katulistiwaedisikhusus

20
katulistiwa Aku, Kamu, Kita, Bersuara, Untuk Ibu Tercinta! “Merendahkan suaramu, bersabar melayaninya dan membuat dia tertawa” -Felix Siauw edisi khusus

Upload: muslim-machbub

Post on 13-Mar-2016

214 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Hari Ibu

TRANSCRIPT

ka

tulistiwa

Aku, Kamu, Kita, Bersuara, Untuk Ibu Tercinta!

“Merendahkan suaramu, bersabar melayaninya dan membuat dia tertawa” -Felix Siauw

edisi k

husus

Editorial K A T U L I S T I W A2 “Mendengar\ dan Melayani”

Kadang pikiran kita tak samaMembuat semua menjadi jauhKadang kau selalu membuatKesimpulan sebelum ada penjelasanSesekali kau bernada kerasAku bungkam, aku ketakutanNamun kau tak tahu ituMataku menangis, batinku menjeritTapi tak ada yang mendengarIsi hatiku hanya kusimpanDan ku tulis dalam sebuah lembaranLembaran ini ku tulisBukan karena aku membencimuTapi bentuk cintaku padamuYang tak ingin kau begini

Lembaran Untuk Ibu

Assalamualaikum. Wr. Wb. Salam cinta penuh asa, salam sejahtera untuk kita semua. Buletin KATULISTIWA (KAbar akTUal LIntaS ma-

(Rosiana N./PGSD 2013)

hasisWA) adalah buletin yang diterbitkan oleh Komisi Media dan Humas De-wan Perwakilan Mahasiswa FIP UNY. Dengan jargon “Aku, Kamu, Kita, Ber-suara!” buletin KATULISTIWA biasanya memuat aspirasi mahasiswa yang

ada di FIP UNY. Namun pada edisi khusus kali ini, buletin KATULISTIWA memuat tulisan mahasiswa FIP UNY dengan tema ‘Ibu’. Tingginya minat mahasiswa FIP untuk menulis tentang Ibu menjadikan salah satu faktor terbitnya buletin KATU-LISTIWA edisi khusus. Semoga kami tetap selalu “Mendengar dan Melayani”.

IBUubi

Aku salah..Selalu termakan emosi dalam hatiKau dan aku mungkin tak samaTapi emosi sama-sama memakan kitaMelarutkan amarah dalam jiwaIngin rasanya akuMelunturkan semua noda hidup kitaMelukiskan kebahagiaan dengan tinta cintaUntuk orang yang ku sayangIbu..Jangan pernah kau beginiMaafkan aku jika aku mulai salahMembuat hatimu terluka

K A T U L I S T I W A 3“Mendengar\ dan Melayani”

Seindah paras yang kau tampilkanManis kilauan pancaran kasih sayangmu

Sembilan bulan menungguPenuh suka, duka, dan derita

Pujaan mimpimu

Akan menjadi benih yang menyinari duniaHarapan dan doa terus kau panjatkan

Mimpi dan harapan indah menjadi penentianmu

Sabar dan terus lakukan yang terbaikPengabdianmu takkan terganti

Ajaran bijakmu menyentuh hati nuraniSebuah analogi yang merasuk ke dalam hati

Ibu……..Terimakasih atas segala perjuanganmu

Ijinkan aku membalas jasamuDengan doa yang kupanjatkan di atas nisanmu

(Briliyan S.A/PGSD 2011)

IBU

Ketika ku masih dapat memandang senyum manismuKetika itu pula ku sering menyakiti hatimuSemua yang telah terjadiKini ku simpan dalam bingkai biru kenangan manisSelamat jalan ibuPercayalah putrimu akan menjadi wanita baik sepertimuTerima kasih ibu

(Isti Evi R./PGPAUD 2011)

Bingkai Biru

21 Desember 2013 pukul 23.46 WIB Masih di depan laptop den-gan segudang tugas UAS yang harus selesai dan tagihan untuk agenda esok. Ini sangat melelahkan dan mataku semakin berat. Kos sudah sepi dan udara yang dingin membuat ingin tidur saja. Baru saja mengam-bil bantal dan melihat note di dind-ing kamar kos. “Tanggal 22 Desember 2013, hari

Ibu” Kuambil note itu dan pikiran ini mulai mengenang. Entah kenapa setiap kali ibu disebut dan melin-tas di pikiran, air mata tak per-nah sungkan untuk keluar. Kenangan itu, perjuangan ibu, kekuatannya,

15 menit dan ikhlasnya. Ibu bagiku sosok den-gan kata “paling kusayangi” pun tak akan cukup untuk mengungkapkan sayangku pada beliau. Kata “pal-ing berharga” pun tak cukup untuk mengungkapkan beliau adalah orang paling berharga. Tahun ini genap 9 tahun ibu berjuang sendiri demi anaknya. Kecelakaan tahun 2004 adalah pertanda dari Allah SWT bahwa Dia percaya ibu bisa berjuang tanpa Ba-pak. Di tahun itu juga, aku percaya ibu berpikir bahwa segala keputusan yang dibuatnya sekarang adalah un-tuk masa depan anaknya. Keputusan seorang single parent untuk bekerja menempuh 67 km setiap hari, tak menghiraukan sakit, panas, atau pun hujan.

Ibu, siang malam engkau perjuangkankuKau tidak pernah lelah membawakuDisaat aku butuh kehagatanmu Engkau selalu ada, hingga saat itu tibaPengorbanan yang begitu besar kau Pertaruhkan untukuDan pertama kali..Kau berikan sentuhan lembutmu Disaat aku melihat dunia baruKu dengar suara merdumuSindah melodi syahduKau tatih aku dengan sabar hingga aku dapat melangkahTulus cintamu mengarungi duniakuDo’amu adalah cahaya penerang hidupkuEngkau cahaya kasihku Takkan tergerus oleh waktuKarena cinta kasihmu seperti sang surya menyinari bumiPengorbanan adalah motivasi meraih harapankuDan anakmu akan menghapus air matamuSelembut kasih sayangmu kepadaku.

