katahati institute-merangkai kata damai

228

Upload: teuku-ardiansyah

Post on 25-Nov-2015

103 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Aceh, Democracy, Peace, Knowledge

TRANSCRIPT

  • MERANGKAI KATA DAMAI

  • MERANGKAI KATA DAMAI

  • Lahir dari sebuah program Katahati Institute yang bekerjasama

    dengan CCRPS (Center for Conflict Resolution and Peace

    Studies) IAIN Ar-Raniry dan didanai oleh masyarakat Jepang.

    Program yang berlabel Studi Antropologi dan Jurnalisme

    Damai, mendidik para jurnalis pemula, mahasiswa dan pelajar

    menjadi seorang penulis yang handal.

    Dengan semangat penulis Aceh masa silam, katahati institute

    kemudian mengundang para penulis yang selama ini banyak

    terlibat dalam penulisan opini di media-media lokal atau

    nasional. Mereka adalah para akademisi, aktivis, jurnalis sampai

    mahasiswa. Kumpulan tulisan ini disusun menjadi sebuah buku

    yang berjudul Merangkai Kata Damai.

    2009, Katahati Institute. Jl. Lamreung No-17 Ulee KarengBanda Aceh 23117, IndonesiaTelp.(0651) 7410466Fax. (0651) 636947Email: [email protected]: www.katahati.or.id

    Hak cipta dilindungi Undang-undang.

    xii + 210 h. 20 x 25 cm.ISBN 978-979-16458-2-9

    Sampul dan susunan isi dengan huruf Myriaddirancang oleh Khairul Umami.

  • ix PENGANTAR

    1 DAMAI ACEH, DAMAI KITA DRH. IRWANDI YUSUF, M.SC

    5 SEDIKIT (LAGI) TENTANG PERDAMAIAN ACEH REZA IDRIA MOHD. ROEM

    11 MENGGAPAI HARMONI SETELAH BERDAMAI MASTHUR YAHYA

    13 MERAWAT DAMAI DENGAN HATI SEHAT IHSAN SHADIQIN

    17 PANGLIMA AHTISAARI MUNAWARDI ISMAIL

    23 DARI HELSINKI TURUN KE ACEH MUNAWARDI ISMAIL

    27 ACEH: SEBUAH REFLEKSI PERGERAKAN DAN MASA DEPAN PERDAMAIAN MAIMUN

    33 ISU-ISU KRITIS DALAM PEMBANGUNAN PERDAMAIAN ACEH SAIFUDDIN BANTASYAM SH MA

    41 DAMEE-DAMEE MUKHTARUDDIN YAKOB

    45 Akhiri Jeritan; ACEH MASUK BABAK BARU MUHAMMAD HAMZAH

    Daftar Isi

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A Ivi

    51 TINTA DAMAI SAIFULLAH

    57 JURNALISME DAMAI MUHAMMAD SAMAN

    65 PERDAMAIAN ACEH BERTOPENG SEBELAH THAMREN ANANDA

    73 4 TAHUN TANPA KEBENARAN HENDRA FADLI

    77 ACEH DI TANGAN IRWANDI-NAZAR MUKHLISUDDIN ILYAS

    83 MANDEKNYA IMPLEMENTASI MOU DAN UU PA, KESALAHAN SIAPA?

    ARYOS NIVADA

    93 POTENSI ULAMA DALAM MEMPERTAHANKAN PERDAMAIAN ACEH

    MORINA OCTAVIA

    99 SENSITIVITAS KONFLIK RISMAN A RACHMAN

    105 MAKNA PERINGATAN MOU PERDAMAIAN RI-GAM RAIHAL FAJRI

    109 ACEH : AGENDA KRUSIAL DALAM FASE TRANSISI BULMAN SATAR

    121 Aceh Baru: SEBUAH WACANA PEMIKIRAN EFFENDI HASAN

    127 WALI DAN PERJUANGAN RAKYAT ACEH EFFENDI HASAN

    133 LUBANG HITAM DI ERA TRANSISI ACEH SUADI (ADI LAWEUNG) SULAIMAN

    139 PASAR PERDAMAIAN YUNIDAR Z.A

  • vii

    147 MENJAGA PERDAMAIAN, MEMUPUK KEARIFAN LOKAL BUSTAMI ABUBAKAR

    155 PERDAMAIAN ITU SEPERTI GUNUNG PASIR TEUKU KEMAL FASYA

    161 KORUPSI DAN PERDAMAIAN DI ACEH ISKANDAR ZULKARNAEN DAN TUBAGUS ERIF FATURRAHMAN

    169 SABANG, PAX ROMANA, DAN KEMAKMURAN AHMAD HUMAM HAMID

    175 APBA DAN PERDAMAIAN DI ACEH ABDULLAH ABDUL MUTHALEB

    187 MERAWAT PERDAMAIAN DENGAN MEMUTUS RANTAI SIKLUS KONFLIK ACEH

    MARZI AFRIKO

    193 UUPA DAN DAMAI ACEH TAQWADDIN

    199 SEBIJI LADA UNTUK PERDAMAIAN ASADI MUHAMMAD ALI

    205 PEREMPUAN DAN PEMILU PASCADAMAI DI ACEH SRI WAHYUNI

    DA F TA R I S I

  • Membaca Aceh

    Alhamdulillah, akhirnya buku ini bisa kami terbitkan. Setelah melalui beberapa

    proses, kumpulan opini yang terangkum dalam buku ini diharapkan bisa menjadi

    bahan bacaan, bagi pembaca Aceh untuk menumbuhkan ingatan tentang kisah-

    kisah lama dan kini.

    Menulis Aceh, terinspirasi Tom Pires, pelaut ulung asal Portugis saat menuliskan

    Aceh dengan Achei dalam bukunya Suma Oriental pada tahun 1520. Achei ditabalkan

    sebagai nama sebuah kawasan di Pulau Sumatera. Kawasan kerajaan yang mulai

    jaya dalam perang hingga bisa mengusir bangsanya, Portugis dari Selat Malaka.

    Sungguh tak diimpikan Tome Pires kemudian, bahwa Achei kemudian terus larut

    dalam perang, hingga warganya kelelahan dalam kekerasan. Terpuruk kemudian

    pada irama kehidupan yang tidak lebih hanya sebuah racikan ketulusan, kelicikan,

    harga diri, ketamakan, kehormatan, dan keadilan, yang seringkali berawal atau

    berujung dengan kekerasan dan darah.

    Tom Pires juga tak menyaksikan kemudian, bahwa tanda kejayaan itu lahir lagi,

    bahwa perang tak selamanya. Perdamaian telah lahir, terekam pada kisah-kisah

    yang ditulis kemudian oleh ribuan pencatat sejarah. Kendati Aceh tak lagi bernama

    Pengantar Penerbit

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A Ix

    Achei.

    Dengan semangat para penulis Aceh masa silam, kami kemudian mencoba

    mengundang para penulis yang selama ini telah banyak terlibat dalam penulisan

    opini di media-media lokal atau nasional. Mereka adalah para akademisi, aktivis,

    jurnalis sampai mahasiswa. Kumpulan tulisan inilah yang kami susun menjadi

    sebuah buku yang berjudul Merangkai Kata Damai

    Menulis opini adalah berpendapat, ide atau pikiran terhadap topik yang sudah,

    sedang, belum dan akan terjadi. Opini tidaklah bersifat objektif karena belum

    mendapatkan pemastian atau pengujian. Dan apabila di suatu saat bisa dibuktikan,

    maka dia menjadi sebuah fakta. Ada juga pendapat, opini yang dibangun dari fakta

    menjadi sebuah topik. Dengan membuat sebuah penilaian dan tanggapan, maka

    kita telah mengubah fakta menjadi sebuah opini.

    Hadirnya buku ini tidak lain dimaksudkan untuk memaparkan pikiran-pikiran

    dan pendapat penulis atas perkembangan Aceh pasca-konflik yang ditandai

    dengan penandatanganan perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005

    silam.

    Buku ini lahir dari sebuah program Katahati Institute yang bekerjasama dengan

    CCRPS (Center for Conflist Resolution and Peace Studies) IAIN Ar-Raniry dan didanai

    oleh masyarakat Jepang. Program yang berlabel Studi Antropologi dan Jurnalisme

    Damai ini mendidik para jurnalis pemula, mahasiswa dan pelajar menjadi seorang

    penulis yang handal.

    Lalu mengapa buku ini diterbitkan? Katahati Institute menilai perlunya sebuah

    usaha untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran penulis dalam membangun,

    menjaga dan melanjutkan perdamaian Aceh melalui sebuah tulisan. Karena menulis

    adalah sebuah proses mengamati, berpikir, menciptakan dan merenungkan.

    Melihat kekinian Aceh dalam perspektif penulis menjadi sebuah senjata yang

    bermanfaat bagi perkembangan Aceh.

    Bagi para pembaca, setelah anda membaca opini-opini dalam buku ini mungkin

    akan menemukan keistimewaan-keistimewaan tertentu yang belum anda dapat.

    Tergantung bagaimana menilainnya. Mungkin dengan buku ini juga anda akan

    dapat menguak informasi yang masih tersembunyi. Informasi lama dan baru yang

  • xi

    lalu lalang, namun tak pernah tersaring di dalam pikiran dan benak anda.

    Sebagai penerbit, terimakasih tak terhingga kami ucapkan kepada para penulis

    dan pembaca. Karena pada hakikatnya, sekali lagi kami tegaskan bahwa terbitnya

    buku ini dapat membantu kita semua selaku rakyat Aceh menjadi orang yang kritis,

    peduli terhadap apa yang terjadi selama ini di bumi Serambi Mekkah. Ini sebuah

    kumpulan catatan-catatan. Kumpulan inspirasi untuk berbagi.

    Banda Aceh,17 Ramadhan 1430 H, 7 September 2009

    FAHRUL RIZHA YUSUF

    Direktur Eksekutif Katahati Institute

  • Damai sudah dalam genggaman rakyat Aceh sejak Memorandum of

    Understanding (MoU) Helsinki ditandatanganu pada 15 Agustus 2005 lalu.

    Alhamdulillah, kedamaian yang hilang itu kembali terwujud ketika rakyat sudah

    berada pada puncak kejenuhan dan penderitaan seusai dilanda konflik berdarah

    dan dihempas tsunami yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh pada

    2004 silam.

    Kini perdamaian Aceh sudah berusia empat tahun dan sedang menapaki jalan

    lima tahun ke depan. Selama itu pula, rakyat sudah menikmati angin perdamaian

    yang berhembus di saat kritis yang terkadang bisa mendegradasikan optimisme.

    Perdamaian ini seperti gelas yang setengah berisi, bukan gelas yang setengah

    kosong. Tapi yakinlah bahwa suatu saat gelas yang setengah berisi tersebut akan

    menjadi gelas yang penuh. Karena itu, mari semua elemen untuk sama-sama

    mengisi agar gelas perdamaian itu berisi dengan air yang menyejukkan masyarakat

    kita.

    Memang, gerbong perdamaian yang bergerak hingga tiga kilometer pertama

    diserempet banyak aral. Aral itulah yang menjadi ujian sukses tidaknya kereta

    Damai Aceh, Damai Kita

    drh. Irwandi Yusuf, M.ScGubernur Aceh

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I2

    perdamaian ini melintasi rel yang sudah digariskan para perancang perdamaian itu

    sendiri.

    Kita akui, dalam masa tiga tahun pertama, beberapa kali terjadi insiden yang

    membuat kita menjadi pesimis. Membuat hati kita terasa luka. Tak tanggung-

    tanggung, insiden yang terjadi itu berakhir pada kematian dengan motif yang

    disamarkan. Mulai dari isu ekonomi yang sebenarnyabertujuan politis, hingga

    isu-isu kriminal yang brutal.

    Hal-hal seperti inilah yang merupakan batu uji bagi rakyat Aceh, apakah ingin

    kembali ke masa lalu atau ingin melaju menuju masa depan yang sudah di tangan.

    Karena masyarakat pun harus menyadari, merawat pohon perdamaian ini berat. Dia

    harus kita siram dan pupuk dengan urea yang baik. Jangan menebar racun ketika

    pohon ini hendak menggapai angkasa.

    Pemerintah Aceh yang kami pimpin pun tak tinggal diam dalam mengisi

    perdamaian. Tentu saja bersama pemerintah pusat tetap terus memperhatikan

    para korban konflik dan kombatan. Hanya saja butuh kesabaran, karena ini butuh

    proses panjang dan tidak semudah mengutip ranting patah di bawah pohon.

