kelompok 10
DESCRIPTION
TUGAS FARMASITRANSCRIPT
TUGAS KELOMPOK
AIK IV
KELOMPOK 10
ANGGOTA KELOMPOK:
SUCI LESTARI
SURYATI
YULIANITA PRATIWI INDAH LESTARI
SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH
TANGERANG
2015
KATA PENGANTAR
� ِم �ْس� �اللِه�ِب ْح�مِن ْح�يم�الَّر الَّر
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang
masih memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pembuatan makalah dengan judul “Asbabun Nuzul, Makiyah Madaniyah, serta
Muhkamat dan Mutasyabihat” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator
terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah Study Al-Qur’an yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu
mendukung kelancaran tugas kami, serta pada anggota tim kelompok 10 yang
selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap
makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim
penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading
yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati,
saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca
guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu
mendatang.
Tangerang, 01 April 2015
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab suci bagi umat beragama Islam, dan juga merupakan
mukjizat nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an itu petunjuk bagi umat islam dalam
menjalani kehidupan di dunia. Hal itulah yang menjadi landasan untuk
mempelajari al-qur’an secara keseluruhan. Mempelajari al-qur’an secara
keseluruhan tidak hanya memahaminya secara bahasa saja, jika demikian akan
salah menafsirkan isi al-qur’an tersebut. Untuk memahaminya secara utuh kita
harus tahu sejarah atau latar belakang turunnya ayat-ayat al-qur’an tersebut.
Sejak zaman sahabat ilmu tentang asbabun nuzul dianggap sangat penting untuk
memahami penafsiran al-qur’an yang benar, karena hal ini mereka berusaha
mempelajarinya. Mereka bertanya kepada nabi Muhammad SAW tentang sebab-
sebab turunnya ayat, atau bertanya kepada sahabat yang menyaksikan peristiwa
turunnya ayat al-qur’an. Demikian pula para tabi’in yang datang kemudian, ketika
mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka memerlukan asbabun nuzul
agar tidak salah mengambil kesimpulan.
Pengaruh asbabun nuzul yang sangat besar terhadap pemahaman makna ayat-ayat
al-qur’an, hal ini dibuktikan dalam sebuah ayat al-qur’an yang akan sulit
menafsirkannya jika kita tidak melihat latar belakang turunnya ayat tersebut.
Seperti firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah : 115 yang berbunyi :
الله وجه فثِم تولوا فأيِنما المغَّرب و المشَّرق ولله
“Dan bagi Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kalian memalingkan
muka, maka disana pula wajah Allah”. Bila dipahami secara umum, dapat
disimpulkan bahwa sholat kearah mana saja tanpa menghadap kiblat dibenarkan.
Tentu saja pemahaman ini salah, karena salah satu syarat sah sholat adalah
menghadap kiblat. Jika kita melihat asbabun nuzul ayat ini, maka akan menjadi
jelas bahwa ayat ini diperuntukkan untuk para musafir yang tidak mengetahui arah
kiblat, setelah berij’tihad dan melaksanakan sholat setelah itu ia baru mengetahui
kesalahannya, dalam kasus ini sholatnya tetap sah dan ia tidak perlu
mengulangnya. Contoh lainnya terdapat dalam QS.Al-Maidah : 93.
Karena pentingnya ilmu asbabun nuzul ini, banyak ulama yang menaruh perhatian
khusus pada kajian ini bahkan menuliskan buku khusus tentang asbabun nuzul
seperti Ali bin Al-Madini, gurunya Imam Al-Bukhori, lalu al-Wahidi menuliskan
kitab asbabun nuzul yang kemudian dirangkum oleh al-Ja’bari dengan
menghilangkan sanad-sanad haditsnya, tanpa menambahkan ataupun mengurangi
isinya. Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Hajar, yang sayangnya bukunya tidak
lengkap sampai kepada kita, dan yang paling populer adalah Al-Suyuthi dengan
kitabnya Lubabunnuqul fi asbabinnuzul.
BAB II
DASAR TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Asbabun Nuzul
1. Pengertian Asbabun Nuzul
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-
sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-
Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang
menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau
tidak langsung. Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul
terdapat banyak pengertian, diantaranya :
a. Menurut Az-Zarqani“
Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta
hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
b. Ash-Shabuni“
Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang
berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang
berkaitan dengan urusan agama”.
c. Subhi Shalih
زمن لحكمه مِبيِنة او عِنه مجيِبة او له متضمِنة بْسِبِبه اواآيات اآلية نزلت ما
وقوعه
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya
satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan
suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas
terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
d. Mana’ al-Qathan
سؤال او كحادثة وقوعه وقت بشأنه قَّرآن مانزل
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya
al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik
berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi”.
e. Nurcholis Madjid
Menyatakan bahwa asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita
tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-
Qur’an kepada Nabi saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian
ayat maupun satu surat.