Engkau cahaya kasihku

(Faruq Elmawa/PGSD 2011)

K A T U L I S T I W A4 “Mendengar\ dan Melayani”

(Fani Akdiana./PGSD 2012)

22 Desember 2013 pukul 00:01 WIBDada ini semakin sesak dengan isak tangis yang kutahan agar tak terden-gar keras di kesunyian malam. Esok adalah hari di mana banyak anak akan mengucapkan selamat hari ibu untuk ibu mereka. Esok seharusnya aku di rumah dan bercengkrama denganmu, ibu. Walau tak bisa menatapmu langsung untuk berkata “Aku sayang ibu” percayalah bahwa hati dan bibir ini ingin. Kau yang mendidikku hingga seperti ini. Kau yang selalu mengamini mimpi-mimpiku dan semua mimpi yang akan ku capai hanya untukmu, Bu. Selamat hari ibu dan aku sayang padamu, ibu...

-IBU- PERJUANGAN MU UNTUK SEORANG ANAK YANG

KAU KENAL SEBAGAI -KITA-Saat engkau tertidur, kupandangi wajah mu… Masih ingin ku mendekapmu. Masih ingin ku menciummu. Tak pernah kusadari, waktu cepat berlalu.

Kini engkau menjadi besar. Kini engkaulah harapanku.“Tumbuh-tumbuh lah annakku. Raih lah cita-cita mu. Jangan pernah engkau ragu sayang. Do’aku slalu bersamamu. Membuat aman di hidupmu,

selamanya…”“sepenggal lagu yang berisi kata hati seorang ibu”

Apa yang dirasakannya sebe-lum tidur… apa yang dipikirkannya tentang esok hari demi anaknya. Sepenggal lirik lagu itu mungkin hanya setitik mewakili perasaannya. Saat anak yang dilahirkannya merasa bahwa dunia ini telah di genggaman-nya, seorang ibu akan tetap merasa seperti itu tanpa berubah sedikit-pun. Do’anya, harapannya, keba-hagiaannya, bahkan mungkin sedikit ditambah dengan ketakutan bahwa tak aka nada lagi waktu bersama putra-putri tercintanya seperti saat dia memiliki kesempatan untuk menimangnya.

Kita semua yang berdiri disini, yang meneriakkan kata-kata disini, dan yang berjuang disini po-sisi kita semua sama yaitu anak dari seorang ibu. Ibu yang jauh di pulau sana, ibu yang jauh di dunia yang lain, dan ibu yang sedang menunggu kedatangan anaknya di rumahnya. Jerih payah, panjatan do’a-do’a, tetesan- tetesan air mata dari seseorang yang kita sebut ibu tak akan terhingga jumlahnya, dan tak akan pernah bisa kita membalasnya. Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan. Sebaris kata yang bermakna dan mutlak maknanya,

K A T U L I S T I W A 5“Mendengar\ dan Melayani”

namun sering terlupa oleh seorang manusia yang kita sebut anak dan itulah diri kita saat ini. Detik-demi detik terlukis oleh nafas tanpa renungan bermakna tentangnya. Seberapa sering diri ini berkata pada diri ini, “Aku telah dapat mencari uang sendiri”? Di kala beasiswa demi beasiswa, presta-si demi prestasi teraih, agenda demi agenda terlaksana, yang terucap dan terpikir hanyalah “Aku telah menjadi orang hebat dan kini aku harus meningkatkan segalanya, ke-mudian kutuai hasilnya”. Di waktu yang sama, tak beda bahkan satu kedipan mata kita disaat seorang manusia yang kita sebut “diri kita” menyombongkan diri diatas segalan-ya, masih ada waktukah untuk diri ini berpikir bahwa ada seorang yang masih menunggu diri kita dan men-ganggap kita sebagai orang biasa? Dihadapannya kita masih seorang anak yang ingin ia perjuangkan ke-hidupannya, yang masih ingin dihan-gatkannya saat malam, yang masih ingin dikecupnya saat kita tengok. Masih sempatkah kita? Dia bukan menunggu sebuah hadiah saat kita mencapai kesuksesan. Dia bukan menunggu mendengar kata terima kasih dalam pidato kebanggaan kita saat kita berada di puncak tertinggi Himalaya. Dia hanya menunggu kita mengingatnya sejenak sesaat saja, mendekapnya sesekali dan menci-umnya untuk suatu waktu. Itulah seorang ibu. Bagi seorang anak layaknya kita, perjuangan hidup ini akan

terasa sangat lama dan melelahkan. Meniti cita-cita, mengejar prestasi dan kesuksesan. Jalan yang dilewati begitu terjal dan melelahkan. Tan-pa air menentang terik matahari. Tanpa sehelai pakaian hangat saat salju menghadang. Namun bagi se-orang ibu, perjalanan seorang anak yang sedang diperjuangkannya saat ini terasalah bagaikan hembusan an-gin di musim dingin, tak akan mer-ubaa apa-apa. Keinginannya untuk memiliki waktu bersama dengan anaknya akan seggera sirna, ditah-annya sejenak saat kita remaja yang mulai mengenal dunia, kerinduannya terhadap kita ditahannya beberapa waktu saat mengirimkan kita ke perguruan tinggi untuk menggapai cita-cita, dan kerinduannya direlakan saat kita memiliki dunia kita sendiri suatu saat nanti. Si mata seorang ibu, masih adakah jalan yang lebih terjal dilewatinya melebihi pengor-banannya bagi kita selama ini? Semua orang diantara kita mengakui bahwa jasa seorang ibu tak sanggup untuk hanya diungkap dengan kata-kata, bahkan belum lah cukup ketika kita memaknainya den-gan hati kita sepanjang masa. Tapi jarang diantara kita yang merenung-kan bagaimana perasaan seorang ibu saat menatap kita, memandangi wajah kita, dan bagaimana dia me-lewati singkatnya waktu menimang, mendekap, mengantar, menasehati dan bersama dengan kita. Dia mera-sakan seorang diri dengan rasa penat hingga lelah saat harus mengandung mu dan mengajakmu jalan-jalan ber-

