Download - Katahati Institute-Merangkai Kata Damai
-
MERANGKAI KATA DAMAI
-
MERANGKAI KATA DAMAI
-
Lahir dari sebuah program Katahati Institute yang bekerjasama
dengan CCRPS (Center for Conflict Resolution and Peace
Studies) IAIN Ar-Raniry dan didanai oleh masyarakat Jepang.
Program yang berlabel Studi Antropologi dan Jurnalisme
Damai, mendidik para jurnalis pemula, mahasiswa dan pelajar
menjadi seorang penulis yang handal.
Dengan semangat penulis Aceh masa silam, katahati institute
kemudian mengundang para penulis yang selama ini banyak
terlibat dalam penulisan opini di media-media lokal atau
nasional. Mereka adalah para akademisi, aktivis, jurnalis sampai
mahasiswa. Kumpulan tulisan ini disusun menjadi sebuah buku
yang berjudul Merangkai Kata Damai.
2009, Katahati Institute. Jl. Lamreung No-17 Ulee KarengBanda Aceh 23117, IndonesiaTelp.(0651) 7410466Fax. (0651) 636947Email: [email protected]: www.katahati.or.id
Hak cipta dilindungi Undang-undang.
xii + 210 h. 20 x 25 cm.ISBN 978-979-16458-2-9
Sampul dan susunan isi dengan huruf Myriaddirancang oleh Khairul Umami.
-
ix PENGANTAR
1 DAMAI ACEH, DAMAI KITA DRH. IRWANDI YUSUF, M.SC
5 SEDIKIT (LAGI) TENTANG PERDAMAIAN ACEH REZA IDRIA MOHD. ROEM
11 MENGGAPAI HARMONI SETELAH BERDAMAI MASTHUR YAHYA
13 MERAWAT DAMAI DENGAN HATI SEHAT IHSAN SHADIQIN
17 PANGLIMA AHTISAARI MUNAWARDI ISMAIL
23 DARI HELSINKI TURUN KE ACEH MUNAWARDI ISMAIL
27 ACEH: SEBUAH REFLEKSI PERGERAKAN DAN MASA DEPAN PERDAMAIAN MAIMUN
33 ISU-ISU KRITIS DALAM PEMBANGUNAN PERDAMAIAN ACEH SAIFUDDIN BANTASYAM SH MA
41 DAMEE-DAMEE MUKHTARUDDIN YAKOB
45 Akhiri Jeritan; ACEH MASUK BABAK BARU MUHAMMAD HAMZAH
Daftar Isi
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A Ivi
51 TINTA DAMAI SAIFULLAH
57 JURNALISME DAMAI MUHAMMAD SAMAN
65 PERDAMAIAN ACEH BERTOPENG SEBELAH THAMREN ANANDA
73 4 TAHUN TANPA KEBENARAN HENDRA FADLI
77 ACEH DI TANGAN IRWANDI-NAZAR MUKHLISUDDIN ILYAS
83 MANDEKNYA IMPLEMENTASI MOU DAN UU PA, KESALAHAN SIAPA?
ARYOS NIVADA
93 POTENSI ULAMA DALAM MEMPERTAHANKAN PERDAMAIAN ACEH
MORINA OCTAVIA
99 SENSITIVITAS KONFLIK RISMAN A RACHMAN
105 MAKNA PERINGATAN MOU PERDAMAIAN RI-GAM RAIHAL FAJRI
109 ACEH : AGENDA KRUSIAL DALAM FASE TRANSISI BULMAN SATAR
121 Aceh Baru: SEBUAH WACANA PEMIKIRAN EFFENDI HASAN
127 WALI DAN PERJUANGAN RAKYAT ACEH EFFENDI HASAN
133 LUBANG HITAM DI ERA TRANSISI ACEH SUADI (ADI LAWEUNG) SULAIMAN
139 PASAR PERDAMAIAN YUNIDAR Z.A
-
vii
147 MENJAGA PERDAMAIAN, MEMUPUK KEARIFAN LOKAL BUSTAMI ABUBAKAR
155 PERDAMAIAN ITU SEPERTI GUNUNG PASIR TEUKU KEMAL FASYA
161 KORUPSI DAN PERDAMAIAN DI ACEH ISKANDAR ZULKARNAEN DAN TUBAGUS ERIF FATURRAHMAN
169 SABANG, PAX ROMANA, DAN KEMAKMURAN AHMAD HUMAM HAMID
175 APBA DAN PERDAMAIAN DI ACEH ABDULLAH ABDUL MUTHALEB
187 MERAWAT PERDAMAIAN DENGAN MEMUTUS RANTAI SIKLUS KONFLIK ACEH
MARZI AFRIKO
193 UUPA DAN DAMAI ACEH TAQWADDIN
199 SEBIJI LADA UNTUK PERDAMAIAN ASADI MUHAMMAD ALI
205 PEREMPUAN DAN PEMILU PASCADAMAI DI ACEH SRI WAHYUNI
DA F TA R I S I
-
Membaca Aceh
Alhamdulillah, akhirnya buku ini bisa kami terbitkan. Setelah melalui beberapa
proses, kumpulan opini yang terangkum dalam buku ini diharapkan bisa menjadi
bahan bacaan, bagi pembaca Aceh untuk menumbuhkan ingatan tentang kisah-
kisah lama dan kini.
