kel.7 case 3 blok agm

Upload: hilman-fachri

Post on 04-Oct-2015

232 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tutor

TRANSCRIPT

8

Case 3Zoonosis Dalam Agroindustri

Den Bagoes 35 tahun, datang ke Rumah Sakit mengeluh demam tidak terlalu tinggi selama 4 hari. Keluhan ini disertai dengan badan terasa lemas, nyeri di persendian, sesak nafas, batuk yang tidak produktif dan dada terasa tertekan. Den Bagoes juga memiliki keluhan di kulit tangannya terdapat lesi berwarna hitam mirip batubara. Pasien adalah seorang pekerja di peternakan sapi perah. Dia sudah bekerja selama 5 tahun dengan waktu kerja 8 jam sehari dan 6 hari dalam seminggu. Pasien sangat takut karena menurut dokter teman-teman sekerjanya ada yang menderita penyakit zoonosis.

Hasil Diskusi

Step 1

Klasifikasi Terminologi Pada SkenarioZoonosis adalah infeksi yang ditularkan diantara hewan vertebrata dan manusia ataupun sebaliknya. Zoonosis mendapat perhatian secara global dalam beberapa tahun terakhir ini baik mengenai epidemiologi, mekanisme transmisi penyakit, daignosa, pencegahan dan kontrol. Bahaya biologis yang dapat menyebabkan zoonosis, yaitu: bakteri, virus, parasit, dan prion. Step 2

Definisi MasalahBerdasarkan diskusi yang telah dilakukan didapatkan definisi masalah sebagai berikut :1. Apa yang terjadi pada tuan bagoes?

2. Jenis-jenis zoonosis?

3. Kebijakan pengendalian dan pemberantasan zoonosis?

4. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit antraks dan brucellosis?

Step 3

Curah Pendapat1. Apa yang terjadi pada tuan bagoes?

Analisis masalah

Den Bagoes 35 tahun

Keluhan utama :

Demam tidak terlalu tinggi selama 4 hari

Badan terasa lemas, nyeri di persendian

Sesak nafas

Batuk yang tidak produktif

Dada terasa tertekan.

Pemeriksaan fisik

Di kulit tangannya terdapat lesi berwarna hitam mirip batubara.

Riwayat pekerjaan

Den Bagoes bekerja selama 5 tahun menjadi pekerja di peternakan sapi perah dengan waktu kerja 8 jam sehari dan 6 hari dalam seminggu.

Diagnosis banding : brucellosis dan antraks.

Diagnosis klinis : antraks, karena ditemukan pemeriksaan fisik berupa terdapatnya lesi berwarna hitam mirip batubara di kulit tangannya.

2. Jenis-jenis zoonosis?

Klasifikasi berdasarkan agen infeksius

Bakteri :

Antrax

Tuberculosis

Salmonelosis

Brucelosis

Virus :

Flu Burung

Flu Babi

Parasit :

Trypanosomiasis Balantidiasis Cryptosporidiosis Cutaneous leishmaniasis

Taeniasis

Klasifikasi berdasarkan reservoir

Ada tiga jenis zoonosis berdasarkan reservoirnya

Antropozoonosis: penyakit yang dapat secara bebas berkembang di alam di antara hewan liar maupun domestik. Manusia hanya kadang terinfeksi dan akan menjadi titik akhir dari infeksi. Pada jenis ini, manusia tidak dapat menularkan kepada hewan atau manusia lain. Berbagai penyakit yang masuk dalam golongan ini yaitu Rabies, Leptospirosis, tularemia, dan hidatidosis.

Zooantroponosis: zoonosis yang berlangsusng secara bebas pada manusia atau merupakan penyakit manusia dan hanya kadang-kadang saja menyerang hewan sebagai titik terakhir. Termasuk dalam golongan ini yaitu tuberkulosis tipe humanus disebabkan oleh Mycobacterium tubercullosis, amebiasis dan difteri.

Amphixenosis: zoonosis dimana manusia dan hewan sama-sama merupakan reservoir yang cocok untuk agen penyebab penyakit dan infeksi teteap berjalan secara bebas walaupun tanpa keterlibatan grup lain (manusia atau hewan). Contoh: Staphylococcosis, Streptococcosis.

3. Kebijakan pengendalian dan pemberantasan zoonosis?Penyakit zoonosis didefinisikan sebagai penyakit menular yang ditularkan secara alamiah dari hewan domestik atau hewan liar ke manusia. Dunia menyaksikan bahwa dalam seabad belakangan ini muncul apa yang disebut sebagai emerging and re-emerging diseases. Emerging zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang baru muncul, dapat terjadi dimana saja di dunia, dan dampaknya berpotensi menjadi begitu parah. Sedangkan re-emerging zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul di masa-masa sebelumnya, akan tetapi menunjukkan tanda mulai meningkat kembali saat ini.

Sifat penyakit zoonosis

Beberapa sifat penyakit zoonosis bervariasi bergantung kepada sifat agen patogen sebagai berikut:

1. Agen patogen berada pada hewan sebagai reservoir, akan tetapi kasus manusia jarang terjadi atau infeksinya bersifat dead-end (misalnya: anthrax, rabies, West Nile dan Nipah/Hendra).

2. Agen patogen tumbuh dengan baik pada hewan dan manusia (misalnya: tuberculosis sapi, salmonellosis).

3. Agen patogen berada pada situasi antara (intermediate) dimana hewan hanya bertindak sebagai induk semang utama, tetapi wabah pada manusia sering terjadi dan mata rantai penularan mengarah pada (misalnya: monkeypox, Hanta, Lassa dan Ebola).

4. Agen patogen yang secara bertahap beradaptasi terhadap penularan dari manusia ke manusia dan saat ini dapat menular antar manusia (misalnya: tuberculosis pada manusia).

5. Agen patogen yang sumbernya dari hewan akan tetapi secara tiba-tiba muncul pada populasi manusia (misalnya: HIV, influenza tipe A dan kemungkinan SARS).

Aspek regulasi di bidang penyakit zoonosis

Untuk mengakomodir semua permasalahan dan isu-isu mutakhir yang ada terutama berkaitan dengan emerging and re-emerging zoonoses, maka sudah saatnya seluruh peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang penyakit zoonosis dikaji ulang dan direvisi. Dibawah ini adalah peraturan perundangan yang ada di Indonesia sampai dengan saat ini.

1. Staatblad Tahun 1912 mengatur Campur Tangan Pemerintah Dalam Bidang Kehewanan.

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967.

a. Urusan kesehatan hewan yaitu meningkatkan produksi dengan memperbaiki kesehatan hewan dan mengurangi kerugian karena penyakit.

b. Urusan kesehatan masyarakat veteriner yaitu menjaga agar kesehatan masyarakat jangan terganggu karena penularan penyakit anthropozoonosa atau kontak dengan bahan yang tertular maupun mengkonsumsi makanan asal hewan.

3. Peraturan Pemerintah.

a. Urusan kesehatan hewan (Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan).

b. Urusan kesehatan masyarakat veteriner (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner).

4. Peraturan Pelaksanaan (Keputusan Menteri Pertanian).

Penyakit zoonosis di Indonesia

Sejumlah penyakit zoonosis yang masuk ke dalam daftar penyakit hewan menular strategis di Indonesia yaitu rabies, anthrax, avian influenza, salmonellosis dan brucellosis. Penyakit zoonosis yang penting lainnya dan perlu mendapatkan perhatian adalah schistosomiasis, cysticercosis/taeniasis, tuberculosis, leptospirosis, toxoplasmosis, Japanese encephalitis, streptococosis/staphylococosis, dan clostridium (tetanus).

Penyakit zoonosis yang berkaitan dengan keamanan pangan (food borne disease) di Indonesia adalah camphylobacteriosis, salmonellosis, shigella, yersinia, verocyto toxigenic Escherichia coli (VTEC), dan listeriosis. Penyakit zoonosis eksotik untuk Indonesia adalah bovine spongiform encephalopathy (BSE), Nipah/Hendra virus, ebola, dan rift valley fever (RVF).

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis

Ada 4 (empat) subsistem yang sangat penting dalam perannya sebagai pendukung dari sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) terutama dalam kaitannya dengan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis yaitu:

Sistem surveilans dan monitoring nasional terhadap penyakit zoonosis pada ternak dan satwa liar.

Sistem kewaspadaan dini dan darurat penyakit (early warning system and emergency preparedness).

Sistem informasi kesehatan hewan (Sikhnas).

Sistem kesehatan masyarakat veteriner (Siskesmavet).