    Karena itu, pohon damai ini harus kita lestarikan, sehingga anak cucu kita bisa

    memetik hasilnya pada suatu saat nanti. Semoga. Sama seperti kita melestarikan

    hutan dan lingkungan, Insya Allah, anak cucu yang merasakan manfaat dari

    perbuatan endatunya.

    Situasi kondusi yang terbangun ini patut terus dipertahankan. Seperti kita

    ketahui, perdamaian itu modal utama pembangunan. Kita harus belajar dari

    berbagai peristiwa konflik masa lalu, mulai sejak zaman kolonialisme, perang

    kemerdekaan, Perang Cumbok, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai kepada

    gerakan perlawanan masyarakat sipil yang mengusung wacana referendum.

    Karena itu, kita harus belajar pula dari perang dan konflik yang menciptakan

    radikalisme dan rasa saling curiga. Tugas kita adalah mengubah dari kebiasaan

    alam konflik menjadi kebiasaan alam damai.

    Kita berharap Aceh tidak lagi menjadi lahan tandus kering yang di atasnya

    tumbuh rerumputan kering yang mudah terbakar dan dibakar, lalu angin yang

    bertiup akan menjalarkan konflik ke seluruh kebun Aceh.

  • 3Oleh sebab itu perdamaian yang sudah ada harus diisi dengan berbagai macam

    kegiatan perekonomian, sosial, kebudayaan, pendidikan, olahraga, dan kegiatan

    yang terkait dengan rekonsiliasi. Intinya damai harus bersemayam dalam jiwa dan

    hati kita.

    Selama ini perubahan demi perubahan telah nyata di bumi Aceh. Di sektor

    ekonomi misalnya, terdapat kenaikan yang signifikan. Sebab pertumbuhan

    ekonomi terus membaik. Hal tersebut dibuktikan oleh hasil survei Bank Indonesia,

    yang memperoleh gambaran bahwa di luar sektor migas terus membaik, dibanding

    tahun sebelumnya.

    Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di luar migas triwulan I tahun 2009

    melaju sebesar 4,4 persen, meningkat dibanding tahun 2008 yang hanya sebesar

    1,9 persen. Pertumbuhan positif tersebut didorong oleh upaya-upaya serius yang

    dilakukan pemerintah Aceh dalam meningkatkan produksi beberapa sektor utama

    seperti sektor pertanian dan sektor perdagangan.

    Kendati saat ini perdamaian sudah, sedang dan akan terus dipertahankan, namun

    ruh dan hakikat perdamaian tersebut tidak akan berjalan secara mulus, manakala

    masih ada kesenjangan yang tajam antara perkembangan sektor perkotaan dan

    sektor perdesaan perdesaan.

    Hakikat perjuangan oleh elite-elite masyarakat Aceh adalah untuk pemerataan

    keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Itu pula yang menjadi entry point dalam

    perumusan MoU Helsinki yaitu dengan mengedepankan peningkatan keadilan

    dan kesejahteraan masyarakat tanah rencong.

    Demokrasi di segala bidang hanya akan berjalan utuh, jika persebaran

    pembangunan dapat dipenuhi sampai ke pelosok-pelosok atau sampai ke grass

    root, sehingga proses reintegrasi, proses rehabilitasi dan proses rekonstruksi

    pembangunan dengan berbasis hak, mengutamakan pemerataan keadilan dan

    kesejahteraan bagi masyarakat secara bermartabat. Inilah harapan yang perlu kita

    laksanakan secara bersama-sama ke depan.

    Pemerintah Aceh dengan berbagai dukungan stakeholders akan berupaya

    semaksimal mungkin untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, melakukan

    pemerataan pembangunan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan derajat

    DA M A I AC E H , DA M A I K I TA

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I4

    kesehatan masyarakat dan mengakselerasikan pembangunan di segala bidang.

    Dengan harapan, seperti amanat Presiden RI, bahwa mempertahankan kedamaian

    di Aceh adalah harga mati. Semoga damai Aceh, damai kita semua. Amin.***

  • Reza Idria Mohd. RoemPeneliti senior di Metamorfosa Institute (Liga Kebudayaan Tikar Pandan)Mahasiswa pascasarjana di Leiden University, Belanda.

    Kata perdamaian dan damai dalam nalar berbahasa saya memiliki sekat tegas,

    yang membedakan kepemilikan terhadap siapa yang bisa merasakannya, satu sama

    lain. Khusus untuk mendefinisikan perdamaian, tidak dapat tidak kata ini hanya bisa

    muncul dan disandarkan setelah ada dua pihak bertikai, dan terminologi tersebut

    terwujud ketika kedua pihak telah memutuskan untuk berjeda atau samasekali

    berhenti berseteru. Sementara damai sebagai kata dasar berdiri sendiri sebagai

    keadaan umum yang dapat dimaknai kurang lebih tentram jiwa raga, bisa sebagai

    berkah dari keteraturan serta ketaatan, dan kerap juga merupakan janji-janji puncak

    dari dianutnya norma-norma dalam agama-agama yang diserukan dari bumi dan

    langit. Maka keberadaan damai bisa tidak membutuhkan kondisi dimana ada

    perseteruan sebagai awalan, sebagaimana keadaan sebaliknya yang dibutuhkan

    untuk lahirnya sebuah perdamaian. Ini menjadi pijakan saya untuk menelaah satu

    kajian ringkas bagaimana menyebut perdamaian dan apa itu damai Aceh.

    Di Aceh, tentu saja perseteruan dan perdamaian bukanlah kata yang terlalu asing

    dalam sejarah klasik ataupun catatan modern suku bangsa yang mendiami ujung

    pulau Sumatera ini. Tidak perlu terlalu jauh, sebentar saja setelah terprovokasi untuk

    Sedikit (Lagi) Tentang Perdamaian Aceh

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I6

    bergabung seiring euphoria kemerdekaan Republik Indonesia dan merayakan imaji

    kebangsaan gugusan Nusantara (mungkin atas dasar persamaan pengalaman

    melawan kolonialisme), Aceh mulai bergolak dalam serial pemberontakan demi

    pemberontakan. Dimulai dengan pemberontakan DI/TII di Aceh akhir tahun 50-an

    hingga awal 60-an, yang juga bermunculan di sejumlah daerah lain di Indonesia.

    Menurut sejumlah ahli, perseteruan ini masih dapat dikategorikan sebagai

    pemberontakan dalam lingkup nasionalisme Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan

    tetap digunakannya nama Indonesia sebagai nama resmi Negara, dengan haluan

    ideologi berbeda yang dicita-citakan dalam bentuk pengakuan tunduk di bawah

    jejaring Negara Islam Indonesia (NII).

    Sejurus kemudian, sejak Hasan Tiro memproklamirkan Aceh sebagai sebuah

    suku bangsa yang berhak merdeka dan bebas dari telikung penjajahan modern

    Indonesia-Jawa, maka gerakan separatis atau dalam bahasa akademik yang

    lebih santun diistilahkan sebagai gerakan nasionalisme regional (lihat, Kees van

    Dijk (2003): Coping with Separatism, Is there a Solution?) telah menjadi bagian tak

    terpisahkan ketika orang membayangkan atau menyebut Aceh. Pasang surut

    gerakan perlawanannya telah menorehkan sejumlah traktat perdamaian, yang

    telah ditandangani dengan unsur ke-Aceh-an (baca: GAM/ASNLF) di satu pihak

    dengan otoritas lain (baca: TNI/pemerintah RI) di pihak seberang. Sejumlah

    traktat itu sayangnya hanya ada di atas kertas, untuk selanjutnya berakhir sebagai

    kenangan perdamaian. Kegagalan demi kegagalan dalam meredam pertikaian

    memberi warna dalam catatan-catatan penting atas peliknya kata perdamaian bisa

    dipahami dan diwujudkan di Aceh.

    Setelah humbalang tsunami menggempur Aceh pada akhir Desember 2004,

    kedua pihak yang menyumbang keberadaan para petempur di Aceh perlahan

    tertekan oleh sorot tajam mata internasional. Akhirnya, kita tahu bahwa pada

    15 Agustus 2005 satu traktat perdamaian yang berkaitan dengan penghentian

    perseteruan Aceh kembali ditandatangani. Dan saat ini menjelang tahun kelima

    usia traktat itu, masih ada sejumlah kecemasan dan keraguan terhadap akan

    bertahannya perdamaian termutakhir ini, semisal pertanyaan-pertanyaan yang

    dimulai dari sudah cukup kuatkah fondasi perdamaian itu, hingga mengukur-ukur

    M E R A N G K A I K ATA DA M A I

  • 7keinginan kedua pihak bertikai dalam mewujudkan arti damai dalam perdamaian

    yang ada sekarang. Rasa cemas ini tentu saja menghantui kaum yang paling

    menderita selama masa perang, yakni rakyat Aceh. Berkaca dari kegagalan-

    kegagalan sebelumnya, kecemasan dan sikap skeptik ini cukup ditunjang dengan

    adanya sejumlah aksi kejahatan bersenjata, pembunuhan, dan keributan-keributan

    dalam pendistribusian kompensasi dana perdamaian yang tampaknya masih akan

    terjadi hingga hari-hari ke depan. Bila rakyat Aceh masih merasa cemas dengan

    perdamaian ini, maka bagi saya, pertanyaan pertama paling sederhana dan harus

    diajukan di muka adalah siapa sebenarnya pemilik perdamaian Aceh? Yang tentu

    saja tak cukup hanya dijawab oleh jargon bahwa ini adalah perdamaian-nya rakyat

    Aceh. Ini penting dalam hemat saya untuk kemudian kita tahu apa yang harus

    dilakukan dengan keberadaan perdamaian saat ini, untuk sekedar refleksi singkat

    apa makna sebenarnya dari kata perdamaian sebelum di beri imbuhan, yakni

    menuju satu frasa; damai Aceh.

    Sejumlah kriminolog dan berita acara peristiwa pihak kepolisian mungkin akan

    terlihat cukup berhasil dalam menganalisis bahwa keberadaan kekerasan bersenjata

    dan perampokan yang masih terjadi di Aceh adalah tindak kriminal murni yang

    memanfaatkan situasi Aceh yang masih rentan. Sekumpulan pengamat lain akan

    menunding adanya pembiaran dan upaya-upaya sistematis yang bermuatan politis

    di sebalik kekacauan yang masih terjadi di sana-sini. Di seberangnya, sejumlah

    orang juga akan cenderung mengaitkan hal ini adalah ekspresi dari warisan

    kekerasan perang yang akan masih akan menjangkiti tindak-tanduk masyarakat

    Aceh, sebagaimana yang telah lebih dari tiga dekade diajarkan untuk berbudaya

    demikian oleh parapihak dari dua golongan petempur. Saya pribadi lebih cemas

    dengan kemungkinan terakhir. Di sini saya cukup percaya budaya kekerasan

    ini tentu bukan hal yang gampang dikikis terlebih dalam situasi-situasi sensitif

    ketika kepentingan banyak pihak belum terakomodir ke tahap yang memuaskan,

    terutama para pihak yang dulunya terlibat aktif dalam menginisiasi perang. Jadi

    tidaklah bijak bila hanya sudut pandang criminal, atau paranoid terhadap pusat

    saja yang digunakan dalam melihat peristiwa yang sebenarnya jelas sekali menjadi

    ancaman-ancaman laten terhadap perdamaian.

    S E D I K I T ( L AG I ) T E N TA N G P E R DA M A I A N AC E H

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I8

    Pertanyaan siapakah sebenarnya yang memiliki perdamaian Aceh yang saya

    kemukakan di atas bisa juga adalah pertanyaan sensitif dan bernada cemburu,

    yang bisa muncul dari masyarakat awam maupun para mantan petempur sendiri.

    Setelah penghentian perang dan adanya keinginan masif dari masyarakat untuk

    melihat perubahan struktur politik dan pemerintahan di Aceh, ada sejumlah

    reformasi besar dalam formasi pemerintahan baik di kalangan eksekutif maupun

    legislatif Aceh. Namun sejumlah kesenjangan yang terjadi kemudian memantik

    kembali pertanyaan tadi, karena tentu saja ada kecenderungan sederhana untuk

    menisbatkan kepemilikan perdamaian terhadap sesiapa yang dimudahkan dalam

    menjangkau sejumlah akses kemakmuran. Hal ini adalah sesuatu yang terang

    dan tak perlu dapat ditutup-tutupi hari ini, di mana sejumlah golongan di Aceh

    memperoleh akses ekonomi yang besar meski tidak sesuai latar belakang profesi

    mereka (lihat, Edward Aspinall (2009): From Combatant to Contractor).

