merangkai pengetahuan ikebana

15
1 MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA Prissi Ananda Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok 16424, Kakarta ABSTRAK Sebagai program pengenalan budaya oleh Badan Diplomasi Jepang, Ikebana diperkenalkan di Indonesia oleh Yayasan Japan Foundation salah satunya melalui kegiatan kursus beraliran Ikenobo. Ringkasan skripsi ini berupaya membahas proses belajar yang terjadi pada peserta kursus tingkat awal dalam kegiatannya mempersepsikan dan menguasai seni merangkai Ikebana, sebagai suatu seni merangkai bunga yang berasal dari Jepang, Ikebana mempunyai tata caranya sendiri, yang membawa serta atribut budayanya. Mengetahui hal tersebut, bagaimanakah materi Ikebana sebagai pranata dari luar diterima oleh pesertanya yang orang Indonesia?. Penelitian ini berupaya menelusuri secara holistic dimensi yang tertangkap dalam proses transmisi pengetahuan yang dilakukan oleh pesertanya, yang terdiri atas murid dan pengajar. Kata kunci: kerajinan; Ikebana; merangkai bunga; proses belajar; transmisi pengetahuan; atribut kultural; seni Jepang; Japan Foundation ABSTRACT Weaving The Knowledge Of Ikebana. As an overseas cultural introduction program campaigned by Japan’s Diplomatic Agencies. Ikebana has been introduced to Indonesia by Japan Foundation Organization through a course program. This Research aims to gain an understanding of a learning process at a beginner’s course of Ikenobo School flower arranging held at Japan Foundation building. As a Japanese art, Ikebana has its own characteristics that brought with it their cultural attributes. This research is trying to holistically explore the elements that happen throughout the learning processes, experienced by its Indonesian participants in an effort to learn the craft from another culture, and also to explore the captured dimensions of the transmissions of knowledge done by its participants, which consists of the students and teachers. Key words: art craft; Ikebana; flower arranging; learning; transmissions of knowledge; cultural attributes; Japanese Arts, Japan Foundation RiINGKASAN PENELITIAN Ringkasan skripsi atau tulisan ini bermaksud menjelaskan secara holistik dimensi yang tertangkap dalam proses transmisi pengetahuan yang dilakukan peserta kursus Ikebana aliran Ikenobo oleh peserta, murid dan pengajar(Sensei), dari kelas tingkat pemula, yang diadakan oleh Asosiasi Ikebana melalui Japan Foundation di Jakarta. Di dalam kegiatan ajar mengajar dalam kelas tersebut, terjadi sebuah interaksi yang melibatkan peristiwa cognitive, affective, dan proses fisikal baik dari individu yan g belajar maupun dari ahli (Sensei). Melalui media materi (bunga, vas, dan alat rangkai Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Upload: others

Post on 01-Nov-2021

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

1

MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

Prissi Ananda

Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok 16424, Kakarta

ABSTRAK

Sebagai program pengenalan budaya oleh Badan Diplomasi Jepang, Ikebana diperkenalkan di Indonesia oleh Yayasan Japan Foundation salah satunya melalui kegiatan kursus beraliran Ikenobo. Ringkasan skripsi ini berupaya membahas proses belajar yang terjadi pada peserta kursus tingkat awal dalam kegiatannya mempersepsikan dan menguasai seni merangkai Ikebana, sebagai suatu seni merangkai bunga yang berasal dari Jepang, Ikebana mempunyai tata caranya sendiri, yang membawa serta atribut budayanya. Mengetahui hal tersebut, bagaimanakah materi Ikebana sebagai pranata dari luar diterima oleh pesertanya yang orang Indonesia?. Penelitian ini berupaya menelusuri secara holistic dimensi yang tertangkap dalam proses transmisi pengetahuan yang dilakukan oleh pesertanya, yang terdiri atas murid dan pengajar. Kata kunci: kerajinan; Ikebana; merangkai bunga; proses belajar; transmisi pengetahuan; atribut kultural; seni Jepang; Japan Foundation

ABSTRACT Weaving The Knowledge Of Ikebana. As an overseas cultural introduction program campaigned by Japan’s Diplomatic Agencies. Ikebana has been introduced to Indonesia by Japan Foundation Organization through a course program. This Research aims to gain an understanding of a learning process at a beginner’s course of Ikenobo School flower arranging held at Japan Foundation building. As a Japanese art, Ikebana has its own characteristics that brought with it their cultural attributes. This research is trying to holistically explore the elements that happen throughout the learning processes, experienced by its Indonesian participants in an effort to learn the craft from another culture, and also to explore the captured dimensions of the transmissions of knowledge done by its participants, which consists of the students and teachers. Key words: art craft; Ikebana; flower arranging; learning; transmissions of knowledge; cultural attributes; Japanese Arts, Japan Foundation RiINGKASAN PENELITIAN Ringkasan skripsi atau tulisan ini bermaksud menjelaskan secara holistik dimensi yang tertangkap dalam proses transmisi pengetahuan yang dilakukan peserta kursus Ikebana aliran Ikenobo oleh peserta, murid dan pengajar(Sensei), dari kelas tingkat pemula, yang diadakan oleh Asosiasi Ikebana

melalui Japan Foundation di Jakarta. Di dalam kegiatan ajar mengajar dalam kelas tersebut, terjadi sebuah interaksi yang melibatkan peristiwa cognitive, affective, dan proses fisikal baik dari individu yan g belajar maupun dari ahli (Sensei). Melalui media materi (bunga, vas, dan alat rangkai

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 2: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

2

lainnya) murid bereksplorasi dengan konsep aesthetic yang mengikutsertakan pengetahuan, memori, imajinasi, serta “feedback” yang diterima melalui Sensei, murid, serta individu sendiri. Melalui proses “belajar” dalam merangkai bunga ini, setiap individu akan merespon atas materi/alat dan konsep secara personal. Proses ini melibatkan emosi, interpretasi, dan introspeksi. Konstruksi imajinasi yang personal ini membuat individu dapat mengenali, merasakan, atau berkompromi sehingga dapat menemukan arti (meaning) dalam kombinasi antara media materi/tools, konsep, dan rangkaian bunga tersebut. Dengan demikian, peserta belajar akan terlatih untuk menerima atau “perceiving”, menganalisa, menginterpretasi, dan juga mengevaluasi ketika melakukan kegiatan merangkai.

Secara keseluruhan, interaksi yang terjadi dalam kelompok belajar Ikebana dapat digambarkan sebagai bagan berikut:

Materi yang ditekankan pada kursus Ikebana tingkat pemula di Japan Foundation adalah teknik merangkai sesuai aturan baku berupa materi kursus yang disampaikan pada setiap awal kursus. Media yang dipakai adalah bunga dan alat (tools) melalui rangkaian bunga yang diciptakan. Selain aspek tehnis, ada aspek lain dari pengajaran Ikebana yang tersampaikan walaupun tidak disertakan dalam materi tertulis, yaitu nilai/value. Aspek value melihat Ikebana bukan saja sebagai kegiatan mengenali

aturan merangkai yang personal, tetapi juga suatu kegiatan seni yang membutuhkan konsentrasi dan kontemplasi. Kontemplasi tidak saja ketika merangkai Ikebana itu sendiri tetapi juga ketika menyimak instruksi, demonstrasi dan koreksi yang dilakukan Sensei. Ketika menyimak demonstrasi merangkai, orang yang belajar dan menggiat seni diharapkan menginternalisasi proses itu secara intuitif, oleh karena itu, terkadang murid yang memahami etika tersebut tidak banyak bertanya kepada Sensei ketika demonstrasi itu berlangsung, tetapi berkonsentrasi dalam menyimak keahlian Sensei.

