kebijakan pengendalian resistensi antimikroba.pdf

4

Click here to load reader

Upload: abas-suherli

Post on 26-Dec-2015

161 views

Category:

Documents


25 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA.pdf

KEBIJAKAN PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA

Prof. Taralan Tambunan, MD Child Health Department Faculty of Medicine Univ. of Indonesia DR. Cipto Mangunkusumo Hospital Salemba 6, Jakarta Pusat 10430 Phone: +6221-3915179 Fax: +6221-3907743

Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik merupakan masalah kesehatan

masyarakat secara global. Penggunaan antimikro khususnya antibiotik yang tidak rasional dan tidak terkendali merupakan sebab utama timbul dan menyebarnya resistensi antimikroba secara global, termasuk munculnya mikroba yang multiresisten terhadap sekelompok antibiotik terutama di lingkungan rumah sakit (health care associated infection). Malasah yang dihadapi sangat serius dan bila tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, akan timbul dampak yang merugikan seperti pada era pre-antibiotik.1 Organisasi kesehatan sedunia (world health organization, WHO) telah secara pro aktif menyikapi masalah ini. Berbagai upaya dan strategi telah disusun antara lain intervensi edukasi berupa edukasi formal, seminar, pelatihan, penyebaran brosur dan literatur ; intervensi managerial seperti penyusunan formularium rumah sakit, panduan/pedoman pengobatan, kebijakan penggunaan antibiotik, supervisi klinik, audit medik dan sebagainya, serta intervensi regulasi di kalangan profesi medis dan paramedik seperti registrasi dan ijin praktek tenaga dokter.2 Semua kegiatan tersebut di atas memerlukan pendekatan multidisiplin baik dalam perencanaan maupun implementasi di lapangan agar promosi penggunaan antimikroba secara optimal dan penanggulangan infeksi dapat terwujud.2 Kebijakan WHO ini juga ditanggapi positif oleh pemerintah Indonesia melalui seperangkat kebijakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia antara lain tentang penilaian infrastruktur rumah sakit untuk mendukung Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di tingkat rumah sakit.3 Pimpinan rumah sakit juga menanggapi dengan antusias dengan membentuk Tim PPRA.4,5 Tugas Tim PPRA antara lain membantu pimpinan rumah sakit dalam:

Menerapkan kebijakan-kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba (integrasi dengan 4 pilar) Menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan antibiotik Menetapkan program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA) Memonitor dan mengevaluasi PPRA Menyelenggarakan forum diskusi/kajian pengelolaan penderita penyakit infeksi Menyebarluaskan dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip-prinsip pengendalian resistensi antimikroba yang terkait dengan penggunaan antibiotik secara bijak Mengembangkan penelitian yang terkait dengan PPRA

Sejalan dengan tugas tersebut Tim PPRA berkoordinasi dengan 4 pilar yaitu Tim Mikrobiologi Klinik yang berkordinasi dengan Departemen Patologi Klinik, Panitia Farmasi-Terapi, Tim Farmasi Klinik dan Tim Panitia Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (PPIRS). Untuk rumah sakit besar seperti RSCM Jakarta, juga dibentuk kelompok kerja (POKJA)/PPRA di tingkat Departemen atau Instalasi serta unit pelayanan terpadu seperti Unit Luka Bakar (ULB), Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT), Unit Gawat Darurat

