md-1 kebijakan pengendalian hiv 09052011

25
Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium MATERI DASAR 1 EPIDEMIOLOGI DAN KEBIJAKAN TENTANG PENGENDALIAN HIV AIDS DI INDONESIA Indonesia adalah salah satu dari negara di Asia yang memiliki kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan perubahan kehidupan sosial. Saat ini epidemi AIDS dunia sudah memasuki dekade ketiga, namun penyebaran infeksi terus berlangsung yang menyebabkan negara kehilangan sumber daya dikarenakan masalah tersebut. Materi dasar dalam pelatihan konseling dan tes HIV akan menggambarkan kebijakan Pemerintah RI dalam penanganan HIV dan membantu peserta memahami arti dari epidemiologi. Program HIV AIDS dikelola pemerintah dan masyarakat merupakan kebijakan yang terpadu untuk mencegah penularan HIV dan memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV. Berdasarkan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami tentang epidemiologi dan Kebijakan Kemenkes dalam Pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu: 1.DESKRIPSI SINGKAT 2. TUJUAN PEMBELAJARAN A.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS 1

Upload: sagir-alva

Post on 15-Dec-2015

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MVCTI-1

TRANSCRIPT

Page 1: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

MATERI DASAR 1

EPIDEMIOLOGI DAN KEBIJAKAN TENTANG PENGENDALIAN HIV AIDS DI INDONESIA

Indonesia adalah salah satu dari negara di Asia yang memiliki kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan perubahan kehidupan sosial. Saat ini epidemi AIDS dunia sudah memasuki dekade ketiga, namun penyebaran infeksi terus berlangsung yang menyebabkan negara kehilangan sumber daya dikarenakan masalah tersebut. Materi dasar dalam pelatihan konseling dan tes HIV akan menggambarkan kebijakan Pemerintah RI dalam penanganan HIV dan membantu peserta memahami arti dari epidemiologi. Program HIV AIDS dikelola pemerintah dan masyarakat merupakan kebijakan yang terpadu untuk mencegah penularan HIV dan memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV. Berdasarkan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami tentang epidemiologi dan Kebijakan Kemenkes dalam Pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu: 1. Menjelaskan situasi Global HIV AIDS 2. Menjelaskan Epidemiologi HIV AIDS dan Kebijakan Kemenkes dalam Pengendalian HIV dan

AIDS di Indonesia3. Menjelaskan strategi pengendalian HIV melalui program konseling dan tes HIV di Indonesia

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :Pokok Bahasan I Situasi Global HIV AIDSPokok Bahasan II Epidemiologi HIV AIDS dan Kebijakan Kemenkes dalam Pengendalian HIV dan AIDS di IndonesiaPokok Bahasan III Strategi Pengendalian HIV melalui Program Konseling dan Tes HIV di Indonesia

A. Kebijakan Umum

1.DESKRIPSI SINGKAT

2. TUJUAN PEMBELAJARAN

A.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

3. POKOK BAHASAN

1

Page 2: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

B. Kebijakan OperasionalC. Tujuan ProgramD. Universal AccessE. Kegiatan Manajemen ProgramF. Kegiatan Strategi Konseling dan Tes HIV di Indonesia

Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :1. Curah pendapat2. Ceramah Tanya Jawab (CTJ)3. Diskusi Kelompok4. Berlatih Peran

Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media 1. Bahan tayang (slide power point)2. Uraian materi3. Lembar latihan

Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :1. Lap top2. LCD

Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:1. Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran dengan menggunakan bahan tayang2. Melakukan apersepsi tentang materi yang akan dibahas dengan metoda curah pendapat

atau meminta beberapa peserta/relawan untuk menjawabnya. 3. Fasilitator menjelaskan tentang epidemiologi HIVAIDS didunia dan di Indonesia dengan

menggunakan bahan tayangan epidemiologi HIVAIDS melalui ceramah, Tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.

Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:1. Fasilitator menjelaskan tentang tugas peserta dalam kegiatan latihan epidemilogi yang

melibatkan seluruh peserta atau beberapa peserta jika berada dalam kelas besar.

4. METODE, MEDIA DAN ALAT BANTU

A.METODE

B. MEDIA

C. ALAT BANTU

5. LANGKAH – LANGKAH PEMBELAJARAN

SESI 1 : PENGKONDISIAN PESERTA

SESI 2 : LATIHAN PENULARAN HIV AIDS TERKAIT EPIDEMIOLOGI

2

Page 3: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

2. Fasilitator membacakan tugas peserta dari lembar kegiatan dan peserta mengikuti kegiatan.

3. Fasilitator merangkum atau membahas materi kegiatan tersebut.

Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut :1. Fasilitator meminta peserta membaca lembar bacaan atau uraian materi dan

menjelaskan lebih lanjut kebijakan pemerintah RI dan epidemiologi HIV AIDS di Indonesia hingga selesai.

