kebijakan pembangunan pertanian

Upload: michael-alexa

Post on 14-Oct-2015

53 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETANI DAN NELAYAN MENUNJANG PENINGKATAN DAYA SAING PRODUK

    PERTANIAN INDONESIA

    Mahmud Hamundu dan Usman Rianse1

    Pendahuluan

    Menyongsong era globalisasi dan perdagangan bebas dunia yang tidak akan lama lagi diberlakukan untuk tingkat negara-negara di kawasan Asia Tenggara (AFTA) pada tahun 2003 dan untuk negara-negara di kawasan Asia Pasifik (APEC) pada tahun 2010, serta dunia (WTO) pada tahun 2020, Indonesia sebagai salah satu negara yang berdaulat harus memiliki kemampuan bersaing dan berkolaborasi dengan negara-negara lain untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.

    Globalisasi dalam arti liberalisasi perdagangan internasional menjanjikan berbagai dampak positif dalam mengatasi kesenjangan antara produksi dan konsumsi dunia, meningkatkan efisiensi ekonomi berdasarkan keunggulan komparatif, meredam variabilitas pasokan pangan, dan produksi global lebih ekonomis. Namun kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan karena struktur pasar dunia yang tidak kompetitif dan proteksi justru dilakukan oleh negara-negara yang kuat (Widodo, 2001).

    Pada era perdagangan bebas konsumen yang memiliki beragam

    kesukaan dan keingginan terhadap karasteristik produk yang harus selalu ditepati oleh produsen. Dengan demikian, maka komoditas yang akan dikembangkan diupayakan selalu mempertimbangkan aspek permintaannya. Indonesia tentunya diharapkan dapat mempertimbangkan perimintaan yang bersifat pasar lokal atau domestik (termasuk berkaitan dengan pengembangan subtitusi impor) dan pasar regional serta internasional. Sebagai negara yang

    1 Komisariat Perhepi Sulawesi Tenggara.

    1

  • membangun perekonomiannya bertumpu pada sektor pertanian, maka usaha yang dapat dilakukan dalam situasi perdagangan bebas tersebut adalah meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif bagi hasil-hasil pertanian dalam arti luas.

    Sebagaimana telah menjadi kesepakatan global, bahwa salah satu persyaratan yang harus dipenuhi bagi komoditi tertentu dalam perdagangan saat ini dan masa mendatang adalah kecenderungan untuk mengkonsumsi barang yang ramah lingkungan dengan kewajiban mencantumkan dalam label produk (eco-labeling). Pencantuman label ramah lingkungan pada produk-produk yang diperdagangkan sebenarnya merupakan pengejawantahan dari etika bisnis karena pola interaksi binsnis akan mempengaruhi lingkungan hidup (Keraf, 1998 :31-53). Sejak permulaan tahun 1990-an, pembicaraan interkasi positif antara pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup semakin populer dan disadari telah mampu membentuk perilaku global. Todaro (2000: 365) mengutip pendapat Sidik (1991) dan Bank Dunia (1992) sebagai berikut: Sidik mengatakan bahwa: sebagian besar degradasi dan kerusakan lingkungan hidup dunia yang terjadi sekarang ini terutama sekali diakibatkan oleh dua kelompok manusia. Pertama, adalah orang-orang yang paling kaya, sedangkan yang kedua adalah orang-orang paling miskin. Sementara Bank Dunia (1992) mengeluarkan argumen bahwa pelestarian lingkungan hidup merupakan suatu bagian yang sangat penting dari serangkaian upaya-upaya pembangunan. Tanpa ada usaha-usaha pelestarian secara memadai, maka makna pembangunan itu sendiri merosot. Hal ini dipicu oleh semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap pradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan meraih keuntungan jangka pendek yang tinggi, walaupun akibatnya menyebabkan kerusakan terhadap sumber daya dan lingkungan sosial budaya. Para ahli ekonomi pembangunan memberlakukan istilah berkelanjutan (suatainability) dalam upaya memperjelas hakikat keseimbangan pembangunan yang paling diinginkan, yakni pertumbuhan di satu sisi, dan pelestarian lingkungan hidup atau sumber-sumber daya alam di sisi yang lain (Todaro, 2000:367).