Menulis Aceh, terinspirasi Tom Pires, pelaut ulung asal Portugis saat menuliskan
Aceh dengan Achei dalam bukunya Suma Oriental pada tahun 1520. Achei ditabalkan
sebagai nama sebuah kawasan di Pulau Sumatera. Kawasan kerajaan yang mulai
jaya dalam perang hingga bisa mengusir bangsanya, Portugis dari Selat Malaka.
Sungguh tak diimpikan Tome Pires kemudian, bahwa Achei kemudian terus larut
dalam perang, hingga warganya kelelahan dalam kekerasan. Terpuruk kemudian
pada irama kehidupan yang tidak lebih hanya sebuah racikan ketulusan, kelicikan,
harga diri, ketamakan, kehormatan, dan keadilan, yang seringkali berawal atau
berujung dengan kekerasan dan darah.
Tom Pires juga tak menyaksikan kemudian, bahwa tanda kejayaan itu lahir lagi,
bahwa perang tak selamanya. Perdamaian telah lahir, terekam pada kisah-kisah
yang ditulis kemudian oleh ribuan pencatat sejarah. Kendati Aceh tak lagi bernama
Pengantar Penerbit
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A Ix
Achei.
Dengan semangat para penulis Aceh masa silam, kami kemudian mencoba
mengundang para penulis yang selama ini telah banyak terlibat dalam penulisan
opini di media-media lokal atau nasional. Mereka adalah para akademisi, aktivis,
jurnalis sampai mahasiswa. Kumpulan tulisan inilah yang kami susun menjadi
sebuah buku yang berjudul Merangkai Kata Damai
Menulis opini adalah berpendapat, ide atau pikiran terhadap topik yang sudah,
sedang, belum dan akan terjadi. Opini tidaklah bersifat objektif karena belum
mendapatkan pemastian atau pengujian. Dan apabila di suatu saat bisa dibuktikan,
maka dia menjadi sebuah fakta. Ada juga pendapat, opini yang dibangun dari fakta
menjadi sebuah topik. Dengan membuat sebuah penilaian dan tanggapan, maka
kita telah mengubah fakta menjadi sebuah opini.
Hadirnya buku ini tidak lain dimaksudkan untuk memaparkan pikiran-pikiran
dan pendapat penulis atas perkembangan Aceh pasca-konflik yang ditandai
dengan penandatanganan perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005
silam.
Buku ini lahir dari sebuah program Katahati Institute yang bekerjasama dengan
CCRPS (Center for Conflist Resolution and Peace Studies) IAIN Ar-Raniry dan didanai
oleh masyarakat Jepang. Program yang berlabel Studi Antropologi dan Jurnalisme
Damai ini mendidik para jurnalis pemula, mahasiswa dan pelajar menjadi seorang
penulis yang handal.
Lalu mengapa buku ini diterbitkan? Katahati Institute menilai perlunya sebuah
usaha untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran penulis dalam membangun,
menjaga dan melanjutkan perdamaian Aceh melalui sebuah tulisan. Karena menulis
adalah sebuah proses mengamati, berpikir, menciptakan dan merenungkan.
Melihat kekinian Aceh dalam perspektif penulis menjadi sebuah senjata yang
bermanfaat bagi perkembangan Aceh.
Bagi para pembaca, setelah anda membaca opini-opini dalam buku ini mungkin
akan menemukan keistimewaan-keistimewaan tertentu yang belum anda dapat.
Tergantung bagaimana menilainnya. Mungkin dengan buku ini juga anda akan
dapat menguak informasi yang masih tersembunyi. Informasi lama dan baru yang
-
xi
lalu lalang, namun tak pernah tersaring di dalam pikiran dan benak anda.
