kejadian luar biasa (wahidatul laenis.)

31
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) Disusun Oleh : WAHIDATUL LAENI SA’ADAH P07131011 047 Kejadian Luar Biasa (KLB)

Upload: erma-sukses

Post on 02-Aug-2015

180 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

KEJADIAN LUAR BIASA

(KLB)

Disusun Oleh :

WAHIDATUL LAENI SA’ADAH

P07131011 047

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

Kejadian Luar Biasa (KLB)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM

JURUSAN GIZI

TAHUN 2012

Page 2: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia

untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit.

Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau

meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada

suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91,

tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan

itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:

Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal

Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu

berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)

Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan

periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).

Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih

bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.

Pelacakan KLB Gizi, adalah kegiatan penelusuran secara langsung (investigasi)

setiap Balita dengan tanda-tanda diatas untuk menentukan tindakan yang cepat dan tepat. 

TUJUAN PELACAKAN

Menentukan besarnya masalah. 

Mencari penyebab. 

Menyusun tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat. 

SUMBER INFORMASI

Masyarakat, meliputi: Keluarga, Pengurus RT, Tokoh Masyarakat, praktek yankes

swasta dll. 

Kader, meliputi ditemukan anak dengan 3 kali berat badan tidak naik (3T) dan bawah

garis merah (BGM) dalam KMS 

Laporan dari petugas atau tempat Pelayanan Kesehatan, meliputi: Puskesmas, RS,

Institusi Kesehatan lainnya.

 Pejabat atau petugas lintas sektor yang lain. 

Wartawan, LSM yang lain.

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 3: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

GIZI BURUK

Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh jajaran kesehatan

dan kedokteran, khususnya kalangan petugas gizi. Masyarakat dan media massa lebih

menyukai istilah “busung lapar” meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang

tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang

karbohidrat, tetapi “lapar” banyak zat gizi lainnya.

Gizi buruk atau lebih dikenal dengan gizi di bawah garis merah adalah keadaan kurang

gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan

sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk

secara garis besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (RI

dan WHO, Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001 – 2005, Jakarta, Agustus 2000).

Masyarakat umum lebih mengenalnya dengan nama busung lapar.

Tanda dan gejala dari gizi buruk tergantung dari jenis nutrisi yang mengalami

defisiensi. Walaupun demikian, gejala umum dari gizi buruk adalah :

1. Kelelahan dan kekurangan energi

2. Pusing

3. Sistem kekebalan tubuh yang rendah (yang mengakibatkan tubuh kesulitan untuk melawan

infeksi)

4. Kulit yang kering dan bersisik

5. Gusi bengkak dan berdarah

6. Gigi yang membusuk

7. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat

8. Berat badan kurang

9. Pertumbuhan yang lambat

10. Kelemahan pada otot

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 4: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

11. Perut kembung

12. Tulang yang mudah patah

13. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh

Gejala Klinis dari Marasmus 

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari marasmus adalah :

1. Wajah seperti orang tua

2. Cengen dan Rewel

3. Sering disertai: peny. infeksi (diare, umumnya kronis berulang, TBC)

4. Tampak sangat kurus (tulang terbungkus kulit)

5. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (~pakai celana

longgar-baggy pants)

6. Perut cekung

7. Iga gambang

Gejala Klinis  Kwashiorkor

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 5: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari kwashiorkor adalah :

1. Rambut tipis, merah spt warna

2. Edema (pd kedua punggung kaki,  bisa seluruh tubuh)

3. rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok

4. Kelainan kulit (dermatosis)

5. Wajah membulat dan sembab

6. Pandangan mata sayu

7. Pembesaran hati

8. Sering disertai: peny. infeksi akut,  diare, ISPA dll

9. Apatis & rewel

10. Otot mengecil (hipotrofi),

Gejala Klinis Marasmus-Kwashiorkor

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 6: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari Marasmus-kwashiorkor   pada

dasarnya adalah campuran dari  gejala marasmus dan kwashiorkor, cirri khas yang dapat

terlihat secara klinis yakni :

1. Beberapa gejala klinik marasmus,  terlihat sangat buruk dalam hal Berat Badan

(BB/U)  berada dibawah < -3 SD dan bila di konfirmasi dengan BB/TB  dikategorikan

sangat kurus: BB/TB < – 3 SD).