Aspek nilai lainnya yang tersampaikan tidak juga secara tertulis adalah konsep-konsep estetika Jepang. Di antaranya konsep keindahan asimetris yang khas dalam rangkaian Ikebana. Selain itu hal ideal yang diajarkan dalam merangkai Ikebana adalah untuk menampilkan tanaman sedekat mungkin dengan wujud aslinya di alam bebas. Manipulasi manusia yang merangkainya hanya disesuaikan dengan harmoni susunan, seperti mencabut daun-daun atau memekarkan bunga yang terlalu menutup. Kepekaan terhadap aspek ini juga dibangun melalui interaksi murid dengan murid lain dan mengobservasi perlakuan Sensei terhadap tanaman dari demonstrasi merangkai.

Proses belajar peserta kelas Ikenobo bervariasi dengan penerimaan yang bermacam-macam. Ada peserta yang merangkai dengan mengikuti hasratnya saja, tidak mempedulikan aturan. Tetapi Sensei yang mengoreksinya pun tidak berkomentar atau menegur etika murid tersebut, tetapi tetap mengoreksi pekerjaan murid tersebut dengan disaksikan murid lain. Akan tetapi, meskipun instruksi verbal tidak dikemukakan secara aktif, sang Sensei tetap merespon murid yang mengajukan pertanyaan. Murid tersebut juga aktif berinteraksi dengan murid lain, baik dengan

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 3: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

3

bertanya atau mengutarakan ketidak-pahaman mereka. Dalam seni tradisional Jepang, materi biasa diajarkan dengan tanpa banyak penjelasan verbal dari pengajar, para murid juga tidak banyak mengajukan pertanyaan. Akan tetapi di kelas Ikenobo Japan Foundation, murid-murid banyak bertanya dan Sensei selalu berusaha menjawab setiap pertanyaan. Begitu juga dalam praktek koreksi. Dalam pengajaran seni tradisional Jepang yang juga melibatkan hands-on demonstration oleh pengajar oleh karya murid, dalam kegiatan tersebut idealnya, murid hanya melihat dan tidak bertanya. Akan tetapi di kursus Ikenobo, jalannya proses koreksi oleh Sensei tidak menghalangi sebagian besar murid untuk bertanya dan berdiskusi. Sebagai wadah ekspresi seni, praktek merangkai bunga Ikebana pada kelas Ikenobo Japan Foundation lebih bermakna sebagai penyaluran pengalaman oleh pelakunya. Berbeda dari media ekspresi seni lain, seringkali makna naratif tidak terdapat dalam rangkaian Ikebana. Meskipun makna dalam gaya Rikka, misalnya, mengekspresikan pemandangan alam gunung, sungai, sawah secara berurutan, tetapi makna tersebut bukanlah personal, melainkan merepresentasikan karakter yang sudah ada. Makna personal yang ditampilkan di gaya bebas pun bukanlah naratif, sebab tampilan tidak diberi judul personal, Meskipun terdapat kebebasan dalam jenis tanaman dan teknik yang dipakai, hal itu tidak berarti susunan Ikebana menggambarkan narasi tertentu oleh pelakunya. Meskipun memiliki aturan yang terstruktur, enlightment Ikebana terletak pada kesederhanaannya, bukan elaborasinya. Padanya juga terdapat aspek yang cocok dengan nilai budaya Jepang, yaitu harmoni, yang dilihat sebagai apa yang membuat Ikebana itu indah. Latar Belakang/Sejarah Ikebana Ikebana adalah praktek seni merangkai bunga yang lahir dan berkembang di Jepang.

Praktek ini tidak jauh didasari dari tradisi mengapresiasi objek alam dan bunga yang sangat marak dilakukan masyarakat. Sesuai dengan yang dikatakan Febriana (1998), masyarakat Jepang memperhatikan keindahan hingga pada hal-hal kecil kehidupan sehari-harinya. Bunga, sebagai salah satu elemen dari alam, dimanfaatkan untuk mengungkapkan kesan dan perasaan. Tradisi mengapresiasi alam, diikuti oleh direkayasanya objek alam menjadi karya seni. Di Jepang, Ikebana sudah dikenal luas secara turun-temurun. Baik generasi tua dan muda dan dari berbagai latar budaya mengenal Ikebana sebagai salah satu budaya yang bertransendensi nasional. Seni ini berhasil bertahan melalui rintangan waktu dan perubahan sosial ini dianggap sebagai atribut budaya yang tak terpisahkan dari identitas ke-Jepang-an sendiri. Dengan seperangkat aturan dan nuansa-nya sendiri, Ikebana sangatlah spesial karena hanya ada di Jepang. Praktek merangkai Ikebana pertama kali muncul di kuil yang kemudian menjadi aliran Ikebana pertama yang lahir, yaitu bernama Ikenobo. Hingga sekarang, Ikenobo masih didalami oleh pelakunya dari berbagai kalangan. Teknik pembuatan Ikebana mempunyai aturannya tersendiri. Bunga yang digunakan tidak dalam jumlah banyak, dan tampilannya bisa begitu bervariatif dengan bentuk-bentuk susunan tanamannya. Keahlian merangkai Ikebana membutuhkan latihan berulang-ulang secara penuh konsentrasi agar aplikasinya bisa sesuai dengan aturan dan keinginan si pelaku. Selain itu, persepsi yang didapat pelaku selama melihat karya orang lain maupun mengobservasi tingkah laku pengajar dalam merangkai turut mempengaruhi. Oleh sebab itu, dapat dilihat keterkaitan pada Ikebana antara teknik dan filosofinya dengan kebudayaan yang harus diinternalisasi oleh pelakunya. Menurut Keller & Keller (1996:126), kebudayaan bukanlah sesuatu yang abstrak yang tak bisa dibayangkan. Gagasan

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 4: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

4

mengenai dunia tidak hanya yang mempengaruhi manusia dalam bertindak tetapi juga persepsi manusia itu sendiri yang berubah terus-menerus seiring dengan perjalanan tindakannya. Dari situlah penelitian ini berangkat, yaitu dengan mengkaji proses pembelajaran yang dilalui para pelaku Ikebana khususnya dari aliran Ikenobo di Jakarta dalam mempelajari cara merangkai Ikebana. Penelitian ini berlatar ketika Ikebana diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia, melalui kursus yang diadakan Japan Foundation, Jakarta. Seperti layaknya diplomasi negara lain, Jepang juga mengadakannya untuk tujuan diplomasi. Program yang seperti dikutip Morohira disebut dengan content culture itu. Dengan disokong subsidi pemerintah Jepang, kursus Ikebana diselenggarakan setiap tahun di Indonesia. Pada prakteknya Ikebana mengandung nilai budaya Jepang yang kental dengan adat istiadat dan kehidupan rakyat Jepang, misalnya antara lain Ikebana ini selalu hadir pada peristiwa-peristiwa penting seperti pernikahan, kelahiran, maupun kematian. Pengajaran Ikebana dimaksudkan tidak hanya untuk mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan, yaitu kemampuan merangkai yang bisa didapat melalui observasi, pengalaman, dan latihan, tetapi juga diiringi dengan usaha meng-internalisasikan etika. Dengan latar belakang tersebut, tergambar bagaimana sesungguhnya seni ini diterima oleh masyarakat non-Jepang yang relatif tidak sefamiliar orang Jepang terhadap aspek tersebut?. Oleh sebab itu, penelitian ini berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan mengenai

praktik merangkai bunga yang di-“impor” dari luar itu diterima oleh praktisinya di Indonesia, dan

2. Bagaimanakah proses belajar yang dialami oleh peserta murid yang

sekaligus termasuk dalam Perhimpunan Ikebana Ikenobo Indonesia?