Sebagai penerbit, terimakasih tak terhingga kami ucapkan kepada para penulis
dan pembaca. Karena pada hakikatnya, sekali lagi kami tegaskan bahwa terbitnya
buku ini dapat membantu kita semua selaku rakyat Aceh menjadi orang yang kritis,
peduli terhadap apa yang terjadi selama ini di bumi Serambi Mekkah. Ini sebuah
kumpulan catatan-catatan. Kumpulan inspirasi untuk berbagi.
Banda Aceh,17 Ramadhan 1430 H, 7 September 2009
FAHRUL RIZHA YUSUF
Direktur Eksekutif Katahati Institute
-
Damai sudah dalam genggaman rakyat Aceh sejak Memorandum of
Understanding (MoU) Helsinki ditandatanganu pada 15 Agustus 2005 lalu.
Alhamdulillah, kedamaian yang hilang itu kembali terwujud ketika rakyat sudah
berada pada puncak kejenuhan dan penderitaan seusai dilanda konflik berdarah
dan dihempas tsunami yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh pada
2004 silam.
Kini perdamaian Aceh sudah berusia empat tahun dan sedang menapaki jalan
lima tahun ke depan. Selama itu pula, rakyat sudah menikmati angin perdamaian
yang berhembus di saat kritis yang terkadang bisa mendegradasikan optimisme.
Perdamaian ini seperti gelas yang setengah berisi, bukan gelas yang setengah
kosong. Tapi yakinlah bahwa suatu saat gelas yang setengah berisi tersebut akan
menjadi gelas yang penuh. Karena itu, mari semua elemen untuk sama-sama
mengisi agar gelas perdamaian itu berisi dengan air yang menyejukkan masyarakat
kita.
Memang, gerbong perdamaian yang bergerak hingga tiga kilometer pertama
diserempet banyak aral. Aral itulah yang menjadi ujian sukses tidaknya kereta
Damai Aceh, Damai Kita
drh. Irwandi Yusuf, M.ScGubernur Aceh
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I2
perdamaian ini melintasi rel yang sudah digariskan para perancang perdamaian itu
sendiri.
Kita akui, dalam masa tiga tahun pertama, beberapa kali terjadi insiden yang
membuat kita menjadi pesimis. Membuat hati kita terasa luka. Tak tanggung-
tanggung, insiden yang terjadi itu berakhir pada kematian dengan motif yang
disamarkan. Mulai dari isu ekonomi yang sebenarnyabertujuan politis, hingga
isu-isu kriminal yang brutal.
Hal-hal seperti inilah yang merupakan batu uji bagi rakyat Aceh, apakah ingin
kembali ke masa lalu atau ingin melaju menuju masa depan yang sudah di tangan.
Karena masyarakat pun harus menyadari, merawat pohon perdamaian ini berat. Dia
harus kita siram dan pupuk dengan urea yang baik. Jangan menebar racun ketika
pohon ini hendak menggapai angkasa.
Pemerintah Aceh yang kami pimpin pun tak tinggal diam dalam mengisi
perdamaian. Tentu saja bersama pemerintah pusat tetap terus memperhatikan
para korban konflik dan kombatan. Hanya saja butuh kesabaran, karena ini butuh
proses panjang dan tidak semudah mengutip ranting patah di bawah pohon.
Karena itu, pohon damai ini harus kita lestarikan, sehingga anak cucu kita bisa
memetik hasilnya pada suatu saat nanti. Semoga. Sama seperti kita melestarikan
hutan dan lingkungan, Insya Allah, anak cucu yang merasakan manfaat dari
perbuatan endatunya.
Situasi kondusi yang terbangun ini patut terus dipertahankan. Seperti kita
ketahui, perdamaian itu modal utama pembangunan. Kita harus belajar dari
berbagai peristiwa konflik masa lalu, mulai sejak zaman kolonialisme, perang
kemerdekaan, Perang Cumbok, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai kepada
gerakan perlawanan masyarakat sipil yang mengusung wacana referendum.
Karena itu, kita harus belajar pula dari perang dan konflik yang menciptakan
radikalisme dan rasa saling curiga. Tugas kita adalah mengubah dari kebiasaan
alam konflik menjadi kebiasaan alam damai.
Kita berharap Aceh tidak lagi menjadi lahan tandus kering yang di atasnya
tumbuh rerumputan kering yang mudah terbakar dan dibakar, lalu angin yang
bertiup akan menjalarkan konflik ke seluruh kebun Aceh.
-
3Oleh sebab itu perdamaian yang sudah ada harus diisi dengan berbagai macam
kegiatan perekonomian, sosial, kebudayaan, pendidikan, olahraga, dan kegiatan
yang terkait dengan rekonsiliasi. Intinya damai harus bersemayam dalam jiwa dan
hati kita.
