kejelasan perumusan tujuan
TRANSCRIPT
Informasi yang dihasilkan►Efisiensi, yakni perbandingan antara hasil denganbiaya►Keuntungan, yakni selisih antara hasil denganbiaya►Efektif, yakni penilaian pada hasil tanpamemperhitungkan biaya►Keadilan, yakni keseimbangan dalam pembagianhasil (manfaat) dan/atau biaya (pengorbanan)►Detriment, yakni indikator negatif dalam bidangsosial►Manfaat tambahan, yakni tambahan hasil bandingbiaya atau pengorbanan.
KERANGKA PIKIR EVALUASI KEBIJAKANIMPLEMENTASI KEBIJAKANEVALUASI IMPLEMENTASI EVALUASI DAMPAKOUPUTDAMPAK1. Model Mater danHorn2. Model Grindle3. Model Sabatier danMazmanian1. Dampak Individual2. Dampak Organisasional3. Dampak terhadap Masy.4. Dampak terhadapLembaga/Sistem Sosial5. Respon terhadapDampakDESAIN STUDI EVALUASI
Persamaan dan Perbedaan Evaluasi Implementasi& Evaluasi Dampak► Sama-sama melihat apa yang menjadi input dari programdan apa outputnya.► Evaluasi implementasi mengamati dampak jangka pendekatau dampak sementara, evaluasi dampak mencermatidampak tetap atau dampak jangka panjang.► Evaluasi dampak memberikan perhatian yang lebih besarkepada output dan dampak, sedangkan evaluasiimplementasi lebih melihat kepada evaluasi prosespelaksanaannya.► Monitoring ditujukan untuk menjawab tentang apa yang
terjadi dalam proses pelaksanaan, bagaimana terjadi danmengapa. Sementara evaluasi akhir menjawap persoalantentang perubahan apa yang terjadi.
Model Meter dan Horn►Menurut model ini, suatu kebijakan tentulahmenegaskan standar dan sasaran tertentu yangharus dicapai oleh para pelaksana kebijakan.►Kinerja Kebijakan pada dasarnya merupakanpenilaian atas tingkat ketercapaian standar dansasaran tersebut.►Karena dijadikan sebagai kriteria penilaian, makastandar dan sasaran dirumuskan secara spesifikdan kongkrit.4Standar danSasaranKebijakanSumberDayaKondisi Sosial,ekonomi &politikKomunikasi antarorganisasi danpengukuhanaktifitasKarakteristikOrganisasi danKomunikasi antarorganisasiSikapPelaksanaKinerjaKebijakanModel Implementasi KebijakanMenurut Meter & Horn
► Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya► Kejelasan standar dan sasaran tidak menjaminimplementasi yang efektif apabila tidak dibarengi denganadanya komunikasi antar organisasi dan aktifitaspengukuhan.► Struktur birokrasi pelaksana (karakteristik, norma dan polahubungan yang potensial maupun yang aktual) sangatberpengaruh terhadap keberhasilan implementasi.► Organisasi pelaksana memiliki 6 variabel : (1) kompetensidan jumlah staf. (2) rentang dan derajat pengendalian. (3)dukungan politik yang dimiliki. (4) kekuatan organisasi. (5)derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi. (6)keterkaitan dengfan pembuat kebijakan.► Kondisi sosial, ekonomi dan politik juga berpengaruhterhadap implementasi kebijakan.
► Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana yangpada akhirnya menentukan seberapa tinggi kinerjakebijakan5
Model Grindle►Implementasi kebijakan ditentukan oleh isikebijakan dan konteks implementasinya.►Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakanditransformasikan menjadi program aksi maupunproyek individual dan biaya telah disediakan, makaimplementasi kebijakan dilakukan.►Tetapi hal ini bisa jadi tidak berjalan mulus,tergantung pada implementability dari program ituyang dapat dilihat dari isi dan kontekskebijakannya.TujuanKebijakanModel ImplementasiKebijakan Menurut GrindleTujuanyang InginDicapaiMengukur KeberhasilanMelaksanakan Kegiatan dipengaruhi :(a) Isi Kebijakan :(a) Kepentingan(b) Tipe Manfaat(c) Derajat Perubahan(d) Letak Pengambilan Keputusan(e) Pelaksana Program(f) Sumber Daya(b) Konteks Implementasi :(a) Kekuasaan, kepentingan, strategi aktor(b) Karakteristik lembaga/penguasa(c) Kepatuhan dan daya tanggapHasil Kebijakan(a) Dampak pada masyarakat,individu dan kelompok(b) Perubahan dan penerimaanoleh masyarakat
Program Aksidan Proyekyang dibiayaiApakah Program yang dijalankansesuai yang direncanakan
6
Model Sabatier & Mazmanian► Implementasi kebijakan merupakan fungsi dari 3 variabel :karakteristik masalah, struktur manajemen program(tercermin dalam peraturan operasionalisasi kebijakan danfaktor di luar peraturan.► Ide dasar Sabatier dan Mazmanian adalah bahwa suatuimplementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasipelaksanaannya mematuhi apa yang telah digariskan olehperaturan (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis) =
Model Top Down.► Dengan asumsi itu, maka tujuan dan sasaran programharus jelas dan konsisten, karena ini merupakan standarevaluasi dan sarana yang legal bagi birokrat pelaksanauntuk mengerahkan sumber daya.Model Implementasi KebijakanKarakteristik Masalah Menurut Sabatier & MazmanianDaya Dukung Peraturan- Kejelasan tujuan- Teori kausal yang memadai- Sumber Keuanngan yang mencukupi- Integrasi organisasi pelaksana- Diskresi pelaksana- Rekrutmen dari pejabat pelaksana- Akses formal pelaksana ke org. lain
Variabel Non-Peraturan- Kondisi sosial ekonomi & teknologi- Perhatian pers terhadap masalah keb- Dukungan publik- Sikap dan sumber daya target group- Dukungan kewenangan- Komitmen dan kemampuan pejabatpelaksana
Proses ImplementasiKeluaran Kebijakandari OrganisasipelaksanaKesesuaian KeluaranKebijakan denganTarget GroupDampak AktualKeluaran KebijakanDampak yangdiperkirakanPerbaikan Peraturan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, digunakan teori kebijakan publik
yang meliputi tahap formulasi hingga implementasi kebijakan dari William N. Dunn, dan Fadilah
Putera serta pakar kebijakan lainnya sebagai teori pendukung yang relevan untuk digunakan
yang mana pada intinya kebijakan pendanaan pendidikan yang berorientasi pada pembangunan
pendidikan disini merupakan suatu keputusan yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah dalam
upaya menyelesaikan permasalahan pendanaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan
yang berkualitas. Kemudian dalam teori Kebijakan Pendidikan yang digunakan pula teori yang
bersumber dari dari Ali Imron serta beberapa teori pendukung lainnya.
2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) adalah “Pola
ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk
keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah” (N. Dunn,
2000:132).
Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah karena
merupakan upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya
menjadi penganjur inovasi dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan
terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang kebijakan publik adalah
pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan program publik
(Kencana, 1999:106).
Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata bijaksana yang artinya: (1) selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan
pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (2) pandai dan ingat-ingat dalam menghadapi kesulitan
(cermat; teliti). Pengertian kebijakan sendiri adalah; (1) kepandaian, kemahiran; (2) rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan dan organisasi); penyertaan cita-cita,
tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu pengertian publik yang berasal dari bahasa Inggris
yang berarti negara atau pemerintah. Serangkaian pengertian tersebut diambil makna bahwa
pengertian kebijakan publik menurut Santosa adalah :
“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:5).
Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan
pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu, dan mereka yang
menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Mewakili kelompok
tersebut Nakamura dan Smallwood dalam bukunya yang berjudul The Politics of Policy
Implementation, melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungannya yaitu :
1. Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),
2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.
Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti kebijakan publik
adalah :
“Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura, 1980:31).
Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai dengan
pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam
bukunya yang berjudul Understanding Public Policy memberikan definisi kebijakan publik
sebagai What ever government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye
mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada
tujuannya. Dan kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan semata-
mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yang tidak
dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai dampak yang sama
besar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan pasti
terkait dengan satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.
Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai suatu kepentingan
yang bersifat publik dimana menurut Schubert Jr. mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu
ternyata paling tidak sedikitnya ada tiga pandangan yaitu :
1. Pandangan rasionalis yang mengatakan kepentingan publik adalah kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.
2. Pandangan idealis mengatakan kepentingan publik itu adalah hal yang luhur, sehingga tidak boleh direka-reka oleh manusia.
3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil kompromi dari pertarungan berbagai kelompok kepentingan.
(Dalam Fadillah, 2001:20-21).
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus merefleksikan pada
kenyataan riil kehidupan politik masyarakat modern, maksudnya masyarakat masyarakat modern
yang ideal adalah masyarakat yang mampu mengorganisir diri mereka sesuai dengan
kepentingan mereka masing-masing.
2.1.1. Pengertian dan Tahap Formulasi Kebijakan
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses
pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila kita
melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan
publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik
yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui banyak persoalan pada tahap
penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah penerapannya dilapangan
dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik. Formulasi
kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara
keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan berhasil
tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu
adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi
kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang
baik adalah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi.
Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang
baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif,
namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu
adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang
fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak
sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas
kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah,
2001:49-50).
Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981)
merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini adalah formulasi
kebijakan sebagai :
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin. 2002:17).
Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses tersebut
untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu
sendiri.
Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada
empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalam formulasi kebijakan publik dimana
sudah dikenal secara umum oleh khalayak kebijakan publik yaitu :
1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik3. Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi dalam Formulasi
Kebijakan Publik(Fadillah, 2001:50-62).
Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat dari
Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18
langkah yang merupakan uraian dari tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan
publik yaitu :
A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):1. Pemrosesan nilai;2. Pemrosesan realitas;3. Pemrosesan masalah;4. Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;6. Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.
B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)1. Sub alokasi sumber daya;2. Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;3. Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;4. Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;5. Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif tersebut diatas,
berikut keuntungan dan kerugiannya;6. Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus
menentukan alternatif mana yang terbaik;
7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah dipilih tersebut diatas.
C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;2. Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah dilakukan;4. Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah dilakukan.
(Dalam Fadillah, 2001:75-76)
Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap
proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus
berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang
berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama
(penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear.
Aplikasi prosedur dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang
secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap yang kemudian
secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya. Aktivitas yang
termasuk dalam aplikasi prosedur analisis kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap tertentu
dari proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap
pembuatan kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam bagan
2.1. terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki proses
pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).
Tabel 2.1.Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan
FASE KARAKTERISTIKPENYUSUNAN AGENDA Para pejabat yang dipilih dan diangkat
menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
FORMULASI Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan
KEBIJAKAN untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
ADOPSI KEBIJAKAN Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
PENILAIAN KEBIJAKAN
Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Sumber : William N. Dunn, 2000:24.
Bagan 2.1. Kedekatan prosedur Analisis Kebijakan dengan Tipe-tipe Pembuatan Kebijakan
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Perumusan masalah
Peramalan
Adopsi Kebijakan
ImplementasiKebijakan
Sumber : William N. Dunn, 2000:25.
Keterangan :
1. Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang
mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses
pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah
dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-
penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-
pandangan yang bertentangan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
2. Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang
masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif,
termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan.
Peramalan dapat menguji masa depan yang potensial, dan secara normatif bernilai
mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-
Penilaian
Rekomendasi
Pemantauan
Penilaian Kebijakan
kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan mengestimasi
kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.
3. Rekomendasi membuahkan pengatahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat
atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya dimasa mendatang telah diestimasikan
melalui peramalan. Ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan.
Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenal
eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan
mentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
4. Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil
kebijakan pada tahap implementasi kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator
kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain.
Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak
diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan
implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap
tahap kebijakan.
5. Evaluasi (Penilaian) membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang
ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diterapkan dengan yang benar-benar
dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan terhadap proses pembuatan
kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh
masalah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-
nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali
masalah.
(Dunn. 2000:26-29).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan / kebijakan menurut Nigro
and Nigro dalam buku karya M. Irfan Islamy yang berjudul Prinsip-prinsip perumusan
Kebijaksanaan Negara adalah sebagai berikut :
a. Adanya pengaruh tekanan dari luarb. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konsevatisme)c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadid. Adanya pengaruh dari kelompok luare. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.(Dalam Islamy, 1986:25-26)
Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap usaha perumusan kebijakan khususnya kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat dimana ternyata pada kenyataannya
proses penentuan keputusan atau kebijakan tersebut kental dengan berbagai macam
pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif.
Sebaliknya kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses pembuatan
keputusan menurut Nigro and Nigro adalah sebagai berikut:
a. Cara berfikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (Assumption that
future will repeat past)c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (Over simplication)d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (Overreliance on
one’sown experience)e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi para pembuat keputusan
(Preconceived nations)f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (Unwillingness to
experiment)g. Keengganaan untuk membuat keputusan (Reluctance to decide).(Dalam Islamy, 1986:25-26).
Kesalahan-kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang sangat fatal sekali khususnya
didalam pembuatan suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama sehingga
semaksimal mungkin kesalahan tersebut harus diminimalisir atau dihilangkan jika tidak ingin
mendapatkan masalah pada tahap pengimplementasian dilapangan yang berdampak pada
citra buruk para penentu kebijakan tersebut sekaligus kebijakan itu sendiri.
2.1.2. Implementasi Kebijakan
2.1.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan serta Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya dalam Implementasi
Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah
sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke
dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu,
ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari
kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun
sebuah kebijakan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai dengan
rencana. Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana (Dalam Solichin,
1997:45). Bahkan Udoji mengatakan dengan tegas bahwa “The execution of policies is
a important if not more important than policy-making. Policy will remain dreams or
blue prints file jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan adalah
sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan
kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang
tersimpan rapih dalam arsip jika tidak diimplementasikan). Oleh karena itu
implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada
semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45).
Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat
baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat
interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses
interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya. Penerapan
merupakan kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam
rangkaian sebab akibat yang menghubungan tindakan dengan tujuan.
Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang mudah
terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk membuat sebuah
kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam
bantuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap klien.
Masalah lainnya adalah kesulitan dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang
dapat menyebabkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik
sebagai konflik.
Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi.
Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Fadillah menyatakan bahwa
implementasi kebijakan adalah :
“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua
tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak
aktualnya.
Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi di Tiga Kota,
Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja
implementasi kebijakan menurut pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van
Meter dan Van Horn yang menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah
menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana
kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat
ketercapaian standar dan sasaran tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja (performance)
merupakan tingkat pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Dalam model
Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yang dapat meningkatkan kejelasan
antara kebijakan dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut adalah standar
dan sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran aktivitas,
karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan
politik, sumber daya, sikap pelaksana (Dalam Keban, 1994:1).
Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan
sasaran kebijakan dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu melangkah dari tingkat
kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan menuju penentuan standar spesifik
dan kongkrit dalam menilai kinerja program. Dengan standar dan sasaran dapat
diketahui seberapa besar keberhasilan program yang telah dicapai.
Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi
Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga faktor yaitu :
1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan”.
(Ripley dan Franklin, 1986:89)
Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai
keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor
mempengaruhi sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.
Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang
dapat menimbulkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:
1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.
2. Informasi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
(Solichin, 1997:19)
Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi
kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, sebab
tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian besar
terletak pada awal perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat
bekerja maksimal dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
2.1.2.2. Model-model Implementasi Kebijakan
Sekalipun dalam khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis kebijakan negara
telah banyak dikembangkan model-model atau teori yang membahas tentang
implementasi kebijakan namun penulis hanya akan membicarakan beberapa model
implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai
pemikiran maupun tulisan para ahli.
Pertama, model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A.
Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali disebut sebagai “The top down approach”,
menurutnya untuk mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna maka
diperlukan beberapa persyaratan tertentu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang andal5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya6. Hubungan saling ketergantungan harus sedikit7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.(Dalam Solichin, 2002:70-78)
Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang
disebut sebagai A model of the policy implementation process (model proses
implementasi kebijakan) dimana dalam teorinya beranjak dari suatu argumen bahwa
perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat
kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu
pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan
prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan pula pendiriannya bahwa
perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam
prosedur-prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha
membuat tipologi kebijakan sebagai berikut :
a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,
b. Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak
yang terlibat dalam proses implementasi
Alasan yang dikemukakannya ini ialah bahwa proses implementasi itu akan
dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa
implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif
sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan --- terutama dari mereka yang
mengoperasikan program dilapangan relatif tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).
Ketiga, model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sbatier
yang disebut A frame work for implementation analisys (kerangka analisis
implementation). Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis
implementasi kebijaksanaan negara ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang
mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses
implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kategori besar, yaitu :
1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan
2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasinya; dan
3. Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi
tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
(Dalam Solichin, 2002:81).
Dari model-model yang disajikan tersebut ada yang relatif abstrak, dan ada pula
yang relatif operasional. Sekalipun demikian peneliti tidak bermaksud untuk menilai
mana yang diantara model-model tersebut yang baik atau paling tepat, sebab
penggunaan model ini untuk keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan
tergantung pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan
analisis itu sendiri. Sebagai pedoman awal barangkali ada baiknya diingat bahwa
semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang
dilakukan, semakin diperlukan teori atau model yang relatif operasional yang mampu
menjelaskan hubungan kausalitas antar yang menjadi fokus analisis.
2.1.3. Pengertian Kebijakan Keuangan Negara
untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui apa arti
negara dan keuangan yang diperlukan oleh negara dalam menjalankan pemerintahan untuk
mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai tujuan tersebut, tergantung pada
bagaimana negara itu manghimpuan dana masyarakat, utamanya pajak guna
menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjalankan roda
pemerintahan, negara perlu dukungan dana yang sangat besar yang bersumber dari
pendapatan negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan dengan perkembangan
kebutuhan negara guna mensejahterakan warga masyarakatnya berkembang menjadi lebih
luas menjadi kebijakan di bidang keuangan negara. Hal-hal yang dikelola oleh pemerintah
disebut sebagai keuangan negara, yang pengertiannya selalu berkembang dan berbeda, baik
menurut tempat negara yang mengelolanya maupun menurut pendapat para ahli diantaranya
menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” (Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian menurut M.
Subagio (1988) adalah :
“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara meliputi menciptakan uang; hak mendatangkan hasil; hak melakukan pungutan; hak meminjam dan hak memaksa. Kewajiban negara meliputi kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat; dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).
Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang dan
barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang. Pakar lainnya Bambang Kusmanto menyatakan :
“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) sudah ada kata sepakat, hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari sumber-sumber dana (Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan (uses of fund) untuk mencapai tujuan (pemerintah) tertentu. Jadi keuangan negara mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).
Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto, amaka unsur-unsur
keuangan negara yang dikemukakan meliputi : kegiatan mencari dana dan kegiatan
menggunakan dana untuk mencapai tujuan pemerintah tertentu.
2.1.3.1. Pengelolaan Keuangan Negara
1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 menempatkan presiden
sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi dibawah MPR. Presiden
memiliki kekuasaan penyelengaraan pemerintahan negara, meliputi apa yang dalam
trias politica disebut kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan pengertian bahwa
kekuasaan legislatif itu dijalankan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Kekuasaan
penyelenggaraan pemerintah itu meliputi didalamnya tiga kekuasaan pengelolaan
keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi (kekuasaan untuk mengambil tindakan
atau keputusan yang dapat mengakibatkan kekayaan negara menjadi bertambah atau
berkurang) yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi umum (berupa peraturan
perundang-undangan) dan otorisasi khusus (menetapkan keputusan yang mengikat
orang ataupihak tertentu yang bersifat umum). Kedua kekuasaan ordonansi
(kekuasaan untuk menerima, meneliti, mengguji keabsahan dan menertibkan surat
perintah menagih atau membayar tagihan yang membebani anggaran penerimaan dan
pengeluaran negara sebagai akibat tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan
kebendaharaan (kekuasaan untuk menerima, menyimpan atau
membayar/mengeluarkan uang atau barang, serta pertanggungjawaban uang atau
barang yang berada dalam pengelolaannya.
2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas peleksanaan kekuasaan pengelolaan kekuangan
negara sesuai dengan sistem pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945, presiden
mendelegasikan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur
pemerintah di pusat dan daerah, BUMN dan BUMD serta pihak lain yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(BPK, 2000:37-40)
2.1.3.2. Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah tertinggi dibawah
MPR adalah presiden, maka konsekuensi tanggung jawab penyelenggaraan seluruh
keuangan negara berada pula ditangan presiden. Telah diketahui bersama bahwa dalam
tubuh pemerintah, selain presiden, terdapat pula para menteri, gubernur, bupati dan
walikota, dan berbagai pejabat yang mempunyai fungsi dan kedudukan tertentu dalam
keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-masing pejabat tersebut memikul
tanggung jawab atas pelaksanaan keuangan negara di bidang tugasnya. Dalam
pengertian pengelolaan keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawaban
yang harus dibuat oleh semua instansi pemerintah maupun pejabat yang melakukan
penglolaan keuangan negara yang meliputi pelaksanaan APBN, APBD, pelaksanaan
anggaran BUMN, BUMD, serta pelaksanaan anggaran yayasan yang didirikan oleh
pemerintah, BUMN dan BUMD atau badan hukum lain dimana terdapat kepentingan
negara atau yang menerima bantuan pemerintah. Laporan pertanggungjawaban tersebut
disampaikan kepada pejabat atau instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pertanggungjawaban diperlukan untuk mengetahui pelaksanaan
program pemerintah, baik program pembangunan maupun kegiatan rutin pelayanan
pemerintah, mengenai tingkat ketaatannya pada peraturan perundang-undangan, serta
mengetahui tingakat kehematan, efisiensi dan efektifitas dari program atau pelayanan
pemerintah. Bentuk tangung jawab keuangan negara pada umum berupa laporan
keuangan yang disajikan secara berkala. Laporan keuangan ini harus disajikan secara
lengkap sepadan dengan luas lingkup keuangan negara yang dilimpahkan oleh MPR
kepada presiden yang meliputi keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN
dan BUMD, hakekatnya mencakup seluruh kekayaan negara. Bentuk tanggung hawab
masing-masing bagian keuangan negara pada dasarnya berupa : laporan realisasi
pelaksanaan anggaran (kinerja keuangan), laporan mutasi kekayaan dari hasil
pelaksanaan anggaran, dan laporan perhitungan anggaran secara rinci. (BPK, 2000:43-
47)
2.2. Kebijakan Pendidikan
2.2.1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
A. Definisi Pendidikan
Bertanya mengenai hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai apakah pendidikan
itu? Walaupun telah sama-sama mengarah pada suatu tujuan tertentu, para ahli masih belum
seragam dalam mendefinisikan istilah pendidikan. Drikarya (1980) mengatakan bahwa
pendidikan itu adalah memanusiakan manusia muda pengangkatan manusia muda ketaraf
mendidik atau menjadi pendidik. Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan adalah :
1. Proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya didalam masyarakat tempat mereka hidup.
2. Proses sosial yang terjadi pada orang yang diharapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.
(Dalam Fattah, 1996:4)
Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam tingkah laku, fikiran, dan
sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Crow and Crow (1980); “Modern educational
theory and practice not only are eimed at preparation for future living but also are operative
in determining the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak
hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang tetapi, juga untuk
kehidupan sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ketingkat
kedewasaannya) (Dalam Fattah, 1996:4-5). Berdasarkan pengertian tersebut dapat
didefinisikan beberapa ciri pendidikan menurut Fattah antara lain :
a. Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup.
b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.
c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal).
