kebijakan land capping sebagai instrumen pembiayaan pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol

28
KEBIJAKAN LAND CAPPING SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN PEMBEBASAN LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL PENDAHULUAN ”Proyek pembangunan jalan tol terkendala oleh pembebasan lahan”, demikian headline yang sering menghiasi berita-berita di media massa. Kendala pembebasan lahan akibat naiknya harga tanah secara ekstrim sesungguhnya bukanlah hal baru, namun sejauh ini, Pemerintah belum juga berhasil menemukan formula yang tepat dalam memecahkan masalah klasik ini. Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak berlangsungnya reformasi bidang jalan pasca lahirnya UU No. 38/2004 tentang jalan, banyak didiskusikan secara terbuka mengenai instrumen land capping untuk mengatasi kendala pembebasan lahan dalam realisasi pembangunan jalan tol. Ketidakpastian mengenai pembebasan lahan dan penetapan tarif tol merupakan 2 (dua) faktor utama yang menyebabkan tingginya resiko investasi pembangunan jalan tol. Ketidakpastian dalam pembebasan lahan sendiri mencakup harga tanah, waktu pembebasan, serta status kepemilikan. Untuk itu, kajian ini mencoba melihat secara lebih dekat mengenai konsep land capping dan kendala dalam penerapannya. Selain itu akan dikaji pula beberapa tinjauan teoritik mengenai faktor-faktor yang menentukan harga tanah, serta pilihan-pilihan solusi yang dimiliki Pemerintah untuk mengatasinya.

Upload: elis-aniaty

Post on 28-Jul-2015

204 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

KEBIJAKAN LAND CAPPING SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN PEMBEBASAN LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL

PENDAHULUAN

”Proyek pembangunan jalan tol terkendala oleh pembebasan lahan”, demikian headline yang sering menghiasi berita-berita di media massa. Kendala pembebasan lahan akibat naiknya harga tanah secara ekstrim sesungguhnya bukanlah hal baru, namun sejauh ini, Pemerintah belum juga berhasil menemukan formula yang tepat dalam memecahkan masalah klasik ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak berlangsungnya reformasi bidang jalan pasca lahirnya UU No. 38/2004 tentang jalan, banyak didiskusikan secara terbuka mengenai instrumen land capping untuk mengatasi kendala pembebasan lahan dalam realisasi pembangunan jalan tol. Ketidakpastian mengenai pembebasan lahan dan penetapan tarif tol merupakan 2 (dua) faktor utama yang menyebabkan tingginya resiko investasi pembangunan jalan tol. Ketidakpastian dalam pembebasan lahan sendiri mencakup harga tanah, waktu pembebasan, serta status kepemilikan.

Untuk itu, kajian ini mencoba melihat secara lebih dekat mengenai konsep land capping dan kendala dalam penerapannya. Selain itu akan dikaji pula beberapa tinjauan teoritik mengenai faktor-faktor yang menentukan harga tanah, serta pilihan-pilihan solusi yang dimiliki Pemerintah untuk mengatasinya.

KONSEP LAND CAPPING: KEPASTIAN INVESTASI DAN RISK SHARING

Land capping telah banyak digunakan oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, untuk mengatasi persoalan pembebasan lahan sekaligus mengakselerasi penyelesaian proyek-proyek jalan tol. Sementara itu di Indonesia land capping lahir sebagai bagian dari reformasi penyelenggaraan pembangunan jalan tol pasca UU No. 38/2004, dimana pembebasan lahan menjadi tanggungjawab Pemerintah.

Filosofi dasar dari land capping ini adalah pembagian resiko yang adil antara Pemerintah dan investor (operator) yang bertujuan untuk memberikan kepastian investasi. Dalam hal ini Pemerintah telah memutuskan untuk menerapkan instrumen land capping dimana Pemerintah

Page 2: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

akan menanggung perubahan harga tanah di atas 110% dari nilai yang disepakati dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT).

Sasaran pemberlakuan land capping adalah untuk realisasi perjanjian proyek-proyek jalan tol lama yang terhenti (halted projects) pada saat krisis ekonomi berlangsung (pasca 1998), sedangkan proyek-proyek baru telah memasukkan harga wajar tanah aktual ke dalam kontrak PPJT sehingga tidak terjadi kenaikan harga tanah yang ekstrim.

Selain land capping terdapat instrumen lain yang dapat digunakan oleh Pemerintah secara simultan dengan land capping, seperti: land freezing (pembekuan lahan sepanjang koridor tol pasca penetapan kebijakan pembangunan dilakukan pemerintah); land price (penetapan harga tanah oleh auditor independen); dan land fund (dana talangan bergulir yang dikelola Badan Layanan Umum/BLU untuk membantu kerja investor pada tahap awal investasi/bilamana terjadi kelambatan (delay). Dengan model ’prepaid’ ini, dana talangan harus dikembalikan secara bertahap kepada Pemerintah pada saat jalan tol telah beroperasi).

Namun demikian, dalam menerapkan instrumen land capping ini, terdapat beberapa persoalan yang tidak sederhana, antara lain:

1. Besarnya resiko yang harus dibagi antara Pemerintah dan investor. Sampai berapa % Pemerintah akan menanggung kelebihan biaya tanah dalam pembebasan lahan? Besaran prosentase land capping tersebut menunjukkan tingkat accepted risks sehingga tidak terlalu membebani anggaran Pemerintah;

2. Apakah Pemerintah memiliki keleluasaan anggaran untuk memenuhi komitmen yang diberikan pada investor tersebut? Sejauh ini, Departemen Keuangan belum memberikan alokasi yang pasti mengenai besaran anggaran dalam APBN untuk penggunaan instrumen land capping ;

3. Metode ini dapat memicu terjadinya moral hazard yang lebih besar (kolusi antara aparat pemerintah dan spekulan, bahkan mungkin juga melibatkan investor jalan tol) yang akan ’menguji’ sejauh mana daya tahan keuangan Pemerintah. Kolusi ini sangat berbahaya karena mereka pun sangat memahami keinginan besar Pemerintah untuk mewujudkan pembangunan jalan tol (sebagai salah satu program prioritas setidaknya hingga 2009), di samping adanya harapan besar masyarakat terhadap layanan infrastruktur ini. Apabila tidak berhati-hati, Pemerintah hanya akan menjadi obyek dari money game yang akan menguntungkan sekelompok kecil orang saja.

PENENTUAN HARGA TANAH: ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

Pemerintah seringkali menyampaikan hipotesa bahwa praktek profiteering dan spekulasi lahan tidak dapat dibenarkan secara moral dan hukum, karena praktek ini jelas-jelas menghambat pembangunan infrastruktur untuk kepentingan masyarakat luas (kepentingan nasional). Namun dalam era demokrasi dewasa ini, Pemerintah perlu lebih mencermati dengan seksama serta memahami alasan mengapa harga tanah meningkat antara 100% hingga 500% kali dari NJOP saat investor hendak merealisasikan rencana investasi sesuai dengan kontrak PPJT. Sebagai gambaran, komponen biaya pembebasan tanah (land acquisition cost) dalam keseluruhan investasi awal (capital investment) jalan tol berkisar antara 20-25%, namun akibat spekulasi lahan biaya pembebasan tanah bisa membengkak hingga 30-40%.

Beberapa teori berupaya menjelaskan penentuan harga tanah oleh pemegang hak atas tanah sebagai berikut: (1) harga tanah didasarkan atas kesuburan tanah (teori Ricardo-Marx); (2) harga

Page 3: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

tanah didasarkan atas jarak metrik ke pusat kegiatan sosial-ekonomi (teori von Thunen); dan (3) teori nilai hedonis (Muth, Lancaster, dan Rosen) dimana harga tanah ditentukan oleh faktor intrinsik (luas tanah, status), faktor lokasi (kedekatan ke pusat kegiatan/fasilitas sosial-ekonomi) dan faktor lingkungan sekitarnya (polusi, bising, etnis, landscape, dsb).

Namun ketiga teori di atas perlu dilengkapi dengan faktor ’persepsi masyarakat’ terhadap ’tanah’ yang begitu kental, paling tidak untuk kasus di Indonesia. Tanah sejak lama diidentikkan dengan unsur kesejahteraan dimana kepemilikan tanah menunjukkan tingkat kesejahteraan (sign of richness). Bagi beberapa suku tertentu di tanah air, bahkan, kepemilikan tanah di tempat tertentu tidak dapat diukur dengan uang (non-estimable), sehingga tidak dapat ditransaksikan.