2. Kwashiorkorm secara klinis terlihat disertai edema yang  tidak mencolok pada kedua

punggung kaki

Anak-anak gizi buruk dengan tanda-tanda klinis ini dapat di deteksi keKurangan

Energi Proteinnya  melalui :

1. Penimbangan bulanan di Posyandu termasuk upaya-upaya kejar timbangnya

2. Surveilens gizi/KLB Gizi Buruk

3. Manajemen Terpadu Balita Sakit

4. Poliklinik KIA/Tumbuh Kembang

Tidak jarang hasil deteksi Gizi Buruk  pada anak dikarenakan telah terjadi gagal

pertumbuhan yang penyebabnya hanya karena kurang perhatian dan pedulinya orang tua

terhadap tumbuh-kembang sang anak. Dari hasil penelitian ahli tumbuh kembang anak, ada

empat alasan mengapa terjadi gagal pertumbuhan yaitu

1. Bayi tidak cukup mendapat makanan, khususnya makanan pendamping

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 7: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

2. Anak-anak memerlukan kata-kata lembut dan sentuhan-sentuhan penuh kasih sayang

yang dapat merangsang peningkatan hormon pertumbuhan dan daya tahan tubuh.

3. Bayi bertambah aktif ketika mulai belajar berjalan.  Kebutuhan makanan perlu

ditambah, namun banyak ibu tidak memberikan tambahan. Output tidak sesuai dengan

input

4. Penyakit dan infeksi mempengaruhi penggunaan zat gizi dalam makanan. Selain itu

,juga menyebabkan nafsu makan berkurang sehingga zat makanan yang masuk dalam

tubuh sedikit.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, gizi buruk dapat terjadi apabila tubuh tidak

mendapatkan cukup makanan dan nutrisi, seperti pada kasus kelaparan. Defisiensi satu jenis

vitamin pun dapat di kategorikan sebagai gizi buruk. Pada beberapa kasus gizi buruk dapat

menunjukkan gejala yang sangat ringan atau bahkan tanpa gejala. Tetapi pada kasus lain yang

berat gizi buruk dapat mengakibatkan kerusakan organ tubuh yang tetap walaupun telah

diselamatkan.

Fenomena busung lapar merupakan sesuatu yang menarik karena sekilas kita tidak

mengalami masalah tersebut tetapi tiba-tiba ada berita yang menggemparkan tentang kejadian

gizi buruk. Hal tersebut dapat terjadi karena fenomena busung lapar seperti fenomena gunung

es yaitu di mana kasus yang muncul ke permukaan hanya sedikit tetapi sebenarnya kasus

yang terjadi di masyarakat sangat banyak.

Sebagian masyarakat masih memandang bahwa gizi buruk merupakan aib atau

menimbulkan rasa malu atau dapat juga terjadi karena masyarakat memandang karena faktor

keturunan keluarga yang kecil-kecil sehingga tidak membahayakan. Selain itu luasnya

wilayah serta kesulitan petugas untuk melakukan screening merupakan juga hambatan

sehingga data yang didapatkan kadang kurang valid. Ada berbagai permasalah atau penyebab

masalah gizi buruk menurut UNICEF (1990) antara lain disebabkan oleh :

Penyebab langsung ; Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi

kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi

juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada

akhirnya dapat menderita gizi kurang atau bahkan gizi buruk. Termasuk pula anak yang tidak

memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah

terserang penyakit. Penyebab tidak langsung ; Ada berbagai penyebab tidak langsung yang

menyebabkan gizi kurang yaitu : 1) Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai.

Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 8: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun mutu gizinya. Namun kemiskinan

kadang menjadikan hambatan dalam penyediaan pangan bagi keluarga. 2) Pola pengasuhan

anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu,

perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik,

mental dan sosial. Di masa modern ini pengasuhan anak kadang kita serahkan kepada

pembantu yang belum tentu tahu perkembangan dan kebutuhan makan anak. 3) Pelayanan

kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan

dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau

oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Berbagai kesulitan air bersih dan akses sarana

pelayanan kesehatan menyebabkan kurangnya jaminan bagi keluarga.

Penanganan balita gizi buruk di rumah sakit bukan merupakan satu-satunya jalan keluar

dalam mencegah dan menangani kejadian gizi buruk. Begitu juga dengan pemberian

makanan tambahan (PMT) secara sporadis dan dalam waktu yang singkat atau kurang dari 3

bulan. karena tidak ada jaminan setelah itu anak tidak akan jatuh dalam kondisi gizi buruk

lagi. Bila dilihat lebih seksama kasus yang ada, bahwa masalah ini bukan semata-mata

tanggung jawab Dinas Kesehatan karena sebab masalah ini multi faktor dengan pokok

masalah di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan keluarga dan masyarakat serta

kurang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat.