Selama ini perubahan demi perubahan telah nyata di bumi Aceh. Di sektor
ekonomi misalnya, terdapat kenaikan yang signifikan. Sebab pertumbuhan
ekonomi terus membaik. Hal tersebut dibuktikan oleh hasil survei Bank Indonesia,
yang memperoleh gambaran bahwa di luar sektor migas terus membaik, dibanding
tahun sebelumnya.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di luar migas triwulan I tahun 2009
melaju sebesar 4,4 persen, meningkat dibanding tahun 2008 yang hanya sebesar
1,9 persen. Pertumbuhan positif tersebut didorong oleh upaya-upaya serius yang
dilakukan pemerintah Aceh dalam meningkatkan produksi beberapa sektor utama
seperti sektor pertanian dan sektor perdagangan.
Kendati saat ini perdamaian sudah, sedang dan akan terus dipertahankan, namun
ruh dan hakikat perdamaian tersebut tidak akan berjalan secara mulus, manakala
masih ada kesenjangan yang tajam antara perkembangan sektor perkotaan dan
sektor perdesaan perdesaan.
Hakikat perjuangan oleh elite-elite masyarakat Aceh adalah untuk pemerataan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Itu pula yang menjadi entry point dalam
perumusan MoU Helsinki yaitu dengan mengedepankan peningkatan keadilan
dan kesejahteraan masyarakat tanah rencong.
Demokrasi di segala bidang hanya akan berjalan utuh, jika persebaran
pembangunan dapat dipenuhi sampai ke pelosok-pelosok atau sampai ke grass
root, sehingga proses reintegrasi, proses rehabilitasi dan proses rekonstruksi
pembangunan dengan berbasis hak, mengutamakan pemerataan keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat secara bermartabat. Inilah harapan yang perlu kita
laksanakan secara bersama-sama ke depan.
Pemerintah Aceh dengan berbagai dukungan stakeholders akan berupaya
semaksimal mungkin untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, melakukan
pemerataan pembangunan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan derajat
DA M A I AC E H , DA M A I K I TA
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I4
kesehatan masyarakat dan mengakselerasikan pembangunan di segala bidang.
Dengan harapan, seperti amanat Presiden RI, bahwa mempertahankan kedamaian
di Aceh adalah harga mati. Semoga damai Aceh, damai kita semua. Amin.***
-
Reza Idria Mohd. RoemPeneliti senior di Metamorfosa Institute (Liga Kebudayaan Tikar Pandan)Mahasiswa pascasarjana di Leiden University, Belanda.
Kata perdamaian dan damai dalam nalar berbahasa saya memiliki sekat tegas,
yang membedakan kepemilikan terhadap siapa yang bisa merasakannya, satu sama
lain. Khusus untuk mendefinisikan perdamaian, tidak dapat tidak kata ini hanya bisa
muncul dan disandarkan setelah ada dua pihak bertikai, dan terminologi tersebut
terwujud ketika kedua pihak telah memutuskan untuk berjeda atau samasekali
berhenti berseteru. Sementara damai sebagai kata dasar berdiri sendiri sebagai
keadaan umum yang dapat dimaknai kurang lebih tentram jiwa raga, bisa sebagai
berkah dari keteraturan serta ketaatan, dan kerap juga merupakan janji-janji puncak
dari dianutnya norma-norma dalam agama-agama yang diserukan dari bumi dan
langit. Maka keberadaan damai bisa tidak membutuhkan kondisi dimana ada
perseteruan sebagai awalan, sebagaimana keadaan sebaliknya yang dibutuhkan
untuk lahirnya sebuah perdamaian. Ini menjadi pijakan saya untuk menelaah satu
kajian ringkas bagaimana menyebut perdamaian dan apa itu damai Aceh.
Di Aceh, tentu saja perseteruan dan perdamaian bukanlah kata yang terlalu asing
dalam sejarah klasik ataupun catatan modern suku bangsa yang mendiami ujung
pulau Sumatera ini. Tidak perlu terlalu jauh, sebentar saja setelah terprovokasi untuk
Sedikit (Lagi) Tentang Perdamaian Aceh
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I6
bergabung seiring euphoria kemerdekaan Republik Indonesia dan merayakan imaji
kebangsaan gugusan Nusantara (mungkin atas dasar persamaan pengalaman
melawan kolonialisme), Aceh mulai bergolak dalam serial pemberontakan demi
pemberontakan. Dimulai dengan pemberontakan DI/TII di Aceh akhir tahun 50-an
hingga awal 60-an, yang juga bermunculan di sejumlah daerah lain di Indonesia.