    Ketika kemudian sejumlah kesenjangan memicu kecemburuan sosial, baik

    timbul dari masyarakat awam maupun mantan petempur itu sendiri, maka

    perasaan ikut memiliki perdamaian akan begitu gampang tanggal dari benak

    para pengawalnya (jelas bagi saya, rakyat adalah pengawal garda terdepan

    perdamaian Aceh). Tentu saja menjelang tahun kelima perdamaian termutakhir ini,

    dengan mengamati sejumlah potensi rusuh massa seiring pesta politik nasional

    Indonesia, namun berhasil dilewatkan dalam suasana yang tenang di Aceh patutlah

    diapresiasi sebagai sebuah bentuk berkah yang ditimbulkan oleh kesabaran tiada

    tara masyarakat Aceh dalam mengawal perubahannya. Tapi percayalah sejumlah

    teori sosial sudah menguji, pun masyarakat Aceh sendiri telah membuktikan

    adanya batas kesabaran yang berakhir dalam bentuk perlawanan berkali-kali atas

    kesenjangan yang tak lekas diselesaikan pusat. Maka hari ini ketika kepercayaan

    dan pengawalan itu dilakukan oleh rakyat Aceh dalam bentuk memberi peluang

    kepada formasi yang agak baru dan diisi oleh orang-orang baru, maka seharusnya

    disadari bahwa ada jawaban yang ditunggu masyarakat dari kesabaran mereka.

    Mereka menanti sebuah kata damai bisa menjadi ikutan dari terwujudnya

    perdamaian Aceh, mereka bukan sebagai penonton untuk mengidentifikasi siapa

    sebenarnya yang menjadi pemilik perdamaian (baca: kemakmuran). Karena damai

  • 9yang sebenarnya bukan sekedar ada penghentian perang dan ada isi traktat yang

    diperbincangkan, tetapi bagaimana sejumlah hajat hidup paling mendasar dari

    rakyat bisa dilayani oleh orang-orang yang mereka beri kepercayaan.

    Rakyat menunggu cara kerja baru dan hasil baru dari sejumlah orang baru

    yang dipilihnya sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap adanya perdamaian

    setelah sekian puluh tahun mereka menjadi korban langsung dari pertikaian, dan

    tentunya berisi cita-cita adanya suasana damai yang hakiki yang bisa tercapai dari

    terpenuhinya hajat hidup terpenting mereka, yakni pendidikan, kesehatan dan

    akses perekonomian yang setara. Untuk yang terpilih di level eksekutif dan yang

    terbaru di tingkat legislatif, penting sekali mengingat-ngingat dan merefleksikan

    kenapa bisa ada perseteruan, perdamaian dan apa cita-cita damai itu sendiri. Bila

    tidak, perdamaian Aceh hari ini hanya menuju ke jalan gelap semacam pergantian

    rezim yang disiratkan George Orwell dalam Animal Farm-nya, ketika sekumpulan

    binatang yang dipimpin dua babi, Snowball dan Napoleon, memimpin revolusi

    untuk kemudian menjadi tirani baru karena mungkin telah cukup lama belajar cara

    menindas dari tuan sebelumnya. Bila hal ini tak disadari, jangan ditanya kemudian

    kemana lagi damai pergi. ***

    S E D I K I T ( L AG I ) T E N TA N G P E R DA M A I A N AC E H

  • Masthur Yahya

    Menggapai Harmoni Setelah Berdamai

    Perdamaian Aceh yang sudah ditetapkan melalui kesepakatan damai Helsinki

    mulai menciptakan kehidupan yang lebih aman dibandingkan masa konflik antara

    pasukan TNI/Polri dengan kelompok pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Akan

    tetapi jika kita bertanya dari sisi lebih dalam, yaitu harmoni (baca: keselarasan hidup

    yang berakar pada kerukunan, tidak saling curiga, hormat-menghormati, tentram)

    seperti sediakala maka sebagian besar masyarakat menjawab dengan ragu-ragu.

    Hal tersebut bukan tidak beralasan, pascakesepakatan damai Helsinki beberapa

    tindakan kekerasan kerap terjadi. Kekerasan tersebut menurut pandangan

    masyarakat adalah sangat dekat dengan iklim yang pernah terjadi pada masa

    konflik tempo dulu yang juga melemahkan posisi perdamaian.

    Harmoni menjadi keadaan yang ideal yang diharapkan terwujud di tengah

    masyarakat Aceh pascakesepakatan damai dalam semua hubungan sosial, baik di

    tengah masyarakat sipil, antarmantan kombatan dengan masyarakat sipil biasa,

    maupun antara masyarakat sipil dengan militer. Harmoni yang dimaksudkan di sini

    adalah sebuah kondisi kehidupan yang disepakati secara kolektif oleh masyarakat

    Aceh sendiri untuk bersikap tenang satu sama lain dan menyingkirkan unsur-unsur

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I12

    yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan, termasuk kekerasan fisik

    maupun politisasi kekerasan tanpa pandang bulu seperti masa konflik.

    Kerukunan hidup secara harmoni yang menguatkan perdamaian merupakan

    kaidah kehidupan masyarakat yang bersifat menyeluruh. Dalam konteks

    perdamaian pascakonflik, cita-cita kerukunan bukan terletak pada penciptaan

    kondisi ketenangan sosial belaka, melainkan pada usaha untuk tidak mengganggu

    keselarasan yang sudah ada, melalui butir-butir kesepakatan perdamaian,

    ketenangan sosial merupakan keadaan normal yang akan didapat dengan

    sendirinya selama keselarasan perdamaian tidak diganggu. Prinsip kerukunan

    adalah penjagaan keselarasan dalam pergaulan dengan mengatur permukaan

    hubungan-hubungan sosial yang kentara dengan mencegah kembalinya konflik

    secara terbuka.

    Pihak manapun harus berhati-hati dalam situasi pascakonflik, di mana

    kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Kesepakatan

    damai yang tidak menyentuh harmoni maka akan susah untuk mencapai gerbang

    perdamaian hakiki, yaitu rekonsiliasi. Pengelolaan suatu konflik yang memadai tidak

    hanya dituntut agar dapat sekadar meredakan suasana yang tegang, melainkan

    dapat menghilangkan sumber-sumber ketegangan. Masalah yang dihadapi harus

    dipecahkan dengan berorientasi pada ide keadilan. Yaitu bahwa hak semua pihak

    terjamin, baik pihak yang terlibat secara langsung di masa konflik maupun yang

    tidak terlibat.***

  • Merawat Damai dengan Hati

    Sehat Ihsan Shadiqin

    Setelah berlalu beberapa tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki,

    perdamaian di Aceh nampaknya mulai mengalami titik jenuh. Hal ini terlihat dari

    munculnya berbagai aksi pembunuhan, perampokan, penawanan dan lainnya

    yang semuanya menggunakan kekerasan. Aksi kekerasan merupakan bagian yang

    tidak dapat dipisahkan dari konflik. Kalau kita kembali kepada masa-masa Aceh

    dilanda konflik, lembaran pertama media masa selalu berlumuran darah. Saban hari

    yang diangkat adalah pembunuhan, penembakan, sweeping dan lain sebagainya.

    Sehingga, ketika hal yang serupa terjadi saat ini, memori kolektif masyarakat

    Aceh kembali membayangkan kehidupan suram masa-masa konflik yang amat

    menyakitkan hati. Ini menjadi alasan bagi sebagian masyarakat untuk mengatakan

    perdamaian di Aceh mulai ternodai dan memungkinkan munculnya konflik baru.

    Sebagai daerah yang sejarahnya terus dibalut dengan konflik maka perdamaian

    di Aceh memang menjadi hal yang unik meskipun selalu dibutuhkan. Hampir

    sepanjang eksistensinya Aceh tidak terlepas dari perang. Dimulai dengan perang

    menentang kedudukan Portugis di Malaka dalam abad ke-XVI, kemudian

    berabad-abad Aceh melakukan perang melawan ekspansi penjajahan Belanda.

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I14

    Setelah Belanda lumpuh, Aceh mengahadapi agresi tentera Nipon, Jepang.

    Pascakemerdekaan Aceh masih harus melakukan pemberontakan untuk menjamin

    harga diri daerah dan agama dengan melakukan perang pemberontakan melawan

    negara Indonesia yang baru terbentuk. Setelah damai dari perang DI/TII, Aceh

    kembali bergejolak karena munculnya Aceh Merdeka yang kemudian menjadi

    Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kondisi ini terus berlangsung dalam masyarakat

    Aceh hingga lahir MoU Helsinki pada tahun 2005. Belajar dari sejarah konflik dan

    damai di Aceh ini nampak bahwa perdamaian yang terjadi di Aceh yang didasari

    pada perjanjian-perjanjian sering kandas dan tidak berumur panjang. Konflik akan

    muncul kembali dan kehidupan masyarakat akan kacau lagi.

    Padahal kehidupan damai adalah kehidupan yang diimpikan oleh semua

    orang. Meskipun konflik selalu mengambil semboyan atas nama rakyat namun

    tidak ada rakyat yang mau hidup di dalamnya. Konflik justru membawa kehidupan

    menjadi suram dan terhenti. Semua orang menginginkan kehidupan damai dan

    aman di mana mereka dapat melakukan aktifitas sosial dan mengembangkan diri.

    Hanya kehidupan damai yang mampu menjamin masyarakat melakukan kegiatan

    sosial, ekonomi, budaya dan intelektual dengan baik. Konflik membuat banyak hal

    berubah. Bangunan yang dibakar, harta yang dijarah, perkebunan yang ditinggalkan

    dan lainnya. Demikian juga konflik menimbulkan pergeseran budaya yang besar.

    Misalnya dalam hal melemahnya kekerabatan sosial, munculnya individualisme

    dan penghargaan pada ulama dan orang tua.

    Hal-hal di atas menuntut adanya upaya serius untuk menjadikan damai terus

    berlangsung dan berjalan sebagaimana diimpikan oleh masyarakat. Upaya ini

    hanya mungkin dilaksanakan jika adanya kesadaran semua elemen masyarakat.

    Sebab kedamaian pada hakikatnya adalah kepentingan bersama sehingga menjaga

    dan mewujudkannya juga harus bersama. Setiap orang mesti berperan dan

    mengambil aksi sendiri dalam mewujudkan dan menjaganya. Mustahil menjaga

    damai diberikan kepada pihak tertentu semisal pemerintah, aparat kepolisian atau

    kelompok tertentu dalam masyarakat. Sebab tanpa keterlibatan dan keikutsertaan

    semua eleman masyarakat maka perdamaian hanya akan menjadi ilusi dan

    fatamorgana belaka.

  • 15

    Dalam konteks menjaga kedamaian bersama yang paling berperan adalah

    individu. Artinya individu menjadi orang yang berkewajiban melakukan berbagai

    perbuatan dan aktifitas yang menjamin dapat terwujudkanya kehidupan damai

    dalam masyarakat. Pekerjaan individu sangat berkaitan dengan niat baiknya dalam

    melakukan aktifitas. Bayak kejadian teror, pembunuhan, kekerasan yang ada selama

    ini didasari pada kepentingan individu semata. Biasanya dilandasi pada persoalan

    kerja, dendam masa lalu, hubungan sosial dan lainnya. Ini semua berakar pada

    individu. Sehingga untuk membentuk kedamaian yang abadi perlu ditekankan

    pada aspek kesadaran individu.

    Pentingnya peran individu ini terkait juga dengan pernyataan berbagai lembaga

    yang dulu menjadi pihak yang bertikai secara organisasi telah menyatakan berdamai

    dan akan mewujudkan kedamaian di Aceh untuk selamanya. Oleh sebab itu, dapat

    dipastikan munculnya konflik baru bukan lagi karena organisasi, namun ulah dari

    orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut secara personal atau orang lain

    yang tidak menginginkan kedamaian di Aceh berlangsung.

