tugas keamanan pangan baru

34
PERANAN ILMU DAN TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN KEAMANAN PANGAN BAB I PENDAHULUAN Komoditas pangan merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan. Bahkan kebutuhan terhadap komoditas ini tidak dapat ditunda, harus tersedia setiap saat. Apabila diasumsikan tiap hari dibutuhkan rata-rata 250 g pangan per orang, maka Indonesiamembutuhkan 550.000 ton pangan per hari. Apabila 20% darikebutuhan tersebut berasal dari hasil ternak maka setara dengan 110.000 ton per hari, atau 40.150.000 ton setahun. Karena itu sangat tepat apabila dalam sambutan pada penandatanganan kerjasama ”Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati” pada tanggal 9 Januari 2007, Presiden Republik Indonesia menyatakan,bahwa ada 3 komoditas strategis yaitu : pangan, air dan enerji.Untuk itu, teknologi dan serangkaian riset harus terus dilakukanuntuk memproduksi ketiga komoditas tersebut dengan berorientasi pada mutu dan efisiensi. Dari kebutuhan komoditas strategis pangan yang sangat banyak tersebut, dibutuhkan penyediaan pangan yang terencana dan tepat manfaat. Penyediaan pangan (food stock) ini tidak mudah,karena tiap daerah mempunyai potensi pangan yang berbeda- beda,di samping itu kebutuhan pangannya pun dapat berbeda pula. Pangan yang disediakan harus aman, namun tidak boleh meninggalkan mutu. 1

Upload: ditha-harmulita

Post on 17-Feb-2016

48 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pangan

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Keamanan Pangan Baru

PERANAN ILMU DAN TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN

KEAMANAN PANGAN

BAB I

PENDAHULUAN

Komoditas pangan merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan. Bahkan kebutuhan terhadap komoditas ini tidak dapat ditunda, harus tersedia setiap saat. Apabila diasumsikan tiap hari dibutuhkan rata-rata 250 g pangan per orang, maka Indonesiamembutuhkan 550.000 ton pangan per hari. Apabila 20% darikebutuhan tersebut berasal dari hasil ternak maka setara dengan 110.000 ton per hari, atau 40.150.000 ton setahun. Karena itu sangat tepat apabila dalam sambutan pada penandatanganan kerjasama ”Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati” pada tanggal 9 Januari 2007, Presiden Republik Indonesia menyatakan,bahwa ada 3 komoditas strategis yaitu : pangan, air dan enerji.Untuk itu, teknologi dan serangkaian riset harus terus dilakukanuntuk memproduksi ketiga komoditas tersebut dengan berorientasi pada mutu dan efisiensi.

Dari kebutuhan komoditas strategis pangan yang sangat banyak tersebut, dibutuhkan penyediaan pangan yang terencana dan tepat manfaat. Penyediaan pangan (food stock) ini tidak mudah,karena tiap daerah mempunyai potensi pangan yang berbeda-beda,di samping itu kebutuhan pangannya pun dapat berbeda pula. Pangan yang disediakan harus aman, namun tidak boleh meninggalkan mutu.

Penyediaan pangan boleh saja mengabaikan asal pangan tersebut termasuk produk pangan impor. Apabila kondisi ini yang terjadi, maka ketahanan/ keterjaminan pangan (food security) perlu di kaji, baik untuk jangka waktu pendek atau pun panjang.

Dalam bahan pangan atau makanan terdapat zat gizi yangdiperlukan oleh tubuh untuk tumbuh dan melangsungkan kehidupannya. Namun demikian, Winarno (1986) menyatakan,bahwa sebenarnya manusia memerlukan pangan tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan tubuh secara fisik, tetapi juga untuk memuaskan panca indera cecapan. Mutu pangan yang tinggi, baik mutu penggunaan (utilization) ataupun keamanan (wholesome safety), dapat diharapkan membantu meningkatkan kepekaan manusia terhadap seni budaya, keindahan, serta kepekaan indera manusia.

Sampai saat ini, tidak seorang pun berhasil mendefinisikan mutu pangan secara komprehensif. Namun, pengertian yang diterima secara umum, yaitu ”kebutuhan-kebutuhan tertentu

1

Page 2: Tugas Keamanan Pangan Baru

terhadap suatu bahan pangan atau makanan yang harus dipenuhi”.Kesulitan pendefinisian ini lebih terletak pada bervariasinya sifat pangan itu sendiri dan keberbedaan kebutuhan konsumen padatiap bahan pangan atau makanan. Kesulitan itu dapat disebabkan pada mutu sifat sensoris, prinsip kesegaran/ keaslian, dan dari segi gizi yang sangat berbeda-beda dari satu produk ke produk yang lain.Pada kasus komoditas daging, mutu sangat berhubungan dengan struktur, tekstur, kesan jus (juiciness), dan keempukan(tenderness).Itu saja tidak cukup, tetapi masih harus ditinjau dari aroma, rasa,aman dari mikroba (wholesomeness), bebas dari residu berbahaya.

2

Page 3: Tugas Keamanan Pangan Baru

BAB II

PERMASALAHAN

Pangan asal ternak utama adalah daging, telur, dan,susu.Selain produk utama tersebut pangan asal ternak dapat berupa hasil ikutan misalnya tulang dapat dibuat gelatin, kulit sebagai bahan baku rambak dan hasil ikutan ternak lainnya. Pangan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu pangan stabil, setengah stabil, dan tidak stabil atau mudah busuk (perishable). Produk utama ternak yaitu daging, susu dan telur termasuk golongan pangan tidak stabil.Ketiga golongan pangan tersebut dapat rusak, baik akibat perubahan yang terjadi pada bahan itu sendiri ataupun akibat adanya pengaruh dari luar. Agar supaya kegunaan pangan ini bias berkelanjutan bagi kehidupan manusia, maka setelah dipanen,bahan pangan akan mengalami berbagai penanganan dan pengolahan yang pada akhirnya menghasilkan makanan yang sehat dan dapat diterima oleh konsumen sesuai dengan selera. Selama proses ini diterapkan, terjadi perubahan kimiawi, komposisi dan fisik yang berakibat pada kualitas gizinya. Teknologi pangan idealnya tidak hanya mengubah bahan pangan tersebut tetapi juga mengurangi kehilangan dan kerusakan yang terjadi selama proses, serta menjaga agar tetap aman bila dikonsumsi.

