analisis konflik karikatur nabi di koran jyllands posten dalam perspektif komunikasi antarbudaya

25
TINJAUAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM KONTROVERSI PEMUATAN KARIKATUR NABI MUHAMMAD DI MEDIA MASSA INTERNASIONAL Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Media dan Komunikasi Antar Budaya UI 2010 K O M U N I K A S I | F I S I P UI | 2 0 1 0 Oleh AULIA DWI NASTITI | 0906561452

Upload: aulia-nastiti

Post on 28-Jul-2015

607 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Memahami konflik karikatur Nabi Muhammad di Koran Jyllands-Posten dari kacamata Komunikasi Antarbudaya

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

TINJAUAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM

KONTROVERSI PEMUATAN KARIKATUR NABI MUHAMMAD

DI MEDIA MASSA INTERNASIONAL

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah Media dan Komunikasi Antar Budaya

UI 2010

K O M U N I K A S I | F I S I P UI | 2 0 1 0

Oleh

AULIA DWI NASTITI | 0906561452

Page 2: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

1 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Definisi Budaya

Kehidupan manusia tidak akan pernah dapat dilepaskan dari budaya karena dalam budaya

lah manusia sejatinya hidup. Namun seringkali manusia tidak menyadari apa itu budaya, dan apa

kaitannya dengan kehidupannya. Dalam bukunya, Communicating Across Culture, Gudykunst dan

Kim (2003) mensarikan definisi Keesing (1974) mengenai budaya sebagai sebuah rujukan yang selalu

kita gunakan dalam berinteraksi. Pada dasarnya, kita tidak menyadari kehadiran budaya sebagai

pedoman dalam keseharian kita, tetapi perilaku kita merefleksikan bahwa seolah-seolah ada

kesepakatan umum terhadap pedoman tersebut. Sementara itu, Ting Too-Mey (1999) merujuk pada

D’Andrade (1984) merumuskan budaya sebagai sebuah kerangka rujukan yang kompleks yang terdiri

dari berbagai pola-pola tradisi, kepercayaan, nilai, norma, simbol, dan makna, yang ditularkan dalam

berbagai tataran masyarakat melalui proses interaksi dan sosialisasi dalam anggota kelompok sosial

tertentu.

Oleh karena itulah, budaya dapat disebut sebagai enigma (Ting Too-Mey, 1999) karena ia

memilki baik komponen konkret dan abstrak. Berbagai elemen tersebut terdapat dalam diri manusia

dan dapat dinyatakan dalam metafora gunung es. Lapisan dasar (jumlahnya sebagian besar) diisi oleh

komponen-komponen abstrak yang tak terlihat secara kasat mata, seperti nilai, norma, kepercayaan,

tradisi, makna, dan kebutuhan universal. Sedangkan lapisan atas yang besarnya hanya sebagian kecil

merupakan perwujudan konkret yang berupa artifak-artifak budaya seperti benda, fashion, musik,

gambar, juga simbol-simbol verbal dan nonverbal lainnya.

KONSEP BUDAYA

KKK EEE RRR AAA NNN GGG KKK AAA KKK OOO NNN SSS EEE PPP TTT UUU AAA LLL

Page 3: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

2 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Fungsi Budaya

Berangkat dari definisi budaya sebagai kerangka rujukan perilaku manusia dalam

berinteraksi, Ting Too-Mey (1999) kemudian mengidentifikasikan lima fungsi budaya: (1) identity

meaning function, yang berarti bahwa budaya berfungsi sebagai atribut dan penanda yang

menunjukkan identitas kita melalui adanya kepercayaan, nilai, dan norma-norma budaya, (2) group

inclusion function, yaitu budaya sebagai pemenuhan kebutuhan untuk berafiliasi dengan suatu

kelompok dan membentuk perasaan menjadi bagian dalam kelompok tersebut (sense of belonging),

(3) intergroup boundary regulation function, di mana budaya dalam in-group kita membentuk

kecenderungan bersikap dalam interaksi dengan kelompok budaya lain (out-group), (4) ecological

adaptation function, budaya mengajarkan proses adaptasi dalam inetraksi antar individu, kelompok

budaya, dan dalam lingkungan luas, (5) cultural communication function, di mana budaya

mempengaruhi cara berkomunikasi, dan komunikasi pun mempengaruhi budaya kita

Definisi Komunikasi Antar Budaya

Pada prinsipnya, komunikasi antar budaya didefiniskan sebagai proses pertukaran makna

melalui simbol-simbol di antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Gudykunst &

Kim, 2003; Ting Too-Mey, 1999). Komunikasi antar budaya dianggap sebagai proses yang lebih

kompleks karena dihadapkan pada tantangan perbedaan budaya. Perbedaan budaya di antara dua

pihak yang berkomunikasi berimplikasi pada timbulnya perbedaan sistem simbol dan bagaimana

mereka memaknai simbol tersebut. Oleh karena itu, Ting Too-Mey (1999) berargumen bahwa untuk

mewujudkan komunikasi interkultural yang efektif, kita harus memperhatikan identitas lawan bicara

kita. Lima asumsi pokok dalam komunikasi antar budaya (Ting Too-Mey, 1999), yaitu:

1. Dalam komunikasi antar budaya terdapat berbagai perbedaan dengan tingkat tertentu antara dua

anggota kelompok yang berinteraksi

2. Komunikasi antar budaya melibatkan proses encoding-decoding simbol-simbol verbal dan

nonverbal dalam waktu yang bersamaan

3. Komunikasi antar budaya berpotensi besar menemui perselisihan makna (well-meaning clashes)

karena adanya perbedaan budaya

KONSEP KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Page 4: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

3 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

4. Komunikasi antar budaya selalu bersifat kontekstual dan tidak terjadi dalam ruang vakum, artinya

komunikasi antar budaya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional yang ada

5. Komunikasi antar budaya selalu terjadi dalam sistem yang melekat pada konteks interaksi

tersebut yang bersifat dependen dan saling mempengaruhi

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya

Berdasarkan model komunikasi antar budaya yang dikembangkan oleh Gudykunst dan Kim

(2003), dapat diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi proses komunikasi antar budaya, yang

diklasifikasikan mejadi dua jenis, yaitu faktor personal yang terdapat dalam diri individu dan faktor

situasional atau pengaruh dari luar. Faktor personal antara lain mencakup: pengaruh budaya,

pengaruh sosiobudaya, dan pengaruh psikobudaya. Sementara faktor situasional diartikan sebagai

pengaruh lingkungan dalam proses komunikasi antar budaya. Dalam kajian ini, pembahasan dibatasi

hanya pada faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan, yaitu pengaruh budaya, pengaruh

sosiobudaya, dan pengaruh psikobudaya.