Page 2: KEBIJAKAN PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA.pdf

(UGD) dan sebagainya. POKJA PPRA merupakan ujung tombak kegiatan operasional tugas PPRA di tingkat Departemen atau Instalasi. Tugas utama Tim PPRA antara lain menyusun kebijakan penggunaan antibiotik di tingkat rumah sakit, dilengkapi dengan berbagai standar prosedur operasional (SPO) antara lain SPO cara pemilihan antibiotik empiris dan definitive, SPO pelaksanaan pengendalian resistensi antimikroba, SPO penyiapan antibiotik, SPO penyusunan Panduan Penggunaan Antibiotik (PPAB) di tingkat Departemen/Instalasi/Unit serta SPO persetujuan pemberian antibiotik dan SPO rondek klinik. Di samping itu disusun pula beberapa instruksi kerja (IK) misalnya IK audit kualitatif penggunaan antibiotik, IK petunjuk pengisian kartu monitoring penggunaan antibiotik. Semua SPO dan IK tersebut dibutuhkan untuk operasional pelaksanaan tugas POKJA-PPRA di tingkat Departemen/Unit/Instansi. POKJA-PPRA di tingkat Departemen/Instansi/UPT kemudian menyusun buku Panduan Penggunaan Antibiotik (PPAB), mengacu pada buku Kebijakan Penggunaan Antibiotik yang telah disyahkan oleh pimpinan rumah sakit, serta data pola kuman dan resistensi antimikroba yang diterbitkan oleh Tim Mikrobiologi Klinik FKUI bekerja sama dengan Departemen Patologi Klinik RSCM. Setiap pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik akan dicatat dengan menggunakan Kartu Monitoring Penggunaan Antibiotik yang dilampirkan pada rekam medik pasien dan harus diisi secara lengkap. Data ini dikumpulkan dan dianalisis oleh POKJA PPRA terkait untuk selanjutnya dianalisis secara terpadu pada tingkat PPRA sehingga diperoleh hasil audit kualitatif dan kuantitatif penggunaan antibiotik. Selain itu, tingkat kepatuhan ahli bedah untuk tidak menggunakan antibiotik profilaksis pada operasi bersih elektif dipakai sebagai tolok ukur indikator kinerja area klinik dalam rangka kegiatan Joint Commission International (JCI) accreditation yang dicanangkan mulai bulan Februari 2012. Kegiatan ronde klinik PPRA yang dilakukan sekali setiap minggu di tingkat Departemen/Instalasi/Unit pelayanan terpadu secara bergiliran dimaksudkan sebagai ajang pelatihan untuk evaluasi kualitatif penggunaan antibiotik dengan menggunakan perangkat alur Gyssens. Kegiatan lain yang berhubungan dengan pengendalian infeksi di rumah sakit dibebanlan kepada komisi PPIRS. Meskipun PPRA RSCM telah dibentuk sejak bulan Juli 2009 namun implementasinya di lapangan belum memuaskan. Dampaknya terhadap peningkatan kualitas penggunaan antibiotik belum tampak secara signifikan ; demikian juga pola resistensi kuman belum menurun secara jelas. Begitupun hasil audit kuantitatif yang dikeluarkan oleh beberapa Departemen belum memuaskan. Berbagai kendala yang dapat diidentifikasi antara lain yaitu RSCM sebagai pusat rujukan nasional dengan kapasitas rawat yang cukup besar dengan tingkat hunian (bed occupation rate = BOR) yang sering melebihi kapasitas yang semestinya ; RSCM sebagai rumah sakit pendidikan mahasiswa kedokteran FKUI, pendidikan spesialis dan subspesialis medis maupun paramedis serta pendidikan farmasi klinik. Kondisi tersebut di atas menyebabkan sulitnya koordinasi tugas PPRA secara umum maupun tugas POKJA-PPRA di tngkat Departemen/Instansi/UPT. Juga disadari peran POKJA-PPRA tingkat Departemen masih kurang. Diseminasi dan sosialisasi sangat lamban, demikian juga tanggapan para dokter klinik baik Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) maupun Peserta Program Dokter Spesialis (PPDS) masih kurang, mungkin akibat beban kerja yang sudah berat sehingga kinerja mereka dalam hal yang berhubungan dengan PPRA sering terabaikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pentingnya pengendalian resistensi antimikroba belum difahami secara mendalam. Untuk itu, promosi dan sosialisasi tentang pengendalian resistensi antimikroba di kalangan dokter/klinisi sangat perlu, terutama untuk memperoleh pemahaman dan persamaan persepsi agar terbina suatu sikap dan perilaku yang mendukung suksesnya pengendalian resistensi antimikroba. Kegiatan akreditasi oleh JCI sebenarnya merupakan momentum yang baik karena pengendalian resistensi antimikroba juga digunakan sebagai tolok ukur indikator kinerja area klinik dalam JCI.

