keamanan produk pangan hewanidi...

13
Seminar NasionalHariPanganSeduniaXXVII DukunganTeknologiUntukMeningkatkanProdukPanganHewaniDalamRangkaPemenuhanGiziMasyarakat KEAMANANPRODUKPANGANHEWANI DIINDONESIA Roy SPARRINGA KementerianNegaraRisetdanTeknologi GedungBPPT II, Lantai 8, MHThamrin No8,Jakarta10340 Tel:0213169292,Fax :0213102014 E mail: sparringa@ristek.go. id,r sparringa( a,) yahoo.co.uk ABSTRACT ThesafetylevelsoffoodsofanimalorigininIndonesiaarebrieflydiscussedandcriticallyreviewed .TheGovernment ofIndonesiaisimprovingthefoodsafetysystemthroughoutthefoodchain .Theultimategoalistostrengthenthefood safety .Itseemsthatitisdifficulttoachievethisgoalwithoutknowingthebaselineofthefoodsafetymeasuresin Indonesia ."Weshouldknowwherewearegoingexplicitlybeforewegetmoving" .Themagnitudeandtheconsequences offoodbornediseases(FBD)inIndonesiaremainunderestimated.Reliablestatisticsonfoodsafetyindicators,FBD includingcasesandoutbreaksarelackingandtheirmagnitudeisthereforedifficulttoestimateandtheirimportanceas ahealthproblemisoftendisregardedandresultinghealtheconomicconsequencesarenotfullyappreciated .Theaims ofthispaperweretodiscussfoodsafetyconcernsinfoodsofanimaloriginanditssituationinIndonesiaincluding theimportanceofriskassessmentasamanagementtoolforfoodsafetyprogramme .TheGovernmentofIndonesia, suchas NationalAgencyforDrugandFoodControlRepublicofIndonesia(BadanPOM)monitorsfoodsafetyin productionanddistributionpointsonregularbasis .Unfortunately,themajorfocusofthemonitoringprogrammeis hazardidentificationofillegaladditivesandsomefoodadditivesinprocessedfoods .Foodcontaminantdataarelacking, whilstotheragenciesconductfragmentedsurveyswithlimitedsamplenumberandconsistency .Majordatacollected areforcompliancepurposesdominatedbyqualitativedata .Tomanagethefoodsafetyrisk,theprevalenceandlevel ofhazardshouldbemonitored .Inturn,thesafetyoffoodintakescanbeestimatedforgeneralpopulationandspecific targetgroup.Itisconcludedthatlackorabsenceofimportantdatainfoodsafetyisanindicationofpoorfoodsafety managementneglectingrisk-basedpolicy .Itisrecommendedthattheintegratedfoodsafetysystem(IFSS)inIndonesia throughoutthewholefoodchainshouldbestrengthened,developed,andimplementednationally,regionally,locallyas apartofNationalFoodSecurityProgrammes .IndonesiashouldstarttoencourageimplementingofIFSSconsistently withseriouscommitmentofallstakeholders .Giventhelackofdatainrespectofmanyaspectsoffoodsafetyconcerns, afoodsafetyriskassessmentnetworkshouldbeestablishedwhichwillbesupportedbyintegratedsurveillanceunitsof stakeholdersandrelatedresearchinstitutionstocharacterizetherisk .Theoutputsoftheriskassessmentsareutilized tomanagethefoodsafetyprogrammeinIndonesia .Theroleofresearchinstitutionsincludinguniversitiesonthefood safetyprogrammeislackingatthepresenttime .StateMinistryofResearchandTechnology,theRepublicofIndonesia shouldtakealeadtocoordinateresearchactivitiesandprovideresearchpoliciesinlinewiththenationalneeds,such as strengtheningriskassessmentnetwork . Keywords :Foodsafety,foodsofanimalorigin,integratedfoodsafetysystem,foodmonitoringdata,riskassessment, riskassessmentnetwork 55

Upload: phamnguyet

Post on 16-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

KEAMANAN PRODUK PANGAN HEWANI DI INDONESIARoy SPARRINGA

Kementerian Negara Riset dan TeknologiGedung BPPT II, Lantai 8, MH Thamrin No 8, Jakarta 10340

Tel: 0213169292, Fax : 0213102014E mail: [email protected]. id, r sparringa(a,)yahoo. co. uk

ABSTRACT

The safety levels of foods of animal origin in Indonesia are briefly discussed and critically reviewed. The Governmentof Indonesia is improving the food safety system throughout the food chain . The ultimate goal is to strengthen the foodsafety. It seems that it is difficult to achieve this goal without knowing the baseline of the food safety measures inIndonesia. "We should know where we are going explicitly before we get moving" . The magnitude and the consequencesof foodborne diseases (FBD) in Indonesia remain underestimated. Reliable statistics on food safety indicators, FBDincluding cases and outbreaks are lacking and their magnitude is therefore difficult to estimate and their importance asa health problem is often disregarded and resulting health economic consequences are not fully appreciated . The aimsof this paper were to discuss food safety concerns in foods of animal origin and its situation in Indonesia includingthe importance of risk assessment as a management tool for food safety programme . The Government of Indonesia,such as National Agency for Drug and Food Control Republic of Indonesia (Badan POM) monitors food safety inproduction and distribution points on regular basis . Unfortunately, the major focus of the monitoring programme ishazard identification of illegal additives and some food additives in processed foods . Food contaminant data are lacking,whilst other agencies conduct fragmented surveys with limited sample number and consistency . Major data collectedare for compliance purposes dominated by qualitative data . To manage the food safety risk, the prevalence and levelof hazard should be monitored. In turn, the safety of food intakes can be estimated for general population and specifictarget group. It is concluded that lack or absence of important data in food safety is an indication of poor food safetymanagement neglecting risk-based policy . It is recommended that the integrated food safety system (IFSS) in Indonesiathroughout the whole food chain should be strengthened, developed, and implemented nationally, regionally, locally asa part of National Food Security Programmes . Indonesia should start to encourage implementing of IFSS consistentlywith serious commitment of all stakeholders . Given the lack of data in respect of many aspects of food safety concerns,a food safety risk assessment network should be established which will be supported by integrated surveillance units ofstakeholders and related research institutions to characterize the risk . The outputs of the risk assessments are utilizedto manage the food safety programme in Indonesia . The role of research institutions including universities on the foodsafety programme is lacking at the present time . State Ministry of Research and Technology, the Republic of Indonesiashould take a lead to coordinate research activities and provide research policies in line with the national needs, suchas strengthening risk assessment network .

Keywords: Food safety, foods of animal origin, integrated food safety system, food monitoring data, risk assessment,risk assessment network

55

SeminarNasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

5 6

PENDAHULUAN

Seberapa amankah produk pangan hewvani diindonesia?. Pangan hewani umumnya tergolongpangan berisiko, karena kandungan gizinya sangatbaik bagi pertumbuhan patogen jika didukung olehkondisi pangan/lingkungan yang sesuai, misalnyasuhu, pH dan kadar air dan aw. Pemantauankeamanan pangan hewani di Indonesia masih sangatlemah dan jika dibandingkan dengan masalahkeamanan global, hanya sebagian kecil saja yangtelah dilakukan oleh lembaga-lembaga yangterkait dengan keamanan pangan . Misalnya untukdata mikrobiologi, informasi keamanan daging diIndonesia umumnya hanya terbatas pada angkalempeng total (ALT), Escherichia coli, coliform,Salmonella dan Staphylococcus aureus . Sedangkanditingkat global banyak data-data keamanan pangantermasuk emerging pathogen seperti Aeromonashydrophila, Campylobacter, Escherichia coli(Pathogenic), Listeria monocytogenes, danYersinia.

