh pemerintah dapat disamakan dengan kaum Proletar. Dengan situasi
dan kondisi yang demikian maka konflik akan mudah terjadi antara pemerintah dengan
masyarakat. Untuk mengatasi konflik dan menyelesaikannya pemerintah sebelum mengambil
tanah yang ada dimasyarakat harus melakukan pendekata kepada masyarakat tentang apa alasan
mengambil tanah tersebut, setelah itu pemerintah harus memberikan ganti rugi yang sesuai
bahkan lebih besar agar masyarakat paham serta tidak menimbulkan gejolak yang ada
dimasyarakat mengenai pengambilan tanah tersebut oleh pemerintah. Sedangkan masyarakat
ketika tanahnya diambil dan digunakan oleh pemerintah harus paham dan berfikir positif bahwa
dengan diambilnya tanah mereka digunakan untuk kepentingan yang lebih besar. Dengan kondisi
yang saling pengertian yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah maka diharapkan konflik
yang akan terjadi dapat dihindari, serta solusi yang diberikan dari masalah tanah tersebut dapat
dterima dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
C. Mengapa Harus Budaya?
Ketika mendengar kata “budaya” atau “kebudayaan”, apa yang tergambar dalam benak
kita? Biasanya, kita akan langsung mengasosiasikan budaya—culture [Inggris], cultuur
[Belanda], atau kultur [Jerman]—dengan kesenian, entah itu seni tari, seni musik, seni lukis,
seni suara, seni pahat, dan sebagainya. Asosiasi tersebut sering pula ditambah dengan adat
istiadat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Ini tidak salah, karena kesenian
dan adat istiadat termasuk salah satu unsur pembentuk kebudayaan. Akan tetapi,
mengasosiasikan budaya dengan kesenian atau adat istiadat, pada kenyataannya telah
mempersempit makna budaya itu sendiri.
A Van Peursen (2001), kebudayaan merupakan gejala manusiawi dari kegiatan berfikir
(mitos, ideologi, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan teknologi),
dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana. Demikian pula Sumardjan dan Soelaeman
Soemardi (1978), Kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide yang ada
dalam pikiran manusia dalam pengalaman sehari hari yang sifatnya abstrak. Mereka mengartikan
budaya sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dengan demikian, budaya atau
kebudayaan memiliki makna yang sangat luas dan seolah tidak ada batasnya. Ia mencakup
berbagai dimensi kehidupan manusia yang lahir sebagai hasil olah akal dan budi, mulai yang
terkecil hingga yang terbesar; mulai dari tata cara makan hingga tata cara mengelola sebuah
negara. Oleh karena luasnya cakupan kebudayaan, ada sekian banyak definisi atau arti budaya
yang diungkapkan para sarjana. Dalam buku Culture: A Critical Review of Concepts and
Definitions misalnya, David Kroeber dan Kluckhohn (1999) menghimpun sekitar 160 definisi
budaya yang diungkapkan para ilmuwan. Dari sekian banyak definisi tentang budaya, tidak ada
satu pun definisi yang mampu menghimpun semua kompleksitas dari budaya itu sendiri. Setiap
definisi hanya menekankan pada satu atau beberapa aspek saja dari kebudayaan.
Sebuah pepatah latin kuno yang mencerminkan tentang kebudayaan adalah: Tempus
Mutantur, Et Nos Mutamur In Illid. Yang artinya: Waktu berubah, dan kita (ikut) berubah juga di
dalamnya. Pepatah tersebut menunjukkan kepada kita bahwa seiring konteks zaman yang
berubah, orang-orang dengan alam pikir dan rasa, karsa, dan cipta, kebutuhan dan tantangan
yang mengalami perubahan, serta budaya pun ikut berubah. Oleh karena itu, pertanyaan
mengapa harus budaya terjawab sudah.