Beberapa kegiatan surveilans yang dilaksanakan sebagai salah satu strategi pendukung dalam penanggulangan penyakit zoonosis di Indonesia adalah:

Surveilans anthrax (monitoring pre dan pasca vaksinasi).

Surveilans rabies (monitoring pre dan pasca vaksinasi).

Surveilans avian influenza (deteksi dini, penentuan subtipe, monitoring pasca vaksinasi, epidemiologi molekuler, sentinel dan kompartemen/zona bebas).

Surveilans brucellosis (penentuan prevalensi/zoning, pemotongan reaktor, monitoring vaksinasi).

Surveilans salmonellosis (monitoring pullorum dan enteritidis di peternakan pembibitan unggas/petelur).

Surveilans BSE (pengambilan sampel otak dari Rumah Pemotongan Hewan atau hewan yang menunjukkan gejala syaraf).

Kebijakan pengendalian penyakit anthrax didasarkan pada azas perwilayahan (zoning). Bagi daerah bebas anthrax, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan ternak ke daerah tersebut. Bagi daerah endemik anthrax, dilaksanakan vaksinasi ternak secara rutin dan mencakup seluruh populasi hewan rentan. Bagi ternak tersangka sakit, dilakukan penyuntikan antibiotika dan 2 minggu kemudian disusul dengan vaksinasi anthrax.

Begitu juga kebijakan pengendalian dan pemberantasan rabies didasarkan pada azas perwilayahan. Bagi daerah bebas rabies, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan hewan penular rabies (HPR) ke daerah tersebut dan rencana kesiagaan darurat penyakit (disease emergency preparedness plan). Bagi daerah endemik rabies, dilaksanakan vaksinasi HPR secara rutin mencakup seluruh populasi HPR dan eliminasi/depopulasi HPR liar dan yang tidak berpemilik.

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan avian influenza (AI) dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk juga perwilayahan. Bagi daerah bebas AI, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan unggas dan limbah peternakan unggas ke daerah tersebut. Bagi daerah endemik AI, dilaksanakan biosekuriti, vaksinasi unggas secara reguler mencakup seluruh populasi unggas rentan, dan depopulasi (pemusnahan unggas sekandang dengan yang tertular). Sedangkan bagi daerah tertular baru, dilaksanakan stamping-out peternakan tertular dengan radius 1 km.

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan brucellosis didasarkan kepada tingkat prevalensi penyakit suatu wilayah. Bagi daerah dengan prevalensi kurang dari 2% dilaksanakan metoda test and slaughter atau pemotongan ternak reaktor (hasil uji positif CFT) dengan pemberian kompensasi. Bagi daerah dengan prevalensi diatas 2% dilaksanakan vaksinasi semua populasi sapi dan kerbau. Pengawasan lalu lintas ternak dengan persyaratan uji negatif CFT yang dilaksanakan pertama kali di lokasi asal dan kedua kali di lokasi penerima dengan masa berlaku 1 (satu) tahun.

Kebijakan pengendalian salmonellosis didasarkan kepada pelaksanaan uji pullorum dan enteritidis, terutama wajib pada perusahaan pembibitan unggas dan peternakan ayam ras petelur (layer). Operasional pengujian dilakukan bekerjasama dengan negara mitra dagang (seperti Singapura) terutama dalam pelaksanaan uji pullorum dan enteritidis pada peternakan ekspor (export farm) dalam rangka akreditasi dan sertifikasi bebas salmonellosis.

Kebijakan pencegahan BSE dilakukan dengan berbagai macam cara terutama untuk tetap mempertahankan status Indonesia bebas BSE berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 367/Kpts/TN.530/12/2002 tentang Pernyataan Negara Indonesia Bebas BSE. Sejumlah ketentuan ditetapkan untuk mencegah penyakit eksotik ini muncul di Indonesia seperti kebijakan pembatasan impor dari negara yang tertular BSE berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 445/Kpts/TN.540/7/2002 tentang Pelarangan Pemasukan Ternak Ruminansia dan Produknya dari Negara Tertular Penyakit BSE (sedang direvisi mengikuti standar OIE yang baru).

Kebijakan pelarangan penggunaan tepung daging, tepung tulang, tepung darah, tepung tulang dan daging dan bahan lainnya asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/TN.530/7/2002. Untuk membuat langkah guna mengantisipasi masuknya penyakit ini, maka dilakukan sosialisasi dan distribusi informasi kesiagaan darurat penyakit dan penerapan analisa risiko BSE terhadap setiap aplikasi impor hewan dan produk hewan terutama dari negara-negara tertular BSE.

Hal ini masih ditambah dengan penetapan kewajiban laporan setiap 3 (tiga) bulan bagi perusahaan pakan tentang realisasi pemasukan dan distribusi/penggunaan bahan baku pakan asal hewan ruminansia. Disamping itu ditetapkan pula penetapan kewajiban bagi perusahaan pakan untuk setiap tahun membuat surat pernyataan tentang tanggung jawab pengamanan bahan baku pakan asal ruminansia sehingga tidak masuk rantai pakan ruminansia.4. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit antraks dan brucellosis?

ANTRAKSDiagnosis

Beberapa kasus penyakit akut yang selalu diikuti dengan demam dan proses perkembangan cepat yang berujung kematian patut dicurigai penyakit antraks, terutama dari anamnesa ada riwayat pekerjaan atau kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan yang telah mengandung spora antraks misalnya tukang pos. Antraks kutaneus dapat dibedakan dengan penyakit kulit lain dengan melihat karakteristik lesi pada kulit yang warna kehitaman (eschar) dan rasa nyeri yang kurang. Antraks inhalasi sering tidak terdiagnosis awal.

Beberapa pemeriksaan penunjang dapat membantu mendiagnosis penyakit antraks ini antara lain :

Tes Bakteriologi

Radiologi

Tes Serologi

Penatalaksanaan

Antraks akan mudah disembuhkan bila cepat dibuat diagnosa pada awal penyakit dan segera diberikan antibiotik terutama antraks inhalasi karena secara cepat dapat memburuk. Selain Penicilin yang masih merupakan obat pilihan untuk penyakit antraks sejak beberapa dekade, obat alternative lainnya adalah doksisiklin, ciprofloksacin, ofloksacin, levofloksacin, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolid, aminoglikosida, rifamficin, imipenem, vankomisin. Pemberian intravena terutama direkomendasikan pada kasus-kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis antraks.BRUCELLOSISDiagnosis

Untuk screening digunakan uji rose bengal atau rapid agglutination test.

Jika positif terhadap uji rose bengal perlu dilanjutkan dengan uji reaksi pengikatan komplemen (Complement Fixation Test) atau ELISA.

Untuk daerah baru pengukuhan diagnosis harus dilanjutkan dengan isolasi Br.abortus.

Uji serum aglutinasi pada manusia sering ditemukan negatif palsu meskipun sebenarnya mempunyai titer yang tinggi. Untuk mengatasi hal ini digunakan uji coombs atau anti human globulin test, disamping uji serum agglutinasi dan uji pengikatan komplemen.

Isolasi Br.abortus pada sapi dilakukan dengan mengirimkan cairan, membran fetus, susu, kelenjar limfe supramamaria dalam keadaan segar dan dingin ke laboratorium.

Pencegahan dan Pengobatan

-Pada manusia pengobatan dapat dilakukan dengan tetrasiklin yang diberikan selama 2-4 minggu. Pada kondisi yang parah pengobatan dikombinasikan dengan streptomisin.

-Pada hewan khususnya sapi kasus brucellosis umumnya tidak berespon baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan didasarkan pada tinggi rendahnya prevalensi penyakit di suatu daerah. Pada daerah dengan prevalensi < 2% dilakukan tindakan pengujian dan pemotongan (test and slaughter) sedang daerah dengan prevalensi > 2% dilakukan vaksinasi menggunakan vaksi Br. abortus strain 19

Pada anjing pencegahan dilakukan dengan uji serologik agglutinasi cepat.

Step 4Analisis 1. Apa yang terjadi pada tuan bagoes?

Analisis masalah

Den Bagoes 35 tahun

Keluhan utama :

Demam tidak terlalu tinggi selama 4 hari

Badan terasa lemas, nyeri di persendian

Sesak nafas

Batuk yang tidak produktif

Dada terasa tertekan.

Pemeriksaan fisik

Di kulit tangannya terdapat lesi berwarna hitam mirip batubara.

Riwayat pekerjaan

Den Bagoes bekerja selama 5 tahun menjadi pekerja di peternakan sapi perah dengan waktu kerja 8 jam sehari dan 6 hari dalam seminggu.