Menurut sejumlah ahli, perseteruan ini masih dapat dikategorikan sebagai
pemberontakan dalam lingkup nasionalisme Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan
tetap digunakannya nama Indonesia sebagai nama resmi Negara, dengan haluan
ideologi berbeda yang dicita-citakan dalam bentuk pengakuan tunduk di bawah
jejaring Negara Islam Indonesia (NII).
Sejurus kemudian, sejak Hasan Tiro memproklamirkan Aceh sebagai sebuah
suku bangsa yang berhak merdeka dan bebas dari telikung penjajahan modern
Indonesia-Jawa, maka gerakan separatis atau dalam bahasa akademik yang
lebih santun diistilahkan sebagai gerakan nasionalisme regional (lihat, Kees van
Dijk (2003): Coping with Separatism, Is there a Solution?) telah menjadi bagian tak
terpisahkan ketika orang membayangkan atau menyebut Aceh. Pasang surut
gerakan perlawanannya telah menorehkan sejumlah traktat perdamaian, yang
telah ditandangani dengan unsur ke-Aceh-an (baca: GAM/ASNLF) di satu pihak
dengan otoritas lain (baca: TNI/pemerintah RI) di pihak seberang. Sejumlah
traktat itu sayangnya hanya ada di atas kertas, untuk selanjutnya berakhir sebagai
kenangan perdamaian. Kegagalan demi kegagalan dalam meredam pertikaian
memberi warna dalam catatan-catatan penting atas peliknya kata perdamaian bisa
dipahami dan diwujudkan di Aceh.
Setelah humbalang tsunami menggempur Aceh pada akhir Desember 2004,
kedua pihak yang menyumbang keberadaan para petempur di Aceh perlahan
tertekan oleh sorot tajam mata internasional. Akhirnya, kita tahu bahwa pada
15 Agustus 2005 satu traktat perdamaian yang berkaitan dengan penghentian
perseteruan Aceh kembali ditandatangani. Dan saat ini menjelang tahun kelima
usia traktat itu, masih ada sejumlah kecemasan dan keraguan terhadap akan
bertahannya perdamaian termutakhir ini, semisal pertanyaan-pertanyaan yang
dimulai dari sudah cukup kuatkah fondasi perdamaian itu, hingga mengukur-ukur
M E R A N G K A I K ATA DA M A I
-
7keinginan kedua pihak bertikai dalam mewujudkan arti damai dalam perdamaian
yang ada sekarang. Rasa cemas ini tentu saja menghantui kaum yang paling
menderita selama masa perang, yakni rakyat Aceh. Berkaca dari kegagalan-
kegagalan sebelumnya, kecemasan dan sikap skeptik ini cukup ditunjang dengan
adanya sejumlah aksi kejahatan bersenjata, pembunuhan, dan keributan-keributan
dalam pendistribusian kompensasi dana perdamaian yang tampaknya masih akan
terjadi hingga hari-hari ke depan. Bila rakyat Aceh masih merasa cemas dengan
perdamaian ini, maka bagi saya, pertanyaan pertama paling sederhana dan harus
diajukan di muka adalah siapa sebenarnya pemilik perdamaian Aceh? Yang tentu
saja tak cukup hanya dijawab oleh jargon bahwa ini adalah perdamaian-nya rakyat
Aceh. Ini penting dalam hemat saya untuk kemudian kita tahu apa yang harus
dilakukan dengan keberadaan perdamaian saat ini, untuk sekedar refleksi singkat
apa makna sebenarnya dari kata perdamaian sebelum di beri imbuhan, yakni
menuju satu frasa; damai Aceh.
Sejumlah kriminolog dan berita acara peristiwa pihak kepolisian mungkin akan
terlihat cukup berhasil dalam menganalisis bahwa keberadaan kekerasan bersenjata
dan perampokan yang masih terjadi di Aceh adalah tindak kriminal murni yang
memanfaatkan situasi Aceh yang masih rentan. Sekumpulan pengamat lain akan
menunding adanya pembiaran dan upaya-upaya sistematis yang bermuatan politis
di sebalik kekacauan yang masih terjadi di sana-sini. Di seberangnya, sejumlah
orang juga akan cenderung mengaitkan hal ini adalah ekspresi dari warisan
kekerasan perang yang akan masih akan menjangkiti tindak-tanduk masyarakat
Aceh, sebagaimana yang telah lebih dari tiga dekade diajarkan untuk berbudaya
demikian oleh parapihak dari dua golongan petempur. Saya pribadi lebih cemas
dengan kemungkinan terakhir. Di sini saya cukup percaya budaya kekerasan
ini tentu bukan hal yang gampang dikikis terlebih dalam situasi-situasi sensitif
ketika kepentingan banyak pihak belum terakomodir ke tahap yang memuaskan,
terutama para pihak yang dulunya terlibat aktif dalam menginisiasi perang. Jadi
tidaklah bijak bila hanya sudut pandang criminal, atau paranoid terhadap pusat
saja yang digunakan dalam melihat peristiwa yang sebenarnya jelas sekali menjadi
ancaman-ancaman laten terhadap perdamaian.