Salah satu sasaran prioritas yang dipilih dalam strategi utama menggerakkan dan

memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat adalah menjadikan seluruh keluarga sadar gizi

(kadarzi) dan seluruh desa menjadi Desa Siaga. Kadarzi adalah suat keluarga yang mampu

mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya.

Suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan

minimal dengan: 1) menimbang berat badan secara teratur, 2) memberikan Air Susu Ibu

(ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif), 3) makan beraneka

ragam, 4) menggunakan garam beryodium, 5) minum suplemen gizi (Tablet Tambah

Darah/TTD, Kapsul Vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran.

Desa Siaga merupakan desa dengan kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk

mencegah dan mengatasi masalah kesehatan khususnya masalah gizi secara mandiri sehingga

tercapai masyarakat yang sehat, peduli dan tanggap. Persyaratan minimal desa siaga adalah

adanya Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sebagai suatu upaya kesehatan bersumber daya

masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa/kelurahan meliputi pelayanan pencegahan

(preventif), promotif (peningkatan) dan kuratif (pengobatan), sekaligus menjadi koordinator

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 9: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

UKBM yang telah ada seperti posyandu, polindes, dana sehat, ambulan desa, tabungan ibu

bersalin/tabulin dan lain-lain.

Oleh karena itu penanggulangan gizi buruk ini merupakan tanggung jawab bersama

yang melibatkan masyarakat dan banyak sektor yang terkait dalam pelayanan kesehatan,

pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, pemberdayaan perempuan dan PKK maupun pertanian

yang menyangkut ketersediaan pangan rumah tangga.

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

KERACUNAN PANGAN

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 10: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Kejadian luar biasa (KLB) Keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat

dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah

mengkonsumsi makanan dan berdasarkan analisis epidemiologi, makanan tersebut terbukti

sebagai sumber penularan. Penyelidikan KLB keracunan makanan adalah serangkaian yang

dilakukan secara sistematis terhadap KLB keracunan pangan untuk mengungkap penyebab,

sumber dan cara pencemaran serta distribusi KLB menurut variabel tempat, orang dan waktu.

Keracunan makanan bisa terjadi pada siapa saja, baik anak-anak hingga dewasa. Keracunan

makanan terjadi jika ada sejenis racun/toxcin yang tidak sengaja terkandung dalam

makanan/minuman yang dikonsumsi oleh tubuh.

Kejadian keracunan makanan berhubungan dengan masalah keamanan pangan. Letusan

penyakit akibat pangan (foodborne disease) dan kejadian-kejadian pencemaran pangan telah

menjadi masalah global, bukan hanya terjadi di berbagai negara berkembang tetapi juga

terjadi pada negara-negara maju. Di negara-negara maju, diperkirakan satu dari tiga orang

penduduk mengalami keracunan pangan setiap tahunnya. Sebuah sumber menyebutkan,

bahwa kasus keracunan pangan di Eropa merupakan penyebab kematian kedua terbesar

setelah Infeksi Saluran Pernafasan Atas atau ISPA.

Hal inilah yang menarik perhatian dunia internasional World Health Organization

(WHO) mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan atau dikenal dengan

istilah “foodborne disease outbreak” sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau

lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti

sebagai sumber penularan. Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia mempunyai makna sosial

dan politik tersendiri karena peristiwanya sering sangat mendadak, mengena banyak orang

dan dapat menimbulkan kematian.

Badan POM RI melalui Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan,

secara rutin memonitor kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia khususnya

keracunan yang telah diketahui waktu paparannya (point source) seperti pesta, perayaan,

acara keluarga dan acara sosial lainnya.

Upaya penanggulangan dan pencegahaan meluasnya kejadian keracunan pangan serta

untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali, juga untuk mengindentifikasi penyebab

kejadian perlu mendapatkan perhatian dan pemecahan yang serius. hal ini menjadi sangat

penting karena selain untuk menentukan penyebabnya juga untuk menghindari semakin

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 11: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

meluasnya peristiwa kejadian keracunan pangan. Kejadian Luar Biasa keracunan pangan

pada umumnya terjadi pada suatu keadaan dimana orang secara bersamaan atau hampir

bersamaan pada waktu yang sama terpapar dengan jenis makanan atau minuman tertentu.