Diagnosis banding : brucellosis dan antraks.

Diagnosis klinis : antraks, karena ditemukan pemeriksaan fisik berupa terdapatnya lesi berwarna hitam mirip batubara di kulit tangannya.

2. Jenis-jenis zoonosis?

Klasifikasi berdasarkan agen infeksius

Bakteri :

Antrax

Tuberculosis

Salmonelosis

Brucelosis

Virus :

Flu Burung

Flu Babi

Parasit :

Trypanosomiasis Balantidiasis Cryptosporidiosis Cutaneous leishmaniasis

Taeniasis

Klasifikasi berdasarkan reservoir

Ada tiga jenis zoonosis berdasarkan reservoirnya

Antropozoonosis: penyakit yang dapat secara bebas berkembang di alam di antara hewan liar maupun domestik. Manusia hanya kadang terinfeksi dan akan menjadi titik akhir dari infeksi. Pada jenis ini, manusia tidak dapat menularkan kepada hewan atau manusia lain. Berbagai penyakit yang masuk dalam golongan ini yaitu Rabies, Leptospirosis, tularemia, dan hidatidosis.

Zooantroponosis: zoonosis yang berlangsusng secara bebas pada manusia atau merupakan penyakit manusia dan hanya kadang-kadang saja menyerang hewan sebagai titik terakhir. Termasuk dalam golongan ini yaitu tuberkulosis tipe humanus disebabkan oleh Mycobacterium tubercullosis, amebiasis dan difteri.

Amphixenosis: zoonosis dimana manusia dan hewan sama-sama merupakan reservoir yang cocok untuk agen penyebab penyakit dan infeksi teteap berjalan secara bebas walaupun tanpa keterlibatan grup lain (manusia atau hewan). Contoh: Staphylococcosis, Streptococcosis.

3. Kebijakan pengendalian dan pemberantasan zoonosis?Penyakit zoonosis didefinisikan sebagai penyakit menular yang ditularkan secara alamiah dari hewan domestik atau hewan liar ke manusia. Dunia menyaksikan bahwa dalam seabad belakangan ini muncul apa yang disebut sebagai emerging and re-emerging diseases. Emerging zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang baru muncul, dapat terjadi dimana saja di dunia, dan dampaknya berpotensi menjadi begitu parah. Sedangkan re-emerging zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul di masa-masa sebelumnya, akan tetapi menunjukkan tanda mulai meningkat kembali saat ini.

Menurut BROWN (2004), pada dasarnya emerging and re-emerging zoonoses dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: (1) penyakit zoonosis yang baru diketahui (newly recognised); (2) penyakit zoonosis yang baru muncul (newly evolved); dan (3) penyakit zoonosis yang sudah terjadi sebelumnya tetapi akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan insidensi atau perluasan ke wilayah geografis, induk semang atau keragaman vektor yang baru.

Suatu kajian ulang komprehensif yang dilakukan oleh CLEAVELAND et al. (2001) berhasil mengidentifikasi adanya 1.415 spesies organisme penyakit yang diketahui bersifat patogen bagi manusia, meliputi 217 virus dan prion, 538 bakteri dan rickettsia, 307 fungi, 66 protozoa, dan 287 parasit cacing. Dari jumlah ini, 872 (61,6%) spesies patogen bersumber dari hewan. Kemudian dari jumlah tersebut, 616 (70,6%) spesies patogen berasal dari ternak dan diantaranya 476 (77,3%) dapat menyerang multi spesies. 175 spesies patogen dianggap berkaitan dengan penyakit yang baru muncul (emerging diseases). Dari 175 spesies patogen tersebut, 132 (75%) adalah zoonosis.

Emerging zoonoses yang timbul dalam 20 tahun terakhir adalah ebola virus, bovine spongiform encephalopathy (BSE), Nipah virus, rift valley fever (RVF), alveolar echinococcosis, severe acute respiratory syndrome (SARS), dan monkeypox (BROWN, 2004).

Beberapa tahun belakangan ini, dunia mengalami sejumlah kejadian munculnya emerging zoonoses yang mengkhawatirkan, seperti highly pathogenic avian influenza (HPAI), hantavirus pulmonary syndrome, West Nile fever (di Amerika Serikat), lyme disease, haemolytic uraemic syndrome (Escherichia coli serotipe O157:H7), dan Hendra virus (MORSE, 2004).

Kemunculan re-emerging zoonoses dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan populasi yang mempengaruhi induk semang, patogen atau vektor. Seringkali menyebabkan peningkatan secara alamiah dan penurunan aktivitas penyakit di suatu wilayah geografis tertentu dan selama berbagai periode waktu. Penyakit yang termasuk dalam re-emerging zoonoses adalah rabies dan infeksi virus Lyssa, rift valley fever (RVF), virus Marburg, bovine tuberculosis, brucella sp. pada satwa liar, tularemia, plaque, dan leptospirosis (ANGULO et al., 2004).

Disamping itu dunia perlu waspada sejalan dengan semakin meningkatnya globalisasi dan perdagangan bebas akan memunculkan agen bio-warfare dan bio-terorisme yang sifatnya zoonosis, seperti anthrax, plague, tularemia dan berbagai virus haemorrhagic fever (MORSE, 2004).

Faktor yang mempengaruhi emerging zoonoses

Kemunculan suatu emerging zoonoses tidak mungkin untuk diprediksi, dan setiap penyakit baru muncul dari sumber yang tidak disangka sebelumnya. Namun, satu hal yang diketahui pasti adalah penyakit zoonosis akan lebih banyak lagi terjadi di masa depan dan masyarakat veteriner dan masyarakat kesehatan harus dipersiapkan secara baik untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya emerging zoonoses' diantaranya meliputi lalu lintas hewan, gangguan ekologi, mikroorganisme yang tidak dapat ditumbuhkan, penyakit kronis, peningkatan surveilans, dan terorisme (BROWN, 2004).

Faktor-faktor yang dianggap berkontribusi terhadap kemunculan emerging zoonoses termasuk pertumbuhan populasi manusia, globalisasi perdagangan, intensifikasi pemeliharaan satwa liar, dan mikroba yang berkaitan dengan satwa liar memasuki produsen ternak yang intensif (BROWN, 2004).

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kejadian 'emerging zoonoses' diantaranya peningkatan yang cepat dari pergerakan manusia dan produk sebagai hasil dari globalisasi, perubahan lingkungan, perluasan populasi manusia ke wilayah yang sebelumnya tidak dihuni, perusakan habitat hewan, dan perubahan peternakan dan teknologi produksi (THIERMANN, 2004).

Sifat penyakit zoonosis

Beberapa sifat penyakit zoonosis bervariasi bergantung kepada sifat agen patogen sebagai berikut:

1. Agen patogen berada pada hewan sebagai reservoir, akan tetapi kasus manusia jarang terjadi atau infeksinya bersifat dead-end (misalnya: anthrax, rabies, West Nile dan Nipah/Hendra).

2. Agen patogen tumbuh dengan baik pada hewan dan manusia (misalnya: tuberculosis sapi, salmonellosis).

3. Agen patogen berada pada situasi antara (intermediate) dimana hewan hanya bertindak sebagai induk semang utama, tetapi wabah pada manusia sering terjadi dan mata rantai penularan mengarah pada (misalnya: monkeypox, Hanta, Lassa dan Ebola).

4. Agen patogen yang secara bertahap beradaptasi terhadap penularan dari manusia ke manusia dan saat ini dapat menular antar manusia (misalnya: tuberculosis pada manusia).

5. Agen patogen yang sumbernya dari hewan akan tetapi secara tiba-tiba muncul pada populasi manusia (misalnya: HIV, influenza tipe A dan kemungkinan SARS).

Aspek regulasi di bidang penyakit zoonosis

Untuk mengakomodir semua permasalahan dan isu-isu mutakhir yang ada terutama berkaitan dengan emerging and re-emerging zoonoses, maka sudah saatnya seluruh peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang penyakit zoonosis dikaji ulang dan direvisi. Dibawah ini adalah peraturan perundangan yang ada di Indonesia sampai dengan saat ini.

1. Staatblad Tahun 1912 mengatur Campur Tangan Pemerintah Dalam Bidang Kehewanan.

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967.

a. Urusan kesehatan hewan yaitu meningkatkan produksi dengan memperbaiki kesehatan hewan dan mengurangi kerugian karena penyakit.

b. Urusan kesehatan masyarakat veteriner yaitu menjaga agar kesehatan masyarakat jangan terganggu karena penularan penyakit anthropozoonosa atau kontak dengan bahan yang tertular maupun mengkonsumsi makanan asal hewan.

