keanekaragaman benthos dan nekton pada hutan mangrove di desa pulau sembilan kecamatan pangkalan...
TRANSCRIPT
Laporan Akhir Praktikum Ekosistem Perairan Pesisir
KEANEKARAGAMAN BENTHOS DAN NEKTON PADA
HUTAN MANGROVE DI DESA PULAU SEMBILAN
KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN
LANGKATPROVINSI SUMATERA UTARA
Oleh:
Kelompok IV/Genap
Ayu Syahfitri Daulay 120302008
Hasnina Malasari Pasaribu 120302020
Erwin Kanisius 120302022 Tiur Natalia Manalu 120302028
Ely Ermayani 120302036
Fajar Prasetya Kembaren 120302048
Marco Brema Barus 120302064
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten
Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km2 atau ± 9,67% dari total
luas wilayah kecamatan Pangkalan Susu (151,35 km2). Jumlah total penduduk di
Pulau Sembilan ini ± 2.047, tanah kering seluas 9,29 km2 dan lainnya seluas 4,46
km2. Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang termasuk dalam hutan
sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak termasuk dalam kawasan hutan
negara, melainkan lahan milik masyarakat. Namun, sebagian masyarakat
memelihara tegakan mangrove khususnya yang terletak pada areal kawasan
lindung seperti kanan kiri sungai dan tepi pantai. Di Pulau Sembilan tersebar
pantai-pantai yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek
Ekowisata (Purnamasari, 2010).
Pulau Sembilan sebagai perairan yang cukup luas saat ini mengalami
peningkatan berbagai aktifitas manusia yang ada disekitarnya berfungsi sebagai
sumber air minum, perikanan, pertanian dan kepariwisataan. Berbagai aktifitas ini
akan mempengaruhi faktor fisik kimia perairan dan keanekaragaman biota nekton
maupun benthos diperairan. Di pulau ini ternyata memiliki kekayaan ekosistem
pesisir yang memiliki hutan mangrove yang masih terjaga dan sangat luas.
Keanekaragaman biota nekton maupun benthos di dalam ekosistem mangrove ini
belum banyak diketahui, sementara biota ini merupakan salah satu potensi
perikanan yang dapat menunjang kegiatan ekonomi masyarakat sekitar. Selain itu
nekton maupun benthos sangat erat kaitannya dengan kondisi ekosistem mngrove
tersebut, baik sebagai indikator maupun penunjang ekosistem mangrove tersebut.
Untuk mengetahui keanekaragaman benthos mupun nekton yang ada di ekosistem
mangrove pulau sembilan, maka praktikum lapangan ini dilakukan.
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem sangat unik karena di tempat ini
tiga komponen planit bumi bertemu; hidrosfir, litosfir dan biosfir. Keunikan lain
dari kawasan ini adalah terdapatnya beberapa habitat yang sangat produktif seperti
estuari, laguna, lahan basah dan karang tepi. Keunikan kawasan ini menghasilkan
3
berbagai sektor bernilai komesial tinggi, seperti pangan, pemukiman, parawisata,
perikanan dan industri. Perputaran roda ekonomi dari sektor-sektor tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan populasi yang sangat cepat di wilayah ini.
Di berbagai Negara, wilayah pesisir merupakan wilayah yang lebih cepat
berkembang, baik dalam tingkat perekonomian maupun tingkat populasinya.
Hampir separuh dari kota-kota besar dunia berada dalam jarak 50 kilometer dari
daerah pesisir, dan kepadatan populasi di daerah ini dapat mencapai 2,6 kali lebih
padat dari seluruh pulau tersebut (Rositasari dkk., 2011).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir dan lautan. Fungsi ekologis mangrove adalah sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai
macam biota. Fungsi fisik sebagai penahan erosi, amukan angin topan dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya.
Ekosistem mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting seperti, penyedia
kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain. Vegetasi
mangrove di dunia dapat dijumpai pada daerah tropis dan subtropis dari 32o LU
sampai 38o LS termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Vegetasi mangrove
menjadi tiga komponen, yaitu: komponen mayor, minor dan asosiasi. Mangrove
secara khas memperlihatkan adanya zonasi. Zonasi tersebut berkaitan erat dengan
tipe tanah (lumpur, pasir, atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan
gelombang) (Pradana dkk., 2013).
Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum dalam kondisi
dimana terjadi penggenanagan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan
pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Sirkulasi yang tetap
(terus menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan
respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Perairan dengan salinitas
rendah akan menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan alkalin, mengingat air
yang mengandung garam dapat menetralisisr kemasaman tanah. Mangrove dapat
tumbuh pada berbagai macam substrat yang bergantung pada proses pertukaran
air untuk memelihara pertumbuhan mangrove. Secara umum hutan mangrove dan
ekosistem mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan
lingkungan. Namun demikian, mangrove sangat peka terhadap pengendapan atau
4
sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak.
(Dahuri dkk., 2004.
Sifat-sifat biota yang hidup di dalamnya mempunyai ciri-ciri khas yang
merupakan pertemuan antara biota yang sepenuhnya hidup di darat dengan biota
yang sepenuhnya hidup di perairan laut, misalnya berbagai jenis ketam, kepiting
(Scylla serata/Crustacea), Mimi (Limulus tachypleus), yang semuanya sebagai
hewan pemakan serasah. Beberapa jenis burung merandai dan beberapa jenis yang
hidup tergantung dari biji-bijian yang terdapat dalam komunitas hutan bakau, dan
beberapa jenis reptilia. Ciri khas yang lain adalah adanya sejenis ikan yang bisa
hidup di darat dan di air, yakni ikan gelodok (Periopthalmus sp.) yang
mempunyai modifikasi insang sehingga mampu menghirup udara langsung
(Wibisono, 2005).
Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum yang berjudul ‘’Keanekaragaman
Benthos dan Nekton Pada Hutan Mangrove di Desa Pulau Sembilan
Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara’’
adalah:
1. Untuk mengetahui dan melihat secara langsung jenis-jenis benthos dan nekton
di hutan mangrove di Desa Pulau Sembilan.
2. Untuk mengetahui pengaruh kerapatan mangrove terhadap kelimpahan
benthos dan nekton di hutan mangrove.
3. Untuk mengetahui hubungan faktor fisika dan kimia air terhadap pertumbuhan
dan pembentukan ekosistem mangrove.
4. Sebagai informasi bagi warga setempat terkait dengan potensi keanekaragaman
benthos dan nekton pada hutan mangrove di Pulau Sembilan tersebut.