2. Fasilitator menjelaskan tentang kebijakan meliputi tujuan, target,strategi dan kegiatan dengan menggunakan bahan tayangan tentang kebijakan umum dan kebijakan operasional dari program pengendalian HIV dan AIDS, melalui ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.

3. Fasilitator meminta semua peserta menyampaikan masalah penting yang muncul selama proses diskusi.

Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:1. Fasilitator merangkum atau pembulatan tentang pembahasan materi ini dengan mengajak

seluruh peserta untuk melakukan refleksi atau umpan balik. 2. Dilanjutkan dengan memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

Situasi Epidemi HIV AIDS di duniaEpidemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 2007 jumlah ODHA diseluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 33.2 juta (30.6–36.1 juta). Setiap hari, lebih 6800 orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 meninggal karena AIDS, yang disebabkan terutama kurangnya akses terhadap pelayanan pengobatan dan pencegahan HIV. Kecenderungan epidemik baik pada tingkat global maupun regional, secara umum membentuk 3 pola epidemi, yaitu:

a. Epidemi meluas (generalized epidemic), HIV sudah menyebar di populasi (masyarakat) umum. Bila prevalensi HIV lebih dari 1% diantara ibu hamil.

b. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic), HIV menyebar dikalangan sub populasi tertentu (seperti kelompok LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya). Bila prevalensi lebih dari 5% secara konsisten pada sub populasi tersebut.

c. Epidemi rendah (low epidemic), HIV telah ada namun belum menyebar luas pada sub populasi tertentu. Infeksi yang tercatat terbatas pada sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi, misalnya pekerja seks, penasun, dan LSL. Prevalensi HIV dibawah 5% pada sub populasi tertentu.

SESI 3 : PENYAMPAIAN MATERI

SESI 4 : PENUTUP, UMPAN BALIK DAN RANGKUMAM

6. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN 1 : SITUASI GLOBAL HIV/AIDS

3

Page 4: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

Perkiraan kematian akibat AIDS seluruh dunia pada 2007 sekitar 2.1 juta, dimana 76% kematian tersebut terjadi di sub Sahara Afrika. Penurunan kematian telah terjadi dalam 2 tahun terakhir sebagian disebabkan oleh perluasan pelayanan pengobatan ARV.

1). Kerentanan di Asia Penularan HIV umumnya terjadi akibat perilaku manusia, sehingga menempatkan individu dalam situasi yang rentan terhadap infeksi. Perilaku berisiko terutama jika melakukan hubungan seksual yang tidak aman, baik secara vaginal maupun anal dengan pasangan yang berganti-ganti maupun yang tetap, selain itu juga akibat bergantian menggunakan alat suntik pada pengguna napza suntik. Perilaku seksual dan penggunaan alat suntik bergantian meliputi:

a.Berhubungan seks penertrasi dengan berganti- ganti pasangan.b.Pengguna napza dengan menggunakan alat suntik tidak steril secara bergantian

Cara penularan paling utama di Asia adalah melalui hubungan seks, dimana prevalensi HIV lebih dari 40%. Ledakan epidemi HIV dari penasun terjadi di 100 kawasan di seluruh dunia. Penggunaan alat suntik bersama lebih menonjol dijumpai di banyak negara Asia, Eropa Timur dan Selatan.

2). Surveilans HIVPengukuran epidemi HIV kebanyakan menggunakan angka prevalensi pada populasi orang dewasa yakni persentase orang dewasa hidup dengan HIV AIDS (ODHA). Data ini dikumpulkan dari daerah surveilans sentinel pada kelompok tertentu, misalnya: pada pekerja seks, perempuan hamil yang datang datang untuk pemeriksaan kehamilan (Ante Natal Care = ANC), pasien TB, pasien IMS, penasun, dan LSL (laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki). Untuk kepentingan surveilans suatu negara, dibuat pengelompokkan status epideminya, dimana status negara tersebut dapat berubah-ubah sesuai keadaan epidemiknya.

a. Epidemi Generalisata: misalnya: Kamboja*, sebagian India, Myanmar, dan Thailand*b. Epidemi terkonsentrasi: misalnya sebagian; China, Indonesia, Malaysia, Nepal dan

Vietnamc. Epidemi rendah: misalnya: Bangladesh, Bhutan, Laos, Maldives, Philippines, Republik