3. Peraturan Pemerintah.

a. Urusan kesehatan hewan (Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan).

b. Urusan kesehatan masyarakat veteriner (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner).

4. Peraturan Pelaksanaan (Keputusan Menteri Pertanian).

Penyakit zoonosis di Indonesia

Sejumlah penyakit zoonosis yang masuk ke dalam daftar penyakit hewan menular strategis di Indonesia yaitu rabies, anthrax, avian influenza, salmonellosis dan brucellosis. Penyakit zoonosis yang penting lainnya dan perlu mendapatkan perhatian adalah schistosomiasis, cysticercosis/taeniasis, tuberculosis, leptospirosis, toxoplasmosis, Japanese encephalitis, streptococosis/staphylococosis, dan clostridium (tetanus).

Penyakit zoonosis yang berkaitan dengan keamanan pangan (food borne disease) di Indonesia adalah camphylobacteriosis, salmonellosis, shigella, yersinia, verocyto toxigenic Escherichia coli (VTEC), dan listeriosis. Penyakit zoonosis eksotik untuk Indonesia adalah bovine spongiform encephalopathy (BSE), Nipah/Hendra virus, ebola, dan rift valley fever (RVF).

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis

Ada 4 (empat) subsistem yang sangat penting dalam perannya sebagai pendukung dari sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) terutama dalam kaitannya dengan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis yaitu:

1. Sistem surveilans dan monitoring nasional terhadap penyakit zoonosis pada ternak dan satwa liar.

2. Sistem kewaspadaan dini dan darurat penyakit (early warning system and emergency preparedness).

3. Sistem informasi kesehatan hewan (Sikhnas).

4. Sistem kesehatan masyarakat veteriner (Siskesmavet).

Beberapa kegiatan surveilans yang dilaksanakan sebagai salah satu strategi pendukung dalam penanggulangan penyakit zoonosis di Indonesia adalah:

1. Surveilans anthrax (monitoring pre dan pasca vaksinasi).

2. Surveilans rabies (monitoring pre dan pasca vaksinasi).

3. Surveilans avian influenza (deteksi dini, penentuan subtipe, monitoring pasca vaksinasi, epidemiologi molekuler, sentinel dan kompartemen/zona bebas).

4. Surveilans brucellosis (penentuan prevalensi/zoning, pemotongan reaktor, monitoring vaksinasi).

5. Surveilans salmonellosis (monitoring pullorum dan enteritidis di peternakan pembibitan unggas/petelur).

6. Surveilans BSE (pengambilan sampel otak dari Rumah Pemotongan Hewan atau hewan yang menunjukkan gejala syaraf).

Kebijakan pengendalian penyakit anthrax didasarkan pada azas perwilayahan (zoning). Bagi daerah bebas anthrax, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan ternak ke daerah tersebut. Bagi daerah endemik anthrax, dilaksanakan vaksinasi ternak secara rutin dan mencakup seluruh populasi hewan rentan. Bagi ternak tersangka sakit, dilakukan penyuntikan antibiotika dan 2 minggu kemudian disusul dengan vaksinasi anthrax.

Begitu juga kebijakan pengendalian dan pemberantasan rabies didasarkan pada azas perwilayahan. Bagi daerah bebas rabies, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan hewan penular rabies (HPR) ke daerah tersebut dan rencana kesiagaan darurat penyakit (disease emergency preparedness plan). Bagi daerah endemik rabies, dilaksanakan vaksinasi HPR secara rutin mencakup seluruh populasi HPR dan eliminasi/depopulasi HPR liar dan yang tidak berpemilik.

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan avian influenza (AI) dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk juga perwilayahan. Bagi daerah bebas AI, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan unggas dan limbah peternakan unggas ke daerah tersebut. Bagi daerah endemik AI, dilaksanakan biosekuriti, vaksinasi unggas secara reguler mencakup seluruh populasi unggas rentan, dan depopulasi (pemusnahan unggas sekandang dengan yang tertular). Sedangkan bagi daerah tertular baru, dilaksanakan stamping-out peternakan tertular dengan radius 1 km.

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan brucellosis didasarkan kepada tingkat prevalensi penyakit suatu wilayah. Bagi daerah dengan prevalensi kurang dari 2% dilaksanakan metoda test and slaughter atau pemotongan ternak reaktor (hasil uji positif CFT) dengan pemberian kompensasi. Bagi daerah dengan prevalensi diatas 2% dilaksanakan vaksinasi semua populasi sapi dan kerbau. Pengawasan lalu lintas ternak dengan persyaratan uji negatif CFT yang dilaksanakan pertama kali di lokasi asal dan kedua kali di lokasi penerima dengan masa berlaku 1 (satu) tahun.

Kebijakan pengendalian salmonellosis didasarkan kepada pelaksanaan uji pullorum dan enteritidis, terutama wajib pada perusahaan pembibitan unggas dan peternakan ayam ras petelur (layer). Operasional pengujian dilakukan bekerjasama dengan negara mitra dagang (seperti Singapura) terutama dalam pelaksanaan uji pullorum dan enteritidis pada peternakan ekspor (export farm) dalam rangka akreditasi dan sertifikasi bebas salmonellosis.

Kebijakan pencegahan BSE dilakukan dengan berbagai macam cara terutama untuk tetap mempertahankan status Indonesia bebas BSE berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 367/Kpts/TN.530/12/2002 tentang Pernyataan Negara Indonesia Bebas BSE. Sejumlah ketentuan ditetapkan untuk mencegah penyakit eksotik ini muncul di Indonesia seperti kebijakan pembatasan impor dari negara yang tertular BSE berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 445/Kpts/TN.540/7/2002 tentang Pelarangan Pemasukan Ternak Ruminansia dan Produknya dari Negara Tertular Penyakit BSE (sedang direvisi mengikuti standar OIE yang baru).

Kebijakan pelarangan penggunaan tepung daging, tepung tulang, tepung darah, tepung tulang dan daging dan bahan lainnya asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/TN.530/7/2002. Untuk membuat langkah guna mengantisipasi masuknya penyakit ini, maka dilakukan sosialisasi dan distribusi informasi kesiagaan darurat penyakit dan penerapan analisa risiko BSE terhadap setiap aplikasi impor hewan dan produk hewan terutama dari negara-negara tertular BSE.

Hal ini masih ditambah dengan penetapan kewajiban laporan setiap 3 (tiga) bulan bagi perusahaan pakan tentang realisasi pemasukan dan distribusi/penggunaan bahan baku pakan asal hewan ruminansia. Disamping itu ditetapkan pula penetapan kewajiban bagi perusahaan pakan untuk setiap tahun membuat surat pernyataan tentang tanggung jawab pengamanan bahan baku pakan asal ruminansia sehingga tidak masuk rantai pakan ruminansia.4. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit antraks dan brucellosis?

ANTRAKSDiagnosis

Beberapa kasus penyakit akut yang selalu diikuti dengan demam dan proses perkembangan cepat yang berujung kematian patut dicurigai penyakit antraks, terutama dari anamnesa ada riwayat pekerjaan atau kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan yang telah mengandung spora antraks misalnya tukang pos. Antraks kutaneus dapat dibedakan dengan penyakit kulit lain dengan melihat karakteristik lesi pada kulit yang warna kehitaman (eschar) dan rasa nyeri yang kurang. Antraks inhalasi sering tidak terdiagnosis awal.

Beberapa pemeriksaan penunjang dapat membantu mendiagnosis penyakit antraks ini antara lain :

Tes Bakteriologi

Radiologi

Tes Serologi

Penatalaksanaan

Antraks akan mudah disembuhkan bila cepat dibuat diagnosa pada awal penyakit dan segera diberikan antibiotik terutama antraks inhalasi karena secara cepat dapat memburuk. Selain Penicilin yang masih merupakan obat pilihan untuk penyakit antraks sejak beberapa dekade, obat alternative lainnya adalah doksisiklin, ciprofloksacin, ofloksacin, levofloksacin, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolid, aminoglikosida, rifamficin, imipenem, vankomisin. Pemberian intravena terutama direkomendasikan pada kasus-kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis antraks.BRUCELLOSIS

Diagnosis

Untuk screening digunakan uji rose bengal atau rapid agglutination test.

Jika positif terhadap uji rose bengal perlu dilanjutkan dengan uji reaksi pengikatan komplemen (Complement Fixation Test) atau ELISA.

Untuk daerah baru pengukuhan diagnosis harus dilanjutkan dengan isolasi Br.abortus.