    Di Indonesia, pembangunan pertanian berekalanjutan telah tercantum dalam Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) 1993 sebagai kebijakan pemerintah dalam pembanguan selama Repelita VI. Pertanian berkelanjutan sebagai kebijakan, prinsip dan teknologi juga tercantum pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, misalnya pada konsideran undang-undang tersebut butir (b) dinyatakan bahwa: sistem pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan pertanian secara menyeluruh dan terpadu.

    2

  • Meskipun pertanian berkelanjutan telah merupakan kebijakan pembangunan nasional, tetapi dalam pelaksanaannya di tingkat lapangan masih dijumpai berbagai kontroversi antar beberapa implementor. Banyak pula berkembang perbedaan persepsi di antara para pakar, pengambil keputusan, petugas lapangan, dunia usaha, LSM, serta masyarakat tentang pertanian berkelanjutan. Ada kalangan yang berpendapat bahwa pertanian berkelanjutan adalah identik dengan pertanian primitif, tradisional, dan subsisten yang memiliki produktivitas rendah. Pandangan ini tidak sejalan dengan prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan sebagai suatu inovasi dalam pembangunan pertanian. Beberapa contoh teknologi pertanian yang menganut prinsip pertanian berkelanjutan, seperti: (1) pertanian alternatif (alternative agriculture), (2) pengendalian hama terpadu (PHT), (3) bioteknologi pertanian, (4) pertanian bersih (clean agriculture), (5) wana-tani (agro-forestry), (6) pertanian alami model Fukuoka, (7) pertanian akrap lingkungan mengembangkan EM4 (bogasi), (8) masukan eksternal rendah dan pertanian berkelanjutan (LEISA low external input and sustainable agriculture), dan (9) pertanian organik. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia berada dipedesaan dan kehidupan mereka terutama dari usaha pertanian, maka setiap kegiatan pembangunan pertanian seharusnya dapat mencapai berbagai tujuan berikut ini, secara simultan yaitu: (a) peningkatan produksi, (b) peningkatan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat setempat serta pengentasan kemiskinan, (c) peningkatan pemerataan dan keadilan, (d) penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat tani, (e) penggunaan sumber daya setempat yang meliputi termasuk sumber genetik, fisik dan manusia, (f) peningkatan dan pelestarian kualitas lingkungan hidup, dan (g) pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan dan pengetahuan masyarakat tradisional/lokal. Prinsip dan tujuan simultan tersebut dapat dicapai melalui penerapan pertanian berwawasan lingkungan atau pertanian berkelanjutan. Tulisan ini menguraikan keuntungan pengembangan pertanian berkelanjutan dengan pendekatan teoritis dan praktis, sebagai salah satu wacana yang dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengembangan pertanian berkelanjutan yang memiliki keunggulan komparatif dan/atau kompetitif dalam perdagangan bebas.

    Kritik Terhadap Pembangunan Pertanian Sebelumnya Sistem intensifikasi pertanian (revolusi hijau) selama ini sebagai

    pembangunan pertanian yang boros sumber daya manusia, sumber daya alam, dana dan waktu. Kita juga belum mencapai kecukupan pangan secara mantap serta kesejahteraan dan kehidupan petani masih tetap marginal. Para penentu kebijakan pembangunan lebih mengutamakan pengejaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi mengabaikan dimensi keadilan. Sensus pertanian 1993 mencatat terjadinya ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan. Petani yang memiliki tanah kurang satu hektar berjumlah sekitar 22,9