Keracunan pangan merupakan istilah yang digunakan untuk penderita yang sakit karena

mengkonsumsi makanan / minuman yang telah terkontaminasi bakteri atau zat kimia/logam

berat. Gejala dan masa inkubasi dari keracunan pangan sangat bergantung pada jenis

penyebab keracunan pangan, namun pada umumnya gejala-gejala yang nampak seperti mual,

muntah, pusing, dan sakit perut.

tanda-tanda keracunan makanan, yaitu:

Kram perut.

Mual.

Pusing.

Muntah.

Mengalami diare.

Keadaan kram perut, mual, pusing dan muntah biasanya terjadi selang waktu satu jam setelah

tubuh terkena kontaminasi racun, sedangkan keadaan diare baru akan timbul setelah 3 jam

dari proses awal. Pada keadaan tertentu yang parah, muntah terjadi antara 3-4 kali dan diare

yang terjadi biasanya diiringi darah ataupun lendir.

Banyak hal yang bisa menjadi penyebab keracunan makanan, yaitu:

Norovirus.

Norovirus masuk kedalam tubuh melalui air, sayuran serta kerang yang

terkontaminasi feses/kotoran tinja.

Rotavirus.

Rotavirus merupakan penyebab utama kasus keracunan makanan pada bayi dan anak-

anak. Rotavirus dapat masuk kedalam tubuh melalui kontaminasi feses/tinja pada

makanan ataupun saat mereka berbagi tempat bermain.

Salmonella.

Bakteri salmonella dapat masuk ketubuh melalui makanan yang tidak dimasak hingga

matang, seperti telur unggas, makanan laut ataupun produk susu.

Campylobacter.

Bakteri campylobacter masuk kedalam tubuh melalui konsumsi unggas mentah, susu

mentah ataupun air yang terkontaminasi kotoran hewan.

Escherichia coli/E. Coli.

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 12: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Bakteri Escherichia coli/E. Coli masuk kedalam tubuh melalui konsumsi daging  yang

kurang matang, susu yang tidak ter-pasteurisasi atau air minum yang terkontaminasi

tinja.

Listeria Monocytogenes.

Bakteri Listeria Monocytogenes masuk kedalam tubuh bersama sajian yang tidak di

masak, misalnya lalapan.

Clostridium Botulinum/Botulism.

Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan dalam kemasan kaleng yang

mengandung toksin.

Guna menghindari kejadian luar biasa keracunan makanan, diperlukan suatu tindakan-

tindakan baik pra kejadian, saat kejadian keracunan makanan dan pasca kejadian keracunan.

Diharapkan dengan melakukan tindakan-tindakan tersebut kasus atau kejadian keracunan

makanan dapat ditiadakan dan diminimalisir jumlah korban keracunan makanan. Untuk

mencegah kasus keracunan makanan diperlukan upaya-upaya :

1. Jagalah Kebersihan Masaklah Dengan Benar

Cucilah tangan sebelum mengolah makanan dan sesering mungkin selama mengolah

makanan

Cucilah tangan sesudah dari toilet

Cuci dan sanitasi seluruh permukaan yang kontak dengan pangan dan alat untu

mengolah makanan

Jagalah area dapur dan pangan dari serangga, hama, dan binatang lainnya

2. Pisahkan Pangan Mentah Dari Pangan Matang

Pisahkan daging sapi, unggas dan seafood dari pangan lain, karena bahan pangan

tersebut dan cairan yang ditimbulkannya dapat menimbulkan kuman yang mencemari

bahan pangan yang lain selama pengolahan dan penyimpanan

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 13: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Gunakan peralatan yang terpisah, seperti pisau dan talenan untuk mengolah pangan

mentah

Simpan pangan dalam wadah untuk menghindari kontak antara pangan mentah dan

pangan matang

3. Masaklah Dengan Benar

Masaklah pangan dengan benar, terutama daging sapi, daging unggas, telur dan

seafood

Rebuslah pangan, seperti sup sampai mendidih.

Untuk daging, usahakan cairannya bening, tidak berwarna merah muda

Panaskan kembali pangan secara benar

4. Jagalah Pangan Pada Suhu Aman

Jangan membiarkan pangan matang pada suhu ruang lebih dari 2 jam

Simpan segera semua makanan yang mudah rusak pada lemari pendingin (sebaiknya

disimpan pada suhu di bawah 5 C)

Jangan menyimpan makanan terlalu lama dalam lemari pendingin

Jangan biarkan makanan beku mencair pada suhu ruangan

5. Gunakan Air Dan Bahan Baku Yang Aman

Gunakan air yang aman atau beri perlakuan agar air aman

Pilihlah pangan segar dan bermutu

Pilihlah cara pengolahan yang menghasilan pangan yang aman

Cucilah buah-buahan atau sayuran, terutama yang dimakan mentah

Jangan mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa

Adapun bilamana terjadi suatu kasus kejadian keracunan makanan maka :

A. Puskesmas

1. Petugas Puskesmas setelah menerima laporan atau informasi dari masyarakat, RS, dll,

segera melakukan pengecekan ke lapangan tentang kebenaran berita kasus keracunan.