1. Pengaruh Budaya

Pengaruh budaya dalam komunikasi bersifat dialektik, timbal balik dan saling mempengaruhi.

Dalam menelaah pengaruh budaya, digunakan dua pendekatan, pertama memahami bagaimana

budaya mempengaruhi perilaku komunikasi seseorang dari dalam yaitu dari sudut pandang orang

tersebut. Kedua, untuk memahami cara budaya mempengaruhi perilaku adalah dengan cara

membandingkan dengan budaya lain. Untuk mendapatkan pemahaman yang fokus dan

komprehensif, maka kita harus memahami perbedaan budaya dalam berbagai dimensi, antara lain

dimensi individualisme-kolektivisme, dimensi variasi kebudayaan Hofstede, orientasi nilai Kluckhohn

Strodbecks, serta dimensi pola variabel Parson. Dalam menelaah permasalahan kali ini, penulis

menggunakan konsep budaya dalam dimensi individualis-kolektivis.

Perbedaan dimensi kebudayaan individualis-kolektivis dikaji dalam level analisis kelompok

kultural yaitu, kelompok budaya individualis memiliki kecenderungan untuk bersifat universal dalam

standarisasi dan penilaian berbagai hal sesuai dengan objeknya (objektif). Sedangkan kebudayaan

kolektivis cenderung memiliki preferensi penilaian yang lebih baik bagi anggota in-group-nya

(subjektif). Kebudayaan kolektivis menekankan tujuan, kebutuhan, dan pandangan in-group

terhadap anggotanya serta memprioritaskan norma sosial in-group itu dibanding kepentingan

anggotanya. Sedangkan kebudayaan individual, menempatkan nilai-nilai in-group setara dengan

nilai-nilai dan kepercayaan individu.

Page 5: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

4 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

2. Pengaruh Sosiobudaya

Term sosiobudaya (sosiocultural) dapat diartikan sebagai kajian budaya berdasarkan aspek-aspek

sosial yang berlaku di masyarakat, khususnya institusi dan kelompok sosial. Dalam kajian

sosiokultural, asumsi yang berlaku adalah budaya dan kondisi sosial mempengaruhi proses

komunikasi kita dengan orang lain (terutama komunikasi antar budaya). Seperti halnya pengaruh

budaya, pengaruh sosiokultural dalam komunikasi antar budaya dapat dikaji melalui tiga pendekatan

ilmiah, yaitu ilmu komunikasi, sosiologi, dan antropologi sosial. Sedangkan pengaruh sosiobudaya

dalam komunikasi terlihat dari keanggotaan dalam kelompok sosial, identitas sosial dan peran sosial.

Kelompok sosial merupakan sekumpulan individu yang saling berbagi pengalaman dan identitas

sosial (simbol) dan keanggotaan dalam kelompok sosial mengacu pada keterikatan seorang individu

dalam kelompoknya tersebut. Macam-macam kelompok sosial yaitu: (1) kelompok anggota dan

kelompok acuan (membership-reference group) dan (2) Kelompok dalam dan kelompok luar

(ingroups-outgroups), selain itu juga terdapat klasifikasi lain yaitu kelompok mayoritas dan kelompok

minoritas.

Identitas sosial merupakan aspek penting yang mempengaruhi pembentukan konsep diri (self

concept), dipelajari dari keanggotaan seorang individu dalam sebuah kelompok dan sekaligus

mempengaruhi komunikasi kita dengan orang lain. Identitas sosial dipelajari melalui sosialisasi

(primer dan sekunder). Tujuh identitas utama yang dimiliki oleh setiap individu (Gudykunst & Kim,

2003) yaitu: (1) Identitas Budaya, meliputi budaya individualis atau kolektivis, (2) Identitas Etnis,

yang memicu labelling dan stereotyping, dan dihasilkan oleh proses asimilasi atau sebagai bentuk

pluralisme, (3) Identitas Gender, meliputi feminin, maskulin, undifferentiated, dan androgynous, (4)

Identitas Berdasarkan Keterbatasan, (5) Identitas Usia, (6) Identitas Kelas Sosial, berdasarkan

pendapatan, pendidikan, pekerjaan dll, (7) Identitas Peran, meliputi beberapa variabel seperti

degree of personalness, degree of formality, dan degree of hirearchy.

Sedangkan menurut Ting Too-Mey (1999), dalam setiap diri individu terdapat delapan domain

identitas yang terklasifikasikan dalam dua tipe, yaitu primary identities dan situational identites.

Primary identities merupakan identitas yang sifatnya tetap dan mencakup empat domain identitas,

yaitu (1) cultural identity yang berasal dari afiliasi dengan kelompok kultural tertentu; (2) ethnic

identity identitas yang diperoleh dari asal-usul nenek moyang dan mengacu pada etnis; (3) gender

identity yang menunjukkan image ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’; dan (4) personal identity, identitas unik

yang hanya dimiliki diri kita. Sedangkan situational identites didefinisikan sebagai identitas yang

sifatnya berubah-ubah sesuai konteks dan situasi di mana interaksi tersebut berlangsung. Empat

domain identitas yang termasuk dalam situational identity antara lain, (1) role identity, identitas

berdasarkan peran yang kita jalankan dalam suatu interaksi; (2) relational identity,identitas yang kita

Page 6: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

5 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

miliki dari ikatan keluarga dan hubungan pertemanan; (3) facework identity, identitas yang berupa

image kita dalam interaksi, dan (4) symbolic interaction identity atau identitas yang kita peroleh dari

simbol-simbol verbal dan nonverbal ketika kita berkomunikasi.

3. Pengaruh Psikobudaya

Pengaruh psikobudaya dalam komunikasi mengacu pada proses-proses yang terjadi dalam tataran

kognitif kita yang mempengaruhi pemikiran, sikap, dan perilaku komunikasi (Gudykunst & Kim,

2003). Dalam konteks komunikasi antar budaya, konsep-konsep yang perlu digarisbawahi terkait

dengan pengaruh psikobudaya adalah stereotype, prejudice, dan ethnocentrism.

Stereotype didefinisikan oleh Lippman (1992) sebagai gambaran khas di kepala kita mengenai

suatu hal. Dalam konteks interaksi, stereotipe berarti representasi kognitif atas kelompok lain yang

mempengaruhi perasaan kita terhadap anggota kelompok tersebut (Gudykunst & Kim, 2003).