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua
menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa
yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka
menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul dari kejadian tersebut.
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui
bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga
berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa
peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam :
1) Peristiwa berupa pertengkaran
Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100, yang bermula
dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga
turun ayat 100 dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk
menjauhi perselisihan.
2) Peristiwa berupa kesalahan yang serius
Seperti kisah turunnya surat an-Nisa’ : 43, saat itu ada seorang
Imam shalat yang sedang dalam keadaan mabuk, sehingga
salah mengucapkan surat al-Kafirun, surat An-Nisa’ turun
dengan perintah untuk menjauhi shalat dalam keadaan mabuk.
3) Peristiwa berupa cita-cita/keinginan
Ini dicontohkan dengan cita-cita Umar ibn Khattab yang
menginginkan makam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu
turun ayat
مصل8ى ابَّراهيِم مقام وامن والتخذ
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3
macam, yaitu :
1) Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
ق@ْل� �ن� Aي ن �قAَّر� ال ِذ�ي عAن AَكA @ون Aل أ Aْس� وAي
E �َّرا ِذ�ك �ه@ مFِن @ِم �ك Aي عAل @و �ل Aت أ Aس
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu
cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
2) Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang
berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
E �يًال قAل �َّال ِإ � �ِم �ِع�ل ال مFن @ِم �يت @وت ُأ وAمAا Fي ب Aَر م�َّر�A ُأ م�ن� وُح@ Oالَّر ق@ْل� وُح� Oالَّر عAن� AَكA @ون Aل أ Aْس� وAي
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:
"Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
3) Pertanyaan tentang masa yang akan datang
“(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
Menurut Dr. M. Quraish Shihab, pakar tafsir di Indonesia,
Asbabun Nuzul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat
sehingga seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa atau kasus
yang terjadi maka ayat itu tidak akan turun. Pemakaian kata asbab
bukanlah dalam arti yang sebenarnya. Tanpa adanya suatu
peristiwa, Al-Qur’an tetap diturunkan oleh Allah SWT sesuai
dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-nuzul, bukan berarti
turunnya ayat Al-Qur’an dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah, karena Al-Qur’an tidak berbentuk fisik atau materi.
Pengertian turun menurut para mufassir, mangandung pengertian
penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT kepada
utusan-Nya, Muhammad SAW, dari alam ghaib ke alam nyata
melalui malaikat Jibril.
2. Redaksi Asbabun Nuzul
Bentuk redaksi (ungkapan) yang menerangkan sebab nuzul itu
terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang
pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan
mengenainya. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan : “Sebab
nuzul ayat ini adalah begini”, atau menggunakn fa ta’qibiyah (kira-
kira seperti “maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa) yang
dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan
peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan “telah terjadi
peristiwa begini”, atau “Rasulullah ditanya tentang hal begini,m
maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian, kedua bentuk di atas
merupakan mernyataan yang jelas tentang sebab. Contoh-contoh
untuk kedua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.
Bentuk kedua, yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab
nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah
bila perawi mengatakan: “Ayat ini turun mengenai ini.” Yang
dimaksudkan dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab nuzul
ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut. Demikian
juga bila ia mengatakan “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal
begini” atau “Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal
yang begini.” Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak
memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin
menunjukkan sebab nuzul dan mungkin pula menunjukkan yang lain.
Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Umar, yang
mengatakan:“Ayat istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu
bercocok tanam (Al Baqarah:223) turun berhubungan dengan
menggauli istri dari belakang.”
Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair,
bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari
kaum Ansar yang pernah ikut dalam Perang Badar bersama Nabi, di
hadapan Rasulullah tentang saluran air yang mengalir dari tempat
yang tinggi; keduanya mengaliri kebun kurma masing-masing dari
situ. Orang Ansar berkata: “Biarkan airnya mengalir.” Tetapi Zubair
menolak. Maka kata Rasulullah: “Airi kebunmu itu Zubair, kemudian
biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu.” Orang Ansar itu
marah, katanya: Rasulullah, apa sudah waktunya anak bibimu itu
berbuat demikian?” Wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia
berkata: “Airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga
memenuhi pematang; lalu biarkan ia mengalir ke kebun tetanggamu.”