Tidak ada suatu makanan yang mutlak amanterbebas dari semua bahaya . Suatu makanandianggap aman jika tingkatan suatu bahaya masihdibawah karakteristik bahaya dari bahan tersebutmenurut peruntukannya . Umumnya bahaya kimiabersifat kronis sedangkan bahaya biologis bersifatakut. Banyak makanan yang sebenarnya tidak amankarena melebih batas aman dari suatu kandunganbahan kimia berbahaya, misalnya melebihi ADI(Acceptable dietary intake) atau melebihi PTDI(Provisional tolerable daily intake) yang tidakdiketahui oleh masyarakat. Dampaknya mungkinakan diketahui setelah beberapa tahun terpaparpangan yang terkontaminasi oleh pestisida, logamberat dan kontaminan lainnya. Terkadang bahankimia berbahaya ini dapat saja menimbulkanreaksi akut, jika asupannya melebihi dosis akutnya(Acute reference dose) . Misalnya seseorang yangselalu mengkonsumsi ikan dengan kandunganendosulfan lebih dari 0.006 mg/kg berat badan akanbermasalah setelah beberapa tahun, sedangkanjika orang tersebut mengkonsumsi 0.02 mg/kgberat badan (CAC, 2004), maka akan ada reaksikeracunan akut . Agensia biologis misalnya patogenCampylobacter jejuni yang sering mengkontainasiproduk unggas akan menimbulkan sakit setelah

seseorang mengkonsumsi 500 sel saja, sebaliknyaVibrio cholerae yang sering dilaporkan mengkon-taminasi produk perikanan/air sebanyak satu jutasel barn menyebabkan sakit seseorang (FoRsYTHE,2004) .

Inspektur pangan (food inspector) selama iniumumnya melihat kesesuaian dengan peraturanyang berlaku, misalnya level maksimum suatuagensia (misalnya pestisida) tidak boleh lebih daribatas maksimum residu (BMR) . Jika peraturanini dibuat dengan cermat, maka kegiatan inspeksiini sangat besar manfaatnya . Asumsinya adalahlevel tersebut sudah memperhitungkan tingkatkonsumsi pangan masyarakat tersebut, sehinggajika dikalkulasi, paparan bahan yang dikaji tersebutmasih dibawah level amannya (ADI/PTDI). Selamaini Indonesia banyak mengadopsi Codex untukditerapkan sebagai peraturan pangan nasional,misalnya BMR atau level maksimum kontaminan/bahan tambahan pangan . Hal ini belum tentu sesuaidengan situasi di Indonesia, karena pola konsumsipenduduk Indonesia dapat berbeda, sehinggaperaturan dalam Codex belum tentu cocok . Untukmembuat suatu standar keamanan pangan, suatukajian risiko sangat diperlukan dengan dukunganprogram surveilan yang handal. Keamanan panganmerupakan bagian yang seharusnya tak terpisahkandari program ketahanan pangan. Sayangnya banyakprogram ketahanan pangan yang tersedia saatini masih menitikberatkan masalah ketersediaan,stabilitas, keterjangkauan dan penggunaanpangan, serta belum banyak mengkaitkan programkeamanan pangan kedalam program ketahananpangan nasional .

Secara singkat dapat disimpulkan bahwasebenarnya tidak diketahui tingkat keamananhewani di Indonesia. Informasi yang mungkintersedia adalah apakah produk pangan hewanimemenuhi syarat yang telah ditentukan olehperaturan . Informasi inipun juga masih terbatasserta sangat sulit diakses oleh publik. Tujuan tulisanini adalah untuk mendiskusikan masalah keamananpangan hewani dan situasinya di Indonesia termasuktantangan untuk menggalang kerjasama dalamkajian risiko agar dapat digunakan oleh pemegangkebijakan dalam mengelola progam keamananpangan di Indonesia .

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

SISTEM KEAMANAN PANGAN DANAPLIKASINYA DI INDONESIA

Ada tiga generasi sistem keamanan panganyang telah dikembangkan dan diterima secaraglobal selama ini yaitu (i) praktek higiene yangbaik, (ii) HACCP (Hazard analysis and criticalcontrol points) yang mengidentifikasi danmengendalian bahaya secara proaktif, serta (iii)analisis risiko yang memfokuskan konsekuensiyang akan timbul akibat praktek dan konsumsibahan berbahaya (kimia, biologis dan fisika) dalampangan disepanjang rantai pangan . Ketiga generasisistem keamanan pangan ini telah terintegrasi dalamperaturan/regulasi keamanan pangan dunia .

Sistem keamanan pangan tradisional

Sistem keamanan pangan tradisional umumnyamasih tergolong dalam sistem keamanan pangangenerasi satu yang didasarkan pada metodejaminan keamanan pangan dengan dua macamtindakan, yaitu : (1) tindakan yang dilakukanselama pemerolehan bahan baku, penanganan,pengolahan, transportasi, dan distribusi, termasukdisain, tata letak, dan pembersihan tempat untukmencegah kontaminasi; dan (2) tindakan yangdilakukan untuk memastikan bahwa panganyang diproduksi benar-benar aman dikonsumsi .Langkah yang pertama biasanya diuraikan dalampedoman, misalnya Cara produksi pangan yangbaik (GMP) dan/atau Praktek higiene yang Baik.Untuk tindakan yang kedua, produsen/industripangan menguji produk akhir untuk memastikankeamanannya. Petugas inspeksi yang berwenangmemfokuskan pengamatan fisik, seperti kebersihantempat, petugas yang menangani pangan, kesehatanlingkungan dan tidak mengidentifikasi kekuranganyang berkaitan dengan proses produksi . Metodejaminan keamanan pangan dan pengawasan panganyang tradisional ini memiliki sejumlah kelemahan .Pengawasan tempat didasarkan pada inspeksi acakdan bukan pada apa yang terjadi selama selangwaktu sebelum atau setelah inspeksi . Pengujianproduk akhir yang dilakukan industri atau pengawaspangan juga terbukti mahal dan memakan waktunamun tidak cukup memberikan jaminan keamananpangan secara memadai. Sebagian besar negara

berkembang telah memiliki semacam sistempengawasan pangan yang baik, biasanya didasarkanpada higiene dan inspeksi (MoNT.a MI, 2002 ; CAC,2003a ; dan FAO, 2006) . Namun perlu dicatat bahwaIndonesia belum sepenuhnya menerapkannya .Setiap pangan misalnya harus mempunyai GAP(Good agricultural practices) dan GMP (Goodmanufacturingpractices) tersendiri dan di Indonesiahal inibelum sepenuhnyatersedia . Petugas inspekturpangan juga tidak memadai dalam jumlah maupunkualifikasi yang dibutuhkan .