Hewstone & Brown (1986) mnegklasifikasikan aspek-aspek dalam stereotip: kategorisasi individu

berdasarkan keanggotaannya pada suatu kelompok, seperangkat atribut dianggap menggambarkan

(hampir) seluruh anggota sebuah kategori, dan seperangkat atribut dianggap menggambarkan

anggota individu sebuah kategori. Ketika kita berkomunikasi, kita cenderung menilai seseorang

berdasarkan stereotip secara otomatis dan tidak disadari. Stereotipe dapat mengurangi

ketidakpastian dan menambah tingkat prediksi, tetapi tidak meningkatkan akurasi. Implikasinya,

stereotipe tidak menyebabkan miskomunikasi, tetapi potensi kesalahpahaman dalam interaksi,

terutama interaksi antar budaya, karena stereotipe mempengaruhi cara kita membentuk persepsi.

Prejudice, dalam Gudykunst dan Kim (2003) diartika sebagai sikap menghakimi satu individu

berdasarkan kelompok dia berasal, hal ini umumnya bersifat negative dan mengarah pada

diskriminasi. Prejudice bisa juga merupakan wujud ekspresi rasa takut, jijik, tidak suka, marah,

kecemburuan. Berkaitan dengan prejudice, banyak kalangan menilai bahwa media berkontribusi

besar dalam pembentukan citra baik / buruk budaya tertentu (prejudice).

Ethnocentrism berarti tendensi untuk mengidentifikasi diri kita dengan kelompok kita (budaya,

suku tertentu) dan untuk mengevaluasi kelompok luar (outgroups) beserta anggota-anggotanya

berdasarkan standar tertentu (Gudykunst & Kim, 2003). Pada dasarnya setiap orang memiliki

karakteristik etnosentris sampai pada tiongkat tertentu. Oleh karena itu, kita biasanya memandang

nilai-nilai budaya sendiri secara lebih nyata dan “benar” , sehingga muncul pandangan “superior”

terhadap budaya luar, dan kita menjadi khawatir ketika berinteraksi dengan orang asing. Berkaitan

dengan proses interaksi etnosentrisme memiliki fungsi memperkuat ikatan kelompok, wujud

ekspresi nilai, cara pandang budaya lain melalui frame budaya sendiri. Sedangkan implikasi negatif

etnosentrisme adalah munculnya superioritas, sikap ekstrim yang mengancam budaya lain,

menganggap budaya sendiri yang paling benar dan berusaha mengubah cara berpikir orang lain.

Page 7: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

6 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Sejarah dalam Komunikasi Antar Budaya

Merujuk pada argumen Martin dan Nakayama (2004), salah satu elemen penting yang harus

diperhatikan dalam kajian komunikasi antar budaya adalah sejarah. Sejarah membentuk pemhaman

mengenai siapa identitas kita, sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Ketika berinteraksi, kita

sebenarnya membawa sejarahpersonal kita, karenanya sejarah mempengaruhi bagaimana cara kita

berinteraksi. Empat elemen sejarah personal yang mempengaruhi interaksi (Brislin, 1981): Childhood

experience atau pengalaman masa lalu kita, Historical myths mitos-mitos sejarah, Language atau

perbedaan sistem bahasa, dan Recent/vivid events atau pemberitaan media atas peristiwa aktual

yang mempengeruhi pembentukan stereotype dan prejudice dalam interaksi.

Identity Negotiation Perspective dan Mindful Intercultural Communication

Identity Negotiation Perspective atau Perspektif Negosiasi Identitas merupakan sebuah cara

pandang dalam komunikasi antar budaya yang menekankan pada hubungan antara nilai-nilai budaya

dan konsep diri seseorang (Ting Too-Mey, 1999). Dalam perspektif negosiasi identitas, keduanya

merupakan variabel penting dalam membentuk identitas seseorang. Pada dasarnya setiap individu

memiliki dua macam identitas dalam dirinya yang bersumber dari dua sumber yang berbeda (Ting

Too-Mey, 1999). Dua tipe identitas yang dimiliki individu adalah Social Identity dan Personal Identity.

Menurut Brewer dan Miller (1996), Social identity mengacu pada konsep diri individu yang diperoleh

dari keanggotaannya dalam suatu kelompok tertentu dan bersumber pada kelompok (group-based).

Personal Identity merujuk pada konsep diri individu yang mendefinisikan seorang individu secara

unik dan membedakannya dengan individu lainnya. Personal identity bersumber dari individu itu

sendiri (person-based). Dua tipe identitas yang berasal dari dua sumber yang berbeda tersebut

membentuk dua macam persepsi yang dimiliki individu ketika dirinya terlibat interaksi, yaitu

intergroup-based perceptions atau persepsi yang hadir dalam benak individu ketika mengalami

segregasi akibat proses kategorisasi sosial dan interpersonal-based perceptions yang timbul ketika

individu berada dalam situasi interpersonal (Tajfel, 1981).

Dalam proses komunikasi antar budaya, yang dinegosiasikan adalah dua identitas yang

berbeda dengan budaya sebagai akar dan inti dari proses komunikasi tersebut, dan implikasi yang

timbul dari negosiasi identitas tersebut adalah muculnya persepsi antar budaya antara dua pihak

yang berinteraksi tersebut. Ting Too-Mey (1999) berpandangan bahwa negosiasi identitas

merupakan prasyarat terjadinya komunikasi antar budaya yang sukses dan efektif. Komunikasi antar

budaya yang baik disebut sebagai mindful intercultural communication, yang diindikasikan oleh

kesediaan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk menempatkan diri kada kerangka rujukan budaya

lain dan upaya penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi

perbedaan dalam memaknai interaksi.

Page 8: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

7 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Denmark, September 2005. Sebuah koran terbesar di Denmark, Jylland-Posten, memuat 12

buah gambar kartun yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad sebagai seseorang yang bodoh,

dungu, linglung, pendukung kekerasan, terorisme dan pengeboman, eksploitasi terhadap wanita

melalui poligami. Bahkan beberapa kartun tersebut terang-terangan menuliskan kata-kata yang

menghina Islam seperti prasangka bahwa Islam identik dengan terorisme, tirani teokrasi, inteloren

terhadap kritik, takut akan ekspansi budaya barat, dan lain-lain. Enam dari kedua belas karikatur

tersebut diterbitkan ulang di surat kabar Mesir, El Faqr, pada 30 Oktober 2005 untuk mendampingi

sebuah artikel yang mengkritik keras tindakan Posten, namun saat itu karikatur-karikatur ini belum

mendapat perhatian yang besar di luar Denmark. Hanya pada Desember 2005, saat Organisasi

Konferensi Islam mulai menyatakan penentangannya, barulah kontroversi ini menghangat di dunia.