K A T U L I S T I W A6 “Mendengar\ dan Melayani”

sama selama sembilan bulan, tanpa tahu bagaimana kita nanti, akankah jadi anak durhaka atau berbakti… bahkan tak sekalipun pikiran itu terlintas dibenaknya. Hatinya selalu meratap dan berdo’a akan kesuksesan seorang manusia layaknya kita. Siapapun seorang ibu begitulah yang ada dihatinya. Saat melahirkan dia kesakitan seorang diri, mempertaruhkan nyawanya demi nyawa kita yang belum pasti apakah suatu saat kita akan men-durhakainya atau tidak. Belum cukup perjuangannya selama sembilan bulan, dipertaruhkannya hidupnya demi seseorang layaknya kita saat kita berusaha untuk keluar dari rahimnya. Cukupkah balasan yang kita berikan padanya selama ini? Masa kecil telah berlalu, masa bersama seorang ibu tuk didekap, dicium dan digen-dongnya telah sirna bersama debu. Masa remaja telah terpaku, masa saat kita sering membentak, menyalahkan seorang ibu telah tertancap dalam hingga tak terlihat lagi. Kini kita menuntut ilmu diperantauan, rindu dan belas kasih pun terpisah jarak. Tak terlihat lagi tetes tangis ibu yang bu-tuh usapan kasih tangan seorang anak di perantauan. Tak terdengar lagi do’a-do’anya di setiap renungannya. Disini terlena lah seorang anak dengan dunia baru yang dipilihnya. “Sesekali tinggalkanlah dunia indahmu untuk memanggilnya, menanyakan bagaimana keadannya disana, memohon maaf padanya dan do’akanlah ia di saat-saat khusyukmu. Jika waktu masih terbuka dan tersempatkan untuk menjenguknya, larilah sejenak, sebentar saja untuk mendekap dan menciumnya, menunaikan permintaannya. Jika ia telah pergi do’akanlah ia setiap detik, setiap menit dan setiap waktu tentang kebahagiaannya di alam sana, dan ucapkan salam terima kasih padanya atas segala pen-

(Fawzia Aswin H./PGSD 2013)

Akun twitter Himpunan di FIP UNy :dFYI!

Ben update

@pg

sdw

ates

@pg

sdka

mpu

s3

@pg

sdka

mpu

s2

@HimaPaudUNY@HIMAAP_FIPUNY

@hi

mat

puny

@H

impu

nanp

lbun

y

@H

impl

us_u

ny

@HimaKP_UNY

@HIMAPPBUNY

gorbanan dan ratapan kehidupannya selama ini untuk seorang manusia yang dikenal sebagai “KITA”.”

K A T U L I S T I W A 7“Mendengar\ dan Melayani”

K A T U L I S T I W A

Suatu ketika, di khayan-gan, seorang bayi akan ditu-runkan untuk dilahirkan ke bumi. Sebelum diturunkan ke bumi, sang bayi pun bertanya kepada Tu-han, “Tuhan, di surga ini begitu ban-yak nyanyian dan hiburan yang mem-buat bahagia. Apakah di bumi juga ada nyanyian dan hiburan seperti di surga?” Lalu Tuhan pun menjawab, “Tenang saja, di bumi aku sudah menitipkanmu pada seorang malaikat yang kelak akan menyanyikan lagu-lagu untukmu dan menghiburmu.” Lalu bayi itu pun bertanya lagi, “Tuhan, di surga apabila kita lapar dan haus, kita tidak per-lu sulit untuk mendapatkan ma-kanan. Apakah di bumi kita juga akan mendapat makanan dan minu-man seperti di surga?” Lalu Tu-han pun menjawab, “Tenang saja, di bumi malaikatmu kelak akan memberimu makan dan minum yang cukup, bahkan ia rela tidak ma-kan asal kau bisa makan cukup.” Lalu bayi itu pun bertanya lagi, “Tuhan, kudengar di bumi itu panas tidak seperti di surga yang dingin.” Lalu Tuhan pun men-jawab, “Tenang saja, malaikatmu kelak akan menjagamu dari panas-nya matahari.” Lalu bayi itu pun bertanya lagi, “Kudengar di bumi banyak orang jahat, apakah aku

akan aman jika aku turun ke bumi nanti?” Lalu Tuhan pun menjawab, “Tenang saja, malaikatmu itu akan melindungimu dari semua orang ja-hat.” Di detik-detik sebelum bayi itu turun ke bumi, bayi itu pun bertanya, aku harus memanggil malaikatmu itu apa?” Lalu Tuhan pun menjawab, “kamu dapat me-manggilnya dengan sebutan “IBU” “. Manusia, sesuai dengan kodratnya, dilahirkan dari rahim se-orang wanita yang kita sebut den-gan ibu. Kita sendiri hanya bisa mengandai-andaikan betapa berat perjuangan ibu untuk melahirkan dan membesarkan kita.Bayangkan, tubuh manusia pada umumnya han-ya mampu menahan 45 del (unit) rasa sakit. Tapi saat seorang Ibu melahirkan, tubuhnya merasakan sampai 57 del (unit) rasa sakit. Ini sama saja dengan merasakan ada 20 tulang yang patah disaat bersamaan. Itu baru melahirkan, padahal perjalanan wanita seba-gai seorang ibu baru saja dimulai. Ketika usia kita masih dalam hitungan bulan, ibu hampir sepan-jang malam terjaga karena tangisan kita. Saat kita sudah mulai belajar berjalan, ibu mengikuti kemanapun kaki kita melangkah. memperhatikan dengan perasaan cemas, khawatir