    Dua pendekatan

    Untuk mengatasi hal tersebut ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu

    pengubahan mindset mengenai damai dan kehidupan bersama, dan menjamin

    keterampilan kerja yang merata bagi masyarakat yang potensial memunculkan

    konflik. Pengubahan mindset dimaksudkan untuk memberikan wawasan kepada

    masyarakat tentang pentingnya kehidupan bersama. Manusia tidak mungkin dapat

    mengasingkan diri dan berkembang tanpa melibatkan orang lain. Mengasingkan

    diri justru akan menjadikan sebuah masyarakat tertinggal dalam berbagai

    kehidupan bahkan lama-kelamaan akan berubah menjadi suku terasing yang

    tidak memiliki peradaban.

    Merubah mindset ini perlu disebabkan banyak orang yang terlibat menjadi aktor

    konflik di tingkat bawah pada masa lalu adalah mereka yang sebenarnya tidak

    memiliki cara pandang dunia yang terbuka dan tidak mengerti dan menghargai

    hak asasi orang lain. Aktor-aktor bawah inilah yang digunakan oleh orang yang

    memiliki kepentingan lebih besar, baik secara pribadi atau organisasi sehingga

    M E R AWAT DA M A I D E N G A N H AT I

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I16

    konflik terus bertahan. Hal ini pasti akan berbeda jika di tingkat masyarakatnya

    ada kesadaran masif akan buruknya konflik. Mereka tidak mau terlibat di dalamnya

    hingga kepentingan yang digagas oleh aktor yang lebih tinggi tidak akan berjalan

    dengan baik.

    Selain itu diperlukan sebuah upaya menjamin pemerataan keterampilan kerja

    kepada masyarakat yang potensial menimbulkan konflik. Saya menekankan

    keterampilan kerja bukan modal usaha sepeti yang selama ini banyak diprogramkan

    oleh pemerintah dan NGO. Keterampilan kerja akan membuka kemandirian dan

    kreatifitas sehingga mereka sibuk dengan kreatifitas tersebut. Hal ini berbeda

    dengan memberikan modal usaha pada orang yang tidak memiliki kemampuan

    skill usaha. Pemberian itu justru dimanfaatkan untuk hal-hal yang konsumtif yang

    hanya bertahan dalam jangka waktu pendek. Seiring perjalanan waktu pemberian

    modal usaha justru menimbulkan ketergantungan dan memudarkan semangat

    kerja dari masayarakat. Bahkan jika pembagian modal usaha tidak dilakukan

    dengan pertimbangan yang bijak bisa jadi ia berubah menjadi awal dari munculnya

    konflik dalam masyarakat.

    Penutup

    Mencermati fenomena di atas maka masalah perdamaian sangat ditentukan oleh

    keinginan baik dari individu yang menjadi anggota masyarakat Aceh. Seandainya

    dalam dada semua masyarakat tertanam keinginan untuk menjadikan kedamaian

    di Aceh abadi, maka benih-benih konflik akan hancur sebelum berkembang. Untuk

    kepentingan ini diperlukan kerja sama semua pihak dan organisasi sosial masyarakat

    untuk terus menerus memberikan kepahaman bahwa hidup damai adalah hidup

    dengan dengan penghargaan kepada orang lain. Hal ini perlu dilakukan sejak

    dini dan dalam berbagai kelompok sosial masyarakat. Hanya dengan demikian di

    dalam hati setiap masyarakat Aceh akan tertanam keinginan untuk hidup damai

    dan menjaganya sepanjang masa. Wallahu alam.***

  • Panglima Ahtisaari(Surat Terbuka Untuk Peraih Nobel Perdamaian 2008)

    Munawardi IsmailPekerja media di Banda Aceh

    Yang Mulia Tuan Martti Ahtisaari. Mit kuuluu Mister Ahtisaari. Toivon, ett sinusta

    tuntuu hyvlt. Kehu teidn palkinnon (terjemahan bebasnya; apa kabar Mister

    Ahtisaari, saya harap anda baik-baik saja. Selamat atas penghargaan yang anda

    terima). Tuan, kami rakyat Aceh, pantas memberi apresiasi atas Nobel Perdamaian

    yang anda terima.

    Ini warkah saya tulis secara terbuka agar para Yahwa dan Mawa di segala pesolok

    gampong Aceh ikut membaca. Sebab merekalah yang menikmati pohon damai

    sesudah anda bantu semai. Damai itu, membuat mereka bisa kembali ke ladang,

    mulai dari tanom pade sampai pula campli, tapi bukan pula pingkui.

    Maaf kalau ketika membuka surat ini, saya mengawali dengan mengutip bahasa

    Suomi, bahasa yangmungkin--anda pakai sehari-hari. Kalau salah harap maklum,

    karena ini saya kutip dari internet. Dengan teknologi, Aceh dan negara anda cuma

    selebar komputer jinjing.

    Kini, saya tidak tahu, apakah anda masih tetap memantau situasi nanggroe

    tsunami; Aceh. Apalagi sesudah tuan menerima Nobel Perdamaian pada 10

    Desember lalu. Setahu saya anda menjadi orang ke 89 yang menerima Nobel di

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I18

    bidang perdamaian, setelah Jean Henri Dunant dari Swiss dan Frdric Passy asal

    Perancis yang menerimanya pertama kali pada 1901.

    Tuan Martti, saya ingin kabari bahwa, menjelang Pemilihan Umum 2009 nanti,

    situasi Aceh diprediksikan bakal panas sekali, bukan karena ekses pemanasan global

    atau gara-gara hutan yang terbakar. Suasana itu dipengaruhi oleh suhu politik.

    Apalagi pemburuan kursi legislatif juga kian ketat dengan adanya partai lokal di

    sini. Padahal kami berharap, Pemilu nanti bisa sejuk, sedingin salju di Helsinki. Tapi

    apa daya, semua kadung terjadi.

    Tuan, kami rakyat jelata, tidak bicara soal tahta. Kami tahu, pemilu itu pesta

    demokrasi, kalau enak kami ikuti, jika tidak juga tak boleh dipaksai. Apalagi sampai

    harus membuat fatwa haram bagi yang tidak berpartisipasi (baca: golput). Maaf

    tuan, saya tidak menggurui, mungkin begitulah prinsip orang berdemokrasi. Tak

    boleh intimidasi apalagi memaksa sesuka hati.

    Tak Ingin Konflik

    Beranjak dari klausul perjanjian yang sudah ditandatangani, kami tahu ada

    perkara mulia di sana buat rakyat jelata. Dengan damai, kami bisa hidup merakit asa

    yang sempat dihayak senjata. Menata negeri supaya maju. Agar rakyat bisa hidup

    sejahtera, tanpa perlu menadah tangan meminta-minta. Dengan potensi yang

    melimpah, kami ingin, supaya rakyat juga tidak perlu hidup susah. Meski itu tidak

    mudah, tapi jangan pula dibuat hati rakyat makin gundah. Pasalnya, banyak aturan

    yang menjadi amanat undang-undang, tapi belum juga kelar. Bagaimana ini Tuan?

    Bagi kami, itu tugasnya petinggi negeri yang sedang bertahta. Mereka berhak

    menagih dan meminta kepada yang lebih berkuasa di Jakarta. Kami hanya rakyat

    jelata, cuma ingin agar tak ada lagi amuk senjata. Tuan Presiden lebih tahu, konflik

    yang membuat hidup menjadi pelik. Oleh karena itu, kami rindu Aceh tanpa mesiu.

    Rindu Aceh tanpa perang, termasuk perang kata-kata, seperti banyak diberitakan

    media. Jangan sampai pula, gara-gara perang-perangan membuat kami berhenti

    berladang.

    Kami tak ingin, petinggi di sini saling tuding-menuding. Semuanya harus akur.

    Semua pihak seharusnya bersanding, bukan bertanding. Biarlah yang bertanding

  • 19

    itu para pemain sepakbola saja. Betul tidak Tuan? Lalu, kalau ada rasa curiga

    sebaiknya di-stipo saja. Jangan curigai bahwa kami ingin merdeka lagi, merdeka itu

    sudah cukup sekali, sebab setelah itu mati.

    Tuan Martti. Kami sudah lelah berpeluh darah. Kami berharap damai itu tidak

    semu seperti yang diketuskan petinggi negeri. Seharusnya itu kita jaga bersama-

    sama, agar damai tidak sirna. Bukan itu saja, kita pun harus memupuk damai ini dari

    yang katanya semu menjadi nyata, jika dia belum tumbuh, mari kita sirami biar dia

    cepat berakar.

    Panglima Ahtisaari

    Tuan Ahtisaari. Di hari anda menerima penghargaan bergengsi dalam karier

    sebagai politisi, sebenarnya kami ingin memberi juga sebuah gelar untuk Tuan.

    Boleh jadi itu sebagai rasa terima kasih, atawa sebagai tanda jasa untuk anda yang

    paling istimewa. Ya, anda telah berjasa bagi perubahan Aceh.

    Setahu saya, para endatu kami dulu juga acap memberi gelar kehormatan

    kepada mereka yang sudah berjasa. Gelarnya pun ada macam-macam, tapi yang

    pasti itu amat-amat terhormat. Namun, sampai saat ini, saya melihat belum ada usul

    dari orang yang membidangi adat-isitiadat guna memprakarsai itu.

    Saya yakin, mereka bukan lupa, tapi sedikit sibuk mengurusi proyek. Ya, mulai

    dari proyek jalan becek, sampai saya tak tahu hendak bilang apalagi ke Tuan. Karena

    gelombang anggaran yang datang ke Aceh, bak hujan turun dari langit. Semoga

    ini tidak membuat mereka lupa dataran. Sebab kalau lupa, bisa-bisa mereka harus

    berenang di kamar sempit lembaga permasyarakatan.

    Tuan Presiden, saya yakin dedikasi anda itu tanpa berharap imbalan dan pamrih.

    Semua bermula dengan ketulusan merakit perdamaian. Soal sebuah gelar, ini bukan

    untuk menambah eforia saja. Tapi murni sebagai bentuk menghargai kerja orang

    lain. Ini tulus sebagai rasa terima kasih untuk kerja berat yang sudah Tuan perbuat.

    Karena itu, jika anda berkenan datang lagi ke nanggroe kami. Saya ingin

    memberi gelar tinggi, mungkin tak setinggi gunung Halimon, sebab tak kuasa kami

    daki. Buktinya, kami pernah 32 tahun terperosok di sana. Ah, itu masa lalu Tuan,

    sudah kami kuburkan bersama puing-puing gelombang tsunami.

    PA N G L I M A A H T I S A A R I

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I20

    Tapi anteeksi (maaf) Tuan, saya belum punya referensi tentang banyak gelar

    warisan nenek moyang kami. Mungkin semuanya masih tersimpan rapi dalam

    almari di Leiden, Belanda. Nah, ini kesempatan lagi untuk kembali studi banding

    atau mencari jejak ke sana. Masalahnya bukan cuma itu saja Tuan, sampai saat

    ini pun, yang berhak memberi gelar belum ada. Kalau tidak salah Wali Nanggroe

    namanya. Itu pun, sampai kini, kami belum tahu siapa orangnya.

    Qanun Wali Nanggroe yang menjadi amanat dari Helsinki pun tak kami ketahui

    juntrungnya. Kabarnya sudah disusun rapi, tapi belum finalisasi. Sekali lagi anteeksi

    Tuan, itu tugas anggota dewan, jadi kami tak berani campuri. Kami rakyat jelata

    hanya bisa diam untuk sementara. Sembari menunggu aturannya, tak ada salahnya

    kami mulai menyeleksi gelar yang tepat untuk Tuan.Sambil menanti kelar Qanun

    Wali Nanggroe.

    Mungkin biarkan kami menggelari anda panglima saja. Ya, Panglima Martti

    Ahtisaari. Panglima itu juga jabatan yang sudah lazim di tempat kami. Contohnya

    ada Panglima Laot. Lembaga Panglima Laot ini sudah berdiri sejak Sultan Iskandar

    Muda. Dia itu raja kami dahulu kala yang gagah perkasa, membuat Aceh kaya raya.

    Gelar itu, tak mungkin kami sematkan untuk Tuan. Karena Tuan berjasa bukan

    hanya di laut dan darat saja. Damai itu membuat semua sendi kehidupan berdenyut

    lagi. Kemudian ada lagi Panglima Uteun, tapi ini tak cocok dan tak banyak dipakai,

    sebab mereka hanya Pang Seuneubok.