Rasulullah dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal
sebelum itu mengisyaratkan keputusan yang memberikan
kelonggaran kepadanya dan kepada orang Ansar itu. Ketika
Rasulullah marah kepada orang Ansar, ia memenuhi hak Zubair
secara nyata. Maka kata Zubair. “Aku tidak mengira ayat berikut
turun mengenai urusan tersebut: Maka demi Tuhanmu, mereka pada
hakekatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa’:65).
Ibn Taimiyah mengatakan: “Ucapan mereka bahwa ‘ayat ini turun
mengenai urusan ini’, terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan
mengenai sebab nuzul, dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu
termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada sebab nuzulnya.
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai ucapna sahabat: ‘Ayat ini
hadis musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang
karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir daripada
sahabat itu sendiri dan bukan musnad? Bukhari memasukkanya ke
dalam kategori hadis musnad, sedang yang lain tidak memasukkanya.
Dan sebagian besar hadis musnad itu menurut istilah atau pengertian
ini, seperti musnad Ahmad dan yang lain-lain. Berbeda halnya bila
sahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan
ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan
seperti ini ke dalam hadis musnad. Zarkasyi dalam Al Burhan
menyebutkan: “Telah diketahui dari kebiasaan para sahabat dan
tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata: ‘ Ayat ini
utrun mengenai urusan ini’, maka yang dimaksudkan ialah bahwa
ayat itu mengandung hukum urusan tersebut; bukanya urusan itu
sebagai sebab penurunan ayat. Pendapat sahabat ini termasuk ke
dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat, bukan jenis
pemberitaan mengenai suatu kenyataan yang terjadi.”
a. Satu ayat dengan sebab banyak
Para mufasir menyebutkan turunnya ayat yang mempunyai
beberpa sebab, maka jika di temukan dalam satu ayat tersebut,
maka salah satu mufasir berkata ayat ini turun mengenai urusan
ini sedangkan riwayat lain menyebutkan asbabun nuzul dengan
tegas.dan riwayat yang tidak tegas,termasuk didalam hokum
ayat"istri-istri mu ibarat kamu tempat bercocok tanam"sementara
itu orang islam menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan
dengan riwayat melalui jabir,orang yahudi berkata"jika seorang
laki-laki mendatangi istrinya dari belakang,maka anaknya
bermata juling"jika suatu ayat disebutkan sebab dan sebab yang
lain ittu shoheh maka yang di jadikan penganga adlah riwayat
yang shoheh riwayat dari bokhori muslim dan hadist yang lainya
dari humdan al bunawi nabi menderita sakit hingga dua hari dua
malam'kemudian datang seorang perempuan kepadanya
kepadanya dan berkata : "hai Muhammad kurasa setanmu sudah
tak mendekatimu, selama dua, tiga malam ini sudah tidak
mendekatimu lagi. " maka allah menurunkan ayat demi waktu
dhuha dan demi malam apabila setelah sunyi tuhan mu tiada
meninggalmu dan tidaklah membencimu.
Dan mengenai turunya ayat itu di karenakan dua sebab maka di
hukumkan pada semua itu , jika tidak ada sesuatu yang mencegah
dari sebab yang berlainan dan mungkin juga turunya ayat,sebab
contoh ayat tersebut diturunkan dalam pemasukan orang-orang
ansor.maka tidak akan kedatangan masalah. Pada suatu hari
sebagai malam ini dan di turuinkan imam bukhori dan hambali,di
makkah sebelum hijrah dengan suatu surat dan ayat tersebut
adalah al makki madanni yang kedua di gunung uhud.
b. Banyaknya Nuzul dengan satu sebab.
Terkadang banyak ayat yang turun, sedangkan sebabnya hanya
satu. Dalam hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena
itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan
dengan suatu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan
Said bin Manshur, Abdurrazaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul
Mundzir, Ibnu Abu Hatim, Ath-Thabrani dan Al-Hakim
mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata:“Wahai
Rasulullah. Aku tidak mendengar Allah menyebut kaum
perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan:
“Maka Tuhan mereka Memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari
sebagian yang lain…….” (Ali Imran: 195)
Juga hadist yag diriwayatkan Ahmad, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir,
Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah katanya,
“Aku telah bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapakah kami tidak
disebutkan dalamAl-Qur’an seperti kaum laki-laki? ‘Maka pada
suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas
mimbar. Beliau membacakan: “Sungguh, laki-laki dan
perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan Mukmin, laki-laki
dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan
yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-
laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki
dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
Menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(Al-Ahzab: 35)
Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, “Kaum
laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami
hanya memperoleh warisan setengah bagian disbanding laki-laki?
