kegiatan belajar 1 -...

53

Upload: others

Post on 09-Sep-2019

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kegiatan Belajar 1HUKUM ZAKAT

Indikator Kompetensi

Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 1 ini diharapkan sudara dapat:

1. Menjelaskan tentang hukum zakat tanah yang disewakan

2. Menjelaskan tentang hukum zakat hasil usaha (profesi)

3. Menjelaskan tentang hukum zakat produktif

4. Menjelaskan tentang hukum zakat untuk pembangunan mesjid

Pokok-pokok Materi

Uraian Materi

Saudara-saudara sekalian, pada bahan kegiatan belajar akan dibahas empat materi

pokok tentang zakat yang diperselisihkan hukumnya. Pada bagian pertama akan dibahas

tentang hukum zakat tanah yang disewaka. Pada bagian kedua akan dibahas tentang hukum

zakat profesi. Pada bagian ketiga akan dibahas tetang hukum zakat produktif dan pada bagian

keempat akan dibahas tentang hukum zakat untuk pembangunan mesjid. Kepada saudara,

diharapkan untuk dapat membaca dan memahami materi kegiatan belajar dengan sebaik-

baiknya baik agar tujuan pembelajaranyang diharapkan dapat dicapai secara optimal.

1. ZAKAT HASIL TANAH YANG DISEWAKAN

Mencermati judul di atas setidaknya terdapat pertanyaan dalam benak saudara, siapa

yang wajib mengeluarkan zakat dari tanah yang disewakan, apakah si pemilik tanah atau pihak

penyewa tanah. Sepintas jawabannya sudah dapat ditentukan dari judul itu yaitu orang yang

menyewa tanah karena dialah orang yang mendapatkan secara langsung dari hasil tanah

tersebut. Namun demikian, ditemukan pendapat bahwa si pemilik tanahlah yang terkena

kewajiban zakatnya karana tanpa tanah tidak mungkin didapati hasil tanaman. Terdapat juga

1. Hukum Zakat tanah yang disewakan

2. Hukum Zakat profesi

3. Hukum zakat produktif

4. Hukum Zakat untuk pembangunan mesjid

pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya dikembalikan kepada kesepakatan antara dua

belah pihak sebelum transaksi dilakukan, berikut bahasannya.

A. PengertianKata zakat ( زكاة ) berasal dari bahasa Arab, secara bahasa artinya suci, tumbuh

berkembang dan berkah. Makna zakat secara bahasa ini mencerminkan sifat zakat yang dapat

mensucikan harta dan jiwa serta mengandung nilai positif yang dapat dikembangkan berupa

kebaikan bagi si muzakki dan kemashlahatan ekonomi bagi para mustahiq.

Sejalan dengan firman Allah swt:

زكاھامن أفلح قد Artinya: “Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan dirinya.” (QS. al-Syams: 9)

Menurut syara’, para ulama mendefinisikannya dengan “Harta tertentu yang wajib

dikeluarkan sebagiannya kepada para mustahiq.”

Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan, ”Zakat adalah suatu nama hak Allah yang

harus dikeluarkan oleh manusia kepada fuqara.” Selanjutnya Sabiq menambahkan,

“Dinamakan zakat karena mengharap berkah, pensucian diri, dan bertambahnya kebaikan.”

Hal ini sejalan dengan firman Allah swt:

رھم صدقة أموالھم من خذ یھم تطھ بھاوتزكArtinya: “Ambilah dari harta mereka shadaqah yang dapat membersihkan harta danmensucikan jiwa mereka.” ( QS. At-Taubah: 103)

Dari dua macam pengertian zakat seperti diungkapan di atas dapat disimpulkan bahwazakat adalah kewajiban seseorang untuk mengeluarkan sebagian harta miliknya yangsudah memenuhi syarat untuk dizakati kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq)

Zakat sering juga disebut shadaqah ( صدقة ) karena tindakan itu adalah tindakan yang

benar (shidq). Istilah zakat dalam al-Qur'an sering sekali penyebutannya digandengkan dengan

kata sholat, ditemukan sebanyak 82 ayat. Penyelarasan ini menunjukkan bahwa zakat

merupakan rukun Islam yang sangat penting setelah perkara sholat.

B. Pengertian dan Dasar Hukum-Nya

Sebelum menjelaskan pengertiannya, penting rasanya untuk mengedepankan beberapa

komponen yang harus terpenuhi dalam transaksi zakat hasil tanah yang disewakan.

1. Sebidang tanah yang disewakan )المستأجرة ◌ألرض أ (

2. Pemilik tanah )أ◌ألرض صاحب ( : Orang yang menyewakan tanahnya kepada orang lain.

3. Penyewa tanah )ألمستأجر ( sekaligus penggarap tanah yang disewakan.

Berdasar kepada beberapa ketentuan di atas, dalam penyewaan tanah, sedikitnya

terdapat dua pihak yang terlibat dalam transaksi penyewaan tanah yaitu pemilik tanah dan

penyewa, yang keduanya bersepakat mengadakan transaksi.

Zakat hasil tanah yang disewakan )رة المست◌أج االرض زكاة ( dapat diartikan sebagai zakat

hasil tanah yang langsung dihasilkan oleh tanah tersebut berupa tumbuh-tumbuhan yang

menghasilkan buah. Hasil dimaksud bisa berupa makanan pokok, seperti padi, korma, gandum

atau buah-buahan, seperti, jeruk, anggur, semangka, atau berupa sayur-sayuran, seperti

ketimun, kacang, bawang, dan lain sebagainya. Kewajiban untuk mengeluarkan zakat hasil

tanah yang disewakan didasari oleh ayat berikut ini:

الذيوھو شأ رع والنخل معروشات وغیر معروشات جنات أن یتون أكلھ مختلفاوالز والزم فواتسر وال حصاده یوم حقھ وءاتواأثمر إذاثمره من كلوامتشابھ وغیر متشابھاان والر

المسرفین یحب ال إنھ Artinya: “Dan Dialah yang telah menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidakberjunjung, pohon korma, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam buahnya, zaitun dandelima yang serupa bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya. Makanlah buah-buahtersebut jika panen dan keluarkanlah haknya (zakatnya) ketika panen. Dan janganlahkamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-An’am: 141)

Sedangkan dasar dari Hadits mengenai wajibnya zakat hasil tanah:

ر العش نصف بالسانیة سقي فیماالعشور االنھاروالغیم ت سق فیما)ومسلماحمدرواه(

Artinya: “Tanaman yang tumbuh diari oleh air yang menggunakan alat, zakatnyasebanyak lima persen. Sedangkan tanaman yang diairi oleh air hujan sebanyak sepuluhpersen.”

Jika dicermati, mengapa hasil tanah yang diairi oleh alat lebih kecil dari pada yang

diairi oleh air hujan? Hal ini karena yang memakai alat itu membutuhkan biaya, sedangkan

yang memakai air hujan tidak membutuhkan biaya. Dengan demikian, terdapat keadilan di

dalamnya.

Zakat hasil tanah wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen, tidak berlaku untuknya

istilah syarat haul (genap satu tahun) di dalamnya. Jika satu tahun itu dua kali panen, maka

zakatnyapun dua kali. Sedangkan ketentuan nisabnya menurut M. Syaltut, baik sedikit atau

banyak hasil panennya tetap dizakatkan karena menurutnya agar tumbuh selalu sikap

solidaritas sosial sebagai hikmah diwajibkannya zakat.

C. Siapa yang Wajib Mengeluarkan Zakatnya

Ketentuan bahwa zakat hasil tanah yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya tidak

memunculkan masalah jika tanah itu ditanami oleh pemiliknya langsung. Persoalannya jika

tanah itu disewakan kepada orang lain, maka hal ini akan memunculkan masalah, siapa yang

wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan? Apakah si pemilik tanah atau si

penyewa tanah (yang bercocok tanam). Untuk menjawab kasus hukum ini tidak terdapat kata

sepakat di kalangan para ulama mereka berselisih dalam menetapkan hukumnya seperti

diuraikan berikut ini.

1. Menurut Jumhur ulama, bahwa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan

adalah pihak penyewa. Mereka beralasan karena yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil

tanahnya bukan tanahnya hal ini diperkuat oleh pendapat Mahmud Syaltut.

اى نعتمده الذىفالر ا رع یباشر الذىالمستأجر علىانھ كاة الز رع◌ حق والز الزرع انبات نعمة علىالشكر من نوع بعد وھي و ھ المستأجر كان وبذالك وسالمتھ الز

رة المستأج األرض زكاة باخراج ب المطال Artinya:“Pendapat yang kami pegang bahwasanya kewajiban zakat ada pada pihakpenyewa yang langsung menggarap pertanian. Dan zakat merupakan hak pertaniansebagai rasa syukur atas ni’mat berhasilnya pertanian. Dengan demikian penyewalahyang dibebani untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan.”

2. Menurut pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya bahwa pemilik tanahlah yang wajib

mengeluarkan zakatnya karena dari sebab tanah itulah ada hasil yang diperoleh., tanpa

tanah tak akan dapat dihasilkan apa-apa.

3. Imam Malik, Syafi’i, Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ibnu Abu Tsaur

berpendapat, penyewa tanahlah yang wajib membayar zakat, pendapat ini sejalan dengan

pendapat point pertama.

Mencermati perselisihan pendapat tentang zakat hasil tanah yang disewakan

sebagaimana tersebut di atas dapat dikelompokkan perbedaannya menjadi dua kelompok

dengan alasannya masing-masing.

Pendapat pertama adalah ulama yang menetapkan bahwa si penyewa dalam hal ini

orang yang menggarap tanah yang wajib mengeluarkan zakat karena dialah yang secara

langsung memperoleh hasil dar tanah tersebut. Sedangkan pendapat kedua menetapkan bahwa

si pemilik tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena si pemilik tanah tersebut

mendapatkan uang sewa. Jika diperbandingk alasan dari kedua kelompok tersebut, maka

pendapat pertama memiliki argumentasi yang lebih kuat karena hal ini diperkuat oleh firman

Allah swt dalam surat al-An’am ayat 141 seperti tersebut di atas yang menyebutkan bahwa

hasil tanah yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan tanahnya demikian juga dengan yang

dimaksudkan oleh Hadits Rosulullah sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan kepada dalil-

dali tersebut, fuqaha telah sepakat bahwa yang dizakatkan adalah hasil tanah bukan tanahnya

maka sebidang tanah yang tidak ditanami tidak wajib di keluarkan zakatnya. Dengan demikian,

tanah yang di sewakan jika dilihat dari hasilnya itu adalah milik sempurna pihak si penyewa.

Maka tidaklah tepat alasan yang diajukan oleh kelompok kedua yang berpendapat bahwa

penyewalah yang wajib mengeluarkan zakatnya.

Terkait dengan status tanah yang disewakan itu tetap milik orang yang menyewakan di

mana pada status tersebut di sisi lain terdapat kewajiban untuk mengeluarkan kewajiban pajak.

Jika berpegang kepada pendapat pertama seperti dijelaskan di atas maka sebenarnya dengan

status tersebut terjadi pembagian kewajiban yang cukup merata karena kedua belah pihak

memiliki andil, yakni si penyewa wajib membayar zakat dan di sisi lain si pemilik tanah

membayar pajak tanah, maka pendapat pertama ini dipandang lebih adil dan tidak

memberatkan kedua-belah pihak.

Solusi lain yang juga dapat di pandang bijak dalam pemerataan pengeluarkan zakat

adalah pendapat yang ditawarkan oleh Abu Zahra. Menurutnya, kedua-duanya baik si pemilik

tanah maupun si penyewa sama-sama wajib mengeluarkan zakat. Hal ini demi memenuhi

keadilan dalam pemungutan zakat, dengan ketentuan pihak penyewa mengeluarkan zakat

tanaman setelah dikurangi harga sewa yang ia bayar kepada pemilik tanah. Dan si pemilik

tanah mengeluarkan zakat atas dasar harga sewa yang ia terima dari si penyewa yang berarti ia

mengeluarkan zakat uang, dengan demikian kedua-duanya terkena beban untuk mengeluarkan

zakat.