Manfaat Praktikum
Melalui praktikum ini diharapkan mahasiswa mampu memahami
keanekaragaman benthos dan nekton di hutan mangrove Pulau Sembilan serta
hubungan faktor fisika dan kimia air terhadap ekosistem mangrove itu sendiri.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Biota Hutan Mangrove
1. Benthos
Semua organisma air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu
perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas)
termasuk dalam kategori benthos. Berdasarkn sifat hidupnya dibedakan antara
fitobenthos, yaitu organisme benthos yang bersifat tumbuhan dan zoobenthos,
yaitu organisme benthos yang bersifat hewan. Kelompok ini masih dibedakan
menjadi epifauna, yaitu benthos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan
infauna, yaitu benthos yang hidupnya terbenam di dalam substrat dasar perairan.
Selanjutnya berdasarkan siklus hidupnya benthos dapat dibagi menjadi
holobenthos, yaitu kelompok benthos yang seluruh siklus hidupnya bersifat
benthos dan merobenthos, yaitu kelompok benthos yang hanya bersifat benthos
pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya. Misalnya sejenis Echinodermata yang
bersifat plankton pada stadia larva dan menjadi hewan benthos setelah mencapai
bentuk dewasa. Berdasarkan ukuran tubuhnya, benthos dapat dibagi menjadi
makrobenthos (> 2 mm), meiobenthos (0.2 – 2 mm) dan mikrobenthos (< 0.2 mm)
(Barus, 2004).
Distribusi dan kelimpahan makrobentos di mangrove dapat bersifat
homogen atau heterogen, tetapi di perairan estuarin, umumnya populasi akan
meningkat ke arah muara atau laut. Sebagian besar makrofauna di mangrove
memakan berbagai tipe detritus organik. Komponen detritus organik tersebut
terdapat dalam berbagai tipe, yaitu material tanaman atau hewan yang
didekomposisi, produk ekskresi, dan senyawa organik yang terlarut dalam bentuk
bebas atau terikat dengan partikel pasir dan lumpur. Makrofauna di mangrove
umumnya didominasi oleh pemakan detritus. Oleh karena itu, keragaman dan
jumlah individu setiap spesies di setiap biotop zona mangrove berhubungan
dengan kandungan bahan organik dan persentase lempung berpasir dalam substrat
dasar mangrove. Dengan demikian, keragaman dan kepadatan individu berkurang
6
sejalan dengan menurunnya variasi bahan organik dan persentase lempung
berpasir pada substratnya (Gunarto, 2004).
Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuran luruhan dan
ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus.
Hancuran bahan organik (detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan penting
bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya. Nutrien di dalam ekosistem
mangrove dapat juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut. Bakteri dan
fungi tadi dimakan oleh sebagian protozoa dan avertebrata. Kemudian protozoa
dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang selanjutnya dimakan oleh
karnivor tingkat tinggi. Dengan adanya lahan hutan mangrove yang dikonversi ini
fauna-fauna baik itu pemangsa maupun yang dimangsa akan berpindah ke lahan
yang belum mengalami kerusakan (Rusdianti dan Satyawan, 2012).
Salah satu kelompok fauna avertebrata yang hidup di ekosistem mangrove
adalah Moluska, yang didominasi oleh kelas Gastropoda dan Bivalvia.
Gastropoda merupakan salah satu sumberdaya hayati non-ikan yang mempunyai
keanekaragaman tinggi. Gastropoda dapat hidup di darat, perairan tawar, sampai
perairan bahari. Gastropoda berasosiasi dengan ekosistem mangrove sebagai
habitat tempat hidup, berlindung, memijah dan juga sebagai daerah suplai
makanan yang menunjang pertumbuhan mereka. Komunitas makrozoobenthos
termasuk Gastropoda dapat digunakan juga sebagai indikator pulihnya fungsi
vegetasi mangrove, yaitu dengan mempelajari struktur komunitas Gastropoda
yang terdapat dalam berbagai tingkatan vegetasi mangrove. Kondisi habitat
vegetasi mangrove yang meliputi komposisi dan kerapatan jenisnya akan
menentukan karakteristik fisika, kimia dan biologi perairan yang selanjutnya akan
menentukan struktur komunitas organisme yang berasosiasi dengan mangrove
termasuk komunitas Gastropoda (Sirante, 2006).
Beberapa jenis gastropoda hidup menempel pada substrat yang keras, akan
tetapi ada pula yang hidup pada substrat yang lunak seperti pasir dan lumpur.
Habitat gastropoda di hutan mangrove terbagi menjadi 3 yaitu di pohon
mangrove, di atas permukaan lumpur, dan di dalam sedimen. Gastropoda yang
hidup di pohon mangrove terbagi lagi menjadi gastropoda yang hidup pada akar,
batang dan daun mangrove dan yang hidup pada kayu yang sudah mati. Sebagian
7
dari siput gastropoda hidup di daerah–daerah hutan bakau, ada yang hidup di atas
tanah berlumpur, ada pula yang menempel pada akar atau batang mangrove dan
ada juga yang memanjatnya, misalnya pada Littorina, Cassidula, Cerithidae dan
lain–lain. Sebagai salah satu hewan yang hidup di hutan mangrove, gastropoda
dapat digunakan sebagai indikator biogeografi tentang produktivitas ekosistem
mangrove tersebut (Pribadi, 2009).
Organisme makrofauna yang memanfaatkan sumber karbon utama, berupa
bahan organik mati, melakukannya dalam tiga cara : memanfaatkan baik partikel
filter yang berada di suspensi dalam air tepat di atas sedimen, mencari partikel
yang telah disimpan atau di permukaan sedimen, atau menelan partikel yang telah
disimpan atau di dalam sedimen. Contoh suspensi atau filter feeder adalah kerang
moluska, spons, ascidian, dan cacing kipas. Mereka semua menggunakan silia
untuk menciptakan arus air yang melewati permukaan penyaringan. Band lendir,
digerakkan oleh silia, membawa partikel makanan menempel ke mulut. Secara
ekologis cara ini adalah proses yang luar biasa, untuk itu memungkinkan partikel
organik yang sangat kecil untuk dikumpulkan dan efektif dimanfaatkan oleh
organisme yang relatif besar. Ukuran paket tersebut dikonversi dalam satu energi
trofik dan bahan-bahan untuk lebih tinggi (Mann, 1968).