S E D I K I T ( L AG I ) T E N TA N G P E R DA M A I A N AC E H
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I8
Pertanyaan siapakah sebenarnya yang memiliki perdamaian Aceh yang saya
kemukakan di atas bisa juga adalah pertanyaan sensitif dan bernada cemburu,
yang bisa muncul dari masyarakat awam maupun para mantan petempur sendiri.
Setelah penghentian perang dan adanya keinginan masif dari masyarakat untuk
melihat perubahan struktur politik dan pemerintahan di Aceh, ada sejumlah
reformasi besar dalam formasi pemerintahan baik di kalangan eksekutif maupun
legislatif Aceh. Namun sejumlah kesenjangan yang terjadi kemudian memantik
kembali pertanyaan tadi, karena tentu saja ada kecenderungan sederhana untuk
menisbatkan kepemilikan perdamaian terhadap sesiapa yang dimudahkan dalam
menjangkau sejumlah akses kemakmuran. Hal ini adalah sesuatu yang terang
dan tak perlu dapat ditutup-tutupi hari ini, di mana sejumlah golongan di Aceh
memperoleh akses ekonomi yang besar meski tidak sesuai latar belakang profesi
mereka (lihat, Edward Aspinall (2009): From Combatant to Contractor).
Ketika kemudian sejumlah kesenjangan memicu kecemburuan sosial, baik
timbul dari masyarakat awam maupun mantan petempur itu sendiri, maka
perasaan ikut memiliki perdamaian akan begitu gampang tanggal dari benak
para pengawalnya (jelas bagi saya, rakyat adalah pengawal garda terdepan
perdamaian Aceh). Tentu saja menjelang tahun kelima perdamaian termutakhir ini,
dengan mengamati sejumlah potensi rusuh massa seiring pesta politik nasional
Indonesia, namun berhasil dilewatkan dalam suasana yang tenang di Aceh patutlah
diapresiasi sebagai sebuah bentuk berkah yang ditimbulkan oleh kesabaran tiada
tara masyarakat Aceh dalam mengawal perubahannya. Tapi percayalah sejumlah
teori sosial sudah menguji, pun masyarakat Aceh sendiri telah membuktikan
adanya batas kesabaran yang berakhir dalam bentuk perlawanan berkali-kali atas
kesenjangan yang tak lekas diselesaikan pusat. Maka hari ini ketika kepercayaan
dan pengawalan itu dilakukan oleh rakyat Aceh dalam bentuk memberi peluang
kepada formasi yang agak baru dan diisi oleh orang-orang baru, maka seharusnya
disadari bahwa ada jawaban yang ditunggu masyarakat dari kesabaran mereka.
Mereka menanti sebuah kata damai bisa menjadi ikutan dari terwujudnya
perdamaian Aceh, mereka bukan sebagai penonton untuk mengidentifikasi siapa
sebenarnya yang menjadi pemilik perdamaian (baca: kemakmuran). Karena damai
-
9yang sebenarnya bukan sekedar ada penghentian perang dan ada isi traktat yang
diperbincangkan, tetapi bagaimana sejumlah hajat hidup paling mendasar dari
rakyat bisa dilayani oleh orang-orang yang mereka beri kepercayaan.