Dengan keterbatasan pendekatan secaratradisional di atas, petugas berwenang dalamkesehatan masyarakat/pengawas pangan danindustri pangan perlu menerapkan suatu pendekatanjaminan keamanan pangan yang lebih bersifatpencegahan, ilmiah, dan hemat, yaitu sistemHACCP.

Analisis bahaya dan titik-titik kendali kritis

HACCP adalah singkatan dari Hazard analysiscritical control points, yang berarti pendekatansistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi,dan mengendalikan bahaya yang penting untukkeamanan pangan . Hal ini berarti HACCP adalahalat mengkaji bahaya dan mengembangkan sistempengendalian dimana keterlibatan pekerja di jalurproduksi hingga manajer bekerja secara interaktif .Fokusnya adalah pencegahan masalah yang terjadi .Aplikasi sistem HACCP dapat lebih memperkuatkeamanan pangan dengan menyediakan suatumekanisme untuk menganalisis bahaya pada setiappangan atau tahapan proses, mengembangkanrencana yang sesuai untuk menjamin keamananpangan dengan penekanan pada pengendalian titik-titik kritis (CCPs), dan memastikan bahwa bataskritis pada titik-titik tersebut ini diketahui, dansebagai hasilnya tingkat jaminan keamanan panganmeningkat .

HACCP dapat diimplementasikan disepanjang rantai pangan sejak produksi primerhingga konsumsi akhir. Sistem HACCP dapatmengakomodasi perubahan, seperti perubahanatau kemajuan dalam hal disain alat, konstruksibangunan, prosedur proses atau pengembanganteknologi. Selain meningkatkan keamanan pangan,implementasi HACCP dapat memberi keuntungan

57

signifikan, seperti membantu inspeksi oleh petugasberwenang terhadap titik-titik kritis yang jikatidak dikendalikan akan menimbulkan dampakyang buruk terhadap kesehatan . Sehingga hal iniakan mempermudah pekerjaan inspektur panganwalaupun dengan sumberdaya yang mungkinterbatas (MoNT.vziEMi, 2002; CAC, 2003a; CAC,2003b ; dan FAO, 2006) .

Seperti halnya GMP, HACCP umumnya masihbersifat sukarela di Indonesia, kecuali untukproduk pangan berisiko tinggi dan untuk keperluanekspor pangan tertentu misalnya produk perikanan .Industri pangan di Indonesia umumnya masih sulitmenerapkan HACCP, karena prasyarat penerapanHACCP banyak yang belum terpenuhi .

Analisis risiko

Salah satu fungsi penting pemerintah adalahmelindungi kesehatan masyarakat dengan menjaminpasokan pangan yang aman dan bergizi bagimasyarakat . Hal ini bukanlah perkara mudah, karenauntuk pengembangan dan implementasi sistempengawasan harus memenuhi persyaratan keamananpangan. Jelas sekali bahwa pangan yang beredarharus dalam level aman, tapi kondisi sepanjangrantai pangan, misalnya mutu dan keamananbahan pangan, pengolahan, kebiasaan makan, dankonsumen mungkin berbeda . Oleh karena itulahanalisis risiko diperkenalkan sebagai alat untukmengatasi kerumitan atas perbedaan tersebut .Konsepnya memang masih terus dikembangkan,tapi sementara ini direkomendasikan oleh WHOdan FAO untuk digunakan oleh Pemerintah dalammenghadapi isu keamanan pangan, memprioritaskanprogram keamanan pangan, dan untuk menciptakankebijakan yang lebih terbuka untuk komunikasidengan stakeholder (FORSYTHE, 2002 ; FAO-ICD-WHO, 2006) .

Analisis risiko menggambarkan suatu prosespengambilan keputusan terstruktur dengan tigakomponen berbeda tetapi berkaitan erat, yaitu(i) manajemen risiko, (ii) kajian risiko, dan (iii)komunikasi risiko (Gambar 1) . Tiga komponenutama analisis risiko seperti didefinisikan olehCodex adalah sebagai berikut . Kajian risiko

5 8

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

adalah suatu proses ilmiah yang terdiri darilangkah-langkah berikut : i) identifikasi bahaya ;ii) karakterisasi bahaya ; iii) kajian paparan; andiv) karakterisasi risiko . Manajemen risiko adalahproses yang terpisah dari kajian risiko yang meliputipembuatan kebijakan dengan mempertimbangkanalternatif kebijakan melalui konsultasi denganpihak-pihak terkait, mengenai kajian risikodan faktor lain yang relevan untuk melindungikesehatan konsumen dan mempromosikan praktekperdagangan yang adil, dan, jika dibutuhkan,memilih opsi pencegahan dan pengendalian yangsesuai untuk menanggulangi risiko . Komunikasirisiko adalah pertukaran informasi dan opini secarainteraktif dalam pelaksanaan proses analisis risikomengenai risiko, faktor yang berkaitan denganrisiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji risiko,manajer risiko, konsumen, industri, akademisi, danpihak yang tertarik lainnya, termasuk penjelasantentang temuan-temuan dalam kajian risiko danlandasan keputusan manajemen risiko . Fakta-faktakomunikasi risiko yang penting adalah sebagaiberikut: (i) selalu ada dalam proses analisis risiko ;(ii) semua stakeholder terlibat dalam prosesmi; (iii) memberikan landasan yang baik untukmemahami dan mengimplementasikan keputusanmanajemen risiko ; (iv) mengerti persepsimasyarakat akan risiko ; (v) memberikan informasiakurat pada saat yang tepat ; dan (vi) komunikasitidak hanya mengkomunikasikan risiko, namunmerupakan suatu proses selama krisis dan untukmenginformasikan keputusan manajemen .

Ketiga komponen tersebut sangat penting,sebagai bagian yang saling melengkapi padakeseluruhan disiplin . Walaupun gambar tersebutmenunjukkan ketiga komponen sebagai bagianyang terpisah, pada kenyataannya mereka sangatterintegrasi. Dalam proses analisis risiko keamananpangan yang khas, hampir seluruh interaksidiantara manajer risiko dan pengkaji risiko terjaditerus menerus di dalam suatu lingkungan yangdigolongkan dengan komunikasi risiko . Analisisrisiko akan efektif ketika ketiga komponen tersebutterintegrasi dan terkoodinasi dengan baik olehmanajer risiko .