Bekicot (Achatina fulica) memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk
kerucut yang panjangnya dua kali lebar tubuhnya dan terdiri dari tujuh sampai
sebilan ruas lingkaran ketika umurnya telah dewasa. Cangkang bekicot umumnya
memiliki warna cokelat kemerahan dengan corak vertikal berwarna kuning tetapi
pewarnaan dari spesies tersebut tergantung pada keadaan lingkungan dan jenis
makanan yang dikonsumsi. Bekicot dewasa panjanganya dapat melampaui 20 cm
tetapi rata-rata panjanganay sekitar 5-10 cm. Sedangkan beat rata-rata bekicot
kurang lebih adalah 32 gram. Bekicot lebih memilih memakan tumuh-tumbuhan
yang busuk, hewan, lumut, jamur, dan alga. Spesies ini dapat hidup di daerah
pertanian, wilayah pesisir dan lahan basah, hutan alami, semak belukar, dan
daerah perkotaan. Untuk bertahan hidup, bekicot perlu temperatur di atas titik
beku sepanjang tahun dan kelembababan yang tinggi di sepanajng tahun. Pada
musim kemarau, bekicot menjadi tidak aktif atau dorman untuk menghindari sinar
8
matahari. Bekicot tetap aktif pada suhu 90C hingga 29
0C, bertahan pada suhu 2
0C
dengan cara hibernasi, dan pada suhu 300C dengan keadaan dorman (Dewi, 2010).
Klasifikasi Bekicot (Achatina fulica) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Stylommatophora
Famili : Achatinidae
Genus : Achatina
Spesies : Achatina fulica
Kepiting bakau adalah salah satu potensi yang ada dihutan mangrove dan
belum banyak diketahui. Kepiting bakau termasuk sumberdaya perikanan pantai
yang mempunyai nilai ekonomis penting dan mempunyai harga yang mahal. Di
Indonesia secara umum kepiting bakau diidentifikasi dengan nama spesies Scylla
serrata. Nama spesies kepiting ini mungkin benar untuk kepiting yang ditemukan
di wilayah tertentu, akan tetapi kemungkinan nama ini tidak benar. Perkembangan
taksonomi dimungkinkan untuk membawa nama kepiting bakau dengan nama
spesies yang lain dari Scylla serrata. Saat ini dikenal adanya empat spesies
kepiting mangrove, yaitu Scylla serrata, Scylla paramomosain, Scylla
tranquebarica, dan Scylla olivacea (March dkk., 2013).
Morfologi Scylla tranquebarica adalah: memiliki warna karapas hijau
buah zaitun, bentuk alur “H” pada karapas dalam, sumber pigmen polygonal
hanya pada bagian terakhir kaki jalan, bentuk duri depan tajam dan bentuk duri
pada fingerjoint kedua duri jelas dan satu agak tumpul, tidak ada rambut atau
setae. Habitat dan penyebaran : hampir disemua perairan pantai terutama yang
ditumbuhi mangrove, perairan dangkal dekat hutan mangrove, estuari dan pantai
berlumpur, daerah pasang surut yang berhubungan dengan daerah estuari (pesisir),
rawa-rawa bakau, muara kawasan mangrove dan bahkan di air tawar serta di
bagian yang terlindung dari garis pantai pesisir. Spesies ini tinggal di lubang yang
digali di dasar berlumpur atau berpasir-lumpur, terutama disaat molting (ganti
kulit) hingga karapasnya mengeras. Penyebaran: mempunyai sebaran yang sangat
luas dan di dapatkan hampir di seluruh perairan Indonesia (Ubaidillah dkk., 2013).
9
Klasifikasi kepiting bakau (Scylla tranquebarica) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla tranquebarica
Kerang (Tarebia granifera) memiliki ketinggian maksimum kerang
dewasa adalah dari 18,5 mm sampai dengan 25 mm. Bentuk warna tubuh Tarebia
granifera adalah ada yang memiliki warna tubuh coklat pucat dan puncak menara
gelap dan di lain lingkaran badan sepenuhnya berwarna coklat tua sampai hampir
hitam. Spesies ini memakan alga, diatom, dan detritus yang ada disekelilingnya.
Habitat dari spesies ini ditemukan di sungai (termasuk daerah pasang surut,
meskipun tidak mentolerir tingkat tinggi salinitas) dan danau, dan berbagai habitat
antropogenik termasuk kolam renang, dan kanal (Latupapa, 2011).
Klasifikasi kerang (Tarebia granifera) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Caenogastropoda
Famili : Thiaridae
Genus : Tarebia
Spesies : Tarebia granifera
2. Nekton
Hewan-hewan perenang di laut sudah lama menjadi perhatian manusia
karena nilai ekonominyaknya yang besar sebagai sumber makanan. Kelompok ini
kurang beranekaragam bila dibandingkan dengan dua kelompok yang lain, yakni
plankton dan benthos. Kelompok yang termasuk dalam nekton ini adalah ikan
bertulang rawan, ikan bertulang keras, penyu, ular, dan hewan menyusui laut yang
kesemuanya termasuk Mollusca juga termasuk nekton. Tidak ada tumbuhan-
10
tumbuhan yang mampu berenang, jadi tidak ada tumbuhan-tumbuhan yang
tergolong nekton (Romimohtarto dan Sri, 2009).
Laut Nusantara yang mempunyai luas sekitar 3,1juta km2, terdiri atas laut
teritorial 0,3 juta km2 dan laut pedalaman 2,8 juta km
2, di samping perairan ZEEI
(Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) seluas 2,7 juta km2. Selain itu, jumlah
pulaunya yang lebih dari 17.000 mempunyai total panjang garis pantai lebih dari
80.000 km. Laut Nusantara juga dikenal mempunyai keanekaragaman hayati yang
tinggi (marine megadiversity), rumput laut (makro alga) ada lebih dari 700 jenis,
karang batu lebih dari 450 jenis, moluska lebih dari 2.500 jenis, ekinodermata
sekitar 1.400 jenis, krustasea lebih dari 1.500 jenis dan ikan lebih dari 2.000 jenis.
Perairan laut (Latupapua, 2011).
Daerah dataran lumpur (intertidal mud flat) yang terdapat di sebelah luar
mangrove dan langsung menghadap ke laut merupakan habitat berbagai
komunitas nekton dan jumlahnya sangat melimpah. Hal ini menandakan bahwa
daerah tersebut kaya akan sumber pakan sebagai hasil dari produksi primer dan
sekunder yang tinggi serta adanya impor bahan organik dari laut dan mangrove.