Rakyat menunggu cara kerja baru dan hasil baru dari sejumlah orang baru
yang dipilihnya sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap adanya perdamaian
setelah sekian puluh tahun mereka menjadi korban langsung dari pertikaian, dan
tentunya berisi cita-cita adanya suasana damai yang hakiki yang bisa tercapai dari
terpenuhinya hajat hidup terpenting mereka, yakni pendidikan, kesehatan dan
akses perekonomian yang setara. Untuk yang terpilih di level eksekutif dan yang
terbaru di tingkat legislatif, penting sekali mengingat-ngingat dan merefleksikan
kenapa bisa ada perseteruan, perdamaian dan apa cita-cita damai itu sendiri. Bila
tidak, perdamaian Aceh hari ini hanya menuju ke jalan gelap semacam pergantian
rezim yang disiratkan George Orwell dalam Animal Farm-nya, ketika sekumpulan
binatang yang dipimpin dua babi, Snowball dan Napoleon, memimpin revolusi
untuk kemudian menjadi tirani baru karena mungkin telah cukup lama belajar cara
menindas dari tuan sebelumnya. Bila hal ini tak disadari, jangan ditanya kemudian
kemana lagi damai pergi. ***
S E D I K I T ( L AG I ) T E N TA N G P E R DA M A I A N AC E H
-
Masthur Yahya
Menggapai Harmoni Setelah Berdamai
Perdamaian Aceh yang sudah ditetapkan melalui kesepakatan damai Helsinki
mulai menciptakan kehidupan yang lebih aman dibandingkan masa konflik antara
pasukan TNI/Polri dengan kelompok pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Akan
tetapi jika kita bertanya dari sisi lebih dalam, yaitu harmoni (baca: keselarasan hidup
yang berakar pada kerukunan, tidak saling curiga, hormat-menghormati, tentram)
seperti sediakala maka sebagian besar masyarakat menjawab dengan ragu-ragu.
Hal tersebut bukan tidak beralasan, pascakesepakatan damai Helsinki beberapa
tindakan kekerasan kerap terjadi. Kekerasan tersebut menurut pandangan
masyarakat adalah sangat dekat dengan iklim yang pernah terjadi pada masa
konflik tempo dulu yang juga melemahkan posisi perdamaian.
Harmoni menjadi keadaan yang ideal yang diharapkan terwujud di tengah
masyarakat Aceh pascakesepakatan damai dalam semua hubungan sosial, baik di
tengah masyarakat sipil, antarmantan kombatan dengan masyarakat sipil biasa,
maupun antara masyarakat sipil dengan militer. Harmoni yang dimaksudkan di sini
adalah sebuah kondisi kehidupan yang disepakati secara kolektif oleh masyarakat
Aceh sendiri untuk bersikap tenang satu sama lain dan menyingkirkan unsur-unsur
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I12
yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan, termasuk kekerasan fisik
maupun politisasi kekerasan tanpa pandang bulu seperti masa konflik.
Kerukunan hidup secara harmoni yang menguatkan perdamaian merupakan
kaidah kehidupan masyarakat yang bersifat menyeluruh. Dalam konteks
perdamaian pascakonflik, cita-cita kerukunan bukan terletak pada penciptaan
kondisi ketenangan sosial belaka, melainkan pada usaha untuk tidak mengganggu
keselarasan yang sudah ada, melalui butir-butir kesepakatan perdamaian,
ketenangan sosial merupakan keadaan normal yang akan didapat dengan
sendirinya selama keselarasan perdamaian tidak diganggu. Prinsip kerukunan
adalah penjagaan keselarasan dalam pergaulan dengan mengatur permukaan
hubungan-hubungan sosial yang kentara dengan mencegah kembalinya konflik
secara terbuka.
Pihak manapun harus berhati-hati dalam situasi pascakonflik, di mana
kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Kesepakatan
damai yang tidak menyentuh harmoni maka akan susah untuk mencapai gerbang
perdamaian hakiki, yaitu rekonsiliasi. Pengelolaan suatu konflik yang memadai tidak
hanya dituntut agar dapat sekadar meredakan suasana yang tegang, melainkan
dapat menghilangkan sumber-sumber ketegangan. Masalah yang dihadapi harus
dipecahkan dengan berorientasi pada ide keadilan. Yaitu bahwa hak semua pihak
terjamin, baik pihak yang terlibat secara langsung di masa konflik maupun yang
tidak terlibat.***
-
Merawat Damai dengan Hati
Sehat Ihsan Shadiqin
Setelah berlalu beberapa tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki,
perdamaian di Aceh nampaknya mulai mengalami titik jenuh. Hal ini terlihat dari
munculnya berbagai aksi pembunuhan, perampokan, penawanan dan lainnya
yang semuanya menggunakan kekerasan. Aksi kekerasan merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari konflik. Kalau kita kembali kepada masa-masa Aceh
dilanda konflik, lembaran pertama media masa selalu berlumuran darah. Saban hari
yang diangkat adalah pembunuhan, penembakan, sweeping dan lain sebagainya.