Persepsi lain yang berkembang adalah ’jalan tol’ dibangun oleh investor dengan motif bisnis (profit-oriented) untuk kepentingan kelompok masyarakat kaya yang memiliki kendaraan. Persepsi ini mendorong sekelompok orang untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya sejak awal investasi (profiteering) – sementara sebagian lainnya dipicu oleh ulah para spekulan. Fenomena yang terjadi kemudian mengikuti hukum ekonomi klasik, yakni keseimbangan antara supply dan demand. Permintaan tanah yang tinggi (dengan koridor jalan yang cenderung statis, harus di lokasi tersebut) akan mendongkrak harga tanah yang tinggi pula, mengingat ketersediaan lahan yang tidak bertambah (luas konstan) dan kemampuan daya beli investor yang tinggi (didukung dengan regulasi Pemerintah, termasuk land capping).

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomena tingginya harga penawaran tanah pada dasarnya mengikuti logika pasar yang rasional. Dalam konteks ini, faktor persepsi masyarakat terhadap value jalan tol sangat menentukan besarnya kenaikan harga tanah, seringkali melebihi harga wajar tanah yang lebih ditentukan oleh faktor intrinsik, faktor lokasi dan faktor lingkungan sekitarnya.

ADAKAH OPSI SOLUSI KE DEPAN BAGI PEMERINTAH ?

Rezim pertanahan di Indonesia mengadopsi sistem Eropa daratan, dimana pengakuan atas hak-hak kepemilikan tanah (individu, kolektif, maupun adat) diakui secara penuh (sacred) dan tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun (unviolated). Hak ini dikenal dengan istilah ”Dominium”. Namun, atas nama keselamatan dan/atau kepentingan umum Pemerintah dapat menggunakan haknya untuk mengambil alih hak atas tanah tersebut melalui mekanisme kompensasi yang layak. Hak Pemerintah ini disebut dengan ”Empirium”.

Pemerintah menerjemahkan hak ’empirium’ tersebut, misalnya, melalui penerbitan Perpres No. 67/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum atau UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, khususnya pasal 33 ayat (3) yang berbunyi ”Pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi pemerintah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah.”

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kelengkapan peraturan serta banyaknya unsur pemerintah yang terlibat dalam eksekusi pengadaan tanah (melalui auditor independen memberikan masukan nilai wajar tanah bagi Panitia Pembebasan Tanah, termasuk unsur Pemerintah Provinsi dan Kab/Kota) serta terlibat dalam pengawasannya (seperti BPK, KPK, Polisi, dsb) tidaklah cukup untuk mencegah berlangsungnya praktek profiteering dan spekulasi tanah. Kenyataan ini menunjukkan sulitnya penerapan aturan hukum serta lemahnya institusi pemerintah dalam merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan.

Page 4: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

Dengan densitas keterlibatan unsur pemerintah dalam proses pembebasan lahan pun belum cukup meyakinkan KKPPI (termasuk DepKeu di dalamnya) untuk mengeluarkan ‘angka resmi’ mengenai kisaran pagu yang dapat dimanfaatkan untuk land capping ini. Selain itu, Pemerintah pun belum bulat untuk memberikan jaminan bilamana proyek-proyek tersebut macet di tengah jalan (kondisi default), seperti kejadian pada awal krisis moneter yang lalu. Belum adanya kepastian atas dua hal di atas menjadi dasar keragu-raguan kreditor (konsorsium bank yang belakangan mulai menunjukkan ketertarikannya untuk turut berpartisipasi dalam investasi jalan tol) dalam mengucurkan kreditnya kepada para investor jalan tol.

Skema sederhana pada gambar 1 di bawah ini menunjukkan bagaimana densitas keterlibatan unsur pemerintah dan peraturan yang tersedia dalam pembebasan lahan tetap tidak efektif dalam mencegah praktek profiteering dan spekulasi lahan.

SOLUSI TERBAIK

Dengan penjelasan di atas, Pemerintah dapat memahami bahwa masalah land capping hanyalah salah satu solusi dari persoalan pembiayaan pembebasan lahan jalan tol yang sangat kompleks. Solusi terbaik untuk mengatasi persoalan pembebasan lahan adalah tercapainya kata mufakat dalam proses negosiasi untuk pelepasan hak atas tanah tersebut dari pemilik kepada investor.

Instrumen land capping tidak dapat berdiri sendiri, namun harus didampingi oleh instrumen regulasi yang lebih solid dan diimplementasikan secara konsisten, misalnya instrumen penatagunaan tanah (land-use control) dan instrumen yang menjamin manakala terjadi kegagalan proyek (project default).

Instrumen land capping akan efektif – tidak membebani anggaran pemerintah - apabila disertai dengan proses komunikasi yang baik antar pihak yang berkepentingan, dengan mendorong peran Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota terkait) yang lebih aktif. Komunikasi tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman yang utuh bahwa pembangunan jalan tol adalah program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat dan tidak semata-mata bermotif bisnis.

Pemerintah perlu meninjau kembali aturan-aturan pembebasan lahan jalan tol sehingga menjadi lebih sederhana namun tegas. Pada satu titik dimana negosiasi mengenai harga tanah mengalami kebuntuan, Pemerintah perlu mengefektifkan instrumen/prosedur terakhir yang sifatnya final untuk mengkompensasi pengalihan hak atas tanah sesuai dengan pagu harga tertinggi sesuai dengan masukan tim auditor independen. Secara hukum, prosedur ekspropriasi ini dimungkinkan.

(Pustra, Kajian Strategis, 020309)

Gambar 1 Skema Densitas unsur Pemerintah dan regulasi dalam proses pembebasan lahan

Page 5: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

1. Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti: bahan baku lokal (local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input); dan permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007) 2. Von Thunen (1826) mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota. 3. Weber (1909) menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai

Page 6: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane). 4. Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri, di mana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti dan model ini disebut sistem K = 3. Model Christaller menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold. 5. Teori Lokasi dari August Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar. 6. D.M. Smith memperkenalkan teori lokasi memaksimumkan laba dengan menjelaskan konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka dapat dibuat kurva biaya rata-rata (per unit produksi) yang bervariasi dengan lokasi. Selisih antara average revenue dikurangi average cost adalah tertinggi maka itulah lokasi yang memberikan keuntungan maksimal. 7. McGrone (1969) berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidakpastian yang tinggi dan dalam analisis dinamik. Ketidaksempurnaan pengetahuan dan ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model maksimisasi keuntungan lokasi sulit dioperasikan. 8. Menurut Isard (1956), masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang berbeda-beda. Isard (1956) menekankan pada faktor-faktor jarak, aksesibilitas, dan keuntungan aglomerasi sebagai hal yang utama dalam pengambilan keputusan lokasi. Richardson (1969) mengemukakan bahwa aktivitas ekonomi atau perusahaan cenderung untuk berlokasi pada pusat kegiatan sebagai usaha untuk mengurangi ketidakpastian dalam keputusan yang diambil guna meminimumkan risiko. Dalam hal ini, baik kenyamanan (amenity) maupun keuntungan aglomerasi merupakan faktor penentu lokasi yang penting, yang menjadi daya tarik lokasi karena aglomerasi bagaimanapun juga menghasilkan konsentrasi industri dan aktivitas lainnya. 9. Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal.

10. Tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan produksi (industri) itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala besar) secara komprehensif diperlukan gabungan dari berbagai pengetahuan dan disiplin. Berbagai faktor yang ikut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap

Page 7: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara dan, kebijakan daerah (peraturan daerah).