Sebagian dari karikatur tersebut direproduksi dan diterbitkan di surat kabar di seluruh belahan dunia

internasional, antara lain di Norwegia oleh surat kabar Magazinet, pada tanggal 10 Januari 2006.

Koran Jerman, Die Welt; surat kabar Perancis France Soir dan banyak surat kabar lain di Eropa dan

juga surat kabar di Selandia Baru dan Yordania. Di Indonesia sendiri, tercatat ada dua media massa

yang menerbitkan karikatur-karikatur ini, masing-masing Tabloid Gloria (5 karikatur) dan Tabloid

PETA.

CONTOH KASUS

DDD EEE SSS KKK RRR III PPP SSS III KKK AAA SSS UUU SSS

Page 9: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

8 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Menurut Jyllands-Postens, kartun-kartun tersebut dipublikasikan sebagai bentuk ungkapan

satir atas penyensoran diri (self-censorship) dan kebebasan berpendapat (freedom of speech) yang

dilatarbelakangi oleh penolakan dari berbagai pihak untuk menggambar Muhammad di buku

seorang penulis Denmark bernama Kare Bluitgen. Mereka menolak untuk menggambar Muhammad

karena cemas dan takut diserang ekstremis Muslim. Mendengar hal tersbut, Jyllands-Postens

menuntut isu kebebasan berpendapat dengan memuat gambar-gambar karikatur Nabi Muhammad

yang dalam pandangan umat Islam merupakan hal yang tabu dilakukan. Meskipun Jyllands-Posten

mengatakan penerbitan gambar-gambar ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa kebebasan

berbicara berlaku bagi siapapun, banyak orang menganggap bahwa gambar-gambar tersebut adalah

bentuk penghinaan terhadap Islam dan menunjukkan prasangka buruk terhadap Islam, serta

berpotensi membentuk Islamofobia di Denmark.

Pemuatan gambar-gambar Nabi Muhammad secara kartunis dengan image dan pencitraan

yang bodoh dan buruk tersebut tak ayal memunculkan reaksi keras dari umat muslim seluruh dunia.

Berbagai aksi dan protes dari dunia internasional dilayangkan kepada surat kabar dan pemerintah

Denmark, mulai dari aksi dan protes yang bersifat damai, politis, dan diplomatis, sampai aksi dan

protes yang sifatnya keras dan radikal. Protes-protes yang datang dari tataran internasional antara

lain (Berita dikutip dari Republika dan detik.com) :

- Organisasi Konferensi Islam dan Liga Arab meminta agar PBB menjatuhkan sanksi internasional

terhadap Denmark.

- Produk dari Denmark diboikot oleh konsumen di Arab Saudi, Kuwait dan negara Arab lain.

- Selain itu ada protes besar-besaran oleh kaum Muslim di Indonesia, Malaysia, Pakistan, negara

Arab dan negara lain yang mempunyai populasi Muslim, hampir semuanya menggunakan

kekerasan.

- Pada tanggal 4 Februari, Kedubes Denmark dan Norwegia di Suriah dibakar, akan tetapi tidak ada

korban jiwa. Sehari kemudian pada tanggal 5 Februari Kedubes Denmark di Beirut, Lebanon juga

dibakar oleh amukan massa. Akibat kejadian ini, Menteri Dalam Negeri Lebanon, Hassan al-Sabaa

mengundurkan diri. Dua hari kemudian, pada 7 Februari, Iran resmi memutuskan hubungan

dagang dengan Denmark

- Sekjen PBB, Kofi Annan, menyatakan keprihatinannya akan peristiwa ini dan berkata bahwa

"kebebasan pers" harus selalu diterapkan melalui penghormatan terhadap “keyakinan agama dan

ajaran seluruh agama".

Page 10: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

9 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

- Kemarahan warga muslim atas karikatur Nabi Muhammad SAW terus meluas. Bahkan di Palestina,

dua pria bersenjata menculik seorang warga Jerman sebagai luapan kemarahan atas kartun

kontroversial itu.

- Pemerintah Indonesia melalui saluran OKI dan PBB telah menyampaikan nota protes keras atas

pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW yang beredar di Denmark, Italia, Polandia, Prancis, dan

Belanda.

Yang menarik dan tidak banyak diketahui oleh publik adalah, reaksi dunia Islam terhadap karikatur

yang menghina tersebut tidak hanya dilayangkan dalam bentuk nota protes, boikot, atau bahkan

tindakan ekstrem seperti pembakaran kedubes Denmark dan negara-negara Eropa tertentu, tetapi

melalui karikatur balasan untuk menyindir betapa Barat seringkali menunjukkan standar ganda

dalam bersikap. Selain itu, muncul gagasan untuk meng-counter penghinaan Barat melalui lomba

karikatur bertema Yahudi yang inisiatifnya muncul dari sebuah surat kabar di Iran Hamshahri yang

merencanakan lomba tersebut untuk menguji batas kebebasan berbicara, sebgaimana alasan yang

digunakan banyak surat kabar Eropa dalam menyiarkan kartun Nabi tersebut. “Pertanyaan penting

bagi Muslim ialah, `apakah kebebasan berbicara Barat membolehkan mengangkat masalah, seperti,

kejahatan Amerika Serikat dan Israel atau kejadian, seperti, Bencana Yahudi, atau kebebasan

berbicara itu hanya bagus untuk menyerang nilai suci agama Tuhan?” kata harian itu. (Dikutip dari

Republika, 8 Februari 2006).

Pada akhirnya, kontroversi dan perbenturan budaya ini mulai mereda setelah Jyllands-Posten sendiri

telah meminta maaf karena telah menghina umat Muslim. Namun mereka tetap berpendapat bahwa

mereka berhak menerbitkan karikatur tersebut, dengan alasan bahwa fundamentalisme Islam tidak

dapat mengontrol hal-hal yang dapat diterbitkan media di Denmark.