Page 3: KEBIJAKAN PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA.pdf

Promosi dan sosialisasi kegiatan PPRA ditargetkan terutama terhadap anggota PPRA sendiri termasuk POKJA-PPRA Departemen/Instansi/UPT sebagai ujung tombak pelaksanaan program di lapangan atau di tingkat departemen. Target selanjutnya adalah para klinisi termasuk DPJP, para anak didik peserta program pendidikan dokter spesialis dan para mahasiswa kedokteran di tingkat klinik. Promosi dan sosialisasi juga ditargetkan bagi paramedik serta petugas rumah sakit lainnya yang terkait dengan masalah infeksi di rumah sakit. REFERENSI 1. WHO 2004. Regional Office for South East Asia. Monitoring of antimicrobial resistance. Report of

an intercountry workshop. Vellare, Tamil-Nadu, India, 14-17 October 2003. 2. WHO 2001. Interventions and strategies to improve the use of antimicrobials in developing

countries. Drug management program. 3. SK Dirjen Bina Pelayanan Medik DEPKES-RI nomor HK.00.06.1.1.4168/2005 tentang Penilaian

Infrastruktur Rumah Sakit untuk mendukung Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA). 4. SK Direksi RSCM no. 8591/TU.K/34/VIII/2009 tentang Sistem Pengendalian Resistensi Antimikroba di

RSCM. 5. SK Direktur Utama RSCM no. 7139/TU.K/34/VIII/2009 tentang Tim Program Pengendalian Resistensi

Antimikroba.

Page 4: KEBIJAKAN PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA.pdf

National Approach to Improving Use of Antibiotics: PPRA Experiences

Prof. Dr. Hendro Wahjono ,dr., MScTropMed., DMM., SpMK(K) PPRA Dr. Soetomo and Dr Kariadi Teaching Hospital, Surabaya/Semarang

The prevalence report of increasing emerge resistant bacteria has been reported from all over the country. Indonesia has conducted a study by the AMRIN team (Antimicrobial Resistance in Indonesia) in 2002 which was implemented at Dr. Soetomo and Dr. Kariadi hospitals. The prevalence of multi-resistance e. coli was identified 20-25% and ESBL 9.05 %. The use of antibiotic therapy 66% has no clinical Indication and also 68% of antibiotic prophylaxis. The Ministry of Health on May, 29-31 2005 organized the first national workshop with create the theme is “Strategy to Combat the Emergence and Spread of Antimicrobial Resistant Bacteria in Indonesia” and declared Antimicrobial Resistance Control Program (ARCP / PPRA) to implement a basic program 1). To audit readiness of hospital infrastructure (Pharmaceutical, Clinical Microbiology, Hospital Infection Control, Pharmacy & Therapeutic Committee) 2). Standardization of implementation ARCP 3). Monitoring Help and Follow-up 4). Evaluation of program implementation performance.

Pilot project of ARCP operational study conducted at 20 teaching hospitals in Indonesia by using actual data based. The goal are improving and understanding of prudent use of antibiotics in clinical practices. The main steps are to establish the pilot project area for implementation, to review and update guidelinesof antibiotics, guideline dissemination and implementation. At the same time retrospective study conducted to assess the use of antibiotics before the apply new guidelines and the prospective study to evaluate the implementation of new guidelines. Two groups of data were compared and analyzed the effectiveness of the implementation of new guidelines. The hospital pharmacists has important role to help clinicians in controlling the use of antibiotics given to patients. The Clinical Microbiology helpful to serve information in interactive way to help clinicians determine the appropriate antibiotic, and the Hospital Infection Control Team carries out the implementation of universal precaution. Cohort isolation must be applied for pasein with ESBL or MRSA cases. Currently ARCP program is still going on into the last phase. The Ministry of Health will conduct the last national workshop to evaluate the effectiveness of the entire program of ARCP.