Uji serum aglutinasi pada manusia sering ditemukan negatif palsu meskipun sebenarnya mempunyai titer yang tinggi. Untuk mengatasi hal ini digunakan uji coombs atau anti human globulin test, disamping uji serum agglutinasi dan uji pengikatan komplemen.

Isolasi Br.abortus pada sapi dilakukan dengan mengirimkan cairan, membran fetus, susu, kelenjar limfe supramamaria dalam keadaan segar dan dingin ke laboratorium.

Pencegahan dan Pengobatan

-Pada manusia pengobatan dapat dilakukan dengan tetrasiklin yang diberikan selama 2-4 minggu. Pada kondisi yang parah pengobatan dikombinasikan dengan streptomisin.

-Pada hewan khususnya sapi kasus brucellosis umumnya tidak berespon baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan didasarkan pada tinggi rendahnya prevalensi penyakit di suatu daerah. Pada daerah dengan prevalensi < 2% dilakukan tindakan pengujian dan pemotongan (test and slaughter) sedang daerah dengan prevalensi > 2% dilakukan vaksinasi menggunakan vaksi Br. abortus strain 19

Pada anjing pencegahan dilakukan dengan uji serologik agglutinasi cepat.

Step 5Learning Objective1. Jelaskan mengenai penyakit Leptosirosis2. Diagnosis pasti pasien antraks

3. Tatalaksana penyakit antraks, brucellosis, flu babi, Filariasis

Step 6

Belajar MandiriANGULO F.J., NUNNERY J.A., and BLAIR H.D. (2004). Antimicrobial resistance in zoonotic enteric pathogens. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz., 23 (2), 485- 496.

Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan: Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Brown, C. (2004). Emerging zoonoses and pathogens of public health significance an overview. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz., 23 (2), 435- 442.

CLEAVELAND S., LAURENSON M.K., and TAYLOR L.H. (2001). Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergency. Philos. Trans. roy. Soc. Lond., B, biol. Sci., 356 (1411), 991-999.

Cunha B. Anthrax. eMedicine. 2008:1-10.

Friedlander A, Pittman P, Parker G. Anthrax Vaccine: Evidence for Safety and Efficacy Against Inhalational Anthrax. JAMA. 1999;282:2104-2106.

Meyerhoff A, Murphy D, Tice A. Guidelines for Treatment of Anthrax. JAMA. 2002;288:1848-1849.

Mitka M. Early Anthrax Identification. JAMA. 2002;287:443.

MORSE S. (2004). Factors and determinants of disease emergence. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz., 23 (2), 443- 451.

Pohan H. Patogenesis, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Antraks. Majalah kedokteran Indonesia. 2005;55:23-29.

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

THIERMAN A. (2004). Emerging diseases and implication for global trade. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz., 23 (2), 701- 708.Walker D. Anthrax. In: Guerrant R, Walker D, Weller P, eds. Tropical Infectious Diseases : Priciples, Pathogens, and Practice. Vol 2. New York: Elseiver; 2002:449-452.

Step 7

Pelaporan 1. Jelaskan mengenai penyakit Leptosirosis

I. DEFINISI

Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan sebagai zoonosis. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain. 3

II. EPIDEMIOLOGI

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali Antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Kuman leptospira mengenai sedikitnya 160 spesies mamalia, seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, dan sebagainya. Binatang pengerat terutama tikus merupakan vektor yang paling banyak. Tikus merupakan vektor utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus kuman leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubus ginjal tikus dan secara terus dikeluarkan melalui urin saat berkemih.

Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup kuman leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.

International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas.

Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi akibat terpapar oleh genangan /luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi.

III. ETIOLOGI

Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu mikroorganisme spirocheata. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies yaitu L.interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non patogen atau saprofit). Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya.

Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23. Beberapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L. Icterohaemorrhagiae, L.manhao L. Javanica, L. bufonis, L. copenhageni, dan lain-lain. Serovar yang paling sering menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan babi. 2,3Menurut West Indian med. j.vol.54no.1MonaJan.2005. Serogrup leptospira yang sering menyebabkan leptospirosis adalah:

Tabel 1. Serogrup leptospira

Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing anaerobes, bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak cepat dengan kait di ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat menembus ke jaringan. Panjangnya 6-20 m dan lebar 0,1 m ( lihat gambar 1). Kuman ini sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap dan pewarnaan perak.Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Kuman leptospira hidup dan berkembang biak di tubuh hewan. Semua hewan bisa terjangkiti. Paling banyak tikus dan hewan pengerat lainnya, selain hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar pun dapat terjangkit.

Gambar 1. Leptospira

IV. PENULARANPenularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan dari manusia ke manusia meskipun jarang Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka / erosi pada kulit atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan hidup berbulan-bulan , maka air memegang peranan penting sebagai alat transmisi. Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara lain pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih selokan, parit/saluran air, pekerja di perindustrian perikanan, atau mereka yang selalu kontak dengan air seni binatang seperti dokter hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja laboratorium.

V. PATOGENESISPatogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.

Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.

Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal.

Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.

Gambar. Penularan dan manifestasi leptosirosis

Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon immunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam ginjal dimana bagian mikro organism akan mencapai convoluted tubulus. Bertahan disana dan dilepaskan melaliu urin. Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.

Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva,

Selaput mukosa utuh

Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil :

ekstravasasi Sel dan perdarahan

Perubahan patologi di organ/jaringan

- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.

- Hati

: gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai

hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.

- Paru

: inflamasi interstitial sampai perdarahan paru

- Otot lurik: nekrosis fokal

- Jantung: petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik

- Mata

: dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.

VI. PATOLOGI

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.Kelainan spesifik pada organ:

Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organism juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.

Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.

Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis.

Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.

Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.

Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola.Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.

VII. MANIFESTASI KLINISMasa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata-rata 10 hari.

Gambaran klinik pada leptospirosis :

Yang sering: demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjungtivitis, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobia.

Yang jarang: pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, periferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis.

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase leptospiremia/septikemia dan fase imun.

Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)

Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan css, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun. Fase Imun (minggu ke-2)

Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih. Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari, namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.

Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling utama yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa

Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ), hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal penyakit.

Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria, proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan. Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4) Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur hilang.

1. Leptospirosis anikterik 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.

Perjalanan penyakit leptospirosis anikterik maupun ikterik umumnya bifasik karena mempunyai 2 fase, yaitu : 3a. Fase leptospiremia/fase septikemia

- Organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh.

- Selama fase ini terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.

- Karakteristik manifestasi klinis : demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut.

- Gejala lain : sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis.

b. Fase imun atau leptospirurik

- sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urine dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis.

- Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih.

- Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.

Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik : meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis.

Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu.

Merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia.

Adanya conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis, limfadenopati, splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat ditemukan meskipun jarang.

Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.

2. Leptospirosis ikterik Demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia.

Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.

Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal setelah pasien sembuh.

Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.

Azotemia, oliguria atau anuria umumnya terjadi dalam minggu kedua tetapi dapat ditemukan pada hari ketiga perjalanan penyakit.

Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai meskipun pada pemeriksaan fisik belum ditemukan kelainan.

Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian bawah.

Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa organ, perdarahan masif dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS) merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik.

Penyebab kematian leptospirosis berat : koma uremia, syok septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik.

Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis hdala oliguria terutama oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi, ronkhi basah paru, sesak nafas, leukositosis (leukosit > 12.900/mm3), kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, infiltrat pada foto pencitraan paru.

Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70% pada umumnya ringan berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis, meskipun dapat juga terjadi Adult Respiratory Distress Sndromes (ARDS) dan fatal.

Manifestasi klinik sistem kardiovaskular pada leptospirosis dapat berupa miokarditis, gagal jantung kongestif, gangguan irama jantung.

Tabel perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik :Sindroma, FaseGambaran klinikSpesimen laboratorium

Leptospirosis anikterik *

Fase leptospiremia (3-7 hari)

Fase imn (3-30 hari)Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjunctival suffusion.

Demam ringan, nyeri kepala, muntah, meningitis aseptikDarah, cairan serebrospinal

urin

Leptospirosis ikterik

Fase leptospiremia dan fase imn (sering menjadi satu atau tumpang tindih)

Demam, nyeri kepala, mialgia, ikterik, gagal ginjal, hipotensi, manifestasi perdarahan, pneumonitis hemoragik, leukositosis.Darah, cairan serebrospinal (minggu I)

Urin (minggu II)

Tabel 2. perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3 hari)

Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak, mungkin karena tidak terdiagnosis atau karena manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa.

Pada kasus yang berat dijumpai miokarditis, ruam deskuamasi yang menyerupai penyakit Kawasaki, dengan perdarahan paru.