Sumber Buku Ekonomi Regional Karya D.S. Priyarsono

PENGUATAN DAN PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT ADATMefi Hermawanti dan Hesti Rinandari A. Pengantar            Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial yang telah dilaksanakan di Kopenhagen 12 Maret 1995 menyentil kita dengan sebuah kosa kata yang seolah baru: "modal sosial." Jenis modal inilah yang selama ini luput dari pertimbangan penyelenggara pemerintahan yang umumnya terkesima bahkan terhanyut dalam ritus ideologisasi atas apa yang mereka percayai sebagai "pembangunan." Modal sosial tiba-tiba tampil menjadi kata kunci menanggap tiga agenda pokok konferensi: mengurangi kemiskinan, menciptakan angkatan kerja yang produktif, dan meningkatkan integrasi sosial.            Menanggap diskursus/situasi yang berlangsung, para penyelenggara pemerintahan, baik di negara maju maupun berkembang, umumnya masih bersikukuh menerapkan kebijakan yang berupaya mengendalikan penuh roda ekonomi masyarakat. Ekonomi lantas cenderung dibaca sebagai "ekonomi-politik," tak ubahnya seperti penjabaran di era Adam Smith. Jika pun ada pergeseran pandang masalah kemiskinan, pengangguran dan disintegrasi sosial yang mulai dimengerti sebagai masalah "ekonomi sosial" pemahamannya baru terealisasikan pada tataran kebijakan berciri karikatif, padat karya. Namun ternyata hal ini tidak lagi relevan. Ide pembangunan ekonomi akhirnya luruh dan muncul ide tentang partisipasi masyarakat dan Modal Sosial yang memberikan tawaran baru terhadap dunia akademis dan praktisi yang terbukti memberi kontribusi yang sangat besar terhadap negara.            Di dalam masyarakat kita, modal sosial ini menjadi suatu alternatif pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Mengingat sebenarnya masyarakat kita sangatlah komunal dan mereka mempunyai banyak sekali nilai-nilai yang sebenarnya sangat mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial itu sendiri. Pasalnya modal sosial memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi sebagai pilar penting pembangunan masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi dan good governance (tata pemerintahan yang baik) yang sedang marak dipromosikan.  Tulisan di atas mengingatkan kembali bahwa adalah penting untuk mengkaji ulang tentang apa modal sosial, apa fungsinya dan peluang apa yang dapat kita ambil. B. TUJUAN MODUL:1.        Peserta memahami bahwa penguatan modal sosial akan membawa adanya perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat adat.2.        Peserta menyadari pentingnya penguatan modal sosial. 3.        Peserta meyakini bahwa setiap daerah mempunyai potensi dan peluang  yang sama untuk dapat mengembangkan modal sosial di dalam masyarakatnya. C. METODE1.        Telaah Kasus2.        Diskusi kelompok kecil3.        Diskusi kelompok besarDari ketiga metode yang ditawarkan diatas, bisa dikembangkan atau dipilih salah satu sesuai dengan kondisi forum (jumlah peserta, variasi pendidikan, jenis kelamin dan lain-lain). D. POKOK BAHASAND.1 Apakah Modal Sosial Itu?Sebagai salah satu elemen yang terkandung dalam masyarakat sipil, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat.  Berikut beberapa definisi tentang modal sosial: w   Robert Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan)  antara anggota masyarakat  dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama.  Hal ini juga mengandung pengertian bahwa diperlukan adanya suatu  social networks (“networks of civic engagement”) - ikatan/jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma yang mendorong produktivitas komunitas. Bahkan lebih jauh, Putnam melonggarkan pemaknaan asosiasi horisontal,  tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome (hasil tambahan). w   Pierre Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai “sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan

Page 8: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”. Dalam pengertian ini modal sosial menekankan pentingnya transformasi dari hubungan sosial yang sesaat dan rapuh, seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan, menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain. Bourdieu (1970) juga menegaskan tentang modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital (modal sosial) berupa institusi lokal maupun kekayaan Sumber Daya Alamnya.  Pendapatnya menegaskan tentang  modal sosial mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu (paguyuban, kelompok arisan, asosiasi tertentu). w James Coleman mendefinisikan modal sosial sebagai “sesuatu yang memiliki dua ciri, yaitu merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut”. Dalam pengertian ini, bentuk-bentuk modal sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat dan melahirkan kontrak sosial. w Sedangkan dari hasil konferensi yang dilakukan oleh Michigan State University, Amerika Serikat, tentang modal sosial dapat didefinisikan pengertian modal sosial sebagai “simpati atau rasa kewajiban yang dimiliki seseorang atau kelompok terhadap orang lain atau kelompok lain yang mungkin bisa menghasilkan potensi keuntungan dan tindakan preferensial, dimana potensi dan preferensial itu tidak bisa muncul dalam hubungan sosial yang bersifat egois”. w   Menurut Bardhan (1995), modal sosial dipahami pula sebagai serangkaian norma, jaringan dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada kekuasaan dan sumberdaya, serta dimana pembuatan keputusan dan kebijakan dilakukan.  w   Dari sudut pandang lain, North (1990) dan Olson (1982) menekankan pula lingkungan sosial politik sebagai modal sosial. Faktor lingkungan berpengaruh pada peluang bagi norma untuk mengembangkan dan membentuk struktur sosial. Jika pandangan Putnam dan Coleman hanya menekankan pada asosiasi horisontal dan vertikal, North & Olson menambahkan peran struktur dan hubungan institusional yang lebih formal, seperti pemerintah, rejim politik, hukum, sistem peradilan, serta kebebasan sipil dan politik.                 Berbagai pandangan tentang modal sosial itu bukan sesuatu yang bertentangan. Ada keterkaitan dan saling mengisi sebagai sebuah alat analisa penampakan modal sosial di masyarakat. Modal sosial bisa berwujud sebuah mekanisme yang mampu mengolah potensi menjadi sebuah kekuatan riil guna menunjang pengembangan masyarakat. D. 2. BAGAIMANA SEJARAH DAN BENTUK MODAL SOSIAL?Sejarah Modal Sosial                 Modal sosial awalnya dipahami sebagai suatu bentuk di mana masyarakat menaruh kepercayaan terhadap komunitas dan individu sebagai bagian didalamnya. Mereka membuat aturan kesepakatan bersama sebagai suatu nilai dalam komunitasnya. Di sini aspirasi masyarakat mulai terakomodasi, komunitas dan jaringan lokal teradaptasi sebagai suatu modal pengembangan komunitas dan pemberdayaan masyarakat. Berikut akan dipaparkan pengalaman-pengalaman modal sosial di empat daerah penelitian;  

Pengalaman Modal Sosial di Kalimantan Barat§     Adanya adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.§     Dimana masyarakat adat punya hukum adat yang tertulis dan tidak tertulis maupun kesepakatan adat.§     Sangsi pada warga adat bagi masyarakat adat yang melanggar sehingga menimbulkan kepatuhan/social orde.r.§     Ini memperlihatkan adanya perintah dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat adat. Jika masyarakat adat tidak memenuhi biasanya akan ada sangsi untuk ini. Sangsi ini bisa bersifat ringan atau berat. Pengalaman Modal Sosial di NTTØ   Adanya kesatuan masyarakat hukum, dimana masyarakat adat punya hukum adat yang tertulis dan tidak tertulis maupun kesepakatan adat. Misalnya;Ø   Di NTT misalnya ada pengaturan, ada daerah pengembalaan dan ada mamar. Ada aturan tertentu yang mengatur  Misalnya jika sapi masuk tapi pagar lebih rendah maka ada kesepakatan sapi yang masuk tersebut akan dibunuh dan dibagikan kepada seluruh warga.Ø   Di Timor adat menguasai konsep Euis Pah sebagai penguasa alam semesta. Dalam sistem ini ada aturan sendiri yang dilakukan oleh adat dan ada sistem pengambilan keputusan . Misalnya ada sinoman di Bali untuk mewartakan berita atau NTT dengan kaki ringan.Ø   Sangsi pada warga adat bagi masyarakat adat yang melanggar. Ini memperlihatkan adanya perintah dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat adat. Jika

Page 9: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

masyarakat adat tidak memenuhi biasanya akan ada sangsi untuk ini. Adanya Kemandirian pengelolaan keamanan yang dilakukan secara internal daerah. Pengalaman Modal Sosial di Sumatera Barat·    Persoalan gerakan Kembali ke Nagari, perda yang dihasilkan pemda di tingkat propinsi; nagari harus memenuhi syarat jumlah penduduk dan luas wilayah. Untuk detailnya dikembalikan pada pemerintah kabupaten.·    Adanya beberapa institusi baru yang lahir, sebutan baru untuk lembaga adat yang pernah ada dengan mengadopsi konsep negara modern. Jadi, gerakan kembali ke adat bukan kembali pada adat yang lama.·    Adanya kesatuan masyarakat hukum adat. Pengalaman Modal Sosial di Sumatera Selatan·          Di Sumatera Selatan demokrasi dan modal sosial itu sesungguhnya pernah ada terutama pada masa berlaku sistem marga dengan kepemimpinan pasirah. Budaya ini kemudian hancur seiring dengan diterapkannya UU No.5 Tahun 1979. Kini sebagian praktik demokrasi dan modal sosial masih ada namun dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan mereka. 