Ibuku, MalaikatkuK A T U L I S T I W A8 “Mendengar\ dan Melayani”

“Mendengar\ dan Melayani” 5

Pelindung: Dr. Haryanto, M.Pd. I Penasehat: Unik Ambarwati, M. Pd. I

Penanggungjawab: M. Khoerul Anwar I Pimpinan Redaksi: M. Muslim

Machbub S. I Redaktur: Arief Setiadi I Layout: Mpim

K A T U L I S T I W A

kan tangan baru untuk di genggam. Setelah melepas buah hat-inya untuk menikah, bukan be-rarti purna tugas ibu. Ketika kita bertengkar dengan pasangan, kema-na pula kita hendak mengadu? Ke-pada ibu lagi kita tumpahkan segala marah dan sedih yang mengendap

dalam hati. Ibu selalu mengerti buah hatinya, mendengarkan den-gan penuh cinta. Beliau seolah tak pernah kehabisan kata-kata un-tuk meluluhkan ego buah hatinya. Sahabat, pernahkah terlin-tas di pikiran sahabat sekalian, apa jadinya jika kita terlahirkan di dunia tanpa seorang ibu? Apa yang bisa kita lakukan di dunia ini sendirian jika Tuhan tidak menganugerahkan kita malaikat bernama “ibu”? apa yang akan kita lakukan jika Tuhan tiba-tiba mencabut malaikat kita sementara belum sempat kita ucap-kan maaf atas segala kata yang per-nah menyayat hatinya? maka, pe-luklah ibu dan minta lah maaf atas segala dosa-dosa yang kerap kita perbuat selagi belum terlambat.

buah hatinya jatuh dan terluka. Ketika kita beranjak dewasa, Ibu selalu menyebut kita dalam set-iap doanya, memohon kepada Tuhan atas keselamatan anaknya yang be-lum juga pulang hingga larut malam. Tak tahukah kalian? Betapa leganya hati ibu ketika melihat buah hatinya tiba di rumah dengan sela-mat. Betapa beliau ingin memeluk dan mencium kita, bersyukur kepada Tuhan karena doa-doa panjang nya di ijabah. Tapi segera beliau tahan segala keinginan tersebut, ibu tahu kita sedang lelah dengan segala ak-tivitas di luar rumah. Ibu tetap memberikan senyum nya yang ter-indah, meski sering kita balas den-gan muka masam dan tidak bersa-habat. Ibulah yang paling mengerti kita, mengerti kapan buah hatinya butuh teman atau ingin sendirian. Ketika buah hatinya me-nikah, sepotong hati yang paling sedih sekaligus bahagia adalah hati milik Ibunda. Bagaimana tidak? buah hati yang dulu selalu menggenggam tangannya dengan erat, kini te-lah beranjak dewasa dan menemu-

“Terkadang kita terlalu fokus berharap pada apa yang tidak kita punya, dan melupakan apa yang kita punya,” (Nick Vujicic)

(Yulia M./PGSD 2013)

K A T U L I S T I W A 9“Mendengar\ dan Melayani”

Sampai sekarang, entah mengapa set-iap melihat anak-anak kecil, aku selalu merasa senang. Dekat dengan mereka membuatku ter-tawa, nyaman sekali. Mereka mengingatkanku pada kebiasaan waktu saya kecil dulu. Bermain petak umpet menggunakan baterai bekas yang kotor, makan sate belalang hasil tangkapan di sawah, berenang di empang yang dibuat jamban. Itu memang terkesan san-gat menjijikkan, tapi setidaknya da-pat membeli kebahagiaan yang tidak dapat dibeli oleh orang-orang kaya. Dulu saat kecil, jangankan mengenal play station, handphone, apalagi komputer. Televisi pun masih jarang dijumpai di desa tempatku tinggal. Keluargaku bahkan hanya mampu membeli yang hitam putih. Itu pun setiap malam rumah kami tidak pernah sepi oleh kehadiran tetangga yang menumpang untuk sekadar melihat tayangan Misteri Gunung Merapi. Kalau sudah kum-pul begitu, lucu sekali rasanya meli-hat mereka ramai berkomentar dan mengekspresikan kehebohannya ten-tang adegan mak lampir yang cukup kontroversi. Seolah mereka tidak terima oleh jalannya film yang sudah ditentukan oleh sutradara, haha. :D Walaupun terkadang, ada sedikit rasa kecewa kar-ena televisi kami tidak besar dan berwarna seperti milik tet-angga sebelah. Ibu hanya bilang:“Televisi besar atau kecil, berwarna atau hitam putih, adegan di tayan-gan mak lampirnya tetap sama kan, dek. Ibaratnya gini, seperti baju, mis-