Seminar Nasional Hari Pangan SeduniaXXVIIDukungan Teknologi UntukMeningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

Gambar 1 . Kerangka analisis risiko komunikasi risikokajian risiko manajemen risiko

Di Indonesia konsep penerapaan analisis risikotelah dibuat dengan adanya Sistem keamananterpadu (SKPT) dan telah dicanangkan oleh MenkoKesra Indonesia pada 13 Mei 2004 . Namun aplikasidari sistem ini belum terlaksana dengan sepenuhnya .Pelaksanaan program keamanan pangan masihbanyak yang belum terintegrasi . Ada tiga jejaringyang dikembangkan dalam SKPT ini yaitu Jejaringintelijen pangan (J1P) yang didasarkan konsepkajian risiko; Jejaring pengawasan pangan (JPP)yang didasarkan manajemen risiko ; serta Jejaringpromosi keamanan pangan (JPKP) yang didasarkanprinsip komunikasi risiko (Gambar 2) . SKPTdidesain agar mampu memperbaiki komunikasiantar stakeholder, membagi pengetahuan danmeningkatkan keamanan pangan di tingkat lokal,regional dan nasional. Tiga program yang terdiridari program Food watch, Piagam bintang, danRespon cepat, dikembangkan untuk mensinergiskandan memfokuskan aktivitas keamanan pangan danmengimplementasikan kebijakan pada tingkatnasional, provinsi, dan lokal . Program Foodwatch adalah program monitoring pangan tingkatnasional . Program Piagam Bintang terdiri dari tigatingkatan piagam bintang keamanan pangan secarasukarela yang mempromosikan pelatihan dari lahanpertanian sampai siap dikonsumsi . Program responcepat merupakan program yang memungkinkankomunikasi efektif selama krisis nasional (BPOM-AGAL, 2002) .

Secara umum, kajian risiko yang dilakukan olehlembaga yang berwenang dalam keamanan pangandi Indonesia, misalnya Departemen Pertanian,Departemen Kesehatan, Badan POM, DepartemenPerdagangan, Departemen Perindustrian dan

Pemerintah Daerah masih terbatas pada identifikasibahaya tanpa memperhatikan karakteristik bahaya,kajian paparan dan karakteristik risiko, sehinggasulit mengelola risiko tersebut dan komunikasi antarstakeholder masih terbatas dan lemah . Berbagaiprogram pilot telah dikembangkan oleh Badan POMdalam program kajian risiko dan sebenarnya sudahsiap untuk diterapkan pada skala lebih luas yangmembutuhkan komitmen pemerintah (SPARRINGA,

2004 ; SPARRINGA dan FARIMAZ, 2004; SPARRINGA

dan RAHAYU, 2005 ; RAHAYU dan SPARRINGA, 2006 ;SPARRINGA dan RAHAYU, 2006; WHO, 2006; sertaSPARRINGA dan FARDIAZ, 2007) .

Gambar 2 . Sistem keamanan pangan terpadu Indonesia(BPOM-AGAL, 2002)

KEAMANAN PRODUK PANGAN HEWANIINDONESIA

Indonesia berupaya terus memperkuatprogram keamanan pangannya. Namun hal inisulit diwujudkan jika tidak diketahui situasikeamanan pangan yang terukur. Untuk mengetahuikeberhasilan program keamanan pangan disetiapnegara harus diketahui baseline indikator keamananpangannya dan terus dipantau perkembangannya .Apakah prioritas kemanan pangan hewani saat ini diIndonesia? Maka harus dijawab secara jujur bahwaIndonesia belum mengetahui prioritas keamananpangan yang semestinya, karena tidak tersedianyainstrumen yang memadai dalam mendukungkeputusan pelaksanaan pengawasan pangannya .

Informasi yang tersedia saat ini adalahidentifikasi bahaya beberapa agensia yang

59

diduga sering mengkontaminasi pangan ataupenyalah-gunaan bahan tambahan ilegal, misalnyapenambahan formalin pada karkas ayam, pewarnatekstil untuk kerang dan sebagainya . Prioritasprogram keamanan pangan di Indonesia harusdidasarkan kajian risiko dan informasi kelayakanterkait yang disesuaikan dengan kondisi sumberdaya, teknis, sosial, keresahan masyarakat dansebagainya .

Berikut ini akan dipaparkan beberapa datakeamanan pangan hewani yang terkait denganmasalah kesehatan manusia berdasarkan datakejadian luar biasa (KLB) yang diduga panganhewani sebagai penyebabnya . Data hasil monitoringproduk perikanan, peternakan serta produkolahannya juga disajikan dibawah ini .

Kejadian luar biasa keracunan pangan

Dari hasil analisis KLB (Kejadian Luar Biasa)Keracunan Pangan di Indonesia yang dilaporkanBadan POM dari tahun 2003 hingga 2007*, ternyatapangan hewani yang diduga sering menyebabkanKLB adalah produk perikanan dan kelautan .Tercatat sebanyak 66 KLB (52.4%) disebabkanoleh produk perikanan dan kelautan dari 126 KLByang diduga karena pangan hewani. Sedangkanpangan hewani lain yang diduga sebagai penyebabKLB adalah daging unggas (19.1 %), susu (19.1 %),daging sapi (7.1%), dan telur (2.38%). Total KLByang dilaporkan pada kurun waktu 2003 hingga2006 sebanyak 541 KLB dan hanya berkisar24-36% saja yang dapat diduga penyebabnya,sedangkan sisanya tidak diketahui karena sampeltidak tersedia/ habis dan tidak layak uji. Daridugaan yang ada ternyata hanya sebagian kecil yangterkonfirmasi penyebabnya (sekitar 5%) . Histaminpada ikan tuna/tongkol dan tetradotoksin pada ikanbuntal terkonfirmasi sebagai penyebab utama KLByang disebabkan oleh produk ikan. Sedangkanproduk hewani lainnya diduga disebabkan olehStaphylococcus aureus, Salmonella, Bacillus cereusdan Escherichia coli patogen . Lokasi keracunan inibanyak terjadi pada sekolah dan rumah pribadi .Sedangkan pangan tersebut terutama dalam kategoripangan rumah tangga dan jasa boga .

Angka KLB yang dilaporkan sebenarnya masih

60

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

jauh dari angka sebenarnya . Sehingga besarnyamasalah sebenarnya tidak diketahui sehinggamasalah kesehatan yang sebenarnya terabaikandan konsekuensi ekonomi dianggap tidak terlalupenting .

Keamanan produk perikanan

Departemen Kelautan dan Perikanan terusberbenah untuk memperbaiki sistem pemantauankontaminan dan residu antibiotik pada budidayaperikanan terutama untuk tujuan ekspor . SayangnyaIndonesia masih diskriminatif dan belum banyakmemantau tingkat keamanan produk perikananuntuk pasar lokal . Saat ini yang menjadi perhatianPemerintah Indonesia antara lain untuk memenuhipersyaratan pasar luar negeri . Misalnya untuk UniEropa dilakukan pemantauan chloramphenicol,nitrofurans dan derifatnya, antibakteri (sulfadiazine,sulfamerazine, sulfanilamide and oxytetra-cycline), malachite green, leuco-malachite green,logam berat (Hg, Cd, Pb), hormon dan senyawaorganochlorine terutama untuk udang dan sebagiankecil untuk nila, milkfish, dan catfish. Pemantauanini dilaksanakan oleh National centre for qualitycontrol Jakarta yang didukung oleh 10 laboratoriumprovinsi dan empat Unit Pelayan Teknis dibawahDirjen Perikanan Budidaya (DKP, 2007) .