TINJAUAN TEORITIS Belajar merupakan pusat kehidupan manusia dan mekanisme keberlangsungan kebudayaan. Melalui belajar, budaya diwariskan dan diadaptasi. Seperti kata Minar & Crown: Learning is central to human lives and is the mechanism through which cultures are sustain and by which they adapt (C. Jill Minar dan L. Crown, 2001:374). Seni Ikebana mampu bertahan lama selama berabad-abad dengan mekanisme tersebut. Baik itu turun-temurun dari guru dan murid, maupun keluarga sedarah. Proses belajar tidak hanya berupa transmisi pengetahuan yang abstrak dan tak berkonteks dari seorang individu ke yang lain, tapi juga merupakan proses sosial dimana pengetahuan dikonstruksikan kembali (Lave dan Wenger: 1991). Instruksi tentang bagaimana merangkai Ikebana tidak berhenti hanya dengan mengikuti aturan yang dijelaskan di papan tulis, tetapi juga dihasilkan dari interaksi antara murid dan pengajar, dan dari murid ke murid yang lain. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Minar dan Crown (2001) bahwa Learning is not simply something that a person does. It is a process that occurs in a specific context with physical, social, and cultural parameters that affect the learning process (Minar dan Crown, 2001:374). Proses belajar bukan hanya sesuatu yang dilakukan seseorang, tetapi juga suatu proses yang berlangsung dalam konteks-konteks seperti fisik, sosial, dan parameter kultural yang mempengaruhi berjalannya proses belajar itu sendiri. Interaksi hadir dalam proses belajar, seperti yang dikatakan Minick, Theories of situated everyday practice insist that persons acting and the social world of activity cannot be separated (1985). Proses pengajaran

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 5: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

5

Ikebana pun selalu melibatkan interaksi, baik itu antara pengajar (Sensei), murid, dan antar murid. Lave (1996) mengatakan bahwa, ….Understanding is assumed to be a partial and open-ended process while at the same time there is structure (variously conceived) to activity in the world (Lave, 1996). Pemahaman diasumsikan sebagai proses yang berkelanjutan dan pada saat bersamaan aktivitas pun terus berlanjut, jadi pengetahuan tentang bagaimana merangkai Ikebana pun terus berubah. Ketika pelaku mencocokkan antara bunga yang satu dengan yang lain, lalu menyadari dari aktivitas trial and error tersebut kalau suatu komposisi dapat menjadi bagus, maka ia memperoleh pengetahuan baru seiring melakukan kegiatan itu. Kegiatan merangkai dibangun melalui proses kreatif murid, tetapi mengingat Ikebana memiliki aturan yang sudah terbangun dalam tradisinya di Jepang, bagaimanakah murid-murid yang berpartisipasi kepada kursus Ikebana dengan hasrat tinggi untuk berkreasi tetapi masih baru dalam mengenal Ikebana? “Creative processes emerge from specific people, set in their social, cultural, and historical circumstances” (Lavie, Narayan, Rosaldo, 1993). Proses kreatif muncul dari seseorang diiringi oleh situasi sosio-kultural dan historis di sekelilingnya. Produk budaya adalah hasil dari lingkungannya. Dari skala tradisi, hasilnya adalah produk budaya Ikebana, tapi dari skala perorangan, fokusnya ada pada kreatifitas seseorang.

Seperti pada umumnya kita ketahui, pengetahuan tidak hanya diperoleh tetapi juga dipertahankan. Pengetahuan tersebut menyatu dalam sebuah material seperti seni Ikebana. Seperti yang dikatakan oleh C. Jill Minar dan L. Crown “…Some of the knowledge embodied in these materials was preserved through many generations…” (C. Jill Minar dan L. Crown, 2001: 369). Ikebana sebagai material seni, dapat dikaji sebagai entitas bersatunya pengetahuan yang sudah berlangsung dalam waktu lama. Seni

Ikebana bertahan lintas generasi melalui warisan pelajaran turun-temurun maupun penyebaran ilmu ke berbagai wilayah, tetapi yang penting juga diperhatikan adalah proses pengetahuan Ikebana itu ditransmisikan. Penting untuk melihat bagaimana proses transmisi pengetahuan terjadi sebab “Knowledge is constructed and modified in use” (Lave, 1996:8 dalam C. Jill Minar dan L. Crown, 2001: 373). Pengetahuan kerap dikonstruksi dan dimodifikasi sendiri oleh individu. Analisa hal ini dapat berujung pada faktor, seperti umur, gender, atau latar belakang pendidikan, atau bahkan kisah hidupnya, tetapi intinya adalah setiap orang punya proses dan caranya sendiri dalam berkarya. Penerapan pengetahuan tidak pernah sama dan selalu diadaptasikan dengan kondisi di lapangan. Untuk itu dalam prosesnya selalu ada pengetahuan baru yang diperoleh dan strategi baru yang diciptakan. “Knowledge was generated through observing the local landscape and adaptively changing strategies to respond to current needs”(Nerbonne & Lentz, 2002). Metode Penelitian Penelitian kualitatif dipakai dalam penelitian ini, dengan mengacu pada Leont’ev, bahwa kunci dari pandangan holistik mengenai pengetahuan merupakan sistem tingkah laku dimana aspek individu, sosial, dan material bersifat interdependen (Leont’ev 1972/1981:48). Aspek-aspek itulah yang akan dilihat pada penelitian terhadap informan dan praktek Ikebana-nya. Untuk mengenal informan dan kegiatan yang dijalaninya, dilakukan metode wawancara mendalam terhadap informan, dalam hal ini praktisi Ikebana yang terdiri dari murid dan instruktur Ikebana. Wawancara terhadap informan murid yaitu mereka yang masih menjalani proses menerima dan mempersepsikan pengetahuan dalam Ikebana, bertujuan untuk memberi jawaban bagaimana mereka mempersepsikan pengetahuan itu. Kriteria

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 6: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

6

informan ini adalah mereka yang baru saja mengenal Ikebana, sebab sejalan dengan tujuan untuk melihat tanggapan dari peserta non-Jepang atau Indonesia yang baru saja mengenal seni Ikebana tetapi tertarik belajar. Jumlah informan kunci ada tiga orang, yang terdiri atas dua orang murid dan satu orang guru. Informan tambahan datang dari peserta lainnya.

Metode observasi diaplikasikan terhadap karya Ikebana yang dihasilkan informan, dengan diiringi penjelasan pengalaman merangkai oleh informan tersebut, agar diketahui proses berlangsungnya inter-konektivitas pengetahuan dan aplikasi dalam pembuatan karya. Yang terakhir, metode partisipasi-observasi dilakukan dengan partisipasi saya dalam kursus Ikebana aliran Ikenobo yang diadakan di Jakarta.

Macam Gaya Rangkaian Ikebana Ikenobo. Aliran Ikenobo memiliki macam-macam gaya. Jenis-jenis gaya rangkaian Ikenobo yang membagi rangkaian ke dalam susunan yang terbentuk di dalam vas. Antara lain yaitu Moribana, Shoka, Rikka dan Jiyuka.