Maka Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri hati
terhadap karunia yang telah Dilebihkan Allah kepada sebagian
kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian
dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada
bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (An-Nisaa’ : 32) Dan ayat: “Sesungguhnya laki-
laki dan perempuanyang muslim……..” ketiga ayat di atas turun
karena satu sebab.
c. Beberapa ayat yang turun mengenai satu orang.
Terkadang seorang sahabat mengenai peristiwa lebih dari satu
kali dan Al – Qur'an turun mengenai satu peristiwa,maka dari itu
kebanyakan al quran turun sesuai dengan peristiwa yang terjadi,
misalnya seperti apa yang di riwayatkan oleh bukhori dalam kitab
al-adahi mufiat tentang berbakti kepada orang tua, dari saad bin
abi waqos ada empat ayat al-quran turun berkenaan dengan aku
yang pertama ketika ibuku bersumpah dia tidak akan makan dan
minum sebelum aku meninggalkan Muhammad lalu allah
menurunkan ayat," dan jika memaksamu untuk mempersekutukan
aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergilah keduanya
di dunia dengan baik (luqman:15. kedua ketika aku mengambil
sebuah pedang dan mengaguminya maka aku berkata kepada
rosullullah, ''berikan aku pedang ini'' maka turunlah ayat. Mereka
bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang
(al-anfal:01). Ketiga: ketika aku sedang sakit rosullullah
mengunjungiku dan aku bertanya kepada beliau: ''rosullulloh aku
ingin membagikan hartaku, bolaehkah aku mewasiatkan separuh
nya?'' beliau menjawab: ''tidak'' aku bertanya: ''bagaimana jika
sepertiganya?'' rosullullah diam. maka wasiat dengan sepertiga
harta itu diperbolehkan keempat ketika aku sedang minum
minuman keras (khomr) bersama kaum ansor ,seorang memukul
hidungku dengan tulang rahang unta,lalu aku datang kepada
rasullulloh , maka Allah swt melarang minum khomr. Dalam hal
ini telah turun wahyu yang sesuai dengan banyak ayat.
d. Turunnya Surat Al-Qur’an Pertama sampai Terakhir.
1) Para ulama berbeda pendapat tentang surah yang pertama kali
turun:
Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan di tangani
langsung oleh nabi sebagaimana di beitahukan jibril
kepadanya atas perintah tuhan. Dengan demikian, Qur’an
pada masa nabi telah tersusun surah-surahnya secara terib
sebagaimana terib ayat-ayat nya, seperti yang ada di tangan
kita saat ini, yaitu mushaf usman yang tidak ada seorang
sahabat pun menentangnya, ini telah menunjukan terjadi
kesepakatan( ijma) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan
apapun.Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa
Rasulilloh telah membaca beberapa surah secara tertib di
dalam salat nya, ibn abi syaibah meriwayatkan bahwa nabi
pernah membaca beberapa surah mufassal (surah-surah
pendek) dalam satu rakaat.
2) Telah di riwayatkan melalui iBn wahab berkata “aku
mendengar Rabi’ah di tanya orang, ‘mengapa surah baqarah
dan ali imron di dahulukan , padahal sebelum kedua surah itu
telah di turunkan delapan puluh sekian surah makki, sedang
keduanya di turunkan di madinah” ia menjawab: kedua surah
itu memang di dahulukan dan Qur’an di kumpulkan menurut
pengetahuan dari oraang yang mengumpulkannya. ‘kemudian
katanya: ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu
di pertanyakan.
3) Dikatakan bahwa tertib surah berdasarkan para ijtihad para
sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam
mushaf-mushaf mereka, misalnya mushaf ali disusun
menurut tertib nuzul yakni dimulai dengan iqra’, kemuin
mudatsir lalu nun , Qalam kemudian muzammil, dan seterus
nya hingga akhir surah makki dan madani.
4) Dikatakan bahwa sebagaian surah itu terbitnya tauqifi dan
sebagian lain nya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini
karna terdapat dalil yang menunjukan tertib sebagian surah
pada masa nabi. Misalnya, keterangan yang mnunjukan tertib
as-sab’ut tiwal dan al-mufassol pada masa hidup Rasulullah.
Di riwayatkan bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua
surah yang bercahaya, baqarah dan ali’imran.
Di riwayatkan lagi: Bahwa jika hendak pergi ke tempat tidur,
Rasululloh mengumpulkan kedua telapak tangannya
kemudian meniup lalu membaca Qul huwallohhua ahad dan
mu’awwidzatain.
Dengan demikian, tetaplah tertib bahwa surah-surah itu
bersifat taufiqqi, seperti halnya tertib ayat-aat Abu Bakar ibnu
hambali menyebutan: “alloh telah menurunkan Qur’an
seluruhnya ke langit dunia, kemudin ia menurunkan nya
secara berangsur-angsur selam dua puluh sekian tahun.