alnya adek pakai baju warna orange sama pakai baju warna hitam, orang-orang tidak pernah mempermasalah-kan adek mau pakai baju warna apa, kan? Karena mereka tau, adek ya adek. Bukan dikenal dari pakaiannya tapi dari kepribadiannya, mudheng?”“Mboten,” jawabku selugunya sam-bil melongo. Itulah ibuku. Sosok yang sering sekali mengajarkan anak-anaknya suatu moral menggunakan analogi yang lebih sederhana. Se-orang ibu yang cinta kasihnya lebih murah dari semua diskon sebesar apapun. Dan beliau-lah dzat yang marahnya mengandung arti ketu-lusan yang maha dahsyat, semarah apapun. Bapak juga pernah berkata bahwa jika ingin memiliki televisi yang lebih besar dari tetangga sebe-lah, aku harus jadi anak yang pandai dan rajin sholat. Sejak saat itu, se-tiap ditanya oleh guru SD tentang cita-citaku, aku selalu menjawab dengan percaya diri, ingin membeli televisi yang besar dan berwarna. Keluarga kami memang bu-kan keluarga yang berada, namun bapak dan ibu tidak pernah memper-masalahkan hal itu kepadaku. Jus-tru mereka lebih fokus mendidikku bukan pada hal-hal yang bersifat materi dan bersifat manja. Pernah sekali, karena saling berebut game watch milik temanku, aku menangis

Marahmu Cantik, Ibu....…K A T U L I S T I W A10 “Mendengar\ dan Melayani”

Marahmu Cantik, Ibu....…karena dia hanya mau meminjamkan mainannya selain kepadaku. Dengan berbekal air mata, aku pulang ke rumah dan mengadukannya kepada ibu, berharap beliau akan membe-laku. Alih-alih menanyakan alasanku menangis, ibu malah memarahiku habis-habisan dan melarang aku bermain jika akhirnya hanya pu-lang dalam keadaan menangis. Aku heran mengapa ibu tidak bersikap seperti ibu-ibu lain yang akan menenangkan anaknya ketika sedang bermasalah dengan teman-temannya. Sekaligus sedih karena merasa tidak ada yang mendukung untuk melawan temanku waktu itu. Ternyata, dewasa ini aku baru sadar bahwa inilah cara ibu menghindarkanku dari sifat cengeng dan pendendam. Ibu memang suka marah-marah, tapi aku suka sekali meli-hatnya. Jika sedang marah, seisi ru-mah mungkin tidak bisa menangkap apa yang sedang ibu katakan. Ibu terlihat seperti sedang menghafal-kan teks yang tidak ada jeda dan tanda bacanya. Ah, kurang sopan sekali aku menganggapnya seper-ti itu dulu. Jadi ingat ketika ibu memarahiku hanya gara-gara be-rani minta uang jajan sama kakek.“Apakah ibu pernah mengajarkanmu untuk minta uang selain pada ibu dan bapak?” begitu jawaban bapak saat kutanyakan kemarahan ibu.

Dan yang tidak pernah ku lupakan sampai sekarang adalah kebiasaan kecilku menangis dan pipis di cela-na, yang membuat ibu benar-benar lelah karena harus menggendongku kesana-kemari menuruti kemauanku. Bahkan sampai menahan malu kar-ena suatu malam, tangisku sangat kencang, sehingga tetangga menegur ibuku karena dirasa tidak mau menu-ruti kemauanku. Pantas saja jika ibu sedikit marah padaku waktu itu. Semakin dewasa, aku mulai memahami kemarahan seorang ibu. Marah yang penuh kasih, marah yang sabar tapi mendidik, dan yang paling penting, marah yang tanpa benci. Karena ternyata, itu bu-kan marah yang sesungguhnya, itu kasih sayang. Sekarang, semua ke-nangan itu telah terpatri di ru-ang hati yang memang ku-khusus-kan untuk bapak dan ibu. Ruangan yang selamanya hanya terisi oleh kenangan antara aku dan mereka. Malam ini, setelah lama tak mendengar marah ibu, ingin sekali rasanya melihatnya tidur lelap. Aku rindu memeluknya. Sayang, kini aku bukan sosok putri kecil mereka lagi yang setiap saat bisa melihatmu Bu, Pak. Aku bergelar mahasiswa kini. Hidup di perantauan. Tapi alhamdulillah, hal itu tidak sang-gup mengganti password kehebatan kalian dalam pikirku. Dengan uban yang begitu banyaknya, sudah cu-kup menjadi saksi akan perjuangan kalian selama ini untukku, adik-adik-ku. Bahkan sampai detik ini, mem-

K A T U L I S T I W A 11“Mendengar\ dan Melayani”

bayangkan kerutan di setiap bagian tubuh kalian, menyadarkanku bahwa kelak kami tak akan hidup bersama lagi. Kalian tahu? Sekeras apapun usaha untuk menenangkanku, aku masih tetap takut hal itu akan terjadi.Seandainya waktu dapat mengembalikanku menjadi putri kecilmu lagi, aku rela melakukan apapun. Ya, apapun, agar kita tetap bersama. Termasuk mend-engar marahmu setiap hari. Kau tahu? Aku rindu marahmu yang cantik itu.Yogyakarta, 22 Desember 2013Ini harimu, Ibu. Tetaplah cantik. Percayalah, selalu ada engkau dalam setiap doaku. Semoga kau sehat dan bahagia. Sedang apa kau di sana, Ibu? Anakmu rindu.*** When I was just a little girlI asked my mother, what will I beWill I be pretty, will I be rich Here’s what she said to me..