1. Moribana. Moribana adalah gaya yang paling sederhana dan karena itu dinilai cocok untuk pemula. Gaya inipun dimasukkan paling awal dalam kurikulum kursus Ikenobo Japan Foundation. Ciri khas Moribana adalah susunannya bertumpuk/berkumpul namun kelihatan indah, tampilannya bagaikan merepresentasikan semak-semak di tepi danau. Rangkaian ini selalu menggunakan wadah yang permukaannnya lebar dengan menggunakan kenzan tempat batang-batangnya ditancapkan dan membentuk susunan berkumpul tersebut. Masing-masing gaya mempunyai bentuk I, II, III dan bisa dirangkai sebelah kiri (Hongatte) dan sebelah kanan (Gyakutatte).

2 Shoka. Shoka merupakan tipe Ikenobo yang tampilannya vertical tegak lurus.

Rangkaiannya ditempatkan dalam vas yang tinggi, dengan kenzan yang terletak di tengah permukaan berisi air. Aturan Mizugiwa ada dalam kenzan yaitu antara batang tanaman dengan permukaan air harus ada jarak sebanyak tiga jari tangan. Semua ini tujuannya menegaskan tampilan vertical tegak lurus. Shoka terbagi menjadi dua, antara lain Shoka Shofutai yang klasik dan Shoka Shimputai yang lebih modern.

3 Rikka. Rikka adalah tipe aliran Ikenobo yang sifatnya merepresentasikan pemandangan alam. Terdapat aturan tertentu yang rigid dalam gaya ini yang mengatur ditampilkannya pemandangan alam tersebut. Hal ini dicapai dengan menancapkan secara berurutan 9 (sembilan) batang utama. Dalam representasinya, batang-batang utama itu sering disebut sebagai: “gunung”,” sawah”, “laut”, yang tampilannya menurun ke bawah. Rikka memiliki 9 (sembilan) batang utama. Tiap batang diistilahkan dengan shin, soe, tai, tetapi bila ketiga istilah itu menggambarkan langit, bumi dan manusia, maka batang utama di Rikka merepresentasi pemandangan alam yang sudah disebutkan di atas tersebut. 4 Jiyuka. Jiyuka adalah rangkaian bebas yang berkembang secara luas dalam gaya naturalis dan abstrak. Dirangkai menurut perasaan si perangkai yang kreatif, untuk berfikir dan berkreasi menurut imajinasi, sehingga memperoleh suatu rangkaian yang artistik.Yang penting dalam rangkaian Jiyuka adalah keseimbangan dan keserasian antara vas bunga dan bahan-bahan yang dirangkai, agar menimbulkan kesan yang harmonis dan indah dipandang. Berikut adalah contoh dua rangkaian dari ketiga jenis gaya Ikebana yang diuraikan diatas:

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 7: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

7

Shoka (kiri), Jyuka (kanan) ( Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Aturan-Aturan Dasar Ikebana. Seni Ikebana hanya menggunakan bunga/tanaman segar, seperti ranting, batang, dan bunga. Bunga yang merekah penuh melambangkan masa lalu dan bunga yang setengah merekah bisa melambangkan masa kini, sementara bunga kuncup umumnya melambangkan masa depan. Hal ini sesuai dengan prinsip keindahan tradisional Jepang wabi-sabi yang menggambarkan transiensi atau keadaan yang selalu berubah karena berjalannya waktu. Ikebana tidak mementingkan keindahan bunga, namun menekankan pada penciptaan harmoni dalam bentuk linier, ritmis, dan warna. Bentuk-bentuk dalam Ikebana didasarkan tiga titik yang mewakili langit, bumi, dan manusia. Prinsip yang paling memisahkan Ikebana dari seni merangkai bunga lainnya terdapat pada aturan-aturannya. Uraian dibawah ini menjelaskan aturan yang berasal dari Ikebana khususnya dari estetika tradisional Jepang, antara lain:

Shin, Soe, Tai. Ketiga istilah ini merupakan bagian dari tujuan menampilkan harmoni dalam rangkaian. Shin adalah batang yang paling tinggi ukurannya, Soe panjangnya harus sepertiga dari Shin, sedang Tai setengah dari Shin. Shin (langit) direpresentasikan oleh tanaman yang paling tinggi batangnya. Sedangkan Tai (manusia), yang paling rendah. Keduanya dijadikan patokan dua

kutub untuk meletakkan bumi (Soe) yang berada diantaranya. Letak ketiganya tidak selalu dalam susunan yang sama, seperti anggapan bahwa Tai haruslah diletakkan ditengah. Letaknya bisa berbeda-beda tergantung oleh ke arah mana rangkaian akan diarahkan, kekiri (Hongatte) atau ke kanan (Gyakutate).

Mizugiwa. Aturan ini menyatakan bahwa setiap batang tanaman dalam susunan rangkaian gaya Rikka, Shoka, dan beberapa Jiyuka harus mempunyai jarak seukuran 3(tiga) jari tangan dari permukaan air dalam vas. Teknik Merangkai dan Alat-alat yang Digunakan. Peralatan yang dipakai dalam merangkai bunga Ikebana antara lain berupa gunting, kawat, lidi untuk penguat, dan kenzan (wadah untuk menancapkan tangkai bunga berbahan besi yang dipenuhi paku-paku kecil). Gambar dibawah ini memperlihatkan bentuk kenzan yang lazim dipakai.

Kenzan.

Vas merupakan alat yang sangat menentukan karakteristik rangkaian. Bentuk vas yang digunakan dalam Ikebana berbagai ragamnya, ada yang berukuran tinggi, bertingkat, atau rendah. Vas tinggi lazimnya digunakan untuk merangkai gaya Shoka dan Rikka. PROSES BELAJAR DALAM KURSUS IKEBANA Pengetahuan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Materi yang disampaikan oleh pengajar tidak menjadi satu-satunya faktor yang membentuk pengetahuan, tetapi pengetahuan juga dibentuk oleh peserta

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 8: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

8

proses belajar. Pengetahuan tentang bagaimana merangkai Ikebana tidak berhenti hanya dari mengikuti aturan yang dijelaskan di papan tulis, tetapi juga dihasilkan melalui interaksi dari murid ke pengajar, dan juga dari murid ke murid yang lain. Interaksi yang terjadi menghasilkan serangkaian pengetahuan, dan pengalaman ini lah yang merupakan proses rekonstruksi atas pengetahuan. Proses belajar sudah pernah dikaji oleh peneliti lain. Vygotsky membahas dari proses kognitif mental (Vygotsky 1981:74), begitu juga dari sisi religius-simbolis oleh Anderson (Anderson1987: 475-498), task environtment (Erickson 1982: 149-180), dan instruksi dan interaksi (James 1996: 145-159). Patricia James yang meneliti kelas mematung metal, telah mengkaji aspek interaksi sosial dalam proses belajar. Tetapi lingkungan belajar dan seni yang menjadi topiknya berbeda dengan kursus Ikebana. Seperti yang dikemukakan James pada kesimpulannya:

Classes with differing student populations that are led by professors with divergent aesthetic and instructional philosophies, would likely have different assignments, instructional methods, student products, and course content (Patricia James1996:145-159)

Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa faktor latar belakang seperti suasana, lingkungan, latar belakang pengajar dan murid, turut mempengaruhi berjalannya proses belajar, khususnya dalam lingkup studio. Selain itu materi kultural yang diajarkan pun berbeda bukan hanya dari teknik dan suasana, tetapi juga berdasarkan nilai yang disampaikan. Pada seni mematung metal, sejak awal telah atau tahap pemula telah mengutamakan interpretasi individu terhadap pembuatan karya. Sedangkan Ikebana mengharuskan mengikuti aturan-aturan baku tertentu yang

juga membawa budaya suatu masyarakat. Persamaannya ada pada sikap peserta belajar, sementara perbedaannya adalah seni mematung tidak mengandung signifikansi budaya masyarakat yang satu yang dipelajari oleh masyarakat dari budaya lain. Seperti yang telah dikemukakan, Ikebana memiliki aturan serta karakter kultural yang berusaha direpresentasikan. Berangkat dari titik inilah penelitian aliran Ikenobo Japan Foundation ini. Berdasarkan dari uraian di atas, berikut ini akan ditelaah apa saja yang terjadi dalam kursus aliran Ikenobo Japan Foundation.