Ilmu dan teknologi yang dikembangkan, baik dalam skala rumah tangga, industri kecil, ataupun industri besar, cenderung menerapkan perlakuan fisik (pemanasan, pengeringan, pendinginan,dan pembekuan) perlakuan penambahan bahan kimia (pewarna,pengawet, pengental, pemberi cita-rasa, pelunak dsb), serta perlakuan biologis (fermentasi, enzimatis dll) atau kombinasi di antaranya. Pada era perkembangan dunia modern, teknologi pangan juga diaplikasikan untuk memperkaya kandungan zat gizi suatu makanan melalui fortifikasi atau pengkayaan zat zat tertentu yang di tambahkan ke dalam makanan tersebut. Oleh karena zat tersebut merupakan bahan kimia, maka teknologi fortifikasi yang dipilih seharusnya tidak merusak bahan asalnya, dan hasil akhirnya harus merupakan produk yang lebih unggul dibandingkan asalnya, serta aman. Upaya upaya tersebut, bertujuan agar pangan yang dihasilkan dapat secara efektif memenuhi permintaan, yang dapat memberikan kontribusi pada sistem ketahanan pangan. Karenanya riset pangan terus dilakukan.

Menurut Miller (2002), lima tahun terakhir, riset keamanan pangan menduduki peringkat pertama (47,2%); disusul dengan riset kualitas pangan (30,6%); prosesing (18,3%) dan marketing (4%). Hal ini membuktikan bahwa aspek keamanan pangan yang dibutuhkan konsumen, mendapatkan perhatian yang luarbiasa dari para peneliti.

3

Page 4: Tugas Keamanan Pangan Baru

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

Manusia mulai mengenal pengawetan pangan (preserving foodstuffs)kira kira sepuluh ribu tahun lalu yaitu ketika hasil buruan (mammothsdan reindeer) disimpan di gua-gua tertutup salju. Penyimpanan ini kemudian dikenal sebagai primitif refrigeration. Setelah itu berturut-turut ditemukan teknologi fermentasi, penggaraman (salting), pengasapan (smoking), pengeringan (drying),dan pengalengan (canning) (Anonimus, 1997).

Dari serangkaian penemuan tersebut, kemudian dikenallah ”Ilmu dan Teknologi Pangan” yang didefinisikan sebagai ”The understanding and application of science to satisfy the needs of society for sustainable food quality, safety and security”. Beberapa disiplin ilmu yang dipakai dalam mempelajari ilmu dan teknologi pangan meliputi :

disiplin ilmu primer (biologi, kimia, matematika/ statistika dan fisika; disiplin ilmu sekunder (mikrobiologi, biologi molekuler, gizi, fisiologi, biokimia dan

keteknikan/ engineering); dan disiplin ilmu tersier (genetika, epidemiologi, kesehatan masyarakat, psikologi, manajemen

dalam hukum), (CUPFST, 1999; Paige dan Tollefson, 2003).

Penggunaan teknologi pangan sangat beragam tergantung dari pemakaiannya. Karena itu, pengembangan teknologi pangan untuk keperluan rumah tangga akan berbeda dengan teknologi yang diterapkan untuk skala industri kecil maupun besar. Akan tetapi, tidak berarti bahwa teknologi rumah tangga harus selalu tradisional dan sederhana, sebagai contoh akibat dipasarkannya oven microwave dan panci presseurcooker, maka dapat diterapkan cara-cara pengolahan yang teknologis.

Pemilihan teknologi pangan tertentu yang tepat seharusny disesuaikan dengan kondisi pengguna. Berawal dari skalanya,teknologi pangan dikembangkan untuk skala rumah tangga atau untuk keperluan industri menengah dan besar. Kedua pengguna teknologi yang berbeda ini mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya dalam menyediakan makanan yang sehat, aman, dan bergizi. Pada skala rumah tangga atau industri kecil, penerapan berbagai jenis teknologi relatif lebih sederhana dengan jangkauanyang lebih sedikit, baik dari segi konsumennya maupun waktu pakainya. Pada industri besar, jangkauannya lebih banyak, tidak hanya untuk konsumen dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor.Dari segi waktu jangkauannya pun relatif lebih lama, sehingga makanan olahan semacam ini dapat dipasarkan selama satu tahun atau lebih.

Kemajuan teknologi pangan memberi berbagai jenis produk ”pangan baru” yang berhasil dipasarkan, misalnya makanan instan atau siap masak, minuman penyegar berkarbonasi, makanan

4

Page 5: Tugas Keamanan Pangan Baru

berkalori rendah atau makanan khusus (balita, manula, olahragawan), makanan atau minuman vitalitas dan makanan cepat saji (fast food). Karena perkembangan teknologi, maka cara-cara penanganan, pengolahan, pengawetan, pengemasan, dan distribusi juga berkembang semakin canggih. Lebih-lebih karena keberhasilan sistem komunikasi yang baik melalui iklan di media masa, media layar-kaca dan elektronik, serta sistem transportasi yang semakin tertata, pendistribusian berbagai macam makanan baru semakin cepat dan dapat menjangkau ke daerah-daerah terpencil. Dalam kondisi seperti ini, perlu perhatian terhadap keamanan, agar penganekaragaman pangan (food-diversity) dapat berlangsung baik.

3.2 KEAMANAN PANGAN

Di samping pemanfaatan dalam penganekaragaman dan perbaikan gizi, iptek pangan juga diperlukan dalam determinasi dan penanganan keamanan pangan. Masalah keamanan pangan merupakan masalah kompleks, karena merupakan dampak hasil interaksi antara toksisitas kimiawi, mikrobiologik, dan status gizi. Ketiganya saling berpengaruh, salah satu mempengaruhi yang lainnya.

Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004. Aman untuk dikonsumsi dapat diartikan, bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu menimbulkan penyakit atau keracunan. Disamping itu produk pangan juga harus layak untuk dikonsumsi, yaitu harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang misalnya busuk, kotor dan menjijikkan. Pemerintah dalam merealisasikan pnyediaan daging yang aman menetapkan sebagai daging ASUH, yakni aman, sehat,utuh, dan halal.

Pada awal abad ke-21 ini, keamanan pangan dihadapkan pada paradigma yang berubah secara cepat. Perubahan itu sebagai konsekuensi permintaan global terhadap protein (hewani) yangdisebabkan oleh bertambahnya populasi, kemudahan transport, dan perdagangan internasional, serta sifat konsumen yang berganti dari lingkup lokal ke global. Kondisi semacam ini kesehatan yang disebabkan oleh makanan terus berlanjut dan berdampak luas (Paige dan Tollefson, 2003).