Solusi lain yang dapat dipertimbangkan adalah jika memang kedua belah pihak

sebelum transaksi telah bersepakat yang bertujuan agar keduanya tidak terlalu terbebani, maka

zakat itu dapat dilakukan secara patungan antara kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan

itu.

2. ZAKAT HASIL JASA (PROFESI)

Terhadap hukum zakat profesi, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Hal ini

antara lain dikernakan dasar hukum tentang zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha tersebut

masih bersifat zhan (dugaan), berikut bahasannya.

A. Pengertian dan Hukumnya

Zakat hasil jasa (profesi) atau bahasa Arabnya العمل كسب زكاة . Kata profesi menurut kamus

besar Bahasa Indonesia mengandung arti sebidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan

keahlian berupa ketrampilan dan kejuruan tertentu.

Berdasar pengertian profesi di atas, maka zakat profesi dapat dimaknai sebagai zakat

pekerjaan yang sudah menjadi keahlian seseorang yang diperoleh melalui proses pendidikan

seperti dokter, dosen, pengacara, pilot, dan guru, semua contoh pekerjaan ini dapat dikatakan

profesi karena keahliannya diperoleh melalui proses pendidikan yang cukup lama. Tapi jika

dikaitkan dengan keumuman ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi zakat profesi yaitu QS.

al-Baqarah. 267, nampaknya pekerjaan yang termasuk profesi itu bersifat umum, tidak terbatas

oleh keahlian yang dipeoleh dari pendidikan tapi semua jenis pekerjaan yang baik, ayat tersebut

berbunyi:

كسبتم ماطیبات من أنفقواءامنواالذین یاأیھاArtinya: “Nafkahkanlah dari hasil usahamu yang baik.” (QS. al-Baqarah: 267)

Dilihat dari ketergantungannya, profesi bisa dikelompokkan menjadi dua bagian.

Pertama, pekerja ahli yang berdiri sendiri, tidak terikat oleh pemerintah, seperti dokter swasta,

insinyur, pengacara, penjahit, tukang batu, guru, dosen, wartawan dan konsultan. Kedua,

profesi yang terkait dengan pemerintah atau yayasan atau badan usaha yang menerima gaji

setiap bulan. Menurut sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Muawiyah, kedua

kelompok profesi di atas, baik yang wiraswasta atau pegawai yang terikat oleh suatu instansi,

mereka dapat terkena kewajiban mengeluarkan zakat profesinya ketika menerima upah/gaji

sebesar seperempat puluhnya. Jika rutinitas itu dilakukan maka tidak ada lagi baginya

kewajiban untuk mengeluarkan zakat pada akhir tahun.

Dilihat dari aspek penerimaannya, macam-macam profesi seperti tersebut di atas dapat

dikategorikan menjadi dua. Pertama, hasil usaha yang teratur dan pasti setiap bulannya, yang

termasuk ke dalam kelompok pertama ini seperti upah pekerja dan gaji pegawai. Kedua, hasil

yang tidak tetap dan dapat dipastikan seperti kontraktor, pengacara, royaliti pengarang,

konsultan, dan artis.

Dengan demikian, zakat profesi meliputi semua pekerjaan yang halal dan baik,

zakatnya dapat dikeluarkan sesuai dengan waktu perolehannya setelah diambil terlebih dahulu

untuk kewajiban biaya terhadap keluarga dan biaya operasional. Seseorang dengan profesinya

yang berpenghasilan pas-pasan bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bukanlah

termasuk profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya, bahkan mereka tergolong orang yang

berhak menerima zakat (mustahiq), seperti tukang beca.

B. Cara Mengeluarkan dan Nisabnya

Berikut ini akan dijelaskan secara singkat cara mengeluarkan zakat profesi seperti dokter,

pengacara, pilot, dosen, artis dan sebagainya. Semua pekerja ini dapat mengeluarkan zakat

profesinya dengan cara ta’jil, yaitu mempercepat ketika mereka menerima honor atau gaji.

Berapa nisab (batas minimal) dan prosentase yang harus dikeluarkan? Terjadi perbedaan

pendapat para ulama terhadap penetapan nisabnya:

1. Abdurrahman Hasan, Imam Abu Zahra, dan Abdul Wahab Khallaf, mereka berpendapat

bahwa nisab zakat profesi sekurang-kurangnya lima wasaq atau 300 sha sekitar 930 liter

atau 653 Kg. sehingga prosentase zakatnya disamakan (diqiyaskan) dengan zakat pertanian

yang pengairannya menggunakan alat (mesin), yaitu sebesar 5 % setiap mendapatkan gaji

atau honor.

2. Jumhur ulama berijtihad bahwa nisab zakat profesi adalah seharga emas 93,6 gram emas

murni yang diambil dari penghasilan bersih setelah dikeluarkan seluruh biaya hidup.

Kelebihan inilah yang dihitung selama satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5

% setiap bulan. Prosenatase ini diqiyaskan dengan zakat mata uang yang telah ditetapkan

oleh Hadits.

3. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi disamakan dengan zakat

rikaz (barang temuan) maka tidak ada syarat nisab dan prosentasenya 20 persen pada saat

menerimanya.

C. Contoh Kasus

Ali adalah seorang dosen PTN golongan IV/a dengan masa kerja selama 20 tahun. Ia

memiliki seorang istri dan tiga anak. Penghasilannya tiap bulan pada tahun 2015 sebagai

berikut:

a. Gaji dari Negara Rp. 4.300.000

c. Honor dari beberapa PTS Rp. 2.500.000

d. Honor dari yang lain Rp. 2.000.000

Pengeluaran setiap bulan:

a. Keperluan keluarga Rp. 3.000.000

b. Angsuran kredit rumah Rp. 1.250.000

c. Dan lain-lain Rp. 1.500.000

Kalkulasi

Penerimaan Rp. 7.800.000

Pengeluaran Rp. 5.750.000

Sisa Rp. 2.050.000

Jika sisa di atas dikalikan setahun, maka berjumlah Rp. 24.600.000 yang kemudian

didepositokan di bank dengan bunga keuntungan 18 % setahun. Maka perhitungan zakatnya

ialah 2,5 % x 24.600.000 = Rp. 615.000. Ternyata zakatnya setahun sangat ringan, jika ia ingin

mengeluarkan setiap bulan, maka 615.000 : 12 = + Rp. 51.250 zakat yang ia harus keluarkan

setiap bulannya.

Uraian di atas merupakan konsep zakat profesi bagi mendukung adanya zakat profesi.

Namun dengan demikian, terdapat juga ulama yang mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak

ada dengan alasan karena sulit menentukan jenis profesi dan nisabnya. Mereka yang menolak

zakat profesi tersebut karena mereka memasukakan zakat profesi kepada zakat harta yang harus

dibayar jika sudah sempurna satu tahun (haul).

Menurut hemat penulis, pada intinya mengeluarkan zakat adalah manefestasi dari

keislaman seseorang sebagai rasa syukur kepada Allah swt atas nikmat yang telah

diterimanaya. Di antara nikmat tersebut adalah profesi. Maka ijtihad yang menetapkan adanya

zakat profesi di mana belum pernah ada pada zaman klasik Islam perlu direspons secara positif.

Hukum Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Sekarang adalah zaman yang syarat

dengan profesi (keahlian) yang dapat menghasilkan uang. Maka adanya zakat profesi sebagai

hasil ijtihad sejalan dengan prinsip hukum Islam yang memberikan pintu kemudahan, dalam

hal ini penunaian zakat secara ta’jil (disegerakan) dapat menghilangkan kealfaan seseorang

dalam penunaian zakat.

3. ZAKAT PRODUKTIF

Kemunculan istiah di atas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk “kritik” terhadap

penyaluran zakat kepada mustahiq yang pada umumnya bersifat konsumtif. Zakat yang

diterima oleh mustahiq yang tersebut terakhir ini biasanya bersifat konvensional yaitu sekedar

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sifatnya “menghabiskan”. Namun di sisi

lain terdapat mustahiq yang keberadaannya masih produktif baik dari tenaga, ilmu dan

ketrampilan. Maka untuk kriteria mustahiq yang tersebut terakhir ini zakat dapat diarahkan

menjadi modal usaha untuk pengembangan kemampuan yang dimilikinya. Permasalahannya

yang kemuidan muncul bagaimana hukum penyaluran zakat untuk modal usaha, berikut

bahasannya.

A. Gagasan Zakat Produktif

Zakat merupakan ibadah maal (materi) yang memiliki fungsi strategis untuk

membangun perekonomian ummat Islam. Kedukukannya sebagai salah satu rukun Islam

menharuskan ummat Islam untuk mengimani dan melaksanakannya, sesekali orang yang

menganggap zakat bukan rukun Islam, maka ia dapat dianggap kafir dan orang yang tidak

berzakat padahal telah diwajibkan maka ia telah melakukan perbuatan dosa karena telah

menolak perintah Allah dan telah mengabaikan hak para mustahiq. Oleh karena itu, penunaian

zakat bukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban tapi berdampak positif kepada kehidupan

sosial karena keberadaannya dapat mensejahterkan kehidupan bagi orang yang tidak mampu.

Bentuk dan macam zakat dalam Islam dengan melihat mustahiqnya dapat dibagi

menjadi empat. Pertama: Konsumtif tradisional, seperti zakat fitrah. Kedua, konsumtif kreatif,

contohnya bea siswa. Ketiga Produktif tradisional, seperti pemberian ternak dan alat

pertukangan. Dan keempat produktif kreatif , yaitu zakat untuk modal usaha. Bentuk mustahiq

zakat pada point 2 sampai point empat keberadaan zakat bagi penrimanya berpotensi untuk

membangun dan meningkatkan perekonomian. Keberadaannya dapat mengentaskan

kemiskinan dan kemelaratan..

Ide untuk mengembangkan zakat sebagai modal usaha muncul ketika okus perhatian

dilakukan secara seksama bahwa para fuqara dan masakin tidak semuanya orang-orang yang

memiliki keterbatasan kekuatan fisik namun di antara mereka terdapat banyak yang memiliki

kesehatan fisik dan keahlian yang dapat dikembangkan, tapi mereka tidak memiliki modal,

sehingga keluar ide untuk memberikan zakat kepada mereka untuk bisa dijadikan sebagai

modal usaha yang dapat meningkatkan status ekonominya dan sekaligus mengembangkan

keahlian yang mereka miliki. Maka pihak yang paling berperan dalam zakat produktif ini

adalah kreatifitas mustahiq untuk menjadikan zakat sebagai modal yang terus dikembangkan.

B. Prospek Zakat Produktif

Prospek ke depan, zakat yang diperoleh dari hasil usaha ini memiliki peluang yang cerah

jika pengelolaannya dilakukan secara baik dan profesional. Pengelolaan itu dapat dilakukan

melalui pengembangan sumber daya mustahiq yang potensial yang jumlahnya cukup banyak.

Lain halnya ketika menghadapi mustahiq zakat yang konsumtif, yaitu yang tidak memiliki

kemampuan dan keahlian untuk mengembangkan zakat seperti orang jompo, anak yatim yang

masih kecil, orang dewasa yang cacat atau sakit berat maka zakat untuk mereka ini hanya untuk

membantu kelangsungan hidup mereka karena mereka lebih banyak bersifat pasif.

Bagi mustahiq zakat yang produktif atau disebut mustahiq aktif, mereka masih berumur

produktif dan memiliki badan yang sehat maka selayaknya bagi mereka zakat dapat disalurkan

secara produktif yaitu dengan menjadikan zakat sebagai modal usaha. Oleh karena itu

diperlukan sikap pro-aktif dari mustahiq untuk mencurahkan kemampuannya dalam

pengembangan modal dari zakat itu.