Korea, Sri Lanka

Indonesia dilihat secara kumulatif berdasarkan laporan dari seluruh provinsi yang dikeluarkan secara triwulan oleh Kementrian Kesehatan RI sampai bulan Maret tahun 2010, sebanyak 20.564 kasus AIDS dengan persentase, laki-laki sebanyak 62%, perempuan 30% dan tidak diketahui 8 %. Estimasi yang dilakukan pada tahun 2006 diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 193.000 orang terinfeksi HIV dan sekitar 186.000 orang tahun 2009, sedangkan kasus AIDS yang tercatat oleh Kementerian Kesehatan RI sampai dengan September 2010 tercatat 22.726 orang hidup dengan HIV AIDS. Sementara itu ada 10 provinsi di Indonesia dengan kasus AIDS terbanyak yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan. AIDS pada pengguna Napza Suntik (penasun) di Indonesia sampai tahun 2010 sebanyak 2.224 kasus dan jika dilihat dari kelompok umur dari kelompok

POKOK BAHASAN 2 : EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DAN KEBIJAKAN KEMENKES DALAM PENGENDALIAN HIV AIDS DI INDONESIA

4

Page 5: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

tersebut ada 70% berada di kelompok usia produktif (20-39 tahun). Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV AIDS. Para pakar memperkirakan jumlah kasus HIV AIDS sudah mencapai 130.000 orang, sehingga tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat Internasional yang diikuti kebijakan nasional. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%), yaitu pada pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria.

Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated epidemic. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006, prevalensi HIV berkisar antara 21% - 52% pada penasun, 1% - 22% pada WPS, dan 3% - 17% pada waria. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), penyebaran infeksi HIV sudah pada tahap meluas, yaitu telah terjadi melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalensi > 1%).

Berdasarkan laporan rutin Kementerian Kesehatan sampai dengan 2010, terjadi laju peningkatan kasus baru HIV yang semakin cepat terutama jumlah kasus baru HIV dalam 3 tahun terakhir lebih dari 3 kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi HIV di Indonesia. Dari jumlah kumulatif 22.726 kasus AIDS yang dilaporkan pada September 2010, dengan proporsi 73.6% adalah laki-laki, 26.0% perempuan. Persentasi kasus AIDS pada pengguna napza suntik 91.2% pada kelompok berusia 20-39 tahun. Seiring dengan pertambahan total kasus AIDS, jumlah daerah yang melaporkan kasus AIDS pun bertambah. Pada akhir tahun 2000, terdapat 16 provinsi yang melaporkan kasus AIDS, dan kemudian pada akhir tahun 2003 jumlah tersebut meningkat menjadi 25 provinsi. Jumlah ini meningkat tajam pada tahun 2006, yaitu sebanyak 32 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia yang sudah melaporkan adanya kasus AIDS. Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2009 memperkirakan ada 5 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV. Jumlah terbesar berada pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,9 juta. Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada sub-populasi yang berperilaku risiko tinggi, tetapi juga dapat menular pada pasangan atau istrinya, bahkan anaknya. Berdasarkan modeling matematika, diperkirakan dalam rentang waktu tahun 2008 – 2015, secara kumulatif akan terdapat 44.180 anak yang dilahirkan dari ibu positif HIV.

Gambar 1. Estimasi distribusi ODHA di Indonesia, tahun 2009

5

Acer, 05/03/11,
Mengikuti power point
Page 6: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

Dalam melakukan intervensi suatu program, pengelola program harus memperhatikan situasi epidemi di wilayah tersebut, disamping kemampuan sumber daya yang dimiliki, agar intervensi program tersebut mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Pada daerah dengan epidemi rendah, intervensi sebaiknya lebih ditujukan untuk pencegahan yang efektif dengan meningkatkan pengetahuan terhadap perilaku yang aman masyarakat melalui edukasi agar insidens tetap rendah. Pada daerah dengan epidemi terkonsentrasi dan meluas, intervensi program pengendalian AIDS diarahkan pada pencegahan untuk populasi berisiko dan perawatan pengobatan dan dukungan untuk orang dengan HIV dan AIDS. Program tersebut ditujukan untuk mencegah timbulnya infeksi baru HIV dan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Berikut ini dibahas pendekatan intervensi dan layanan kesehatan berdasarkan tingkat epideminya.

Pada semua tingkat epidemik1) Menempatkan akselerasi pencegahan sebagai prioritas utama2) Memilih intervensi pencegahan yang sesuai dengan pola penularan HIV3) Memfokuskan pada wilayah geografis dan populasi dimana HIV menyebar sangat cepat4) Memilih pendekatan konseling dan tes HIV yang akan mengoptimalkan jalan masuk ke

pencegahan, perawatan dan tes semua ibu hamilberisiko.5) Merencanakan penyediaan pelayanan perawatan dan pengobatan yang dapat diakses

dan dimanfaatkan oleh populasi sasaran6) Menjamin pelayanan konseling, tes, pencegahan, pengobatan dan perawatan termasuk

layanan penjangkauan bagi populasi berisiko tinggi.