Suasana Kelas. Murid kursus aliran Ikenobo tingkat pemula Japan Foundation berjumlah 25 orang. Usia murid berkisar antara 27 hingga 60 tahun. Kelas dikelola oleh tiga orang wanita yaitu Sensei Tati Tusin, sebagai wali kelas, Sensei Gus Apan sebagai sesama pengajar bersama Sensei Tati, lalu Supervisor Kelas, Mbak Putri yang bertugas mendistribusikan alat dan bahan, serta mengumpulkan data absen. Selain kelas Ikenobo, Putri juga membantu kelas upacara minum teh pada hari lain dan eksibisi yang diselengarakan Japan Foundation. Japan Foundation terletak di Gedung Summitmas 1, Lantai 2-3 yang ber-alamat Jl. Jendral Sudirman Kavling 61-62, Jakarta 12190. Kursus dijalankan di Ruang Serba Guna di lantai dua. Ruangan kelas merupakan ruangan segi empat berukuran besar penuh dengan meja-meja yang memuat dua orang. Setiap siang hari sebelum kursus dimulai, perlengkapan yang dibutuhkan untuk belajar sudah dipersiapkan sebelumnya. Di atas meja sudah ditaruh vas-vas, vas yang ditaruh tiap meja tidak semua sama, tetapi semuanya berwadah lebar, digenangi air, dan sudah ditaruh kenzan di tengahnya. Di depan ruangan terdapat papan tulis dan meja dengan arah berlawanan yang diperuntukkan untuk pengajar. Pada akhir pertemuan, sebagai bentuk milestones terakhir bagi murid, diadakan eksibisi. Tiap

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 9: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

9

murid dipersilahkan menghasilkan karya rangkaian untuk dipajang dalam eksibisi tersebut. Acaranya bertempat persis di luar kelas yang biasa digunakan untuk kursus yaitu di lorong luar ruang serba guna.

FASE BELAJAR Pemberian Instruksi Awal Kursus dimulai dengan instruksi pengantar dari Sensei Tati, berupa penyampaian thema hari itu, serta informasi jenis tanaman yang digunakan. Menurut Edward E. Smith and Lorraine Goodman (1984) ada dua jenis instruksi, yaitu pertama Instruksi linear yang disampaikan secara berurutan tanpa keterangan logis; yang kedua adalah Instruksi Hirarkis yaitu instruksi yang menyampaikan tahap-tahap dengan keterangan logis, dimana satu bagian tidak bisa dipenuhi tanpa mengerjakan bagian sebelumnya. Instruksi tertulis yang disampaikan di kursus Ikenobo adalah yang disebut instruksi bertahap. Instruksi bertahap termasuk instruksi hirarkis yang mengikuti logika. Pada kertas handout yang dibagikan terdapat instruksi pembuatan rangkaian melalui tahap-tahap, seperti contohnya pada pembuatan rangkaian Shoka.

Materi belajar berupa instruksi tertulis dijadikan acuan oleh pengajar untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid-murid yang diajar. Penyampaian materi tidaklah cukup dengan mengandalkan pengalaman pribadi pengajar secara lisan, tetapi juga dari kurikulum yang sudah disusun sebelumnya. Bagi murid yang diajar, instruksi tertulis dapat dijadikan panduan memori beserta inspirasi bagaimana rangkaian bisa disusun. Di kelas Ikenobo, Sensei dipandang sebagai agen penyampaian materi ajar, termasuk berperan dalam menyampaikan esensi nilai (value) dari Ikebana, walaupun aspek tersebut tidak disampaikan secara eksplisit atau tertulis.

Interaksi antar Guru dan Murid Interaksi yang terjadi antar sensei dan murid merupakan bagian yang integral dalam kursus Ikebana. Etika dalam pengajaran dan kegiatan belajar turut mempengaruhi penyampaian budaya yang terkandung di dalamnya, serta pelestarian materi kultural tersebut. Cultural pressures, such as whether questioning of teachers is permitted or whether innovation is rewarded, affect craftperson’s choices about conserving practices or introducing innovation (C. Jill Minar and Patricia L. Crown, 2001: 378). Tekanan budaya, seperti bersikap kritis terhadap pengajar berpengaruh terhadap keputusan pelaku untuk mempertahankan suatu praktek atau melakukan inovasi. Seni Ikebana tetap bertahan dalam konsep dan bentuknya hingga masa kini, meskipun ide-ide baru kerap muncul. Kelestarian ini mungkin dapat dijelaskan dengan tekanan budaya khas Jepang yang tidak menekankan komunikasi verbal dalam praktek pengajaran Ikebana. Ahli yang berperan mengajar dalam kursus Ikenobo yang diselenggarakan Japan Foundation terdiri atas dua orang, yaitu Ibu Tati Tusin selaku pengajar utama dan Ibu Gus Apan sebagai pengajar pembantu. Interaksi yang dilakukan para Sensei ini terbagi menjadi dua fase. Yang pertama adalah masa Instruksi Umum, dan yang kedua adalah masa Intervensi. Instruksi Umum mengacu pada terjadinya interaksi antar peserta saat disampaikannya instruksi di depan kelas saat kursus baru dimulai. Instruksi tersebut selalu disampaikan oleh Sensei Tati di depan kelas. Masa Intervensi mengacu pada saat ketika kedua Sensei mengoreksi karya murid. Interaksi yang terjadi saat itu hanya melibatkan murid-murid yang menonton di sekitar karya murid yang dikoreksi, tetapi pada saat inilah interaksi personal antar Sensei dan murid mengenai karya murid kerap terjadi. Keduanya bersifat formal sebab masih terjadi dalam lingkup

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 10: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

10

penyampaian materi. Interaksi non-formal adalah interaksi yang terjadi di luar konteks materi belajar. Pada kursus Ikenobo Japan Foundation, interaksi sosial dapat terjadi baik di dalam dan di luar kelas. Intervensi (Koreksi oleh Pengajar) Fase lain dalam interaksi Sensei dengan murid adalah ketika dilakukannya koreksi. Pada paruh kedua berjalannya kegiatan belajar, yaitu ketika sebagian besar murid sudah selesai merangkai karyanya, para Sensei menghampiri rangkaian setiap murid yang sudah selesai secara bergantian untuk memulai evaluasi. Murid yang mulanya duduk di hadapan karyanya ketika mengerjakan, saat sudah selesai dan dihampiri Sensei, beranjak dari kursinya lalu Sensei duduk dan mulai menghadapi karya murid tersebut. Beliau seringkali diam terlebih dahulu memperhatikan karya ketika mengevaluasi, dengan murid sesekali menjelaskan dengan sukarela bagaimana ia mengerjakan karya tersebut. Setelah berpikir dan membuat keputusan, barulah Sensei mulai mengoreksi rangkaian murid. Peristiwa ini kerap disaksikan murid lain yang berkumpul di sekitar. Seperti yang digambarkan catatan fieldnotes berikut ini:

Peserta lain yang sudah selesai dengan rangkaiannya, seperti biasa mulai berjalan kesana-kemari menghampiri peserta lain. Ada yang ingin mengobservasi koreksi Sensei atau mengobrol. Terutama sejak pengajar pun mulai bergerak mengoreksi satu-per satu. (Prissi Ananda 19 Agustus 2011, 14:30 WIB)

Saat intervensi diwarnai dengan kegiatan interaksi yang lebih acak. Murid lain yang tidak menonton melakukan aktivitas lain di luar interaksi peserta yang berkumpul melihat kegiatan koreksi. Selain itu, proses koreksi dikerjakan dua pengajar, yaitu Sensei Gus Apan selain Tati Tusin, sehingga interaksi yang terjadi mulai bersifat menyebar. Interaksi yang dilakukan antar

murid pun topiknya tidak sebatasberkisar tentang materi yang diajarkan.

Interaksi Antar Murid Interaksi sosial antar peserta murid kursus Ikenobo Japan Foundation terjadi dalam sesi Intervensi dan juga di luar kelas.Ketika sesi merangkai dimulai, murid-murid dapat bebas mengobrol dengan peserta lain di berbagai sisi mejanya (work desk). Bahkan pada paruh waktu saat sebagian sudah selesai merangkai, mereka pindah ke meja murid lain yang berjauhan letaknya untuk melihat proses rangkaian mereka dan mengobrol. Dalam obrolan tersebut, mereka berbagi pengalamannya merangkai, sekaligus di saat bersamaan, bertukar ide dan untuk beberapa peserta menyarankan dengan tegas ide rangkaian.

Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan proses tersebut di lapangan:

“Kalau ini sobek ga masalah ya?” tanya Ibu…menunjuk ke ujung sepatu bot yang robek. Saya tertawa. Shanto: kenapa? Oh, emang saya sobek, Bu Ibu…: Iya? Shanto menyentuh sobekan itu dengan refleks. Ibu… Ratih: dari situ (lubang sepatu) keluar bunga ini lagi nih (menunjuk baby’s breath) Ibu …: nanti taruh daun lagi.Saya tertawa lagi, begitu juga Shanto “Sebenernya begitu ini sobek mau kasih variasi lagi”.Ibu…memberitahu Bu …yang baru saja datang ikut memperhatikan. Ibu Ratih: iya, daun-daun kering… rumput tuh cocok! Ibu…: iya, jadi tai-nya. tapi jangan pergi ke muka ya. Kalau ke muka khan nanti kesannya sengaja gitu kan…. kurang bagus. Jadi tambah… tanaman yang lain. Ini bentuk apa? Shanto: Jiyuka Ibu …: Jiyuka. Oh, bebas. Yaudahlah (23 September 2011)

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 11: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

11

Pada contoh di atas, terlihat interaksi antar sesama murid, yaitu Shanto dan Ibu Ratih. Shanto bermaksud berinovasi dengan merangkai di atas sepatu bot sebagai vas. Ratih menyarankan agar Shanto tidak menaruh tangkai bunga posisi tai di depan, agar tujuannya tidak kelihatan sekali aturan Ikebananya, sehingga tampilannya lebih natural akan tetapi tetap memenuhi aturan shin-soe-tai. Tetapi kemudian diketahui bahwa rangkaian Shanto bergaya bebas (Jiyuka) yang tidak mengharuskan susunan shin-soe-tai. Jadi ia bisa bebas membentuk rangkaiannya menjadi natural. Dari situ terlihat pembagian pemahaman sesama murid dalam merangkai.

Rancangan awal karya Shanto.

Dari kedua contoh di atas, sebetulnya pada interaksi pelaku Ikebana dalam aktivitas kelas, terdapat perspektif. Tiap orang bisa berbeda pandangannya mengenai karya orang lain, dan hal tersebut bisa diutarakan. Pendapat orang lain juga turut mempengaruhi bagaimana seorang murid memandang karyanya, dan mengerjakannya. Tetapi perspektif seseorang merefleksikan konsep yang ia asumsikan mengenai tampilan rangkaian. Bila Sensei sebagai orang yang berpengalaman melihat bentuk rangkaian dalam konsep Ikebana (gyakutatte), Ibu Ratih melihatnya menurut kesan awamnya (‘kesannya sengaja’).

Oleh sebab itu, dalam kelas Ikenobo, pelaku Ikebana dapat saling mensosialisasikan perspektifnya. Bila murid dapat bertanya

kepada Sensei atau menyarankan perspektifnya, seorang Sensei dapat menyesuaikan pemahaman muridnya ke dalam konsep Ikebana. Sementara konsep Ikebana itu sendiri dapat disesuaikan dengan inovasi pelaku, dan tidak menghalanginya. Etika yang Tersampaikan dalam Belajar/Mengajar Kurikulum materi yang sudah disusun oleh sensei, bukan saja merupakan pedoman bahkan berperan sebagai alat dalam menyampaikan materi ajar, akan tetapi dalam penyampaian Ikebana sebagai seni tradisional Jepang terdapat pesan yang hanya bisa disampaikan melalui interaksi dengan guru. Seperti yang disampaikan O’Neill, “the secret transmission (hiden) of certain important information, skills or techniques”, bahwa terdapat pesan terselubung yang tersampaikan dalam intervensi oleh guru, dan pesan itu sudah dikenal dan biasa disebut dengan istilah hiden. Pemahaman ini berperan sentral pada pembelajaran kesenian tradisional Jepang. Murid mengikuti apa yang dikerjakan guru dan seiring dengan berjalannya waktu, murid menyadari secara intuitif bagaimana mengerjakannya. Etika seperti ini biasa ditemukan pada tempat-tempat mengajar di Jepang, mulai dari ruang pendidikan formal hingga kelas seni tradisional, mulai dari peserta anak-anak hingga manula. Berbeda halnya dengan kursus Ikenobo pada Japan Foundation yang diselenggarakan di Jakarta, sejak awal murid-murid sudah banyak bertanya dan berkomentar, biasanya mengenai hal tehnis. Seperti yang diperlihatkan contoh berikut ini:

”Ini juga dipotek semua ya..?” tanya Ibu Shanti. “Yaa…. Daunnya supaya gak ini….” Jawab Ibu Tati sambil meletakkan kembali tumbuhan tersebut, “Gak tabrak-tabrakan ya?” Ibu Shanti melengkapi kalimat Bu Tati. “Iya.” “Jadi melebar gitu ya, Bu!?” (27 Mei 2011 15:18 WIB Sensei Tati mengoreksi Erna)

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 12: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

12

Disini terlihat bagaimana Shanti berpersepsi terhadap tampilan Ikebana. Dia bertanya untuk mengkonfirmasi persepsinya tersebut terhadap Sensei Tati. Shanti berkomunikasi dengan Sensei untuk membangun pemahamannya. Dalam pengajaran tradisional Jepang, saling mengamati antara murid dan pengajar dinilai penting untuk mensosialisasikan pengetahuan. Pengajar kerap melakukan demonstrasi bagaimana mengerjakan karya seninya, ataupun mengintervensi pekerjaan muridnya. Poin yang penting dalam penekanan teknik pengajaran ini, dapat dilihat pada dua prinsip. Yang pertama seperti yang dikutip Andrea Molle dalam reviewnya terhadap buku Robert E. Carter yang berjudul The Japanese Arts and Self-cultivation. “morality and ethics are not learned in Japan through words, rules, or principles, but by physical and practical training” .Carter melihat bahwa etika (ethics) sangat penting dalam pembelajaran seni di Jepang. Ketika seseorang melakukan kegiatan seni, ia diharapkan menyesuaikan juga perilakunya sesuai dengan etika yang berlaku.