Sebuah surat turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayat
pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya,
sedangkan jibril senantiasa memberi tahukan kepada nabi
dimana surah dan ayat tersebut harus di tempatkan. Dengan
demikian susunan surah-surah, seperti halnya susunan ayat-
ayat dan logat-logat Al-Qur’an, seluruhnya berasal dari nabi,
oleh karena itu barang siapa mendahulukan sesuatu surah
atau mengakhirkannya, ia telah merusak tatanan Al – Quran.
5) Ayat yang terakhir turunnya
Ayat yang pengabisan turunnya menurut pendapat jumhur
ialah:
Surah al-ma’idah yang artinya;pada hari ini telah aku
sempurnakan bagimu agamamu dan aku telah cukupkan
untukmu nikmat ku dan telah aku pilih islam menjadi agama
mu.
Apa yang kami terangkan ini adalah pendapat yang masyhur
dalam msyarakat. Dan pendapat ini memberi pengertian
bahwa akhit turun Al-Quran, ialah pada hari arafah. Menurut
sebagian ahli, bahwa ayat yang tersebut di atas ini turun di
arafah. Dan di antara hari arafah dengan wafat rasul masih
lama lagi yaitu 81 malam.
Al-kirmani dalam al-burhan mengatakan: tertib surah seperti kita
kenal sekarang ini adalah menurut alloh pada lauh mahfud, Al-
Qur’an sudah meniru tertib ini, dan menurut tertib ini pula nabi
membacakan di hadapan jibril setiap tahun apa yang di
kumpulkannya dari jibril itu, nabi membacakan di hadapan jibril
menurut tertib ini pada tahun kewafatanya sebanyak dua kali. Dan
ayat yang terakhir kali turun ialah surah al-bqorah ayat 281: dan
peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi) hari yang pada waktu
itu semua dikembalikan pada Allah. Lalu jibril memerintahkan
kepadanya untuk meletakan ayat ini di antara ayat riba dan ayat
tentang utang-piutang.
Surah-surah Al-Qur’an itu ada empat bagian:
a) At-tiwal
b) Al-mi’un
c) Al-masani
d) Al-mufass
Jumlah surah al-Qur’an ada 114 surah. Dan di katakan pula 113,
karena surah anfal dan bara’ah dianggap satu surah, adapun
jumlah ayatnya sebanyak 6.200.ayat terpanjang adalah ayat
tentang utang-piutang, sedang surah terpanjang adalah surah al-
baqarah.
B. Makiyah dan Madaniyah
1. Pengertian Makiyah dan Madaniyah
Secara umum, ilmu Makiyah dan Madaniyah adalah suatu ilmu yang
membahas tentang ayat- ayat dan surat- surat yang diturukan di
Makkah dan Madinah. Namun dikalangan para Ulama terjadi
perbedaan pendapat mengenai ilmu ini. Perbedaan tersebut muncul
dikarenakan berbedanya kriteria yang dipakai dalam menentukan
definisi Makkiyah dan Madaniyah.
a. Sebagian Ulama menentukan definisi berdasarkan lokasi tempat
turunnya ayat atau surat dan ini dijadikan patokan dasar dalam
menentukan definisi makiyah dan madaniyah: Makkiyah ialah
suatu surat atau ayat yang diturunkan di Mekah walaupun turunya
setelah Nabi SAW melakukan hijrah, dan Madaniyah ialah suatu
surat atau ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud,
Quba, dan Sil.
b. Sebagian Ulama menentukan definisi berdasarkan orang- orang
atau golongan yang menjadi sasaran (khitab) ayat atau surat, dan
ini di jadikan dasar dalam menentukan definisi Makiyah dan
Madaniyah. Sehingga merka mendefinisikan: Makkiyah ialah suatu
surat atau ayat yang turun yang khitabnya (sasarannya) ditujukan
kepada penduduk Mekah, dan Madaniyah ialah khitabnya
(sasarannya) ditujukan kepada penduduk Madinah.
c. Sebagian Ulama lain menentukan definisi berdasarkan masa
turunnya suatu surat atau ayat, sehingga mereka mendefinisikan:
Makiyah ialah suatu surat atau ayat yang diturukan sebelum Nabi
SAW melakukan hijrah ke Madinah meskipun turunya di luar
daerah Mekah, dan Madaniyah ialah suatu surat atau ayat yang
turunnya setelah Nabi melakukan hijrah meskipun turun di luar
Madinah.