 D.3. Komponen Modal SosialMenyimak tentang berbagai pengertian modal sosial yang sudah dikemukakan di atas, kita bisa mendapatkan pengertian modal sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan genealogis, dan lain-lain. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Di sini, dalam level mekanismenya modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama sendiri adalah upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain, sehingga akhirnya tingkah laku mereka menjadi cocok satu sama lain. Perlu ditegaskan bahwa ciri penting modal sosial sebagai sebuah kapital, dibandingkan dengan bentuk kapital lainnya ,adalah asal usulnya yang bersifat sosial, yaitu relasi sosial itu dianggap sinergi atau kompetisi dimana kemenangan seseorang hanya dapat dicap di atas kekalahan orang lain.Berdasarkan eksplorasi diatas kita bisa menemukan komponen modal sosial dalam tiga level yaitu pada level nilai, institusi, dan mekanisme. Secara ringkas hubungan ketiga level modal sosial tersebut dapat digambarkan sebagai berikut;

Mekanisme:Tingkahlaku kerjasama, sinergi

Nilai, Kultur, Persepsi:

Simpati, dan kepercayaan

Institusi:Ikatan yang terdapat dalam komunitas lokal, jaringan,dan asosiasi,

  

Page 10: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

             Dari hasil penelitian Fisipol UGM, modal sosial juga berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang ada di dalam masyarakat, seperti diungkapkan sebelumnya. Ia juga memberikan kontribusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial. Modal sosial dalam hal ini bisa berfungsi memelihara adanya integrasi sosial sekaligus mengatasi konflik dalam masyarakat. Disintegrasi sosial terjadi karena potensi konflik sosial yang tidak dikelola  secara efektif dan optimal, sehingga termanifest dengan kekerasa. Sebagai alat untuk mengatasi konflik yang ada di dalam masyarakat dapat dilihat dari adanya hubungan antara individi atau kelompok yang ada di dalam masyarakat yang bisa menghasilkan trust, norma pertukaran serta civic engagement yang berfungsi sebagai perekat sosial yang mampu mencegah adanya kekerasan. Namun demikian perlu dicatat bahwa dalam kehidupan yang positif diperlukan adanya perubahan di dalam masyarakat. Dari modal sosial yang eksklusif dalam suatu kelompok menjadi modal sosial yang inklusif yang merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis. Woolcock (2001) Membedakan Tiga Tipe Modal Sosial:1.  Social Bounding     Nilai, Kultur, Persepsi dan Tradisi atau adat-istiadat (custom)Pengertian social bounding adalah, tipe modal sosial denga karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam sustu sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota keluarga mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluaraga yang lain. Yang mungkin masih berada dalam satu etnis. Disini masih berlaku adanya sistem kekerabatan dengan sistem klen. Di banayk daerah Klen masih berlaku. Pengertian Klen disini sangatlah berbeda maknanya dengan leneage (kelompok kerabat unilateral yang masih bisa ditelususri hubungannya saja. Atau suku /stam (kesatuan tertinggi yang mempersatukan kelompok kerabat). Klen merupakan kelompok kerabat tradisional, unilateral dan eksogam. Disebut Eksogam karena perkawinan dalam klan tidak dibenarkan. Unilateral karena garis keturunan diperhitungkan mulai garis patrilineal saja atau matrilineal saja. Tradisional karena klen juga meliputi warga atau kerabat yang tidak bisa lagi ditelusuri hubungannya.                Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati/kebersamaan. Bisa juga menwujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yg mereka percaya. Rule of law/aturan main merupakan aturan atau kesepakatan bersama dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal dengan sanksi yang jelas seperti aturan Undang-Undang. Namun ada juga sangsi non formal yang akan diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya berupa pengucilan, rasa tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komunitasnya. Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang tidak melaksanakan bagian dari tanggung jawabnya. Hal ini berakibat akan adanya social order/keteraturan dalam masyarakat . Dalam kehidupan sehari-hari, norma-norma itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Yang pelu diingat bahwa modal sosial ada yang memberikan pengaruh yang baik dan ada yang memberikan pengaruh yang kurang baik.Tradisi atau adat-istiadat (custom) yang juga masih tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat desa. Adat-istiadat (custom) merupakan tata kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi yang kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, yang mempunyai kekuatan untuk mengikat dengan beban sanksi bagi pelanggarnya. Hal ini kembali berkait pada karakteristik sosio-psikologis masyarakat desa yang masih meyakini suatu kepercayaan tertentu secara homogen.  2.Social Bridging, bisa berupa  Institusi maupun MekanismeSocial Bridging (jembatan sosial) merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompokknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada disekitarnya sehingga mereka memutuskan untuk membangaun suatu kekuatan dari kelemahan yang ada. Stephen Aldidgre menggambarkannya sebagai “pelumas sosial”, yaitu pelancar dari roda-roda penghambat jalannya modal sosial dalam sebuah komunitas. Wilayah kerjanya lebih luas dari pada social bounding. Dia bisa bekerja lintas kelompok etnis, maupun kelompok kepentingan. Misalnya “Asosasi Masyarakat Adat Indonesa (kelompok ini bisa beranggotakan seluruh masyarakat adat yang ada di Indonesia, baik di Sumatra, Kalimantan sampai dengan Papua) Keanggotaannya lebih luas dan tidak hanya berbasis pada kelompok tertentu.Social Bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Tujuannya adalah mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat agar masyarakat mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam) dapat dicapai.

Page 11: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

Ketercapaiannya melalui interaksi sosial sebagai modal utama. Dengan demikian institusi sosial tetap eksis sebagai tempat artikulasi kepentingan bagi masyarakat. Misalnya dengan adanya lembaga arisan, yang sering dikatagorikan sebagai rotating saving and credit associations. Merupakan asosiasi yang menyediakan fasilitas menabung secara periodik dan menyediakan fasilitas kredit bagi anggota-anggotanya.                 Interaksi yang terjalin bisa berwujud kerjasama atau sinergi antar kelompok, yaitu upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain, sehingga akhirnya tingkah laku mereka menjadi cocok satu sama lain.                Kapasitas modal sosial termanifestasikan dalam ketiga bentuk modal sosial tersebut (nilai, institusi, dan mekanisme) yang dapat memfasilitasi dan menjadi arena dalam hubungan antar warga dan antar kelompok berasal dari latar belakang berbeda, baik dari sudut etnis, agama, maupun tingkatan sosial ekonomi. Ketidakmampuan untuk membangun nilai, institusi, dan mekanisme bersifat lintas kelompok akan membuat masyarakat yang bersangkutan tidak mampu mengembangkan modal sosial untuk membangun integrasi sosial. 3. Social Linking (hubungan/jaringan sosial) (Akan dibahas dalam modul tersendiri)                Merupakan hubungan sosial yang dikarakteristikkan dengan adanya hubungna di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya: Hubungan antara elite politik dengan masyrakat umum. (Dalam hal ini elite politik yang dipandang khalayak sebagai public figure/tokoh, dan mempunyai status sosial darai pada masyarakat kebanyakan. Namun mereka sama-sama mempunya lkepentingan untuk mengadakan hubungan. Elite politik membutuhkan massa untuk mendapatkan susra dan mendukungnya. Sementara masyrakat berusaha mendapatkan orang yang dipercaya bisa menjadikan penyalur aspirasi dan merek percaya sebagai wakilnya.                 Pada dasarnya ketiga tipe modal sosial ini dapat bekerja tergantung dari keadaannya. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam suatu masyarakat. Ia dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus penghambat dalam  ikatan sosial tergantung bagaiman individu dan masyarakat memaknainya 

Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan langkah pertama. Upaya pembentukan masyarakat madani lebih bertumpu pada kesediaan setiap anggotanya berpartisipasi ketimbang pada keberadaan materi. Partisipasi itu tidak harus yang muluk-muluk. Robert Putnam, pakar sosial-politik dari Universitas Harvard, telah membuktikan bahwa kemampuan orang ramai dalam membentuk masyarakat madani dapat dilihat dari hal yang sederhana, seperti keikutsertaan dalam organisasi paduan suara di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Semakin banyak keterlibatan penduduk sebuah kawasan dalam kegiatan berbagai organisasi kemasyarakatannya—seperti paduan suara tadi—semakin tinggi kemampuan untuk membentuk sistem pemerintahan yang bersih, efektif, dan peka terhadap aspirasi rakyatnya. Robert Putnam menyebutkan kemampuan ini sebagai social capital alias modal sosial.