Gambar 2. Kecenderungan Perkembangan Epidemi HIV di Indonesia sampai tahun 2020

0

400000

800000

1200000

1600000

Jum

lah

Infe

ksi H

IV

HIV Baru HIV Kumulatif HIV yang Ada

Pada tingkat epidemik rendah1) Mengenali bahwa individu yang terkena sering berasal dari populasi yang termarjinalkan

dan menjadi sasaran stigma dan diskriminasi.2) Merencanakan pelayanan yang sesuai dengan penyebaran populasi yang paling berisiko

terinfeksi dan Odha3) Menentukan paket layanan optimal dan jejaring rujukan untuk menjangkau populasi

populasi yang paling berisiko terinfeksi dan Odha

6

Page 7: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

4) Menekankan pencegahan agar insiden HIV tetap rendah.5) Pemantauan melalui kegiatan Surveillans

Pada tingkat epidemik terkonsentrasi1) Mengenali bahwa intervensi sasaran yang efektif memerlukan informasi tentang populasi

yang paling berisiko dan aksesnya terhadap layanan.2) Menargetkan intervensi bagi populasi yang paling berisiko seperti pekerja seks, waria, laki

seks dengan lelaki, pengguna napza suntik.3) Memprioritaskan intervensi khusus bagi pengguna napza suntik bila ada diwilayahnya.4) Menjamin cakupan intervensi pencegahan yang memadai bagi populasi yang paling

berisiko.5) Memanfaatkan program penjangkauan, pendekatan sebaya atau orang yang dipercaya

oleh populasi rawan/rentan, kelompok masyarakat mandiri dan klinik setempat untuk memberikan layanan bagi populasi tersebut.

6) Pemantauan melalui kegiatan SurveillansPada tingkat epidemi meluas (generalized)

1) Memilih pendekatan layanan yang mampu melayani mereka yang berisiko, infeksi baru, kelompok yang terdampak dan sejumlah besar orang yang membutuhkan pengobatan dan perawatan.

2) Mendesentralisasikan layanan HIV ke puskesmas dan masyarakat3) Mengintegrasikan layanan pencegahan, pengobatan dan perawatan kedalam layanan

kesehatan dasar.4) Menekankan pencegahan bagi Odha pada program positif prevention5) Merekomendasikan tes HIV bagi semua pasien yang mencari layanan (inisiasi petugas)

dan wanita hamil dan menyusui6) Pelajari gambar di bawah ini, yang merangkumkan beberapa faktor kunci dari kerentanan

dan risiko yang berkontribusi pada penularan HIV.7) Kondisi kerentanan dan risiko ini tidak tersebar secara merata pada populasi. Untuk

memaksimalkan efektifitas program, para pengelola perlu untuk membuat keputusan strategis mengenai siapa yang menjadi target, pendekatan apa yang perlu diambil, pelayanan apa yang perlu disediakan pada lokasi apa, sumber daya apa saja yang dibutuhkan dan bagaimana hal-hal ini seharusnya didistribusikan.

8) Di banyak negara epidemi HIV dilaporkan pertama-tama di kota-kota besar, kota-kota di perbatasan negara atau lokasi lainnya dimana unsur kerentanan dan risiko sangat tinggi. Populasi dengan mobilitas tinggi cenderung meningkatkan kerentanan ini dan juga mempermudah penyebaran HIV ke daerah baru. Para pengelola program perlu untuk mengerti pola geografis ini untuk secara tepat mengalokasikan sumber daya pencegahan ke wilayah-wilayah dimana sumber daya tersebut akan memiliki dampak maksimal terhadap penularan.

A. Kebijakan Umum

1. Upaya penanggulangan HIV AIDS harus memperhatikan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga;

2. Mengingat luasnya respon dan permasalahan, maka upaya penanggulangan AIDS harus dilakukan melalui suatu gerakan secara nasional bersama sektor dan komponen lain;

POKOK BAHASAN 3 : STRATEGI PENGENDALIAN HIV MELALUI PROGRAM KONSELING DAN TES HIV DI INDONESIA

7

Page 8: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

3. Upaya penanggulangan HIV AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender;

4. Upaya pencegahan HIV AIDS pada anak sekolah, remaja dan masyarakat umum diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong kehidupan yang lebih sehat;

5. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV;

6. Upaya penanggulangan HIV AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap Odha

7. Upaya penanggulangan HIV AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya penanggulangan HIV AIDS;

8. Upaya penanggulangan HIV AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marginal terhadap penularan HIV AIDS.

B.Kebijakan Operasional

1. Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan program AIDS dan pelayanan bagi Odha

2. Penyelenggaraan dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program;

3. Pemerintah berkewajiban menjamin tersedianya ARV maupun reagen pemeriksaan secara berkesinambungan;

4. Pengembangan layanan bagi Odha dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari berbagai aspek yang meliputi : situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan, komitmen, strategi dan perencanaan, kesinambungan, fasilitas, SDM dan pembiayaan. Sesuai dengan kewenangannya pengembangan layanan ditentukan oleh Dinas Kesehatan.

5. Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan, dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada pihak lain;

6. Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada Odha.

7. Keberpihakan kepada Odha dan masyarakat (patient and community centered);Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna napza suntik melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara komprehensif dengan juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan napza;

8. Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu pelayanan, dan kemudahan akses terhadap pencegahan, pelayanan dan pengobatan bagi Odha

8

Page 9: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

9. Layanan bagi Odha dilakukan secara holistik, komprehensif dan integratif sesuai dengan konsep layanan perawatan yang berkesinambungan;

10. Pengembangan layanan dilakukan secara bertahap pada seluruh pelayanan yang ada sesuai dengan fungsi dan strata pelayanan dengan mempertimbangkan kemampuan dan kesiapan sarana, tenaga dan dana;

11. Pencapaian target program nasional juga memperhatikan komitmen dan target internasional.

C. Tujuan program Tujuan program secara umum juga dapat menjadi arah jalannya suatu program dan indikator dalam melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan program. Pada tingkat nasional tujuan program dirumuskan sebagai berikut: 1.Tujuan Umum

Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup Odha serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.

2.Tujuan Khusus a. Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan

dukungan kepada Odha yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.b. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif

untuk mendukung upaya penanggulangan HIV AIDS, dengan menitik beratkan pencegahan pada sub-populasi berperilaku resiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi lainnya.

c. Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum termasuk Odha dalam berbagai upaya penanggulangan HIV AIDS.

d. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respons nasional terhadap HIV AIDS.

e. Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam penanggulangan HIV AIDS.

D.Universal Access

Scaling up program dijabarkan lebih lanjut menjadi beberapa sasaran kunci, yang juga sejalan dengan upaya mewujudkan universal access, yaitu dalam mencapai MDG tahun 2015 melalui indikator pada Inpres 3 tahun 2010 yaitu:

1. Prevalensi Kasus HIV2. Persentase penduduk 15 tahun lebih menurut pengetahuan tentang HIV AIDS3. Jumlah orang yang berumur 15 tahun atau lebih yang menerima konseling dan testing HIV4. Persentase Kab/Kota yang melaksanakan pencegahan penularan HIV5. Penggunaan kondom pada kelompok hubungan seksual berisiko tinggi6. Persentase Odha yang mendapatkan ART

Strategi merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Secara umum strategi meliputi:

1. Meningkatkan dan mengembangkan program (Program Expansion Strategy) dengan memfokuskan akses layanan bermutu (Konseling dan Testing HIV, Perawatan Dukungan dan Pengobatan/ PDP, Infeksi Menular Seksual/IMS, Pengurangan Dampak Buruk/PDB, Program Pencegahan dari Ibu ke Anak/PPIA, dll), penguatan jejaring layanan, pelibatan

9

Page 10: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

semua penyedia layanan (care provider) dan merespon tantangan baru seperti drug resistance, kolaborasi TB-HIV;

2. Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui regulasi, standarisasi layanan program, mobilisasi dan harmonisasi sumber daya dan alokasi pembiayaan;

3. Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program, melalui peningkatan kapasitas program, pengembangan SDM program yang profesional, manajemen logistik, kegiatan M&E program dan promosi program

4. Meningkatkan dan menguatkan sistem Informasi strategis melalui pengembangan kegiatan surveilans generasi kedua, penelitian operasional untuk memperoleh data dan informasi bagi pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS

5. Memberdayakan Odha dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan dan upaya kegiatan program lainnya.

E.Kegiatan Manajemen Program1. Perencanaan dan pengembangan program2. Pengorganisasian dan Pelaksanaan Program3. Pemantauan dan Penilaian Program4. Pengembangan SDM Program5. Manajemen Logistik6. Informasi Strategis Program

F. Kegiatan Strategi Program Konseling dan Tes HIV di Indonesia1. Target IntervensiCara paling efisien untuk menurunkan penyebaran HIV dilakukan pada semua populasi dan memprioritaskan target yang berisiko tinggi terinfeksi HIV, yaitu pada kelompok pengguna NAPZA suntik, kelompok pekerja seks, kelompok laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki serta pasangan seksual. Epidemi HIV melalui IDU dimulai di beberapa negara Asia dan kemudian menyebar kepada kelompok berisiko tinggi dan populasi umum. Program pengurangan dampak buruk (harm reduction) dengan pencucian alat suntik dan pertukaran alat suntik, serta terapi rumatan dengan subsitusi terbukti efektif menghambat penularan HIV diantara pengguna NAPZA suntik. “Akses ke VCT dan ARV harus tersedia di semua area semua Rumah Sakit rujukkan tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota.

2. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (Prevention of Mother-To-Child Transmission=PMTCT) Beberapa uji coba klinik menunjukkan antiretroviral dapat menurunkan penularan HIV dari ibu ke anak, ibu yang menyusui jangka pendek dan kemudian dapat memperpanjang masa menyusui. Angka anak yang dilahirkan dari ibu terinfeksi HIV secara dramatis menurun dengan adanya intervensi PMTCT. Perempuan hamil mendapatkan penawaran VCT dan hingga tahun 2010 sebanyak 7,5% perempuan hamil positif HIV telah menerima ARV untu mengurangi risiko penularan.Beberapa negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, Eropa Tengah Timur dan Asia Tenggara telah mengimplementasikan pencegahan melalui intervensi MTCT dengan memberikan antiretroviral. Voluntary counselling and testing (VCT) selama masa antenatal merupakan pintu masuk pada pelayanan pencegahan melalui ibu ke anaknya. Negara-negara yang telah memasukkan program PMTCT secara komprehensif ter Infeksi HIV kini telah mulai memasuki populasi umum. Telah ada ibu rumah tangga dan bayi -bayi HIV

10

Page 11: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

positif. Dari kegiatan konseling dan tes darah yang dilakukan beberapa rumah sakit dan LSM penanggunalangn HIV. Data RSUPN Ciptomangun Kusumo Jakarta menunjukkan bahwa jika pada tahun 1996 dan 2002 diketahui masing-masing terdapat 1 bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, maka pada tahun 2010 terdapat 65 kasus baru. Jumlah tersebut terus meningkat menjadi 118 kasus baru bayi/anak yang dilahirkan dari ibu HIV positif. Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah. Dengan intervensi PMTCT maka resiko penularan bdari yang semula 25 - 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi sekitar 3000 bayi dikhawatirkan lahir HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. Sangat disayangkan, efektivitas intervensi PMTCT tersebut seringkali terhambat oleh faktor biaya. Menurut kebijakan Nasional PMTCT yang ditandatangani Menteri Kesehatan RI tahun 2005, pemerintah menyediakan obat ARV, layanan persalinan dan susu formula kepada ibu hamil HIV positif secara gratis.

3. Memastikan layanan darah yang aman pada pelayanan Salah satu peran Palang merah Indonesia (PMI) dalam penanggulangan HIV adalah program pencegahan, perawatan dan dukungan tehadap Orang Dengan HIV AIDS. Berdasarkan Peraturan Pemerintah 18/80, tugas dari UTD PMI adalah menyediakan darah yang aman dan bebas dari Human Immunodeficiency Virus (HIV). Tapi perlu kita ketahui bahwa UTD PMI merupakan unit skrining untuk periksaan darah donor. Upaya yang dilakukan dapat berupa optimalisasi pengelolaan darah dalam suatu UTD baik input, proses maupun output. Penyediaan darah juga harus terstandarisasi dan berkualitas. Sesuai dengan strategi I dari World Health Organization (WHO), maka darah yang tercemar HIV pada pemeriksaan awal akan segera dibuang. Optimalisasi pengelolaan darah dalam hal input yang terpenting adalah di saat proses seleksi calon donor darah sehingga didapatkan donor darah sukarela resiko rendah. Begitupun dalam pemeriksaan dokter juga harus cermat dalam menilai kondisi kesehatan calon donor pada saat itu. Penanganan input yang optimal merupakan awal dari penyediaan darah yang aman dimana didapatkan bahan tersebut dari donor. Saat ini tiap Unit Transfusi Darah Cabang (UTDC) telah melakukan uji saring terhadap 4 penyakit menular berbahaya yaitu syphilis, hepatitis B & C dan HIV AIDS. Apabila ada donor darah yang dicurigai terinfeksi dengan hasil test yang mendukung, maka dirujuk ke UTDP untuk dilakukan test ulang darah donor tersebut. Hasilnya dikembalikan ke UTDC yang bersangkutan. Di UTDD DKI Jakarta apabila dicurigai adanya infeksi HIV AIDS maka dilakukan rujukan pasien ke rumah sakit yang menyediakan layanan Konseling dan tes HIV.

Kebijakan PMI mengenai HIV AIDS dalam upaya penanggulangan HIV AIDS secara nasional, memfokuskan kegiatan pencegahan secara nasional melalui:

Penyediaan darah aman HIV sesuai prosedur tetap (PROTAP)/SOP/PKS = Prosedur Kaya Standar. Sebagai upaya pencegahan HIV tersebut, seluruh Unit Transfusi Darah Cabang (UTDC) PMI telah melakukan uji saring terhadap darah donor.

Mengembangkan kerjasama dengan penyelenggara layanan konseling dan tes HIV di rumah sakit dan LSM Perduli HIV AIDS.

Memberikan bantuan perawatan keluarga bagi Odha, dan dukungan lainnya sesuai kebutuhan.