2. Memberikan pertolongan berupa pengobatan kepada penderita keracunan, dan bila

diperlukan mengirim penderita ke unit pelayanan kesehatan yang lebih tinggi untuk

referal sistem (Rumah Sakit).

3. Mengambil contoh makanan/minuman yang diduga sebagai penyebab keracunan.

4. Mengirim contoh makanan/minuman ke Dinas Kesehatan Kab/Kota.

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 14: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

5. Melaporkan adanya kejadian keracunan makanan ke Dinas Kesehatan Kab/Kota

segera (menggunakan telepon, fax, form W1, sms, dan e-mail).

6. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat.

7. Bergabung dengan TIM KLB Keracunan Dinas Kesehatan Kab/Kota melakukan

kajian Penyelidikan Epidemiologi.

B. Dinas Kesehatan Kab/Kota

1. Segera melakukan koordinasi dan pembahasan tentang kasus yang terjadi.

2. Segera meneruskan contoh makanan/ minuman yang diduga sebagai penyebab

keracunan ke BBTKLPM/BLK/Lab. lain yang ditunjuk dengan menggunakan formulir

Pengiriman Sampel Keracunan Makanan/ Minuman .

3. Melakukan pengecekan ke lokasi keracunan, dan memonitor kejadian keracunan.

4. Melakukan tindakan investigasi / penyidikan epidemiologi. Investigasi diarahkan

pada :

a) Attack rate

b) Relatif risk

c) Penjelasan lokasi

d) Penjelasan waktu

5. Segera melaporkan kejadian keracunan ke Bupati/Walikota dengan tembusan ke

Dinas Kesehatan Propinsi, dan Ditjen PPM & PL, dengan menggunakan telepon, fax,

form W1, sms, e-mail.

6. Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota memberikan keterangan/ penjelasan kepada

publik/ masyarakat tentang kasus yang terjadi, berdasarkan hasil sementara dari

kegiatan Penyelidikan Epidemiologi Tim Surveilans yang ada.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota memberikan keterangan/ penjelasan kepada

publik/ masyarakat tentang kasus yang terjadi, berdasarkan hasil sementara dari

kegiatan Penyelidikan Epidemiologi Tim Surveilans yang ada.

C. Dinas Kesehatan Propinsi

1. Petugas Kesehatan Propinsi yang bertanggung jawab terhadap program

makanan/minuman dan surveilans setelah mendapat laporan/ informasi segera

melakukan koordinasi dan evaluasi pelaporan dari DinKes Kab/Kota.

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 15: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

2. Memberi bimbingan teknis dalam menyusun rencana pencegahan, penyelidikan dan

penanggulangan keracunan.

3. Bila dianggap perlu membantu DinKes Kab/Kota dalam penyelidikan epidemiologi

kasus keracunan makanan di daerahnya dan koordinasi dengan laboratorium yang ada

di Propinsi.

D. Pusat

1. Petugas Pusat (Ditjen PPM & PL) cq. Subdit HSMM dan Subdit Surveilans setelah

mendapat HSMM dan Subdit Surveilans setelah mendapat laporan/informasi segera

melakukan koordinasi dan evaluasi pelaporan dari Dinas Kesehatan Propinsi dan

Kab/Kota.

2. Memberi arahan dan bimbingan teknis dalam menyusun rencana pencegahan,

penyelidikan dan penanggulangan keracunan.

3. Memantau perkembangan dan tindak lanjut dalam kasus keracunan makanan di

Daerah dan Koordinasi.

Pasca Kejadian Keracunan Makanan sangat perlu untuk dilakukan :

1. Pelatihan

a) Pelatihan Asisten Epidemiologi Lapangan (PAEL) yang diikuti oleh petugas dinas

kesehatan propinsi, kab/kota.

b) Hazard Analisys Critical Control Point (HACCP).

c) Pelatihan/Kursus Hygiene Sanitasi Makanan dan Minuman.