Johnson (2003) mengutip laporan WHO, bahwa secara global terjadi 1,5 milyar kejadian gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun,dengan angka yang cenderung meningkat. Lund et al. (2003) mengestimasi, bahwa jumlah kejadian yang sebenarnya berkisar antara 100 sampai 300 kali dari kejadian yang dilaporkan. Prosentase sumber keracunan makanan di Indonesia (1997-2000) adalah katering 33,8%; keluarga 9,2%;makanan jajanan 18,5%; industri 4,6% dan tidak diketahui 33,9 (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2002). Pengamat yang pertama kali memberikan laporan secara komprehensif dan kurun waktu yang lama terhadap kejadian gangguan kesehatan karena pangan berdasarkan jenis pangan adalah Dewberry (1959). Peringkat jenis pangan

5

Page 6: Tugas Keamanan Pangan Baru

penyebab gangguan kesehatan adalah (1951-1955): daging dan produknya 999 kasus (72%); ikan dan produknya 90 kasus (6%); telur dan produknya 76 kasus (5%); susu dan produknya 38 kasus (3%); sayur dan produknya 29 kasus (2%); buah dan produknya 21 kasus (1%); dan jenis pangan lain 128 kasus (9-11%). Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), (2003), peringkat jenis pangan penyebab gangguan kesehatan di USA, apabila dibandingkan dengan data yang dilaporkan Dewberry (1959), masih tetap sama dengan jumlah kasus dan persentase yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa daging merupakan sumber utama penyebab gangguan kesehatan yang terjadi diantara pangan yang ada, disusul kemudian, ikan, telur, dan susu. Di Indonesia, terbukti bahwa maknanan berasal dari katering menduduki peringkat teratas (33.8%) sebagai penyebab keracunan makanan, disusul oleh makanan jajanan (18,5%), keluarga (9,2%), industri (4,6%), dan tidak diketahui (33,9%). Makanan berasal dari industri relatif sedikit menimbulkan kasus terhadap gengguan kesehatan, kemungkinan karena telah menerapkan ukuran dan prosedur serta kebersihan dan sanitasi standar.

Berbagai ancaman pangan terhadap kesehatan masyarakat secara efektif dan efisien terbukti dapat diselesaikan melalui pengembangan dan aplikasi prinsip-prinsip ilmiah. Penguatan dan pengembangan ilmu dan teknologi harus merupakan prioritas utama dalam peningkatan keamanan pangan. Secara historik, peranan ilmu dan teknologi dalam menetapkan kebijakan keamanan pangan dapat diagregasikan seperti tersaji berikut. Ilmu dan teknologi (pangan) telah memungkinkan:

pelaksanaan identifikasi dengan menggunakan teknologi mutakhir untuk mendeteksi ancaman-ancaman pangan baru terhadap kesehatan masyarakat;

pemecahan secara efektif problem-problem ancaman pangan terhadap kesehatan masyarakat;

penyelenggaraan evaluasi terhadap regulasi keamanan pangan dengan mempertimbangkan atau memanfaatkan penemuan-penemuan ilmiah baru; dan

pengembangan metode baru dalam mengukur dampak-dampa ancaman pangan terhadap kesehatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengawasan.

Pemerintah memiliki otoritas dalam keterlibatan terhadap keamanan pangan yang sangat mempengaruhi ekonomi masyarakat. Konsumen (masyarakat yang seharusnya mendapat keterjaminan) tidak dapat mendeteksi risiko atau bahaya pangan pada saat pembelian. Hal ini dipicu oleh beberapa sebab antara lain:

informasi pangan yang tidak jujur (asimetris); bahan berbahaya dapat masuk ke makanan di mana saja, dari lahan sampai meja makan; produsen mungkin tidak mampumengidentifikasi risiko pada tingkat aman; dan kekurangan informasi

Keamanan pangan dapat ditinjau dari: mikrobiologi, residu,bahan asing, modifikasi gen dan identifikasi ternak. Panjangnya rantai pangan menuntut perhatian keamanan pangan dimulai dari

6

Page 7: Tugas Keamanan Pangan Baru

sebelum panen (pre-harvest), setelah panen (post-harvest), system identifikasi dan jejak ternak (traceability), setelah pengepakan (postpackaging) dan metodologi. Kondisi perdagangan dan transportasi global mengakibatkan aspek regulasi (legal/ standard), lingkungan, ekonomi, dan teknolog iharus diperhatikan bersama-sama, apabila keterjaminan pangan ingin diperoleh .Di samping itu, pengawasan yang ketat terhadap arus pangan harus dilakukan pada daerah lintas negara/ wilayah yang berpotensi (potential cross-border). dan pendingin yang sangat cepat.

3.3 TEKNOLOGI PANGAN

3.3.1 Teknik Iradiasi

Iradiasi adalah  proses aplikasi radiasi energi pada suatu sasaran, seperti pangan.  Menurut Maha (1985), iradiasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah.  Sedangkan menurut Winarno et al. (1980), iradiasi adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan sumber iradiasi buatan.

Jenis iradiasi pangan yang dapat digunakan untuk pengawetan bahan pangan adalah radiasi elektromagnetik yaitu radiasi yang menghasilkan foton berenergi tinggi sehingga sanggup menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi pada materi yang dilaluinya.  Jenis iradiasi ini dinamakan radiasi pengion, contoh dan gelombang elektromagnetik,radiasi pengion adalah radiasi partikel    Contoh radiasi pengion yang disebut terakhir ini paling banyak digunakan (Sofyan, 1984; Winarno et al., 1980). Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan makanan adalah : sinar gamma yang dipancarkan oleh radio nuklida 60Co (kobalt-60) dan 137Cs (caesium-37) dan berkas elektron yang terdiri dari partikel-pertikel bermuatan listrik.  Kedua jenis radiasi pengion ini memiliki pengaruh yang sama terhadap makanan. Menurut Hermana (1991), dosis radiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap ke dalam bahan pangan dan merupakan faktor kritis pada iradiasi pangan.  Seringkali untuk tiap jenis pangan diperlukan dosis khusus untuk memperoleh hasil yang diinginkan.  Kalau jumlah radiasi yang digunakan kurang dari dosis yang diperlukan, efek yang diinginkan tidak akan tercapai.  Sebaliknya jika dosis berlebihan, pangan mungkin akan rusak sehingga tidak dapat diterima konsumen Keamanan pangan iradiasi merupakan faktor terpenting yang harus diselidiki sebelum menganjurkan penggunaan proses iradiasi secara luas.  Hal yang membahayakan bagi konsumen bila molekul tertentu terdapat dalam jumlah banyak pada bahan pangan, berubah menjadi senyawa yang toksik, mutagenik, ataupun karsinogenik sebagai akibat dari proses iradiasi.