Manifestasi klinis pada kasus ringan hdala demam dan gastroenteritis.

Tabel. Patofisiologi leptospirosis

DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena kelompok ini lebih banyak aktif di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat dapat diketahui apakah tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan kumuh.

Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluahan khas yang dapat ditemukan, yaitu : demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.

I. PEMERIKSAAN FISIK Gejala klinik menonjol : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival suffusion.

Gejala klinik yang paling sering ditemukan : conjungtival suffusion dan mialgia.

Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3 selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring terlihat merah dan bercak-bercak. Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan hiperestesi kulit. Kelainan fisik lain : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis hemoragik. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi dapat terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan konjungtiva dan ruam kulit. Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.

Gambar 3. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Pemeriksaan laboratorium umum

a. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau menurun.

Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil.

Trombositopenia ringan.

LED meninggi.

Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan penyakit.

b. Pemeriksaan fungsi hati

- Jika tidak ada gejala ikterik ( fungsi hati normal.

- Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.

- Kerusakan jaringan otot ( kreatinin fosfokinase meningkat (

peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata

mencapai 5 kali nilai normal.

2. Pemeriksaan laboratorium khususPemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira (MAT, ELISA, tes penyaring). Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan serologis. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan bahan biakan/kultur leptospira dengan medium kultur Stuart, Fletcher, dan Korthof. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4 minggu terdapat leptospira dalam kultur.

Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-12). Dugaan diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala klinis yang mendukung.

Ig M ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara dini, tes akan positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin tidak khas. Tes ini sangat sensitif dan efektif (93%). Tes penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.

Gambar. IgM ELISA

Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan bilirubin. Pada 50% kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase (CPK) pada fase awal sampai mencapai 5x normal. Hal ini tidak terjadi pada hepatitis viral. Jadi jika terdapat peninggian transaminase dan CPK, maka diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada hepatitis viral.

Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine (leukosituria, eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada leptospirosis ringan bisa terdapat proteinuria dan pada leptospirosis berat dapat terjadi azotemia.

Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan gelap sering gagal dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak digunakan. Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak, maka pemeriksaan CSS didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada awal ) tapi kemudian digantikan oleh sel-sel monosit, protein pada CSS normal atau meningkat, sedangkan glukosanya normal.

VI. DIAGNOSISDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok orang dengan resiko tinggi seperti pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih selokan, dan gejala klinis berupa demam yang muncul mendadak, nyeri kepala terutama dibagian frontal, nyeri otot, mata merah / fotophobia, mual atau muntah, dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, bradikardi, nyeri tekan otot , hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapat leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan LED yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukositouria, dan sdimen sel torak. Bila terdapat hepatomegali maka bilirubin darah dan transaminase meningkat. BUN, ureum, dan kreatinin bisa meningkat bila terdapat komplikasi pada ginjal. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologis. Diagnosis leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium. dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :

Suspek

( bila ada gejala klinis tapi tanpa dukungan tes laboratorium.

Probable

( bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.

Definitif

( bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positif, atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil MAT / ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih

Table 5 : Endemicity and titer

DIAGNOSIS BANDINGLeptospirosis anikterik dapat di diagnosis banding dengan influenza, demam berdarah dengue, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik viral, keracunan makanan/bahan kimia, demam tifoid, demam enterik.

Leptospirosis ikterik dapat di diagnosis banding dengan malaria falcifarum berat, hepatitis virus, demam tifoid dengan komplikasi berat, haemorrhagic fevers with renal failure, demam berdarah virus lain dengan komplikasi.

Tabel 6. Diagnosis banding leptospirosis

KOMPLIKASI LEPTOSPIROSIS

I. Gagal Ginjal AkutKeterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut sangat bervariasi dari insufisiensi ginjal ringan sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut pada leptospirosis disebut sindroma pseudohepatorenal. Selama periode demam ditemukan albuminuria, piuria, hematuria, disusul dengan adanya azotemia, bilirubinuria, urobilinuria. Manifestasi klinik gagal ginjal akut pada leptospirosis ada 2 tipe yaitu gagal ginjal akut ologuri dan gagal ginjal akut non-oliguri dengan tipe katabolic, dimana produksi ureum lebih tinggi dari 60mg%/24jam. Disebut gagal ginjal oliguri bila produksi urin 600ml/24jam, mortalitas lebih rendah dibandingkan GGA oliguri. GGA oliguri mempunyai prognosis yang kurang baik, dengan mortalitas 50-90%.

Histopatologi dengan pemeriksaan mikroskop electron:

1. pada GGA oliguri, Nampak adanya gambaran obstruksi tubulus, nekrosis tubulus dan endapan komplemen pada membrane basalis glomerulus, dan infiltrasi sel radang pada jaringan interstitialis.

2. Pada GGA non-oliguri, Nampak edema pada tubulus dan jaringan interstitium tanpa adanya nekrosis. Duktus kolektiferus pars medularis resisten terhadap vasopressin, sehingga tidak mampu memekatkan urin dan terjadi poliuria.

Perubahan abnormal elektrolit dan hormone pada GGA leptospirosis:

1. Hipokalemia, terjadi oleh karena peningkatan fractional urinary excretion (Fe) kalium yang diikuti FeNa. Hal ini oleh karena sekresi K+ meningkat dan adanya gangguan reabsorbsi Natrium oleh tubulus proximal. Fe K+ dan FeNa berkorelasi dengan beratnya GGA.

2. Hormon kortisol dan aldosteron meningkat dan akan meningkatkan eksresi kalium lewat urine. Sehingga makin menambah hipokalemia, sehingga perlu penambahan kalium.

3. CD3, CD4 menurun, Limfosit B meningkat, bersifat reversible.

TATALAKSANA

GGA oliguri / non-oliguri

Suportif:

Hidrasi dengan cairan yang mengandung elektrolit sampai tercapai rehidrasi.

Monitoring elektrolit dan produksi urine dan balance cairan /24jam.

Diuretika (furosemid/manitol), untuk mengubah GGA oliguria menjadi poliuria.

Dopaminergik agent untuk memperbaiki perfusi ginjal (dopamine).

Arterial natriuretik peptide.

Untuk preservasi integritas sel: calcium channel blocker

Stimulasi regenerasi sel (asam amino termasuk glysin, growth factor)

Antibiotika: eradikasi leptospira

Nutrisi:

Meminimalkan balance nitrogen negative

Intake kalori yang adequate.

Mencegah volume overload.

Indikasi dialysis:

Hiperkatabolik, produksi ureum > 60mg/24jam.

Hiperkalemia, serum kalium >6meq/L.

Asidosis metabolic, HCO3 < 12meq/L/

Perdarahan.

Kadar ureum yang sangat tinggi diikuti gejala klinik.

Hemodialisis tidak lebih menguntungkan untuk terapi pengganti pada GGA leptospirosis, lebih dipilih tindakan dialysis peritoneal bila telah ada indikasi. Imam Parsudi (1976), dialysis peritoneal pada GGA leptospirosis disamping dapat mengkoreksi kelainan biokimiawi akibat GGA, juga dapat mengeluarkan bahan-bahan toksik akibat penurunan faal hati.

Perdarahan Paru

Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak jelas diduga akibat dari endotoksin langsung yang kemudian menyebabkan kersakan kapiler. Hemoptisis terjadi pada awal septicemia. Perdarahan terjadi pada leura, alveoli, trakheobronkhial, kelainan berupa: kongesti septum paru, perdarahan alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear. Manifestasi klinis: batuk, blood tinged sputum sampai terjadi hemoptisis masif sehingga menyebabkan asfiksia.

II. Liver FailureTerjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari ke-2 atau ke-9. Pada hati terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel Kupfer. Terjadi ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

1. Kerusakan sel hati.

2. Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi bilirubin, sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah.

3. Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan kadar bilirubin.

4. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.

Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan hepatic flow dan toksinyang dilepas leptospira. Gambaran histopatologi tidak spesifik pada leptospirosis, karena disosiasi sel hati, proliferasi histiositik dan perubahan peri porta terlihat juga pada penyakit infeksi yang parah.

III. Perdarahan gastrointestinal

Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler.

IV. ShockInfeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis tubuh yang mempunyai peran pada timbulnya kerusakan jaringan, perubahan ini adalah hipovolemia, hiperviskositas koagulasi. Hipovolemia terjadi akibat intake cairan yang kurang, meningkatnya permeabilitas kapiler oleh efek dari bahan-bahan mediator yang dilepaskan sebagai respon adanya infeksi. Koagulasi intravaskuler, sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan mempengaruhi keadaan pada mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler dan anoxia jaringan. Hiperviskositas, akibat dari peleasan bahan-bahan mediator terjadi permeabilitas kapiler meningkat, keadaan ini menyebabkan hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya disfungsi organ.