Spesies ikan yang dominan di perairan dataran lumpur merupakan spesies
estuarin, yaitu ikan manyung (Osteogeneiosus militaris), ikan keting (Arius
caelatus), ikan sembilang (Plotosus canius), ikan belanak (Liza argentez), ikan
gulameh (Pennahia argentata), ikan tiga waja (Protonibea diacanthus), ikan teri
(Stolephorus macroleptus), dan ikan cucut (Hemiscyllium indicum). Selain
berbagai jenis ikan di perairan mangrove, di dasar mangrove juga terdapat ikan
belodok “mudskippers” yang mampu hidup di luar air dalam waktu relatif lama.
Periopthalmus vulgaris sering berlama-lama jauh dari air. Boleopthalmus
boddaerti, Periopthalmus chrysospilos, Periophthalmodon schlosseri, dan
Scartelaos viridis dapat ditemukan di pantai di bawah tanaman bakau
(Gunarto,2004).
Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis nekton dipengaruhi oleh banyak
faktor, salah satunya adalah kualitas lingkungan. Keberadaan mangrove mampu
menopang fauna akuatik yang hidup dan berasosiasi di dalamnya. Ikan Gobiidae
memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada kawasan ekosistem mangrove.
Jenis ikan dari famili Gobiidae memiliki ciri khusus yaitu sirip perutnya bersatu
11
dan berbentuk seperti piringan pencengkram, yang berfungsi untuk melekatkan
dirinya pada substrat. Di kawasan pesisir Delta Mahakami ditemukan ikan dari
famili Gobiidae dalam stadium larva dan juvenile. Beberapa jenis ikan gobi juga
diketahui merupakan penghuni tetap kawasan mangrove, diantaranya adalah jenis
ikan belodok P. Argentilineatus dan P. Kalolo (Wahyudewantoro, 2009).
Morfologi dan bentuk muka ikan gelodok (Periopthalmus sp) sangat khas,
kedua matanya menonjol di atas kepala, wajah yang dempak, dan sirip-sirip
punggung yang terkembang. Badannya bulat panjang seperti torpedo, sementara
sirip ekornya membulat. Panjang tubuh bervariasi mulai dari beberapa sentimeter
hingga mendekati 30 cm. Keahlian yang dimiliki ikan ini selain dapat bertahan
hidup lama di daratan, ikan gelodok dapat memanjat akar-akar pohon bakau,
melompat jauh, dan berjalan di atas lumpur. Hidup di wilayah pasang surut, ikan
gelodok biasa menggali lubang dilumpur yang lunak untuk sarangnya. Ikan
gelodok bersifat herbivora, makanan ikan ini adalah alga benthik,terutama marga
diatom. Lubang ini bisa sangat dalam dan bercabang-cabang, berisi air dan sedikit
udara di ruang-ruang tertentu. Ketika air pasang naik, ikan gelodok umumnya
bersembunyi dilubang-lubang ini untuk menghindari ikan-ikan pemangsa yang
berdatangan. Ikan gelodok biasanya ditemukan di muara-muara sungai yang
banyak pohon bakaunya. Toleransinya sangat besar terhadap perubahan salintas,
suhu, pH, dan DO (Wilis, 2012).
Salinitas perairan mangrove yang khas sangat mendukung kehidupan ikan
gelodok yaitu antara tawar dan asin karena memperoleh masukan air dari laut dan
dari sungai. Selain salinitas yang khas, mangrove juga memiliki substrat dasar
yang khas yaitu berlumpur. Substrat dasar berlumpur tersebut digunakan ikan
gelodok untuk membangun sarang yang ia gunakan sebagai tempat pertahanan
diri dari predator, tempat sembunyi ketika perairan mangrove sedang pasang, dan
juga sebagai tempat yang amat sakral ketika musim kawin tiba. Ikan gelodok
banyak ditemui di daerah mangrove karena spesies ini memiliki adaptasi khusus
yaitu adaptasi respiratorik dan adaptasi morfologis yang sangat mendukung untuk
dapat bertahan hidup di lingkungan yang khas dan sangat labil karena terpengaruh
pasang surut air laut. Adaptasi respiratorik ditunjukkan oleh modifikasi insang
dan kulit yang terlihat dari kemampuannya dapat hidup secara amphibious
12
ketika ikan ini berada di darat. Sedangkan adaptasi morfologis ditunjukkan oleh
adaptasi sirip yang menjadikan ikan ini bisa berpegangan pada permukaan
vertikal, meloncat di atas lumpur, bahkan berjalan di atas air (Fahran, 2001).
Klasifikasi ikan gelodok (Periopthalmus sp) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Gobiidae
Genus : Periopthalmus
Spesies : Periopthalmus sp.
Faktor Fisika dan Kimia Air
1. Salinitas
Air laut dapat dikatakan merupakan larutan garam. Kadar garam air
biasanya sebagai jumlah (dalam gram) dari total garam terlarut yang ada dalam 1
kilogram air laut dan biasanya diukur dengan konduktivitas. Semakin tinggi
konduktivitas semakin tinggi kadar garamnya. Komposisi kadar garam tersebut
selalu dalam keadaan yang konstan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini
disebabkan karenan adanya kontrol dari berbagai proses kimia dan biologi di
dalam perairan laut. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar organisme yang
hidup di perairan laut merupakan organisme yang memiliki toleransi (sensitivitas)
terhadap perubahan salinitas yng sangat kecil atau organisme yang
diklasifikasikan sebagai organisme stenohalin. Daerah dengan fluktuasi salinitas
yang tinggi terdapat di daerah estuari. Kondisi daerah yang seperti ini
menyebabkan jumlah dan keragaman organisme yang hidup tidak tinggi.
Organisme yang hidup pada perairan ini adalah organisme-organisme yang secara
evolusi memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tersebut
(Widodo dan Suadi, 2006).
Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas)
mengendalikan efisiensi metabolic vegetasi hutan mangrove. Ketersediaan air
tawar bergantung dari (a) frekwensi dan volume air system sungai dan irigasi dari
13
darat, (b) frekwensi dan volume air pertukaran pasang surut, serta (c) tingkat
penguapan (evaporasi) ke atmosfir. Walaupun spesies vegetasi mangrove
memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, namun bila tidak
tersedia suplai air tawar akan menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai
kondisi ekstrim sehingga mengancam kelangsungan hidupnya. Perubahan
penggunaan lahan darat mengakibatkkan terjadinya modifikasi masukkan air
tawar, yang tidak hanya menyebabkan perubahan kadar garam, tetapi juga dapat
menubah aliran nutrien dan sedimen ke ekosistem mangrove (Sunarto, 2008)
Seperti yang diketahui, salinitas air laut di sekitar pantai menurun pada
musim hujan karena kenaikan volume air tawar yang mengalir dari sungai, dan
berpengaruh besar paling besar pada musim kemarau. Variasi tahunan rata
salinitas permukaan (dalam part per thousand). Pola pergerakan air di muara
sangat kompleks (Whitten, 1987).