    3

  • juta jiwa (84%) dengan proporsi tanah yang dikuasai hanya 31%. Jumlah petani gurem meningkat dua kali dari 5 (lima) juta menjadi 9 (sembilan) juta. Juga telah terjadi penyusutan lahan karena alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian diperkirakan sekitar 30.000-50.000 ha per tahun. Karena keharusan bahwa produk pertanian harus terus meningkat mengimbangi jumlah dan kebutuhan penduduk yang selalu meningkat, maka harus digunakan teknologi pertanian yang mampu secara cepat mengingkatkan produktivitas lahan. Untuk tujuan tersebut, maka teknologi pertanian yang kita gunakan, adalah teknologi yang bertumpu pada masukan produksi yang cepat menghasilkan, berupa bibit/varietas unggul monoklonal, pupuk buatan (kimia), pestisida sintetik, zat pengatur tumbuh, penyediaan air pengairan dan mekanisasi pertanian dengan teknologi tinggi. Kegiatan pertanian pada masa itu, khususnya pertanian pangan sangat tergantung pada penggunaan masukan produksi berenergi tinggi. Tanpa penggunaan masukan saprodi, lahan pertanian tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Saat ini petani menjadi kebingungan apabila pupuk dan pestisida tidak tersedia di desa-desa atau kalaupun tersedia harganya sangat mahal. Kecenderungan peningkatan penggunaan masukan produksi kimiawi juga menunjukkan bahwa kesuburan dan daya dukung lingkungan tanah pertanian kita sudah demikian menurunnya sehingga tanpa subsidi energi dari luar, lahan tidak dapat menghasilkan tingkat produktivitas yang diinginkan.

    Penggunaan traktor dalam pengolahan tanah, pupuk dalam upaya mempertahankan produtivitas tanah dan pengunaan bahan kimia untuk pengendalian gulma, hama dan penyakit menimbulkan gangguan sistematis terhadap penurunan kualitas lingkungan. (Fukuoka, 1991: 26-32). Dalam hal pengolahan tanah misalnya, jika menggunakan pembajakan, gulma-gulma yang sangat kuat seperti crabgrass (rumput liar yang dapat memperburuk tanah atau kebun, atau sejenis alang-alang) dan dock (sejenis tumbuhan polyonaceous kadang-kadang mendominasi vegetasi. Lebih jauh Sugandy dalam Rianse dan Muhktar (2001), menjelaskan bahwa dengan penggunaan mesin kemampuan manusia dalam pengolahan tanah dan penebangan hutan menjadi lebih cepat dan semakin mempersempit ruang gerak organisme dalam suatu sistem. Pupuk dan obat-obat kimiawi yang dihasilkan secara massal oleh pabrik-pabrik pupuk dan pestisida mempunyai dampak pada percepatan kejenuhan tanah pertanian, kepunahan organisme tertentu dan keracunan pada organisme lainnya, termasuk manusia sebagai penerima dampak lanjutan. Harapan para ahli pemuliaan bahwa rekayasa genetika merupakan suatu upaya pemnafaatan bioteknologi untuk produktivitas dan daya tahan tanaman dalam mendukung pertanian yang berkelanjutan. Namun demikian, melalui teknik-tekniknya sendiri bioteknologi tidak akan mampu memecahkan semua permasalahan lingkungan dan pembangunan yang mendasar. Salah satu bahaya pelepasan organisme hasil rekayasa genetik adalah kemungkinan tercemarinya jenis-jenis asli atau liar oleh gen-gen dari tanaman transgenik. Keadaan tersebut secara genetis pula dapat bermutasi dan berubah dengan akibat-akibat negatif pada lingkungan

    4

  • hidup dan kesehatan yang tidak dapat diperkirakan. Sekali dilepas dan berbiak, gen-gen hasil rekayasa ini tidak dapat diisolasi kembali dari lingkungan.