Que Sera, Sera,Whatever will be, will beThe future’s not ours, to see Que Sera, SeraWhat will be, will be..When I was just a little boy

(Titik Nur I./PGSD 2011)

I asked my mother, what will I beWill I be handsome, will I be rich Here’s what she said to me.. Que Sera, Sera,Whatever will be, will beThe future’s not ours, to see Que Sera, Sera.. Teruntuk semua ibu di dunia,Dariku, segumpal daging yang be-ranjak dewasa :)

Pagi yang berselimut mend-ung di Kecamatan Tanjungsari, Gu-nungkidul. Angin laut terasa lebih kencang dari biasanya, membuat pagi ini begitu dingin. Ya, rumahku terletak di tepi pantai. Tepatnya Pantai Drini, Kabupaten Gunung-kidul, Yogyakarta. Kampung Ne-layan. Tidak terlalu luas dan selalu terasa sejuk karena sepoinya angin laut. Walaupun pagi ini cuaca tidak begitu cerah, tapi ibu tetap menja-

jakan dagangannya pada pengunjung pantai yang saat ini tidak terlalu ramai. Ibuku adalah seorang peda-gang gorengan dan aneka makanan tradisional yang diambil dari salah satu pemasok makanan. Sedangkan bapakku adalah seorang nelayan. Aku memang tidak terlahir di kelu-arga yang serba ada. Aku juga tidak merasa istimewa meskipun aku ada-lah anak tunggal di keluarga ini.

CAHAYA PEMERSATU

K A T U L I S T I W A12 “Mendengar\ dan Melayani”

Tempatku menuntut ilmu saat ini adalah sebuah SMP yang tidak begitu favorit di daerahku karena aku memang bukan anak yang cerdas di bidang akademis. Tapi bu-kan berarti aku bermalas-malasan saat belajar. Aku selalu berusaha semaksimal mungkin dalam mengh-adapi ulangan atau ujian akhir se-mester. Namun, entah kenapa aku tetap tidak bisa mendapatkan nilai tinggi seperti teman-temanku. Bia-ya sekolahku saat ini jelas bergan-tung pada hasil jualan ibu dan uang hasil penjualan ikan yang didapatkan bapak. Padahal, hasil berdagang ibu hanya cukup untuk memenuhi ke-butuhan dapur, arisan setiap bulan, menjenguk orang sakit, dan masih banyak kebutuhan yang lain. Sedan-gkan bapak tidak selalu berangkat untuk mencari ikan. Maklum, kondi-si bapak memang kurang sehat. Su-dah lama bapak sering batuk-batuk. Bahkan beberapa hari lalu, bapak batuk hingga mengeluarkan darah. Mungkin bapak mempunyai masalah dengan paru-parunya. Namun, itu hanya dugaanku saja karena sampai saat ini bapak belum pernah memer-iksakan diri ke dokter. Itulah yang menyebabkan pembayaran sekolahku sering tertunda hingga berbulan-bulan. Dan itu mengakibatkan ba-pak sering dipanggil untuk memberi kepastian pada sekolah kapan bisa membayar biaya yang nunggak itu. Hidup dalam keadaan ekono-mi yang seperti ini jelas tidak mu-dah bagiku. Aku harus siap mena-

han malu setiap kali namaku disebut oleh wali kelas dan harus menemui staf tata usaha untuk mendengar-kan ceramah yang menurutku san-gat membosankan, agar aku cepat membayar uang tunggakan sekolah. Selain itu, saat teman-temanku is-tirahat dan berlibur di hari min-ggu, aku justru harus membantu ibu berjualan. Meskipun lelah, tapi aku merasa puas karena setiap min-ggu dagangan yang ku jajakan selalu ludes oleh pengunjung pantai yang memang pasti lebih ramai dari bi-asanya. Setidaknya tenagaku untuk berjualan tidak sia-sia. Kegiatanku setiap minggu hampir tidak pernah berubah. Sudah menjadi rutinitas yang membosank-an. Pulang sekolah, aku sering duduk termenung di depan rumah hanya untuk melihat orang-orang berkun-jung di pantai. Siang ini aku melihat seorang ibu mendampingi anaknya, kira-kira seumuran denganku, yang sedang bermain air di tepian pantai. Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaannya. Membandingkan apa yang ku lihat dengan kehidu-panku saat ini, aku merasa bahwa aku tidak pernah merasakan keba-hagiaan seperti yang ku lihat ini bersama ibu. Aku membayangkan jika aku terlahir dari rahim seseorang yang benar-benar menyayangiku dan dapat membuatku bahagia pasti aku tak harus susah payah berjualan dan sesekali bisa berlibur seperti orang yang ku lihat saat ini.“Win, ayo makan!” teriakan ibu dari

K A T U L I S T I W A 13“Mendengar\ dan Melayani”

dalam rumah memecah lamunanku. Aku tak menjawab, kaki ku dengan berat berjalan menuju suara ibu. Seperti dugaanku, ikan kecil-kecil hasil tangkapan bapak kemarin, dan gorengan sisa dari jualan ibu menjadi menu makan siang hari ini.“Makan yang benar, Win. Bersyukur kita masih bisa makan,” kata ibu.“Iya, Win. Jangan cuma di aduk-aduk seperti itu makanannya,” lan-jut bapak. Aku tidak menanggapi. Aku langsung beranjak dari tempat dudukku dan lari keluar rumah. “Mau kemana kamu, Win? Win… Win…,” teriakan ibu semakin tak terdengar saat aku berlari semakin jauh dari rumah. Aku terus berjalan tanpa tujuan. Entah kenapa aku tak ingin bertemu orang tuaku. Aku hanya in-gin merenungi hidupku, memikirkan nasibku dan apa yang harus ku laku-kan dengan hidupku yang tak pernah berubah ini. Aku ingin punya bapak dan ibu yang bisa menuruti keingi-nanku. Tidak seperti ibuku, yang setiap hari hanya menyuruhku ber-syukur. Tapi tidak pernah melaku-kan sesuatu yang membuatku dapat mensyukuri kebersamaanku dengan-nya. Hari menjelang sore, aku masih berjalan. Sampai akhirnya aku berhenti dan duduk sejenak di pos ronda. Tak lama kemudian, aku melihat seorang anak kecil berjalan bersama seorang perempuan paruh baya. Setiap orang yang lalu lalang di daerah itu pun melihat ke arah dua orang itu. Si anak kecil me-