D. Bagaimana Konflik Antar-Budaya Terjadi?Ada banyak pengertian mengenai konflik antarbudaya. Secara umum, konflik
antarbudaya merupakan konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok sosial yang
dipisahkan oleh batas-batas budaya. Individu-individu dalam komunitas terpecah-pecah lagi
menjadi kelompok-kelompok yang berbeda ciri seperti kelompok kekeluargaan, agama, bahasa,
bangsa dan lainnya. Jika suatu komunitas sosial semakin beragam maka, potensi terhadap
konflik antarbudaya akan semain tinggi pula. Selain itu, konflik antarbudaya juga dapat terjadi
pada level yang berbeda seperti budaya Amerika dan China. Samuel Huntington (2000)
menyatakan bahwa budaya bukanlah penyebab terjadinya konflik. Hal ini ditunjukkan pada
pasca perang dunia, pembagian warga dunia menjadi tujuh yaitu barat, Konfusius, islam, hindu,
ortodoks, amerika latin, dan afrika tidak menjadi penyebab konflik antar warga tersebut.
Sebanarnya konflik yang terjadi antarbudaya merupakan konflik kepentingan dan kelangkaan
sumberdaya.
Namun, dilihat dari beberapa kasus yang ada, konflik antarbudaya terjadi karena
beberapa unsur diantaranya:
a. adanya cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dalam meloihat suatu fenomena
sosial atau gejala sosial.
b. terjadinya kesalahpahaman, kurang komunikasi terhadap perbedaan cara pandang dan
kebiasaaan antarbudaya tersebut sehingga memunculkan konflik
Menurut Koentjaraningrat (1996) sumber konflik antara suku dan golongan di Indonesia
antara lain adalah kalau warga dari satu suku bangsa memaksakan unsur-unsur dari
kebudayaannya dan agamanya kepada warga suku bangsa lain. Dengan demikian sesungguhnya
sumber konflik itu komplek dan saling terkait satu sama lain sehingga memperkuat munculnya
sebuah konflik.
Sebagai contoh, Indonesia yang terdiri dari beragam budaya. Di Kalimantan Tengah pada
tahun 2001 terjadi konflik kekerasan yang berujung pada korban jiwa yang dikenal dengan kasus
Sampit. Konflik tersebut merupakan contoh nyata dari konflik antarbudaya. Perbedaan dan
kesalahpahaman akan budaya masing-masing yang telah terjadi sebelum tahun 2001 semakin
memuncak dan akhirnya berakhir dengan kerusuhan dan korban jiwa pada titik eskalasi konflik
pada tahun 2001.
E. Hubungan Budaya, Identitas, dan Konflik
Dalam kasus ini menjelaskan fakta-fakta terkait dengan apokaliptik, fundamentalis
Kristen membentuk budaya Davidian dan pandangan dunia melalui pemikiran frame kognitif dan
diskursif untuk komunikasi interpersonal, tetapi hal tersebut belum membantu pemberian
identitas sangat berarti untuk Davidian. Budaya bagian dari identitas identitas dalam melalui dua
cara utama. Pertama, budaya membentuk simbol reservoir bersama yang merupakan identitas
kolektif atau kelompok. Kedua, banyaknya simbol-simbol yang diinvestasikan mempengaruhi
emosi dan keanggotaan dalam kelompok tertentu yang mengikat emosional individu, kolektif
seperti identitas individu. Budaya, menghubungkan individu dan kolektif identitas, selain itu,
budaya mendefinisikan batas-batas potensial antara kelompok sosial. Simbol merupakan ilustrasi
dari proses untuk menghubungkan dan memahami hubungan budaya dengan konflik, hal tersebut
diungkapkan oleh Vamik Volkan yang disebut trauma. Trauma dalam hal ini mengacu kepada
pengalaman dari permasalahan yang besar yang merupakan sejarah dari suatu kelompok.
Pengalaman tersebut menjadi simbol bagi anggota kelompok sebagai ancaman, ketakutan, rasa
sakit, dan perasaan keputusasaan.
Permasalah tersebut dicontohkan melalui Holocaust Nazi bagi orang Yahudi, perbudakan
Dunia Baru untuk Afrika Amerika, dan kekalahan abad keempat belas Turki Serbia di Kosovo.