    Masalah lain yang juga menarik, berkaitan dengan pemborosan sumber daya dalam pembangunan ekonomi dikemukaan oleh Hardin dalam Soemarwoto (2001: 92), melalui sebuah artikel yang menguraikan tentang tragedy of the commons (tragedi sumber daya umum). Dasar logikanya adalah bahwa pada prinsipnya manusia adalah egoistis, yang mengutamakan kepentingan diri-sendiri. Hal ini nampak pada masyarakat yang mempunyai akses bebas pada sumber daya umum dan mempunyai persepsi bahwa sumber daya itu tak terhingga besarnya. Dengan demikian menurut mereka dampak kelakuan individu terhadap sumber daya tidak berarti. Akibatnya masing-masing individu berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri dari sumber daya itu. Pada waktu jumlah manusia tidak besar relatif terhadap besarnya sumber daya, kelakuan itu memang kecil dampaknya terhadap sumber daya itu. Namun pada waktu jumlah manusia yang memanfaatkan itu mencapai jumlah yang besar relatif terhadap kemampuan sumber daya untuk menyediakan kebutuhan itu, maka terjadilah kerusakan pada sumber daya itu. Akibatnya terjadi penderitaan untuk semuanya. Bertambahnya jumlah pelaku pemanfaat sumber daya dapat terjadi karena pertumbuhan alamiah penduduk dan/atau migrasi orang luar daerah. Selanjutnya Soemarwoto memberikan cantoh pada pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Pada tahun 1960-an sampai akhir tahun 1980-an kita menganggap hutan Indonesia tak terbatas besarnya. Kekuasaan pemerintah pada kurun waktu tersebut sangat dominan yang memberikan konsesi hutan besar-besaran, guna mendapatkan modal besar dengan secepatnya. Hutan menjadi sumber daya umum yang aksesnya terbuka bagi masyarakat yang dekat dengan pusat kekuasaan. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan konsesi itu, sampai ada yang memperoleh konsesi jutaan hektar. Pengusaha yang berlaku pro-lingkungan hidup melalui tindakan konservasi, justru dirugikan. Hal ini diakibatkan oleh biaya eksploatasinya yang lebih tinggi mereka yang berlaku anti-lingkungan hidup. Akibatnya, mereka pun mengikuti arus besar kelakuan anti-lingkungan hidup yang berakibat pada semakin rusaknya hutan kita. Proses perubahan kawasan hutan primer juga terjadi untuk pengembangan perkebunan swasta dan rakyat yang cenderung monokultur dan intensif, pengembangan sawah beririgasi dan pembuakaan lokasi transmigrasi terutama di luar pulau Jawa. Salah satu contoh juga diungkapkan oleh Rianse dan Muhktar (2001) tentang perubahan kawasan hutan primer dan hutan buatan masyarakat lokal atau perhutanan sosial (Kaindea: bhs. Muna) di kawasan DAS Tiworo Kabupaten Muna dan hampir menyebar di semua daerah di Sulawesi Tenggara. Pengalihan fungsi hutan tersebut ditujukan untuk pengembangan kebun-kebun kakao dan jambu mete secara monokultur baik oleh masyarakat lokal, maupun oleh masyarakat pendatang. Pembangunan pertanian seperti ini ditenngarai memelihara benih-benih konflik yang besar baik secara horsontal maupun vertikal meskipun dapat memberikan sumbangsan pendapat asli daerah yang lumayan.

    5

  • Dalam aspek kelautan sampai saat ini ketergantungan nelayaan pada kegiatan tangkap masih sangat tinggi, walaupun dibeberapa daerah telah banyak kegiatan budidaya yang juga masih menemui polemik karena banyak merusak bentangan hutan bakau yang beralih fungsi sebagai daerah budidaya tambak yang sanngat tandus. Disadari atau tidak keadaan seperti ini memacu pemborosan penggunaan sumberdaya pesisir dan kelautan..