 

        

Page 12: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

  D. 4. APA WUJUD NYATA DARI MODAL SOSIAL?                Modal sosial terkadang merupakan sesuatu yang sangat tidak riil dan tampaknya sangat susah untuk sekedar dibayangkan. “Mahluk apakah social capital itu?” Berwujud apakah dia sehingga banyak membuat orang terinspirasi oleh pentingnya kehadiran modal sosial sebagai pendukung pemberdayaan masyarakat, pendukung demokrasi termasuk sebagai salah satu pilar penting dalam pengembangan good governance yang dewasa ini banyak diperbincangkan masyarakat kita. 1. Hubungan sosialMerupakan suatu bentuk komunikasi bersama lewat hidup berdampingan sebagai interaksi antar individu. Ini diperlukan sebab interaksi antar individu membuka kemungkinan campur tangan dan kepedulian individu terhadap individu yang lain. Bentuk ini mempunyai nilai positif karena masyarakat mempunyai keadilan sosial di lingkungannnya.2. Adat dan nilai budaya lokalAda banyak adat dan kultur yang masih terpelihara erat dalam lingkungan kita, budaya tersebut kita akui tidak semua bersifat demokratis, ada juga budaya-budaya dalam masyarakat yang terkadang sangat feodal bahkan sangat tidak demokratis. Namun dalam perjalanan sejarah masyarakat kita, banyak sekali nilai dan budaya lokal yang bisa kita junjung tinggi sebagai suatu modal yang menjunjung tinggi kebersamaan, kerjasama dan hubungan sosial dalam masyarakat. 3. ToleransiToleransi atau menghargai pendapat orang lain merupakan salah satu kewajiban moral yang harus dilakukan oleh setiap orang ketika ia berada atau hidup bersama orang lain. Sikap ini juga yang pada akhirnya dijadikan sebagai salah satu prinsip demokrasi.  Toleransi bukan berati tidak boleh berbeda, toleransi juga bukan berarti diam tidak berpendapat. Namun toleransi bermakna sebagai penghargaan terhadap orang lain, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara serta menyadari bahwa pada dasarnya setiap orang mempunyai kepentingan yang berbeda.4. Kesediaan untuk mendengarDalam belajar berdemokrasi kita sangat tidak asing dengan upaya seperti menghormati pendapat orang lain, toleransi dan lain-lain. Namun ada satu hal yang hampir terlupakan yaitu tentang “kesediaan mendengar pendapat orang lain”. Begitu juga dalam bernegara, kearifan mendengar suara rakyat merupakan salah satu bentuk toleransi dan penghargaan negara terhadap masyarakat. Apa yang berkembang di dalam masyarakat sebagai suara rakyat haruslah ditampung, disimak dan dipahami untuk mengkaji ulang kebijakan–kebijakannya. Kekuasaan yang tidak mampu lagi mendengar suara anggotanya adalah kekuasaan yang tidak lagi inspiratif, dan tidak menjalankan kedaulatan rakyat. Kekuasaan seperti ini haruslah direformasi.5. KejujuranMerupakan salah satu hal pokok dari suatu keterbukaan atau transparansi.  Dalam masyarakat kita hal ini sudah ada, dan ini sangat mendukung perkembangan masyarakat ke arah yang lebih demokratis karena sistem sosial seperti ini akan mensuramkan titik-titik korupsi dan manipulasi di kalangan masyarakat adat sendiri.6. Kearifan lokal dan pengetahuan lokalMerupakan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat sebagai pendukung nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Penghargaan terhadap nilai lokal ini memunculkan kebersamaan antar anggota masyarakat yang akan diturunkan kepada generasi berikutnya.7. Jaringan Sosial dan Kepemimpinan SosialJaringan sosial terbentuk berdasarkan kepentingan atau ketertarikan individu secara prinsip atau pemikiran. Sementara itu kepemimpinan sosial terbentuk dari kesamaan visi, hubungan personal atau keagamaan. Seluruh kepemimpinan sosial muncul dari proses demokrasi. Dalam demokrasi yang dominan adalah adu konsep rasional dan gagasan terhadap suatu kemajuan.8. KepercayaanMerupakan hubungan sosial yang dibangun atas dasar rasa percaya dan rasa memiliki bersama.

Dalam soal ini, deskripsi Fukuyama relevan untuk dikemukakan. Dalam buku Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (1985), Francis Fukuyama mengeksplorasi modal sosial itu guna mendeskripsikan betapa masyarakat yang telah memiliki modal sosial. Suatu masyarakat, dengan kepercayaan tinggi, dijamin sukses menjalankan visi dan misinya (high-trust society). Di sana digambarkan, masyarakat bersatu padu demi masyarakat keseluruhan. Kesediaan orang untuk berkorban, ini mengingatkan kita kepada zaman revolusi, betapa suasana yang tercipta adalah kepercayaan yang tinggi. Sebaliknya, sikap saling curiga, suka menaruh kecewa kepada unit masyarakat yang lain, selalu menabung cemburu satu sama lain, adalah indikasi rendahnya kepercayaan (low-trust society) di masyarakat. Mungkin inilah yang oleh Fukuyama diistilahkan dengan zero trust society, sebelum menginjak ke arah yang lebih runyam ketiadaan kepercayaan.

Page 13: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

            9. Kebersamaan dan KesetiaanPerasaan ikut memiliki dan perasaan menjadi bagian dari sebuah komunitas.10. Tanggung jawab sosialMerupakan rasa empati masyarakat terhadap perkembangan lingkungan masyarakat dan berusaha untuk selalu meningkatkan ke arah kemajuan.11. Partisipasi masyarakat Kesadaran dalam diri seseorang untuk ikut terlibat dalam berbagai hal yang berkaitan dengan diri dan lingkungannya.12. KemandirianKeikutsertaan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang ada dalam masyarakat dan keterlibatan mereka dalam institusi yang ada dilingkungannya sebagai rasa empati dan rasa kebersamaan yang mereka miliki bersama.  D. 5.  APA TUJUAN PENGUATAN MODAL SOSIAL:1.        Penguatan otonomi, modal sosial menjadi kekuatan bagi masyarakat supaya tidak tergantung dan dapat mengelola kepentingannya sendiri.2.        Penguatan dalam hal kerjasama, modal sosial membantu masyarakat mampu mengelola resiko sosial. Karena setiap orang adalah rentan terhadap resiko, modal sosial dapat meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mencegah atau merespon goncangan.3.        Menemukan identitas asli dari masyarakat adat sendiri, dengan segala kekurangannya modal sosial dapat membangun kesadaran kelompok sehingga orang merasa menjadi bagian dari masyarakatnya4.        Toleransi, modal sosial tidak akan membuat masyarakat kaku dalam menghadapi dinamika, bahkan menjadikannya semakin lentur. Modal sosial akan mengisi dan memberi arah dinamika, modal sosial juga akan diperkaya oleh dinamika jaman.5.        Menguatkan jaringan sosial, dengan modal sosial elemen-elemen masyarakat saling membantu dan mengelola resiko, yang didasarkan pada hubungan sosial informal, dan yang lain didasarkan pada organisasi formal ditingkat masyarakat maupun negara.6.        Membangun ketrampilan berdemokrasi, dari aspek politis, modal sosial bermanfaat untuk membangun dan mengembangkan budaya demokratis, karena dalam proses pembangunan berprinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks yang demikian egaliter, maka diharapkan tidak ada kelompok yang mendominasi, baik dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan.7. Self Governing Community, Pengelolaan/Pemerintahan yang diatur dan disepakati oleh komunitas adat sendiri, dengan memanfaatkan nilai-nilai lokal yang ada di dalamnya.8.        Menerima pluralisme, modal sosial dapat menjadi lem perekat masyarakat yang dimaknai sebagai koherensi internal sosial-budaya dalam masyarakat. D.6. MENGAPA MODAL SOSIAL ITU PENTING? Fungsi dan Peran Modal SosialDari uraian di atas dapat disebutkan beberapa fungsi dan peran modal sosial sebagai berikut;1.        Membentuk solidaritas sosial masyarakat dengan pilar kesukarelaan.