Dari ketiga definisi di atas, definisi yang terakhir (ketiga) yang lebih
populer dan dikalangan Ulama dianggap sebagai definisi yang paling
tepat.
2. Ciri- Ciri Makiyah dan Madaniyah
a) Ciri- Ciri Surat Makiyah
Ada enam hal yang menjadi khusus yang qath’i bagi surat makiyah,
yaitu:
1) Setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat sajadah adalah
surat makiyah. Sebagian para Ulama berpendapat, bahwa
jumlah ayat sajadah dalam Al- Quran ada 16 ayat yang
terdapat pada surat- surat tertentu. Diantarnya dalam surat
Al-‘araf 206: وله ويْسِبحونه
يْسجدون
Artinya: “ dan mereka bertasbih memujinya dan hannya
kepada Nya lah mereka bersujud.
2) Setiap surat yang di dalamnya terdapat lafaz adalah suratكًال
makiyah. Misalnya: تِعلمون سوف yang كًال terdapat dalam
surat al- takatsur.
3) Setiap surat yang terdapat di dalamnya terdapat kalimat seruan
الِناس يِها adalah يأ surat makiyah, kecuali surat al- Hajj,
dimana dalam surat tersebut pada ayat 77 terdapat الزين يأيِها
.namun ia tetap di pandang makiyah ُأمِنوُأ
4) Setiap surat yang di dalamnya mengandung kisah- kisah para
Nabi dan umat- umat terdahulu adalah surat makiyah, kecuali
surat al- Baqarah.
5) Setiap surat yang terdapat di dalamnya kisah- kisah Nabi
Adam as dan Iblis adalah makiyah, kecuali surat al- Baqarah.
6) Setiap surat yang di mulai dengan huruf hijaiyah adalah surat
makiyah kecuali al- Baqarah dan Ali imran.
Selain enam ciri- ciri yang qath’i di atas, surat makiyah juga
memiliki ciri- ciri yang bersifat aglaby (bersifat kebiasaannya).
Adapun ciri- ciri yang bersifat aglaby bagi surat makiyah adalah;
pada umumnya,surat dan ayat- ayatnya pendek- pendek, mengajak
manusia untuk melakukan perbuatan yang baik- baik, di dalamnya
banyak terdapat lafadz- lafadz sumpah dan mengandung seruan
untuk beriman kepada Allah dan hari akhirat serta menggambarkan
tentang keadaan surga dan neraka.
b) Ciri- Ciri Surat Madaniyah
1) Setiap suratyang di dalamnya terdapat ayat- ayat tentang ijin
berjihad (berperang) atau berisi tentang masalah hhukum
berperang adalah surat madaniyah.
2) Setiap surat yang menjelaskan tentang hukum pidana, hukum
faraidh atau warisan dan menjelaskan mengenai hukum
perdata, kemasyarakatan dan kenegaraan adalah Madaniyah.
3) Setiap surat yang di dalamnya menjelaskan mengenai keadaan
kaum munafik adalah Madaniyah, kecuali surat al-ankabut
yang turun di Mekah. Hanya sebelas ayat pertama dari surat al-
ankabut yang Madaniyah.
4) Setiap surat yang membantah keparcayaan atau ahlul kitab
(Yahudi dan Nasrani) yang di pandaang keliru, serta mengajak
mereka agar tidak berlebih- lebihan dalam mengamalkan
ajaran agamanya adalah Madaniyah.
5) Setiaap surat yang di mulai dengan ُأمِنو الزين kecuali , يأيِها
surat al- Baqarah 21, dan 168, An- Nisa’ 170 dan 175, Al- Hajj
1, dan Al- Hujarat 13.
Dan ciri- ciri yang bersifat aglaby diantaranya; sebagian surat-
suratnya panjang- panjang dan ayat- ayatnya juga panjang-
panjang. Selain itu, gaya bahasanya juga cukup jelas dalam
menerangkan masalah- masalah hukum. Dan juga menerangkan
secara terperinci tentang dalil- dalil yang menunjukkan kepada
hakikat keagamaan.
3. Perbedaan ayat- ayat Makkiyah dan Madaniyah
Dari segi Uslubnya (gaya bahasa), pada umumnya bahasa yang
digunakan pada surat Makkiyah sangat kuat dan khitab ( pembicaraan)
nya tegas, karena orang yang diajak bicara adalah mayoritas para
pembangkang dan sombong- sombong, tidak ada hal yang lebih patut
bagi mereka kecuali hal yang demikian. Sedangkan surat Madaniyah,
pada umumnya menggunakan gaya bahasa yang halus (lembut), dan
khitabnya mudah, karena mayoritas orang yang di ajak bicara adalah
orang yang patuh dan tunduk pada perintah Allah.