Dalam analis konflik, trauma diingat sebagai hubungan utama antara individu dan
kolektivitas. Pertama, mereka melambangkan kekhasan individu dan kelompok dalam cara
emosional yang menarik situs yang potensial untuk monilisasi di bidang politil. Kedua, mereka
menyediakan individu adari anggota kelompok (pengambil keputusan di antara mereka sensitif
terhadap kelompok masyarakat yang memberikan opini dan dukungan), kognitif dan peta
emosional (Termasuk kelompok lainnya) yang berada disekitarmereka. Efek umum diberikan
oleh trauma, yaitu adanya tidak peduli, atau jahat dan berbahaya di dunia. Pola pikir didasari
oleh identitas berdasarkan trauma konflik, karena salah satu respon dari trauma psikologis adalah
atletik, agresi reaktif terhadap diri atau orang lain.
F. Keterkaitan Budaya, Etnis, dan Konflik Budaya
Budaya memberikan sumber simbolis untuk mendefinisikan batas-batas dari sebuah
kelompok dan di dalam diri kelompok itu sendiri untuk mempengaruhi organisai politik dan
mobilisasi. Saat budaya itu di daftarkan oleh kelompok sosial ia sering menjadikan itu sebagai
sebuah etnik/ suku. Yang berujung kepada kelompok etnik. Demikian pula jika konflik lintas
budaya maka dianggap juga sebagai konflik etnis. Etnis biasanya menjadi sumber daya yang
dimobilisasi oleh individu atau kelompok untuk tujuan politik karena dalam etnsi menyertakan
kesadaran diri adanya perbedaan.
Konflik etnik yang terjadi merupakan konflik budaya dan itu hal penting yang perlu
diingat. Konflik etnik mungkin atau tidak mungkin ditandai oleh kesulitan serius dalam
komunikasi. Cendikiawan J. D. Eller (2001) berpendapat bahwa kelompok-kelompok etnis
dalam suatu konflik, bertikai bukan tentang budaya tetapi dengan budaya. Ini merupakan
perbedaan penting yang perlu diingat saat bergerak dari analisis konflik lintas budaya ke resolusi
konflik lintas budaya.
G. Resolusi Konflik Antar-Budaya
Kartono & Gulo (1987), konflik terjadi karena ada perbedaan ciri yang dibawa oleh
individu dalam interaksi yang terjadi di masyarakat, perbedaan tersebut antara lain: perbedaan
ciri ciri fisik, adat istiadat, keyakinan dan lain lain. Itu semua merupakan hal yang wajar dalam
kehidupan sehari hari dimasyarakat, karena tidak mungkin ada masyarakat yang sama di dunia
ini. Konflik hanya bisa hilang dengan hilangnya peradapan kehidupan masyarakat. konflik
sangat bertentangan dengan integrasi, konflik dan integrasi berjalan bersamaan di masyarakat
walau beda cara penerapannya. Konflik yang terkontrol dapat menyebabkan integrasi sedangkan
integrasi yang keluar jalur akan menyebabkan konflik di masyarakat. Konflik dapat dirubah
menjadi sesuatu yang positif tetapi dalam perubahan tersebut membutuhkan waktu yang sangat
lama. Sehingga untuk merubah konflik agar menjadi sesuatu yang positif dapat dilakukan dengan
cara resolusi konflik.
Resolusi konflik antar-budaya dapat dilakukan dengan cara: (1) oleh diri sendiri, dapat
dilakukan dengan denial dan self-help. (2) Dengan orang lain: Dapat dilakukan dnegan negosiasi
dan mediasi. (3) Maupun oleh orang lain: Dapat dilakukan dengan abritasi dan litigasi.
Tanpa adanya komunikasi yang baik antara kedua belah pihak yang sedang berkonflik
mustahil cara-cara di atas dapat terlaksana dengan baik. Komunikasi dapat mempersatukan
kedua kelompok yang sedang berkonflik. Dengan adanya komunikasi maka permasalahan dalam
konflik dapat ditekan, inilah bagaimana peran komunikasi dalam upaya mitigasi resolusi konflik.
Di Indonesia, dalam menghadapi konflik antar-budaya, maka resolusi yang tepat
dilakukan yaitu: memberikan pemahaman bahwa kita memang berbeda tapi kita mempunyai satu
tujuan, yaitu hidup damai dalam keragaman. Hal ini terwujud dengan menanamkan rasa
kebhineka tunggal ika, bersama lebih nyaman, dan betapa untungnya bersatu.