megang erat tangan kanan seorang perempuan yang berada di samping-nya, menuntun perempuan itu den-gan perlahan, sangat sabar. Dari jauh tak ada yang aneh dengan si anak kecil. Ia mengenakan kaos merah dan rok pendek coklat. Perawakannya tidak terlalu kecil, sedang. Tetapi, seorang perempuan yang digandeng-nya sangat menyita perhatianku. Rambutnya hitam terurai, memakali daster dengan motif bunga cerah yang panjangnya dibawah lutut, ku-litnya tampak bersih. Setelah tepat sampai di depan pos ronda tempat-ku duduk, anak kecil itu mengajak perempuan yang digandengnya un-tuk menyeberang. Mereka berjalan ke arah pos ronda tempatku duduk. Aku benar-benar tak bisa melepas-kan pandanganku pada perempuan itu. Semakin dekat, terlihat ram-but hitamnya tak mampu menutupi seluruh kulit kepala si perempuan, kulitnya putih pucat dan berkerut, tangan kirinya berukuran sedikit lebih kecil dari tangan kanannya, dan kaki kirinya juga terlihat sulit di gerak-kan karena bengkok ke arah dalam yang membuat kaki kirinya itu me-nyerupai huruf C. Si anak duduk di sebelahku. Ia tersenyum melihatku yang masih belum berkedip menatap seorang perempuan yang duduk di sebelahnya.“Kenapa, mbak?” sapanya mem-buatku mengalihkan pandangan dari si perempuan. Aku hanya terse-nyum.“Bu, kita istirahat dulu ya,” kata si anak pada si perempuan yang sedari

K A T U L I S T I W A14 “Mendengar\ dan Melayani”

tadi hanya diam.“Dik, beliau ibumu?” tanyaku.“Iya, mbak. Aku dan ibuku tinggal tak jauh dari sini.”“Siapa namamu, dik?” tanyaku sam-bil mengulurkan tanganku padanya.“Dina”“Winarti, panggil saja Mbak Win,” jawabku sambil tersenyum pada Dina yang terlihat lelah. Aku juga mengulurkan tanganku pada ibunya, berniat untuk kenalan.“Winarti, bu,” sapaku pada ibu Dina. Namun, ibu Dina hanya mem-balasku dengan senyuman.“Sutami, mbak,” Dina menjawab perkenalanku pada ibunya.“Maaf ya mbak, ibuku kurang jelas kalau berbicara. Orang lain, selain aku, sering tidak paham dengan ka-limat ibu. Bahkan ada yang sempat menghina, jadi sejak saat itu ibu tidak lagi mau menjawab pertanyaan orang lain,” lanjutnya.“Oh, iya tidak apa-apa Din,” jawab-ku. Dina terdiam sejenak sambil mengusap keringatnya.“Kamu terlihat lelah, Din.”“Iya, mbak. Sesudah bekerja di ru-mah makan salah satu tetanggaku, aku langsung mengantar ibu, ingin ke pantai. Jadi aku belum sempat istirahat,” katanya.“Kamu sekarang mau pergi ke pan-tai? Kebetulan rumahku dekat den-gan Pantai Drini. Nanti kita bisa jalan bersama.” Aku, Dina dan Bu Sutami mulai berjalan perlahan menuju pan-tai. Sepanjang jalan aku dan Dina bercerita tentang kehidupan masing-

masing. Meskipun ia baru berusia 8 tahun, namun pengalaman hidupnya begitu menarik untuk disimak. Sejak ayahnya meninggal 2 tahun lalu, ia keluar dari sekolah-nya dan mulai bekerja. Saat ini ia bekerja di salah satu rumah makan milik tetangganya yang belum lama ini dibangun di pinggir jalan raya. Jadi, letaknya cukup jauh dari ru-mah Dina. Ia harus bersepeda sejauh 3 km, 6 km pulang pergi. Karena rumah makan itu terletak di ping-gir jalan raya, maka setiap hari ru-mah makan itu ramai pengunjung. Sebelum berangkat bekerja ia harus membelikan makanan untuk ibunya. Mengelap meja, cuci piring, men-gantar pesanan, serta menyapu dan mengepel setelah rumah makan itu akan tutup adalah pekerjaannya se-tiap hari. Tapi, hari ini ia hanya bekerja paruh waktu karena harus mengantar ibunya ke pantai. “Aku selalu berusaha menuruti se-mua kemauan ibuku,” katanya den-gan senyum ikhlas sambil meman-dang Bu Sutami.Selepas bekerja, ia kembali mengurus ibunya di rumah. Mengenai kondisi ibunya, ia tak bercerita banyak.“Dulu kondisi ibu belum separah ini, mbak. Ibu hanya kurang sempurna di kaki dan tangan, sejak lahir. Ka-lau kulit dan rambutnya... beliau sedang sakit, mbak,” aku tak be-rani untuk bertanya lebih jauh. Aku hanya meyimpulkan bahwa Bu Su-tami mengidap penyakit yang cukup berat. Tidak hanya Dina yang men-