Menurut hemat penulis, usaha pengembangan zakat menjadi modal usaha memerlukan

sumber daya manusia (SDM) yang cukup handal, oleh karena itu diperlukan peningkatan

diperlukan upaya untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia) mustahiq dengan

mengadakan pelatihan atau training yang dapat dilakukan oleh badan, seperti bazis atau

pemerintah, sehingga mereka benar-benar memiliki keahlian yang mapan untuk dapat

mengembangkan modal usaha yang didapat dari zakat tersebut. Selain itu di masyarakat

terdapat banyak keahlian yang dimiliki oleh mereka yang tergolong mustahiq yang tampaknya

diperoleh tanpa melalui latihan khusus seperti pedagang kaki lima, sopir, pengrajin tangan,

tukang kuli batu, dan lain sebagainya. Jika penyaluran zakat dilakukan dengan baik serta

penggunaannya terbilang optimal, maka hal ini akan dapat meningkatkan taraf ekonomi

mereka yang tergolong lemah untuk selanjutnya diharapkan kehidupan mereka tidak

bergantung kepada zakat. Untuk mereka, zakat hanya modal pertama saja selanjutnya mereka

tidak lagi sebagai mustahiq zakat, tapi menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat

(muzakki).

Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan zakat produktif itu dapat

dibenarkan selain itu masalah tekni saja, pemberian modal kepada mustahiq zakat sebagai

modal usaha berarti memberikan perhatian kepada para mustahiq untuk hidup lebih layak, hal

ini merupakan ajaran Islam seperti diperkuat oleh al-Qur’an:

رواالذین للفقراء بیل فيأحص س تطیعون ال ربایس بھم األرض فيض لجاھل ایحسیماھم تعرفھم التعفف من أغنیاء ألون ال بس إن ف خیر من تنفقواوماإلحافاالناس یس بھ

علیم

Artinya: “Berinfaklah untuk orang-orang faqir yang terikat oleh jihad di jalan Allah,mereka tidak mampu berusaha di bumi. Orang yang tidak tahu, menyangka mereka adalahorang yang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu melihat merekadengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara medesak.Dan apa yang kamu nafkahkan di jalan Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”(QS. al-Baqarah: 273)

Hikmah yang dapat dipetik dari praktek zakat produktif di antaranya agar terjadi

komunikasi yang dapat menghilangkan menara gading antara si miskin dengan si kaya. Efek

yang ditimbulkannya menjadikan si muzakki (pemberi zakat) akan merasa puas dan senang

karena zakatnya bisa berkembang, di sisi lain menjadikan mustahiq tidak menjadi mental

pengemis dan tersalurkan kemampuannya. Dengan demikian terjadi hubungan yang signifikan

antara keberadaan zakat produktif dengan peningkatan sumber daya manusia. Dan yang

terpenting lagi, dengan zakat produktif tidak terjadi sikap pembiaran terhadap fakir miskin dan

telah menyelamatkan bahaya dari kefakiran yang dapat menjadikan seorang menjadi kafir,

sebagaimana diperkuat oleh Hadits Nabi:

كفرایكون أن الفقر كاد Artinya: “Kefakiran (kemiskinan) berakibat kepada kekafiran.”

4. PENYALURAN ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MESJID

Penjelasan tentang kelompok orang yang berhak menerima sudah cukup jelas

diinformasikan oleh al-Qur’an. Secara tekstual istilah mesjid tidak terdapat dalam

kelompok yang delapan tersebut, inilah yang menimbulkan permasalahan apakah

zakat dapat disalurkan untuk pembangunan dan pemugaran mesjid. Uraian

berikut mencoba untuk menjelaskan hukum penyaluran kepada sesuatu yang

diluar asnaf (kelompok mustahiq zakat tersebut.

A. Kelompok Mustahiq Zakat

Jumhur ulama sepakat bahwa kelompok mustahiq zakat itu terdiri delapan

asnaf. Kesepakatan tersebut didasari oleh ayat al-Qur’an surat al-Taubat ayat 60

sebagai berikut:

دقات إنما قاب وفيقلوبھم والمؤلفة علیھاوالعاملین والمساكین للفقراء الص الغارمین و الر سبیل وفي من فریضة السبیل وابن حكیم علیم و

Artinya: “Shadaqah adalah hak untuk faqir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orangyang terlilit hutang, di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan (musafir). Sebagaikewajiban yang datang dari Allah dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”(QS. at-Taubah: 60)

Delapan kelompok (mustahiq) zakat sebagaimana tercantum dalam ayat di atas,

penjelasannya sebagai berikut. Fuqara, yaitu Orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan

yang dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Orang yang termasuk kelompok ini tidak

memiliki suami (isteri), ayah, ibu, dan anak yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Masakin, yaitu Orang yang memiliki pekerjaan, tapi hasilnya tidak dapat memenuhi

kebutuhannya, Amilin yaitu Yaitu orang yang bekerja memungut zakat (panitia zakat).

Muallaf, pengertiannya dapat berarti orang yang baru masuk Islam sedangkan imannya masih

lemah, maka untuk menguatkannya perlu diyakinkan dengan zakat. Atau orang kafir yang

berniat untuk masuk Islam, tapi masih tipis keimanannya, maka ia dapat diberi zakat supaya

niat masuk Islamnya menjadi kuat. Budak, yaitu orang yang hidupnya tidak merdeka, dikuasai

oleh tuannya. Orang yang terlilit hutang, yaitu oraang yang memiliki tunggakan hutang

kepada orang lain baik hutang tersebut untuk kepentingan pribadinya atau hutang karena untuk

biaya kebajikan. Orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu para tentara yang berperang

melawan serangan orang kafir. Orang yang sedang dalam perjalanan. Yaitu orang yang sedang

melakukan sebuah perjalanan dengan tujuan yang baik bukan untuk kemaksiatan, seperti

pelajar atau mahasiswa yang belajar di luar negeri.

B. Hukum Zakat untuk Pembangunan Mesjid

Seperti terungkap di muka, permasalahan yang muncul adalah, apa hukum zakat untuk

pembangunan mesjid? Sebab dalam surat at-Taubah ayat 60, sebagaimana dijelaskan di atas,

pembangunan dan pemugaran mesjid tidak termasuk ke dalam mustahiq zakat. Oleh karena itu,

untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan ijtihad yang dapat menentukan pintu masuk

kepada kelompok mana zakat untuk pembangunan mesjid itu?

Di antara ke-delapan macam mustahiq zakat seperti tersebut di atas, terdapat mustahiq

yang disebut sabilillah yang secara bahasa artinya jalan Allah. Para ulama dalam memahami

kata sabilillah tidak hanya terbatas pada makna hakiki yaitu para pejuang yang berperang

menegakkan agama Allah tapi memahaminya juga dari makna majazinya yang bersifat umum.

Terkait dengan makna yang tersebut terakhir ini, para ulama memiliki penafsiran yang

beraneka ragam.

Menurut Mahmud Syaltut, istilah sabilillah memiliki arti kemaslahatan ummat yang

manfaatnya kembali kepada kaum muslimin seperti pembangunan mesjid, rumah sakit,

perlengkapan pendidikan, dan sebagainya. Memperkuat pendapatnya, Syaltut mengutip

pendapat Imam Al-Razi yang mengatakan bahwa kata sabilillah tidak terbatas pada arti tentara.

Syaltut juga mengutip pendapat al-Qaffal yang berpendapat bahwa boleh menyalurkan zakat

ke semua bentuk kebaikan seperti untuk mengurus mayat, membangun benteng, dan

pembangunan mesjid. Tetapi Syaltut memberikan catatan bahwa zakat yang diperbolehkan

untuk pembangunan mesjid dengan syarat mesjid itu hanya satu-satunya di suatu desa, atau

untuk pembangunan mesjid baru karena mesjid yang tersedia tidak cukup lagi untuk

menampung jamaah. Menurut Syaltut, arti sabilillah dapat disimpulkan menyangkut

pemeliharaan posisi materi dan spritual suatu bangsa termasuk di dalamnya mesjid.

Menurut al-Maraghi, istilah sabilillah adalah semua perkara yang berhubungan dengan

kemaslahatan ummat dapat dimasukkan ke dalam sabilillah, seperti perkara yang menyangkut

masalah agama dan pemerintahan, seperti masalah pelayanan haji.

M. Rasyid Ridha berpendapat bahwa, istilah sabilillah mencakup semua kepentingan

syariah secara umum yang berkenaan dengan masalah agama dan negara dan yang terpenting,

untuk persiapan kepentingan perang dengan membeli persenjataan.

Menurut Yusuf Qardhawi, istilah sabilillah memiliki arti yang lentur, yaitu semua

sarana yang dapat dipergunakan untuk memperjuangkan kemajuan ummat Islam dan melawan

semua bentuk serangan orang-orang kafir, semuanya termasuk sabilillah. Lebih rinci, beliau

menyebutkan usaha pembebasan Islam dari kekuasaan dengan memerangi kaum kafir, sarana

pendidikan dan pengajaran serta lembaga da’wah, surat kabar islami, penerbitan buku-buku

islami dan para da’i, semua yang disebutkan di atas dapat dimasukkan ke dalam cakupan

makna sabilillah.

Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa istilah sabilillah adalah semua jalan yang dapat

menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu atau amal.

Mencermati pendapat-pendapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pengertian

sabilillah secara umum (mazaj) dapat mencakup semua jalan kebaikan yang manfaatnya

kembali kepada ummat Islam termasuk di dalamya adalah masjid, penyebutan sarana ibadah

yang disebutkan terakhir ini secara jelas disebut oleh Mahmud Syaltut pada point pertama.

Pengertian mazaj semacam ini dalam hukum Islam dapat ditolelir selama tidak bertentangan

dengan kaidah agama. Keberadaan mesjid dalam masyarakat memiliki peranan strategis,

fungsinya bukan hanya sebagai tempat sholat, tapi dapat dijadikan pusat pendidikan, da’wah,

serta sosial kemasyarakatan dalam rangka menegakkan agama Allah swt. Dengan demikian,

zakat boleh disalurkan untuk pembangunan mesjid karena mesjid termasuk sabilillah yang

mengandung manfaat bagi umat Islam.

Selanjutnya menurut hemat penulis, skala prioritas harus diutamakan. Terlebih

sekarang ini, keberadaan mesjid di masyarakat begitu banyak dan pesat, sehingga jarak mesjid

sangat berdekatan dan relatif jamaahnya di beberapa mesjid ditemukan sangat sedikit.

Mengingat hal itu, penulis sejalan dengan Mahmud Syaltut yang berpendapat bahwa

penyaluran zakat untuk mesjid itu harus diutamakan untuk mesjid baru yang dibangun karena

mesjid yang berdekatan sudah tidak mampu lagi untuk menampung jamaah atau untuk agenda

perluasan mesjid karena daya tampungnya tidak lagi mencukupi untuk menampung jamaah.

Kegiatan Belajar 2PERNIKAHAN MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH

Indikator Kompetensi

Setelah membaca dan memhami materi Kegiatan Belajar 2 ini diharapkan sudara dapat:

1. Menjelaskan pengertian tentang pernikahan monogami

2. Menjelaskan tentang hukum poligami

3. Menjelaskan tentang hukum nikah mutah

Pokok-pokok Materi

Uraian Materi

Saudara-saudara sekalian pada bahan Kegiatan Belajar 2 akan dibahas tiga materi

pokok. Pada bagian pertama akan dibahas tentang monogami, bagian kedua akan dibahas

tentang poligami, sedangkan pada bagian ketiga akan dibahas tentang nikah mut’ah dan hal

yang berhubungan dengan masing-masing Kepada sadara-saudara dimohon untuk dapat

membaca dan memahami materi Kegiatan Belajar 2 ini dengan baik agar tercapai tujuan yang

diharapkan secara optimal.

2. Pernikahan Monogami, Poligami dan Nikah Mut’ah

1. Syariat Pernikahan

Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang terkandung di dalamnya nilai-

nilai ibadah. Kelayakan manusia untuk menerima syariat tersebut paling tidak diperkuat oleh

tiga argumen. Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan dengan akalnya tersebut manusia

mampu menerima dan menjalankan syariat dengan baik. Di antara syariat tersebut adalah

pernikahan, yang pengertiannya menurut ulama Syafi’iyah, sebagai::

عقد یتضمن إباحة الوطء بلفظ اإلنكاح او التزویج

1. Konsep nikah dalam ajaran Islam

2. Hukum monogami dalam ajaran Islam

3. Hukum poligami dalam ajaran Islam

4. Hukum nikah mut’ah dalam ajaran Islam

(Akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz nikah

atau tajwiz)

Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan

sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt:

ا تنبت ا ال یعلمون سبحان الذي خلق األزواج كلھا مم األرض ومن أنفسھم وممArtinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baikdari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidakmereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)

Dari kehidupan berpasangan, manusia disyariatkan untuk menjalin hubungan yang

mulia, mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk

itu Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan

manusia yang disebut dengan nikah.