7

Page 8: Tugas Keamanan Pangan Baru

Tabel 5.  Penerapan dosis dalam berbagai penerapan iradiasi pangan

Tujuan Dosis (kGy) Produk

Dosis rendah (s/d 1 KGy)Pencegahan pertunasanPembasmian serangga dan parasitPerlambatan proses fisiologis

0,05 – 0,150,15 – 0,500,50 – 1,00

Kentang, bawang putih, bawang bombay, jahe,Serealia, kacang-kacangan, buah segar dan kering, ikan, daging keringBuah dan sayur segar

Dosis sedang (1- 10 kGy)Perpanjangan masa simpanPembasmian mikroorganisme perusak dan patogenPerbaikan sifat teknologi pangan

1,00 – 3,001,00 – 7,002,00 – 7,00

Ikan, arbei segarHasil laut segar dan beku, daging unggas segar/bekuAnggur(meningkatkan sari), sayuran kering (mengurangi waktu pemasakan)

Dosis tinggi1 (10 – 50 kGy)Pensterilan industriPensterilan bahan tambahan makanan tertentu dan komponennya

10 – 50 Daging, daging unggas, hasil laut, makanan siap hidang, makanan steril

1 Hanya digunakan untuk tujuan khusus.  Komisi Codex Alimentarius Gabungan FAO/WHO belum menyetujui penggunaan dosis ini

Hasil penelitian mengenai efek kimia iradiasi pada berbagai macam bahan pangan hasil iradiasi (1 – 5 kGy) belum pernah ditemukan adanya senyawa yang toksik.  Pengawetan makanan dengan menggunakan iradiasi sudah terjamin keamanannya jika tidak melebihi dosis yang sudah ditetapkan, sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh FAO-WHO-IAEA pada bulan november 1980.  Rekomendasi tersebut menyatakan bahwa semua bahan yang diiradiasi tidak melebihi dosis 10 kGy aman untuk dikonsumsi manusia. Untuk memastikan terdapatnya tingkat keamanan yang diperlukan, pemerintah perlu mengundangkan peraturan, baik mengenai pangan yang diiradiasi maupun sarana iradiasi.  Peraturan tentang iradiasi pangan yang sampai sekarang digunakan antara lain adalah Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 826 Tahun 1987 dan No. 152 Tahun 1995.  Peraturan tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan acuan dalam penyusunan Undang-undang Pangan No. 7 Tahun 1996.

3.3.2 Fortifikasi  Makanan

Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atan lebih zat gizi   (nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. Harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian,

8

Page 9: Tugas Keamanan Pangan Baru

fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya. Untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi ke pangan, istilah-istilah lain seperti  enrichment  (pengkayaan), nutrification (Harris, 1968) atan restoration telah saling dipertukarkan, meskipun masing-masing mengimplikasikan tindakan spesifik.

Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat gizi pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan sebanding. Enrichment biasanya mengacu kepada penambahan satu atan lebih zat gizi pada pangan asal pada taraf yang ditetapkan dalam standar intemasional (indentitas pangan).  Restoration  mengacu kepada penggantian zat gizi yang hilang selama proses pengolahan, dan nutrification berarti membuat campuran makanan atan pangan lebih bergizi. Menurut Banernfeind (1994) istilah nutrification lebih spesifik terhadap ilmu gizi, sementara semua istilah-istilah yang lain diadopsi dari disiplin dan aplikasi lain. (Siagian, 2003)

The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition  (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan  yang dikonsumsi  secara umum.

Fortifikasi dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut:

Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan).

Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.

Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi misalnya susu formula bayi.

Untuk menjamin ekuivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega .

Menurut FAO pada Technical Consultation on Food Fortification: Technology and Quality Control  di Roma pada tahun 1995, makanan yang difortifikasi idealnya harus:

Umumnya dikonsumsi oleh populasi sasaran.

 Memiliki pola konsumsi yang konstan oleh msyarakat dan berisiko rendah bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih.

 Memiliki stabilitas ynag baik dalam penyimpanan.

 Relatif rendah dalam baiaya.

Diproses terpusat dengan stratifikasi minimal.

 Tidak terjadi interaksi anatara fortifikan dengan vehicle.

9

Page 10: Tugas Keamanan Pangan Baru

Ketersediannya tidak berhubungan dengan status sosio-ekonomi.

Dikaitkan dengan asupan energi.

Jenis – jenis Fortifikasi

1. Fortifikasi Yodium

Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air tela dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara luas dan serangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam  ‘impure salt ‘ pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI. (Siagian, 2003)

Contoh : Beras Fortifikasi Iodium

Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan iodium untuk anakanak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25 μg/hari dan 150 μg/hari. Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak perlu menggunakan peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut fortifikan iodium pada komponen alat penyosoh akan diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium. Fortifikan yang digunakan adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari kompresor, sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam tergantung pada kekeringan beras yang di fortifikasi(DEPTAN,2008) .

2. Fortifikasi Besi

Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatanjangka panjang (Cook and Reuser, 1983). Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisie zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap (Cook

10

Page 11: Tugas Keamanan Pangan Baru

and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa iortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti  besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain. (Siagian, 2003)

Contoh : Fortifikasi zat besi pada mie kering yang dibuat dari campuran tepung terigu dan tepung n singkong

3. Fortifikasi Vitamin A

Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan/digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan. Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol  atau karoten (sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi  oleh vitamin A. (Siagian, 2003).

Penerapan Fortifikasi Pada Produk Pengolahan Hasil Ternak

Fortifikasi Pada Susu

Penambahan fortifikan protein pada susu bubuk biasanya menggunakan kasein dan whei, namun keduanya sangat mahal dan belum diproduksi di dalam negeri, maka diperlukan sumber protein yang lebih murah. Penggalian potensi sumber daya alam yang diberi sentuhan teknologi diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah produk turunan susu dan menjawab kebutuhan akan pangan tinggi protein. Hasil penelitian Hera (2012) ini mengindikasikan bahwa IPPUS berpotensi untuk dikembangkan sebagai fotifikan untuk menghasilkan susu bubuk tinggi protein. Prosedur yang dilakukan melalui enam tahap yakni pembuatan tepung pupa, penghilangan lemak (delipidasi), isolasi protein, pengeringan isolat, fortifikasi isolat ke dalam susu bubuk dan analisis kualitas susu bubuk yang telah difortifikasi.