K A T U L I S T I W A 15“Mendengar\ dan Melayani”

ceritakan panjang lebar mengenai ke-hidupannya, aku pun bercerita ten-tang apa yang aku rasakan selama ini. Dina pun menaggapi pembicar-aanku. Kami saling bertukar pikiran. Meskipun lebih muda, ia sudah sep-erti teman sebayaku.“Ibuku bagaikan sapu tangan yang selalu mengahapus peluhku, mengha-pus air mataku. Hanya beliau yang memahamiku. Meskipun beliau ser-ing diam, aku percaya bahwa sebe-narnya beliau sangat menyayangiku. Kalau tidak, mengapa aku dibesar-kan hingga bisa sebesar ini?” kata Dina padaku sambil tertawa. Aku hanya tersenyum. Kata-kata Dina benar-benar mengetuk hatiku. Hati-ku untuk ibu yang selama ini masih gelap.“Aku ini anak satu-satunya, mbak. Jadi kalau bukan aku yang mengu-rus ibuku mau siapa lagi? Bahkan ini belum seberapa jika dibanding perjuangan ibu saat melahirkanku. Apalagi kondisi ibuku tidak sempur-na layaknya ibu-ibu pada umumnya. Pasti waktu aku masih kecil, be-liau benar-benar bekerja keras untuk mengurusku. Tentu dengan bantuan almarhum ayah,” kata Dina yang membuatku terharu.“Betapa beruntungnya ibumu memi-liki anak sebakti dirimu.”“Bukan ibuku yang beruntung, tapi aku yang beruntung telah dititip-kan oleh Tuhan kepada malaikat se-baik ibuku,” kata Dina yang semakin membuatku merasa berdosa kepada ibu.

Sampailah kami di pantai. Tepat saat matahari mulai berjalan ke ba-rat. Aku segera berpamitan pada Dina. Aku ingin segera bertemu pada ibuku.“Aku pulang dulu ya, Din,” pamit-ku.“Iya, mbak. Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku.”“Aku yang seharusnya terima kasih, Din. Karena ceritamu, aku jadi tau banyak hal.” Dina tersenyum. Aku bersalaman dengannya dan ibunya.“Sampai ketemu lagi ya, Din...,” teriakku sambil berlari. Dina seperti seseorang yang diperintah Tuhan untuk mengingat-kanku betapa sayangnya ibu padaku dan betapa besarnya dosaku pada ibu. Aku yang sebelumnya tidak mensyukuri kehadiran ibuku, tidak berterima kasih karena beliau selalu menyiapkan makanku, memberiku uang saku, mendoakanku, mangu-rusku sejak kecil.“Ibu? Ibu?” aku masuk rumah den-gan terengah-engah. “Ibu sedang ke tempat bu Ratmi, Win,” kata bapak.“Kenapa kamu terengah-engah?” lanjutnya.“Assalamualikum,” Suara ibu ter-dengar di pintu depan. Aku langsung berlari menghampiri ibu dan meme-luknya.“Kenapa, Win? Dari mana saja kamu, kok jam segini baru pulang?” kata ibu sambil memelukku. Aku hanya diam. Aku menangis. Mung-kin ini tangisan kebahagiaanku. Atau

K A T U L I S T I W A16 “Mendengar\ dan Melayani”

aku menangisi kegelapan pikiranku dulu? Atau aku menangis karena cahaya mulai menerangi pikiranku? Entah, aku tak mengerti. Yang ku tahu, aku menyayangi seseorang yang kupeluk saat ini, ibu. Petualangan hari ini, cerita dari sesama makhluk Tuhan yang begitu kuat, membuatku berubah menjadi lebih baik. Aku berharap selamanya akan terus membaik.Kampung Nelayan, Drini Gunungkidul,malam yang tenang, 22 Desember 2007

Tuhan, terima kasih atas kenikmatan-Mu hari ini. Terima kasih telah membukakan mata hatiku. Memberi cahaya dari gelapnya pikirku. Aku hanya ingin memohon untuk selalu didekatkan dengan bapak dan ibu. Jan-gan biarkan aku meninggalkan sedetik pun kesempatan untuk membuat mereka tersenyum.Untuk Dina, seseorang yang menamparku dari khayalan tinggiku, aku ber-harap semoga kamu selalu diberi kekuatan oleh Tuhan dalam menghadapi hidupmu. Jaga selalu surgamu, jangan pernah melepas tangan ibumu, jan-gan pernah memalingkan wajahmu dari belaian ibumu. Kamu adalah pem-bawa obor yang membuatku tahu jalan pulang dari lorong yang gelap.Bapak, ibu, aku berjanji untuk selalu ada di rumah, ada saat kalian mem-butuhkanku. Ibu, aku begitu beruntung pernah berada dalam hangatnya rahimmu, merasakan hangatnya pelukanmu. Hari ini, tepat di hari kasih sayang bagi seluruh ibu di dunia, aku ingin meminta maaf padamu, ibuku. Maafkan aku yang tak pernah menghargai jerih payahmu. Aku akan selalu menyebutmu tiga kali dalam hatiku, setiap detik, selagi ragaku masih diberi kesempatan untuk mengingat jasamu. Aku mencintaimu.Aku, Winarti Kusumadewi, berjanji akan menjadi pelengkap hidup orang tuaku, kini dan sampai hari tua mereka nanti. Winarti Kusumadewi

(Erfina Nurul F./PGSD 2013)

Do’a Untuk Ibu Bapak“Ya Allah.. Ampunilah bagiku segala dosaku dan juga dosa dua

ibu bapakku dan kasihinilah mereka kedua sebagaimanamereka memelihara dan mendidikku diwaktu kecil.”

K A T U L I S T I W A 17“Mendengar\ dan Melayani”

We love Mom

K A T U L I S T I W A18 “Mendengar\ dan Melayani”

We love Mom

K A T U L I S T I W A 19“Mendengar\ dan Melayani”

Ibu

K A T U L I S T I W A