Ketiga, pernikahan dalam Islam disebut sebagai prilaku para Nabi dan

memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia. Rasulullah saw bersabda

“empat fitrah yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar, wangi-wangian, bersiwak

(gosok gigi), dan nikah”.

Untuk dijadikan sebuah perbandingan, nampaknya sebelum pembahasan nikah

menurut Islam secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam

(Jahiliyah). Pada zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan

warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia. Pertama, perkawinan pacaran

(khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi

dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan Kedua,

nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya.

Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang

pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah

itu baru si suami mengumpulinya. Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli

oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu

pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai

anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).

Kehadiran Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak

sejalan dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang

tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah aqad yang

menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-

laki dan perempuan yang bukan mahromnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.

Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan isteri sejak terjadinya

akad. Hal ini dipahami karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban

masing-masing dengan sebaik-baiknya.

وأخذن منكم میثاقا غلیظاوكیف تأخذونھ وقد أفضى بعضكم إلى بعض Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telahbergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)

Sepasang calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan

untuk memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama sepakat,

terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah. 1. calon suami istri, 2. Wali dari calon isteri, 3.

dua orang saksi, 4. Mahar (mas kawin), 5. Ijab-qabul.

Hikmah Nikah

Setiap syariat yang diturunkan oleh Allah dipastikan terdapat hikmah untuk kehidupan

manusia. Sedikitnya terdapat lima point penting yang penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabiq

dalam kitabnya Fiqh Sunah berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan.

1. Nafsu seks termasuk tuntutan terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia. Ketika tidak

ada jalan keluar untuk melampiaskan, maka manusia akan dirundung kegelisahan dan

dikhawatirkan melakukan prostitusi (perzinahan). Maka pernikahan merupakan aturan

yang paling baik dan jalan keluar yang menyejukkan untuk memuaskan seks manusia.

Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi

sesuatu yang diharamkan. Ini semua terkandung dari petunjuk Allah dalam firmanNya:

كنوا إلیھا وجعل بینكم مودة ورح كم أزواجا لتس ي مة إن ف ومن ءایاتھ أن خلق لكم من أنفسلقوم یتفكرون ذلك آلیات

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmuisteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikianitu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)

2. Pernikahan jalan terbaik untuk melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan

melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.

3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa

kanak-kanak serta tumbuhnya rasa kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak akan sempurna

tanpa adanya tali pernikahan.

4. Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat

dan mencurahkan segala kemampuan dalam memperkuat potensi diri. Maka bangkitlah

untuk bekerja dengan segala kewajiban sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah

harta dan kesuksesan. Dan tergugah semangat untuk mengeluarkan kekayaan alam dan

yang terpendam di dalamnya.

5. Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan

isteri. Isteri mengurus rumah, hingga tertata dengan rapih, mendidik anak dan

mempersiapkan “udara” segar untuk suami agar dapat beristirahat yang dapat

menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan semangat baru yang dapat membangkitkan

semangat kerja untuk memperoleh harta dan nafkah yang dibutuhkan. Pembagian kerja

yang adil terhadap suami istri sesuai dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini akan

diridhai oleh Allah dan pujian manusia serta menghasilkan buah yang diberkahi.

Hukum Pernikahan

Penetapkan hukum nikah termasuk perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi orang

yang akan melakukannya. Dengan demikian kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai illat

hukumnya. Hal yang dapat dimaklumi bahwa kondisi seseorang itu berbeda antara yang satu

dengan yang lainnya jika dilihat dari aspek gejolak seks dan kemampuan pemberian nafkah.

Berangkat dari perbedaan kondisi tersebut maka para ulama menghukumi nikah itu sesuai

dengan illat (sebab) yang ditemui dari seseorang yang akan melangsungkan pernikahan.

Memperhatikan berbagai macam illat nikah maka hukum nikah dapat ditetapkan sebagai

berikut:

1. Wajib, hukum ini layak dibebakan kepada orang yang telah mampu memberi nafkah,

jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah

perzinahan. Hal ini diperkuat oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri dari perbuatan

haram adalah wajib. Sedangkan bagi yang hanya memiliki keinginan yang kuat tapi belum

mampu memberi nafkah, maka lebih baik ia menahan diri. Hal ini didasari oleh firman

Allah swt:

من فضلھ ولیستعفف الذین ال یجدون نكاحا حتى یغنیھم Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian(diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nuur: 33)

Salah satu cara untuk menjaga diri ketika gejolak nafsu bilogis yang memuncak bagi orang

yang belum layak nikah karena belum mampu menafkahi seperti tersebut di atas.

disarankan agar ia memperbanyak puasa. Hal ini diperkuat oleh Hadits Rasulullah saw

berikut ini:

ج فانھ أغض للبصر واحصن للفرج یا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فلیتزووم فانھ لھ وجاء (رواه البخارى)ومن لم یستطع فعلیھ بالص

Artinya: “Hai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah,maka menikahlah, karena nikah dapat menahan pandangan dari maksiat dan dapatmenjaga kemaluan dari berbuat zina. Namun bagi siapa yang belum mampu hendaklahia berpuasa karena puasa dapat membentengi dorongan sahwat.” (HR. Bukhari)

2. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan mampu memberi

nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi

orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya, nikah

lebih baik baginya dari pada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak.

Sedangkan membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta Nasrani yang dilarang oleh

Rasulullah.

جوا فانى مكاثر بكم االمم وال تكونوا كرھبانیة النصارى تزوArtinya: “Nikahlah kamu sekalian karena aku akan berbanyak-banyak umat pada hariQiamat dan janganlah kamu seperti pendeta Nasrani.”

Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah berkata kepada Abi Zawaid, hanya sifat lemah

atau melacurlah yang mencegahmu dari nikah. Berkata juga Ibnu Abbas bahwa tidak akan

sempurna ibadah seseorang sampai ia menikah.

3. Haram, hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia

memaksakan diri utnuk menikah akan mengkhianati isterinya atau suaminya, baik dalam

pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga dengan perkawinan itu hak-hak

istri/suami tidak terpenuhi.

2. Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami

Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan

seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif tersebut dapat

dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga maka

suami itu menganut monogami.

Azas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai

salah satu asas perkawinan dalam Islam. Tujuannya untuk memberikan landasan dan modal

utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh

karena itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hakum ini sangatlah

beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia

akan lebih mudah karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami juga akan

lebih mudah untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh

dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan

seorang perempuan yang dicintainya. Bagi laki-laki, selayaknya selayaknya sikap monogami

ini. Jika tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk beristeri lebih dari satu, seperti si isteri

ternyata mandul, sekali lagi pada asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki untuk

beristeri satu saja. Isyarat al-Qur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat kita pahami dari

berbagai ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika sudah

mampu, sikap membujang berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarka

karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:

ائكم إن یكونوا فقراء یغنھم ادكم وإم الحین من عب امى منكم والص من وأنكحوا األی واسع علی م فضلھ و

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orangyang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hambasahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengankurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur 32)

Hukum dalam Islam tidak terlepas dari illatnya. Asal perintah monogami dalam

pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar ditemukan illat yang

dapat dibenarkan. Maka permasalahan baru setelah Islam membolehkan monogomi adalah

persoalan poligami. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang hukum poligami

nampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian istilah poligami. Jika merujuk kepada

makna seorang suami beristeri lebih dari satu sebenarnya istilah poligami yang sudah populer

di masyarakat tidak tepat untuk istilah itu. Karena poligami dalam kamus bahasa bisa juga

berarti di samping suami punya istri lebih dari satu juga isteri punya suami lebih dari satu.

Maka secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia

diartikan sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa

wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”. Namun dalam tulisan ini, selanjutnya

penulis cenderung untuk menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu

poligami yang bermakna pologini (suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan

secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya di masyarakat untuk laki-

laki yang beristeri lebih dari satu.

Memasuki tulisannya tentang hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis,

bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang dapat

membimbing dan manjauhkan manusia dari perbuatan dungu. Inilah kenyataan yang

“memaksa” Islam membolehkan poligami. Sebelum Islam datang, agama-agama terdahulu

telah membolehkan praktek poligami sampai seratus isteri tanpa terikat oleh syarat dan aturan.

Itulah kultur yang terjadi di masyarakat dahulu. Islam datang tidak menghapus secara serta

merta sistem poligami “Jahiliyah”, yang sudah mendarah daging namun membangun aturan

poligam penerapan pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya

syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan. Tercatat dalam sejarah bahwa seorang

sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang. Lalu

Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya,

bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat. Ini adalah sebuah

keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan kebutuhan kehadiran para istri

Nabi setelah wafat Nabi.

Kebolehan Berpoligami

Di masyarakat seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi sebagian laki-laki seakan

menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu

biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenranya. Memang Pada asalnya hukum poligami

itu diperbolehkan jika seseorang suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap isteri-

isterinya. Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri

satu saja.

Islam diperuntukan untuk semua jenis dan golongan manusia serta memelihara

kepentingan dan kemashlahatan yang bersifat pribadi dan umum. Nampaknya kebolehan

poligami karena untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina dan

tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan. Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa

pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu

jika dipandang darurat. Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf

Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah

sebagai berikut:

1. Ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi ternyata isterinya

tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.

2. Di antara suami ada yang memiliki overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan

seks, memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak

sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut.

3. Jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi

peperangan. Di situ terdapat kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat

dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang,

cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.

Namun permasalahan yang harus dihadapi bahwa kebolehan seorang suami untuk

beristeri lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di

atas. Katakanlah itu adalah pasal yang harus dimililiki oleh seorang suami sebelum

berpoligami. Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu

terealisasi yaitu seorang suami harus berlaku adil dalam memberikan nafkah. Kewajiban bagi

seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap isteri-isterinya adalah

konsekuansi dari tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap adil dimaksud berarti seorang

suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara proporsional sesuai

dengan kebutuhan secara wajar.

Nafkah itu ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada yang

bersifat batiniyah (immateri). Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut maka

keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan

keadilan dalam memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami

dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum,

pakaian, rumah, serta waktu giliran. Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini sangat

mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap istrei-isterinya. Maka jika seorang

suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang mengakibatkan isteri-isteri terzalimi,

maka haram bagi laki-laki untuk berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-

Nisa ayat 3:

اء مثن ى وثالث ورباع فإن خفتم أال تعدلوا فواحدة أو ما فانكحوا ما طاب لكم من النسملكت أیمانكم ذلك أدنى أال تعولوا

Artinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidakberbuat aniaya.”

Rasulullah bersabda:

القیامة یجر أحد شقیھ ساقطا أو من كانت لھ امرأتان یمیل الحدھما على االخرى جاء یوم مائال (رواه أبو داود)

Artinya: “Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah satunya,maka pada hari qiamat ia berjalan dalam keadaan menarik salah satu pundaknya(miring).” (HR. Abu Daud)

Yang dianggap perbuatan menzalimi dalam Hadits di atas adalah ketidak-adilan

seorang suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk

memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.

Terkait dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan yang bersifat batin ( المیل القلبي),

kecenderungan hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri

inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah bisa dipastikan

tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:

تم فال تمیلوا كل المیل فتذروھا كالم اء ولو حرص تطیعوا أن تعدلوا بین النس لقة ع ولن تسقوا كان غفورا رحیماوإن تصلحوا وتت فإن

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu),walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalucenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), makasesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa:129)

Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang

suami, maka tertutup hukum kebolehan bagi seorang suami untuk berpoligami meskipun

sudah berada pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam membagi

cinta, maka Menurut Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan

toleransi, namun tidak termaafkan untuk nafkah lahir.

Dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha

untuk berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan

tersebut, Rasulullah mengundi di antara isteri-isterinya. Bagi yang keluar undiannya, maka

dialah yang menjadi teman pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak

melukai perasaan dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rosul.