    Lalu Panglima Polem, ini gelar untuk kalangan bangsawan istana. Jadi yang

    berhak menyandang itu hanya orang-orang yang berdarah biru saja. Begitu pula

    dengan Panglima Kawom. Ini juga skopnya kecil, hanya untuk kelompok atau

    kalangan sebuah etnik saja. Panglima Tibang sama juga. Dia hanya mengurusi

    urusan syahbandar pelabuhan. Dalam negara modern sekarangmungkindia

    setara dengan kepala imigrasi. Untuk sekedar Tuan ketahui, Panglima Tibang pun

    kadung cacat namanya. Kesannya sudah negatif.

    Kalau Panglima Prang, jelas-jelas tak mungkin lagi, sebab negeri ini sudah damai.

    Kalau Panglima Damai juga lebih-lebih salah kaprah, sebab tak ada literaturnya

    dalam kamus masa silam Aceh. Untuk sementara sebagai bentuk penghargaan, tak

    ada salahnya kami panggil Panglima Martti saja. Sembari menanti gelar yang layak

  • 21

    dari lembaga yang berhak menganugerahinya. Semoga anda berkenan.

    Tuan, anda pasti tambah bingung melihat tulisan ini. Logis sekali, sebab saya

    tidak menulis dalam bahasa yang anda pakai sehari-hari. Dan, kalaumungkin

    sajaada orang yang kurang senang dengan warkah ini. Anggap saja ini tulisan

    lalu. Eh, angin lalu maksud saya.

    Sebab niat saya hanya ingin merekam suara jelata yang sudah bertumpuk dari

    Sabang hingga Tamiang. Karena ini juga harapan mereka di Ate Fulawan (Simeulue)

    sampai Lawe Bulan (Aceh Tenggara). Ini pula keinginan orang-orang Lembah

    Seulawah sampai lewat Bener Meriah, juga hasrat para pedagang dan nelayan.

    Harapan petani dan semua mereka yang mengagungkan damai.

    Makanya Tuan, jika negeri ini damai, kami tak rugi. Kalau ada yang masam muka

    karena Aceh begini, itu musuh yang harus dipreteli. Betul tidak Tuan? Kiitos (terima

    kasih) anda sudah bersedia menyimak surat ini. Anteeksi jika ini tak berkenan di hati.

    Nkemiin!***

    PA N G L I M A A H T I S A A R I

  • Dari Helsinki Turun Ke Aceh

    Munawardi IsmailPekerja media di Banda Aceh

    Helsinki mendadak tenar di Aceh. Bukan tanpa alasan, nama kota yang ada tepi

    Teluk Finlandia dan Laut Baltik itu mengepul dalam benak Rakyat Aceh. Aromanya

    seharum kopi yang acap diseruput warga tanah rencong.

    Begitu pula yang terjadi dengan Helsinki yang tak lain sebuah ibu kota sekaligus

    kota terbesar di Finlandia. Kawasan itu penduduk sebanyak 562.570 jiwa. Kota ini

    terletak di bagian selatan Finlandia, di tepi Teluk Finlandia dan Laut Baltik.

    Kota Helsinki, paling tidakmeski kurang sama hampir serupa dengan

    tipologi Banda Aceh yang dibelah sungai (baca: Krueng Aceh) dan Selat Malaka.

    Sanking pentingnya, kini sebuah tempat kongkow di kota ibu kota Aceh pun

    ditabalkan dengan namanya.

    Dari berbagai literatur disebutkan, Daerah Helsinki Raya (Greater Helsinki)

    melingkupi lebih banyak kota-kota di sekitarnya dan memiliki 1.283.093 penduduk

    yang berarti satu dari empat penduduk Finlandia tinggal di daerah tersebut.

    Helsinki adalah pusat bisnis, keuangan, mode, hiburan, media, dan budaya di

    Finlandia dengan jajaran museum, galeri, dan tempat pertunjukan. Kota ini juga

    menjadi pintu gerbang internasional Finlandia.

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I24

    Helsinki memiliki jumlah warga asing terbesar di Finlandia baik dalam jumlah

    nyata maupun persentasenya. Mereka terdiri dari sekitar 130 kewarganegaraan

    dengan mayoritas dari Rusia, Estonia, dan Swedia.

    Dari Helsinki ke Aceh

    Kota Helsinki menjadi saksi agung pada 15 Agustus 2005 silam. Ini adalah

    momentum paling fenomenal bagi masyarakat kita; Aceh. Jatuhnya tanda tangan

    dua pihak pada perjanjian kesepakatan damai bermakna ganda bagi bangsa kita,

    tetutama rakyat Aceh. Itulah rahmat yang tak terkira.

    Perjanjian damai yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Memorandum

    of Understanding atau MoU Helsinki mengakhiri kesengsaraan akibat konflik.

    Bencana dahsyat tsunami yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh pada

    2004 yang lalu juga menyadarkan Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk

    mengakhiri konflik 29 tahun.

    Aroma kedamaian yang berhembus dari kota itu hinggap ke pelosok Aceh.

    Damai itu bening, turun selembut salju di sana. Bagi Aceh, damai itu laksana butiran

    hujan di ladang gersang. Dengan kehendak Allah SWT, perdamaian itu terwujud

    ketika rakyat sudah berada pada puncak kejenuhan dan penderitaan. Menderita

    akibat konflik dan dilantak tsunami.

    Kini, ketika gerbong damai sudah meniti pada posisi empat tahun, tentu banyak

    kerikil di dalamnya. Tapi, masa-masa itu sudah amat dinikmati dan dihayati rakyat

    kita. Bagaimana angin perdamaian itu berhembus dalam masa-masa rawan yang

    menyiratkan pesimisme.

    Pesimisme itu menguat di antara duri-kuri kecil yang acap menganggu proses

    perdamaian yang sedang berlangsung di daerah kita. Adakala kerikil itu tak bisa

    dihindari dan kerap kali membuat kita gamang. Tapi, Alhamdulillah, rakyat Aceh

    belajar banyak dari corobong perdamaian ini.

    Perdamaian Aceh yang sudah empat tahun ini bukanlah tanpa ujian, beberapa

    kali terjadi insiden yang berujung pada kematian-kematian mantan kombatan.

    Motifnya sering samar; antara isu ekonomi dan politis.

    Insiden-insiden kekerasan yang sempat terjadi pada lintasan tiga tahun

  • 25

    perdamaian itulah kerikil. Ini menjadi batu uji bagi rakyat Aceh. Apakah ingin

    kembali ke masa lalu atau ingin melaju menuju masa depan yang sudah di tangan.

    Masa depan merajut ketertinggalan dalam berbagai sektor, terutama ekonomi

    dan pembangunan. Pemerintah tentu mendapat tantangan besar dalam mengisi

    perdamaian ini. Tak sedikit persoalan yang belum dituntaskan. Program reintegrasi

    menjadi pekerjaan besar yang membutuhkan energi ekstra. Jika salah dalam

    mengelola, bukan tak mungkin kerikil yang kita khawatirkan akan menghadap

    jalan perdamaian.

    Persoalan ekonomi juga bisa menjadi sandungan. Pasalnya banyak kombatan,

    korban konflik dan masyarakat yang menerima ekses konflik hidup sulit. Tingkat

    pengangguran juga tinggi. Meski upaya ke arah sana terus diupayakan pemerintah,

    tapi tak semudah membalik telapak tangan.

    Masyarakat juga tak boleh terus-terusan cuma menengadah tangan ke atas.

    Karena itu segala potensi ekonomi harus mendapat prioritas untuk dikembangkan.

    Membangun sarana dan prasarana memudahkan masyarakat dalam berusaha

    meretas jalan ekonominya.

    Tapi di level grass root harus terus berusaha melestarikan perdamaian dengan

    berbagai upaya. Tanpa itu, jangan harap warga kelas bawah bisa menikmati

    perdamaian ini. Buktinya, selama ini mereka bisa bergerak bebas melakukan

    aktivitas tanpa dicekam ketakutan. Semoga.

    Pascaagenda bersejarah itu, tak salah jika kita berharap pula, kemudian, Aceh

    menjadi pusat bisnis, keuangan, wisata dan budaya di Indonesia dengan karakternya

    tersendiri. Tapi itu semua tak semudah mengambil air di kolam renang. Butuh kerja

    keras semua komponen. Semoga Aceh nanti menjadi pintu gerbang dunia seperti

    yang pernah terjadi berabad-abad silam.***

    DA R I H E L S I N K I T U R U N K E AC E H

  • Aceh: Sebuah Refleksi Pergerakandan Masa Depan Perdamaian

    MaimunMahasiswa Pascasarjana, Program Sains Politik, Universiti Kebangsaan Malaysia

    Aceh telah lama menjadi pembicaraan bagi banyak kalangan, baik nasional

    maupun internasional. Alasan utama yang mungkin dapat diterima kenapa Aceh

    sering manjadi perhatian adalah karena Aceh merupakan lahan perang dan Aceh

    juga merupakan wilayah yang pernah mendapatkan bencana besar, berupa

    tsunami. Aceh dan perang, bagaikan dua suku kata yang kerap digabungkan.

    Sehingga perang bagi orang Aceh bukan lagi kata yang asing, kata perang

    sesungguhnya telah melekat dalam setiap ingatan orang Aceh. Realitas ini terjadi,

    setelah berabad-abad orang Aceh harus berhadapan dengan perang kolonialis

    Belanda. Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, Aceh juga harus merelakan

    diri untuk berperang melawan kolonialis pemerintahan yang hegemoni, sejak

    digabungkannya Aceh ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada

    tahun 1949. Karena perang telah menjadi perkataan yang lumrah, maka orang Aceh

    akan sangat siap untuk terus berperang mempertahankan Islam, adat-resam serta

    budaya sebagai intisari jatidiri bangsa Aceh, dari ancaman genocide ataupun ethnic

    cleaning pemerintah yang otoriter. Maka sesungguhnya, adalah sesuatu yang fatal

    apabila pemerintah pusat telah menangani Aceh dalam periode yang silih berganti

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I28

    dengan pendekatan militer dan upaya manipulasi, atas aksi protes endatu orang

    Aceh yang pernah ditunjukkan awal kali pada tahun 1953 yang ketika itu dipimpin

    oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh. Sebab, sesungguhnya aksi protes para

    endatu Aceh melalui gerakan Darul Islam Aceh (DIA) itu bertujuan menuntut keadilan

    pusat agar menyempurnakan janjinya atas pemberian istimewa kepada Aceh dalam

    tiga hal utama, yaitu: pertama, menyangkut dengan pemberlakuan syariat Islam,

    yang harus diatur dengan pembentukan beberapa Qanun. Kedua, keistimewaan

    atas pemberlakuan adat-istiadat Aceh dalam kehidupan masyarakatnya. Ketiga,

    menyangkut dengan pembagian hasil bumi Aceh yang adil antara pusat dan

    daerah (Ahmad Farhan, 2006). Tuntutan atas keistimewaan Aceh memiliki alasan

    yang sangat dapat dipertanggungjawabkan, di mana Aceh adalah sebagai daerah

    modal (region of capital) bagi negara Indonesia. Modal yang dimaksudkan oleh

    sejarah dalam hal ini, dapat dilihat dalam beberapa bentuk: pertama, Aceh pernah

    mengantarkan pasukannya sebanyak 3.000 orang untuk berperang melawan

    agresi Belanda di Medan Area. Kedua, Aceh telah memberikan sumbangan dua

    buah pesawat yang amat sangat penting bagi persiapan kemerdekaan Indonesia.

    Ketiga, Aceh telah berhasil mempengaruhi opini masyarakat internasional dengan

    Radio Rimba Raya, dengan mengabarkan kepada dunia, bahwa Indonesia belum

    dapat dikuasi oleh belanda. Keempat, Aceh telah menyumbangkan banyak biaya

    untuk persiapan kemerdekaan Indonesia, baik berupa biaya perjalanan diplomatik

    maupun untuk kebutuhan dalam negeri. Pendekatan militer dan upaya manipulasi

    pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh, sudah tidak menghasilkan satu

    kesimpulan yang baik bagi perdamaian abadi, malah akan menjadi alasan utama

    penyebab munculnya kecurigaan yang mendalam dan rasa tidak percaya orang

    Aceh terhadap pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi yang harus diterima

    pemerintah pusat atas kealpaannya menerapkan pendekatan sosial budaya dalam

    menangani masalah Aceh, maka muncullah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang

    diproklamirkan oleh Dr. Hasan Muhammad Ditiro pada tahun 1976 di Djokan Pidie.

    GAM lahir pada awalnya sebagai kelanjutan dari aksi protes keras episode kedua

    gerakan yang pernah dipimpin oleh Tgk. Daud Beureuh. Dimana GAM menuntut

    keadilan yang sama seperti yang pernah dituntut endatunya, yaitu: menuntut

  • 29

    pemerintah pusat untuk menuaikan realisasi janjinya tentang keistimewaan Aceh.