Delipidasi menjadi tahapan yang sangat penting karena lemak merupakan komponen terbesar kedua setelah protein dalam bahan kering tepung pupa. Fortifikasi IPPUS pada taraf 20% menghasilkan susu bubuk dengan kadar protein yang berbeda nyata yakni 40,44% dan kecernaan protein secara in vitro sebesar 95,15%. Kadar protein ini mencukupi 32,15%-40,44% kebutuhan protein harian manusia. Namun dengan menggunakan formula terpilih ini, menurunkan kesukaan panelis. Hera bersama rekannya melakukan riset dengan menambahkan flavor sebanyak 15%.

Fortifikasi Keju

11

Page 12: Tugas Keamanan Pangan Baru

Keju cottage  yang beredar di pasaran hampir memiliki semua kebaikan susu, namun kandungan vitamin C nya sangat rendah. Selama proses pengolahan,  akibat adanya panas dan sinar,  kandunga n vitamin C dalam susu hampir sebagian besar telah teroksidasi. Padahal vitamin C yang secara kimia berguna sebagai antioksidan bagi beberapa jenis maka nan termasuk produk olahan susu (deMan, 1997). Menurut Sweeney dan Ashoor (1988), banyak penelitian yang menyangkut tentang fortifikasi vitamin pada  susu, tetapi tidak pada keju cottage.

Lemon merupakan salah satu jenis je ruk yang cocok untuk ditanam di daerah tropis seperti Indonesia. Lem on mengandung vitamin C sebesar 53 mg/100 gram, jumlah yang cukup banyak dibandingkan dengan jeruk jenis lain.

Cairan buahnya yang asam sering digunakan dalam pembuatan berbagai jenis makanan juga obat, dan karena kandungan asam sitratnya yang tinggi, lemon juga bersifat bakterisida. Besarnya manfaat vitamin C baik untuk tubuh maupun untuk makanan itu sendiri membuat pentingnya fortifikasi vitamin tersebut pada keju cottage .

Diharapkan dengan fortifikasi lemon ke dalam keju cottage , maka akan meningkatkan kandungan vitamin C dalam keju.  Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Egrina (2009), menggunakan susu skim sebagai bahan dasar pembuatan keju  cottage  dengan menggunakan kultur bakteri starter campuran Streptococcus thermophilus, Lactococcus lactis dan Leuconostoc mesentroides  serta menambahkan enzim papain sebagai koagulan.

Monphongchai (2003) melakukan fortifikasi jus apel,  anggur, blewah dan semangka pada produksi keju cheddar.  Menurut uji organoleptik, keju yang difortifikasi dengan 10% jus apel menunjukkan keju tersebut dapat diterima namun belum diuji kandungan gizinya. Jauh sebelumnya, Sweeney dan Ashoor (1988) telah melakukan fortifikasi vitamin A dan C sintetik pada keju  cottage, diperoleh hasil bahwa fortifikasi tidak mempengaruhi pH dan sifat sensori keju secara signifikan. Kadar lemak dan ukuran wadah tidak mempengaruhi penurunan kadar vitamin pada keju yang disimpan pada lemari pendingin.  Beberapa penelitian lebih lanjut menjelaskan tentang pembuatan keju cottage  terfortifikasi vitamin C.

Penelitian  yang akan dilakukan yaitu pembuatan keju  cottage  berbahan dasar susu skim  dengan bakteri starter Streptococcus thermophillus, Lactococcus lactis,  dan Leuconostoc mesenteroides  dan papain sebagai koagulan serta fortifikasi sari buah lemon sebagai sumber vitamin C alami dalam berbagai perbandingan untuk meningkatkan vitamin C keju yang dihasilkan.

3.3.3 Pasteurisasi

12

Page 13: Tugas Keamanan Pangan Baru

Pasteurisasi merupakan perlakuan panas di bawah titik didih air atau di bawah suhu sterilisasi yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen tetapi tidak membunuh mikroorganisme pembusuk dan nonpatogen.

Pasteurisasi dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Low Temperature Long Time: suhu 63 o C selama 30 menit.

2. High Temperature Short Time: suhu 72 o C selama 15 detik.

Pasteurisasi biasanya disertai dengan cara pengawetan lain, misalnya setelah dipasteurisasi makanan disimpan pada suhu dingin. Dengan demikian daya simpan makanan tersebut akan lebih lama. Sebagai contoh, susu pasteurisasi yang disim-pan dalam lemari es selama 1 minggu atau lebih tidak terjadi perubahan cita rasa yang nyata, tetapi jika susu tersebut disimpan pada suhu kamar maka akan menjadi busuk dalam 1 atau 2 hari.

3.3.4 Fermentasi

Pada awalnya fermentasi diartikan sebagai pemecahan gula menjadi alkohol dan CO2. Kemudian pengertian tersebut berkembang sehingga pemecahan laktosa menjadi asam laktat oleh Streptococcus lactis dalam suasana anaerobik (kurang oksigen) juga diartikan sebagai fermentasi. Pada saat ini fermentasi secara mudahnya dapat diartikan sebagai suatu proses pengolahan pangan dengan menggunakan jasa mikroorganisme untuk menghasilkan sifat-sifat produk sesuai yang diharapkan. Fermentasi dapat terjadi karena ada aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Fermentasi menyebabkan perubahan sifat Dasar-dasar Proses Pengolahan Pangan bahan pangan, sebagai contoh: sari buah jika difermentasikan akan timbul rasa dan bau alkohol; ketela pohon dan ketan akan menghasilkan bau alkohol dan asam (tape); serta susu akan menghasilkan bau dan rasa asam. Berdasarkan penambahan starter (kultur mikroorganisme), fermentasi dibedakan atas dua jenis,

1. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang berjalan alami, tanpa penambahan starter, misalnya fermentasi sayuran (acar/ pikel, sauerkraut dari irisan kubis), terasi, dan lain-lain.

2. Fermentasi tidak spontan adalah fermentasi yang berlangsung dengan penambahan starter/ragi, misalnya tempe, yoghurt, roti, dan lain-lain.

Fermentasi ditujukan untuk memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan metabolismenya dalam makanan. jenis mikroorganisme yang digunakan terbatas dan disesuaikan dengan produk akhir yang dikehendaki. Zat gizi lain juga dipecah menghasilkan CO2 dan lain-lain. Hasil fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroorganisme, dan lingkungan.

prinsip fermentasi, yaitu mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme pembentuk alkohol dan asam serta menekan pertumbuhan mikroorganisme proteolitik (pemecah protein) dan mikroorganisme lipolitik (pemecah lemak).