Hikmah dari Poligami

Berpoligamim bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan.

Permasalahannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu yang

menjadi hak para isteri. Terlihat, banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi sebenarnya

mereka tidak mampu untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karena

masalah darurat, tapi karena ingin memperturutkan hawa nafsu seksual. Kalaupun mereka

mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada isteri-isterinya banyak

berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan

waktu bergilir.

Oleh karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat

kondisi darurat dan syarat beraku adil terdapat hikmah di dalamnya yang Menurut Rasyid

Ridh sedikitya terdapat empat hikmah. 1) Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan

isteri yang mandul. 2). Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski

ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya. 3).Untuk

menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat di beberapa negara

Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex

(kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina yang mencapai jumlah cukup tinggi. 4).

Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka

yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki akibat

peperangan misalnya.

Sedangkan hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena

dorongan hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung

hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abbas

Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:

1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Semua isteri Nabi yang berjumlah

sembilan dapat dijadikan sumber informasi bagi umat Islam yang hendak mengetahui

ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan beliau dalam berkeluarga, bermasyarakat,

terutama masalah rumah tangga.

2. Untuk kepentingan politik, yaitu mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus

menarik mereka masuk Islam. Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist

kepala suku bani al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani

al-Nadhir.

3. Untuk kepentingan sosial dan kamanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda

dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan Islam seperti Saudah binti Zuma’ah

(suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah ke Abesenia), Hafsah binti Umar

(suaminya gugur pada perang badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang

Uhud).

Seandainya saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin

yang wanita yang dinikahi adalah gadis-gadis cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali

tidak dilakukan oleh Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15

tahun dibandingkan umur beliau. Demikian dengan isteri-isteri beliau yang lain, semuanya

dinikahi bukan karena tuntutan nafsu , tapi bermotif dakwah yang ternyata motif tersebut

dapat membantu keberhasilan tugas beliiau sebagai utusann Allah. Dengan demikian, pada

pernikahan Rasul terdapat hikmah yang tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial

kemasyarakatan. Argumentasi logis sepertitelah tersebut dapat meruntuhkan segala tuduhan

negatif yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari satu.

3. Nikah Mut’ah

Semarak nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih

menghiasi kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiranpun muncul dari

orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang terkesan

“main-main” ini. Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain karena terdapat legitimasi

dari kelompok yang membolehkan, juga ditemukan alasan untuk terhindar dari perzinahan

demi memenuhi tuntutan sex sesaat. Untuk dapat menguji keabsahan nikah mut’ah yang

banyak dilakukan oleh orang yang tinggal jauh dari isterinya karena memenuhi tugas kerja

misalnya, bahkan tak luput pelakunya adalah pemuda dan mahasiswa, berikut ini akan

dijelaskan duduk masalahnya.

Kata mut’ah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain bekal ,(متعة )

yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang

terdapat dalam al-Quran yang berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri dengan

bersenggama) dan pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai.

Firman Allah swt:

اء ما لم ة ومتعوھن على ال جناح علیكم إن طلقتم النس وا لھن فریض وھن أو تفرض تمس)236(الموسع قدر وعلى المقتر قدره متاعا بالمعروف حقا على المحسنین

Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikanisteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukanmaharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orangyang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagiorang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Yusuf Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah secara terminologi, yaitu

seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan

dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin mut’ah ini popular dengan

sebutan kawin kontrak.

Uraian di atas memeberikan gambaran cukup jelas tentang nikah mut’ah. Bahwa

tidaklah nikah mut’ah itu dilakukan, kecuali kecenderungan seseorang untuk memenuhi

kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena secara otomatis jika sudah habis waktu kontrak

yang telah ditentukan maka berakhirlah riwayat pernikahan itu. Dilihat dari penetapan

pembatasan waktu (ta’qit) tersebut, pernikahan semacam itu bertentangan dengan syariat

Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu.

Diakui, bahwa nikah mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun tidak berlaku

untuk semua orang hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat suatu kondisi yang sangat

mendesak.

Menurut Yusuf Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah mut’ah pertama kali pada

zaman Nabi, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia

Islam. Di mana pada zaman Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar

luas. Ketika Islam mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat

berat tinggal jauh dengan isteri-isteri mereka. Di antara kaum yang ikut berijihad dengan

Rosulullah itu ada yang memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah

imannya sangat takut terjerumus ke jurang perzinahan. sedangkan mereka yang kuat imannya

bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:

ك ل كنا نغزو مع رسول هللا ولیس معنا نساء فقلنا أال نستخصي؟ فنھانا رسول هللا عن ذا ص لنا أن ننكح المرأة بالثوب الى أجل (متفق علیھ) ورخ

Artinya: “Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di sampingkami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami mengebiri? MakaRosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kamiuntuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan. (HR.Bukhari Muslim)

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah

pada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:

a. Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika

yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.

b. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga

yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan,

cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan melalui perbesanan.

Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah

mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses pengharaman

khamar. Rosulullah memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian

Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. Sebagaimana Hadits

yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah al-Juhani “bahwasanya

ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu Makkah, maka Rosulullah mengizinkan

mereka untuk melakukan nikah mut’ah. Ia berkata: “Maka kaum tetap melakukan nikah

mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi yang lain,

terdapat Hadits yang berbunyi”

م ذلك إ تمتاع من الناس وإن هللا قدحر س لى یوم یاأیھاالناس إنى قد كنت أذنت لكم فى االل ئ فلیخ ده منھن ش ان عن ة فمن ك ام ا (رواه القی یئ اآتیتموھن ش ذوامم أخ ھ والت بیل س

مسلم)Artinya: Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu melakukan nikah mut’ahdengan wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masihterdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya iamelepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikankepada mereka (HR Muslim)

Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan hukum nikah

mut’ah itu telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh keharamnnya. Dengan demikian hukum

yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman

nikah mut’ah.

Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar

bin Khattab, dengan lantang beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi

pelakunya.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa

ada pengecualian seperti haramnya menikahi ibu dan anak kandung perempuan? Apakah

keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang diperbolehkan

ketika dalam keadaan darurat? Jawabannya adalah menurut jumhur sahabat dan ulama bahwa

keharaman nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada pengecualian meski dalam kondisi darurat.

Pendapat ini diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas memutuskan

bahwa hukum nikah itu haram karena selain dadasari oleh dalil yang kuat, selain nikah ini juga

bertentangan dengan tujuan pensyariatan pernikahan.

Nikah Mut’ah Masa KiniSeperti telah dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh

sebagaian masyarakat meski mendapat protes yang cukup keras juga. Kecenderungan itu

muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang banyak berfikir

pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu kesamaan manusia masa lampau

dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu seks. Ternyata dengan dalih yang sama,

di masa sekarang ini praktek nikah mut’ah ini terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan

kembali seperti yang ditetapakan oleh kelompok syiah.

Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang yang membolehkan nikah mut’ah di

atas sangatlah lemah dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah

pernikahan yang sesungguhnya. Dengan demikian penghalalan nikah mut’ah pada masa

sekarang ini dapat dikatakan bathil dan sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun

naqli:

1. Islam menetapkan pernikahan sebagai ikatan perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas

landasan motivasi untuk hubungan yang kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih

sayang dan ketentraman batin serta menciptakan keturunan yang langgeng. Sedangkan

dalam nikah mut’ah (kontrak) perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu

yang telah disepakati. Dan perceraian kedua pasangan itu secara otomatis dikarenakan

habisnya masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini bertentangan dengan prinsip dan tujuan

nikah dalam Islam.

2. Menghalalkan kembali nikah mut’ah berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah

ditetapkan secara sempurna oleh Islam. Salah satu sebab diperbolehkannya nikah pada

zaman Nabi karena kondisi “transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada

zaman Jahiliyah merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ah

ketika itu sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah mut’ah

sekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang sempurna.

3. Alasan darurat untuk menghalalkan kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu

dibuat-buat. Sebab alasan darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu

dalam keadaan berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk

bertemu. Apakah relevan kalau hanya alasan nafsu seks itu dijadikan dalih untuk

membolehkan nikah mut’ah sekarang ini? Tentu tidak relevan karena itu qiyas fariq yang

tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

4. Dampak negatif yang diakibatkan dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab

akibat nikah mut’ah akan bermunculan perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya,

seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat dan akan muncul anak-anak

yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hal ini akan menggangu pertumbuhan

psikologis anak.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ah

yang dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan

alasan darurat dan ada hikmah tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat

dibenarkan untuk kembali mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini. Hukum nikah mut’ah ini

telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan

yang halalpun telah jelas”.

KEGIATAN BELAJAR 3: BANK, RENTE DAN FEE

Indikator Kompetensi

Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 3 ini diharapkan saudara dapat

1. Menjelaskan pengertian bank dan macam-macamnya2. Membedakan bank Islam dan bank kovensional3. Menjelaskan pengertian riba dan macam-macamnya4. Menjelaskan hukum bunga bank5. Membedakan bunga bank dengan riba nasiah6. Menjelaskan dampak negatif dari riba dan hikmah diharamkannya

Pokok-Pokok Materi

Uraian Materi

Bank, Rente dan Fee

Saudara-saudara sekalian, pada bahan kegiatan belajar 1 akan dibahas dua materi

pokok. Pada bagian pertama akan dibahas tentang fiqih ibadah yang meliputi pembahasan

tentang bank dan rente sedangkan pada bagian kedua akan dibahas tentang bank dan fee. Baca

dan perhatikan materi kegiatan 1 ini dengan baik agar tercapai tujuan secara optimal.

1. Bank dan Rente

Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yang

usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran

uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Dari

1. Pengertian bank dan macam-macamnya

2. Perbedaan bank Islam dan bank kovensional

3. Pengertian riba dan macam-macamnya

4. Hukum bunga bank

5. Perbedaan bunga bank dengan riba nasiah

6. Dampak negatif dari riba dan hikmah keharamannya

pengertian ini maka bank memiliki dua arti penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan

menciptakan uang. Yang dimaksud dengan bank non Islam (convensional bank) adalah

lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan

kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dan

usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga. Contohnya BNI , BRI. BCA dan sebagainya.

Sedangan yang dimaksud dengan bank Islam adalah suatau lembaga yang fungsi utamanya

menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya

dengan sistem tanpa bunga. Contohnya Bank Muamalat.

Tujuan didirikannya bank Islam adalah untuk menghindari bunga uang yang

diberlakukan oleh bank convensional. Dari definsi di atas maka dapat dibedakan antara bank

convensional dengan bank Islam yaitu bank convensional memakai sistem bunga sedangkan

bank Islam tidak.

Sebagai pengganti sistem bunga, maka bank Islam menempuh cara-cara sebagai

berikut:

1. Wadiah yaitu titipan uang, barang dan surat-surat berharga).Dalam operasinya bank

Islam menghimpun dengan cara menerima deposito berupa uang benda dan surat

berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank

berhak menggunakan dana tersebut tanpa harus membayar imbalannya. Namun

bank harus menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat pada waktu pemilik

deposito memerlukannya.

2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana). Dengan

mudharabah bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha

untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun rugi sesuai

dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.

3. Musyarakah/syirkah (persekutuan). Pihak bank dan penguasa sama-sama

mempunyai andil (saham) pada usaha patungan. Kedua belah pihak andil dalam

mengelola usaha patungan itu dan menaggung untung rugi bersama atas dasar

perjanjian profit and loss sharing.

4. Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian

yang pertama secara jujur). Syarat murabahah antara lain bahwa fihak bank harus

memberikan informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya

dan keuntungan bersihnya dari cost plusnya.

5. Qard hasan (pinjaman yang baik). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa

bunga kepada para nasabah yang baik terutama para nasabah yang memiliki

deposito di bank Islam

6. Bank Islam boleh mengelola zakat di Negara yang pemerintahannya tidak

mengelola zakat secara langsung. Bank Islam juga dapat menggunakan sebagian

zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk

kepentingan agama dan umum. Bank Islam juga boleh menerima dan memungut

pembayaran untuk mengganti biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam

melaksanakan pekerjaannya untuk melayani kepentingan para nasabah misalnya

biaya materai, telepon dalam memberitahukan rekening dan lain-lain

7. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan

nasabah, untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya

administrasi pada umumnya.