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara
horizintal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. Gastropoda yang bersifat
mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang
terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika
pengaruh air tawar berlangsung lama. Kisaran salinitas yang masih mampu
mendukung kehidupan organisme perairan khususnya fauna makrobenthos adalah
5 - 35‰. Rendahnya nilai salinitas disebabkan oleh pengaruh air tawar yang lebih
besar dibandingkan dengan pengaruh air laut khususnya ketika sedang surut.
Tanah mangrove di bagian permukaan memiliki pH yang rendah dan bersalinitas
tinggi (Syamsurizal, 2011).
2 Derajat Keasaman (pH)
pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe
dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhluk
makhluk lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya
nilai pH, kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk
menunjang kehidupan mereka. Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus,
adanya keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah
14
konsentrasi ion hidrogen. Dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam
karbonat menaikkan pH, sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat
dapat menaikkan kebasaan air (Prasetyo, 2008).
Derajat keasaman (pH) merupakan faktor lingkungan yang erat
hubungannya dengan kelangsungan hidup biota air, sedangkan pada
perkembangan mangrove peranannya tidak terlalu besar. Derajat keasaman
perairan pada saat pasang maupun surut pada setiap stasiun termasuk homogen.
Ph merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan.
Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi
ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya. Sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5
(Syamsyurizal, 2011).
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004
menunjukkan bahwa pH air laut yang baik adalah 7 – 8,5. Nilai pH yang ideal
bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5
(Latupapua, 2011).
pH dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan yaitu pH = 7 (netral), 7 <
pH < 14 (alkalis/basa), 0 < pH < 7 (asam). pH juga berkaitan erat dengan
karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH < 5 alkalinitas bisa mencapai nol.
Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin sedikit
kadar karbondioksida bebas (Jukri, dkk., 2013).
15
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum Ekologi Perairan yang berjudul ’’Keanekaragaman Benthos
dan Nekton Pada Hutan Mangrove di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu
Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara’’ dilaksanakan pada hari Sabtu, 14
Desember 2013, pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB, di kawasan
hutan mangrove Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten
Langkat, Provinsi Sumatera Utara.
Deskripsi Area
Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang berada di gugusan
pulau-pulau di Kabupaten Langkat. Secara Administrasi terletak di Desa Pulau
Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera
Utara. Jarak Pulau Sembilan dengan ibu kota kecamatan Pangkalan Susu sejauh ±
6 km. Secara Geografis terletak pada 04º 13,5’ 90,0” LU dan 98º 25’ 28,3” BT. Di
Pulau ini terdapat hutan mangrove antara lain tanaman bakau (Avicenia sp.,
Rhizophora sp., Bruguiera sp.), api-api (Avicenia marina), buta-buta (Excocaria
agallocha) dan nipah (Nypha sp.).
Stasiun 4 merupakan daerah bebas aktifitas dimana tidak dijumpai aktifitas
manusia namun didominasi oleh mangrove. Selain itu stasiun ini memiliki relief
tanah yang sedikit lebih tinggi dari sekitarnya sehingga kemungkinan sedikit
terpengaruh oleh pasang surut air laut namun menjadi wadah penyimpan bagi air
hujan (reservoa) dalam beberapa waktu singkat. Secara geografis terletak pada
04º 08’ 01,0” LU dan 98º 15’ 08,6” BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa
lumpur dan pasir halus. Keanekaragaman biota yang ditemukan kecil, dan
umumnya homogen, sementara vegetasi mangrove luas dan memiliki kerapatan
yang tinggi.
16
Gambar : stasiun 4 daerah kontrol (Mangrove)
Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada saat praktikum adalah: a) Tanggok yang
digunakan untuk menangkap nekton maupun benthos yang ada disekitar stasiun,
b) Botol kaca yang berfungsi sebagai wadah/tempat biota yang telah ditemukan,
c) Botol film sebagai tempat sampel air yang akan diambil, d) Kertas label yang
digunakan untuk memberi tanda pada setiap botol sampel, e) Lakban yang
berfungsi untuk menutup botol sampel, dan f) Alat tulis yang digunakan untuk
mencatat data biota yang diperoleh.
Bahan yang digunakan adalah alkohol 70% yang digunakan untuk
mengawetkan biota yang diperoleh.
Prosedur Pengambilan
Adapun cara pengambilan sampel biota yaitu menggunakan tanggok untuk
menangkap ikan yang terdapat di lumpur yang tergenang air, maupun dengan cara
menangkap langsung dengan tangan benthos yang ada di stasiun tersebut. Sampel
biota diambil dari tiap-tiap plot yang berjarak 1 m sebanyak 10 plot. Adapun
waktu pengambilan biota dilakukan pada pagi hingga siang hari sebagai data
pokok untuk mengetahui jenis biota yang ada di stasiun pengamatan., kemudian
sampel biota yang didapat dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol
17
70% sebagai pengawet. Hasil sampel biota yang didapat diambil untuk dibawa ke
laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku Identifikasi.
Analisis data
Data nekton dan benthos yang diperoleh di analisis di laboratorium dengan
Menggunakan buku identifikasi yang telah tersedia. Benthos maupun nekton yang
telah diawetkan terlebih dahulu diambil satu per satu dari botol sampel untuk di
identifikasi. Kemudian setiap biota yang di peroleh di kelompokkan menurut jenis
dan diberi klasifikasi ilmiahnya.
Pengkuran parameter fisika dan kima air meliputi pH dan salinitas air
dilakukan secara in situ yaitu dianalisis di dalam ruangan laboratorium. Sampel
air dalam botol film yang telah diambil dari stasiun pengamatan di ukur pHnya
dengan menggunakan kertas lakmus yang dicelupkan ke dalam tiap-tiap botol film
dari masing-masing plot dan hasilnya disesuaikan dengan petunjuk.
Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer,
kemudian diambil sampel air sebanyak 1 tetes lalu diteteskan pada permukaan alat
refraktometer tersebut dan dilihat batas akhir pada skala.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
19
Keterangan :
Analisis biota hutan mangrove
a. Benthos
Plot Achatina
fulica
Scylla
tranquebarica
Tarebia
granifera
1 1 -
2 1 - -
3 1 1 -
4 - 1 -
5 - - 1
6 - 3 -
7 - - 1
8 - - 1
9 - - 1
10 1 - -
Tabel 1. Jumlah spesies benthos pada tiap plot
1. Bekicot (Achatina fulica)
Klasifikasi Achatina fulica
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Stylommatophora
Famili : Achatinidae
Genus : Achatina
Spesies : Achatina fulica
Ciri-ciri, jenis makanan dan habitat
Bekicot (Achatina fulica) memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk
kerucut yang panjangnya dua kali lebar tubuhnya dan terdiri dari tujuh sampai
sebilan ruas lingkaran, cangkang berwarna cokelat kemerahan dengan corak
20
vertikal berwarna kuning. Bekicot memakan tumuh-tumbuhan yang busuk,
hewan, lumut, jamur, dan alga. Spesies ini dapat hidup di daerah pertanian,
wilayah pesisir dan lahan basah, hutan alami, semak belukar, dan daerah
perkotaan.
2. Kepiting bakau (Scylla tranquebarica)
Klasifikasi kepiting bakau (Scylla tranquebarica) :
Kingdom : Animalia
Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla tranquebarica
Ciri-ciri, jenis makanan dan habitat
Kepiting bakau (Scylla tranquebarica) memiliki warna karapas hijau buah
zaitun, bentuk alur “H” pada karapas dalam, bentuk duri depan tajam dan bentuk
duri pada “fingerjoint” kedua duri jelas dan satu agak tumpul, tidak ada rambut
atau setae. Kepiting bakau memakan memakan serasah-serasah jatuh, maupun
ikan-ikan kecil yang ada disekitarnya. Habitatnya hampir disemua perairan pantai
terutama yang ditumbuhi mangrove, perairan dangkal dekat hutan mangrove,
estuari dan pantai berlumpur, daerah pasang surut yang berhubungan dengan
daerah estuari (pesisir), rawa-rawa bakau (payau), muara kawasan mangrove dan
bahkan di air tawar serta di bagian yang terlindung dari garis pantai pesisir.
Spesies ini tinggal di lubang yang digali di dasar berlumpur atau berpasir-lumpur.
3. Karang (Tarebia granifera)
Klasifikasi Gastropoda (Tarebia granifera) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
21
Ordo : Caenogastropoda
Famili : Thiaridae
Genus : Tarebia
Spesies : Tarebia granifera
Ciri-ciri, jenis makanan, dan habitat
Kerang (Tarebia granifera ) memiliki ketinggian maksimum kerang
dewasa adalah dari 18,5 mm sampai dengan 25mm. Bentuk warna tubuh Tarebia
granifera adalah ada yang memiliki warna tubuh coklat pucat dan puncak menara
gelap dan di lain lingkaran badan sepenuhnya berwarna coklat tua sampai hampir
hitam. Spesies ini memakan alga, diatom, dan detritus yang ada disekelilingnya.
Habitat dari spesies ini ditemukan di sungai (termasuk daerah pasang surut,
meskipun tidak mentolerir tingkat tinggi salinitas) dan danau, dan berbagai habitat
antropogenik termasuk kolam renang, dan kanal.
b. Nekton
Plot Periopthalmus sp.
1 -
2 -
3 -
4 2
5 -
6 -
7 -
8 -
9 -
10 -
Tabel 2. Jumlah speises nekton pada tiap plot
1. Ikan Gelodok (Periopthalmus sp)
Klasifikasi ikan gelodok (Periopthalmus sp) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
22
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Gobiidae
Genus : Periopthalmus
Spesies : Periopthalmus sp.
Ciri-ciri, jenis makanan, dan habitat
Morfologi dan bentuk muka ikan gelodok (Periopthalmus sp) sangat khas,
kedua matanya menonjol di atas kepala, wajah yang dempak, dan sirip-sirip
punggung yang terkembang. Badannya bulat panjang seperti torpedo, sementara
sirip ekornya membulat. Panjang tubuh bervariasi mulai dari beberapa sentimeter
hingga mendekati 30 cm. Ikan gelodok bersifat herbivora, makanan ikan gelodok
adalah alga benthik terutama marga diatom. Hidup di wilayah pasang surut,
ditemukan di muara-muara sungai yang banyak pohon bakaunya.
Pengukuran faktor fisika dan kimia Air
Plot Salinitas (‰) Ph
1 2.2 8
2 2.3 8
3 2.2 8
4 2.3 9
5 2.1 7
6 2.1 7
7 2.1 7
8 2.1 8
9 2.1 8
10 2.1 8
Tabel 3. Kisaran salinitas dan pH pada tiap plot
23
Pembahasan
Dari hasil praktikum diperoleh data analisis jumlah spesies benthos yang
ditemukan dari setiap plot dalam stasiun pengamatan yaitu Achatina fulica
sebanyak 4 spesies, Scylla tranguebarica berjumlah 3 spesies, dan Tarebia
granifera sebanyak 4 spesies. Total keseluruhan benthos dari setiap plot adalah 11
spesies, dengan perbandingan jumlah spesies yang tidak berfluktuasi serta
keanekaragaman biota benthos yang sedikit. Menurut literatur Gunarto (2004),
yang menjelaskan bahwa keragaman dan jumlah individu setiap spesies di setiap
biotop zona mangrove berhubungan dengan kandungan bahan organik dan
persentase lempung berpasir dalam substrat dasar mangrove, dengan demikian
keragaman dan kepadatan individu berkurang sejalan dengan menurunnya variasi
bahan organik dan persentase lempung berpasir pada substratnya.
Dari tabel hasil praktikum spesies yang memiliki jumlah kepadatan
tertinggi adalah bekicot (Achatina fulica) dan Kerang (Tarebia granifera)
sebanyak 4 speies walaupun hampir memiliki perbandingan yang tetap dengan
kepiting bakau (Scylla tranguebarica) sebanyak 3 speies. Menurut literatur
Pribadi (2009), yang memaparkan bahwa gastropoda dapat digunakan sebagai
indikator biogeografi tentang produktivitas ekosistem mangrove tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa produktivitas ekosistem mangrove di stasiun tersebut rendah
yang ditunjukkan dengan kondisi keanekaragaman dan jumlah speies benthos
yang sedikit.