Memantapkan program Pendidikan Remaja Sebaya (PRS) dan Pendidikan Wanita Sebaya (PWS) dalam upaya meningkatkan ketahanan keluarga serta mengembangkan sikap anti stigma dan nondiskriminatif terhadap Odha

Pendekatan promotif PMI secara simultan melakukan sosialisasi pesan dari kampanye anti stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan keluarganya

11

Page 12: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

4. Voluntary counselling and testing (VCT) sebagai strategi kesehatan masyarakat VCT yang berkualitas baik tidak saja membuat orang mempunyai akses terhadap berbagai pelayanan, tetapi juga efektif bagi pencegahan terhadap HIV. Pelayanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan informasi tentang pencegahan HIV. Klien dimungkinkan mendapat pengetahuan tentang cara penularan, pencegahan, dan pengobatan terhadap HIV, seperti penggunaan kondom, tidak berbagi alat suntik, penggunaan alat suntik steril. Konselor juga harus mampu memberikan pengetahuan tentang hubungan IMS dengan HIV dan merujuk klien ketika IMS nya perlu dideteksi dan diobati lebih lanjut. Di banyak negara pembagian kondom dilakukan di klinik VCT. Dimana VCT merupakan komponen utama dalam program HIV dinegara-negara industri, tetapi belum mendapat perhatian baik dinegara-negara berkembang. Namun peran pencegahan penularan dan perbaikan akses ke pelayanan perawatan merupakan gambaran bahwa VCT mulai dikenal dan dilaksanakan. Sampai dengan Juni 2007 terdapat lebih kurang 6.000 konselor yang telah dilatih oleh tim pelatih VCT Nasional dengan Sertifikasi yang difasilitasi oleh Kementrian Kesehatan. Sementara itu Rumah Sakit atau klinik VCT yang sudah ada sebanyak 196 klinik baik yang di Rumah Sakit dan klinik. Kemudian untuk Rumah Sakit rujukan ARV mulai tahun 2004 di bentuk di 25 RS, tahun 2006 dikembangkan di 75 RS dan tahun 2007 dikembangkan di 125 RS yang sudah dilatih VCT. Selain itu dalam rangka meningkatkan mutu layanan terutama yang berkaitan dengan kualitas dan sistem layanan VCT, Sub dit AIDS dan PMS Ditjen P2PLP Kemenkes RI secara berkala melakukan monitoring dan mentoring terhadap layanan-layanan VCT yang ada di Indonesia. Peningkatan kemampuan konselor juga dilakukan dengan melakukan pelatihan lanjutan VCT, pelatihan konseling Adherence ART dan PITC dan pelatihan konseling terkait lainnya. Di samping itu dalam upaya mengoptimalkan sistem pelayanan VCT di Indonesia saat ini dengan membentuk asosiasi konselor VCT HIV Indonesia, PKVHI (Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia). Perhimpunan ini mempunyai kepengurusan pusat maupun daerah serta secara rutin melakukan musyawarah nasional maupun wilayah. PKVHI berperan dalam meningkatkan mutu konselor VCT.

5. Kaitan VCT dengan Provider Initiative Testing and Counselling / PITCSaat ini di berbagai rumah sakit di Indonesia telah dilakukan layanan tes HIV melalui program PITC. PITC adalah program yang dikembangkan dari layanan konseling dan tes HIV. PITC dan VCT adalah satu kesatuan pendekatan dalam HIV konseling dan tes HIV. PITC bukanlah tes mandatori karena mengedepankan prinsip 3C 2 R yaitu consent (persetujuan setelah mendapat informasi dan memahaminya), Counselling (konseling), confidentiality (konfidensialitas) serta Report (pelaporan) dan Referral (rujukan). Jadi pada hakekatnya layanan PITC bekerja bersama dengan layanan VCT dalam konseling dukungan serta keduanya akan terlaporkan dalam suatu sistem yang baku.

6. Pencegahan Positif dalam Konseling dan Tes HIVKementerian Kesehatan mendukung upaya pencegahan positif melalui pendekatan konseling dan tes HIV. Pencegahan seharusnya merupakan tanggung jawab bersama, termasuk pemerintah terlibat dalam program pencegahan positif. Tak ada satupun pencegahan HIV yang 100% efektif. Pencegahan dan perawatan HIV saling terkait dan tidak boleh saling bertentangan. Melibatkan orang yang positif pada tiap tahap pengembangan dan implementasi program. Program pencegahan HIV seharusnya dikembangkan tanpa menstigmatisasi lebih jauh mereka yang sudah termarginalisasi. Kunci pencegahan positif dalam konseling adalah:

a. Mencegah infeksi HIV barub. Meningkatkan kesehatan dan mengurangi sakit serta perawatan di RSc. Mencegah penularan HIV yang resisten ARV .