Uni Eropa melalui RASFF (Rapid alert systemfor food andfeed) mengeluarkan notifikasi terhadapproduk perikanan Indonesia yang diekspor kepasar eropa. Dalam tahun 2004-2007 ada beberapaproduk perikanan yang disebut antara lain udang,catfish, chanus, chanos, eel, milkfish, tilapia, tuna,swordfish, tuna, cuttlefish, lobster, shark, butterfish,marlin, goa fish, lobster tails untuk beberapamasalah keamanan pangan, misalnya veterinarydrugs, histamin, logam berat, CO, organochlorinedan mikrobiologi . Untuk mikrobiologi mencakupangka lempeng total, Salmonella sp, Vibrioparahaemolyticus, Vibrio cholerae, Plesiomonasdan Shigelloides .

Kewaspadaan produk perikanan global saat ini,terutama di negara maju adalah terhadap toksindan patogen yang berasal pada air yang tercemaroleh agensia biologis misalnya feses dan polutanindustri . Beberapa patogen yang sering dilaporkan

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

adalah Vibrio spp, Listeria spp, Salmonella spp,Aeromonas spp, dan Clostridia spp . Namun' jugadilaporkan produk perikanan dapat tercemarmikroba yang sering mengkontaminasi unggasmisalnya Campylobacter jejuni . Virus yang dapatdipindahkan melalui pangan banyak dilaporkanmengkontaminasi beberapa produk perikanan,khususnya kerang-kerangan . Virus Norwalkbanyak dilaporkan menyebabkan KLB serta tiramdan remis sering dilaporkan sebagai penyebabnya .Beberapa bakteri, protozoa, virus, helminthes danbiotoksin banyak berkontribusi pada penyakit-penyakit manusia yang dihantarkan oleh panganbasil laut. Cemaran pestisida, logam berat,- sertaresidu antimikrobalantibiotika juga menjadiperhatian dunia perikanan saat ini (LEVINE, 2003) .

Keamanan produk peternakan

Fokus utama pengawasan keamanan panganoleh Direktorat Jenderal Peternakan terhadapproduk hewani adalah cemaran mikroba Escherichiacoli, coliform, Salmonella, Staphylococcus aureusdan angka lempeng total (ALT) . Sedangkanresidu antibiotika yang dipantau adalah penisilin,tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida, dan sulfa .Dari basil monitoring yang dilakukan Tahun 2007oleh delapan UPT Pusat dari Ditjen Peternakanmenunjukkan bahwa umumnya produk hewanitergolong TMS yaitu ALT (88%), E. coli (16%),coliform (12%), S. aureus (7%), dan TMS dibawah0,5% untuk penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida,dan makrolida .

Diluar Program monitoring dan Surveilansresidu dan cemaran mikroba di atas, DepartemenPertanian juga melakukan pengawasan penggunaanbahan kimia berbahaya formalin dan yellowmethylen pada daging ayam; peroksida padasusu segar ; p er untuk mengeringkan permukaandaging glonggongan yang sangat basah. Jugabeberapa kali ditemukan kasus kasus pemalsuanseperti pemalsuan dengan daging celeng, ayamsuntik, sapi glonggongan, ayam liren yang banyakdilaporkan oleh Dinas Petemakan/laboratoriumdaerah maupun di media massa dan belum tersediadata resminya .

Identifikasi masalah keamanan pangan hewaniglobal yang acap kali dilaporkan saat ini sebagianbesar merupakan foordborne zoonoses dan sebagianadalah akibat kontaminasi silang dari pekerja ataulingkungan Patogen-patogen berikut teridentifikasisebagai agensia biologis berbahaya dan perlumendapat perhatian (MCCLURE, 2000), namun harusdisesuaikan dengan informasi epidemiologi di negarabersangkutan . Patogen-patogen tersebut antaralain Salmonella Typhimurium, S. Typhimurium, S.Enteritidis, S. Heidelberg, S. Typhi; E. coli (EPEC),E. Coli (ETEC), E. coli (EIEC), E. coli (EHEC) ;Campylobacter jejuni; Yersinia enterocolitica ;Staphylococcus aureus; Listeria monocytogenes ;Clostridium perfringens ; Clostridium botulinum,Brucella melitensis, Bacillus anthracis ; B.Cereus ; Corynebacterium pseudotuberculosis ;Mycobacterium paratuber-culosis dan Pasteurellaspp. Parasityangmendapat perhatian adalah Giardiaduodenalis and G. Lamblia; Cryptosporidiumparvum; Toxoplasma gondii; Trichinella spirali;Cyclospora spp.dan Echinococcus granulosus.Transmissible spongiform encephalopathies (TSEs)yang terkait dengan sapi gila, bovine spongiformencephalopathy (BSE) dan Creutzfeldt-Jakobdisease (vCJD) manjadi isu sentral di negara yangterkena masalah ini, khususnya Inggris .

Untuk susu sapi yang sering dilaporkan akhir-akhir ini oleh Food safety network Canada sebagaipenyebab KLB keracunan global disebabkan olehCampylobacter jejuni, Cryptosporidium parvum,Salmonella (non typhoid), E coli 0157, dan Listeriamono-cytogenes . Sedangkan agensia biologisyang pernah terdokumentasi sebagai penyebabkearacunan susu pada tingkat global adalahBacillus cereus, Brucella spp, Campylobacterjejuni, Escherichia EHEC/verotoxin producing Ecoli (VTEC), Listeria monocytogenes, Salmonella(non typhoid), Shigella dysenteriae, S flexneri,S boydii, S. Sonnei, Staphylococcus aureus,Salmonella typhi, S . paratphi types A-C, Yersiniaenterocolitica, Poliovirus, Cryptospo-ridiumparvum dan Toxoplasma gondii (WHO, 2000) .

Asosiasi industri telur Australia mengeluar-kan pedoman untuk memperkuat biosekuritipada industri telur (AUSTRALIAN EGG INDUSTRY

ASSOCIATION . 2001) . Bahaya potensial telur unggas

6 1

yang perlu dipertimbangkan di Australia antaralain Virulent newcastle disease (ND) Virus ; AvianInfluenza (AI) Virus; Very virulent infectiousbursal disease (VV IBD) Virus ; infectiouslaryngotracheitis virus (ILT); Mareks disease(MD) Virus ; Pasteurella multocida, penyebabFowl cholera (FC) dan Salmonella pullorum (SP)/S . Enteritidis (SE) . Walaupun sedikit disinggungkemungkinan penyebaran Virus Flu Burung H5N1melalui pangan, sebaiknya tidak mengesampingkansama sekali kemungkinan bahwa pangan dapatmenyebarkan virus flu burung. Kenapa demikian?Alasan pertama adalah Virus H5N 1 dapat menyebarpada seluruh tubuh unggas terinfeksi termasukdaging dan dapat mengkontaminasi bagian dalamdan luar telur unggas . Menurut penelitian, virus inidalam kotoran unggas dapat bertahan pada suhurendah (4 °C) selama 35 hari atau pada suhu 37°Cselama 6 hari (INFOSAN, 2005) . Sehingga pemasarandan distribusi daging yang terkontaminasi denganpenyimpanan suhu beku dan lemari es tidakmenurunkan viabilitas virus secara signifikan .Alasan kedua, belajar dari pengalaman yang adabahwa banyak kasus penyakit yang disebarkanmelalui pangan disebabkan oleh kontaminasi silang .Patogen seperti Virus H5N1 akan mati pada suhu70°C dan masyarakat aman mengkonsumsi dagingayam tersebut, asalkan tidak terjadi kontaminasisilang.