Untuk dapat bertahan hidup, bentos memiliki kemampuan adaptasi
walaupun faktor lingkungan yang ekstrim menjadi faktor pembatas untuk biota
tersebut mempertahankan kelangsungan hidupnya. Menurut literatur Dewi (2009),
yang menjelaskan bahwa bekicot (Achantina fulica) perlu temperatur di atas titik
beku sepanjang tahun dan kelembababan yang tinggi di sepanjang tahun. Pada
musim kemarau, bekicot menjadi tidak aktif atau dorman untuk menghindari sinar
matahari. Bekicot tetap aktif pada suhu 90C hingga 29
0C, bertahan pada suhu 2
0C
dengan cara hibernasi, dan pada suhu 300C dengan keadaan dorman.
Speies nekton yang ditemukan dari hasil praktikum hanya sejenis yaitu
ikan gelodok (Periophthalmus sp) yang berjumlah 2 spesies. Tingkat
keanekaragaman dan jumlah nekton di stasiun ini sangat rendah, dikarenakan
24
kondisi lingkungan hutan mangrove yang tidak sesuai bagi kehidupan biota dalam
jangka waktu yang panjang. Walaupun ikan gelodok dapat bertahan lama di darat
karena mempunyai modifikasi insang sehingga dapat menghirup udara langsung,
namun ikan ini juga membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya, seperti
mencari makan, dan menghindari kekeringan tubuhnya. Ikan gelodok banyak
dijumpai pada hutan mangrove yang mengarah ke muara, sedangkan di stasiun
pengamatan ini tidak bersatu dengan muara sungai yang menyebabkan
penyebaran nekton di stasiun ini sedikit.
Dari hasil pengamatan terhadap stasiun, dijumpai hutan mangrove hampir
tidak terpengaruh dengan pasang surut air laut dan sedikit berlumpur. Sedangkan
ikan gelodok memutuhkan air tawar dan air asin untuk kelangsungan hidupnya.
Menurut literatur Fahran (2001), salinitas perairan mangrove yang khas sangat
mendukung kehidupan ikan gelodok yaitu antara tawar dan asin karena
memperoleh masukan air dari laut dan dari sungai. Ikan gelodok banyak ditemui
di daerah mangrove karena spesies ini memiliki adaptasi khusus yaitu adaptasi
respiratorik dan adaptasi morfologis yang sangat mendukung untuk dapat
bertahan hidup di lingkungan yang khas dan sangat labil karena terpengaruh
pasang surut air laut. Adaptasi respiratorik ditunjukkan oleh modifikasi insang
dan kulit yang terlihat dari kemampuannya dapat hidup secara amphibious
ketika ikan ini berada di darat. Sedangkan adaptasi morfologis ditunjukkan oleh
adaptasi sirip yang menjadikan ikan ini bisa berpegangan pada permukaan
vertikal, meloncat di atas lumpur, bahkan berjalan di atas air.
Dari hasil praktikum pengukuran salinitas air dari setiap plot rata-rata
adalah 2.2-2.3‰. Kisaran salinitas ini umumnya sangat rendah bila dibandingkan
dengan kisaran salinitas hutan mangrove yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Rendahnya salinitas air di stasiun tersebut diakibatkan stasiun tersebut
sedikit mendapat pengaruh pasang surut air laut karena memiliki relief tanah yang
lebih tinggi dari daerah sekitarnya, sehingga tidak terjadi percampuran air tawar
dan laut. Bila terjadi hujan, maka air tawar akan mendominasi air lumpur di hutan
mangrove yang menyebabkan salinitasnya menjadi rendah.
Kisaran salinitas air yang rendah pada hutan mangrove tersebut
mempengaruhi penyebaran keanekaragaman dan kepadatan jenis biota dihutan
25
mangrove tersebut. Dapat diketahui bahwa keanekaragaman dan kepadatan biota
benthos maupun nekton di stasiun ini adalah rendah. Menurut literatur
Syamsyurizal (2011), menjelaskan bahwa salinitas dapat mempengaruhi
penyebaran organisme benthos baik secara horizintal, maupun vertikal. Secara
tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam
suatu ekosistem. Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk
bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang
bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung
lama. Kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme
perairan khususnya fauna makrobenthos adalah 5 - 35‰.
Dari hasil praktikum pengukuran pH air, di peroleh rata-rata kisaran pH
dari setiap plot adalah 7-8. pH tersebut tentunya berpengaruh terhadap ekosistem
hutan mangrove yang ada di stasiun tersebut. Menurut literatur Syamsyurizal
(2011), yang menjelaskan bahwa derajat keasaman (pH) merupakan faktor
lingkungan yang erat hubungannya dengan kelangsungan hidup biota air,
sedangkan pada perkembangan mangrove peranannya tidak terlalu besar. Derajat
keasaman perairan pada saat pasang maupun surut pada setiap stasiun termasuk
homogen. pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu
perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi
ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya. Sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5. Dan
didukung juga dari literatur Latupapua (2011), yang mengatakan bahwa menurut
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menunjukkan
bahwa pH air laut yang baik adalah 7 – 8,5. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan
organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5.
Dapat simpulkan bahwa pH air dari stasiun tersebut adalah ideal bagi
kehidupan biota yang ada dihutan mangrove tersebut. Rendahnya tingkat
keanekaragaman biota benthos dan nekton distasiun tersebut diakibatkan
rendahnya kisaran salinitas yang mendukung bagi kehidupan organisme benthos
dan nekton yang ada di hutan mangrove. Salinitas dan pH memiliki keterkaitan
yang saling mempengaruhi. Bila Salinitas air tinggi maka pH air akan menurun
dan kandungan oksigen bertambah, dan sebaliknya bila salinitas air rendah maka
26
pH air akan tinggi yang mengakibatkan rendahnya oksigen di perairan tersebut.
Menurut literatur Syamsurizal (2011), yang menjelaskan bahwa tanah mangrove
di bagian permukaan memiliki pH yang rendah dan bersalinitas tinggi.
27
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum yang berjudul
‘’Keanekaragaman Benthos Dan Nekton Pada Hutan Mangrove Di Desa
Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi
Sumatera Utara’’ adalah:
1. Keragaman dan jumlah individu setiap spesies di setiap biotop zona mangrove
berhubungan dengan kandungan bahan organik dan persentase lempung
berpasir dalam substrat dasar mangrove.
2. Salah satu kelompok fauna avertebrata yang hidup di ekosistem mangrove
adalah Moluska, yang didominasi oleh kelas Gastropoda dan Bivalvia.
Gastropoda dapat hidup di darat, perairan tawar, sampai perairan bahari.
3. Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis nekton dipengaruhi oleh banyak
faktor, salah satunya adalah kualitas lingkungan. .
4. Dari tabel hasil praktikum spesies yang memiliki jumlah kepadatan tertinggi
adalah bekicot (Achatina fulica) dan Kerang (Tarebia granifera) sebanyak 4
speies.
5. Bekicot (Achantina fulica) pada musim kemarau menjadi tidak aktif atau
dorman untuk menghindari sinar matahari. Bekicot tetap aktif pada suhu 90C
hingga 290C, bertahan pada suhu 2
0C dengan cara hibernasi, dan pada suhu
300C dengan keadaan
6. Bila Salinitas air tinggi maka pH air akan menurun dan kandungan oksigen
bertambah, dan sebaliknya bila salinitas air rendah maka pH air akan tinggi
yang mengakibatkan rendahnya oksigen di perairan tersebut.
Saran
Dalam prosedur pengambilan sampel benthos dan nekton di hutan
mangrove pulau sembilan sebaiknya menggunakan alat-alat yang yang lazimnya
digunakan agar hasil yang diperoleh lebih maksimal dan data yang akan dikelola
lebih akurat.
28
DAFTAR PUSTAKA
Barus, A., T. 2004. Pengantar Dasar : Limnologi. USU Press. Medan
Dahuri, H. R. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dewi, S., P. 2010. Perbedaan Efek Pemberian Berkicot (Achatina fulica) Dan
BioplacentonTM
Terhadap Penyembuhan Luka Bersih Pada Tikus Putih.
[Skripsi]. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Fahran, A. 2001. Biologi Perairan Laut. [Bahan Kuliah]. Universitas Negeri
Yogyakarta, Yogyakarta.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati. Jurnal
Litbang Pertanian. Volume XXIII, Nomor 1: 2-18. Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau, Sulawesi Selatan.
Jukri, M., Emiyarti dan Syamsul, K. 2013. Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai
Lamunde Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi
Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia. ISSN : 2303-3959. Volume I,
Nomor 01 : 23 – 37. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
FPIK. Universitas Haluoleo, Kendari.
Latupapua, M., J., J. 2011. Keanekaragaman Jenis Nekton Di Mangrove Kawasan
Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri. ISSN
:1907-7556. Volume VI, Nomor 2 : 15-21. Politeknik Perdamaian
Halmahera, Tobelo.
Mann, K. H. 1968. Ecology of Coastal Waters. Blackwell Scientific Publications.
London.
March, P., F., Hia, Boedi, H., dan Haeruddin. 2013. Jenis Kepiting Bakau (Scylla
Sp.) Yang Tertangkap Di Perairan Labuhan Bahari Belawan Medan.
Journal Of Management Of Aquatic Resources. Volume II, Nomor 3 :
170-179. Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Diponegoro, Semarang.
Pradana, O. Y., Nirwani, dan Suryono. 2013. Kajian Bioekologi dan Strategi
Pengelolaan Ekosistem Mangrove : Studi Kasus di Teluk Awur Jepara.
Journal Of Marine Research. Volume II, Nomor 01 : 54-61. Program Studi
Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Prasetyo. 2008. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Keanekaragaman Biota
di Perairan Estuari di Perairan Sungai Kampar. [Skripsi]. Fakultas
Perikanan. Universitas Hasanuddin, Makassar.
29
Pribadi, R., Retno, H., Chrisna, A., dan Suryono. Komposisi Jenis dan Distribusi
Gastropoda di Kawasan Hutan Mangrove Segara Anakan Cilacap. Jurnal
Ilmu Kelautan. Volume XIV, Nomor 2 : 102-111. Jurusan Ilmu Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Purnamasari, D. 2010. Keanekaragaman Ikan Di Pulau Sembilan Kecamatan
Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara. [Skripsi]. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Romimohtarto, K., dan Sri, J. 2009. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.
Rusdianti, K., dan Satyawan, S. 2012. Konversi Lahan Hutan Mangrove Serta
Upaya Penduduk Lokal Dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove.
Jurnal sosiologi Pedesaan. ISSN : 1978-4333. Volume VI, Nomor 01: 1-
17. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rositasari, R., Wahyu, B., Setiawan, Indarto, H., Supriadi, Hasanuddin, dan Bayu,
P. 2011. Kajian Dan Prediksi Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan
Iklim: Studi Kasus Di Pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis. Volume III, Nomor 1: 52-64. Ikatan Sarjana Oseanologi
Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB. Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ancol
Timur, Jakarta.
Sirante, R. 2006. Studi Struktur Komunitas Gastropoda di Lingkungan Perairan
Kawasan Mangrove Kelurahan Lappa Dan Desa Tongke-Tongke,
Kabupaten Sinjai. [Penelitian]. Universitas Negeri Lampung, Lampung.
Sunarto. 2008. Peranan Ekologis Dan Antropogenis Ekosistem Mangrove. [Karya
Ilmiah]. Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan. Universitas Padjajaran.
Jatinangor.
Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos Di Hutan
Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. [Skripsi]. Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ubaidillah, R., Ristiyanti, M., Marwoto, Renny, K., Hadiaty, Fahmi, Daisy, W.,
Mumpuni, Rianta, P., Agus, H., Mudjiono, Sri, T. H., Heryanto, Awal, R.,
dan Nova, M. 2013. Biota Perairan Terancam Punah Di Indonesia.
[Buku]. ISBN 978-602-7913-08-0. Direktorat Konservasi Kawasan dan
Jenis Ikan Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau – Pulau Kecil Kementerian
Kelautan dan Perikanan Bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta.
30
Wahyudewantoro, G. 2009. Komposisi Jenis Ikan Perairan Mangrove Pada
Beberapa Muara Sungai Di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang-
Banten. Jurnal Fauna Tropika. ISSN 0215-191X. Volume XVIII, Nomor
02 : 45-103. Puslit Biologi-LIPI. Bogor.
Whitten, A. J., Sengli, J. D., Jazanul, A., dan Nazaruddin, H. 1987. Ecology of
Sumatera. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.
Widodo, J., dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Wilis, S. 2012. Analisa Kebiasaan Makanan Ikan Gelodok (Mudskipper ) Jenis
Baleophthalmus Boddarti di Daerah Pertambakan Desa Cepokorejo
Kecamatan Palang Kabupaten Tuban. Aquasains (jurnal Ilmu Perikanan
dan Sumberdaya Perairan). Volume XIII, Nomor 12 : 12-31. Fakultas
Perikanan dan Kelautan. Universitas Ronggolawe, Tuban.