    Pertanian Berkelanjutan Berbasis Petani dan Nelayan Kepedulian bersama global, justru lahir akibat kekhawatiran manusia,

    terhadap dampak buruk pembangunan termasuk kegiatan pertanian, yang mempunyai kecenderungan merusak ekosistem dan membahayakan manusia serta organisme lainnya. Akibat kontaminasi bahan-bahan kimia (pupuk dan pertisida) yang digunakan dalam proses produksi pertanian akan membahayakan kesehatan manusia dan kepunahan mahluk hidup lainnya. Deklarasi Stockholm (1972), mulai memperkenalkan hubungan pembangunan dan lingkungan. Saat ini seiring dengan globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi semua negara mendapat tekanan internasional untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan (eco-development) (Anonim, 2001: 171).

    FAO dalam Untung (1996), mendefinikan pertanian berkelanjutan

    merupakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dan orientasinya perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang. Pembangunan di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman dan sumber genetik tanaman, tidak merusak lingkungan, secara teknik tepat guna, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima.

    Pembangunan berkelanjutan memerlukan upaya dan tindakan yang

    berkelanjutan menuju kondisi yang selalu menjadi lebih baik. Pemantauan, peninjauan kembali dan perencanaan ulang, pelaksanaan untuk kemudian dipantau lagi ditinjau kembali apabila salah atau diteruskan apabila benar- merupakan siklus berkelanjutan. Sistem kehidupan yang kompleks menyebabkan proses itu bukan hanya proses yang beruntun, tetapi merupakan proses yang berjalan paralel, terdiri dari kegiatan yang beraneka ragam, ada yang berkaitan satu dengan yang lainnya dan ada pula yang berjalan sendiri-sendiri (Lubis, dkk., 2000:29).

    Keadaan perubahan lingkungan tidak seluruhnya dapat diantisipasi. Untuk

    itu dalam merencanakan suatu kegiatan atau proyek, diperlukan kebijakan yang hati-hati dan mengikuti suatu prosedur atau proses guna melengkapi apa yang perlu diketahui untuk diperkirakan secara lebih pasti, yang berati memperkecil dampak dan risiko yang akan terjadi. Secara keseluruhan, kelayakan suatu proyek perlu melampaui serangkaian proses untuk menilainya dari segi: (1)

    6

  • kelayakan teknologi akrap lingkungan, (2) kelayakan lingkungan yang mendukung, dan (3) kelayakan sosial ekonomi (memperoleh dukungan masyarakat dan manfaatnya kualitas hidup masyarakat).

    Widodo (1998) menjelaskan bahwa pertanian berkelanjutan tidak hanya berhubungan dengan aspek produktivitas, tetapi juga berkaitan dengan aspek ekonomi dan pemeliharaan sumber daya pertanian dalam jangka panjang. Penerapan sistem pertanian oleh para petani dalam pengalokasian sumber daya yang terbatas, keputusan mereka dipengaruhi oleh faktor teknik (fisik) dan pengalaman keluarga petani yang terbatas. Pertanian berkelanjutan akan meberikan hasil yang menjanjikan tergentung pada keputusan individual petani. Dalam pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dan penerapan pertanian dengan input rendah, diperlukan suatu pengkajian interdisipliner (holistik) untuk mengasilkan rekomendasi penyelesaian masalah yang kompleks terhadap variabel ekologi dan juga kondisi sosial ekonomi suatu daerah. Sesuai dengan keadaan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan, maka strategi pembangunan yang dikembangkan haruslah bersifat keberpihakan pada petani dan nelayan untuk menjamin demokratisasi ekonomi dan mampu mendukung pengembangan agroindustri hilir berorientasi pasar seperti agroindustri pengolahan hasil perkebunan dan hortikultura serta agroindustri hulu seperti industri pakan. Menghadapi ketidakpastian pasar produksi pertanian yang umumnya bersifat oligopolistik Indonesia perlu menata kembali sistem pengelolaan sumber daya pertanian yang lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda dengan mempertimbangkan empat sifat pokok yakni kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity).