Ketika pertama kali mengikuti kelas Ikenobo, saya bersikap terbuka terhadap apa yang terjadi, tetapi sempat berasumsi bahwa tiap karya akan disampaikan penilaiannya oleh pengajar. Namun pada kenyataannya penilaian tersebut jarang disampaikan, kecuali ketika sang murid bertanya. Sensei Tati dan Sensei Gus langsung memperbaiki rangkaian yang sedang diperiksa sesuai dengan aturan-aturan Ikebana. Ketika proses koreksi tersebut berlangsung, Sensei tidak memberitahu murid secara verbal kesalahan apa yang mereka lakukan, tetapi Sensei hanya menyesuaikan letak tanaman sesuai dengan skema yang diketahuinya. Sesekali Sensei berkomentar seperti: “daunnya terlalu banyak”, “bentuknya tidak jelas, mau hongatte, mau gyakutatte,”, tetapi ada juga saat ketika

Sensei langsung mencabut batang-batang yang ditancap terlalu mengumpul di tengah kenzan, lalu beliau menyusunnya dengan lebih menyebar. Batang yang terlalu mengumpul di tengah bukanlah sifat Moribana, sehingga dapat disimpulkan, kesalahan murid tersebut cukup besar, tetapi Sensei tidak berkomentar apapun tentang hal itu dan hanya memperbaikinya saja. Asumsi penulis saat itu adalah mungkin dia mengira murid tersebut sudah menyadari apa yang salah atau akan ‘mengerti’ juga nanti. Dalam Ikebana, teknik membengkokkan tangkai, mengkonstruksi berdirinya dalam wadah, dilakukan sesuai petunjuk yang diajarkan Sensei. Akan tetapi, belum tentu murid bisa melakukannya dengan benar ketika pertama kali menerima petunjuk. Praktik membengkokkan, membentuk, menyusun dan manipulasi posisi tanaman dalam wadah yang tepat sesuai dengan kaidah Ikenobo, para murid harus mempraktikkannya berulang kali, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Dari praktik yang berulang tersebut timbul pengalaman internal yang terintegrasi dengan pengetahuan yang didapatnya dari Sensei.

Koreksi Sensei terhadap karya Shanto. Menurut skema yang disampaikan dalam instruksi tertulis, instruksi yang dipaparkan Sensei Tati ketika mendemonstrasikan gaya Shoka adalah instruksi hirarkis, karena semua tahap harus dikerjakan berurutan.

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 13: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

13

Untuk mencapai keseimbangan dan ketepatan bentuk Shoka, satu batang harus disesuaikan dengan batang yang lain, terutama yang sudah ditancap. Satu tahap tidak bisa dikerjakan tanpa mengerjakan tahap yang sebelumnya atas alasan logis,yaitu tinggi dan ukuran tanaman.

Sekilas gambarannya seperti diperlihatkan contoh berikut ini:

Sensei Tati: “Soe-nya….” (mengambil daun totol putih lalu mencoba mencocokkannya di rangkaian). “Jadi ini Gyakugatte aja bentuknya”. Shanto: “Kalo tai-nya perginya kesini ya, Bu?” Sensei: “Iya, nanti dirubah ininya…, jadi gyakugatte. Nah, untuk soe-nya dia bagus”. “Ooh, jadi kita ngelihat bahan, baru tentukan rangkaiannya ya?” kata ibu Ratih “Bisa jadi” jawab yang lain (29 Juli 2011 Tati mengoreksi Ratih)

Di sini dari evaluasinya atas karya Ratih, Sensei Tati menyarankan bahwa rangkaiannya lebih baik membentuk gyakutatte, di saat bersamaan interaksi dengan murid membawa informasi pengetahuan teknik. Ketika murid-murid berdiskusi, kerap kali muncul ide baru. Murid-murid saling mengutarakan apa yang mereka ketahui sebelumnya. Misalya tentang penggunaan alat, pengetahuan akan tanaman, ide-ide keindahan seni, atau ide lain yang kemudian dikemukakan dalam aktivitas sharing dengan sesama peserta. Aktivitas ini bersifat sukarela. Meskipun kelas Ikenobo bernuansa pengenalan untuk pemula, dan lebih ditekankan pada teknik dan gaya daripada filosofi dan inovasi, para pengajar tetap menjunjung etika Ikebana. Hal itu terefleksikan dari pendapatnya berikut ini:

I: “Makanya kan ibu ibu kadang kadang kan, lagi di sini, aduh mau jemput anak sekolah, mau ada arisan”. I: “Nah itu gitu”. I: “Iya rangkaiannya gak jadi jadi. jadi gitu, dia udah gak konsen sama rangkaian dia konsennya ke jemput anak lah, mau inilah”.

Misalnya dalam hal pikiran sang pelaku harus fokus terhadap apa yang dikerjakan dan tidak berpikir ke hal lain. Itu adalah apa yang Sensei Tati harapkan dari muridnya. Sosialisasi etika tersebut biasa disampaikan melalui praktek langsung secara fisik. Dalam Ikebana, bisa dilihat pada bagaimana pengajar mengoreksi pekerjaan muridnya. Etika Ikebana juga dipengaruhi oleh ajaran Zen. Koreksi Sensei juga bertujuan untuk melatih intuisi murid dalam berkarya. Dalam kesenian Jepang, intuisi dinilai sangat penting. Paham ini dipengaruhi oleh ajaran Zen yang populer dari masa ke masa. Untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam berkarya, seorang pelaku seni harus mencapai pencerahan (enlightenment). Enlightenment is sought and it is achieved not by a gradual rational progress but by an act of intuitive cognition (Fennel 1958). Pencerahan dicapai bukan melalui progres gradual, tetapi melalui intuisi.

Refleksi dan Saran Jenis kelas belajar merangkai bunga cukup banyak ditemui selama ini, namun yang membedakan kelas Ikebana ini adalah dalam hal penyampaian transmisi pengetahuan. Seorang Sensei mentransmisikan pengetahuan tidak didominasi oleh komunikasi verbal, namun berdasarkan contoh perilaku langsung dengan berpedoman pada pakem yang telah terstruktur. Individu atau peserta diharapkan belajar melalui pengamatan, interpretasi, ekspresi dengan berlatih dan menerima feed back sebanyak mungkin dengan berpedoman pada pakem yang telah ditentukan.