(Fattah, 1996:5)
Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia kemanakah
pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu
pengembangan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk
beragama (religius). Dengan demikian, maka dalam proses pendidikan pengedepanan faktor
manusia yang mana diharapkan mempunyai ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan
masyarakat secara sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya (Fattah, 1996:5).
Pendidikan menurut sumber yang terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas adalah :
“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).
Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).
B. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo mengatakan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengubah
tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (hasil perubahan) itu dirumuskan dalam
suatu tujuan pendidikan (educational objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah
suatu deskripsi dari pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, dan sebagainya yang
diharapkan akan memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan
pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yang efisien dan efektif.
Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, agar memudahkan dan
mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka pengembangan kurikulum, tujuan
pendidikan perlu dibedakan berdasarkan tingkatan tujuan pendidikan sesuai dengan ruang
lingkup proses belajar (Notoatmodjo. 2003:41-42). Tujuan pendidikan tersebut sebagai
berikut :
1. Tujuan Pendidikan NasionalTujuan pendidikan ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan masyarakat atau negara tentang ciri-ciri seorang manusia yang dihasilkan oleh proses pendidikan atau manusia yang terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini menggambarkan harapan tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus dihasilkan oleh setiap usaha
pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap lembaga pendidikan harus mengarahkan tujuannya pada tujuan pendidikan nasional.
2. Tujuan InstitusionalTiap tingkat dan jenis lembaga pendidikan, mengembangkan tujuan institusinal. Isi tujuan institusional adalah tingkah laku yang bagaimanakah yang diharapkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Dengan kata lain lembaga pendidikan itu akan menghasilkan manusia-manusia yang diinginkan dengan pengertian bahwa tujuan institusional ini harus mendukung tujuan pendidikan nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yang baik diperlukan criteria-kriteria yaitu jelas, dapat dengan mudah diobservasi, dan realistis.
3. Tujuan Antara (Intermediare Objective)Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan instruksional. Isinya masih agak luas, tapi sudah mengarah pada tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah mengarah pada kurikulum (dalam arti sempit) dari institusi itu maka disebut “tujuan kurikulum” tujuan ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka sering juga disebut tujuan departemen (departement objective).
4. Tujuan InstruksionalTujuan instruksional mempunyai fungsi :a. Membantu para pengajar untuk memilih isi/topik pengajaran yang relevanb. Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara instruksional
maupun kurikulumc. Membantu para pengajar mengarah pada proses pengajarannyad. Mengarahkan dan memberi gambaran pada sasaran tentang apa yang akan
mereka peroleh dari pendidikan/pelatihane. Merupakan indikator untuk evaluasi proses pendidikanf. Merupakan pasangan sasaran dan juga para pengajar untuk bekerja secara
efektif dan efisieng. Membantu para pengajar memilih metode pengajaran yang tepat.
(Notoatmodjo, 2003:41-45)
Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya dibentangkan harapan
tentang tingkat dan jenis perubahan tingkah laku sasaran pendidikan, antara lain perubahan
pengetahuan, sikap dan kemampuan mereka. Sudah tentu bukan sembarang perubahan
tingkah laku, sebagai akibat dari berlengsungnya proses pendidikan. Demikian pula bukan
setiap perubahan tingkah laku dapat dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses pendidikan.
Itulah sebabnya maka harapan perubahan tingkah laku tersebut perlu dirumuskan dahulu
dalam suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah rumusan pada tingkah
laku dan jenis tingkah laku: yang lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan,
kecerdasan sikap, keterampilan yang diharapkan untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan
setelah menyelesaikan program pendidikan (serangkaian proses belajar).
2.2.2. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui pengenalan konsep dasar kebijakan
pendidikan yang meliputi latar belakang perlunya kebijakan pendidikan, batasan kebijakan
pendidikan, kebijakan pendidikan dan kebijakan negara, sistem politik dan kebijakan
pendidikan, tingkat-tingkat kebijakan pendidikan, dan studi mengenai kebijakan pendidikan
(Imron. 1996:1).
Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan penggabungan n dari kata
education dan policy. Kebijakan adalah seperangkat aturannya, sedangkan pendidikan
menunjukan kepada bidangnya. Dengan demikian kebijakan pendidikan tidak terlalu berbeda
dengan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) memberikan
pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) dalam buku karya Ali Imron yang
berjudul Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, yakni :
“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).
Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan sebagai suatu proses, tak terkecuali ketika
melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses dimana pertimbangan-
pertimbangan itu mesti diambil dalam rangka pelaksanaan pendidikan yang bersifat
melembaga.
Dalam melakukan petimbangan, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, ialah
sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor situasionalnya. Dan, pertimbangan yang
mempedomani terhadap sistem nilai dan faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam
melaksanakan pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya.
Pertimbangan tersebut ketika dirumuskan dapat berupa perencanaan umum. Dan,
perencanaan yang bersifat umum ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan-
pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996:18).
Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan kepada level
kebijakan tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, juga menunjuk pada cakupannya, tingkatan
pelaksanaan dan mereka yang terlibat didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :
1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)
2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)
3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)
4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)
Sistem Politik yang berlaku dalam suatu negara senantiasa terkait dengan kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan pendidikan. Letak kaitan tersebut
dapat dilihat pada, bagaimana kebijakan tersebut pada saat dirumuskan, dilegitimasikan,
dikhalayakan, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berbedanya perumusan
kebijakan dinegara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik
yang dianut. Berbedanya pelaksanaan dan evaluasi kebijakan negara, kebijakan pendidikan,
antara negara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik yang
dianut oleh negara-negara tersebut (Imron, 1996:20-25).
2.2.3. Perumusan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan kebijakan
pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan,
implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan partisipasi masyarakat dalam kebijakan
pendidikan dan evaluasi kebijakan pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan
pendidikan meliputi; lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan
pendidikan, masalah dan agenda kebijaksanaan pendidikan, formulasi kebijakan pendidikan
dan problema-problemanya (Imron, 1996:31).
2.2.3.1. Lingkungan dan Aktor Kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan menurut Anderson
adalah “segala hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan pendidikan, pengaruh tersebut bisa besar, kecil, langsung, tidak langsung,
laten, dan jelas” (Imron, 1996:31).
Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan secara berbeda-
beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi (1988) menyebut lingkungan
kebijakan meliputi; kondisi sumber alam, iklim, topografi, demografi, budaya politik,
struktur sosial, dan kondisi ekonomik. Sementara yang dianggap paling berpengaruh
terhadap kebijakan tersebut adalah budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).
Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan negara
disebut sebagai aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini
adalah: partisipan, peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu kebijakan
pendidikan mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional, umum, khusus dan teknis), maka
para aktor perumusan kebijakan disetiap tingkatan-tingkatan tersebut berbeda. Aktor
tersebut yakni: Legislatif, Eksekutif, Administrator, Partai politik, Interest Group,
Organisasi Massa, Peruruan Tinggi, dan Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).
2.2.3.2. Formulasi Kebijakan Pendidikan
Aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan
kebijakan pendidikan baik formal maupun non formal. Kapan suatu perumusan
kebijakan pendidikan dianggap selesai? Suatu kebijakan dianggap final setelah
disahkan oleh peserta perumusan kebijakan formal. Pengesahan tersebut dapat berupa
penerbitan keputusan dan dapat berupa ketetapan. Dapat juga berupa undang-undang,
peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan pemerintah.
Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah
memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan tidak mendiktekan
keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan
kebijakan pendidikan dapat dipergunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang
timbul secara berulang. Hal ini berarti, bahwa waktu, biaya dan tenaga yang telah
banyak dikeluarkan tidak sekedar dipergunakan untuk memecahkan satu masalah atau
satu situasi saja (Imron, 1996:49).
2.2.4. Pengertian, Batasan dan Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada khalayak
kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini, adalah aktualisasi
kebijakan pendidikan yang telah disahkan, bergantung kepada bagaimana pelaksanaannya
dilapangan. Tolak ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya.
Sebaik apapun rumusan kebijakan, jika tidak diimplementasikan, tidak akan dirasakan
gunanya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan,
akan lebih berguna, apapun dan seberapa pun gunanya (Imron, 1996:65).
Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan adalah pengupayaan agar
rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam praktik. Nakamura (1988)
memberikan batasan implementasi kebijakan pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi
masalah dan menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus (Imron,
1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan. Ia
sendiri mendasarkan konsepsi implementasi kebijakan berdasarkan aktifitas fungsional.
“Implementasi kebijakan pendidikan, ia katakan sebagai konsep yang dinamis, memerlukan usaha-usaha yang untuk mencari apa yang akan dan dapat dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang mengarah pada penempatan program kedalam suatu dampak” (Dalam Imron, 1996:65-66).
Tiga aktifitas utama dalam implementasi kebijakan pendidikan ialah interpretasi,
organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi adalah aktifitas menerjemahkan
makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dijalankan. Organisasi adalah
unit atau wadah yang dipergunakan untuk menempatkan program. Sementara aplikasi adalah
konsekuensi yang berupa pemenuhan perlengkapan serta biaya yang dibutuhkan (Imron,
1996:65-66).
Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan (implementasi
kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau
mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah diputuskan didalam praktik. Berarti,
rumusan-rumusan kebijakan yang umumnya abstrak tersebut, baru nyata dan kongkrit setelah
diimplementasikan secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain
mengenai implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa ada kebijakan-kebijakan yang
telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan dengan sendirinya.
“Meskipun banyak pula rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya harus diupayakan; atau tidak secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).
Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron ditentukan oleh
banyak faktor. Faktor tersebut adalah :
1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit dan sulit untuk diimplementasikannya.
2. Bila rumusan masalah kebijakan dan alternatif pemecahan masalah kebijakan yang diajukan dalam rumusan tidak jelas.
3. Faktor sumber-sumber potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan.4. Keahlian pelaksana kebijakan.5. Dukungan dari khalayak sasaran terhadap kebijakan yang diimplementasikan.6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.(Imron, 1996:76-77)
Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam implementasi
kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan pertimbangan utama oleh para penentu
dan pelaksana kebijakan dilapangan.
2.3. Pengertian Pembangunan
Menurut Arief dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga, mengungkapkan bahwa
konsep-konsep pembangunan saat ini telah diperluas yang melibatkan aspek-aspek lingkungan
dan keadilan sosial yang pada dasarnya masih bersifat materialistis. Yang dipersoalkan masih
terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan
karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Kalau kita
renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok. Pertama masalah materi yang
mau dihasilkan dan dibagi. Kedua masalah manusia yang menjadi pengambil inisatif, yang
menjadi manusia pembangunan. Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus
ditujukan pada pembangunan manusia, manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif.
Untuk bisa kreatif manusia tersebut harus merasa bahagia, merasa aman dan bebas dari rasa
takut. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan
memecahkan masalah yang dijumpainya. Pembangunan pada akhirnya merupakan masalah yang
harus didekati secara interdisipliner melalui berbagai disiplin ilmu (Arief, 1996:13-15). Menurut
Soerjono Soekanto, pembangunan merupakan :
“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spritual maupun secara material, yang mencakup seperangkat cita-cita meliputi hal-hal sebagai berikut :1. Pembangunan harus bersifat rasionalistis, haluan yang diambil harus didasarkan pada
fakta, sehingga nantinya merupakan suatu kerangka yang singkron.2. Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan artinya, adanya keinginan
untuk selalu membangun pada ukuran dan haluan yang terkoordinasi secara rasional dalam satu sistem.
3. Peningkatan produktifitas.4. Peningkatan standar kehidupan.5. Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat yang sama dibidang politik,
sosial, ekonomi, dan hukum.6. Pengembangan lembaga-lembaga sosial dan sikap-sikap dalam masyarakat
mencakup; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan dan kecermatan, ketelitian dan kejujuran, bersifat rasional dalam mengambil keputusan, siap menghadapi perubahan, giat dan menggunakan kesempatan yang benar, integritas dan dapat berdiri sendiri, bersikap kooperatif”.
(Soekanto, 2000:454)
Diatas telah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai oleh pembangunan.
Disamping itu juga telah uraikan cita-cita yang terkandung dalam pembangunan itu.
Pembangunan untuk mencapai tujuan tertentu itu, dapat dilakukan melalui cara-cara tertentu.
Pada dasarnya cara melakukan pembangunan adalah sebagai berikut :1 Struktural, mencakup perencanaan, pembentukan dan evaluasi terhadap lembaga-
lembaga sosial, produsernya serta pembangunan secara materil.2 Spiritual, yang mencakup watak dan pendidikan dalam penggunaan cara-cara berfikir
secara ilmiah.(Soekanto, 2000:455)
Cara-cara tersebut diatas dapat ditempuh, oleh karena secara analitis masyarakat terdiri
dari struktur sosial yang mencakup ekonomi, teknologi dan sistem kedudukan serta peranan.
Kecuali itu, juga terdapat sistem pemerintahan yang mengatur distribusi kekuasaan dan
wewenang, serta adanya kebudayaan yang mencakup sistem nilai.
Konsep pembangunan tersebut merupakan upaya pembangunan berwawasan manusia,
dimana menurut The World Commision on Environment and Development (WCED)
dimaksudkan sebagai :
1. Koreksi terhadap pembangunan yang berwawasan lebih pada pertumbuhan ekonomi dan
kurang pada keadilan sosial.
2. Jawaban terhadap kepincangan SDM model negara berkembang dibandingkan dengan model
negara maju.
3. Pembangunan yang berorientasi tidak hanya pada kepentingan manusia saja, malainkan juga
pada hubungan dengan lingkungannya.
(Dalam Ndraha, 1999:20).