Page 14: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

2.        Membangun partisipasi masyarakat .3.        Penyeimbang hubungan sosial dalam masyarakat .4.        Sebagai Pilar demokrasi.5.        Agar masyarakat mempunyai bargaining position (posisi tawar) dengan pemerintah.6.        Membangkitkan keswadayaan dan keswasembadaan ekonomi.7.        Sebagai bagian dari mekanisme manajemen konflik.8.        Menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat.9.        Memelihara dan membangun integrasi sosial dalam masyarakat yang rawan konflik.10.     Memulihkan masyarakat akibat konflik, yaitu guna menciptakan dan memfasilitasi proses rekonsiliasi dalam masyarakat pasca konflik.11.     Mencegah disintegrasi sosial yang mungkin lahir karena potensi konflik sosial tidak dikelola secara optimal sehingga meletus menjadi konflik kekerasan.12.    Modal sosial yang berasal dari hubungan antar individu dan kelompok bisa menghasilkan trust, norma pertukaran, serta civic13.      engagement sehingga dapat berfungsi menjadi perekat sosial yang mampu mencegah konflik kekerasan. D.7. APA IMPLIKASI MODAL SOSIAL TERHADAP KEBIJAKAN?                Modal sosial secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dan saling mendukung antara masyarakat dengan pengambil kebijakan ada tiga level:1.        Individu·            Pada tingkat ini modal sosial memberikan dukungan sebagai:·            Alat pendekatan antara pengambil kebijakan dengan masyarakat·            Aspirasi masyarakat ·            Dukungan dan pendampingan2.        Komunitas·            Promosi pengembangan institusi lokal yang ada di daerah·            Jaringan kerjasama antar komunitas·            Pengembangan informasi bersama komunitas3.        Nasional·            Wujud pengembangan kebijakan yang partisipastif·            Pengembangan jaringan pelayanan masyarakat, dll. D.8. PROBLEM PENGEMBANGAN MODAL SOSIALFenomena kontemporer masyarakat adat1. Banyaknya pendatang (Masyarakat yang tidak lagi homogen)       Semakin banyaknya pendatang dalam suatu masyarakat, maka satu hal yang tidak mungkin dihindarkan adalah adanya segegrasi sosial di dalam masyarakat sendiri. Hal ini bisa berdampak positif dan bisa negatif.     

Putnam prihatin atas kecenderungan runtuhnya jalinan sosial masyarakat Amerika. Adanya televisi memberikan kontribusi bagi terciptanya 'couch potato syndrome". Kebiasaan orang Amerika 'nongkrong' di depan layar televisi berjam-jam sebagai cerminan hidup yang sangat individualistik. Menurut Putnam (1993), modal sosial adalah kemampuan warga untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Ini bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Schaft dan Brown (2002) mengatakan bahwa modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan interaksi dan transaksi sosial sehingga segala urusan bersama masyarakat dapat diselenggarakan dengan mudah. Palangkaraya post 21 Des 2002

Page 15: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

    2.Desa sebagai arena pertarungan berbagai kepentingan (politik, ekonomi)                Desa seringkali hanya dimaknai sebagai sebuah entitas sosial. Padahal sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan masyarakat juga berkait dengan permasalahan politik. Desa mampu menarik perhatian banyak intelektual untuk melakukan pengamatan bahkan intervensi atas berbagai dinamika yang terjadi. Perbincangan tentang dinamika desa mencuat dan memunculkan perdebatan antar penganut berbagai aliran intelektualitas. Robert H. Bates, salah satu penganut pemikiran ortodoks, mengungkapkan bahwa ternyata teori modernisasi telah gagal menjalankan tugasnya sebagai akar pemikiran sosial dalam memahami realitas politik masyarakat pedesaan. Ungkapan yang dimunculkan pada tahun 1960-an ini telah membuat mereka tersingkir dari perdebatan analisis tentang pembangunan politik di negara agraris. Karena kenyataan yang ada tidak seperti yang mereka bayangkan. Dalam perkembangannya masyarakat desa dan petani bukanlah masyarakat yang pasif. Mereka mampu mengalirkan revolusi dan kekuatan besar dalam masyarakat pedesaan serta menentukan arah perubahan dalam masyarakat.  Seringkali pembicaran tentang desa diidentikkan dengan  ketertinggalan. Adanya asumsi konvensional yang mengandaikan masyarakat desa berbeda dengan masyarakat kota, membuat penilaian yang cenderung under estimate (penilaian negativ) terhadap desa. Desa cenderung dianggap sebagai kawasan tertinggal, sekaligus sebagai obyek sejarah, bukan saja dalam pemikiran sosial ekonomi, tetapi juga perjalanan politik mereka. Siapa bilang orang desa tidak paham tentang demokrasi? Siapa bilang orang desa tidak mengerti tentang good governance? Sekalipun semuanya dilakukan tidak secara instan yang jelas mereka siap dengan perubahan itu, dan mau menerima pembaruan.3. SDM/SDA Masyarakat adat yang masih lemahFenomena ini sering membuat masyarakat adat teralienasi di dalam lingkungannya sendiri. Mereka terpinggirkan oleh pendatang yang mampu mengolah resources/sumber daya alam di sekitar mereka dengan SDM yang kompeten. 4. Kebijakan pemerintah yang tidak akomodatif terhadap Masyarakat adat.Hal ini membuat masyarakat tidak mempunyai bargaining position dan melemahkan kearifan lokal mereka sendiri. Misalnya dalam beberapa kasus, status hutan adat yang tidak lagi dikelola oleh adat sangat memojokkan masyarakat adat dan seringkali menimbulkan adanya disobedience (pembangkangan/perlawanan) di kalangan masyarakat adat sendiri oleh karena ketidakberdayaan mereka menghadapi kebijakan yang sangat top down dari pemerintah.                Modal sosial negatif tumbuh subur karena kita asyik dengan teori pertumbuhan ekonomi. Menurut Walter Isard (1997), kebijakan ekonomi tidak akan efektif tanpa memasukkan faktor sosial-budaya. Misalnya yang sering kita jumpai di dalam masyarakat, adanya acara kekeluargaan arisan,  

     

Modal sosial yang salah kaprah (berkembang dalam sisi gelapnya)

Modal sosial di Indonesia justru berkembang dalam sisi gelapnya. Contohnya adalah dominasi praktik kolusi-nepotisme dan berbagai bentuk praktik mafia. Indikasi nyata dari gejala ini adalah naiknya peringkat kebusukan praktik korupsi. Akar praktik kolusi-nepotisme adalah kuatnya tradisi 'anak babe' (anak penguasa) yang selalu mendapat kemudahan berusaha karena jaringan kekuasaan yang dibangun oleh orang tua mereka. 'Anak babe' memperoleh secara mudah tiga faktor Paldam tentang modal sosial karena status mereka. Lancarnya transaksi sosial berarti penghematan besar dalam transaksi ekonomi. Dengan modal sosial yang kuat, mereka tak mengeluarkan sepeser pun untuk berusaha. Benih praktik mafia tumbuh dari prinsip seperti 'kita harus berbaik sangka' atau 'jangan makan tulang kawan'. Prinsip yang bagus untuk membangun modal sosial namun salah kaprah. Banyak yang tahu persis kapan seseorang mulai memanipulasi jabatan. Karena sikap toleran tersebut, pelanggaran itu terus berlangsung sehingga tercipta suatu kerja sama korupsi antarinstansi dan

Page 16: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

lembaga. Praktik korupsi ala mafia ini begitu parah sehingga penggantian seluruh pegawai negeri dan wakil rakyat sekaligus tidak akan mengatasi masalah ini. Sebab, cara korupsi sudah sangat jelas terlihat semua orang sehingga yang belum kebagian hanya menunggu waktu. Dalam era reformasi ini, peran dominan birokrat agak tergeser oleh para wakil rakyat. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya modal sosial negatif tersebut sehingga mampu menjalarkan pengetahuan korupsi dalam waktu singkat. Empat tahun sejak masa pemilu pertama yang disebut-sebut sebagai pemilu yang demokratis, keterampilan korupsi telah merata.