Keamanan pangan olahan yang berasal daripangan hewani

Badan POM secara berkala juga melakukaninspeksi dan pemantauan keamanan pangan dangizi khususnya produk olahan pada jalur produksimaupun distribusi . Hasil pemantauan produkpangan olahan hewani sepanjang 2006, masihbanyak yang tidak memenuhi syarat (TMS) antaralain bakso sebanyak 47,4% (boraks, formalin, angkalempeng total/ALT), Staphylococcus aureus dankoliform); abon 46,7% (kadar protein) ; dendeng31,6% (koliform) ; sosis 29.9% (ALT, enterococci) ;nuget 34% (ALT) ; beef burger 15,2% (formalin danALT) . Bakso termasuk produk olahan yang seringTMS, baik pada pemantauan rutin yang bersifat

62

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi UnlukMeningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

cross section, serial survey, maupun survei khususpada pangan jajanan anak sekolah . Hasil surveibakso pada jajanan anak sekolah menunjukkanhasil mirip yaitu 47.9% TMS (227 TMS dari 474sampel yang diuji) .

Badan POM rata-rata melakukan analisis30.000 sampel pangan/tahun. Umumnya untuk ujiterhadap bahan tambahan pangan, bahan tambahanilegal pada pangan olahan . Data kontaminan masihsangat terbatas, sedangkan lembaga lain umumnyamelaksanakan inspeksi dan monitoring pada pangannon olahan secara terfragmentasi dengan jumlahsangat terbatas, karena rendahnya inspektur panganyang ada serta ketersediaan sumber dayanya .

Dari beberapa diskusi, seminar dan lokakarya,nampaknya kegiatan surveilan belum terintegrasidengan kegiatan monitoring pangan di semualembaga yang berwenang dalam keamananpangan . Monitoring pangan masih mengutamakankesesuaian peraturan (compliance) yang umumnyaberupadatakualitatifdan belum mempertimbangkankerangka sampel agar mewakili populasi yangdikaji . Data yang terkumpul kurang dianalisis dantidak banyak berarti untuk kajian risiko (SINTAWATIE,2006) . Badan POM saat ini telah mengupayakanpenarikan sampel yang mempertimbangkankerangka sampelnya . Umumnya Indonesia jugabelum mengikuti pedoman yang disarankan olehWHO dalam memantau kontaminan yang menjadiprioritas kesehatan masyarakat secara global(SPARRINGA dan RAIAYU, 2006) .

Kontaminan utama yang harus dipantau dandikaji risikonya

WHO melalui program GEMS/Food(environmental monitoring system/Foodcontamination monitoring and assessmentprogramme) merekomendasikan program Totaldiet study (TDS) yang sangat berguna bagi kajianrisiko keamanan pangan dan gizi di setiap negara .Beberapa kontaminan yang dianjurkan untuk dikajidalam pangan hewani dan produknya yang terteradalam daftar kontaminan utama untuk dimonitoradalah aldrin, dieldrin, DDT (p,p'- and op'-), TDE(p,p'-), DDE (pp'- and p, o'-), endosulfan (a, b andsulfate), endrin, hexachlorocyclohexane (a and 13

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

and y), hexachlorobenzene, heptachlor, heptachlorepoxide dan polychlorinated biphenyls untuksusu, butter, lemak dan minyak yang berasal darihewan, Min, serta air susu ibu. Logam berat timbaluntuk susu, daging dalam kaleng maupun dagingsegar ; Cadmium untuk ginjal, moluska, udang-udangan; serta merkuri untuk ikan (WHO, 2002).Sedangkan WHO (2006) menambahkan persistentorganic pollutants (POP) seperti PCBs, dioksin dandibenzofurans ; logam berat beracun seperti Cr; danbahan kimia spesifik seperti senyawa organotin,methylmercury, nitrate, nitrite dan nitrosaminesperlu diikursertakan . Zat gizi yangjuga dianjurkandalam kajian ini adalah vitamin, mineral dan asamlemak esensial .

Indonesia saat ini sedang mempersiapakanpelaksanaan TDS. Departemen Kesehatan sedangmempersiapkan pelaksanaannya dengan dukunganstakeholders, seperti Badan POM, DepartemenPertanian serta Departemen Kelautan dan Pertanian .Selama ini Badan POM telah melakukan kajianpilot TDS termasuk survei konsumsi individu untukkepentingan TDS (SPARRiNGA, 2004 ; SPARRINGA danRAHAYU, 2006) .

Makna data monitoring pangan hewani

Bermaknakah data yang Indonesia milikiselama ini? Tentu saja data inspeksi dan monitoringyang selama ini dilakukan oleh Pemerintah sangatbermanfaat. Kelemahannyaadalah program inspeksidan monitoring merupakan program rutin yangkurang dianalisis untuk tindak lanjut/intervensinya .Informasi ini bisa diteruskan untuk perencanaanprogram surveilan yang dapat digunakan untukkajian risiko . WHO telah memberikan pedomanuntuk memantau bahan-bahan berbahaya prioritasdalam pangan hewani tertentu (WHO, 2002dan 2006) . Keluaran dari kajian risiko ini dapatdigunakan untuk merumuskan kebijakan keamananpangan, program gizi, standar dan regulasi, sertaIndonesia dapat ikut aktif berkontribusi dalammenentukan standar Codex yang menguntungkanposisi Indonesia untuk kepentingan kesehatanmasyarakat serta perdagangan global .

Dari hasil studi kasus kajian risiko Salmonella

pada produk unggas dan hibrio parahaemolyticuspada udang di Indonesia dan beberapa negaraASEAN atas kerjasama Australia dan ASEANmenunjukkan bahwa banyaknya data yang tidaktersedia, misalnya data konsumsi, data kasus atauKLB yang berhubungan dengan kedua penyakit,informasi jalur pengolahan dan produksi produkpangan tersebut, pertumbuhan patogen selamapenyimpanan, pengolahan dan penanganan, sifatdari produk pangan tersebut, prevalensi dan levelkontaminan sepanjang rantai pangan (MURTMINGSIH,2007) .

BAGAIMANA MELAKUKANPENGAWASAN YANG EFEKTIF?