    Untuk mencapai pengelolaan sumber daya yang ideal diperlukan upaya-upaya sistematik dalam hal : (a) pengembangan kesisteman yang sesuai dengan potensi sumber daya, keterpaduan (integratif) dan berwawasan agribisnis, dan (b) penempatan petani sebagai pengambil keputusan melalui pemahaman sistem usahatani dan berbagai kearifan masyarakat dalam pengalokasian sumber daya bagi usahatani berkelanjutan.

    Dengan konsep pembangunan berbasis petani dan nelayan, maka petani dan nelayan seccara individual atau kelompok akan menjadi sentra pengambilan keputusan untuk pengembangan satu atau beberapa komoditas pertanian (produk pangan, perkebunan, kehutan, peternakan dan atau perikanan tertentu). Sementara pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya merupakan fasilitor bagi terselenggaranya kegiatan tersebut secara adil, stabil, produktif dan berkelanjutan, termasuk adanya jaminan kepastian kepastian pasar. Demikian pula kegiatan penyuluhan pertanian harus benar-benar bertujuan untuk penguatan kemandirian petani/nelayan atau kelompok tani/nelayan di satu pihak

    7

  • dan di pihak lain harus merupakan prosis penyerahan kembali kedaulatan pertanian kepada petani dan nelayan. Sebagai konsekuensi dari negara kepulauan, dengan jumlah penduduk yang bermukim di wilayah pesisir cukup signifikan tetapi masih hidup dalam keadaan miskin, maka Indonesia reorientasi pembangunan bagi masyarakat pesisir yang lebih fokus. Rumah tangga perikanan (masyarakat pesisir) biasanya memiliki dua daerah usaha yang sama-sama penting yaitu sebagai nelayan yang memanfaatkan sumber daya laut merangkap sebagai petani yang memanfaatkan sumber daya darat. Selama ini mereka juga menghadapi dua sumber inovasi dan kebijakan yang parsial dan tidak disadari oleh pembawa inovasi dan kebijakan tersebut bahwa hal itu membuat nelayan/petani didaerah tersebut tidak fokus dalam melakukan usaha mereka. Pendekatan sektoral rupanya tidak selalu efektif untuk masyarakat seperti ini, dapat dihipotesiskan bahwa pendekatan parsial mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemiskinan petani dan nelayan di wilayah pesisir. Oleh karena itu perlu pendekatan terpadu untuk masyarakat pesisir yang mencakup secara utuh kehidupan mereka adalah pedekatan agro-marine yang secara besamaan mereka dapat memanfaatkan bisisnis diwilayah pesisir dan bisnis di wilayah darat dengan pembagian sumberdaya rumatangga secara baik. Dalam era otonomi daerah saat ini. pengembangan pelabuhan-pelabuhan perikanan dan perdaggangan antar pulau akan meningkatkan efisiensi perdagangan dan ekspor hasil pertanian, meskipun selama ini peneliitian mengenai hal ini masih sangat terbatas dilakukan pada daerah-daerah potensial di Indonesia. Pemusatan ekspor pada satu wilayah terntetu merupakan hal yang biasa, tetapi sama sekali tidak didukung oleh penataan perdagangan antar pulau yang baik. Akibatnya kebocoran regional tidak dapat dihindari dan menimbbulkan konflik horisontal antar daerah.

    Penutup Kebijakan Pertanian Berbasis Petani dan Nelayan, harus petani dan

    nelayan seccara individual atau kelompok akan menjadi sentra pengambilan keputusan untuk pengembangan sutu atau beberapa komoditas pertanian (produk pangan, perkebunan, kehutan, peternakan dan atau perikanan tertentu). Sementara pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya merupakan fasilitor bagi terselenggaranya kegiatan tersebut secara adil, stabil, produktif dan berkelanjutan, termasuk adanya jaminan kepastian kepastian pasar. Selain itu diperlukan upaya-upaya sistematik dalam hal pengembangan kesisteman yang sesuai dengan potensi sumber daya, keterpaduan (intergarif) dan berwawasan agribisnis. Dengan demikian akan menjamin pengelolaan sumber daya yang ideal dan tentunya ada jaminan terwujudnya pertanian berkelanjutan. Dengan demikian maka terjadi pula perubahan paradigma dalam pembangunan pertanian modern yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga mempertimbangkan pada upaya pelestarian sumber daya pertanian,