   .   dan gotong-royong, digunakan sebagai kosmetik kebijaksanaan pembangunan. Padahal, modal sosial positif justru membuka peluang pembangunan ekonomi (Kinsley, 1997). Karena itu, perlu pengamatan yang jeli untuk lebih memperbaiki modal sosial yang salah kaprah. Arisan dan gotong royong telah bergeser dari makna dasarnya. Semangat arisan adalah untuk menjalin hubungan antaranggota sambil menggilir dana yang dapat meringankan beban seorang anggotanya. Dalam arisan, kerap dihasilkan kesepakatan bersama untuk melakukan sesuatu. Namun, tradisi arisan ini telah 'melenceng' menjadi sarana pamer kekayaan, bahkan muncul 'arisan tender". Begitu halnya gotong royong kebersihan kampung. Pada masa lalu, kegiatan ini dilakukan spontan oleh masyarakat. Namun, terjadi perubahan karena dorongan kompetisi dalam perlombaan kebersihan nasional atau gotong royong yang dipaksakan kepala desa dalam rangka menyambut kunjungan pejabat tinggi. Hasil akhirnya adalah kebersihan untuk perlombaan, bukan kebersihan untuk kesehatan. Dalam contoh tersebut, terlihat bahwa faktor eksternal lebih kuat dalam mendorong modal sosial. Misalnya, arisan yang berubah karena pola hidup konsumtif dan kesemuan gotong royong akibat tekanan hubungan vertikal.5. Konflik internal Masyarakat AdatHal ini biasanya berkaitan dengan perebutan resources yang terjadi antara masyarakat adat sendiri. Hal penting yang harus digaris bawahi disini sebenarnya mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun terkadang campur tangan pihak luar baik investor maupun pemerintah membuat adat terkadang menjadi retak dan menghancurkan kearifan lokal yang sebenarnya sudah menjadi awal kesepakatan bersama antara mereka. D. 9. BAGAIMANA MENGUATKAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT ?Kontektualisasi Modal Sosial                Seperti yang telah diungkapkan di depan bahwa dalam realitas modal sosial merupakan spirit atau kekuatan terwujudnya demokrasi itu sendiri. Untuk itu puing-puing retak ini sudah selayaknya kita kaji, dan bangun kembali. Upaya membangun modal sosial ini dapat dimulai dari masyarakat sipil, dimana kelompok sukarelawan, gerakan dan warganegara mencoba mengartikulasikan nilai-nilai solidaritas serta berani memperjuangkan kepentingannya. Langkah untuk mewujudkan optimisme di atas setidaknya ada 4 hal yang dapat kita lakukan. §          Pertama, Meletakkan masyarakat sebagai motor pembangunan dengan modal yang mereka miliki (kepercayaan, kebersamaan, kepemimpinan, jaringan sosial, dll). Tujuannya adalah untuk membuka partisipasi dan keiikutsertaan masyarakat  secara langsung dalam pembagunan.§          Kedua, Penggalian kembali potensi dan sumber daya yang ada di desa, baik yang belum maksimal maupun potensi yang belum tergali sama sekali. Penggalian ini meliputi 2 hal yaitu SDA dan SDM.

Page 17: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

§          Ketiga, melibatkan masyarakat secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap pembanguan yang ada di sekitar mereka. Ini sangat diperlukan karena masyarakat sebagai sumber informasi sekaligus pelaksana pembangunan itu sendiri. §          Keempat, adanya interaksi sosial yang membawa mekanisme ekonomi pembangunan dalam masyarakat. Karena itu tidaklah mengherankan jika modal sosial seringkali diidentikkan dengan pembangunan ekonomi. Walaupun sebenarnya pembangunan ekonomi hanya salah satu bagian dari modal sosial.§          Kelima, menghidupkan dan membangun kembali hubungan sosial di desa. Dengan kembalinya hubungan sosial yang ada di desa akan membawa dampak vertikal bagi anggotanya, yaitu hubungan yang bersifat hierarki dan kekuasaan yang mutlak bagi anggota. Michael Colleman menyepakati hal ini sebagai salah satu dampak positif dari pemberdayaan masyarakat. Dampak negatifnya adalah lemahnya struktur organisasi yang ada didalamnya. Sehingga permasalahannya adalah bagaimana membuat  masyarakat menjadi berdaya?§          Keenam, membangun jaringan bersama antara masyarakat sebagai tempat berdiskusi, tukar pengalaman dan pengetahuan. Ini dapat dilakukan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional.                Antisipasi ke depan, atau dengan kata lain untuk mengatasi masalah ketidakberdayaan masyarakat ditawarkan pendekatan melalui struktur atau lembaga mediasi. Tujuannya adalah agar tercipta kembali demokrasi sosial di desa. Pendekatan ini tampaknya lebih memadai ketimbang harus memulainya di tingkat elite, karena institusi lokal semacam ini lebih dikenal dan lebih memasyarakat serta dapat diterima oleh semua lapisan. Dan yang terpenting posisi memulai di tingkat lokal adalah masyarakatnya yang belum terkontaminasi lebih jauh oleh kepentingan elite. Sedangkan jika harus memulai di tingkat elite akan membutuhkan waktu yang panjang untuk membuat masyarakat kembali percaya. Jika ditinjau secara administratif, pembangunan wacana demokrasi melalui revitalisasi modal sosial yang dimulai di tingkat desa karena beberapa alasan;·          Pertama, desa sebagai asosiasi institusi lokal yang paling banyak ditemukan, seperti arisan, kelompok Shalawatan, Diba, lumbung paceklik desa, selapanan dan lain-lain. ·          Kedua, lingkup desa yang tidak begitu luas, memudahkan untuk mengontrol jaringan yang dibangun pada level dibawahnya, seperti RW, RT, dan dusun. ·          Ketiga, memfungsikan komunitas lokal, BPD ataupun lembaga lain yang berfungsi sebagai tempat artikulasi kepentingan massa.  Diharapkan nantinya kesepakatan-kesepakatan yang disepakati oleh institusi lokal dapat langsung ditampung melalui lembaga-lembaga sosial ataupun BPD dan dikomunikasikan dengan pembuat kebijakan. Dengan demikian identitas personal desa dapat kembali teraktualisasi dan  dapat dicapai kesepakatan yang berimbang dengan membawa kepentingan masyarakat. ·          Keempat, desa sebagai basis intermediary (penghubung antara masyarakat dengan pemerintah) untuk mengembangkan potensi lokal serta mempengaruhi pembuat kebijakan diatasnya.Untuk terwujudnya idealisme di atas tentunya sangat diperlukan kearifan dari pemerintah. Kearifan ini dapat terwujud dengan keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat, dan pembenahan untuk merevitalisasi kembali modal sosial dengan dukungan pemerintah.      E.PROSES FASILITASI:1.        Memberi penjelasan singkat tentang tujuan pokok bahasan ini dan proses yang akan dilalui.2.        Fasilitator membacakan bahan : “Cerita dari lereng gunung”  dengan intonasi yang menawan sehingga menarik di dengar oleh peserta .3.        Fasilitator membagi bahan bacaan yang dibacakan kepada peserta dan meminta mereka mempelajarinya.4.        Fasilitator/Pemandu membentuk kelompok-kelompok kecil  untuk mendiskusikan pandangan mereka terhadap kasus tersebut, dan menuliskan di  kertas pertanyaan yang telah diajukan.Fasilitator memberiakn kesempatan untuk merenungkan lembar bacaan yang telah diedarkan kepada peserta.

Untuk direnungkan:Siapa sajakah dari cerita tersebut yang saudara anggap sebagai “Penghambat Modal Sosial desa” dan siapa yang saudara anggap sebagai orang yang memelopori modal sosial di desa yang hampir punah tersebut. Apakah:·        Kepela desa yang mewajibkan masyarakatnya melakukan gotong-royong, bahkan mengenakan denda berupa ‘uang’ di dalam kondisi masyarakat yang masih miskin?·        Perangkat desa yang ikut mendukung kebijakan sang kepala desa?·        Masyarakat yang melakukan penolakan terhadap kebijakan tersebut dan melakukan protes ·        Peniliti yang ikut campur dalam urusan intern desa

Ada beberapa hikmah yang di dapat dari cerita di atas, sebutkan! (dengan round robin)

 