2. Pembelian alat

Untuk menunjang penanggulangan keracunan makanan diperlukan peralatan pengambilan

dan pemeriksaan sampel makanan dan specimen bagi BBTKLPM, KKP dan Dinas

Kesehatan.

3. Menyusun Pedoman dan Peraturan

Untuk mendukung kegiatan yang dilaksanakan dalam menunjang investigasi keracunan

makanan, maka sangat diperlukan adanya pedoman dan peraturan.

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

DIARE

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 16: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Penyakit diare merupakan penyakit kedua terbanyak di seluruh dunia setelah infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA). Penyakit ini diperkirakan ditemukan 1 milyar kasus per

tahun dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak-anak di Asia, Afrika,

dan Amerika Latin.

Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia menyebutkan bahwa

angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk dengan

episode diare balita adalah 1,0 – 1,5 kali per tahun. Tahun 2003 angka kesakitan penyakit ini

meningkat menjadi 374 per 1.000 penduduk dan merupakan penyakit dengan frekuensi KLB

kedua tertinggi setelah DBD.

Survei Departemen Kesehatan (2003), penyakit diare menjadi penyebab kematian

nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur. Kejadian

diare pada golongan balita secara proporsional lebih banyak dibandingkan kejadian diare

pada seluruh golongan umur yakni sebesar 55 persen.

Angka kematian diare akut di negara berkembang telah menurun dari 4,5 juta kematian

pada tahun 1979 menjadi 1,6 juta pada tahun 2002 namun angka kejadian diare akut masih

masuk urutan 5 besar dari penyakit yang sering menyerang anak Indonesia. Kejadian diare

akut di Indonesia diperkirakan masih sekitar 60 juta episode setiap tahunnya dan 1-5 persen

diantaranya berkembang menjadi diare kronis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dari

35 persen seluruh kematian balita akibat diare disebabkan oleh diare akut.

Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan penyakit diare antara lain bertujuan untuk

menurunkan angka kesakitan, angka kematian, dan penanggulangan kejadian luar biasa

(KLB).2 Departemen Kesehatan RI melalui Keputusan Direktorat Jenderal Pemberantasan

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) telah mengeluarkan Pedoman

Pelaksanaan dan Pemantauan Program Pemberantasan Diare dengan tujuan khusus

menurunkan angka kematian pada semua umur dari 54 per 100.000 penduduk menjadi 28 per

100.000 penduduk, menurunkan angka kematian balita dari 2,5 per 1.000 balita menjadi 1,25

per 1.000 balita dan menurunkan angka fatalitas kasus (CFR) diare pada KLB dari 1-3,8

persen menjadi 1,5 persen.

Diare (atau dalam bahasa kasar disebut menceret) (BM = diarea; Inggris = diarrhea)

adalah sebuah penyakit di mana penderita mengalami rangsangan buang air besar yang terus-

menerus dan tinja atau feses yang masih memiliki kandungan air berlebihan. Di Dunia ke-3,

diare adalah penyebab kematian paling umum kematian balita, dan juga membunuh lebih dari

2,6 juta orang setiap tahunnya.

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 17: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis pada lingkungan. Dua

faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah sarana air bersih dan pembuangan tinja.

Hal ini saling berinteraksi bersama perilaku manusia maka akan dapat menimbulkan kejadian

penyakit diare.

Penyebab Diare - Gejala Diare. Penyakit diare adalah salah satu penyakit yang

mematikan, dalam negara berkembang penyakit diare merupakan penyebab kematian balita

secara umum, dan juga membunuh lebih dari 1,5 juta orang pertahun. Diare adalah sebuah

penyakit di mana penderita mengalami rangsangan buang air besar secara terus menerus dan

tinja yang masih memiliki kandungan air berlebihan. Mengingat sangat berbahanya jenis

penyakit ini khususnya pada balita, maka dari itu sedini mungkin kita harus mengenali

penyebab diare , gelaja penyakit diare serta perawatannya.

Penyebab Diare

Alergi terhadap makanan atau obat tertentu.

Karena infeksi parasit, bakteri atau virus. Bakteri atau virus yang menyertai penyakit

lain juga bisa menyebabkan diare.

Pemanis buatan yang terdapat dalam makanan.

Gejala Diare

Panas

Tidak nafsu makan

Muntah

Badan lemah dan lesu

Terdapat lendir bahkan darah pada kotoran

Gejala yang biasanya ditemukan adalah buang air besar terus menerus disertai dengan

rasa mulas yang berkepanjangan, dehidrasi, mual dan muntah. Tetapi gejala lainnya

yang dapat timbul antara lain pegal pada punggung,dan perut sering berbunyi.