Page 11: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

10 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Berdasarkan ilustrasi kasus yang telah disajikan pada Bab Deskripsi Kasus, kita dapat menarik

kesimpulan bahwa kasus tersebut merupakan salah satu contoh terjadinya benturan antar budaya

(cultural clashing) di tingkat global. Dua komponen budaya yang menjadi esensi kajian antar budaya

di sini adalah budaya Islam dan budaya Barat. Budaya Islam diwakili oleh kelompok negara-negara

Islam seperti Liga Arab dan OKI, serta warga negara-negara Islam,s edangkan budaya Barat

direpresentasikan oleh warga negara Denmark dan negara-negara Barat lainnya seperti Norwegia,

Perancis, Australia, dan negara-negara lain yang turut mendukung pemuatan karikatur tersebut

dalam media massa. Untuk menguraikan permasalahan yang sebenarnya terjadi dalam cultural

clashing antara budaya Islam dan budaya Barat akibat pemuatan karikatur Nabi Muhammad

tersebut, kita dapat mengkajinya dalam tinjuan komunikasi antar budaya. Karena pada dasarnya, hal

fundamental yang membentuk suatu hubungan antar budaya, baik pada tingkat interpersonal

maupun intergrup adalah proses komunikasi yang berlangsung di antara keduanya.

Konsep Budaya

Ditinjau dari konsep budaya, klasifikasi budaya berdasarkan tingkat keanggotaan kelompok

budaya dalam kasus di atas adalah wilayah dunia (global). Dalam klasifikasi ini terdapat dikotomi

antara budaya Barat dan budaya Islam. Sesuai dengan definisi Gudykunst dan Kim (1999) yang

memandang bahwa budaya merupakan kerangka rujukan dalam berperilaku, budaya Islam dan

ANALISIS KASUS

SSS TTT UUU DDD III KKK AAA SSS UUU SSS

Page 12: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

11 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

budaya Barat masing-masing memiliki kerangka rujukan masing-masing yang digunakan sebagai

pedoman dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain serta membentuk cara

memahami perilaku orang lain. Hal ini terlihat dari pemaknaan masing-masing pihak terhadap

karikatur tersebut. Lebih jauh, merujuk definisi Ting Too-Mey (1999), yang memasukkan elemen-

elemen dalam kebudayaan yang terdiri dari berbagai pola-pola tradisi, kepercayaan, nilai, norma,

simbol, dan sebagai sebuah sistem kerangka rujukan yang kompleks, dapat kita jelaskan bahwa

Budaya Barat merujuk pada nilai-nilai kebebasan. Oleh karena itu, Barat menganggap bahwa

pelarangan untuk menggambarkan sosok Nabi Muhammad adalah suatu bentuk pelanggaran. Pada

akhirnya, pemahaman Barat tersebut membentuk sikap Barat untuk mengkomunikasikan nilai-nilai

kebebasannya itu dalam bentuk karikatur Nabi Muhammad. Sedangkan dari sudut pandang budaya

Islam, kerangka rujukan yang digunakan didasarkan pada peraturan dan nilai-nilai agama Islam yang

notabene memberlakukan suatu batasan-batasan tertentu terkait dengan pemimpin agamanya,

yaitu Nabi Muhammad SAW. Nilai-nilai Islam melarang Nabi Muhammad ditampilkan dalam bentuk

simbol-simbol grafis, baik berupa gambar, lukisan, patung, foto, maupun film. Hal ini didasari

pandangan bahwa Nabi Muhammad merupakan pemimpin spiritual yang sangat dihormati dalam

budaya Islam sehingga penggambaran terhadap sosoknya memungkinkan terjadinya distorsi atau

pengolahan tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Selan itu, nilai-nilai budaya Islam

memberlakukan larangan tersebut sebagai upaya preventif agar sosok Nabi Muhammad dalam

simbol-simbol grafis tersebut tidak disembah dan justru dijadikan sebagai berhala.

Dalam konteks lima fungsi budaya Ting Too-Mey (1999) kita dapat mengidentifikasikan

bahwa fungsi budaya bagi dunia Islam dan dunia Barat adalah sebagai (1) identity meaning function

di mana aturan agama Islam ditempatkan sebagai sebagai atribut dan penanda yang menunjukkan

identitas sebagai pemeluk agama Islam, dan nilai-nilai kebebasan serta ideologi liberal menjadi suatu

identitas yang menunjukkan budaya Barat; (2) group inclusion function, yaitu nilai-nilai budaya Islam

sebagai ikatan untuk berafiliasi dengan pemeluk agama Islam lainnya dan membentuk perasaan

sense of belonging terhadap agama Islam dan dibuktikan dengan pembelaan ketika nilai-nilai

tersebut dinodai oleh kelompok lain, sedangkan dalam budaya Barat, yang menjadi pembentuk

inklusivitas anggotanya adalah persamaan pandangan untuk menghargai nilai-nilai freedom of

expression bagaimanapun bentuknya. Sense of belonging anggota kelompok budaya Barat terbukti

dari reproduksi dan republikasi karikatur Nabi Muhammad di media massa negara Barat lain selain

Denmark disertai dengan dukungan terhadap jaminan kebebasan berpendapat; (3) dalam

intergroup boundary regulation function, budaya Islam dalam in-group negara-negara Muslim

membentuk kecenderungan bersikap kontra atau meng-counter pesan-pesan yang dismpaikan oleh

out-group yang dalam hal ini ada;ah budaya Barat, begitu pun sebaliknya budaya Barat; (4) ecological

Page 13: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

12 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

adaptation function, dapat dilihat dari sikap yang ditunjukkan oleh budaya Barat, di mana nilai-nilai

kebebasan berpendapat yang diajarkan membentuk pemikiran kritis dalam menyikapi suatu isu dan

mengadaptasikannya dalam interaksi dengan kelompok budaya Islam melalui tuntutan

diselenggrakannya kebebasan sepenuhnya dengan cara ilustrasi satir erwujud karikatur Nabi

Muhammad; (5) cultural communication function, di mana budaya mempengaruhi cara

berkomunikasi, dan komunikasi pun mempengaruhi budaya kita yang terlihat jelas dari cara masing-

masing budaya mengkomunikasikan kepentingannya. Budaya pemikiran bebas dan kritis Barat

membentuk cara mereka mengkomunikasikan pesan-pesan secara satir dalam media massa,

sementara pemikiran normatif Islam mempengaruhi cara Islam dalam menyampaikan

pertentangannya terhadap karikatur tersebut yaitu melalui jalan birokrasi dan advokasi melalui

lembaga-lembaga internasional, juga melalui aksi protes ke Kedutaan Besar.