    Tapi, sekali lagi amat disayangkan, orde baru telah menganggap GAM sebagai

    pengacau stabilitas keamanan pemerintah pusat di Aceh, sehingga GAM dianggap

    sebagai gerakan liar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.

    Orde baru, bukan hanya telah menjadikan Aceh miskin secara ekonomi,

    akan tetapi juga telah membuat Aceh harus menerima resiko miskin secara

    pengetahuan, degradasi budaya dan adat-istiadat Aceh harus terbentur dengan

    kebijakan pemerintah pusat, persis sama seperti apa yang digambarkan oleh

    Samuel Hungtington (1996) dalam thesisnya The Class of Civilization and the

    Remaking of the World Order. Untuk membasmi GAM, Pemerintah Pusat Indonesia

    telah memberlakan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada sejak tahun 1989

    hingga 1998. Buah dari operasi yang dijuluki dengan Operasi Jaring Merah (OJM)

    ini telah mengakibatkan terjadinya 7,727 kasus pelanggaran hak azasi manusia

    (human rights) di Aceh (Suraiya, 2001). Pencabutan status darurat militer di Aceh,

    didasari oleh meletusnya isu reformasi yang mulai digulirkan sejak awal mei, hingga

    mencapai mencapai puncaknya tuntutan reformasi pada 20 Mei 1998 yang ditandai

    dengan runtuhnya rezim otoriter Indonesia. Keruntuhan orde baru, juga bermakna

    peluang bagi orang Aceh untuk menyampaikan kehendaknya kepada dunia luas.

    Betapa tidak, orde reformasi telah membuka peluang bagi terciptanya perubahan

    besar di Indonesia. Sebagai representatif masyarakat Aceh, GAM kembali eksis untuk

    menuntut keadilan bagi Aceh. Kali ini, GAM bukan sekedar menuntut keistimewaan,

    tetapi juga ingin membebaskan Aceh dari bingkai Negara Kesatuan Republik

    Indonesia (NKRI). Referendum yang diusung Sentral Informasi Referendum Aceh

    (SIRA) pada tahun 1998 yang pimpin oleh Muhammad Nazar, telah memperkuat

    asumsi bahawa lebih dari 85 persen orang Aceh sedang menuntut pemisahan Aceh

    dari Republik. Ini adalah kemarahan puncak masyarakat Aceh terhadap Republik.

    Pemerintah pusat seperti cepat lupa, bagaikan keledai yang harus jatuh dalam

    lubang yang sama dalam waktu yang berbeda. Pemerintah pusat tidak ingat akan

    satu pepatah bahwa ureung Aceh, meunyoe kateupeh, bu leubeh han geu peutaba.

    Tapi meunyo hana teupeh, dumho pih geumaba (orang Aceh, kalau sudah dibuat

    marah, maka nasi lebihpun tidak akan ditawarkan kepada kita. Tapi kalau tidak

    AC E H : S E B UA H R E F L E K S I P E R G E R A K A N DA N M A S A D E PA N P E R DA M A I A N

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I30

    dibuat marah, maka semuanya akan diberikan kepada kita). Nampaknya pemerintah

    pusat pada ketika itu, sedang tidak dapat belajar dari pengalamannya, ini bermakna

    sejak Januari 1999 sampai ke November 2003, pemerintah telah mengembalikan

    Aceh kepada status Darurat Militer, walapun kemudian diturunkan menjadi darurat

    sipil sejak Mei hingga akhir tahun 2004 yang disebabkan oleh satu kejadian besar

    yaitu tsunami (Tempo Report, Desember 2004). Konflik bersenjata yang terjadi

    sejak tahun 1989 hingga akhir 2004, telah menyebabkan 11,214 kasus pelanggaran

    berat HAM, yang terdiri dari korban pembunuhan, pembakaran rumah, pelecehan

    seksual, pemerkosaan, penahanan semerta-merta, dan meningggal pada saat

    perang (ARF Report, Mei 2007). Penghujung tahun ketika itu, tepatnya pada hari

    minggu 26 Desember 2004, Aceh harus berhadapan dengan bencana besar.

    Bencana internasional tersebut bernama gempa tektonik dengan kekuatan 8,9 SR

    yang diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan sebagian pesisir Aceh. Nampaknya

    Tuhan telah memberikan teguran besar kepada kita semua, agar praktek homo

    homini lupus sesegera mungkin harus ditinggalkan. Tsunami Aceh telah membuat

    luka yang belum kering akibat konflik, menjadi tersobek-sobek serta menciptakan

    kepiluan yang amat dalam bagi Aceh. Tsunami telah menyebabkan 170,000 orang

    meninggal, manakala 500,000 orang lainnya harus kehilangan tempat tinggaassl

    mereka (Pemerintah NAD, 2006). Perkiraan atas kerusakan dan kerugian materipun

    sangat tidak sedikit (loss and damage assessment), kerugian yang dialami secara

    materil sebanding dengan lima kali bilangan Anggaran Pendapatan dan Belanja

    Daerah (APBD) Aceh tahun 2004 atapun mencapai Rp. 29,4 triliun atau U$D 11,5

    (Bank Dunia 2005).

    Aceh Pascakonflik dan Tsunami serta Upaya Reintegrasi

    Gambaran terhadap fenomena di atas, telah membuat hati rakyat Aceh bukan

    saja tersayat, tetapi hancur. Sebetulnya bukan hanya Aceh yang menangis, namun

    Indonesia juga menangis, bahkan duniapun berkabung sembari menghening cipta

    untuk mengenang kejadian yang amat menyayat itu. Konflik dan tsunami, bukan

    hanya telah membinasakan Aceh secara fisik, tetapi juga mental. Sehingga Aceh

    semakin tertinggal dalam beberapa bidang penting, seperti ekonomi, pendidikan,

  • 31

    kesehatan, hukum dan sosial budaya. Kondisi seumpama di atas tadi, telah

    membuka hati para pemimpin kedua belah pihak yang bertikai, untuk memikirkan

    jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik Aceh yang telah lama berlarut. Maka

    pada tanggal 15 agustus 2005, sebuah perjanjian antara Gerakan Aceh Merdeka

    dengan pemerintah pusat Indonesia telah disepakati di Helsinki Finlandia.

    Masyarakat Aceh secara umum, menaruh harapan besar pada konsensus tersebut.

    Tercapainya perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan GAM adalah

    sebuah rahmat dan kesuksesan besar yang telah dicapai. Konsesnsus ini, tidak

    hanya diperuntukkan bagi GAM dan Pemerintah pusat semata-mata, akan tetapi

    juga bagi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan bahkan

    lebih dari itu, yakni untuk perdamaian dan keamanan kawasan (Humam Hamid,

    2007).

    Membangun Aceh pascakonflik dan tsunami, sebetulnya kita tidak sedang

    berbicara tentang build back Aceh, tetapi lebih kepada build better Aceh. Bukan

    hanya waktu yang dibutuhkan, tetapi juga tenaga serta biaya yang tidak tergolong

    sedikit, demi pembangunan Aceh ke depan yang lebih baik dengan tanpa harus

    kehilangan jatidirinya. Adanya pemerintahan dari unsur rakyat Aceh tulen yang

    ditopang oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,

    maka, akan sangat dimungkinkan bahwa pembangunan Aceh dapat diwujudkan

    secara adil dan merata. Saat ini, Aceh ada peruntukan beberapa sektor penting dari

    pemerintah pusat melalui UUPA. Peruntukan tersebut mencakupi pembagian hasil

    migas antara pusat dan daerah, otonomi dalam bidang pendidikan dan kesehatan,

    otonomi dalam bidang adat-istiadat dan resam serta otonomi dalam pelasanaan

    syariaat Islam. Tiga poin penting ini, sesungguhnya dapat dijadikan sebagai modal

    besar terhadap pembangunan Aceh secara adil dan menyeluruh tanpa harus

    melahirkan kecumburuan sosial.

    Hal lain yang tidak kalah penting dan harus menjadi perhatian utama adalah

    pelaksanaan reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata yang merupakan salah

    satu dari point terpenting dari Memorandum of Understanding. Saat ini Aceh telah

    memasuki tahun keempat bagi sebuah transisi. Maka dengan demikian, pelaksanaan

    reintegrasi Aceh dengan adil dan bijaksana akan memberikan ruang khusus bagi

    AC E H : S E B UA H R E F L E K S I P E R G E R A K A N DA N M A S A D E PA N P E R DA M A I A N

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I32

    terwujudnya situasi damai Aceh di masa depan. Berbicara damai, sebetulnya bukan

    hanya sekedar berbicara tentang pemotongan 900 pucuk senjata dan mobililasi

    militer, akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah, bagaimana mewujudkan tujuan

    terhadap reintegrasi itu sendiri. Proses reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata

    secara formal telah dilimpahkan wewenang melalui Badan Reintegrasi Damai Aceh

    (BRDA), namun demikian tetap akan menjadi tanggung jawab masyarakat Aceh

    secara keseluruhan, untuk mewujudkan Aceh yang damai dan sejahtera. Ditinjau

    dari tujuannya, maka proses reintegrasi lebih ditujukan kepada tiga hal utama:

    Pertama adalah berkaitan dengan reintegrasi mantan kombatan GAM ke dalam

    masyarakat dengan pendekatan ekonomi, sosial dan politik. Ini berarti, mantan

    kombatan GAM berhak atas uang jaminan sosial, pemberian amnesti dan remisi

    kepada tapol/napol GAM dan sekaligus pemberian kesempatan kepada mantan

    kombatan GAM untuk bergabung dalam arena politik lokal dan nasional ataupun

    membentuk partai baru. Berdasarkan MoU, GAM berjumlah 3.000 orang (Ahmad

    Farhan, 2006: 203). Kedua, berkaitan dengan reintegrasi Aceh ke dalam Republik

    Indonesia pascakonflik bersenjata (Aceh re-integrated post conflict). Reintegrasi

    ini pula dilakukan bagi mengukuhkan patriotisme dan juga Nasionalisme ke-

    Indonesia-an yang dimiliki oleh rakyat Aceh dengan pendekatan pendidikan

    sebagai intry point. Ketiga, berkaitan dengan reintegrasi masyarakat korban konflik

    yang yang ditangani dengan pendekatan ekonomi sebagai entry point.

    Salah satu tolak ukur terpenting pencapaian perdamaian Aceh di masa

    mendatang adalah amat sangat tergantung kepada seberapa efektifnya proses

    reintegrasi itu dapat diwujudkan dengan seadil-adilnya. Ini artinya, bahwa proses

    reintegrasi Aceh tidak boleh dijadikan sebagai lencana politik kelompok tertentu,

    karena erosi integrasi pasti akan terus terjadi, sebab politik tidak punya mata, tidak

    punya telinga, tidak punya hati. Politik hanya mengenal kawan dan lawan, kalah dan

    menang, peradaban yang dangkal. Maka reintegrasi Aceh juga perlu menanamkan

    sikap senses of belonging, dengan rasa saling percaya, sehingga transisi ini akan

    menjadi modal bagi terbentuknya perdamaian Aceh yang abadi di masa yang akan

    datang. Amin.***

  • Saifuddin Bantasyam SH MADosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

    Isu-Isu Kritis dalam Pembangunan Perdamaian Aceh

    Karakter konflik yang berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tidak

    lagi didominasi oleh konflik antarnegara, melainkan konflik yang terjadi di dalam

    wilayah suatu negara. Dua elemen kuat sering bergabung dalam konflik seperti

    ini: elemen identitas, dan elemen distribusi. Jenis konflik seperti itu cenderung

    bertahan lama, dan fasenya silih berganti, antara bersifat laten dan terbuka. Skala

    penderitaan manusia juga sangat dahsyat. Konflik yang demikian, meskipun ada

    di tingkat internal, juga bisa menyebar hingga jauh keluar perbatasan geografis

    negara di mana konflik berlangsung. Ini menandakan bahwa konflik dalam negara

    yang rendah tingkatannya pun bisa meningkat menjadi konflik antarnegara yang

    lebih tajam. Jika ini terjadi, maka korban jatuh diperkirakan akan jauh lebih banyak.