Dilihat dari fungsinya, bank terbagi menjadi dua. Pertama, bank primer, yaitu bank

sirkulasi yang menciptakan uang. Kedua, bank skunder, yaitu bank yang tidak menciptakan

uang juga tidak memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum,

tabungan, pembiayaan usaha dan pembangunan.

Sedangkan rente dilihat dari segi bahasa berasal dari bahasa Belanda, yang berarti

bunga. Sedangkan menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Fuad. M. Fachruddin,

rente adalah keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan bank karena jasanya meminjamkan

uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat bantuan bank, perusahaan

bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga bertambah banyak. Permasalahan

yang kemudian muncul adalah apakah rente atau bunga bank itu termasuk riba atau bukan?

Jenis Riba dan Hukumnya

Secara bahasa, kata riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti

tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk

membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu

pengembalian uang pinjaman, riba semacam ini disebut dengan riba nasiah .

Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal

yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam

tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.

Riba nasiah ini terjadi dalam hutang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan riba duyun

dan disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal

melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman

yang dikenal dengan sebutan riba. Juga disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab dasar

hukumnya disebut secara jelas dan pasti. Sejarah mencatat bahwa praktek riba nasiah ini

pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif yang telah terbiasa meminjamkan uang kepada Bani

Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih

banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran. Sebagian tokoh sahabat Nabi,

seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, keduanya pernah mempraktekkannya

sehingga turun ayat yang mengharamkannya yang kemudian membuat heran orang musyrik,

karena mereka telah menganggap jual beli itu sama dengan riba. (Satria Effendi, 1988:147).

Ayat tersebut berbunyi:

با ال یقومون إال كما یقوم الذ یطان من المس ذلك بأنھم الذین یأكلون الر ي یتخبطھ الش

با م الر البیع وحر با وأحل قالوا إنما البیع مثل الر

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan sepertiberdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan merekayang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beliitu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS. 2:275)

Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur. Pertama,

terdapat tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan. Kedua, tambahan itu tanpa

resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam. Ketiga,

tambahan itu disyaratkan dalam bentuk pemberian piutang dan tenggang waktu. Bandingkan

dengan kasus lain, penambahan yang dilakukan oleh orang yang berhutang ketika membayar

dan tanpa ada syarat sebelumnya, hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik)

yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah (Quraish Shihab, 1988:136). Rasul pernah

berhutang kepada seseorang seekor hewan kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih

tua umurnya seraya bersabda:

ضاء (متفق علیھ)فان من خیركم أحسنكم ق

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar

hutangnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Fuqaha membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji.

Menurut mereka tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika tambahan tersebut

disyaratkan pada waktu aqad. Artinya seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada

tambahan dalam pengembaliannya. Tindakan ini dinilai tercela karena ada kezaliman dan

pemerasan. Sedangkan tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu aqad. Tambahan

itu diberikan oleh orang yang berhutang ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat

hanya sebagai tanda rasa terima kasih kepada orang yang telah memberikan hutang kepadanya.

Selain riba nasiah seperti telah dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba dalam

bentuk lain yang disebut dengan riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba

yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba nasiah. Dengan kata lain bahwa riba

fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas

keharamannya. Maka Rasulullah melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak,

gandum dengan gandum, korma dengan korma, kecuali dengan sama banyak dan secara tunai.

Barang siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil

dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari). Dari pengertian tersebut, fuqaha

menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara

benda-benda sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan perak dan sebagainya.

Tentang keharaman riba, sikap semua agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani)

secara tegas mengharamkan riba karena dianggap sebuah praktek yang dapat merusak moral.

Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip oleh

Sayyid Sabiq “jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah

kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan

hartamu”. Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat, “jika saudaramu

membutuhkan sesuatu maka tanggunglah, jangan kamu meminta darinya keuntungan dan

manfaat”. Paus Pius berkata “sesungguhya pemakan riba akan kehilangan harga

diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikapankan setelah

mereka mati”. Sedangkan dalam Islam, keharaman riba ditetapkan oleh al-Qur’an secara

kronologis di berbagai tempat. Pada priode Mekkah turun firman Allah swt surat al-Ruum ayat

39.

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada hartamanusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupazakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian)I t u l a h o r a n g - o r a n g y a n g m e l i p a t g a n d a k a n ( p a h a l a n y a ) . ( Q S . : 3 0 / 3 9 )

Pada priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba,

terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat

ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS:

3/130)

Ayat terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat278-279:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidakmengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akanmemerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokokhartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.( Baqarah/2: 278-279)

Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang

yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak

memperbolehkan pengembalian hutang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada

tambahan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah

perbuatan haram dan termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan. Dalam

hadits yang lain, keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya saja tapi juga kepada semua

pihak yang ikut membantu terlaksananya perbuatan riba tersebut, hal ini diperkuat oleh hadits

yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

لعن هللا هللا آكل الربا، ومؤكلھ، وشاھدیھ، وكاتبھ. (رواه البخارى ومسلم)

Artrinya: Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya, saksi-saksinya

dan penulisnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hikmah Keharaman Riba

Berdasar kepada keharaman riba sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yususf Qardawi dan

Sayyid Sabiq memberikan komentar yang senada tentang bahaya riba dalam konteks

kehidupan personal dan sosial. Menurut Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-halal wa al-haram

menyatakan bahwa dalam praktek riba terdapat kezaliman. Dalam bentuk pengambilan harta

orang lain tanpa hak. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dengan keharusa orang yang berhutang

untuk mengembalikan sejumlah tambahan dari jumlah hutang yang harus dibayarkan. Selain

itu, menurut Qardhawi bahwa dalam praktek riba terkandung potensi secara psikologis yang

dapat melemahkan kreatifitas manusia untuk bekerja, sehingga manusia melalaikan

perdagangannya dan aktifitas ekonomi lainnya yang mampu memutus kreatifitas hidupnya.

Dampak negatif ini muncul sangatlah beralasan dikarenakan uang yang mengalir ke dalam

sakunya diperoleh secara mudah tanpa mengeluarkan keringat sehingga hidupnya bergantung

kepada riba yang diperolehnya tanpa usaha, sehingga muncul mental-mental manusia yang

konsumtif dan tidak produktif. Lanjut Qardhawi menjelaskan, aspek lain yang tidak kalah

pentingnya dari dua dampak terdahulu adalah bahwa dalam praktek riba berpotensi besar untuk

menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam hutang piutang. Transaksi hutang piutang

yang pada mulanya mengandung kebaikan karena di dalamnya terdapat unsur tolong

menolong dalam kehupuan sosial, akibat virus riba maka hutang piutang akhirnya berubah

menjadi sebuah praktek pemerasan terselubung yang akan mendorong pelakunya bermental

lintah darat yang memanfaatkan kebaikan hutang piutang. Selain itu, dilihat secara moral,

tegas Qardhawi riba sangat tidak memiliki nilai kemanusiaan karena di dalamnya terdapat

eksploitasi terhadap kaum lemah, hal ini menurut beliau karena yang menjadi kebiasaan adalah

orang yang memberi hutang adalah orang kaya dan orang yang berhutang adalah orang miskin.

Mengambil kelebihan hutang dari orang yang miskin sangatlah tidak wajar dan bertentangan

dengan sifat rahmah Allah swt., hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial. (Qardhawi,

1994: 242-243)

Hampir senada dengan Qardhawi, Sayyid Sabiq juga menguraikan dampak negatif yang

diakibatkan oleh riba. Namun terdapat point penting lain yang dapat diungkap dari Sabiq yaitu

bahwa dalam praktek riba akan dapat menimbulkan potensi permusuhan. Hal ini muncul

dimungkinkan karena dalam praktek riba menapikan unsur tolong menolong yang dapat

memperkuat tali persahabatan dan persaudaraan. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai

kebaikan yang dianjurkan oleh semua agama terutama Islam yang menyeru agar ummatnya

dapat hidup selalu saling tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan

kepentingan pribadi dan mengeksploitasi kerja orang lain.

Lanjut Sabiq mengatakan bahwa praktek riba berpotensi untuk melahirkan mental hidup

mewah (pemboros), pemalas yang tidak mau bekerja dan menimbulkan penimbunan harta

tanpa usaha yang tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain.

Sederet dampak yang tersebut terakhir ini merupakan bentuk mental yang bertentangan dengan

semangat ajaran Islam. Pemborosan merupakan sifat yang seharusnya dijauhi oleh ummatnya

karena pemboros dalam hidupnya hanya menyia-nyiakan harta dengan perbuatan yang tidak

bermanfaat yang diklaim sebagai perbuatan syetan. Demikian halnya dengan sikap berpangku

tangan juga merupakan sifat yang tidak islami, karena ajaran Islam menganjurkan ummatnya

berusaha sekuat tenaga untuk mencari harta dengan jalan yang benar, menghargai kerja keras

dan menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata

pencaharian, menuntun orang kepada keahlian dan kemandirian serta mengangkat semangat

hidup seseorang.

Butir lain yang tidak kalah pentingnya dengan butit-butir terdahulu yang diungkap Sabiq

adalah bahwa praktek riba merupakan salah satu cara penjajahan. Hal ini dapat dipahami

karena sesungguhnya praktek riba adalah produk jahiliyah yang berkembang sampai sekarang

menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang berbasis kapitalis yang jauh dari nilai tolong

nenolong. Hal ini tentunya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang mengajak

manusia agar dapat memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik semata untuk

mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah. Hal ini diperkuat firman Allah swt.:

ثم والعدوان وتعاونوا على البر والتقوى وال تعاونوا على اإل

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, danjangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamukepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)

Memperhatikan praktek riba dan segala konsekuensi yang diakibatkan darinya

sebagaimana dijelaskan di atas maka penulis dapat berkesimpulan bahwa akibat yang

ditimbulkan oleh praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang baik secara personal

maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari keberkahan hidup. Jika praktek riba

dibiarkan tanpa usaha untuk mengembalikan kepada sistem perekonomian Islam yang terbebas

dari sistem riba maka sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap

kaum lemah akan tetap merajai sistem perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan

yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern. Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang

menyatakan bahwa orang yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.

Ikhtilaf Hukum Bunga Bank

Sebelum menampilkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank, nampaknya

perlu dikedepankan terlebih dahulu tentang sistem bunga bank itu sendiri. Dalam sistem bunga

bank konvensional yang berlaku mengharuskan mereka yang menitipkan uang untuk jangka

waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari bank ditambah dengan bunga yang

jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan uang. Sebaliknya kepada mereka yang

meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh bank juga diharuskan untuk

mengembalikan uang yang dipinjam. Selain itu, iapun harus memberikan uang tambahan yang

jumlahnya telah disepakati pada waktu pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut

dengan bunga.

Terhadap konsep bunga bank seperti tersebut terdapat perbedaan sikap para ulama

dalam menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok ulama

tentang hukum bunga bank. Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang menghukuminya

haram secara mutlak). Kedua kelompok yang mengharamkan jika bersifat konsumtif. Ketiga,

muhallilun (kelompok yang menghalalkan) dan keempat, kelompok yang menganggapnya

syubhat. Berikut ini akan diuraikan empat kelompok ulama seperti dimaksud:

1. Yang termasuk kedalam kelompok pertama ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la al-

Maududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd

al-Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu riba

nasiah yang mutlak keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan

dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Terkait dengan

kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi berbeda dengan yang lainnya,

menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank, keharamannya

bersifat mutlak.

2. Yang termasuk ke dalam kelompok yang kedua ini antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau

berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat konsumtif seperti yang

berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang

konsumtif berbeda yang bersifat produktif tidaklah termasuk haram. Hal senada juga

dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara riba

dengan rente. Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang

membutuhkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente

sifatnya produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal

usaha yang menghasilkan keuntungan.