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 14: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

14

Bagi peserta yang semuanya merupakan orang Indonesia, budaya Jepang yang terkandung dalam Ikebana memberi nilai tambah tersendiri bagi beberapa individu. Hal itu berupa penambahan wawasan terhadap proses cipta; menghasilkan karya cipta yang berwawasan inter-kultural; dan bisa juga sebagai nilai tambah untuk karya cipta Indonesia. Semua itu muncul sebagai hasil dari sosialisasi yang mentransmisikan pengetahuan. Sebagai saran terakhir dan yang utama dan penting adalah proses ajar mengajar seperti kelas Ikebana ini dapat dijadikan contoh untuk pelatihan masyarakat terutama dalam bidang seni. Misalnya upaya peningkatan pelatihan seni membatik, seni menenun kain, bahkan seni tari sakral dan pencak silat tradisional yang mulai langka pelakunya, dengan demikian tradisi seni dan budaya Indonesia dapat dipertahankan dan dilestarikan untuk generasi berikutnya. Penulis berharap kiranya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap proses ajar mengajar kelas seni merangkai bunga baik yang berasal dari dalam negeri maupun negara/budaya lain.

DAFTAR REFERENSI

1. Anderson, Jennifer L (1987) Japanese Tea

Ritual: Religion in Practice. Dalam Jurnal Man, New Series, Vol. 22, No. 3 (Sep., 1987), Hlm. 475-498. Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland.

Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/2802501 pada 06/03/2011 22:32.

2. Altshuler, Bruce (1997)The Journal of Asian Studies, Vol. 57, No. 3 (Aug., 1998),hlm. 863-864. Association for Asian Studies.

Diakses melalui http://www.jstor.org/discover/10.2307/2658784 pada 22/02/2011 02:43 PM.

3. Baars, T (2002) Reconciling Scientific Approaches for Organic Farming Research. Driebergen, The Netherlands:LouisBolk Institute.

4. Barba, Eugenio and Fowler, Richard (1982) Theatre AnthropologyThe MIT Press.The

Drama Review: TDR, Vol. 26, No. 2, Intercultural Performance. hlm. 5-32. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/1145428?origin=JSTOR-pdf 03/03/2011 03:12 PM.

5. Carter, Robert E. (2008) The Japanese Arts and Self Cultivation. SUNY Press.

6. Cox, Rupert (2003) reviewThe Zen Arts: An Anthropological Study of the Culture of Aesthetic Form in Japan, oleh Sylvie Guichard-Anguis.The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 10, No. 2 (Jun., 2004), hlm.453-454.Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/3804169 pada 29/10/2012 06:58 PM.

7. Charles Keller and Janet Dixon Keller (1996)Thinking and Acting with Iron, hlm 126.Cambridge University Press.

8. Desmond Fennell(1958)Artists in Tokyo:

The Question of Zen.Studies: An Irish Quarterly Review, Vol. 47, No. 186 Hlm. 145-154. Irish Province of the Society of Jesus. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/30098987 pada02/05/2011 01:33 PM.

9. Febriana, Dini Irawati (1998) Seni Merangkai bunga Ikebana (ungkapan keindahan dalam kesederhanaan guna menjaga keharmonisan dengan lingkungan alam dan keselarasan dalam interaksi sosial orang jepang). Unpublished ms. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia.

10. Hirao, Tomoya, Yoshimi Morino, Yuki Fukuhara 2008 Ikenobo-style Flower Arrangement. Kyoto University of Foreign Studies. http://www.kyopro.kufs.ac.jp/dp/dp01.nsf.

11. Ikenobo, Senei (1979) Ikebana, hlm 3,45,46. Hoikusha Publishing Co., Ltd.

12. James, Patricia (1996) The Constructions of Learning and Teaching in a Sculpture Studio Class. Dalam Jurnal: Studies in Art Education, Vol. 37, No. 3, hlm 145-159. National Art Education Association. Diakses melalui http://www.jstor.org/discover/10.2307/1320708 29/10/2012 06:33 PM.

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012

Page 15: MERANGKAI PENGETAHUAN IKEBANA

15

13. Jean Lave (1996) The Practice of Learning, hlm 8.(Understanding Practice: Perspectives on activity and context. Edited by Seth Chaiklin and Jean Lave).Cambridge University Press.

14. Kudo, Masanobu (1999). The History of Ikebana.Shufunotomo Co., Ltd. Tokyo: Japan. Diterjemahkan oleh Jay dan Sumi Gluck.

15. Latour, B (1987) Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society. Cambridge, Massachusetts:Harvard University Press.

16. Law, J. (1994) Organizing Modernity. Oxford, UK: Blackwell.

17. Leont’ev, A.N (1980) The concept of activity in psychology. Armonk, NY: M.E. Sharpe.

18. Morohira, Kaori (2011) Faktor-faktor yang mempengaruhi kombinasi diplomasi kebudayaan tradisional dan pop Jepang di Indonesia = Factors wich influence the combination of traditional and pop cultural diplomacy of Japan in Indonesia.Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Program studi Hubungan Internasional, Universitas Indonesia.

19. Nakayama, Machiko (1999), Origins of Ikebana Philosophy. The Asian Centre: Penang, Malaysia.

20. Part-One The Art of Arranging Flower Around The World http://www.save-on-crafts.com/partone.html Diakses pada: 13/03/2011 20:00

21. P. G. O’Neil (1984) Organization and Authority in the Traditional Arts. Dalam Jurnal Modern Asian StudiesVol. 18, No. 4, Special Issue: Edo Culture and Its Modern Legacy, hlm 631-645. Cambridge University Press. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/312340pada 14/03/2011 00:57 PM.

22. Rhiannon de la Meadue du Lue (2006) A Short History Of Flower Arranging. Dokumen Elektronik http://falconwolfarts.com/Rhiannon/Flowers/FlowerResearch.htm

23. Saito, Yuriko (2007) The Moral Dimension of Japanese Aesthetics. Dalam Jurnal: The Journal of Aesthetics and Art Criticism, Vol. 65, No. 1, Special Issue: Global Theories of the Arts and Aesthetics, hlm 85-97. Blackwell Publishing on behalf of The American Society for Aesthetics.

Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/4622213 pada:03/03/2011 03:14 PM.

24. Schiffer, M.B., and J. Skibo (1987). Theory and Experiment in the Study of Technological Change. Current Anthropology 28: 595-622.

25. Stuiver, M., J. D. van der Ploeg, and C. Leeuwis (2003) The VEL and VANLA environmental co-operatives as field laboratories. Hlm51 (1/2): 27–39.NJAS -Wageningen Journal of Life Sciences.

26. Smith, Edward E. dan Lorraine Goodman

(1984) Understanding Written Instructions: The Role of an Explanatory Schema. Dalam jurnal Cognitions and Instruction, hlm 359-396. Taylor & Francis Ltd. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/3233562 pada: 29/10/2012 06:45 PM.

27. Teshigahara, Wafu (1980)Ikebana: A New

Illustrated Guide to Mastery.Kodansha America.

28. Vygotsky, L. S. (1978)Mind in Society. In M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, and E. Sonberman, eds. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

29. Wheeler, Lesley (2003) ‘Both Flower and Flower Gatherer: MedbhMcGuckian's "The Flower Master" and H.D.'s "Sea Garden"’Hofstra University. Twentieth Century Literature, Vol. 49, No. 4 hlm.494-519. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/3176037. Pada 22/02/2011 02:42 PM.

30. Yanie Hamdan (October 2007), Sejarah Ikebana http://rangkaianikebana.blogspot.com/2007/10/sejarah-ikebana.html Diakses pada: 13/03/201120:00;

31. NUANSA The Japan Foundation Jakarta Edisi Januari-Februari-Maret 2009.

Merangkai pengetahuan ..., Prissi Ananda, FISIP UI, 2012