V. Miokarditis

Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi klinis miokarditis sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongesif yang fatal. Keadaan ini diduga sehubungan dengan kerentanan secara genetic yang berbeda-beda pada setiap penderita.

Manifestasi klinik miokarditis jarang didapatkan pada saat puncak infeksi karena akan tertutup oleh manifestasi penyakit infeksi sistemik dan batu jelas saat fase pemulihan. Sebagian akan berlanjur menjadi bentuk kardiomiopati kongesif / dilated. Juga akan menjadi penyebab aritmia, gangguan konduksi atau payah jantung yang secara structural dianggap normal.

VI. Enchepalophaty

Didapatkan gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri kepala, pada cairan cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis, santokrom, hitung sel leukosit 10-100/mm3, sel terbanyak sel leukosit neutrofil atau sel mononuclear, glukosa dapat normal atau rendah, protein meningkat (dapat mencapai 100mg%). Kadang-kadang didapatkan tanda-tanda menngismus tanpa ada kelainan LCS, sindroma Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi didapatkan: infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS yang pleositosis. Setiap serotip leptospira yang patologis mungkin dapat menyebabkan meningitis aseptic, paling sering Conikola, Icterohaemorrhagiae dan Pamoma.

TERAPIA . PENCEGAHAN

Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi pada penjamu manusia.

Kuman leptospira mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan mati oleh desinfektans seperti lisol. Maka upaya Lisolisasi upaya "lisolisasi" seluruh permukaan lantai , dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, dianggap cara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nya leptospirosis.

Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene perorangannya dilakukan dengan menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor, tangan tercemar kuman dari hewan piaraan yang sudah terjangkit penyakit dari tikus atau hewan liar. Hindari berkontak dengan kencing hewan piaraan.

Biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu berkontak dengan air kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakiai sepatu bot, terutama jika kulit ada luka, borok, atau eksim. Biasakan membasuh tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau membersihkan gudang, dapur, dan tempat-tempat kotor.

Hewan piaraan yang terserang leptospirosis langsung diobati , dan yang masih sehat diberi vaksinasi. Vaksinasi leptospirosis disarankan untuk manusia yang memiliki risiko tinggi terjangkit, dan pemberiannya harus diulang setiap tahun. Di AS sejak Desember 2000 lalu, ada anjuran bagi orang yang berisiko tinggi terjangkit leptospirosis diberikan terapi profilaksis dengan doksisiklin 200 mg 1 x seminggu.

Tikus rumah perlu dibasmi sampai ke sarang-sarangnya. Begitu juga jika ada hewan pengerat lain. Jangan lupa bagi yang aktivitas hariannya di peternakan, atau yang bergiat di ranch. Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain tupai, dan hewan liar lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan pemukiman, atau ketika kita sedang berburu, berkemah, dan berolahraga di danau atau sungai. Selain itu penyediaan air minum juga harus terjaga baik dan diklorinasi.

Ternak Babi merupakan hewan yang mampu bertahan dari infeksi akut yang dapat mengeluarkan bakteri leptospira dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama, bisa sampai setahun. Hewan babi merupakan sumber penularan leptospirosis, disebut sebagai Swine herds disease. Oleh karena itu, peternak babi diimbau agar mengandangkan ternaknya dan jauh dari sumber air. Saluran buangan ternak hendaknya diarahkan ke tempat khusus sehingga tidak mencemari lingkungan.B. KURATIFTerapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.

Tujuan Pemberian ObatRegimen

1.Treatment

a. Leptospirosis ringanDoksisiklin 2 x 100 mg/oral atau

Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau

Amoxicillin 4 x 500 mg/oral

b.Leptospirosis sedang/ beratPenicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau

Ampicillin 1 g/6jam i.v atau

Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau

Eritromycin 4 x 500 mg i.v

2.KemoprofilaksisDoksisiklin 200 mg/oral/minggu

Terapi untuk leptospirosis ringan

Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa. Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara konservatif.15Penatalaksanaan konservatif

Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38C

Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.

Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dianjurkan sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita. Karbohidrat dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein diberikan 0,2 0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam amino essensial.

Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.

paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada minggu pertama setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau setelah terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta unit, bahkan pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari.

Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan terhadap fungsi ginjal sangat perlu.

Terapi untuk leptospirosis berat

Antipiretik

Nutrisi dan cairan.

Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang seimbang dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang. Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang justru membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan yang berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance cairan secara cermat.

Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup kandungan nutrisinya.

Pemberian antibiotik

Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.

Penanganan kegagalan ginjal.

Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis. Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal bila ratio 40 Kg150 mg kapsul sehari dibagi dua dosis selama 5 hari1 kali 75 mg kapsul sehari

Zanamivir

Dewasa2 kali 5 mg (10 mg) per inhalasi, 2 kali sehari2 kali 5 mg (10 mg) per inhalasi, 1 kali sehari

Anak-anak (umur 7 tahun ke atas)2 kali 5 mg (10 mg) per inhalasi, 2 kali sehari (umur 7 tahun ke atas)2 kali 5 mg (10 mg) per inhalasi, 1 kali sehari (umur 5 tahun ke atas)

Penggunaan obat antiviral bisa saja berubah tergantung dari efektivitas obat antiviral, gejala klinis, efek samping obat dan suseptibilitas obat tersebut.Kemoprofilaksis (pencegahan) dengan obat antiviralKemoprofilaksis diberikan pada orang-orang yang dianggap kontak langsung dengan penderita selama periode infeksi (1 sampai 7 hari setelah kontak). Jika kontak telah lebih dari 7 hari, maka kemoprofilaksis tidak dibutuhkan. Lamanya kemoprofilaksis yang diberikan adalah 10 hari mulai dari terpapar sampai penderita tersebut didiagnosis flu babi.Pengobatan dan pencegahan untuk anak usia dibawah 12 bulanAnak-anak dibawah 12 bulan termasuk dalam kelompok berisiko tinggi terkena flu babi. Data keamanan pemakaian obat antiviral pada anak-anak dibawah umur 12 bulan sangat terbatas dan Oseltamivir tidak disarankan pada anak-anak dibawah 1 tahun. Tapi berdasarkan data penggunaan oseltamivir pada flu musiman menunjukkan jarang sekali terjadi efek samping yang parah. Oleh karena itu dengan alasan gawat darurat maka penggunaan oseltamivir pada anak-anak dibawah 1 tahun masih dapat dimungkinkan (menurut FDA). Berikut ini tabel penggunaan obat antiviral pada anak-anak dibawah 12 bulan :

Tabel 2. Penggunaan Obat Antiviral untuk Pengobatan dan Pencegahan pada Anak-anak dibawah 12 bulan

UmurPengobatan selama 5 hari dengan OseltamivirPencegahan

< 3 bulan2 kali 12 mg sehariTidak direkomendasikan kecuali keadaan yang kritis oleh karena terbatasnya data

3 5 bulan2 kali 20 mg sehari1 kali 20 mg sehari

6 11 bulan2 kali 25 mg sehari1 kali 25 mg sehari

Pemantauan yang ketat harus dilakukan dalam penggunaan obat antiviral tersebut mengingat data tentang keamanan dan dosis obat terbatasPenggunaan obat antiviral pada wanita hamilOseltamivir dan Zanamivir termasuk obat kategori C yaitu efek pada wanita hamil dan janin yang dikandungnya tidak diketahui. Oseltamivir dan Zanamivir hanya digunakan bila diketahui ada efek yang menguntungkan pada janin yang dikandungnya. Belum ada efek samping yang dilaporkan pada wanita hamil yang mendapat menggunakan zanamivir dan oseltamivir. Oseltamivir dapat digunakan untuk pengobatan flu babi pada wanita hamil. Zanamivir digunakan untuk profilaksis pada wanita hamil oleh karena masuk ke dalam tubuh secara inhalasi sehingga absorpsi sistemik terbatas dan lebih aman.

FilariasisObat anti-filaria yang digunakan

Diethylcarbamazine citrate (DEC)

Diethylcarbamazine citrate (DEC) telah digunakan sejak 40 tahun lamanya dan masih merupakan terapi anti-filarial yang digunakan secara luas. 3,12,15,24 WHO merekomendasikan pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari berturut-turut.3,7,15,20,24 Cara pemberian tersebut tidak praktis digunakan untuk community-based control programme karena mahal.3,15 Andrade dkk (1995) membandingkan pemberian dosis tunggal DEC 6 mg/kgBB dan pemberian DEC dosis yang sama selama 12 hari, didapatkan kadar mikrofilaria yang sama pada ke-2 grup setelah terapi 12 bulan, meskipun pada bulan 1, 3 dan 6 kadar mikrofilaremia tinggi pada grup dosis tunggal.