3. Yang termasuk kepada kelompok ketiga antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat

bahwa bunga bank (rente) seperti yang belaku di Indonesia bukan termasuk riba yang

diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:

لعلكم تفلحون با أضعافا مضاعفة واتقوا یاأیھا الذین ءامنوا ال تأكلوا الر

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba denganberlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkeberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)

4. Yang termasuk ke dalam kelompok keempat adalah Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam

muktamar di Siduarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada

para nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya).

Karena yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah kepada pemerasan

sejalan dengan QS. 2:279.

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), makaketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu

bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidakmenganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)

Muhammadiyah masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh

karena itu Muhammadiyah menganggapnya syubhat tapi Muhammadiyah membolehkannya

jika dalam keadaan terpaksa saja

Masing-masing klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama

seperti terlihat jelas pada uraian di atas berakar dari perbedaan penafsiran melalui ijitihad

mereka terhadap nash yang berbicara tentang riba sehingga masing-masing kelompok memiliki

argumentasi yang diyakininya benar. Terlepas dari perdebatan tersebut, melihat realitas yang

ada bagi umat Islam termasuk di Indonesia sudah menjadi terbiasa hidup dengan bunga bank

tanpa ada perasaan risih dan anggapan bahwa bunga bank itu sesuatu yang terpaaksa atau

darurat.

Di sisi lain sebagian masyarkat juga ada terjebak dalam praktek pinjam meminjam uang

dengan suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para rentenir. Berbeda dengan bunga

bank, sistem rentenir yang sering disebut “lintah darat” itu sering menimbulkan kegelisahan

di masyarakat sebab . Kondisi ini muncul dikarenakan beban yang ditanggung oleh pihak

nasabah terlalu berat, sementara di sisi lain muncul sekelompok orang yang hidup mewah dari

hasil rentrenir yang memeras pihak peminjam. Jika demikian halnya, maka tidaklah diragukan

bahwa sisten renten seperti itu termasuk perbuatan terkutuk dan haram hukumnya karena di

dalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang

membutuhkan dan praktek ini telah dipraktekkan sejak zaman jahikliyah. Jadi keharaman

rentenir jelas karena termausk kategori riba riba yang diharamkan di dalamnya terdapat

kelebihan yang merugikan pihak peminjam, sehingga pihak peminjam merasa teraniaya dan

tertindas jika kelebihan dalam batas kewajaran dan itu tidak merugikan salah satu pihak, maka

tidak dinamakan riba yang diharamkan. Dalil yang dijadikan dalil tentang keharaman riba

terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275:

با م الر البیع وحر وأحل Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah: 2/275)

Kemudian permasalahannya penting yang perlu jawaban adalah pertanyaan, apakah

bunga bank di dalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau tidak?

Bank merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme

bank untuk mengelola peredaran modal masyarakat. Dengan fungsi ini, masyarakat dapat

menitipkan modalnya kepada bank dan di sisi lain pihak bankpun dapat meminjamkan dana itu

kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Masyarakat yang meminjam uang ke

bank pada umumnya digunakan sebagai modal usaha bukan untuk kebutuhan konsumtif dan

dari usaha itu akan diperoleh keuntungan. Di sisi lain, pemilik modal yang menitipkan uangnya

kepada bank untuk jangka waktu tertentu, ia akan kehilangan haknya untuk menggunakan daya

beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya pihak yang meminjam dana

tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari modal titipan tadi dapat memanfaatkan

pinjaman sebagai modal sehingga menghasilkan keuntungan. Berdasarkan prinsip bahwa tidak

terdapat pihak yang dirugikan, maka tidaklah adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan

hak untuk mempergunakan daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak mendapat

imbalan. Sementara itu, peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan

memperoleh keuntungan tidak membagi keuntungannya kepada pemilik modal pertama.

Salah satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank adalah ketentuan jumlah

atau presentase bunga yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengatasi persoalan ini

ditawarkan alternastif sistem bagi hasil yang berarti nanti diperhitungkan untung dan rugi

perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik asli dan pengguna modal, baik keuntungannya

maupun kerugiannya. Tapi pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di muka

yang sekarang dipraktekkan oleh bank Islam menghadapi permasalahan yang sangkat

kompleks dan rumit serta tidak efesien.

Hal yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolaannya terjadi

kegagalan atau kerugian. Tapi pada umumnya masyarakat menerima dengan baik dan merasa

diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya presentasi bunga yang akan diterima

memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal. Tidak adanya kepastian prosentase bunga

seperti yang tedapat dalam bank Islam merupakan salah satu penyebab mengapa bank itu sukar

menarik modal. Apa yang dipraktekkan oleh bank Islam itu sungguh sangat mulia, karena Islam

mengajarkan kepada orang yang memiliki rezeki yang lebih agar membantu meminjaminya

kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengaharap keuntungan. Tapi himbauan ini

menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk sementara itu meliputi

jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif keluarga.

Kembali tentang hukum bunga bank, mantan syekh dan seorang mufti Sayyid Thantawi

berbeda dengan pendahulunya Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga deposito

berjangka di bank yang ditetapkan besar presentasenya terlebih dahulu itu tidak haram menurut

Islam. Fatwa ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsit al-Manar,

“Tidak termasuk riba seseorang yang memberikan kepada orang lain uang untuk

diinfestasikan sambil menentukan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena

transaksi semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola modal. Sedangkan riba

yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak tanpa alasan serta menguntungkan pihak

lain tanpa usaha.”

Diriwayatkan dalam sebuah Hadits, bahwa Jabir pernah memberikan hutang kepada

Nabi. Ketika Jabir mendatanginya, Nabi membayar hutangnya dan melebihkannya. Beliau

bersabda:

إن خیركم أحسنكم قضاء Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar hutang.”

B. Bank dan Fee

Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan

administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada

hakikatnya bisa dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya bisa dipersamakan dengan

hukum bunga bank. Untuk menjawab masalah ini dapat dikembalikan kepada pendapat

ulama tentang hukum bunga bank itu sendiri. Bagi kelompok ulama yang mengharamkan

bunga bank, maka merekapun mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan

mengambil manfaat dari sebuah transakasi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap

fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana operasonal. Sedangkan ulama yang

menghalalkan bunga bank dengan alasan keadaan bank itu darurat atau alasan lainnya,

merekapun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oleh karena itu hukumnya boleh

selain alasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak bisa beroperasi maka keberadaan sesuatu

sebagai alat sama hukumnya dengan keberadaan asal. Dalam hal ini, hukum fee sama

dengan bunga bank, yaitu boleh.

Kegiatan Belajar 4KONSEP PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

Indikator Kompetensi

Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 4 ini diharapkan sudara

dapat:

1. Menjelaskan pengertian pemerintahan dalam Islam

2. Menjelaskan tentang makna khilafah

3. Menjelaskan hukum pembentukan khilfah

4. Menjelaskan cara pengangkatan khilafah

5. Menjelaskan tentang hak dan kewajiban rakyat

6. Menjelaskan tentang majlis syura dan ahlul halli wa al-aqdi

Pokok-pokok Materi

Uraian Materi

4. Pemerintahan dalam Islam

A. Sistem Khilafah

Menurut bahasa kata khilafah berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan

dan kepemimpinan. Sedangkan secara istilah, khilafah berarti sistem pemerintahan yang

diatur sesuai dengan ajaran Islam. Dalam sejarah kata khilafah digunakan untuk sebutan

1. Pengertian siyasah dalam Islam

2. Makna khilafah

3. Hukum pembentukan khilfah

4. Cara pengangkatan khilafah

5. Hak dan kewajiban rakyat

6. Majlis syura dan ahlul halli wa al-aqd

bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu seperti khilafah Abu Bakar, khilafah Umar

dan sebagainya.

Definisi di atas menunjukkan hubungan timbal balik antara agama dan negara yakni

keduanya saling memerlukan. Meskipun antara memlihara agama dan mengatur negara

kelihatannya berbeda namun keduanya tidak bisa dipisahkan. Politik membutuhkan

agama begitu sebaliknya agama membutuhkan politik, itulah khilafah dalam Islam. Imam

al-Ghazaly pernah berkata agama adalah pondasi sedangkan pemerintahan adalah

tiangnya.. Tiang akan runtuh jika tidak ada pondasi.Setiap sistem pemerintahan dapat

dipastikan mempunyai tujuan yang akan dicapainya tak terkecuali pemerintahan dalam

bentuk khilafah. Menurut Abu A’la al-Maududi, terdapat tiga tujuan utama pemerintahan

dalam Islam. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan

menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan. Kedua,

menegakkan sistem yang Islami melalui cara yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah

berkuasa untuk menyebarkan kebaikan serta memerintahkannya (amar ma’ruf) sejalan

dengan misi utama kedatangan Islam ke dunia. Ketiga, menumpas akar-akar kejahatan

dan kemungkaran yang merupakan perkara yang paling dibenci oleh Allah swt.

Terkait dengan istilah khilafah dengan Khalifah, banyak orang yang belum paham

untuk membedakan kedua macam istilah tersebut.untuk istilah khalifah ebagaimana

telah disebut di atas bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang sah menurut ajaran

Islam. Konsekuansi adanya khilafah mengharuskan adanya seorang yang menjadi

pemimpin khilafah. Orang yang memimpin khilafah dinamakan khalifah. Khilafah dan

khalifah merupakan rukun terpenting adanya sebuah pemerintahan dalam Islam. Dari

pengertian di atas kita dapat membedakan antara khilafah dengan khalifah. Khilafah

adalah sistem pemerintahannya sedangkan khalifah adalah pemimpinnya.

Dalam Islam seseorang layak menjadi khalifah jika memenuhi syarat-syarat, yaitu:

adil, berilmu, sanggup berijtihad, sehat mental dan fisiknya serta berani dan tegas.

Pembentukan Khilafah

Dalam ajaran Islam, mendirikan sebuah khilafah (pemerintahan) agar hukum-

hukum Allah dapat dilaksanakan merupakan sebuah tuntutan . Oleh karena itu sepakat

kata ulama bahwa hukum mendirikan pemerintahan yang di dalamnya syariat Islam dapat

dilaksanakan dengan baik hukumnya menjadi sebuah kewajiban kolektif. Hal ini didasari

oleh alasan yang bersifat aqli dan naqli. Secara aqli (akal sehat) keharusan mendirikan

khilafah disebabkan karena tidak mungkin untuk melaksanakan hak dan kewajiban

seperti membela agama, menjaga kemanan dan sebagainya tanpa adanya khilafah

(pemerintahan). Secara naqli, banyak ayat al-Qur’an dan hadits rasulullah yang

menegaskan bahwa ummat Islam harus menjadi khalifah yang berjuang menegakkan

kebenaran dan keadilan. Ha ini diantaranya dapat dilihat dalam QS. Al-Nur ayat 55

الحات لیستخلفنھم في األرض كما الذین ءامنوا منكم وعملوا الص وعد نن لھم لنھم م دینھم الذي ارتضى لھم استخلف الذین من قبلھم ولیمك ن بعد ولیبد

خوفھم أمناArtinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan

mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan

mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum

mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah

diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,

sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (al-Nur/24: 55)

Dasar-Dasar Khilafah

Sebuah pemerintahan dalam Islam harus dilandasi oleh hukum al-Qur’an dan

sunnah. Dalam sejarah,, pemerintahan dalam Islam diselenggarakan berdasarkan kepada

hukum-hukum Allah seperti yang terjadi pada pemerintahan rasulullah dan khulafa al-

Rasyidin Dasar-dasar tersebut meliputi:

1. Sifat jujur, ikhlas serta tanggung jawab. Semuanya harus dimiliki oleh khalifah

dalam melaksankan tugas kekhalifahan untuk rakyatnya dengan tidak

membedakan mereka baik dari keturunan, warna kulit dan sebagainya.

2. Keadilan yang bersifat menyeluruh kepada rakyat

3. Tauhid (mengesakan Allah) yang mengandung arti taat kepada Allah, rasul-Nya

dan pemumpin sebagai kewajiban bagi setiap orang beriman.