Dalam upaya pengawasan keamanan panganyang efektif, Indonesia yang dimotori oleh BadanPOM dan beberapa stakeholder telah mengadopsipedoman yang dikeluarkan oleh FAO-WHO, (2003) .Lima komponen penting dalam panduan ini adalahpembenahan: (i) regulasi pangan, (ii) manajemenpengawasan pangan ; (iii) pelayananan inspeksi ;(iv) pelayanan laboratorium untuk memperolehdata pemantauan pangan dan epidemiologi ; serta(v) program informasi, edukasi, komunikasi danpelatihan. Beberapa regulasi utama telah tersediadi Indonesia antara lain Undang-Undang No. 7/1996 tentang Pangan, PP. No. 69/1999 tentangLabel dan Man Pangan, PP. No. 28/2004 tentangKeamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Sedangkandalam manajemen pengawasan pangan, Indonesiamenganut pengawasan yang terintegrasi sepertiyang tertuang dalam SKPT (BPoM-AGAL, 2002) yangkemudian dicanangkan oleh Menko Kesra pada13 Mei 2004. Bagaimana meng-implemantasikanregulasi dan SKPT ini merupakan tantangan,termasuk meng-integrasikan kegiatan rutininspeksi Jan pelayanan laboratorium pada lintassektoral, serta peningkatan kapasitas SDM melaluiinformasi, edukasi, komunikasi dan pelatihan yangterencana .

Setiap institusi pengawasan pangan haresmempunyai program inspeksi, monitoring dansurveilan yang terintegrasi dengan baik . Inspeksidifokuskan pada pengamatan visual terhadap

63

64

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

produk yang dicurigai. Inspektur pangan akanmenyimpulkan produk yang memenuhi syarat(MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) sesuaidengan .peraturan yang berlaku dengan metodeinspeksi atribut. Jika TMS, maka dapat dilanjutkanpada kegiatan monitoring dengan metode inspeksivariabel. Jika hasilnya tidak sesuai dengan kaidahkeamanan pangan/peraturan keamanan panganyang

Gam bar 3 . Denah Alur Kegiatan Surveilan .

Abn orn1l(t~tttlt.'f.r,h7!/lilk"

t49i1~t1

1.

0

ada, maka dilakukan intervensi berupa kebijakankeamanan pangan . Untuk mengetahui efektivitasintervensi ini perlu dilakukan kegiatan monitoringlagi . Monitoring yang berulang ini disebut kegiatansurveilan (Gambar 3) . Surveilan adalah kegiatanpengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasidata untuk disebarkan pada pihak terkait agar dapatditindaklanjuti (SPARRINGA, 2002) .

I

Abnormal(una p&t#e)

I

st(ftvn

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

PERANAN RISET DALAM KAMAN RISIKOKEAMANAN PANGAN

Monitoring produk pangan hewani secaraefektif memerlukan pendekatan multi disiplindengan partisipasi stakeholder disepanjang rantaipangan . Data monitoring pangan hewani ini haresterintegrasi pula dengan data penyakit yang dideritamanusia. Untuk memfasilitasi komunikasi dankoordinasi ini diperlukan suatu jejaring . Jejaringyang telah berdiri adalah Jejaring Intelijen Pangan .Jejaring ini merupakan sistem komunikasi yangdidesain untuk para profesional dalam kajian risikokeamanan pangan, dan menjadi sarana untuk salingberbagi keahlian dan pengalaman kerja. Dengansalingmembagi informasi dan pengetahuan, anggotaJIP dapat meng-alokasikan sumber daya yangmereka miliki untuk bersama-sama menyelesaikanper-masalahan keamanan pangan yang terjadi disepanjang rantai pangan (BPOM-AGAL, 2002) .Hingga saat ini kegiatan yang dilakukan JIP adalahmelaksanakan lokakarya berkala dua hingga empatkali dalam setahun, pertemuan teknis, pembuatandirektori keamanan pangan, gagasan riset bersama,penyebaran informasi keamanan pangan global,misalnya newsletter dari International Food SafetyAuthority Network (Infosan, 2005) .

JIP sebaiknya dilengkapi dengan Komite KajianRisiko Nasional (SPARRINGA, 2007) . Data surveilanpada setiap tahapan penting dalam rantai pangan,baik data yang terkait pada kasus penyakit yangdiderita manusia maupun pada pangannya sendiriharus secara terus menerus dikumpulkan, dianalisisdan dievaluasi kecenderungan dan sumbercemarannya . Kerangka kerja yang sistematis yangmelibatkan unit surveilan yang multidisiplin antaralain microbiologist, epidemiologist, veterinarian,food scientist, food toxicologist diperlukan untukmenganalisis data dan umpan baliknya . Lembagariset yang melibatkan multidisiplin keilmuan sangatdiperlukan, terutama untuk melakukan interpretasidata yang sangat kompleks . Komite kajian risikonasional hares tersedia untuk mengkoordinasikanpelaksanaan kajian risiko yang didukung lintas unitsurveilan dan beberapa lembaga penelitian terkaitlainnya (Gambar 4) .

r Sumeitan

Man*man Risiko

Riset

Komtte Kajian isikwNas4CnaI

Gam bar 4 . Rekomendasi jejaring kajian risiko nasional(SPARRINGA, 2007)

Untuk memulai Program Komite Kajian RisikoKeamanan Pangan Nasional ini, diperlukan suatuGugus Tugas kecil yang akan melaksanakan tugassebagai berikut:

1 . Mengidentifikasi masalah keamanan pangandi Indonesia .

2 . Mengidentifikasi lembaga/unit surveilanyang terkait dengan masalah keamananpangan tersebut .

3 . Mengidentifikasi perguruan tinggi/ lembagapenelitian yang punya kapasitas melakukanpenelitian dalam bidang masalah keamananpangan tersebut .

4 . Mengidentifikasi pusat-pusat keung-gulan/centre of excellence dalam masalahkeamanan pangan tersebut (surveillan danriset) .

5 . Menggalang kerjasama sinergis antar pusat-pusat keunggulan tersebut .

6 . Mempersiapkan Kerangka Kerja LogisJejaring Kajian Risiko Keamanan PanganIndonesia.

7 . Melakukan advokasi kepada pemegangkebijakan dalam penguatan jejaring(pengembangan kapasitas laboratorium,SDM, dana penelitian/surveilan/kajianrisiko) .

8 . Melaksanakan agenda jejaring kajian risikokeamanan pangan di Indonesia secarakonsisten .

Komite Kajian Risiko Nasional SurveilanManajemen Risiko Riset .

Kementerian Negara Riset dan Teknologi(Kemmeneg Ristek) diharapkan dapat memperkuatjejaring kajian risiko keamanan pangan diIndonesia, terutama dalam mengkoordinasikankebijakan riset keamanan pangan termasuk

I

65

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

pemberian insentf penelitian sesuai dengan topik

yang direkomendasikan oleh Komite Kajian RisikoNasional. Peranan lembaga riset dan perguruantinggi selain melakukan interpretasi data surveilanjuga dapat diarahkan pada pengembanganmetode deteksi identifikasi bahaya pada pangan,mengembangkan teknik/metode analisis, mengkajikeamanan mikrobiologis/kimia pangan dan lain-lain .

Tingkat keamanan pangan hewani di Indonesiasaat ini belum diketahui secara pasti. Informasiyang tersedia masih terbatas pada identifikasimasalah keamanan pangan yang datanya tersebar dilembaga/unit yang terkait dengan keamanan pangandalam rangka penegakan hukum atau memenuhipermintaan negara pengimpor. Data tersebuttidak dapat atau sangat kecil kontribusinya untukdimanfaatkan dalam kajian risiko. Tidak tersedianyaindikasi tingkat keamanan pangan hewani inimencerminkan masih buruknya pengelolaanprogram keamanan pangan nasional. Hal inimembuktikan pengabaian kebijakan keamananpangan yang berbasis risiko . Indonesia telahmemiliki konsep sistem keamanan pangan terpaduyang cukup baik, namun implementasinya masihjauh dari harapan . Untuk itu diharapkan SKPT terusdiperkuat, dikembangkan dan diimplementasi-kansecara konsisten dengan komitmen yang kuat dariseluruh stakeholder dan terkait dengan ProgramKetahanan Pangan di tingkat nasional, regional danlokal .