13

Page 14: Tugas Keamanan Pangan Baru

Contoh:

C6H12O6(gula) Æ2 C2H5OH (etanol) + 2 CO2 Reaksi di atas dibantu oleh ragi (enzim) yang mengandung Streptococcus cerevisiae, S. ellipsoideus dan merupakan reaksi dasar pada pembuatan tape, brem, tuak, anggur minum, bir, roti.

C2H5OH + O2 ÆCH3COOH (asam asetat/cuka) + H2O Reaksi di atas dibantu oleh keberadaan mikroorganisme Acetobacter aceti yang dapat mengubah etanol menjadi asam asetat. Reaksi tersebut merupakan reaksi dasar pada pembuatan cuka.

Produk-produk Fermentasi

1. Fermentasi sayuran2. Sosis3. Roti4. Kecap5. Tauco6. Brem7. Nata de Coco

3.3.5 Pendinginan

Pendiginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai +10 0 C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai -24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.

3.3.6 Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan energi panas.

14

Page 15: Tugas Keamanan Pangan Baru

Biasanya, kandungan air bahan tersebut di kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamya. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan demikian di harapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya dapat di pakai apabila telah di keringkan, misalnya tembakau, kopi, the, dan biji-bijian. Di samping keuntungan-keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan sebagainya. Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali (rehidratasi) sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di berikan energi panas pada bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara untuk mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan. Penyedotan uap air ini dapat juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut. Factor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan waktu pengeringan.

3.3.7 Pengemasan

merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang berfungsi untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis, perubahan kadar air. Teknologi pengemasan perkembangan sangat pesat khususnya pengemas plstik yang dengan drastic mendesak peranan kayu, karton, gelas dan metal sebagai bahan pembungkus primer.Berbagai jenis bahan pengepak seperti tetaprak, tetabrik, tetraking merupakan jenis teknologi baru bagi berbagai jus serta produk cair yang dapat dikemas dalam keadaan qaseptiis steril. Sterilisasi bahan kemasan biasanya dilakukan dengan pemberian cairan atau uap hydrogen peroksida dan sinar UV atau radiasi gama. Jenis generasi baru bahan makanan pengemas ialah lembaran plstik berpori yang disebut Sspore 2226, sejenis platik yang memilki lubang – lubang . Plastik ini sangat penting penngunaanya bila dibandingkan dengan plastic yang lama yang harus dibuat lubang dahulu. Jenis plastic tersebut dapat menggeser pengguanaan daun pisang dan kulit ketupat dalam proses pembuatan ketupat dan sejenisnya.

3.3.8 Pengalengan

Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain (terutama yang bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila kondisinya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai. Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa.

15

Page 16: Tugas Keamanan Pangan Baru

3.3.9 Penggunaan bahan kimia

Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu mempertahankan bahan makanan dari serangan makroba pembusuk dan memberikan tambahan rasa sedap, manis, dan pewarna. Contoh beberapa jenis zat kimia : cuka, asam asetat, fungisida, antioksidan, in-package desiccant, ethylene absorbent, wax emulsion dan growth regulatory untuk melindungi buah dan sayuran dari ancaman kerusakan pasca panen untuk memperpanjangkesegaran masam pemasaran. Nitogen cair sering digunakan untuk pembekuan secara tepat buah dan sayur sehinnga dipertahankan kesegaran dan rasanya yang nyaman. Suatu jenis regenerasi baru growth substance sintesis yang disebut morfaktin telah ditemuakan dan diaplikasikan untuk mencengah kehilangan berat secara fisiologis pada pasca panen, kerusakan karena kapang, pemecahan klorofil serta hilangnya kerennyahan buah. Scott dkk (1982) melaporkan bahwa terjadinya browning, kehilangan berat dan pembusukan buah leci dapat dikurangi bila buah – buahan tersebut direndam dalam larutan binomial hangat (0,05%, 520C ) selama 2 menit dan segera di ikuti dengan pemanasan PVC (polivinil klorida ) dengan ketebalan 0,001 mm.

3.3.10 Pemanasan

penggunaan panas dan waktu dalam proses pemanasan bahan pangan sangat berpengaruh pada bahan pangan. Beberapa jenis bahan pangan seperti halnya susu dan kapri serta daging, sangat peka terhadap susu tinggi karena dapat merusak warna maupun rasanya. Sebaliknya, komoditi lain misalnya jagung dan kedelai dapat menerima panas yang hebat karena tanpa banyak mengalami perubahan. Pada umumnya semakin tinggi jumlah panas yang di berikan semakin banyak mikroba yang mati. Pada proses pengalengan, pemanasan di tujukan untuk membunuh seluruh mikroba yang mungkin dapat menyebabkan pembusukan makanan dalam kaleng tersebut, selama penanganan dan penyimpanan. Pada proses pasteurisasi, pemanasan di tujukan untuk memusnahkan sebagian besar mikroba pembusuk, sedangkan sebagian besar mikroba yang tertinggal dan masih hidup terus di hambat pertumbuhanya dengan penyimpanan pada suhu rendah atau dengan cara lain misalnya dengan bahan pengawet. Proses pengawetan dapat di kelompokan menjadi 3 yaitu: pasteurisasi, pemanasan pada 1000 C dan pemanasan di atas 1000 C.

3.3.11 Pangan yang berasal dari modifikasi gen

Teknologi Modifikasi Gen (TMG) diaplikasikan pada pangan dengan sangat bervariasi. Produksi pangan di samping dari tanaman atau hewan yang dapat dimakan, juga meliputi penggunaan berbagai bahan (ingredient), aditif dan enzim yang dihasilkan dari berbagai sumber.

Pangan yang berasal atau diproses dari organisme yang termodifikasi gennya (PMG) harus mendapatkan evaluasi sebelum dikonsumsi. Sampai saat ini publikasi tinjauan terhadap PMG ini masih sangat sedikit. Evaluasi terhadap pangan semacam ini lebih sulit dibanding evaluasi terhadap penggunaan senyawa kimia tunggal, farmasi atau tambahan makanan, ataupun campurannya.

16

Page 17: Tugas Keamanan Pangan Baru

Bahkan, mungkin belum ada satu lembaga atau metode yang telah berhasil mengevaluasi secara sistematis. Karenanya, muncul komentar di Majalah Ilmiah yang paling banyak oplahnya, Science, yang menyatakan ”Health risk of genetically modified foods: many opinions but few data” (Domingo, 2000).