Dan juga pada umumnya ayat- ayat makiyah itu pendek- pendek dan
kuat hujjuahnya sedangkan surat madaniyah pada umumnya panjang-
panjang dan dalam menyampaikan hukum- hukumnya dengan tanpa
banyak alasan, kerena kondisi dan keadaan umat pada saat itu sudah
kuat imannya.
Demikian juga dari segi materi yang atau pengajaran yang
disampaikan, pada umumnya ayat- ayat makiyah berisi tentang
pemantapan atau penguatan akidah, yang khususnya berkaitan dengan
tauhid dan beriman pada hari kebangkitan, kerena mayoritas umat
pada saat itu banyak yang mengingkari hal tersebut.
Sedangkan pada ayat- ayat madaniyah, ajaran yang disampaikan
berisi tentang masalah ibadah, muamalah, kepemerintahan, sosial dan
hal- hal yang berkaitan dengan ibadah lainnya, dikarenakan pada masa
di madinah kondisi keimanan sudah lurus dan mantap pada jiwa
mereka.
C. Muhkamat dan Mustasyabihat
1. Pengertian Muhkamat dan Mustasyabihat
a. Pengertian Muhkam
Kata muhkam, secara etimologis, merupakan bentuk ubahan dari
kata ihkam yang artinya urusan itu baik atau pokok.
Sedangkan muhkam ialah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih,
indah dan membedakan antara yang hak dan yang bathil. Sedangkan
Menurut istilah Muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui
dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena
susunan terbitnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya
masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh.
Contoh: Surat Al-Baqarah ayat 83, yang Artinya: “Dan (ingatlah)
tatkala Kami membuat janji dengan Bani Israil, supaya jangan
mereka menyembah melainkan kepada Allah, dan terhadap kedua
Ibu Bapak hendaklah berbuat baik, dan (juga) kepada kerabat dekat,
dan anak-anak yatim dan orang orang miskin , dan hendaklah
mengucapkan perkataan yang baik kepada manusia, dan dirikanlah
sholat dan keluarkanlah zakat. Kemudian, berpaling kamu , kecuali
sedikit, padahal kamu tidak memperdulikan.”
b. Pengertian Mutasyabih
Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa
berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan
Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga
menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminoligi
Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan
mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang
tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah
yang mengetahuinya.
Contoh: Surat Thoha ayat 5, yang Artinya: (Allah) Yang Maha
Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arasy’
2. Sebab-Sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Alquran
Penyebab terjadinya tasyabuh dalam Alquran adalah karena adanya:
a. Ketersembunyian pada lafal
b. Ketersembunyian pada makna
c. Ketersembunyian pada lafal dan makna sekaligus
3. Macam-macam Ayat Mutasyabih
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-
Qur’an, maka ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam,
yaitu:
a. Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh
umat manusia, atau kecuali Allah SWT. Contohnya seperti Dzat
Allah SWT, hakikat sifat-sifatNya, waktu datangnya hari kiamat, dan
hal-hal ghoib lainnya. Seperti keterangan surah Al-An’am ayat 59:
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghoib:
tidak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri.”
b. Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui maksudnya oleh semua
orang. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan pembahasan dan
pengkajian/penelitian yang mendalam. Contohnya ayat-ayat
mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang,
urutan, dan seumpamanya. Jadi, dalam menyikapi ayat-ayat ini
adalah merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak,
menqayidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan
sebagainya.
Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 3: Artinya: “Dan jika
kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain).” Maksud ayat ini
tidak jelas dan ketidak jelasannya timbul karena lafalnya yang
ringkas. Kalimat asalnya berbunyi: Artinya: “Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim
sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita
selain mereka.”
c. Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar
ilmu dan sain, bukan semua orang. Ahmad Syadzali dalam bukunya
tipe yang ketiga ini lebih menspesifikkan lagi. Ia menyatakan
maksudnya ayat-ayat tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama
tertentu dan bukan semua ulama. Jadi bukan semua ulama apalagi
orang awam yang dapat mengetahui maksudnya.
Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 7:
Artinya: “Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya.”
4. Hikmah Diturunkannya Ayat-ayat Mutasyabih
Hikmahnya adalah sebagai berikut;
a. Sebagai rahmat Allah SWT.
b. Ujian dan cobaan terhadap kekuatan iman umat manusia.
c. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
d. Mendorong umat untuk giat belajar, tekun menalar, dan rajin
meneliti.
e. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an ketinggian mutu sastra dan
balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu
bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah
SWT.
f. Memudahkan orang dalam memahami Al-Qur’an.
g. Menambah pahala umat manusia, dengan bertambah sukarnya
memahami ayat-ayat mutasyabihat.
h. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang
bermacam-macam.