Konsep Komunikasi Antar Budaya

Merujuk pada Gudykunst & Kim (2003) dan Ting Too-Mey (1999) yang mendefinisikan

komunikasi antar budaya sebagai proses pertukaran makna melalui simbol-simbol di antara orang-

orang yang berasal dari budaya yang berbeda, kita dapat menyimpulkan bahwa kontroversi

pemuatan karikatur Nabi Muhammad sebagai suatu bentuk komunikasi antar budaya karena dalam

kontroversi terdapat : (1) dua pihak berbeda budaya yang berkomunikasi, yaitu budaya Islam dan

budaya Barat. Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keanggotaan kelompok budaya yang

berinteraksi dalam permasalahan kali ini berada pada tingkat wilayah dunia atau global dan aktor-

aktor yang berperan adalah kelompok, bukan individu yang berbeda budaya, sehingga level analisis

dalam kajian ini adalah komunikasi antar dua kelompok dari dua budaya yang berbeda; (2) terdapat

makna yang dipertukarkan melalui simbol-simbol. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa ada

pertukaran makna, yaitu pemaknaan terhadap sebuah kebebasan dan aturan, yang dituangkan

dalam simbol-simbol yang berupa gambar karikatur Nabi Muhammad dan pesan-pesan tertulis yang

disampaikan dalam karikatur tersebut. Makna yang dipertukarkan oleh Barat adalah makna akan

kebebasan akan suatu hal yang mutlak dan tidak seharusnya dibatasi oleh aturan agama dan makna

tersebut direpresentasikan Barat dalam bentuk karikatur. Sementara itu, Islam juga mepertukarkaan

makna pertentangannya terhadap pemikiran Barat dengan cara menuntut bahwa Barat selalu

memakai standar ganda dalam memandang suatu persoalan yang terkait dengen kelompok-

kelompok tertentu. Oleh karena itu Islam menuangkan makna tersebut juga dalam karikatur balasan.

Dalam kajian ini, ada komponen lain dalam interaksi antarbudaya yang penting untuk dikaji

selain dua kelompok budaya yang terlibat dalam komuniaksi, yaitu media massa. Dalam kajian kali ini

perlu digarisbawahi bahwa komunikasi yang terjadi merupakan mediated communication yang

Page 14: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

13 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

berarti kedua kelompok budaya tersebut mempertukarkan makna-makna melalui saluran media,

yaitu surat kabar, televisi, dan juga internet. Peranan media massa dalam hal ini menjadi sentral dan

esensial karena medialah yang mengkomunikasikan makna-makna yang ingin disampaikan masing-

masing kelompok budaya. Penggunaan media massa dalam masalah ini terkait degan tingkat

keanggotaan kelompok budaya yang berinteraksi, yaitu tingkatan wilayah dunia secara global.

Karena pada dasarnya sasaran penerima pesan-pesan yang ingin dikomunikasikan Barat tersebut

adalah budaya Islam itu sendiri secara global, maka satu-satunya saluran yang paling efektif adalah

melalui media massa.

Berdasarkan identifikasi Gudykunst dan Kim (2003) mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi komunikasi antar budaya, dapat dilihat bahwa dalam kasus kontroversi pemuatan

karikatur Nabi Muhammad, variabel-variabel yang mempengaruhi adalah:

1. Faktor Budaya

Faktor budaya yang mempengaruhi proses komunikasi antar budaya Islam-Barat dalam

permsalahan ini mengacu pada dimensi kebudayaan individualis-kolektivis dikaji dalam level analisis

kelompok kultural. Budaya Barat mewakili kelompok budaya individualis di mana Barat memiliki

kecenderungan untuk bersifat universal dalam standarisasi dan penilaian berbagai hal sesuai dengan

objeknya (objektif). Hal ini terbukti dari penilaian Paus dari Vatikan yang notabene merupakan

pemuka agama kelompok budaya Barat, tetapi turut menyayangkan sikap media massa Jyllands-

Postens yang memuat gambar yang mengindikasikan penghainaan terhadap umat Muslim.

Sedangkan kebudayaan kolektivis diwakili oleh budaya Islam yang notabene banyak terdiri dari

negera-negera Timur cenderung memiliki preferensi penilaian yang lebih baik bagi anggota in-group-

nya (subjektif). Selain itu, kebudayaan Islam yang kolektivis menekankan tujuan, kebutuhan, dan

pandangan in-group terhadap anggotanya serta memprioritaskan norma sosial in-group itu

dibanding kepentingan anggotanya. Hal ini terlihat dari pembelaan yang dilkukan secara

internasional jika salah satu aspek norma-norma Islam diserang oleh kelompok budaya lain. Berbagai

macam reaksi yang timbul secara luas di tataran internasional juga menunjukkan kolektivitas budaya

Islam. Sedangkan kebudayaan individual menempatkan nilai-nilai in-group setara dengan nilai-nilai

dan kepercayaan individu. Hal ini tercermin ketika protes luas ditujukan kepada Denmark, negara-

negara Barat lain tak turun tangan dan angkat bicara untuk membela Denmark, tetapi yang mereka

lakukan adalah mereproduksi kartun tersebut karena yang mereka bela adalah nilai-nilai kebebasan

berpendapatnya (objeknya), bukan Denmark sebagai pelaku awalnya (subjeknya).

Page 15: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

14 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

2. Faktor Sosiobudaya

Dari segi pengaruh sosiobudaya (sosiocultural) dapat kita asumsikan bahwa terjadinya cultural

clash atau benturan kebudayaan dalam kontroversi ini adalah karena adanya pengaruh budaya dan

kondisi sosial mempengaruhi proses komunikasi kita dengan orang lain (terutama komunikasi antar

budaya). Pengaruh ini dapat dilihat dari dua hal, yatu kelompok sosial dan identitas sosial.

Berdasarkan klasfikasi kelompok sosial, dapat dilihat bahwa bagi negara-negara Muslim, kelompok

budaya Islam meruoakan kelompok rujukan (reference group) atau kelompok yang digunakan

sebagai standar penilaian diri sendiri maupun acuan bagi pembentukan sikap, dengan kerangka

rujukannya adalah aaturan Islam sebagai aturan universal yang diterima, dijalnkan, serta dibela oleh

para nggota kelompok-kelompok budaya Islam. Sedangkan budaya Barat lebih cenderung sebagai

kelompok anggota (membership group) di mana keanggotaannya hanya bersifat identitas saja tanpa

ada rujukan khusus dalam kelompok tersebut yang menjadi acuan bagi pembentukan sikap. Hal ini

sangat terkait dengan tendensi kultural Barat yang budayanya lebih individualistik.