12

Page 13: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

1.Departemen Kesehatan RI, Pelatihan Konseling dan Tes HIV secara sukarela bagi konselor, 2006. 2.Departemen Kesehatan, Modul Pelatihan PMTCT Nasional, 20083.Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV di Berbagai Tatanan, 20104.UNICEF East Asia and Pasific, Family Health International, and World Health Organization, HIV Couseling for Asia Pasific, 2006

7. REFERENSI

13

Page 14: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

PANDUAN LATIHAN MATERI DASAR 1KEBIJAKAN TENTANG PENGENDALIAN HIV AIDS DI INDONESIA

1. Memahami penularan HIV AIDS2. Menjelaskan bagaimana HIV AIDS menular

1. Fasilitatora.Kegiatan Kelompok.

Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta. Fasilitator perlu mempertimbangkan situasi kelas jika menerapkan kegiatan ini. Kegiatan ini dapat dilakukan dikelas besar atau kelas kecil dengan catatan sebagai berikut :1) Melibatkan seluruh peserta pada kelas kecil : Peserta 24 orang2) Melibatkan beberapa peserta pada kelas besar : Peserta terdiri dari gabungan kelas-

kelas kecil dengan total peserta 100 orang3) Fasilitator membuat kertas ukuran 5x5 cm sejumlah peserta dan fasilitator. Tulis tanda

reaktif atau “ + “ sebanyak 10% dan 80% tanda non reaktif atau “-“ pada kertas tersebut simulasi

b. Persiapan Fasilitator melakukan rangkuman proses kembali keseluruh peserta2. Peserta

a. Memahami dan melaksanakan tugas kegiatan dari fasilitator b. Masuk dalam kelompok yang telah ditentukan dan berpartisipasi aktifc. Mensimulasikan pada kegiatan d. Diskusi dan tanya jawab

Kelompok Peserta :

1. Setiap peserta mengambil satu gulungan kertas dan pastikan bahwa tidak ada yang membuka gulungan kertas sampai instruksi berikutnya.

2. Mintalah para peserta untuk berbaur dan mencari 4-5 teman (diprioritaskan teman baru) di antara peserta lainnya. Fasilitator juga melakukan hal yang sama. Minta mereka saling bersalaman dan berkenalan (atau ngobrol ringan jika sesama peserta sudah saling kenal)

3. Setelah tiap peserta bertemu dengan 4-5 temannya, kegiatan dihentikan dan minta semua orang untuk melihat kertas masing-masing.

4. Tanyakan pada semua peserta siapa yang memiliki tanda ‘+’ pada kertasnya dan mintalah untuk maju kedepan. Fasilitator menjelaskan arti tanda ‘+’ tersebut dianggap sebagai

TUJUAN

PERSIAPAN

LEMBAR LATIHAN

14

Page 15: MD-1 Kebijakan Pengendalian HIV 09052011

Materi Dasar - 1 Pelatihan Pemeriksaan HIV bagi Petugas Laboratorium

orang yang mengidap HIV positif/reaktif. Apakah sewaktu bersalaman tadi peserta tahu bahwa mereka hidup dengan HIV? Fasilitator menjelaskan secara umum kaitan penularan HIV dengan kegiatan tersebut. Kegiatan bersalaman atau ngobrol tadi diumpamakan sebagai berhubungan seksual tidak aman dan berganti-ganti pasangan (sampai 4-5 orang)

5. Kemudian, mintalah peserta yang pernah bertemu/bersalaman dengan peserta bertanda ‘+’ untuk maju kedepan dan bergabung dengan peserta Odha. Jelaskan bahwa hal ini menunjukkan adanya orang-orang yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi HIV (kontak langsung dengan pengidap HIV).

6. Terdapat 2 kelompok yang berbeda. Peserta Odha dengan peserta berisiko tinggi bergabung menjadi satu kelompok. Selanjutnya, lihat siapa saja selebihnya dari peserta yang berada di sisi lain. Tanyakan apakah mereka dengan status ’-” dan tidak kontak langsung dengan peserta Odha, apakah sudah merasa aman? Bagaimana dengan kontak mereka (tidak aman dan berganti-ganti pasangan) dengan peserta yang berisiko tinggi? Apakah mereka juga bisa ikut terinfeksi HIV?

7. Minta peserta yang telah bertemu/bersalaman dengan peserta kelompok risiko tinggi untuk bergabung, sehingga terlihat ada satu kelompok besar yang terdiri dari orang-orang yang telah terinfeksi dan yang akan terinfeksi HIV. Jelaskan kita bisa melihat bahwa HIV yang berasal hanya dari segelintir peserta ”+” telah menjalar begitu cepat dan berdampak besar.

8. Tegaskan lagi bahwa kegiatan bersalaman tetap tidak menularkan HIV, dan permainan ini hanya simulasi/perumpamaan saja. Ucapkan terima kasih dan minta peserta bertepuk tangan mengakhiri permainan simulasi.

15