4. Adanya kedaulatan rakyat. Hal ini dapat difahami dari adanya perintah Allah

agar orang yang beriman taat kepada ulil amri (pemimpin). Sebagaimana

tercantum dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 58 yang artinya “Wahai orang-

orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, taatlah kepada rasul dan

pemimpin diantara kamu”

Orang yang sudah memenuhi kriteria seperti tersebut di atas maka ia layak untuk

diangkat sebagai khalifah. Pangkat tersebuat merupakan bagi orang yang dipercaya

untuk memimpin negara. Proses pengangkatannya melalui seleksi yang sangat ketat..

Secara logika kedudukan seorang khalifah dalam sistem khilafah adalah wajib.

Karena jika tidak ada khalifah maka pemerintahan tidak akan berjalan. Maka sepakat

para ulama bahwa pengangkatan khalifah hukumnya wajib kifayah. Khalifah dapat

diangkat oleh wakil rakyat yang dipercaya yang disebut dengan ahlul hal wa al aqdi.

Persoalan yang perlu diketahui selanjutnya adalah bagaimana cara pengangkatan

khalifah dalam Islam?. Jika kita perhatikan ayat al-Qur’an dan hadits tidak ada

ketentuan atau cara untuk memilih khalifah. Namun al-Qur’an menekankan azas

musayawarah dalam mengambil keputusan penting. Termasuk keputusan penting

adalah mengangkat khalifah. Oleh karena itu untuk mengetahui cara pengangkatan

khalifah dapat kita lihat dalam perjalanan sejarah Islam.

1. Pengangkatan khalifah melalui pemilihan oleh para tokoh ummat. Seperti

pengangkatan Abu Bakar Shiddiq sebagai khalifah pertama yang diadakan di

Tsaqifah Bani Saidah.

2. Pengangkatan berdasarkan usulan (wasiat) oleh khalifah sebelumnya seperti

pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah . Umar terpilih berdasarkan

usulan Abu Bakar (khalifah pendahulunya) yang kemudian disetujui oleh para

sahabat lainnya.

Nampaknya dua cara pemilihan khulafa al-Rasyidin di atas lebih bersifat

demokrasi.

3. Pengangkatan khalifah melalui pemilihan yang langsung dilakukan oleh rakyat.

Seperti pangangkatan khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah.

4. Pengangkatan khalifah berdasarkan persetujuan secara bulat oleh rakyat karena

calon khalifah dinilai memiliki jasa yang sangat besar seperti pengangkatan sultan

Salim di Mesir.

5. Pengangkatan khalifah berdasarkan keturunan. Bentuk ini dilakukan dalam sistem

kerajaan yang pernah dipraktekkan oleh dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiah

dan kerajaan Saudi sekarang ini.

Dari praktek pengangkatan khalifah sebagaimana tersebut di atas maka sedikitnya

terdapat tiga cara pengangkatan khalifah dalam Islam. Pertama pemilihan langsung

yaitu rakyat langsung memilih khalifah yang mereka inginkan. Kedua pemilihan tidak

langsung yaitu berbentuk perwakilan rakyat dan ketiga adalah pengangkatan khalifah

berdasarkan keturunan.

Baiat Khalifah

Kata baiat berasal dari kata ba’a باع) ) yang berarti menjual. Dalam khilafah, baiat

mengandung janji setia antara rakyat dengan khalifah Hal ini sejalan dengan pengertian

yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun bahwa baiat adalah perjanjian atas dasar kesetiaan.

Orang yang berbaiat harus menerima seseorang yang terpilih menjadi kepala negara

sebagai pemimpinnya untuk melaksanakan semua urusan orang Islam. Dalam baiat,

rakyat berjanji setia untuk mentaati khalifah selama khalifah itu tidak melakukan sesuatu

yang melanggar hukum Allah. Demikian juga khalifah, melaksanakan hak dan

kewajibannya yaitu melaksanakan undang-undang demi mewujudkan keadilan sesuai

dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya.

Hak dan Kewajiban Rakyat

Dalam sistem khilafah, rakyat sebagai kumpulan manusia yang dipimpin memiliki

hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan secara adil. Apa hak dan kewajiban rakyat

setelah melakukan janji setia (baiat)?. Berikut ini adalah hak-hak rakyat di satu sisi. Tapi

disi lain merupakan kewajiban pemerintah

1. Hak keselamatan jiwa dan harta. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk

melindungi keamanan hidup rakyatnya dan harta benda yang mereka miliki

sehingga mereka bisa hidup dengan tenang. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt.

dalam surat al-Isra ayat 33

إال بالحق م وال تقتلوا النفس التي حر

Artinya: Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membununya

kecuali denagn alasan yang dibenarkan (QS. 17:33)

Ayat yang berkaitan dengan dengan keselamatan hak milik. Allah berfirman

وال تأكلوا أموالكم بینكم بالباطل

Artinya: Janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara yang batil (QS. 2:188)

2. Hak untuk memperoleh keadilan hukum dan pemerataan. Dalam hal ini

pemerintah wajib menegakkan keadilan dan pemerataan untuk rakyatnya. Hal ini

ditegaskan oleh al-Qur’an:

وإذا حكمتم بین الناس أن تحكموا بالعدل

Artinya: Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia agar

menetapkannya dengan adil (QS. 4:58)

3. Hak untuk menolak kezaliman dan kesewenang-wenangan. Dalam hal ini

pemerintah wajib melindungi rakyatnya dari prilaku zalim dan kesewenang-

wenangan. Hal ini ditegaskan oleh Allah

الجھر بالسوء من القول إال من ظلم ال یحب

Artinya: Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang

kecuali oleh orang yang dianiaya. (QS.Al-Nisa/ 4:148)

4. Hak berkumpul dan menyatakan pendapat. Firman Allah swt.

قوا واختلفوا من بعد ما جاءھم البینات وأولئك لھم عذاب عظیم وال تكونوا كالذین تفر

Artinya: Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan

berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah

orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (QS. Ali Imran/3:105)

5. Hak untuk bebas beragama. Pemerintah wajib untuk menjamin kebebasan

beragama rakyatnya. Firman Allah swt:

ین ال إكراه في الد

Artinya: Tidak ada paksaan dalam bergama (Qs. 2/256)

6. Hak mendapatkan bantuan materi bagi rakyat yang lemah. Dalam hal ini

pemerintah berkewajiban untuk mebantu rakyat yang lemah. Hal ini didasari oleh

firman Allah swt:

وفي أموالھم حق للسائل والمحروم

Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta

dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Qs. 51:19)

Kewajiban Rakyat kepada Khalifah

Dalam sistem khilafah, rakyat memiliki kewajiban terhadap khalifah yang

sekaligus hak khalifah kepada rakyatnya, yaitu:

1. Kewajiban taat kepada khalifah. Firman Allah swt.

سول وأولي األمر منكم وأطیعوا الر یاأیھا الذین ءامنوا أطیعوا

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, rasul-

Nya dan para pemimpin di antara kamu. (Qs. Al-Nisa/4:59)

2. Kewajiban mentaati undang-undang dan tidak berbuat kerusakan. Firman Allah

swt.

وال تفسدوا في األرض بعد إصالحھا

Artinya: Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan

memperbaikinya (Qs. Al-A’raf/7:85)

3. Membantu khalifah dalam semua usaha kebaikan . Firman Allah swt:

وتعاونوا على البر والتقوى

Artinya: Dan Tolong-menolonglah kamu semua dalam kebaikan (Qs.al-

Maidah / 5: 2)

4. Bersedia berkorban jiwa maupun harta dalam mempertahankan dan

membelanya. Firman Allah swt.

ذلكم خیر لكم إن انفروا خفافا وثقاال وجاھدوا بأموالكم وأنفسكم في سبیل كنتم تعلمون

Artinya: Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun

merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang

demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Qs. Al-

Taubah/9:41)

5.Menjaga Persatuan dan Kesatuan. Firman Allah swt.

قوا جمیعا وال تفر واعتصموا بحبل

Artinya: Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah (agama) dan

janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali-Imran/3:103)

B. Majlis Syura

Kata “majlis syura” terdiri dari dua kata yaitu kata majlis dan kata syura. Majlis

artinya tempat duduk syura artinya bermusyawarah. Dengan demikian majlis syura secara

bahasa artinya tempat bermusyawarah (berunding). Dikaitkan dengan sistem

pemerintahan, majlis syura memiliki pengertian tersendiri yaitu suatu lembaga negara

yang terdiri dari para wakil rakyat yang bertugas untuk memperjuangkan kepentingan

rakyat. Majlis ini memiliki tugas utama yaitu mengangkat dan memberhentikan khalifah.

Pada masa Rasulullah istilah majlis syura belum ada. Namun praktek

melaksanakan musyawarah telah dilakukan oleh rasul sebagai seorang pemimpin negara..

Rasulullah sering memanggil para sahabatnya untuk berunding mengambil keputusan

dalam urusan negara dan masyarakat. Demikian juga yang dilakaukan oleh khulafa al-

rasyidin setelah rasul meninggal. Mereka selalu bermusyawarah. Musyawarah

merupakan cara untuk mengambil keputusan. Karena dengan musyawarah sebuah

keputusan lebih kuat dan jauh dari kekeliruan karena antara yang satu dengan yang

lainnya saling melengkapi. Allah memerintahkan kepada kita untuk bermusyawarah.

dalam segala urusan terlebih pemimpin negara. Firman Allah swt.

وشاورھم في األمر

Artinya:” Bermusyawarahlah kamu kepada mereka dalam segala urusan .(Qs. Ali

Imran/3:159)Syarat-Syarat Menjadi anggota majlis syura

Tidak semua orang bisa menjadi anggota majlis syura. Mereka adalah orang-

orang yang memiliki kemampuan intelektual dan memiliki sifat mental yang terpuji.

Oleh karena itu imam al-Mawardi merumuskan beberapa syarat untuk menjadi anggota

majlis syura :

1. Berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan. Sikap ini mencerminkan bahwa

anggota majlis syura adalah mereka memiliki sifat jujur dan bertanggung jawab.

2. Berilmu pengetahuan yang luas. Yaitu memiliki kecerdasan intelektual yang

tajam. Sehingga segala ucapan dan perbuatannya didasari oleh ilmu bukan oleh

hawa nafsu .

3. Memiliki kearifan dan. wawasan yang luas. Anggota majlis syura dalam

memutuskan sesuatu harus ditujukan untuk kemsalahatan ummat bukan untuk

kepentingan dirinya sendiri.

Terkait dengan kewajibannya, seseorang yang telah dipercaya menjadi majlis syura

maka ia memiliki kewajiban utama yaitu mengangkat dan meberhentikan khalifah.

Khalifah yang diangkat oleh majlis syura adalah orang yang memiliki pengetahuan yang

luas, adil, bertanggung jawab, teguh dan cakap dalam menjalankan pemerintahan dan

sehat baik rohani dan jasmaninya. Jika dalam melaksnakan tugasnya seorang khalifah

melanggar hukum Alah (maksiat) maka Majlis Syura berkewajiban untuk

memberhentikan khlaifah dari jabatannya dan mengantinya dengan yang lain. Tugas lain

dari majlis syura adalah Bermusyawarah dengan khalifah dalam menyelesaikan berbagai

persoalan yang menyangkut kepentingan ummat.

C. Ahlul Halli wa al-Aqdi

Secara bahasa ahlul halli wal aqdi mengandung arti orang yang melonggarkan dan

mengikat. Sedangkan dalam ilmu fiqh ahlul halli wal aqdi diartikan orang yang dipilih

sebagai wakil ummat untuk menyuarakan hati nurani ummat. Ahlul halli wal aqdi adalah

orang-orang pilihan. Mereka terdiri dari ulama, cerdik pandai dan pemimpin yang

mempunyai kedudukan dalam masyarakat. Ahlul halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang

menjadi anggota majlis syura. Mereka dipercaya oleh rakyat dan keputusan mereka

ditaati oleh rakyat. Imam al-Mawardi menyebut sebagai ahl al-ikhtiyar yaitu golongan

yang berhak memilih. Penyebutan ini sangat beralasan sebab tugas utama ahlul hali wal-

aqdi karena memilih dan memberhentikan secara langsung seorang khalifah. Kalau di

Indonesia ahlul halli wal aqdi disebut MPR (Majlis Permusyawaratan Rakyat).