    Dengan pelajaran sebagaimana disebutkan di atas, maka tak mengherankan

    apabila semua pihak yang terlibat dalam konflik, baik internal dan eksternal, berusaha

    keras untuk menyelesaikan konflik. Kelihatannya, pihak-pihak yang berkonflik

    memiliki sebuah kesadaran, bahwa konflik yang berlarut-larut akan membuat pihak

    yang berkonflik membayar harga yang tak murah, dan menghabiskan energi yang

    tak terhitung besarnya. Masyarakat di wilayah itu demikian juga, mereka tak akan

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I34

    pernah bebas dari penderitaan sebagai akibat langsung dan tidak langsung konflik,

    bahkan sebuah generasi dapat saja lenyap karena konflik.

    ***

    Demikian halnya dalam kaitannya dengan konflik bersenjata antara Gerakan

    Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Dalam beberapa catatan, angka

    kematian hampir mencapai seribu orang setiap tahun sepanjang tahun 1999, 2000

    dan 2001. Termasuk yang tewas adalah mereka yang berstatus penduduk sipil

    yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan konflik, atau tidak mengambil

    bagian apapun dalam konflik. Di luar angka korban tersebut, konflik bersenjata di

    Aceh telah menghancurkan banyak sisi kehidupan sosial politik dan ekonomi, dan

    menimbulkan rasa takut dan trauma yang mendalam di kalangan warga masyarakat,

    khususnya yang bertempat tinggal di pedalaman di beberapa kecamatan di

    sejumlah daerah kabupaten di Aceh. Akibatnya sangat parah, kantor-kantor

    pemerintahan di tingkat desa dan tingkat kecamatan tidak berfungsi maksimal,

    mobilitas masyarakat sehari-hari menjadi sangat terganggu, dan angka kemiskinan

    juga meningkat. Kondisi ini tak hanya memberi beban kepada pemerintah pusat dan

    daerah, namun juga bagi PBB dan masyarakat internasional, karena sesungguhnya

    dampak konflik berpeluang menyebar ke luar batas geographis Aceh.

    Proses formal untuk mencapai perdamaian dimulai pada tahun 1999 ketika

    Presiden Abdurrahman Wahid menyetujui kehadiran Hendry Dunant Centre

    (HDC) untuk menjadi mediator dalam perundingan Pemerintah RI dengan wakil-

    wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada masa-masa awal, dengan difasilitasi

    oleh HDC, kedua belah pihak menyetujui kesepakatan yang disebut dengan Joint

    Understanding for Humanitarian Pause (Kesepakatan Bersama Jeda Kemanusiaan)

    pada Tahun 2000. Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk memungkinkan kedua

    belah pihak membahas lebih lanjut berbagai masalah yang terjadi, menghentikan

    kekerasan, dan untuk memungkinkan penyaluran bantuan kemanusiaan kepada

    para korban konflik di berbagai daerah.

    Namun, tujuan-tujuan tersebut tidak mampu sepenuhnya dicapai, yang antara

  • 35I S U - I S U K R I T I S DA L A M P E M B A N G U N A N P E R DA M A I A N AC E H

    lain terlihat pada intensitas kekerasan yang tetap tinggi, dan kedua pihak tidak

    berhasil mencapai kesepakatan-kesepakatan lain yang lebih strategis. Karena itu,

    usaha berikutnya dilakukan dalam bentuk The Cessation of Hostilities Agreement

    (COHA) pada Desember 2002. Pada masa ini, disepakati juga penentuan zona-zona

    aman di beberapa daerah seperti Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Namun,

    pihak militer Indonesia kelihatannya tidak puas, dan sebagai akibatnya Pemerintah

    Pusat di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, memberlakukan

    status Darurat Militer pada Mei 2003 Mei 2004 dan kemudian melakukan operasi

    militer besar-besaran.

    Status Darurat Militer itu, kemudian dicabut dan diganti dengan status Darurat

    Sipil pada Mei 2004, dan seharusnya berakhir pada Mei 2005. Namun keadaan

    kemudian berubah drastis, ketika gempa dan tsunami melanda sebagian besar

    daratan Aceh pada 26 Desember 2004. Bencana ini menjadi salah satu bencana

    dengan korban terbesar di abad modern, karena itu mau tidak mau, Pemerintah

    Indonesia harus membuka Aceh bagi dunia internasional untuk melaksanakan

    misi-misi kemanusiaan. Status darurat sipil untuk Aceh menjadi tidak lagi berlaku,

    dan meskipun disebut-sebut bahwa rancangan untuk mencari solusi damai terus

    diupayakan sepanjang tahun 2004, namun tak bisa dipungkiri bahwa bahwa

    proses perdamaian yang diakhiri dengan penandatanganan Memorandum of

    Understanding (MoU) antara wakil GAM dan wakil Pemerintah Indonesia pada 15

    Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, terjadi karena pengaruh bencana tersebut.

    Setelah bencana dahsyat itu, memang sepertinya Aceh tak memiliki apapun lagi

    untuk diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Karena itu, pilihan paling

    tepat adalah menempuh jalan damai untuk membangun kembali berbagai

    infrastruktur sosial dan ekonomi yang hancur dan memulihkan trauma para korban

    dan keluarga yang ditinggalkan karena gempa dan tsunami besar tersebut, yang

    seperti disebutkan di atas, diakhiri dengan penandatanganan MoU Helsinki.

    ***

    Upaya untuk menjaga agar perdamaian tetap bertahan bukanlah sebuah

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I36

    upaya yang mudah. Perdamaian sebagai suatu resultan dari sebuah negosiasi yang

    sarat dengan berbagai kepentingan, adalah sebuah bangunan yang kompleks,

    yang membutuhkan tidak hanya perencanaan dan strategi yang komprehensif

    melainkan juga mensyaratkan anggaran yang cukup dengan pendekatan yang

    adil, efisien dan efektif, untuk membuat bangunan tersebut dapat terus kokoh

    berdiri. Di atas sudah disebutkan dua elemen penting yang mengemuka dalam

    konflik internal, yaitu identitas dan distribusi. Dalam konteks Aceh, secara normatif,

    identitas ke-Acehan sudah muncul melalui UU No. 44/1999 yang memberi

    keistimewaan kepada Aceh, kemudian UU No. 18/2001 berkaitan dengan otonomi

    khusus untuk NAD, dan terakhir UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU

    PA). UU PA bahkan mengatur lebih banyak, misalnya pemilihan langsung kepala

    daerah, yang dapat diikuti oleh calon perorangan, dan pembentukan partai politik

    lokal. Hukuman cambuk terhadap beberapa bentuk pelanggaran pidana, semakin

    menegaskan keistimewaan Aceh dibanding provinsi lain di Indonesia. Dengan kata

    lain, identitas ke-Acehan sudah cukup terakomodasi dalam sejumlah aturan.

    Kondisi saat ini menunjukkan bahwa program-program pembangunan pasca-

    BRR, yang berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Aceh dan pemerintah

    kabupaten/kota, belum mampu menyerap tenaga kerja yang dalam jumlah

    yang lumayan, sehingga angka kemiskinan pun tak menurun secara signifikan.

    Di pihak lain, terjadi berbagai ketidaksiplinan dan kejadian salah urus dalam tata

    kelola keuangan daerah, yang mengakibatkan terganggunya program-program

    pembangunan. Bahkan beberapa daerah kabupaten/kota, mengalami defisit APBK,

    sesuatu yang sulit diterima oleh akal sehat. Besar kemungkinan, suatu saat nanti,

    para kepala daerah dan wakil kepala daerah akan menjadi tersangka atau terdakwa

    dalam kasus-kasus korupsi. Ketika penegakan hukum dilakukan kepada para elit,

    sangat mungkin akan ditarik kepada kepada isu ketidaksenangan Pemerintah

    Pusat kepada Aceh, atau disebut sebagai bagian dari skenerio untuk melemahkan

    Pemerintah Aceh. Pada akhirnya, muncul mobilisasi benih-benih kebencian dari

    masyarakat Aceh kepada Pemerintah Pusat, yang kemudian dapat memicu gerakan

    separatisme jilid berikutnya.

    Lemahnya kinerja pemerintah di Aceh dapat melahirkan kekecewaan-

  • 37

    kekecewaan di kalangan masyarakat akar rumput; bahwa kepala daerah dan

    wakil kepala daerah yang dipilih langsung, termasuk dari kalangan mantan GAM,

    ternyata tidak mampu mengangkat kesejahteraan ke arah yang lebih diinginkan,

    atau bahwa perdamaian ternyata tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Ini

    kemudian dapat menimbulkan gerakan kolektif untuk menolak kepala daerah

    dipilih secara langsung, atau untuk menolak kepala daerah dari unsur perorangan,

    yang niscaya bertentangan dengan semangat MoU Helsinki dan aturan dalam

    UU PA. Sekedar untuk menambah informasi, Menteri Dalam Negeri mulai

    membicarakan kemungkinan pemilihan gubernur dan wakil gubernur di masa

    mendatang dilakukan oleh DPRD, sedangkan yang dipilih langsung hanya kepala

    daerah kabupaten/kota. Keinginan tersebut juga berlawanan dengan UU PA,

    sehingga berpotensi menimbulkan ketegangan antara Aceh dan Jakarta.

    Isu pemekaran Provinsi Aceh menjadi tiga provinsi, dua yang lain adalah Provinsi

    Aceh Lauser Antara (ALA) dan Provinsi Aceh Barat-Selatan (ABAS) berkemungkinan

    akan menyelinap di balik kondisi di atas. Jika dulu GAM antara lain muncul karena

    politik diskriminatif Pemerintah Pusat dalam hal distribusi dana pembangunan,

    maka elit dan warga masyarakat di kedua wilayah itu memunculkan isu mengenai

    rendahnya alokasi APBA untuk pembangunan wilayah mereka. Akan terjadi

    pertemuan kepentingan antara elit politik nasional dengan elit politik lokal

    di kedua wilayah tersebut, yang bukan tidak mungkin akan berujung kepada

    berdirinya dua provinsi baru itu, yang jelas bertentangan dengan UU PA. Selama

    ini terlihat gejala, bahwa militer dan beberapa partai politik besar di Jakarta,

    mendukung terbentuknya Provinsi ALA dan Provinsi ABAS. Dengan demikian,

    poros konflik yang berpotensi menganggu perdamaian menjadi sangat kompleks,

    melibatkan institusi di jajaran Pemerintah Pusat dan elit politik di Jakarta dan

    elit politik dan masyarakat di wilayah ALA dan ABAS dengan Pemerintahan Aceh

    (Pemda dan DPRA, yang didominasi oleh Partai Aceh) dan masyarakat Aceh yang

    kontra dengan rencana pemekaran.

    Tantangan lain berkaitan dengan bagaimana keberadaan partai politik lokal dan

    hasil pemilu legislatif yang laludi dalam mana Partai Aceh menjadi mayoritas di

    beberapa kabupaten/kota di Aceh. Partai Aceh tidak boleh menerima kemenangan

    I S U - I S U K R I T I S DA L A M P E M B A N G U N A N P E R DA M A I A N AC E H

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I38

    ini dengan sikap gembira semata-mata, melainkan juga menerima kemenangan

    sebagai suatu beban, yaitu bagaimana membantu terciptanya pemerintahan yang

    adil dan bersih serta legislatif yang responsif kepada kebutuhan rakyat. Jika tidak

    demikian, maka partai politik lokal akan tamat riwayatnya, dan berkemungkinan

    untuk ditinggalkan oleh konstituennya pada Pemilu 2014. Keadaan ini belum tentu

    dapat diterima dengan suka rela oleh para mantan GAM atau Komite Peralihan Aceh

    (KPA) yang membentuk Partai Aceh. Itu artinya, terbuka suatu konflik horizontal

    baru di Aceh di masa mendatang. Mereka akan mengatakan bahwa rakyat Aceh

    melupakan sejarah dan melecehkan MoU Helsinki. Berkenaan dengan partai politik

    lokal ini, situasi akan dapat lebih memburuk jika Pemerintah Pusat dan elit politik

    di Jakarta, suatu saat nanti, meninjau kembali aturan menyangkut keberadaan

    partai politik lokal karena ada semacam kekhawatiran menguatnya lokalisme di

    daerah-(daerah) yang diizinkan untuk mendirikan partai politik. Sekali lagi, keadaan

    ini dapat menimbulkan perlawanan dari berbagai elemen di Aceh, karena ada

    pengingkaran terhadap isi MoU Helsinki.