Berdasarkan konsep tujuh identitas sosial Gudykunst & Kim (2003) dan delapan domain identitas

Ting Too-Mey (1999), kita dapat melihat adanya identitas sosial yang melekat pada tiap-tiap

kelompok baik budaya Islam maupun Barat yaitu:

(1) Identitas Budaya atau cultural identity, meliputi budaya individualis atau kolektivis. Dalam hal ini,

Barat memiliki identitas budaya individualis sedangkan Islam menunjukkan identitas budaya sebagai

kelompok budaya kolektivis; (2) Identitas Peran atau role identity, meliputi beberapa variabel

seperti degree of personalness, degree of formality, dan degree of hirearchy. Dalam intraksi antar

budaya di permasalahan ini, umat Muslim sebagai anggota kelompok budaya Islam menjalankan

peran sebagai pemeluk agama, sedangkan peran yang dimiliki oleh Barat adalah sebagai pembela

nilai-nilai kebebasan berpendapat; (3) Identitas pencitraan atau facework identity berupa image

atau pencitraan yang timbul dalam interaksi, di mana citra Islam di mata Barat adalah sebagai

budaya yang kaku, pendukung kekerasan, dan membatasi kebebasan berpendapat, sementara image

Barat di mata Islam adalah tidak menghargai nilai-nilai pluralisme karena melakukan penghinaan

terhadap nilai-nilai agama lain serta selalu memakai standar ganda dalam menilai sesuatu; dan (4)

Identitas simbolik atau symbolic interaction identity. Identitas Islam yang diciptakan oleh Barat

digambarkan dalam simbol-simbol karikatur Nabi Muhammad yaitu sebagai kelompok budaya yang

mendukung terorisme, kekerasan, eksploitasi wanita, dan intoleransi terhadap kebebasan manusia.

Sementara simbol dalam karikatur balasan menunjukkan bahwa Barat-lah yang intoleran dengan

selalu menerapkan standar ganda dan subjektif dalam melihat persoalan. Di sini dapat dilihat bahwa

Page 16: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

15 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

kdeua budaya mempertukarkan simbol-simbol dan pemaknaan identitas masing-masing dengan cara

nonverbal.

3. Faktor Psikobudaya

Pengaruh psikobudaya dalam komunikasi antar budaya pada dasarnya merupakan proses-proses

yang terjadi dalam tataran kognitif individu yang mempengaruhi pemikiran, sikap, dan perilaku

komunikasi (Gudykunst & Kim, 2003). Namun, dalam permasalahan ini, karena level analisisnya

bukanlah individu tetapi mengacu pada kelompok kulturalnya, maka pengaruh psikobudaya yang

dapat dijelaskan adalah hal-hal yang berkaitan dengan konsep stereotype, prejudice, dan

ethnocentrism, yang secara tidak langsung dibentuk dan dipengaruhi oleh media sebagai konteks di

mana komunikasi antara Barat dan Islam ini berlangsung.

Stereotype dan Prejudice, mengacu pada Lippman (1992) dan Gudykunst & Kim (2003), diartikan

sebagai gambaran dan representasi kognitif atas kelompok lain yang mempengaruhi perasaan

terhadap anggota kelompok tersebut. Sedangkan prejudice atau prasangka berarti citra negatif

terhadap suatu kelompok yang umumnya dibentuk melalui media dan dapat mengarah pada rasa

takut, jijik, benci, dan mendeskriminasi suatu kelompok tertentu. Dalam budaya Barat berkembang

stereotip dan prasangka terhadap Islam di mana Islam dianggap sebagai budaya yang memiliki citra

negatif. Streotip ini kemudian diresonansi oleh media massa Denmark dengan menggambarkan

karikatur-karikaut Nabi Muhammad dan caption yang melekat di dalamnya. Dalam karikatur

tersebut, Muhammad digambarkan sebagai teroris (dengan sorban yang berbentuk bom di

kepalanya), seseorang yang dungu dengan gambar wajah yang terlihat konyol dengan caption

‘Prophet daft and dumb’, selain itu gambar terdapat gambar di mana di situ dituliskan bahwa image

Nabi Muhammad yang merepresentasikan image budaya Islam adalah ‘terrorism, theocratic tyranny,

subjugation of women, intolerance of critics, dan lain-lainya’. Sedangkan stereotipe Islam terhadap

Barat ialah budaya yang tidak menghargai nilai-nilai agama, budaya sekuler, dan budaya yang selalu

mengedepankan prasangka sehingga selalu memberlakukan standar ganda. Streotipe ini terlihat dari

aksi-aksi protes yang dilakukan negera-negera Islam yang mengangkat isu ‘penghargaan terhadap

nilai-nilai agama’ dan karikatur bertema ‘standar ganda’. Implikasi dari adanya stereotipe dalam

komunikasi antara budaya Islam dan Barat ini adalah munculnya mispersepsi terhadap pemaknaan

karikatur tersebut. Barat memaknai karikatur tersebut sebagai bentuk kebebasan bicara sedangkan

Islam memaknai karikatur tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai budaya Islam.

Page 17: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

16 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Ethnocentrism dalam kasus ini terlihat dari tendensi negara-negara Islam untuk mengidentifikasi

diri dengan dengan budaya agama Islam dan menggunakan nilai-nilai fundamental Islam dalam

mengevaluasi kelompok luar (outgroups) yang dalam hal ini adalah budaya Barat beserta anggota-

anggotanya yaitu negara-negara Denmark, Perancis, dan Norwegia. Karena adanya etnosentrisme

tersebut, masing-masing budaya menilai bahwa budayanya sendiri paling benar.

Sejarah dalam Komunikasi Antar Budaya

Merujuk pada argumen Martin dan Nakayama (2004), salah satu perangkat analisis yang

dapat digunakan dalam mengkaji benturan budaya dalam kasus ini adalah latar belakang sejarah

masing-masing budaya yang terlibat interaksi. Sejarah budaya Barat yang harus berjuang keras untuk

bebas dari belenggu otokrasi dan kekuasaan-kekuasaan yang mendominasi membentuk pemahaman

bagi identitas sosial mereka sebagai budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan.