5. Pendapat Ulama Tentang Ayat-ayat Mutasyabih
Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam menanggapi
sifat-sifat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dilatar belakangi oleh
perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah
Ali Imran ayat 7.
Subhi Al-Shalih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua
mazhab, yaitu:
a. Mazhab Salaf
Yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat
mutasyabihat ini dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri.
Para Ulama Salaf mengharuskan kita berwaqaf (berhenti) dalam
membaca QS. Ali Imran : 7 pada lafal jalalah. Hal ini memberikan
pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari ayat-ayat
mutasyabihat yang ada. Mazhab ini juga disebut mazhab
Muwaffidah atau Tafwid
b. Mazhab Khalaf
Yaitu orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafal
yang mustahil dzahirnya kepada makna yang layak dengan zat
Allah. Dalam memahami QS. Ali-Imran : 7 mazhab ini mewaqafkan
bacaan mereka pada lafal “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal ini
memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-
ayat mutasyabih adalah Allah dan orang-orang yang Rasikh
(mendalam) dalam ilmunya. Mazhab ini disebut juga Mazhab
Muawwilah atau Mazhab Takwil.
Berikut ini adalah beberapa contoh sifat-sifat mutasyabih yang
menjadikan perbedaan pendapat antara mazhab Salaf dan mazhab
Khalaf:
1) Lafal “Ístawa” pada Al-Qur’an surah Thaha ayat 5. Allah
berfirman:
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam
di atas ‘Ars.” Dalam ayat ini diterangkan bahwa pencipta langit
dan bumi ini adalah Allah Yang Maha Pemurah yang
bersemayam di atas Arsy.Menurut mazhab Salaf, arti kata Istiwa’
sudah jelas, yaitu bersemayam (duduk) di atas Arsy (tahta).
Namun tata cara dan kafiatnya tidak kita ketahui dan diharuskan
bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya urusan mengetahui
hakikat kata Istiwa’ itu kepada Allah sendiri. Sedangkan mazhab
Khalaf memaknakan Istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak
berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa
kepayahan.
2) Lafal “yadun” pada Al-Qur’an surah Al-Fath ayat 10. Allah
berfirman:
Artinya:”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada
kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan
Allah di atas tangan mereka.”
Pada ayat di atas terdapat lafal yadun yang secara bahasa berarti
tangan. Para ulama salaf mengartikan sebagaimana adanya dan
menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Sedangkah ulama
Khalaf memaknai lafal yadun dengan “kekuasaan” karena tidak
mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada
makhluk.
BAB III
KESIMPULAN
Mempelajari asbab an-nuzul sangat penting bagi yang ingin mengkaji ilmu tafsir,
bahkan sebuah kewajiban bagi ahli tafsir. Cara mengetahui asbab an-nuzul
pertama, dengan riwayat yang shahih, yakni riwayat yang memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan oleh para ahli hadits. Kedua, menggunakan lafadh fa at-
ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian. Ketiga, dipahami dari konteks yang
jelas. Keempat, tidak disebutkan secara tegas terhadap redaksi. Ada ulama yang
berpendapat sebagai penjelasan tentang hukum.
Kedudukan asbab an-nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an sangat membantu dalam
memahami Al-Qur’an, apabila tidak niscaya banyak kekeliruannya. Kebanyakan
ulama untuk menjadikan pedoman hukum lebih sepakat pada “umum lafadh”
daripada “khusus sebab”, karena mempunyai tiga macam dalil yaitu: pertama,
lafadh syar’I saja yang menjadikan hujjah dan dalil. Kedua, kaidah tersebut
ditanggungkan kepada makna selama tidak ada pemalingannya dari makna
tersebut. Ketiga, para sahabat dan mujtahid kebanyakan tanpa memerlukan qias
atau mencari dalil apabila berhujjah dengan lafadh yang umum dari sebab yang
khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Husein,muhammadibnu ulumul maliki,1986. zubadatul itqon. Jeddah: Darus syuruq
Kholil, manna Al-qotton. 1973. mabahis fi ulumil qur'an. Makkah: Darus syaruq.
Ahmadehirjin,Moh., Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Primayasa, 1998.
Al-Qathan,Mana’, Mabahits fi Ulumul Qur’an,Mansyurat al-Ahsan al-Hadits, t.tp., 1973.
Al-Utsaimin,Muhammad bin Shaleh, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an, Semarang:
Dina Utama, 1989.
Anwar,Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006.