    Kelambanan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan beberapa amanah UU

    PA dapat merupakan sebuah ganjalan besar. Dari tiga Perpres yang harus dibuat,

    hanya satu yang sudah ditetapkan. Sedangkan dari tujuh Peraturan Pemerintah

    yang disebut dalam UU PA, juga hanya satu yang disahkan oleh Jakarta. Masalah

    lain adalah berkaitan dengan pembentukan UU Pengadilan HAM di Aceh serta

    Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dua hal yang dengan jelas disebut dalam

    MoU Helsinki dan UU PA. Mengenai Pengadilan HAM di Aceh, disebutkan dalam UU

    PA bahwa putusan Pengadilan (nantinya) tersebut memuat antara lain pemberian

    kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM. Itu artinya,

    Pengadilan HAM bukan semata instrumen untuk menindak pelaku pelanggaran

    HAM, melainkan juga untuk memenuhi hak-hak para korban. Sedangkan mengenai

    KKR, keadaan jauh lebih rumit. Dalam MoU Helsinki disebutkan, pembentukan KKR

    Aceh harus dengan mengacu kepada UU KKR Nasional, tetapi karena ada judicial

    review, UU KKR Nasional dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi.

    Pemerintah Pusat saat ini sedang menyusun RUU KKR Nasional, namun RUU tersebut

    ternyata tak menampung aspirasi pembentukan KKR Aceh, melainkan hanya

  • 39

    menyebut bahwa perwakilan KKR akan dibangun di setiap provinsi di Indonesia.

    ***

    Semua hal yang sudah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang sifatnya

    komprehensif. Dari segi pendekatan, uraian-uraian lebih merupakan asumsi dengan

    mendasarkan pada realitas yang berkembang dewasa ini di Aceh. Tetapi satu hal

    sudah jelas, bahwa di antara sekian banyak proses mencapai perdamaian dari

    konflik-konflik yang mematikan (deadly conflict) di berbagai belahan dunia, maka

    proses untuk mencapai perdamaian dalam konflik Aceh merupakan sebuah contoh

    yang sangat berguna baik bagi kepentingan akademik maupun kepentingan

    praktis. Secara teoritis, dan dalam setting sosial dan politik, sebenarnya kehidupan

    tak pernah dapat bebas dari konflik. Pada tingkat praktis, apa yang terjadi di Aceh

    merupakan sebuah sumbangan kemanusiaan yang besar, bahwa pada akhirnya

    konflik bukan hanya dapat dikelola, melainkan juga dihilangkan. Tetapi dalam

    konteks Aceh pula, penandatanganan naskah perdamaian dapat juga sebenarnya

    dipandang sebagai sebuah tindakan mudah, yang sedangkan hal yang terberat

    adalah bagaimana mempertahankan perdamaian itu. Dengan kata lain, konflik

    yang sudah hilang tersebut, dapat muncul kembali ke permukaan.

    Pemaparan di atas lebih mengacu kepada spektrum yang bersifat makro,

    atau pada tataran politik yang lebih luas, tanpa bermaksud untuk mengatakan

    bahwa hal-hal yang bersifat mikro sudah selesai dalam konteks pembangunan

    perdamaian di Aceh. Di samping itu, berbeda dengan provinsi lain, apapun

    kebijakan dan peristiwa yang berlangsung di Aceh, berkemungkinan untuk selalu

    dihubung-hubungkan dengan masa depan perdamaian, karena itu semua yang

    cinta damai, perlu dengan jeli untuk mengantisipasi hal ini, agar tidak menambah

    buruk keadaan di masa mendatang. Organisasi masyarakat sipil yang kelihatannya

    seperti melihat tidak ada masalah apa-apa dalam pembangunan perdamaian di

    Aceh, perlu juga menaruh kepedulian terhadap berbagai kemungkinan yang sudah

    diterangkan di atas, untuk membantu Aceh tidak kembali ke masa lalu yang hitam

    dan kelam.***

    I S U - I S U K R I T I S DA L A M P E M B A N G U N A N P E R DA M A I A N AC E H

  • Damee-damee

    Mukhtaruddin YakobKoresponden Liputan 6 SCTV dan Ketua AJI Banda Aceh

    Aceh tak seksi lagi! Awalnya ungkapan saya biarkan berlalu begitu saja. Bukan

    saja tidak penting, tapi meluncur bukan dari orang penting apalagi berpengaruh.

    Tak lama kemudian saya terhenyak juga dengan ungkapan tersebut. Dalam benak

    saya sempat berkecamuk antara ungkapan selintas atau ungkapan yang sarat

    makna dengan memakai istilah sedikit nakal.

    Saya berusaha mencari berbagai kesimpulan terhadap ungkapan itu. Antara

    akal sehat dengan daya imajinasi pun saling berkecamuk. Memang tidak terlalu

    lama menemukan jawaban tersebut. Ternyata ungkapan tak seksi terkait dengan

    makin sulitnya jurnalis menyuplai berita atau laporan peristiwa ke redaksi mereka..

    Berita ringan atau soft news tidak menarik bagi majikannya. Apalagi, hard news yang

    banyak dipasok dari daerah lain. Sehingga muncul istilah Aceh tak seksi lagi!

    Alasan ini diperkuat asumsi para senior di salah satu media. Mereka menganggap

    pemberitaan terhadap Aceh sudah habis-habisan atau mencapai klimaks ketika

    tsunami dan setahun perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh

    Merdeka. Agenda koh beude atau decommismioning dan relokasi TNI/Polri yang

    berlangsung hingga akhir 2005 silam merupakan akhir dari proses eksplorasi

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I42

    berbagai peristiwa di Aceh. Yang terbaru adalah proses pemilihan kepala daerah

    langsung yang dilaksanakan Desember 2006 silam.

    Bisa jadi tak seksi adalah asumsi jurnalis Aceh yang gemar dengan berita tam

    tum atau berita berbau rusuh.Sungguh disayangkan, jika format berpikir jurnalis

    di Aceh terkontaminasi dengan peristiwa kekerasan dan tragedi kemanusiaan.

    Kekerasan dan duka lara kerap menjadi berita pilihan dan tak jarang muncul

    sebagai headline di media kita. Tak heran jika yang menuding bahwa kantor media

    di Indonesia bahkan dunia hanya tergiur dengan darah dan air mata. Tanpa darah

    dan air mata, bukan berita! Demikian tudingan yang kerap dialamatkan pada

    media sebelum perjanjian Helsinki .

    Benar saja, image ini yang menjerumuskan para jurnalis terpatron pada

    jurnalisme kekerasan seperti bunyi senjata atau bentrokan.. Petinggi media pun

    sumringah ketika ada gambar kerusuhan atau peristiwa berdarah. Konon pula

    ada tragedi kemanusiaan yang memancing emosi pembaca atau pemirsa atau

    pendengar. Bisa saja para pemilik media berdalih, mereka menerapkan jurnalisme

    empati yang untuk menggugah penonton. Yang pasti jurnalis dan media sudah

    bersalah mengeksploitasi nasib masyarakat. Nah, format inilah yang tengah

    menggelayut para pekerja pers sehingga muncul istilah Aceh tak seksi lagi!

    Padahal darah dan air mata pasti melahirkan dendam. Istilah darah air mata

    disingkat menjadi dam. Dam dalam terminologi Aceh identik dengan dendam.

    Jika dendam dipelihara, bukan tak mungkin Serambi Mekkahtinggal nama. Konon,

    unsur dam yang dibesar-besarkan, maka jurnalis pun tidak hanya mem-blow up

    dam tapi juga dendam. Artinya, damai menjadi hal sangat sulit digapai. Karena

    dam masih belum bisa dikikis malah dipelihara bukan dijadikan pelajaran berharga

    untuk memulai kehidupan baru.

    Jika fenomena ini dipelihara, jangan salahkanmasyarakat jika jurnalis nantinya

    akan menjadi komunitas provokasi karena beritanya. Bahkan, lebih sadis menjadi

    provokator akibat laporan kekerasan selalu menjadi sajian infomasi setiap hari.

    Lalu, ke manakah nurani yang menjadi pijakan jurnalis melaporkan peristiwa

    mendatangkan dampak positif bagi warga Aceh. Jangan sampai jurnalis

    melahirkan kelompok jurnalis dendam. Karenadari dam bisa menelurkan damai.

  • 43

    Artinya, damai tanpa dam bukan lagi suasana yang berlangsung sesaat, tapi

    selamanya, selama generasi itu ada.

    Damai di sini bukan kepenjangan dari Darah dan Air Mata Anak Isteri atau

    Darah dan Air Mata Ibu-Anak. Tapi damai yang sesungguhnya. Juga bukan damee-

    damee alias boleh lebih kurang. Bukanlah damee-damee sebagai implementasi

    dari pelarian dari proses hukum seperti yang disaksikan di jalan raya atau jual-beli

    seperti kasus BLBI yang melibatkan para jaksa agung muda. Kalau damai dijadikan

    damee-damee, maka apa pun yang dilakukan menyelamatkan perdamaian bisa

    bertahan lama. Muaranya, Aceh terlibat lagi pada konflik yang saya yakini tak akan

    reda lagi.

    Ikrar Lamteh yang pernah lahir pada 8 April 1957 silam, merupakan agenda

    damee-damee. Pemerintah Indonesia ingin meredam pemberontakan Teungku

    Muhammad Daud Beureu-eh karena kecewa akibat Aceh dilebur dan digabungkan

    ke Sumatera Utara pada 23 Januari 1951 oleh PM Muhammad Natsir. Natsir bahkan

    mengumumkan secara langsung peleburan Aceh melalui RRI Banda Aceh. Padahal,

    provinsi Aceh baru berusia setahun lebih yang didirikan pada tanggal 17 Desember

    1949.

    Bagi yang pernah merasakan getirnya kondisi mencekam, pahitnya berada di

    bawah bayang ketakutan. Tak ada yang berharap bahwa suasana demikian hadir

    lagi dan meramaikan pemberitaan di Aceh. Ingat! Semua sudah lelah dengan

    perseteruan dan skenario yang menjijikkan. Tak perlu berharap banyak dari

    pemberitaan kekerasan dan bombastis. Karena konflik Aceh sudah tak lagi jadi

    komoditi laporan menggiurkan. Bukan hanya untuk luar negeri, dalam negeri pun

    sudah tak sudi. Jadi, berhentikan berpikir bahwa berita ada jika kekerasan masih

    terjadi.

    Begitu lelah, jurnalis berada di bawah tekanan. Bukan saja, oleh ilegal, kelompok

    legal pun tak hentinya merongrong media. Sudah banyak korban harga dan jiwa.

    Tidak sadarkah kita pada pengorbanan teman-teman jurnalis yan telah mendahului.

    Sebut saja Jamaluddin, kamerawan TVRI Banda Aceh yang ditemukan tak bernyawa,

    Ersa Siregar yang tertembak dalam kontak senjata. Juga Feri Santoro yang hampir

    setahun berada di rimba penculikan GAM. Peristiwa menimpa para jurnalis ketika

    DA M E E - DA M E E

  • M E R A N G K A I K ATA DA M A I44

    konflik dan pemberlakuan darurat militer adalah kenyataan pahit. Darah dan air

    mata anak atau isteri begitu nyata ketika itu. Belum lagi para pekerja kemanusiaan

    yang senantiasa terancam jika kekerasan masih saja menjadi brand mark daerah

    Serambi Mekkah. Biarlah, Aceh ini menjadi darul salam atau negeri damai daripada

    darul harb atau negeri perang.

    Begitu panjang episode kekerasan di Aceh. Sejak pemberontakan pertama

    meletus Desember 1976 silam, hanya beberapa saat Aceh ini damai. Masa DOM

    yang berlangsung pada periode 1989-1998 bukan masa yang indah. Kuburan tanpa

    nama bertebaran di mana-mana. Pembantaian nyaris menjadi hal biasa dengan

    dalih penyematan negara. Demikian pula pascapencabutan DOM periode 1999-

    2005. Ajang pembantaian baru seperti Tragedi KKA dan pembantaan Arakundo

    atau kasus Bantaqiah muncul. Maka biarkan damai bersemi untuk selamanya bukan

    sejenak seperti yang terjadi pada masa lalu.

    Memang enak hidup tak damai, begitu sindiran anak-anak yang sering

    terdengar. Bayangkan saja, bagaimana kehidupan malam bisa dinikmati tanpa rasa

    aman. Tegasnya, kehidupan malam saat konflik bagai barang langka yang tak bisa

    dibeli. Suasana mencekam, saling curiga dan tanpa tenggang rasa adalah bag