Evaluasi terhadap PMG harus dilakukan case by case, karena tiap modifikasi gen mungkin menghasilkan impak yang berbeda pada konsumen. Pusztai et al. (2003) menyatakan, bahwa prinsip dasar penetapan ”aman” terhadap pangan PMG, harus telah melewati evaluasi dengan perbandingan pangan sejenis yang konvensional (tidak diberi perlakuan modifikasi gen).

Mikroba merupakan sumber penghasil PMG yang sering disebut ”cell factories” sebagai penghasil bahan dan pembantu prosesing. Untuk mengarahkan mikroba terhadap fungsi semacam itu biasa dilakukan perbaikan genetik (genetic improvement). Misalnya, gen untuk menghasilkan enzim chymosin yang diintroduksi ke dalam mikroba Kluveromyces lactis, Aspergillus niger ataupun Escherichia coli dapat menghasilkan chymosin yang sama dengan ”rennet” yang didapat dengan mengekstrak lambung sapi (muda) (Gasson, 2003). Chymosin hasil TMG ini, merupakan salah satu hasil TMG tertua, dipakai secara luas pada pembuatan keju yang telah dievaluasi keamanannya secara komprehensif di Amerika dan Eropa.

3.3 Upaya penanggulangan / solusi

Selama distribusi dan penyajian juga dapat terjadi rekontaminasi oleh mikroba patogen atau kontaminasi toksin mikroba dan zat tambahan makanan yang dilarang. Oleh karena itu, faktor pengawasan pangan sangat penting.

Berbagai produk pangan mungkin dapat menimbulkan masalah keamanan pangan, termasuk produk produk industri pangan baik produk domestik maupun produk impor, makanan katering, hotel, restoran, dan jenis-jenis makanan yang disajikan secara masal, makanan jajanan (street foods), dan makanan yang diolah di rumah.

Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi berbagai masalah dalam keamanan pangan. Beberapa masalah serius tersebut meliputi :

Dioksin dalam susu bubuk dan produk susu, utamanya keluarannegara-negara sekitar Swiss; Formalin dalam mie basah, ikan kering dan tahu; penggunaan daging tikus untuk campuran bakso sapi; pemalsuan daging sapi dengan daging babi hutan; daging glonggongan (sapi) dan karkas yang disuntik air (ayam); penjualan ayam tiren (mati kemarin); tercemarnya susu formula dan makanan bayi oleh bakteri Enterobacter sakazakii; susu dan produk susu asal cina yang mengandung melamin; dsb.

17

Page 18: Tugas Keamanan Pangan Baru

Kasus temuan melamin dalam produk susu telah mengakibatkan banyak korban. Dilaporkan bahwa sedikitnya 6 bayi meninggal dan 294 ribu keluarga menderita gangguan kesehatan. Sebanyak 22 perusahan produk susu di Cina bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi antara 2 – 3 ribu yuan per korban (Jawa Pos, 29 Desember 2008).

Penanggulangan terjadinya gangguan kesehatan karena makanan sangat dibutuhkan, maka salah satunya yaitu dengan melakukan GAP (good agricultural practices) pada usaha produksi di farm, terutama untuk penggunaan pestisida, pupuk buatan, hormon pertumbuhan, pencemaran lingkungan, sedangkan dipabrik perlu diperhatikan penerapan GMP (good manufacturing practices) dan HACCP (hazard analysis critical control point) untuk mencapai mutu dan standar yang diperlukan, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor (Bintoro, 2002). Penerapan GAP, GMP ataupun HACCP di berbagai negara, bisa jadi sistem ini menjadi alasan penolakan komoditas tertentu, yang berbau politik.

Penanggulangan masalah keamanan pangan harus didukung adanya regulasi yang komprehensif, tegas dan mencakup berbagai fihak yang terlibat. Perangkat-perangkat tersebut sudah ada dan cukup memadai, namun belum diterapkan secara lugas. Hal itu karena keamanan pangan diletakkan pada hierarkhi pertama bila ditinjau dari kepentingannya. Konsekuensinya, tidak ada satu makanan (baru) pun yang dapat dikomersialisasikan jika belum dipastikan keamanan dan kualitasnya.

Sistem keamanan pangan harus diakselerasi oleh campur tangan pemerintah dengan pendekatan :

Menerapkan regulasi;Undang-undang atau peraturan, untuk ini telah ada (UUD RI Tahun 1945; UU RI No 7 Tahun 1996; UU RI No 29 Tahun 1999; UU RI No 69 Tahun 1999; PP RI No 68 Tahun 2002; dan PP RI No 28 Tahun 2004), namun perlu ditindaklanjuti dengan penegakan hukum dan evaluasi-evaluasi. Pengawasan pangan, pengoperasian alat, prosedur sanitasi, penggunaan bahan dan label produk diperketat dengan rasio yang memadai; dan

Menganjurkan penggunaan HACCP.

Oleh karena keamanan pangan muncul sebagai masalah yang dinamis sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu serta teknologi, maka dibutuhkan suatu sistem atau model dalam mengawasi pangan selama produksi, penanganan, pengolahan, pengawetan, pengangkutan, penyimpanan, dan pendistribusian serta penghidangan.

Model validasi dapat dikembangkan untuk menghasilkan produk pangan/ makanan yang stabil (mikrobiologis) dengan penetapan kriteria masukan yang akan menghasilkan luaran yang dikehendaki pengguna. Model ini meliputi :

Masukan, yang terdiri dari kondisi produk (ukuran, bentuk, komposisi dsb); dan parameter proses (temperatur proses, sirkulasi, kelembaban dan waktu); dan

18

Page 19: Tugas Keamanan Pangan Baru

keluaran, merupakan hasil prosesing di mana diketahui profil suhu dan mikroba pathogen yang dinonaktifkan.

Di Indonesia masalah keamanan pangan masih harus digarap secara serius, antara lain karena masih kurangnya pengawas makanan (food inspector), adanya technical barrier terhadap berbagai kemampuan deteksi kimiawi atau mikrobiologis di daerah (masalah sumber daya manusia, equipment dan dana), standar mutu, isu lingkungan, dan data-base tentang pangan.