Sedangkan sejarah Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad merupakan pemimipin spiritual yang

sangat dihormati dan dijunjung tinggi karena nilai-nilai agama yang dibawa dan disebarkannya. Hal

ini membentuk identitas budaya Islam sebagai kelompok budaya yang sangat menjunjung tinggi

penghormatan terhadap Nabi Muhammad. Jika dikaji dari Brislin (1981), dapat diketahui bahwa

elemen sejarah personal yang mempengaruhi interaksi antara budaya Barat dan Islam adalah

elemen childhood experience atau pengalaman masa lalu budaya Islam dan budaya Barat yang

membentuk sikap dan pandangan masing-masing anggota kelompoknya; elemen historical myths

atau mitos-mitos sejarah bahwa budaya Islam menyelesaikan masalah dengan kekerasan

mempengaruhi terbentuknya pandangan Barat terhadap Islam sebagai budaya yang terlalu

membatasi hak manusia. Sementara mitos sejarah bahwa Barat adalah budaya yang ingkar terhadap

nilai-nilai agama mempengaruhi terbentuknya pandangan Islam terhadap Barat sebagai kelompok

budaya yang tidak bisa menghargai simbol-simbol agama lain; Language atau perbedaan sistem

bahasa di sini terlihat dari perbedaan pemaknaan terhadap karikatur tersebut, di mana Barat menilai

bahwa penggambaran humoris Nabi Muhammad adalah sebuah bentuk karya humor yang satir,

sementara Islam menilai bahwa humor yang dilakukan tersebut melecehkan nilai-nilai fundamental

agama Islam. Elemen Recent/vivid events yang berpengaruh dalam kasus ini adalah tragedi serangan

World Trade Center New York pada tanggal 11 September 2001 serta berbagai aksi-aksi terorisme

yang mengatasnamakan Islam yang diberitakan secara luas di media massa internasional secara tak

langsung dan tidak sadar mempengaruhi pembentukan stereotype dan prasangka di dunia

internasional bahwa Islam adalah budaya yang mendukung terorisme.

Page 18: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

17 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Identity Negotiation Perspective dan Mindful Intercultural Communication

Dilihat dalam perspektif negosiasi identitas yang dikemukakan oleh Ting Too-Mey (1999),

dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa kedua kelompok budaya, yaitu budaya Islam dan budaya

Barat, gagal menegosiasikan identitas sosial mereka sehingga tercipta suatu kondisi interaksi yang

mindlessness. Kegagalan mengosiasikan identitas sosial yang berbeda ini antara lain disebabkna oleh

perbedaan persepsi yang dimiliki masing-masing kelompok budaya ketika berinteraksi, yaitu

intergroup-based perceptions atau persepsi antar budaya dalam tetaran kelompok yang hadir dalam

benak individu ketika akibat segregasi dan proses kategorisasi sosial terhadap budaya Islam.

Kegagalan negosiasi identitas sosial, yang merupakan prasyarat terjadinya komunikasi antar

budaya yang sukses dan efektif, ini jufa terjadi akibat tidak adanya kesediaan pihak-pihak yang

berkomunikasi untuk menempatkan diri kada kerangka rujukan budaya lain dan upaya penyesuaian

diri terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi perbedaan dalam memaknai

interaksi, sehingga tak dapat dipungkiri yang terjadi adalah Mindless Intercultural Communication

atau sebuah interaksi interkultural di mana pihak-pihak yang berinteraksi sangat mengandalkan pada

kerangka rujukan yang familiar, melalui rutinitas yang selalui dipakai sejak dahulu, dan terpaku

secara saklek dalam nilai-nilai budayanya sendiri sehingga timbul keengganan untuk menempatkan

diri dalam sudut pandang budaya lain.

Page 19: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

18 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Uraian di atas telah memberikan pemahaman kita konsep budaya, konsep komunikasi antar

budaya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, hubungan antara sejarah dan kekuasaan

dengan perilaku kelompok budaya dalam komunikasi antar budaya, serta bagaiman suatu

komunikasi antar budaya yang baik itu seharusnya berjalan (mindful intercultural communication).

Semua konsep-konsep yang terkait dengan proses komunikasi antar budaya tersebut dianalisis

dalam konteks komunikasi antar budaya dengan tingkat keanggotaan kelompok budaya berada pada

tingkat wilayah dunia atau global dengan perbedaan budayanya adalah budaya Islam dan budaya

Barat. Komunikasi yang berlangsung di antara kedua kelompok budaya tersebut adalah mediated

communication atau berlangsung dalam media massa.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi antara

kedua budaya tersebut telah terjadi cultural clash sebagai bentuk absennya mindfulness dalam

berkomunikasi atau dapat dikatakan bahwa komunikasi antara budaya Islam dan budaya Barat

dalam kasus ini telah menunjukkan mindlessness. Mindlessness ini terjadi karena dipengaruhi oleh

faktor-faktor budaya yaitu perbedaan karakteristik antara budaya Islam dan budaya Barat, faktor

sosiobudaya yaitu perbedaan identitas sosial antara keduanya yang berdasarkan perspektif negosiasi

idemntitas perbedaan identitas sosial tersebut tidak mampu dinegosiasikan secara baik oleh

keduanya, faktor psikobudaya yaitu munculnya stereotip, prasangka, dan etnosentrisme pada kedua

belah pihak, dan juga pengaruh sejarah yang dalam permasalahan ini dipengaruhi oleh adanya

mitos-mitos historis serta kejadian-kejadian aktual antara kedua kelompok tersebut yang

membentuk persepsi terhadap masing-masing kelompok.

PPP EEE NNN UUU TTT UUU PPP

Page 20: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

19 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Gudykunst, William B and Kim, Young Yun. (2003). Communicating with Strangers : An Approach to

Intercultural Communication. Fourth Edition. Boston : McGraw Hill.

Jeanette S. Martin, Jeanette S dan Lillian Chaney. (2006) Intercultural Communication Choices in the

Muhammad Caricature Debacle. Paper dipublikasikan pada Association for Business

Communication Annual Convention 2006.

Martin, Judith N and Nakayama, Thomas K. (2004). Intercultural Communication in Contexts. Boston:

McGraw Hill.

Rakhmat, Jalaludin. (2005) Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.

Ting Too-Mey, Stella. (1999) Communicating Across Culture. New York: The Guildford Press.

Yudhoyono, Susilo Bambang. (2006). Let’s Try to Get Beyond Caricature. Artikel dalam The

International Herald Tribune, 10 Februari 2006. Diakses dari http://www.nytimes.com/2006/

02/10/opinion/10iht-edsby.html?_r=1

.

DDD AAA FFF TTT AAA RRR PPP UUU SSS TTT AAA KKK AAA

Page 21: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

20 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

LAMPIRAN : GAMBAR KARIKATUR DI JYLLANDS-POSTENS

Page 22: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

21 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Page 23: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

22 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Page 24: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

23 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Page 25: Analisis Konflik Karikatur Nabi di Koran Jyllands Posten dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

24 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad

Karikatur ini diambil dari surat kabar Yordania Al Ghad yang berpendapat bahwa Dunia Barat

memakai standar ganda dalam kontroversi Jyllands-Posten ini. Teks dalam gambar ini menyatakan

menurut arah jarum jam: "Yang ini rasis" ; "Yang ini anti-semitik" ; dan "Yang ini termasuk kebebasan

berpendapat."

LAMPIRAN : GAMBAR KARIKATUR BALASAN