Dosis yang disarankan WHO digunakan untuk terapi selektif/perorangan, dimana orang tersebut yang mencari pertolongan, sedangkan untuk terapi massal digunakan dosis tunggal 6mg/kgBB yang diberikan setiap tahun selama 4-6 tahun berturut-turut.20Terapi massal adalah terapi yang diberikan kepada seluruh penduduk di daerah endemis filariasis.11,20 Di Indonesia, dosis 6 mg/kg BB memberikan efek samping yang berat, sehingga pemberian DEC di lakukan berdasarkan usia dan dikombinasi dengan albendazol.

Ivermectin

Ivermectin terbukti sangat efektif dalam menurunkan mikrofilaremia pada filariasis bancrofti di sejumlah negara.3 Obat ini membunuh 96% mikrofilaremia dan menurunkan produksi mikrofilaremia sebesar 82%.25.Obat ini merupakan antibiotik semisintetik golongan makrolid yang berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten.12,15 Dosis tunggal 200-400g/kg dapat menurunkan mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24 bulan. Dengan dosis tunggal 200 atau 400l/kg dapat langsung membunuh mikrofilaremia dan menurunkan produksi mikrofilaremia. Obat belum digunakan di Indonesia.

Albendazol

Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun-tahun dan baru baru ini di coba digunakan sebagai anti-filaria.3 Dosis tunggal albendazol tidak mempunyai efek terhadap mikrofilaremia.15 Albendazole hanya mempunya sedikit efek untuk mikrofilaremia dan antigenaemia jika digunakan sendiri.3 ADosis tunggal 400 mg di kombinasi dengan DEC atau ivermectin efektif menghancurkan mikrofilaria.

Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya penyakit.

Asimptomatik atau subklinis

Pengobatan awal dengan anti-filaria pada pasien asimptomatik sangat disarankan untuk mencegah kerusakan limfatik lebih lanjut. Efektifitas terapi dapat di evaluasi dengan melakukan tes mikrofilaria 6-12 bulan setelah terapi.

Stadium akut

Selama serangan akut pemberian DEC tidak di anjurkan, karena diduga akan memperberat keaadaan akibat matinya cacing dewasa. Terapi supportif harus dilakukan termasuk istirahat, kompres, elevasi ekstremitas yang terkena dan pemberian analgetik dan antipiretik. Pada serangan akut ADLA pemberian antibiotik oral dapat dilakukan sewaktu menunggu hasil kultur.

Stadium kronik

Obat anti-filaria jarang digunakan untuk keadaan kronik tetapi diberikan jika pasien terbukti menderita infeksi aktif, misalnya dengan ditemukannya mikrofilaria, antigen mikrofilaria atau filarial dancing sign. Kerusakan limfatik akibat filariasis bersifat permanen dan obat anti-filaria tidak menyembuhkan keadaan limfedema, tetapi limfedema dapat di tatalaksana dengan cara menghentikan serangan akut dan mencegah keadaan menjadi berat/buruk.19 Terdapat 5 komponen dasar dalam penatalaksanaan limfedema yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu kebersihan, pencegahan dan perawatan luka/entry lesion, latihan, elevasi dan penggunaan sepatu yang sesuai.15,19 Komponen tambahan dalam penatalaksanaan limfedema adalah penggunaan emolien, verban, stocking, pijat, antibiotik pofilaksis dan tindakan bedah.

Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat menjadi terapi tambahan. Obat ini mengikat protein yang telah terakumulasi sehingga menginduksi fagositosis makrofag menyebabkan terpecahnya protein yang kemudian keluar kedalam vena dan dibuang oleh sistem vascular.Tindakan bedah pada limfedema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah jika tidak terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfedema sangat besar sehingga mengganggu aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi konsevatif.27 Berbagai prosedur operasi digunakan tetapi secara umum tidak memberikan hasil yang memuaskan.15 Yang termasuk dalam prosedur ini adalah lymphangioplasty, lympho-venous anastomosis dan eksisi (de-bulking) dari jaringan subkutan yang fibrotik. Peranan tindakan pembedahan limfedema ekstremitas akibat filariasis sangat terbatas.

Penatalaksanaan hidrokel adalah dengan pemberian obat anti-filaria, perawatan dasar seperti kebersihan, dan tindakan bedah.16 Indikasi operasi pada pasien dengan hidrokel adalah jika mengganggu pekerjaan, mengganggu aktivitas seksual, mengganggu berkemih, dan memberi efek sosial terhadap keluarga.Prosedur yang digunakan adalah dengan melakukan eksisi tunika vaginalis sebanyak mungkin dan membalikkannya (Bergmann Wingklemann) untuk hidrokel besar dan prosedur Lord untuk hidrokel kecil dimana dilakukan pengecilan tunika vaginalis dengan merempel.

Penatalaksanaan kiluria adalah istirahat, diet tinggi protein rendah lemak, minum banyak (paling sedikit 2 gelas/jam selama BAK masih seperti susu). Tindakan bedah masih kontroversi tetapi di anjurkan untuk kasus yang berat.15,16,28 Prosedure yang digunakan adalah lympho-venous disconnection, lymphangio-venous anastomosis, lymphnode-saphenous vein anastomosis.

Tropical Pulmonary Eosinophil

DEC adalah obat pilihan untuk TPE. Gejala pernapasan membaik secara cepat setelah pemberian DEC. Pemberian DEC 21-28 hari menyebabkan hilangnya microfilaria secara cepat dibandingkan dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB, sehingga pemberian terapi lebih lama lebih disarankan.

Pencegahan dan kontrol filariasis

Tahun 1997, the World Health Assembly (WHA) mengajak anggota WHO untuk mendukung program The Global Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF) sebagai masalah kesehatan masyarakat.Tahun 2000 WHO mulai menetapkan GPELF dan merekomendasikan semua penduduk yang tinggal didaerah beresiko untuk di obati satu kali dalam satu tahun dengan dua kombinasi obat dan diberikan dalam 4-6 tahun berturut-turut.Tiga obat anti-parasit yang di sarankan adalah DEC, albendazol, ivermectin.

Pencegahan melawan infeksi filariasis juga dapat dilakukan secara individu dengan cara menghindari terkenanya gigitan nyamuk. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memakai kelambu dan menggunakan repellent, tetapi hal ini tidak bisa diterapkan disemua wilayah.KESIMPULANBerdasarkan hasil diskusi diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :1. Penyakit zoonosis didefinisikan sebagai penyakit menular yang ditularkan secara alamiah dari hewan domestik atau hewan liar ke manusia. Dunia menyaksikan bahwa dalam seabad belakangan ini muncul apa yang disebut sebagai emerging and re-emerging diseases. Emerging zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang baru muncul, dapat terjadi dimana saja di dunia, dan dampaknya berpotensi menjadi begitu parah. Sedangkan re-emerging zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul di masa-masa sebelumnya, akan tetapi menunjukkan tanda mulai meningkat kembali saat ini.2. Zoonosis dapat diklasifikasikan menjadi dua garis besar yaitu berdasarkan agen infeksinya dan reservoirnya.

3. Antraks adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman bacillus anthracis, suatu basil yang dapat membentuk spora dan ditularkan ke manusia melalui kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan dari binatang yang terkontaminasi. Anthrax adalah infeksi bakteri yang jarang terjadi, dan biasanya didapatkan dengan menghirup udara, menelan makanan, masuk melalui kulit yang bersentuhan dengan endospora dari Bacillus antrachis.4. Brucellosis atau sering disebut keluron adalah penyakit yang disebabkan oleh Brucella sp. dan dapat menular ke manusia. Manusia merupakan hospes aksidental dan tidak menularkan pada individu lain.5. Flu babi merupakan penyakit respirasi dari babi yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan mempunyai dampak ekonomi luas pada industri babi di Amerika Serikat. Wabah flu pada babi sering terjadi, khususnya selama musim dingin. Angka kesakitan dari flu babi sangat tinggi. Manusia umumnya tidak dapat terkena flu babi, namun infeksi pada manusia dapat terjadi. Umumnya, kasus flu babi pada manusia terjadi pada seseorang yang hidup di sekitar babi, namun virus flu babi dimungkinkan untuk menyebar dari manusia ke manusia.6. Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospir