kejelasan perumusan tujuan

55
Informasi yang dihasilkan Efisiensi, yakni perbandingan antara hasil dengan biaya Keuntungan, yakni selisih antara hasil dengan biaya Efektif, yakni penilaian pada hasil tanpa memperhitungkan biaya Keadilan, yakni keseimbangan dalam pembagian hasil (manfaat) dan/atau biaya (pengorbanan) Detriment, yakni indikator negatif dalam bidang sosial Manfaat tambahan, yakni tambahan hasil banding biaya atau pengorbanan. KERANGKA PIKIR EVALUASI KEBIJAKAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EVALUASI IMPLEMENTASI EVALUASI DAMPAK OUPUT DAMPAK 1. Model Mater dan Horn 2. Model Grindle 3. Model Sabatier dan Mazmanian 1. Dampak Individual 2. Dampak Organisasional 3. Dampak terhadap Masy. 4. Dampak terhadap Lembaga/Sistem Sosial 5. Respon terhadap Dampak DESAIN STUDI EVALUASI Persamaan dan Perbedaan Evaluasi Implementasi & Evaluasi Dampak Sama-sama melihat apa yang menjadi input dari program dan apa outputnya. Evaluasi implementasi mengamati dampak jangka pendek

Upload: margaretha-sono

Post on 29-Jun-2015

252 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: kejelasan perumusan tujuan

Informasi yang dihasilkan►Efisiensi, yakni perbandingan antara hasil denganbiaya►Keuntungan, yakni selisih antara hasil denganbiaya►Efektif, yakni penilaian pada hasil tanpamemperhitungkan biaya►Keadilan, yakni keseimbangan dalam pembagianhasil (manfaat) dan/atau biaya (pengorbanan)►Detriment, yakni indikator negatif dalam bidangsosial►Manfaat tambahan, yakni tambahan hasil bandingbiaya atau pengorbanan.

KERANGKA PIKIR EVALUASI KEBIJAKANIMPLEMENTASI KEBIJAKANEVALUASI IMPLEMENTASI EVALUASI DAMPAKOUPUTDAMPAK1. Model Mater danHorn2. Model Grindle3. Model Sabatier danMazmanian1. Dampak Individual2. Dampak Organisasional3. Dampak terhadap Masy.4. Dampak terhadapLembaga/Sistem Sosial5. Respon terhadapDampakDESAIN STUDI EVALUASI

Persamaan dan Perbedaan Evaluasi Implementasi& Evaluasi Dampak► Sama-sama melihat apa yang menjadi input dari programdan apa outputnya.► Evaluasi implementasi mengamati dampak jangka pendekatau dampak sementara, evaluasi dampak mencermatidampak tetap atau dampak jangka panjang.► Evaluasi dampak memberikan perhatian yang lebih besarkepada output dan dampak, sedangkan evaluasiimplementasi lebih melihat kepada evaluasi prosespelaksanaannya.► Monitoring ditujukan untuk menjawab tentang apa yang

Page 2: kejelasan perumusan tujuan

terjadi dalam proses pelaksanaan, bagaimana terjadi danmengapa. Sementara evaluasi akhir menjawap persoalantentang perubahan apa yang terjadi.

Model Meter dan Horn►Menurut model ini, suatu kebijakan tentulahmenegaskan standar dan sasaran tertentu yangharus dicapai oleh para pelaksana kebijakan.►Kinerja Kebijakan pada dasarnya merupakanpenilaian atas tingkat ketercapaian standar dansasaran tersebut.►Karena dijadikan sebagai kriteria penilaian, makastandar dan sasaran dirumuskan secara spesifikdan kongkrit.4Standar danSasaranKebijakanSumberDayaKondisi Sosial,ekonomi &politikKomunikasi antarorganisasi danpengukuhanaktifitasKarakteristikOrganisasi danKomunikasi antarorganisasiSikapPelaksanaKinerjaKebijakanModel Implementasi KebijakanMenurut Meter & Horn

► Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya► Kejelasan standar dan sasaran tidak menjaminimplementasi yang efektif apabila tidak dibarengi denganadanya komunikasi antar organisasi dan aktifitaspengukuhan.► Struktur birokrasi pelaksana (karakteristik, norma dan polahubungan yang potensial maupun yang aktual) sangatberpengaruh terhadap keberhasilan implementasi.► Organisasi pelaksana memiliki 6 variabel : (1) kompetensidan jumlah staf. (2) rentang dan derajat pengendalian. (3)dukungan politik yang dimiliki. (4) kekuatan organisasi. (5)derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi. (6)keterkaitan dengfan pembuat kebijakan.► Kondisi sosial, ekonomi dan politik juga berpengaruhterhadap implementasi kebijakan.

Page 3: kejelasan perumusan tujuan

► Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana yangpada akhirnya menentukan seberapa tinggi kinerjakebijakan5

Model Grindle►Implementasi kebijakan ditentukan oleh isikebijakan dan konteks implementasinya.►Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakanditransformasikan menjadi program aksi maupunproyek individual dan biaya telah disediakan, makaimplementasi kebijakan dilakukan.►Tetapi hal ini bisa jadi tidak berjalan mulus,tergantung pada implementability dari program ituyang dapat dilihat dari isi dan kontekskebijakannya.TujuanKebijakanModel ImplementasiKebijakan Menurut GrindleTujuanyang InginDicapaiMengukur KeberhasilanMelaksanakan Kegiatan dipengaruhi :(a) Isi Kebijakan :(a) Kepentingan(b) Tipe Manfaat(c) Derajat Perubahan(d) Letak Pengambilan Keputusan(e) Pelaksana Program(f) Sumber Daya(b) Konteks Implementasi :(a) Kekuasaan, kepentingan, strategi aktor(b) Karakteristik lembaga/penguasa(c) Kepatuhan dan daya tanggapHasil Kebijakan(a) Dampak pada masyarakat,individu dan kelompok(b) Perubahan dan penerimaanoleh masyarakat

Program Aksidan Proyekyang dibiayaiApakah Program yang dijalankansesuai yang direncanakan

6

Model Sabatier & Mazmanian► Implementasi kebijakan merupakan fungsi dari 3 variabel :karakteristik masalah, struktur manajemen program(tercermin dalam peraturan operasionalisasi kebijakan danfaktor di luar peraturan.► Ide dasar Sabatier dan Mazmanian adalah bahwa suatuimplementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasipelaksanaannya mematuhi apa yang telah digariskan olehperaturan (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis) =

Page 4: kejelasan perumusan tujuan

Model Top Down.► Dengan asumsi itu, maka tujuan dan sasaran programharus jelas dan konsisten, karena ini merupakan standarevaluasi dan sarana yang legal bagi birokrat pelaksanauntuk mengerahkan sumber daya.Model Implementasi KebijakanKarakteristik Masalah Menurut Sabatier & MazmanianDaya Dukung Peraturan- Kejelasan tujuan- Teori kausal yang memadai- Sumber Keuanngan yang mencukupi- Integrasi organisasi pelaksana- Diskresi pelaksana- Rekrutmen dari pejabat pelaksana- Akses formal pelaksana ke org. lain

Variabel Non-Peraturan- Kondisi sosial ekonomi & teknologi- Perhatian pers terhadap masalah keb- Dukungan publik- Sikap dan sumber daya target group- Dukungan kewenangan- Komitmen dan kemampuan pejabatpelaksana

Proses ImplementasiKeluaran Kebijakandari OrganisasipelaksanaKesesuaian KeluaranKebijakan denganTarget GroupDampak AktualKeluaran KebijakanDampak yangdiperkirakanPerbaikan Peraturan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, digunakan teori kebijakan publik

yang meliputi tahap formulasi hingga implementasi kebijakan dari William N. Dunn, dan Fadilah

Putera serta pakar kebijakan lainnya sebagai teori pendukung yang relevan untuk digunakan

yang mana pada intinya kebijakan pendanaan pendidikan yang berorientasi pada pembangunan

pendidikan disini merupakan suatu keputusan yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah dalam

upaya menyelesaikan permasalahan pendanaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan

Page 5: kejelasan perumusan tujuan

yang berkualitas. Kemudian dalam teori Kebijakan Pendidikan yang digunakan pula teori yang

bersumber dari dari Ali Imron serta beberapa teori pendukung lainnya.

2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik

Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) adalah “Pola

ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk

keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah” (N. Dunn,

2000:132).

Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah karena

merupakan upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya

menjadi penganjur inovasi dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan

terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang kebijakan publik adalah

pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan program publik

(Kencana, 1999:106).

Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari

kata bijaksana yang artinya: (1) selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan

pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (2) pandai dan ingat-ingat dalam menghadapi kesulitan

(cermat; teliti). Pengertian kebijakan sendiri adalah; (1) kepandaian, kemahiran; (2) rangkaian

konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,

kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan dan organisasi); penyertaan cita-cita,

tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu pengertian publik yang berasal dari bahasa Inggris

yang berarti negara atau pemerintah. Serangkaian pengertian tersebut diambil makna bahwa

pengertian kebijakan publik menurut Santosa adalah :

Page 6: kejelasan perumusan tujuan

“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:5).

Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan

pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu, dan mereka yang

menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Mewakili kelompok

tersebut Nakamura dan Smallwood dalam bukunya yang berjudul The Politics of Policy

Implementation, melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungannya yaitu :

1. Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),

2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan

3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.

Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti kebijakan publik

adalah :

“Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura, 1980:31).

Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai dengan

pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam

bukunya yang berjudul Understanding Public Policy memberikan definisi kebijakan publik

sebagai What ever government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah

untuk dilakukan atau tidak dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye

mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada

tujuannya. Dan kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan semata-

Page 7: kejelasan perumusan tujuan

mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yang tidak

dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai dampak yang sama

besar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan pasti

terkait dengan satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.

Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai suatu kepentingan

yang bersifat publik dimana menurut Schubert Jr. mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu

ternyata paling tidak sedikitnya ada tiga pandangan yaitu :

1. Pandangan rasionalis yang mengatakan kepentingan publik adalah kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.

2. Pandangan idealis mengatakan kepentingan publik itu adalah hal yang luhur, sehingga tidak boleh direka-reka oleh manusia.

3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil kompromi dari pertarungan berbagai kelompok kepentingan.

(Dalam Fadillah, 2001:20-21).

Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus merefleksikan pada

kenyataan riil kehidupan politik masyarakat modern, maksudnya masyarakat masyarakat modern

yang ideal adalah masyarakat yang mampu mengorganisir diri mereka sesuai dengan

kepentingan mereka masing-masing.

2.1.1. Pengertian dan Tahap Formulasi Kebijakan

Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses

pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila kita

melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan

publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik

yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui banyak persoalan pada tahap

penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah penerapannya dilapangan

Page 8: kejelasan perumusan tujuan

dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik. Formulasi

kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara

keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan berhasil

tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu

adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi

kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang

baik adalah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi.

Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang

baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif,

namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu

adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang

fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak

sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas

kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah,

2001:49-50).

Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981)

merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini adalah formulasi

kebijakan sebagai :

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin. 2002:17).

Page 9: kejelasan perumusan tujuan

Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses tersebut

untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu

sendiri.

Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada

empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalam formulasi kebijakan publik dimana

sudah dikenal secara umum oleh khalayak kebijakan publik yaitu :

1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik3. Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi dalam Formulasi

Kebijakan Publik(Fadillah, 2001:50-62).

Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat dari

Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18

langkah yang merupakan uraian dari tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan

publik yaitu :

A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):1. Pemrosesan nilai;2. Pemrosesan realitas;3. Pemrosesan masalah;4. Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;6. Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.

B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)1. Sub alokasi sumber daya;2. Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;3. Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;4. Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;5. Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif tersebut diatas,

berikut keuntungan dan kerugiannya;6. Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus

menentukan alternatif mana yang terbaik;

Page 10: kejelasan perumusan tujuan

7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah dipilih tersebut diatas.

C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;2. Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah dilakukan;4. Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah dilakukan.

(Dalam Fadillah, 2001:75-76)

Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan

mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap

proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus

berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang

berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama

(penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear.

Aplikasi prosedur dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang

secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap yang kemudian

secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya. Aktivitas yang

termasuk dalam aplikasi prosedur analisis kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap tertentu

dari proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap

pembuatan kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam bagan

2.1. terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki proses

pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).

Tabel 2.1.Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan

FASE KARAKTERISTIKPENYUSUNAN AGENDA Para pejabat yang dipilih dan diangkat

menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

FORMULASI Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan

Page 11: kejelasan perumusan tujuan

KEBIJAKAN untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.

ADOPSI KEBIJAKAN Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

PENILAIAN KEBIJAKAN

Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Sumber : William N. Dunn, 2000:24.

Bagan 2.1. Kedekatan prosedur Analisis Kebijakan dengan Tipe-tipe Pembuatan Kebijakan

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Perumusan masalah

Peramalan

Page 12: kejelasan perumusan tujuan

Adopsi Kebijakan

ImplementasiKebijakan

Sumber : William N. Dunn, 2000:25.

Keterangan :

1. Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang

mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses

pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah

dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-

penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-

pandangan yang bertentangan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

2. Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang

masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif,

termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan.

Peramalan dapat menguji masa depan yang potensial, dan secara normatif bernilai

mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-

Penilaian

Rekomendasi

Pemantauan

Penilaian Kebijakan

Page 13: kejelasan perumusan tujuan

kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan mengestimasi

kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.

3. Rekomendasi membuahkan pengatahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat

atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya dimasa mendatang telah diestimasikan

melalui peramalan. Ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan.

Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenal

eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan

mentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.

4. Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil

kebijakan pada tahap implementasi kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator

kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain.

Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak

diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan

implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap

tahap kebijakan.

5. Evaluasi (Penilaian) membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang

ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diterapkan dengan yang benar-benar

dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan terhadap proses pembuatan

kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh

masalah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-

nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali

masalah.

Page 14: kejelasan perumusan tujuan

(Dunn. 2000:26-29).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan / kebijakan menurut Nigro

and Nigro dalam buku karya M. Irfan Islamy yang berjudul Prinsip-prinsip perumusan

Kebijaksanaan Negara adalah sebagai berikut :

a. Adanya pengaruh tekanan dari luarb. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konsevatisme)c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadid. Adanya pengaruh dari kelompok luare. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.(Dalam Islamy, 1986:25-26)

Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap usaha perumusan kebijakan khususnya kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat dimana ternyata pada kenyataannya

proses penentuan keputusan atau kebijakan tersebut kental dengan berbagai macam

pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif.

Sebaliknya kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses pembuatan

keputusan menurut Nigro and Nigro adalah sebagai berikut:

a. Cara berfikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (Assumption that

future will repeat past)c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (Over simplication)d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (Overreliance on

one’sown experience)e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi para pembuat keputusan

(Preconceived nations)f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (Unwillingness to

experiment)g. Keengganaan untuk membuat keputusan (Reluctance to decide).(Dalam Islamy, 1986:25-26).

Kesalahan-kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang sangat fatal sekali khususnya

didalam pembuatan suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama sehingga

semaksimal mungkin kesalahan tersebut harus diminimalisir atau dihilangkan jika tidak ingin

Page 15: kejelasan perumusan tujuan

mendapatkan masalah pada tahap pengimplementasian dilapangan yang berdampak pada

citra buruk para penentu kebijakan tersebut sekaligus kebijakan itu sendiri.

2.1.2. Implementasi Kebijakan

2.1.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan serta Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya dalam Implementasi

Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah

sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke

dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu,

ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari

kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan

merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun

sebuah kebijakan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai dengan

rencana. Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana (Dalam Solichin,

1997:45). Bahkan Udoji mengatakan dengan tegas bahwa “The execution of policies is

a important if not more important than policy-making. Policy will remain dreams or

blue prints file jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan adalah

sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan

kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang

tersimpan rapih dalam arsip jika tidak diimplementasikan). Oleh karena itu

implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada

Page 16: kejelasan perumusan tujuan

semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45).

Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat

baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat

interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses

interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya. Penerapan

merupakan kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam

rangkaian sebab akibat yang menghubungan tindakan dengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang mudah

terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk membuat sebuah

kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam

bantuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap klien.

Masalah lainnya adalah kesulitan dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang

dapat menyebabkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik

sebagai konflik.

Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi.

Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Fadillah menyatakan bahwa

implementasi kebijakan adalah :

“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).

Page 17: kejelasan perumusan tujuan

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua

tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak

aktualnya.

Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi di Tiga Kota,

Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja

implementasi kebijakan menurut pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van

Meter dan Van Horn yang menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah

menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana

kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat

ketercapaian standar dan sasaran tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja (performance)

merupakan tingkat pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Dalam model

Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yang dapat meningkatkan kejelasan

antara kebijakan dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut adalah standar

dan sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran aktivitas,

karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan

politik, sumber daya, sikap pelaksana (Dalam Keban, 1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan

sasaran kebijakan dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu melangkah dari tingkat

kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan menuju penentuan standar spesifik

dan kongkrit dalam menilai kinerja program. Dengan standar dan sasaran dapat

diketahui seberapa besar keberhasilan program yang telah dicapai.

Page 18: kejelasan perumusan tujuan

Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi

Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan

implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga faktor yaitu :

1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.

2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.

3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan”.

(Ripley dan Franklin, 1986:89)

Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai

keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor

mempengaruhi sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.

Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang

dapat menimbulkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:

1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.

2. Informasi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.

(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi

kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, sebab

tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian besar

terletak pada awal perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat

bekerja maksimal dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Page 19: kejelasan perumusan tujuan

2.1.2.2. Model-model Implementasi Kebijakan

Sekalipun dalam khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis kebijakan negara

telah banyak dikembangkan model-model atau teori yang membahas tentang

implementasi kebijakan namun penulis hanya akan membicarakan beberapa model

implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai

pemikiran maupun tulisan para ahli.

Pertama, model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A.

Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali disebut sebagai “The top down approach”,

menurutnya untuk mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna maka

diperlukan beberapa persyaratan tertentu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang andal5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungnya6. Hubungan saling ketergantungan harus sedikit7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.(Dalam Solichin, 2002:70-78)

Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang

disebut sebagai A model of the policy implementation process (model proses

implementasi kebijakan) dimana dalam teorinya beranjak dari suatu argumen bahwa

perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat

Page 20: kejelasan perumusan tujuan

kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu

pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan

implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan

prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan pula pendiriannya bahwa

perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam

prosedur-prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha

membuat tipologi kebijakan sebagai berikut :

a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,

b. Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak

yang terlibat dalam proses implementasi

Alasan yang dikemukakannya ini ialah bahwa proses implementasi itu akan

dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa

implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif

sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan --- terutama dari mereka yang

mengoperasikan program dilapangan relatif tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).

Ketiga, model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sbatier

yang disebut A frame work for implementation analisys (kerangka analisis

implementation). Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis

implementasi kebijaksanaan negara ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang

mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses

implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga

kategori besar, yaitu :

1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan

Page 21: kejelasan perumusan tujuan

2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses

implementasinya; dan

3. Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi

tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.

(Dalam Solichin, 2002:81).

Dari model-model yang disajikan tersebut ada yang relatif abstrak, dan ada pula

yang relatif operasional. Sekalipun demikian peneliti tidak bermaksud untuk menilai

mana yang diantara model-model tersebut yang baik atau paling tepat, sebab

penggunaan model ini untuk keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan

tergantung pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan

analisis itu sendiri. Sebagai pedoman awal barangkali ada baiknya diingat bahwa

semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang

dilakukan, semakin diperlukan teori atau model yang relatif operasional yang mampu

menjelaskan hubungan kausalitas antar yang menjadi fokus analisis.

2.1.3. Pengertian Kebijakan Keuangan Negara

untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui apa arti

negara dan keuangan yang diperlukan oleh negara dalam menjalankan pemerintahan untuk

mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai tujuan tersebut, tergantung pada

bagaimana negara itu manghimpuan dana masyarakat, utamanya pajak guna

menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjalankan roda

pemerintahan, negara perlu dukungan dana yang sangat besar yang bersumber dari

pendapatan negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan dengan perkembangan

Page 22: kejelasan perumusan tujuan

kebutuhan negara guna mensejahterakan warga masyarakatnya berkembang menjadi lebih

luas menjadi kebijakan di bidang keuangan negara. Hal-hal yang dikelola oleh pemerintah

disebut sebagai keuangan negara, yang pengertiannya selalu berkembang dan berbeda, baik

menurut tempat negara yang mengelolanya maupun menurut pendapat para ahli diantaranya

menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan, serta segala sesuatu

baik berupa uang maupun berupa barang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” (Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian menurut M.

Subagio (1988) adalah :

“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara meliputi menciptakan uang; hak mendatangkan hasil; hak melakukan pungutan; hak meminjam dan hak memaksa. Kewajiban negara meliputi kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat; dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).

Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang dan

barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang. Pakar lainnya Bambang Kusmanto menyatakan :

“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) sudah ada kata sepakat, hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari sumber-sumber dana (Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan (uses of fund) untuk mencapai tujuan (pemerintah) tertentu. Jadi keuangan negara mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).

Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto, amaka unsur-unsur

keuangan negara yang dikemukakan meliputi : kegiatan mencari dana dan kegiatan

menggunakan dana untuk mencapai tujuan pemerintah tertentu.

Page 23: kejelasan perumusan tujuan

2.1.3.1. Pengelolaan Keuangan Negara

1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara

Sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 menempatkan presiden

sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi dibawah MPR. Presiden

memiliki kekuasaan penyelengaraan pemerintahan negara, meliputi apa yang dalam

trias politica disebut kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan pengertian bahwa

kekuasaan legislatif itu dijalankan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Kekuasaan

penyelenggaraan pemerintah itu meliputi didalamnya tiga kekuasaan pengelolaan

keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi (kekuasaan untuk mengambil tindakan

atau keputusan yang dapat mengakibatkan kekayaan negara menjadi bertambah atau

berkurang) yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi umum (berupa peraturan

perundang-undangan) dan otorisasi khusus (menetapkan keputusan yang mengikat

orang ataupihak tertentu yang bersifat umum). Kedua kekuasaan ordonansi

(kekuasaan untuk menerima, meneliti, mengguji keabsahan dan menertibkan surat

perintah menagih atau membayar tagihan yang membebani anggaran penerimaan dan

pengeluaran negara sebagai akibat tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan

kebendaharaan (kekuasaan untuk menerima, menyimpan atau

membayar/mengeluarkan uang atau barang, serta pertanggungjawaban uang atau

barang yang berada dalam pengelolaannya.

2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam rangka efisiensi dan efektifitas peleksanaan kekuasaan pengelolaan kekuangan

negara sesuai dengan sistem pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945, presiden

Page 24: kejelasan perumusan tujuan

mendelegasikan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur

pemerintah di pusat dan daerah, BUMN dan BUMD serta pihak lain yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan.

(BPK, 2000:37-40)

2.1.3.2. Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah tertinggi dibawah

MPR adalah presiden, maka konsekuensi tanggung jawab penyelenggaraan seluruh

keuangan negara berada pula ditangan presiden. Telah diketahui bersama bahwa dalam

tubuh pemerintah, selain presiden, terdapat pula para menteri, gubernur, bupati dan

walikota, dan berbagai pejabat yang mempunyai fungsi dan kedudukan tertentu dalam

keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-masing pejabat tersebut memikul

tanggung jawab atas pelaksanaan keuangan negara di bidang tugasnya. Dalam

pengertian pengelolaan keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawaban

yang harus dibuat oleh semua instansi pemerintah maupun pejabat yang melakukan

penglolaan keuangan negara yang meliputi pelaksanaan APBN, APBD, pelaksanaan

anggaran BUMN, BUMD, serta pelaksanaan anggaran yayasan yang didirikan oleh

pemerintah, BUMN dan BUMD atau badan hukum lain dimana terdapat kepentingan

negara atau yang menerima bantuan pemerintah. Laporan pertanggungjawaban tersebut

disampaikan kepada pejabat atau instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Pertanggungjawaban diperlukan untuk mengetahui pelaksanaan

program pemerintah, baik program pembangunan maupun kegiatan rutin pelayanan

pemerintah, mengenai tingkat ketaatannya pada peraturan perundang-undangan, serta

Page 25: kejelasan perumusan tujuan

mengetahui tingakat kehematan, efisiensi dan efektifitas dari program atau pelayanan

pemerintah. Bentuk tangung jawab keuangan negara pada umum berupa laporan

keuangan yang disajikan secara berkala. Laporan keuangan ini harus disajikan secara

lengkap sepadan dengan luas lingkup keuangan negara yang dilimpahkan oleh MPR

kepada presiden yang meliputi keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN

dan BUMD, hakekatnya mencakup seluruh kekayaan negara. Bentuk tanggung hawab

masing-masing bagian keuangan negara pada dasarnya berupa : laporan realisasi

pelaksanaan anggaran (kinerja keuangan), laporan mutasi kekayaan dari hasil

pelaksanaan anggaran, dan laporan perhitungan anggaran secara rinci. (BPK, 2000:43-

47)

2.2. Kebijakan Pendidikan

2.2.1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan

A. Definisi Pendidikan

Bertanya mengenai hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai apakah pendidikan

itu? Walaupun telah sama-sama mengarah pada suatu tujuan tertentu, para ahli masih belum

seragam dalam mendefinisikan istilah pendidikan. Drikarya (1980) mengatakan bahwa

pendidikan itu adalah memanusiakan manusia muda pengangkatan manusia muda ketaraf

mendidik atau menjadi pendidik. Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan adalah :

1. Proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya didalam masyarakat tempat mereka hidup.

2. Proses sosial yang terjadi pada orang yang diharapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.

(Dalam Fattah, 1996:4)

Page 26: kejelasan perumusan tujuan

Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk menghasilkan

perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam tingkah laku, fikiran, dan

sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Crow and Crow (1980); “Modern educational

theory and practice not only are eimed at preparation for future living but also are operative

in determining the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak

hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang tetapi, juga untuk

kehidupan sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ketingkat

kedewasaannya) (Dalam Fattah, 1996:4-5). Berdasarkan pengertian tersebut dapat

didefinisikan beberapa ciri pendidikan menurut Fattah antara lain :

a. Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup.

b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.

c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal).

(Fattah, 1996:5)

Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia kemanakah

pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu

pengembangan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk

beragama (religius). Dengan demikian, maka dalam proses pendidikan pengedepanan faktor

manusia yang mana diharapkan mempunyai ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan

masyarakat secara sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya (Fattah, 1996:5).

Pendidikan menurut sumber yang terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun

2003 tentang Sisdiknas adalah :

“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta

Page 27: kejelasan perumusan tujuan

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).

Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).

B. Tujuan Pendidikan

Notoarmodjo mengatakan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengubah

tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (hasil perubahan) itu dirumuskan dalam

suatu tujuan pendidikan (educational objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah

suatu deskripsi dari pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, dan sebagainya yang

diharapkan akan memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan

pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yang efisien dan efektif.

Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, agar memudahkan dan

mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka pengembangan kurikulum, tujuan

pendidikan perlu dibedakan berdasarkan tingkatan tujuan pendidikan sesuai dengan ruang

lingkup proses belajar (Notoatmodjo. 2003:41-42). Tujuan pendidikan tersebut sebagai

berikut :

1. Tujuan Pendidikan NasionalTujuan pendidikan ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan masyarakat atau negara tentang ciri-ciri seorang manusia yang dihasilkan oleh proses pendidikan atau manusia yang terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini menggambarkan harapan tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus dihasilkan oleh setiap usaha

Page 28: kejelasan perumusan tujuan

pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap lembaga pendidikan harus mengarahkan tujuannya pada tujuan pendidikan nasional.

2. Tujuan InstitusionalTiap tingkat dan jenis lembaga pendidikan, mengembangkan tujuan institusinal. Isi tujuan institusional adalah tingkah laku yang bagaimanakah yang diharapkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Dengan kata lain lembaga pendidikan itu akan menghasilkan manusia-manusia yang diinginkan dengan pengertian bahwa tujuan institusional ini harus mendukung tujuan pendidikan nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yang baik diperlukan criteria-kriteria yaitu jelas, dapat dengan mudah diobservasi, dan realistis.

3. Tujuan Antara (Intermediare Objective)Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan instruksional. Isinya masih agak luas, tapi sudah mengarah pada tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah mengarah pada kurikulum (dalam arti sempit) dari institusi itu maka disebut “tujuan kurikulum” tujuan ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka sering juga disebut tujuan departemen (departement objective).

4. Tujuan InstruksionalTujuan instruksional mempunyai fungsi :a. Membantu para pengajar untuk memilih isi/topik pengajaran yang relevanb. Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara instruksional

maupun kurikulumc. Membantu para pengajar mengarah pada proses pengajarannyad. Mengarahkan dan memberi gambaran pada sasaran tentang apa yang akan

mereka peroleh dari pendidikan/pelatihane. Merupakan indikator untuk evaluasi proses pendidikanf. Merupakan pasangan sasaran dan juga para pengajar untuk bekerja secara

efektif dan efisieng. Membantu para pengajar memilih metode pengajaran yang tepat.

(Notoatmodjo, 2003:41-45)

Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya dibentangkan harapan

tentang tingkat dan jenis perubahan tingkah laku sasaran pendidikan, antara lain perubahan

pengetahuan, sikap dan kemampuan mereka. Sudah tentu bukan sembarang perubahan

tingkah laku, sebagai akibat dari berlengsungnya proses pendidikan. Demikian pula bukan

setiap perubahan tingkah laku dapat dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses pendidikan.

Itulah sebabnya maka harapan perubahan tingkah laku tersebut perlu dirumuskan dahulu

dalam suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah rumusan pada tingkah

laku dan jenis tingkah laku: yang lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan,

Page 29: kejelasan perumusan tujuan

kecerdasan sikap, keterampilan yang diharapkan untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan

setelah menyelesaikan program pendidikan (serangkaian proses belajar).

2.2.2. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui pengenalan konsep dasar kebijakan

pendidikan yang meliputi latar belakang perlunya kebijakan pendidikan, batasan kebijakan

pendidikan, kebijakan pendidikan dan kebijakan negara, sistem politik dan kebijakan

pendidikan, tingkat-tingkat kebijakan pendidikan, dan studi mengenai kebijakan pendidikan

(Imron. 1996:1).

Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan penggabungan n dari kata

education dan policy. Kebijakan adalah seperangkat aturannya, sedangkan pendidikan

menunjukan kepada bidangnya. Dengan demikian kebijakan pendidikan tidak terlalu berbeda

dengan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) memberikan

pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) dalam buku karya Ali Imron yang

berjudul Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, yakni :

“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).

Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan sebagai suatu proses, tak terkecuali ketika

melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses dimana pertimbangan-

Page 30: kejelasan perumusan tujuan

pertimbangan itu mesti diambil dalam rangka pelaksanaan pendidikan yang bersifat

melembaga.

Dalam melakukan petimbangan, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, ialah

sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor situasionalnya. Dan, pertimbangan yang

mempedomani terhadap sistem nilai dan faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam

melaksanakan pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya.

Pertimbangan tersebut ketika dirumuskan dapat berupa perencanaan umum. Dan,

perencanaan yang bersifat umum ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan-

pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996:18).

Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan kepada level

kebijakan tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, juga menunjuk pada cakupannya, tingkatan

pelaksanaan dan mereka yang terlibat didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :

1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)

2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)

3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)

4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)

Sistem Politik yang berlaku dalam suatu negara senantiasa terkait dengan kebijakan-

kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan pendidikan. Letak kaitan tersebut

dapat dilihat pada, bagaimana kebijakan tersebut pada saat dirumuskan, dilegitimasikan,

dikhalayakan, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berbedanya perumusan

kebijakan dinegara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik

yang dianut. Berbedanya pelaksanaan dan evaluasi kebijakan negara, kebijakan pendidikan,

Page 31: kejelasan perumusan tujuan

antara negara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik yang

dianut oleh negara-negara tersebut (Imron, 1996:20-25).

2.2.3. Perumusan Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan kebijakan

pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan,

implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan partisipasi masyarakat dalam kebijakan

pendidikan dan evaluasi kebijakan pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan

pendidikan meliputi; lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan

pendidikan, masalah dan agenda kebijaksanaan pendidikan, formulasi kebijakan pendidikan

dan problema-problemanya (Imron, 1996:31).

2.2.3.1. Lingkungan dan Aktor Kebijakan Pendidikan

Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan menurut Anderson

adalah “segala hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap

kebijakan pendidikan, pengaruh tersebut bisa besar, kecil, langsung, tidak langsung,

laten, dan jelas” (Imron, 1996:31).

Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan secara berbeda-

beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi (1988) menyebut lingkungan

kebijakan meliputi; kondisi sumber alam, iklim, topografi, demografi, budaya politik,

struktur sosial, dan kondisi ekonomik. Sementara yang dianggap paling berpengaruh

terhadap kebijakan tersebut adalah budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).

Page 32: kejelasan perumusan tujuan

Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan negara

disebut sebagai aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini

adalah: partisipan, peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu kebijakan

pendidikan mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional, umum, khusus dan teknis), maka

para aktor perumusan kebijakan disetiap tingkatan-tingkatan tersebut berbeda. Aktor

tersebut yakni: Legislatif, Eksekutif, Administrator, Partai politik, Interest Group,

Organisasi Massa, Peruruan Tinggi, dan Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).

2.2.3.2. Formulasi Kebijakan Pendidikan

Aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan

kebijakan pendidikan baik formal maupun non formal. Kapan suatu perumusan

kebijakan pendidikan dianggap selesai? Suatu kebijakan dianggap final setelah

disahkan oleh peserta perumusan kebijakan formal. Pengesahan tersebut dapat berupa

penerbitan keputusan dan dapat berupa ketetapan. Dapat juga berupa undang-undang,

peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan pemerintah.

Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah

memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan tidak mendiktekan

keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan

kebijakan pendidikan dapat dipergunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang

timbul secara berulang. Hal ini berarti, bahwa waktu, biaya dan tenaga yang telah

banyak dikeluarkan tidak sekedar dipergunakan untuk memecahkan satu masalah atau

satu situasi saja (Imron, 1996:49).

Page 33: kejelasan perumusan tujuan

2.2.4. Pengertian, Batasan dan Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan

Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada khalayak

kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini, adalah aktualisasi

kebijakan pendidikan yang telah disahkan, bergantung kepada bagaimana pelaksanaannya

dilapangan. Tolak ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya.

Sebaik apapun rumusan kebijakan, jika tidak diimplementasikan, tidak akan dirasakan

gunanya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan,

akan lebih berguna, apapun dan seberapa pun gunanya (Imron, 1996:65).

Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan adalah pengupayaan agar

rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam praktik. Nakamura (1988)

memberikan batasan implementasi kebijakan pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi

masalah dan menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus (Imron,

1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan. Ia

sendiri mendasarkan konsepsi implementasi kebijakan berdasarkan aktifitas fungsional.

“Implementasi kebijakan pendidikan, ia katakan sebagai konsep yang dinamis, memerlukan usaha-usaha yang untuk mencari apa yang akan dan dapat dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang mengarah pada penempatan program kedalam suatu dampak” (Dalam Imron, 1996:65-66).

Tiga aktifitas utama dalam implementasi kebijakan pendidikan ialah interpretasi,

organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi adalah aktifitas menerjemahkan

makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dijalankan. Organisasi adalah

unit atau wadah yang dipergunakan untuk menempatkan program. Sementara aplikasi adalah

konsekuensi yang berupa pemenuhan perlengkapan serta biaya yang dibutuhkan (Imron,

1996:65-66).

Page 34: kejelasan perumusan tujuan

Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan (implementasi

kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau

mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah diputuskan didalam praktik. Berarti,

rumusan-rumusan kebijakan yang umumnya abstrak tersebut, baru nyata dan kongkrit setelah

diimplementasikan secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain

mengenai implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa ada kebijakan-kebijakan yang

telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan dengan sendirinya.

“Meskipun banyak pula rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya harus diupayakan; atau tidak secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).

Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron ditentukan oleh

banyak faktor. Faktor tersebut adalah :

1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit dan sulit untuk diimplementasikannya.

2. Bila rumusan masalah kebijakan dan alternatif pemecahan masalah kebijakan yang diajukan dalam rumusan tidak jelas.

3. Faktor sumber-sumber potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan.4. Keahlian pelaksana kebijakan.5. Dukungan dari khalayak sasaran terhadap kebijakan yang diimplementasikan.6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.(Imron, 1996:76-77)

Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam implementasi

kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan pertimbangan utama oleh para penentu

dan pelaksana kebijakan dilapangan.

2.3. Pengertian Pembangunan

Page 35: kejelasan perumusan tujuan

Menurut Arief dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga, mengungkapkan bahwa

konsep-konsep pembangunan saat ini telah diperluas yang melibatkan aspek-aspek lingkungan

dan keadilan sosial yang pada dasarnya masih bersifat materialistis. Yang dipersoalkan masih

terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan

karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Kalau kita

renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok. Pertama masalah materi yang

mau dihasilkan dan dibagi. Kedua masalah manusia yang menjadi pengambil inisatif, yang

menjadi manusia pembangunan. Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus

ditujukan pada pembangunan manusia, manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif.

Untuk bisa kreatif manusia tersebut harus merasa bahagia, merasa aman dan bebas dari rasa

takut. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan

memecahkan masalah yang dijumpainya. Pembangunan pada akhirnya merupakan masalah yang

harus didekati secara interdisipliner melalui berbagai disiplin ilmu (Arief, 1996:13-15). Menurut

Soerjono Soekanto, pembangunan merupakan :

“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spritual maupun secara material, yang mencakup seperangkat cita-cita meliputi hal-hal sebagai berikut :1. Pembangunan harus bersifat rasionalistis, haluan yang diambil harus didasarkan pada

fakta, sehingga nantinya merupakan suatu kerangka yang singkron.2. Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan artinya, adanya keinginan

untuk selalu membangun pada ukuran dan haluan yang terkoordinasi secara rasional dalam satu sistem.

3. Peningkatan produktifitas.4. Peningkatan standar kehidupan.5. Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat yang sama dibidang politik,

sosial, ekonomi, dan hukum.6. Pengembangan lembaga-lembaga sosial dan sikap-sikap dalam masyarakat

mencakup; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan dan kecermatan, ketelitian dan kejujuran, bersifat rasional dalam mengambil keputusan, siap menghadapi perubahan, giat dan menggunakan kesempatan yang benar, integritas dan dapat berdiri sendiri, bersikap kooperatif”.

Page 36: kejelasan perumusan tujuan

(Soekanto, 2000:454)

Diatas telah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai oleh pembangunan.

Disamping itu juga telah uraikan cita-cita yang terkandung dalam pembangunan itu.

Pembangunan untuk mencapai tujuan tertentu itu, dapat dilakukan melalui cara-cara tertentu.

Pada dasarnya cara melakukan pembangunan adalah sebagai berikut :1 Struktural, mencakup perencanaan, pembentukan dan evaluasi terhadap lembaga-

lembaga sosial, produsernya serta pembangunan secara materil.2 Spiritual, yang mencakup watak dan pendidikan dalam penggunaan cara-cara berfikir

secara ilmiah.(Soekanto, 2000:455)

Cara-cara tersebut diatas dapat ditempuh, oleh karena secara analitis masyarakat terdiri

dari struktur sosial yang mencakup ekonomi, teknologi dan sistem kedudukan serta peranan.

Kecuali itu, juga terdapat sistem pemerintahan yang mengatur distribusi kekuasaan dan

wewenang, serta adanya kebudayaan yang mencakup sistem nilai.

Konsep pembangunan tersebut merupakan upaya pembangunan berwawasan manusia,

dimana menurut The World Commision on Environment and Development (WCED)

dimaksudkan sebagai :

1. Koreksi terhadap pembangunan yang berwawasan lebih pada pertumbuhan ekonomi dan

kurang pada keadilan sosial.

2. Jawaban terhadap kepincangan SDM model negara berkembang dibandingkan dengan model

negara maju.

3. Pembangunan yang berorientasi tidak hanya pada kepentingan manusia saja, malainkan juga

pada hubungan dengan lingkungannya.

(Dalam Ndraha, 1999:20).