Page 18: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

          5.        Mempersilahkan salah seorang wakil anggota kelompok untuk membacakan hasil diskusi kelompoknya dengan memberikan waktu yang cukup agar semua wakil kelompoknya semua selesai mempresentasikannya baru dibahas bersama.6.        Fasilitator menanyakan “Bagaimana tanggung jawab negara untuk ikut merealisasikan Penguatan Modal Sosial dalam kasus tersebut?”·          30% nalar dan 70 % modul (Seni mempenggaruhi masyarakat melalui paparan ilustrasi).·          Metode (Bagaimana mengahadapi masyarakat yang nilai toleransinya rendah/Mutual trustnya rendah,dll?)—yang penting bagaimana merekayasa ilustrasinya.7.        Perlu di buat riview atau penjelasan singkat tentang:·          Apa itu modal sosial? ·          Bagaimana Modal sosial yang kuat ? ·          Pada level apa modal sosial dapat bekerja?·          Apa fungsinya bagi masyarakat?·          Bagaimana cara melihat nodal sosial yang ada dalam masyrakat kita (fasilitator mencoba menyimpulkan dari cerita yang sedang dibahas atau dengan melihat kondisi masyarakat setempat, aspek apa yang bisa dijadikan contoh)8.        Masyarakat yang kuat itu seperti apa?9.        Bisa dipilih beberapa modal sosial dari berbagai daaerah yang potensial apa saja?10.     Perubahan apa yang ingin dicapai dari Modal Sosial?·          Adanya partisipasi·          Self Governing Community·          Menerima pluralisme·          Mandiri secara ekonomi·          ToleransiFasilitator juga harus menjelaskan kelemahan modal sosial. Meskipun demikian perlu diingat bahwa modal sosial juga bisa menyebabkan  pendorong atau penghambat demokrasi, misalnya struktur adat yang terkadang sangat feodal, sehingga yang penting diajukan adalah bagaimana cara kita bisa merubah karakter atau mentalitas dari problem mendasi suatu potensi.Modal sosial dipilah ke dalam:§    Nilai-nilai yang bagus dan yang tidak.§    Institusi yang egaliter dan yang totaliter.§    Mekanisme:Hubungan warga dengan adat dalam suatu institusi, mana yang akan dikembangkan dan mana yang tidak.        11. Fasilitator dan peserta bersama-sama menyimpulkan hasil diskusi pada sesi ini Cerita Desa ‘Entah Berantah’  Dari Lereng GunungTersebutlah sebuah desa entah berantah yang ada di  wilayah terpencil di lereng gunung yang jauh dari perkotaan sebuah desa yang cukup terkenal. Keterkenalan desa itu bukan karena kemakmuran penduduknya, namun keterkenalannya dikarenakan desa yang cukup terpencil dengan kesejahteraan penduduk di bawah garis rata-rata tersebut mempunyai jalan-jalan desa yang sebagian besar telah rata beraspal. Setiap harinya disudut-sudut jalan yang belum beraspal secara bergantian berkumpul sekelompok warga yang giat bekerja mengangkut dan memecah bebatuan dan kemudian menatanya di atas jalan-jalan tanah tersebut. Mereka bekerja dari pagi hingga sore hari. Kelompok warga tersebut tidak saja terdiri dari laki-laki namun juga perempuan, seringkali diantaranya adalah orang-orang yang sudah lanjut usia. Bahkan terkadang terlihat anak-anak turut bekerja diantara mereka.Di desa tersebut berkuasa seorang kepala desa yang sangat dihormati dan disegani oleh penduduknya. Di era reformasi dimana dikebanyakan tempat  lain masyarakat sudah mulai kritis dengan kepemimpinan seorang kepala desa, warga di

Page 19: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

desa tersebut masih tetap saja menuruti semua titah sang kepala desa tanpa berani banyak bertanya. Kepala desa tersebut dengan bangga selalu menceritakan keberhasilannya membangun desa tersebut kepada tamu-tamu dari luar desa yang berkunjung. Diceritakannya pula bagaimana jiwa gotong royong penduduknya masih begitu tinggi sehingga mereka rela secara bergantian bergotong royong membangun jalan-jalan didesanya. Pembangunan fisik yang sangat bagus di desa tersebut ditambah dengan tingkat swadaya masyarakat yang sangat tinggi membuat desa tersebut sering memperoleh hadiah dari pemerintah daerah setempat. Kepala desa yang berkuasa pun mendapat simpati yang cukup besar dari atasannya. Bahkan kebijakannya didukung oleh semua bawahan dan perangkat desa yang lain (entah karena rasa takut atau segan). Mereka bahkan ikut mensosialisasikan program tersebut kepada masyarakat banyak. Dan untuk mempertahankan keharuman namanya kepala desa selalu membelanjakan hadiah dari pemerintah daerah itu dengan wujud aspal ataupun semen dan pasir untuk segera menyelesaikan jalan-jalan yang telah tertata bebatuan menjadi jalan beraspal.Pada suatu ketika desa tersebut kedatangan serombongan tamu dari luar daerah. Rombongan tamu tersebut meminta ijin untuk mengadakan penelitian di wilayah itu. Kepala desa pun memberikan ijin dengan harapan bahwa nantinya keberhasilannya membangun desa akan semakin dikenal oleh orang luar daerah. Rombongan peneliti yang terdiri dari orang-orang muda itu pun segera menjalankan aktivitasnya. Beberapa hari setelah berada dengan sukarela secara bergantian meninggalkan pekerjaan sehari-hari untuk bergotong royong membangun jalan-jalan desa. Akhirnya dari mulut warga yang ketakutan dan tidak berdaya itupun terkorek informasi bahwa selama ini mereka dikenakan kewajiban oleh kepala desa untuk secara bergantian bergotong royong membangun jalan-jalan di desa mereka. Setiap KK (kepala keluarga) pada setiap jadwalnya bergotong royong harus hadir dan mengerjakan kewajibannya. Warga desa yang miskin tersebut tidak ada yang  berani melanggar kewajiban itu karena kepala desa akan memberikan sanksi berupa denda sejumlah uang kepada keluarga yang melanggar perintah tersebut dan mereka pun tidak mempunyai uang untuk membayar denda apabila perintah itu dilanggar. Itulah mengapa sering terlihat orang-orang yang sudah lanjut usia dan juga anak-anak kecil dalam rombongan gotong royong itu, karena adanya peraturan bahwa apabila kepala keluarganya berhalangan hadir dapat digantikan oleh anggota keluarga yang lain. Sehingga karena merasa tidak akan mampu membayar denda seorang kepala keluarga yang pada gilirannya bergotong royong tidak dapat hadir karena sakit atau sesuatu hal yang lain, mereka terpaksa menggantikannya dengan anak-anaknya atau anggota keluarga lainnya. (Kisah ini adalah kisah nyata di suatu desa di Jawa Tengah) Catatan Pustaka:Grootaert, Chirstiaan. 1998. Social Capital: The Missing Link. The World Bank. Social Capital Initiative. Working Paper no.3Tarrow, Sidney. 1996. "Making Social Science Work Across Space and Time: A Critical Reflection on Robert Putnam's making Democracy Work" American Political Science Review. 90 (2): 380-397.Wilk, Richard. 1996. Economies and Cultures. Colorado: Westview Press.Fisipol UGM, 2001. Merajut Modal Sosial Untuk Perdamaian dan Integrasi Sosial.Fisipol UGM. 2001. Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan Pelestarian Nilai-Nilai Kemasyarakatan (Social Capital) Untuk Integrasi Sosial.Buletin STPMD “APMD”. 2002. JENDELA. Volume I. No. 4. agustus 2002.Hermawanti, Mevi, Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur, IRE Yogyakarta, 2002.Hudayana, Bambang, Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Kalimantan Barat, IRE Yogyakarta, 2002.Sudjito, Arie, Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Sumatera Selatan, IRE Yogyakarta, F.A.E van Wouden, Klen Mitos dan Kekuasaan, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur, Grafity Pers Jakarta, 1985. Hal 5-8

LAMPIRAN

 

DEFINISI MODAL SOSIAL

 

Robert Putnam

modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust antara anggota masyarakat  dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama.

 Pierre Bourdieu 

 

Modal sosial sebagai “sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”.

 

James Coleman

mendefinisikan modal sosial sebagai “sesuatu yang memiliki dua ciri, yaitu merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut”. Dalam pengertian ini, bentuk-bentuk modal sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi,

Page 20: Kebijakan Land Capping Sebagai Instrumen Pembiayaan Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Jalan Tol

 

norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat dan melahirkan kontrak sosial.

  Hasil konferensi yang dilakukan oleh Michigan State University, Amerika Serikat

pengertian modal sosial sebagai “simpati atau rasa kewajiban yang dimiliki seseorang atau kelompok terhadap orang lain atau kelompok lain yang mungkin bisa menghasilkan potensi keuntungan dan tindakan preferensial, dimana potensi dan preferensial itu tidak bisa muncul dalam hubungan sosial yang bersifat egois”.

 Bardhan  

Modal sosial dipahami sebagai serangkaian norma, jaringan dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada kekuasaan dan sumberdaya, serta dimana pembuatan keputusan dan kebijakan dilakukan.

   

North dan Olson

menekankan pula lingkungan sosial politik sebagai modal sosial. Faktor lingkungan berpengaruh pada peluang bagi norma untuk mengembangkan dan membentuk struktur sosial. North & Olson menambahkan peran struktur dan hubungan institusional yang lebih formal, seperti pemerintah, rejim politik, hukum, dan sistem peradilan.

 

Copyright ©2003, Institute For Research And Empowerment (IRE) - Pemberdayaan Masyarakat AdatJl. Kaliurang Km. 5,5 Karangwuni Blok B/9A Yogyakarta 55281 Telp/Fax (0274) 581068