Bakteri dan virus yang masuk ke dalam usus lewat salah satu caranya adalah makanan

yang kita makan, bisa mengganggu dalam proses pencernaan makananan. Usus tidak

bisa menyerap dengan sempurna di usus halus, makanan yang tidak sempurna dicerna

tersebut akan langsung masuk ke usus besar, ini menyebabkan usus besar

mengeluarkan banyak cairan dan juga elektrolit. Dan hal inilah yang kemudian

menjadi penyakit diare. Pada tubuh penderita diare yang banyak mengeluarkan cairan

dan elektrolit secara berlebihan, bisa membahayakan penderita karena dehidrasi atau

kekurangan cairan pada tubuh.

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 18: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Pada bayi yang tidak menyusui ASI, kemungkinan terserang diare terjadi karena

kekurangan gizi dan tidak tahan terhadap laktosa. Laktosa yang terkandung di dalam

susu sapi bisa menjadi penyebab diare pada bayi, karena sebagian besar bayi hanya

sedikit mempunyai enzim laktose, yaitu enzim yang berfungsi untuk mencerna laktosa

yang terdapat di dalam susu sapi. Sedangkan pada bayi yang mendapatkan susu ASI,

akan terpenuhi kecukupan enzim laktose.

Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal-oral antara lain melalui

makanan/minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.

Perilaku tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak

atau sebelum makan dan menyuapi anak dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan

meningkatkan terjadinya diare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku cuci tangan ibu

tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus masih ditemukan 65,84 persen dan pada

kelompok kontrol sebesar 57,76 persen sehingga peluang risiko yang besar terbuka untuk

kedua kelompok tersebut. Berdasarkan analisis bivariat diperoleh nilai OR=1,41, CI

95%=0,87-2,27, p=0,137 dengan kata lain perilaku cuci tangan ibu yang tidak memenuhi

syarat higiene berpotensi untuk meningkatkan risiko terjadinya diare akut pada balita (OR>1)

namun secara statistik tidak bermakna. Penelitian ini serupa dengan penelitian Pertiwi di

Sleman yang menyimpulkan bahwa higiene pribadi meliputi cuci tangan sebelum makan,

cuci tangan sesudah buang air besar, cuci tangan sebelum memegang bahan makanan dan

cuci tangan sesudah mengolah makanan yang buruk tidak menunjukkan risiko yang

bermakna untuk terjadinya diare pada balita. Penelitian dengan hasil berbeda dilakukan oleh

Daniel dkk di Lesotho yang menyimpulkan bahwa episode diare pada balita 22 persen lebih

rendah pada ibu yang melakukan cuci tangan sesudah buang air besar dibandingkan balita

dengan ibu tidak melakukan cuci tangan sesudah buang air besar dan penelitian Lubis yang

menyimpulkan bahwa perilaku tidak mencuci tangan sebelum menyediakan ataupun memberi

makan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit diare yaitu sebesar 62,9 persen.

Krisnawan dan Supardi menyatakan bahwa penggunaan sabun untuk mencuci tangan tidak

mempunyai hubungan pengaruh yang bermakna dengan kejadian diare walaupun tetap ada

risiko 3 kali untuk menularkan diare bila mencuci tangan tidak menggunakan sabun.

Ketidakmaknaan hubungan dalam penelitian ini hanya terjadi pada sampel dan tidak dapat

digeneralisasi pada populasi karena masih ada peluang risiko untuk terjadinya diare akut pada

balita yaitu sebesar 1,41 pada ibu yang mencuci tangan tidak memenuhi syarat higiene.

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 19: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Ketidakmaknaan hubungan kemungkinan karena sebagian besar perilaku cuci tangan ibu baik

pada kelompok kasus (65,84 persen) maupun pada kelompok kontrol (57,76 persen) tidak

memenuhi syarat higiene sehingga peluang risiko yang besar terbuka untuk kedua kelompok.

Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi penting berkaitan dengan

kejadian diare.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sarana air bersih tidak

memenuhi syarat pada kelompok kasus sebesar 73,29 persen sedangkan pada kelompok

kontrol hanya 58,39 persen. Hasil analisis bivariat diperoleh nilai OR=2,01, CI 95%=1,22-

3,22, p=0,005 artinya secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan

sarana air bersih dengan kejadian diare akut pada balita. Penggunaan sarana air bersih tidak

memenuhi syarat akan meningkatkan risiko terjadinya diare akut sebesar 2,01 kali lebih besar

balitanya dibandingkan dengan penggunaan sarana air bersih yang memenuhi syarat. Hasil

penelitian ini sejalan dengan pengkajian peran sumber air minum dan kakus saniter dalam

pemberantasan diare di Indonesia oleh Atmosukarto yang menyimpulkan bahwa sumber air

minum mempengaruhi morbiditas dan mortalitas diare. Morbiditas diare yang paling tinggi

terjadi pada penduduk dengan sumber air minum yang tidak memenuhi syarat sanitasi dan

penelitian Tjitra yang menyimpulkan bahwa balita yang tinggal pada rumah tangga yang

tidak dapat mengakses air bersih memiliki risiko 2,21 kali dibandingkan balita yang tinggal

pada rumah tangga dengan akses air bersih terpenuhi. Penelitian dengan hasil berbeda

dilakukan oleh Daniel dkk di Lesotho yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara sumber air dengan kejadian diare pada anak balita. Penelitian dengan hasil

serupa juga dilakukan Krisnawan dan Supardi yang menyimpulkan bahwa keluarga yang

memanfaatkan air bersih yang berasal dari sumber yang konstuksi bangunannya tidak

memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko sebesar 2,20 kali anak usia balitanya terserang

diare berdarah dibandingkan yang memanfaatkan sumber air bersih yang memenuhi syarat

kesehatan. Sumber air bersih dengan konstruksi tidak memenuhi syarat akan memudahkan

terjadinya pencemaran air oleh kuman penyebab. Salah satu mekanisme pencemaran terjadi

sewaktu ibu subyek mencuci pakaian yang terkontaminasi tinja penderita di sumur.

Tempat pembuangan tinja juga merupakan sarana sanitasi yang penting berkaitan

dengan kejadian diare selain sumber air minum. Tempat pembuangan tinja yang tidak saniter

akan memperpendek rantai penularan penyakit diare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penggunaan jamban tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus sebesar 61,49 persen

sedangkan pada kelompok kontrol hanya 38,51 persen. Hasil analisis bivariat diperoleh nilai

OR=2,55, CI 95%=1,59-4,10, p=0,000 artinya secara statistik terdapat hubungan yang

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 20: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

bermakna antara penggunaan jamban dengan kejadian diare akut pada balita. Penggunaan

jamban tidak memenuhi syarat akan meningkatkan risiko terjadinya diare akut pada balita

sebesar 2,55 kali lebih besar dibandingkan balita dengan penggunaan jamban memenuhi

syarat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Tjitra yang menyimpulkan bahwa anak

yang hidup dalam rumah tangga tanpa akses jamban yang memenuhi syarat mempunyai

risiko terkena diare 1,54 kali lebih besar dibanding anak dengan akses jamban yang

memenuhi syarat dan hasil pengkajian peran sumber air minum dan kakus saniter dalam

pemberantasan diare di Indonesia oleh Atmosukarto yang menyimpulkan bahwa tingkat

penggunaan jamban mempunyai hubungan yang sangat erat dengan angka kesakitan maupun

angka kematian diare. Penelitian dengan hasil serupa juga dilakukan oleh Meddings dkk yang

menunjukkan bahwa program perbaikan jamban pada rumah tangga merupakan faktor

protektif untuk terjadinya diare pada balita dan penelitian Daniel dkk yang menyimpulkan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara penggunaan jamban dengan

kejadian diare pada anak balita.

DAFTAR PUSTAKA

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 21: Kejadian Luar Biasa (Wahidatul Laenis.)

Abdullah, S., Uloli, R., Liputo, R., Mansyur, E., Buhang, S., 2006, “Penyelidikan KLB Diare

di Wilayah Puskesmas Mananggu Kabupaten Boalemo, Pebruari 2006”, Berita

Epidemiologi, Edisi Juni 2006 : 1-12.

Depkes RI, 2005a, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1216/MENKES/SK/XI/2001

tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare,Edisi ke-4, Jakarta.

Depkes RI, 2005b, Rencana Pembangunan Kesehatan Tahun 2005-2009, Jakarta.

Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia, 2007, Modul Pelatihan Tata Laksana

Diare pada Anak, Jakarta.

Hidayat, A., 1988, “Pengaruh Pemberian Zeng Terhadap Diare Memanjang pada Anak

Balita”, Majalah Kedokteran Universitas Trisakti, 17(2):71-78.

Kejadian Luar Biasa (KLB)