    8

  • memiliki komitmen pada ketahanan ekonomi, keadilan dan kesejahteraan petani, sebagai pengambil keputusan paling menentukan secara demokratis.

    Konsep pendekatan agro-marine sebagai suatu laternatif dan prospektif

    bagi masa depan petani dan nelayan serta keluarganya. Sementara intu pengkajian perdagangan antar pula merupakan lahan penelitian dan masa depan integrasi ekonomi domestik Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian intensif.

    Dalam situasi perdagangan yang tidak dapat dijamin kepastiannya,

    pemerintah Indonesia perlu meningkatkan penelitian dan fasilitas penunjang bagi pengawasan, baik produk-produk pertanian yang akan diekspor maupun yang akan diimpor. Karena boleh jadi karena alasan lingkungan hanya bersifat politis bagi negara-negara yang memiliki teknologi dan kepentingan tertentu.

    Daftar Pustaka Anonim, 2001. Membangun Pertanian Modern. Yayasan Pembangunan Sinar

    Tani. Jakarta. Fukuoka, M., 1991. Revolusi Sebatang Jerami: Sebuah Pengantar Menunju

    Pertanian Alami. (diterjemahkan oleh: S. Hardjosoediro). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

    Keraf, A.S., 1998. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Kanisius. Yogyakata.

    Lubis, S.M., T. Mumpuni, T. Kuswartojo, A. Firman dan H. Kushardanto, 2000. Membuat Pembangunan Berlanjut: Upaya Mencapai Kehidupan Makin Berkualitas. ICEL. Jakarta.

    Rianse, U dan Muhktar, 2001. Pengetahuan Tradisional Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tiworo Sulawesi Tenggara. Lingkungan dan Pembangunan. Vol. 21 (1) Desember 2001 hal: 40-51

    Soemarwoto, O., 2001. Atur-Diri-Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan ramah lingkungan, berpihak pada rakyat, ekonomis, berkelanjutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

    Soerjani, M., 1997. Pembangunan dan Lingkungan: Meniti Gagasan dan Pelaksanaan Sustainable Development. Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan (IPPL). Jakarta.

    Todaro, M.P., 2000. Pembangunan Ekonomi 1. Edisi 5. (diterjemahkan oleh: H. Munandar). Bumi Aksara. Jakarta.

    Untung, K., 1996. Pembangunan Pertanian Berwawasan Lingkungan Sebagai Wahana Mempertahankan Swasembada Pangan dan Memberdayakan

    9

  • Sumber Daya Manusia Desa Menunju Keluarga Sejahtera. Makalah pada Peringatan Hari Pangan Sedunia di Yogyakarta, 1 Oktober 1996.

    Untuk, K., 2001. Pertanian Berkelanjutan Alternatif Terbaik Pembangunan Pertanian di Indonesia. Makalah disajikan pada pelatihan Basic Agriculture 2, Aventis Academy di Batu Malang, 12 Maret 2001.

    Widodo, S., 1998. Farming System Approach For Sustainable Agriculture. Agro Ekonomi. Vol. V (1) Desember 1998. hal: 1-6.

    Widodo, S., 1999. Reorientasi Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Agro Ekonomi. Vol. VI (1) Juni 1999. hal: 38-44.

    Widodo, S., 2001. Ketahanan Pangan pada Era Globalisasi dan Otonomi. Agro Ekonomi. hal: 1-8. Vol. 8(2) Desember 2001.

    10

    Kritik Terhadap Pembangunan Pertanian Sebelumnya