Jejaring kajian risiko nasional yang terintegrasisebaiknya segera diwujudkan . Jejaring inimemfasilitasipendayagunaanprogram surveilan danprogram riset yang terintegrasi untuk kepentingankajan risiko. Keluaran kajian risiko ini berupaestimasi risiko yang memerlukan pengelolaansecara holistik dari pemegang kebijakan keamananpangan di Indonesia . Saat ini peranan lembaga risetmasih sangat kecil bagi kepentingan kajian risiko diIndonesia . Sehingga diharapkan Kemenneg Ristekdapat berkontribusi untuk mengko-ordinasikan

kebijakan riset keamanan pangan yang mendukungprogam keamanan pangan dan pengkajian risikotermasuk pemberian insentif penelitian yang telahdirekomendasikan oleh Komite Kajian RisikoNasional. Lembaga riset termasuk perguruan tinggi

66

PENUTUP DAN SARAN

dalam hal ini dapat berkontribusi dalam melakukaninterpretasi data surveilan, pengembanganmetode deteksi identifikasi bahaya pada pangan,mengembang-kan teknik/metode analisis, danmengkaji keamanan mikrobiologis/kimia pangan .

DAFTAR PUSTAKA

AUSTRALIAN EGG INDUSTRY ASSOCIATION . 2001 . Codeof practice for biosecurity in the egg industry.Kensington : Rural Industries Research andDevelopment Corporation .

BPOM-AGAL. 2002. An Integrated Food SafetySystem- a model for Indonesia. An AusAid fundedGovernment Sector Linkages Programme . Jakarta :BPOM-AGAL .

CAC. 2003 8 . Food Hygiene Basic Text . CAC/RCP 1-1969, Rev. 4 2003 . Rome: CAC .

CAC. 2003b . Hazard Analysis and Critical Control PointSystem and Guidelines for its Application. In theAnnex II. CAC/RCP-1 1969, Rev 4 (2003) . Rome :FAO .

CAC. 2004. Codex Committee on pesticide residues .New Delhi : CAC .

DKP. 2007. Report of monitoring on residues inaquaculture products during the year of 2006 .Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries,Directorate General ofAquaculture .

FAO. 2006. FAO/WHO Guidance to governmentson the Application of HACCP in small and/orless-developed food businesses . FAO Food andNutrition Paper No. 86 . Rome: FAO .

FAO-ICD-WHO. 2006 . Microbiological risk assessment :Principles and concept . In FAO/IcD/WIlo. BasicAwareness Course on Microbiological RiskAssessment. Rome: FAO.

FAO-WHO. 2003. Assuring foodsafety and quality :Guidelines for strengthening national food controlsystems. Rome: FAO-WHO .

FORSYTHE, S .J . 2002 . The microbiological risk assessmentof food. Oxford : Blackwell Science Ltd .

INFOSAN . 2005 . Highly pathogenic H5NI avian influenzaoutbreaks in poultry and in humans : Food safetyimplications . INFOSAN Information Note No . 7/2005(Rev 1 . 5 Dec) - Avian Influenza . Geneva: WHO .

LEVINE, J .F. 2003. Aquaculture and pre-harvest foodsafety. In Microbial food safety in animal

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

agriculture . ToRRENCE, M .E. dan IsAAcsoN (eds) .Iowa: Blackwell Publishing Company .

MCCLURE, P.J . 2000 . Microbiological hazard identificationin the meat industry. In HACCP in the meatindustry. BRwoN, M (Ed) . Cambridge: WoodheadPublishing Ltd .

MoTARJEMi, Y. 2002. An introduction to the Hazardanalysis and critical control point (HACCP) systemand its application to fermented foods . In ADAMS,M.R. and NoUT, M.J.R. (eds) Fermentation andFood Safety. Maryland: An Aspen Publication .

MURT1NnvGSIH. 2007. Risk assessment programs tosupport improvements in food safety in the ASEANRegions. Lokakarya JIP: Pusat Kewaspadaan danPenanggulangan Keamanan Pangan Nasional,9 November 2007. Jakarta: Jejaring IntelijenPangan .

RAHAYU, W.P. and SPARRINGA, R.A. 2006. Exposureassessment of elementary school childen tobenzoate with total diet approach . Presented at 13 1hWorld Congress of Food Science and Technology.Nantes, France, 17-21 September 2006.

SINTAWATIE, I . 2006. Pengembangan database kontaminanpangan dan bahan tambahan pangan untuk kajianrisiko . Skripsi IPB Bogor .

SPARRINGA, R.A, and FARDwz, D . 2004. Exposureassessment in national dietary surveys : Maximizingthe data. Presented at 4'h ASEAN Food SafetyStandards Harmonization Workshop . Manila : ILSISEA .

SPARRINGA, R.A . 2002 . Pengantar surveilan keamananpangan dalam Surveilan keamanan pangan.RAHAYu et al . (eds) . Jakarta : Badan POM . p 1-27 .

SPARRnNGA, R .A. 2004. Country progress report : Pilotprograms and the preparation for national total dietsudy in Indonesia . Presented at 3 1 InternationalTDS Workshop, Paris 17-21 May 2004 . Paris :INRA-WHO.

SPARRINGA, R.A. 2007 . Kontribusi riset dalam penguatanjejaring kajian risiko keamanan pangan diIndonesia. Lokakarya JIP : Pusat Kewaspadaandan Penanggulangan Keamanan Pangan Nasional,9 November 2007 . Jakarta: Jejaring IntelijenPangan .

SPARK NGA, R.A. and FARDIAZ, D . 2007 . Using of exposureassessment data in food safety risk assessment.Presented at 61 ASEAN Food Safety StandardsHarmonization Workshop. Hanoi: ILSI SEA.

SPARRINGA, R.A. and RAHAYU, W.P. 2005. Exposureassessment of elementary school children tocyclamate and saccharin : a total diet study. The 9t°SEAN Food Conference 2005 . LIPI, Jakarta.

SPARRINGA, R .A. and RAHAYU, W.P. 2006. Foodcontamination monitoring programme andpreparation of total diet study in Indonesia .Presented at 4th International TDS Workshop,Beijing 23-27 October 2006. Beijing: WHO-Chinese CDC .

WHO. 2000. Foodborne disease : a focus for healtheducation. WHO: Geneva .

WHO. 2002. GEMS/Food total diet study. Report of the2' International Workshop on Total Diet StudiesBrisbane, Australia. Geneva: WHO .

WHO. 2006. GEMS/Food total diet study. Report of the4 ih International Workshop on Total Diet StudiesBeijing, China. Geneva: WHO .

67