Selain itu, pemerintah dan khususnya perusahaan makanan harus selalu waspada terhadap terjadinya teror pangan (foodterrorism). Teror jenis ini dilaporkan memiliki motivasi dalam persaingan usaha atau upaya instabilisasi politik. Bahan kimia berbahaya, mikroba atau bahan radio nuklir pernah digunakan untuk keperluan ini. Sebagai gambaran, pada tahun 1997, di Krasnodar (Rusia) terungkap terjadinya teror pangan dengan menyebarkan mikroba tertentu pada gudang penyimpanan pabrik makanan, dengan korban lebih dari 400 orang dirawat di Rumah Sakit. Tahun 1998, sebuah perusahaan di USA telah menarik 14 juta kg frankfurterdan luncheon meatyang konon dicemari oleh kelompok tertentu dengan bakteri Listeria(Wilm, 2005).

Keamanan pangan juga dapat dipicu adanya perubahan kebutuhan pangan. Menurut Anonimus (1997) perubahan kebutuhan pangan dapat tergantung dari: ketersediaan, harga, iklan, pendapatan, dan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan. Parker (2003) menyatakan, bahwa peningkatan tajam konsumsi serat (sereal) pada tahun 1980-an karena pengaruh hasil riset yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsumsi serat dengan penyakit kanker, yang terpublikasi lewat berbagai media (iklan).

Seorang konsumen dalam memilih dan menentukan makanan serta jumlah yang dikonsumsi sangat tergantung oleh beberapa faktor. Inilah yang juga harus dipertimbangkan dalam perhitungan dan penetapan keamanan dan penyediaan pangan.

Conner (1995) menyatakan, bahwa faktor-faktor eksternal yang dihubungkan dengan makanan, ekonomi dan sosial diasumsikan mempengaruhi proses sensoris, fisiologis, dan psikologis. Proses psikologis merupakan suatu integrasi dari pengaruh fisiologis dan sensoris dengan persepsi sosial ekonomi. Proses yang kompleks tersebut kemudian menghasilkan keputusan penerimaan atau penolakan makanan (food choice). Penerimaan makanan oleh seseorang akan diikuti oleh penetapan berapa banyak makanan tersebut akan dikonsumsi (food intake). Fokus utama yaitu pada proses pemahaman konsumen (individual), bagaimana mereka dipengaruhi oleh aspek-aspek makanan, lingkungan, sosial dan ekonomi serta bagaimana proses-proses tersebut, baik secara sebagian atau seluruhnya, dapat mempengaruhi perilaku penerimaan atau penolakan.

Masalah yang berhubungan dengan keamanan pangan sangat kompleks. Dari penyediaan bibit, rekayasa genetik untuk perbaikan produksi, sarana produksi, teknologi produksi, pasca panen, pengolahan, pengawetan, distribusi dan pemasaran, hingga aspek-aspek lain yang melingkupi seperti adanya data base untuk setiap produk pangan,Yang meliputi: produksi pangan, prosesing,manufacturing, penyiapan, keamanan, kontaminasi, komposisi,ketersediaan, konsumsi,

19

Page 20: Tugas Keamanan Pangan Baru

penggunaan, penjualan, dan harga.data base semacam ini dapat membantu menelaah sistem keamanan pangan

BAB IV

KESIMPULAN

20

Page 21: Tugas Keamanan Pangan Baru

1. ilmu dan teknologi pangan di definisikan sebagai “the understanding and application of science to satisfie the needs of society for sustainable food quality safety and security,”

2. keamanan pangan di definisikan sebagai kondisi dan upaya yang di butuhkan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,kimia dan bahan lain yang dapat mengganggu,merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

3. Teknologi pangan meliputi : Teknik iradiasi Fermentasi Fortifikasi pangan Pendinginan Pasteurisasi Pengeringan Pengemasan Pengalengan Penggunaan bahan kimia Pemanasan Pangan yang berasal dari modifikasi gen

4. masalah-maslah yang harus diwaspadai dapat mempengaruhi keamanan pangan adalah: perubahan permintaan global terhadap protejujur, panjangnya rantai makanan, munculnya pangan baru,khususnya yang berasl dari organisme yang direkayasa genetik, pengunaan pestisida, pupuk, obat ternak dan bahan tembahanmakanan, adanya penyakit zoonosis yang dapat ditularkan lewat makanan, sistem identifikasi dan ketertelusuran asal bahan baku, adany kendala teknik (pengukuran atau peralatan), adanya kemungkinan terjadinya teror pangan, adanya perubahan dalam pemilihan pangan, dan polutan lingkungan

5. solusi yang dapat di tempuh meliputi; penerapan GPA dan GMP serta HACCP ditingkat produsen (on-farm dan off-farm), evaluasi dan penegakan regulasi pangan, edukasi terhadap masyrakat (konsumen dan produsen), riset terhadap berbagai masalah ancaman pangan terhadap gangguan kesehatan, serta pemberdayaan (intesitas dan kecukupan) pengawas pangan (food inspectoin hewani.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: Tugas Keamanan Pangan Baru

1. Bintoro, V.P., B. Dwiloka, dan A. Sofyan. 2006. Perbandingan Daging Ayam Segar dan Daging Ayam Bangkai dengan Memakai Uji Fisiko Kimia dan Mikrobiologi. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. (ISSN 0410-6320;Terakreditasi) Vol. 31, No. 04 Desember 2006.

2. Bintoro, V.P., D. Cantin-Esnault and J. Alary. 1995. Validation of a Modified Spectrophotometric Method for the Determination of Nitrate in Dry Milk using 2-sec-butylphenol, Analysis, The Analytical Journal of The Royal Society of Chemistry, (ISSN 0003-2654) Nov. 1995 Vol 120; p. 2747 2753

3. Bintoro, V.P., J. Morita, K. Mikawa and T. Yasui. 1987 Chemical and Microbiological Analysis of an Indonesian Dried Beef. The Journal of The Faculty of Agriculture, Hokkaido University. (ISSN 0215-2584) Vol. 63 Pt 3 1987; p. 287-29

4. Winarno, F.G. 1986. Keamanan Pangan dan Masalah Peraturan dan Perundangan. Proceeding Seminar Keamanan Pangan dalam Pengolahan dan Penyajian, 1-3 September 1986. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, UGM, Yogyakarta; 32-39

5. Wilm, K.H. 2000. The Cause of Food Scandals, Our Foods, Food Safety and Control System. www.ourfood.com.

PERANAN ILMU DAN TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN

KEAMANAN PANGAN

22

Page 23: Tugas Keamanan Pangan Baru

KELOMPOK 4

Dosen pembimbing :

Dr. Mellova Amir , M.Sc.,Apt.

Oleh :

Juleha,S.Farm

Laela suhaela, S.Si

Beny hidayat, S.Farm

23