Sehingga, ketika hal yang serupa terjadi saat ini, memori kolektif masyarakat
Aceh kembali membayangkan kehidupan suram masa-masa konflik yang amat
menyakitkan hati. Ini menjadi alasan bagi sebagian masyarakat untuk mengatakan
perdamaian di Aceh mulai ternodai dan memungkinkan munculnya konflik baru.
Sebagai daerah yang sejarahnya terus dibalut dengan konflik maka perdamaian
di Aceh memang menjadi hal yang unik meskipun selalu dibutuhkan. Hampir
sepanjang eksistensinya Aceh tidak terlepas dari perang. Dimulai dengan perang
menentang kedudukan Portugis di Malaka dalam abad ke-XVI, kemudian
berabad-abad Aceh melakukan perang melawan ekspansi penjajahan Belanda.
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I14
Setelah Belanda lumpuh, Aceh mengahadapi agresi tentera Nipon, Jepang.
Pascakemerdekaan Aceh masih harus melakukan pemberontakan untuk menjamin
harga diri daerah dan agama dengan melakukan perang pemberontakan melawan
negara Indonesia yang baru terbentuk. Setelah damai dari perang DI/TII, Aceh
kembali bergejolak karena munculnya Aceh Merdeka yang kemudian menjadi
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kondisi ini terus berlangsung dalam masyarakat
Aceh hingga lahir MoU Helsinki pada tahun 2005. Belajar dari sejarah konflik dan
damai di Aceh ini nampak bahwa perdamaian yang terjadi di Aceh yang didasari
pada perjanjian-perjanjian sering kandas dan tidak berumur panjang. Konflik akan
muncul kembali dan kehidupan masyarakat akan kacau lagi.
Padahal kehidupan damai adalah kehidupan yang diimpikan oleh semua
orang. Meskipun konflik selalu mengambil semboyan atas nama rakyat namun
tidak ada rakyat yang mau hidup di dalamnya. Konflik justru membawa kehidupan
menjadi suram dan terhenti. Semua orang menginginkan kehidupan damai dan
aman di mana mereka dapat melakukan aktifitas sosial dan mengembangkan diri.
Hanya kehidupan damai yang mampu menjamin masyarakat melakukan kegiatan
sosial, ekonomi, budaya dan intelektual dengan baik. Konflik membuat banyak hal
berubah. Bangunan yang dibakar, harta yang dijarah, perkebunan yang ditinggalkan
dan lainnya. Demikian juga konflik menimbulkan pergeseran budaya yang besar.
Misalnya dalam hal melemahnya kekerabatan sosial, munculnya individualisme
dan penghargaan pada ulama dan orang tua.
Hal-hal di atas menuntut adanya upaya serius untuk menjadikan damai terus
berlangsung dan berjalan sebagaimana diimpikan oleh masyarakat. Upaya ini
hanya mungkin dilaksanakan jika adanya kesadaran semua elemen masyarakat.
Sebab kedamaian pada hakikatnya adalah kepentingan bersama sehingga menjaga
dan mewujudkannya juga harus bersama. Setiap orang mesti berperan dan
mengambil aksi sendiri dalam mewujudkan dan menjaganya. Mustahil menjaga
damai diberikan kepada pihak tertentu semisal pemerintah, aparat kepolisian atau
kelompok tertentu dalam masyarakat. Sebab tanpa keterlibatan dan keikutsertaan
semua eleman masyarakat maka perdamaian hanya akan menjadi ilusi dan
fatamorgana belaka.
-
15
Dalam konteks menjaga kedamaian bersama yang paling berperan adalah
individu. Artinya individu menjadi orang yang berkewajiban melakukan berbagai
perbuatan dan aktifitas yang menjamin dapat terwujudkanya kehidupan damai
dalam masyarakat. Pekerjaan individu sangat berkaitan dengan niat baiknya dalam
melakukan aktifitas. Bayak kejadian teror, pembunuhan, kekerasan yang ada selama
ini didasari pada kepentingan individu semata. Biasanya dilandasi pada persoalan
kerja, dendam masa lalu, hubungan sosial dan lainnya. Ini semua berakar pada
individu. Sehingga untuk membentuk kedamaian yang abadi perlu ditekankan
pada aspek kesadaran individu.
Pentingnya peran individu ini terkait juga dengan pernyataan berbagai lembaga
yang dulu menjadi pihak yang bertikai secara organisasi telah menyatakan berdamai
dan akan mewujudkan kedamaian di Aceh untuk selamanya. Oleh sebab itu, dapat
dipastikan munculnya konflik baru bukan lagi karena organisasi, namun ulah dari
orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut secara personal atau orang lain
yang tidak menginginkan kedamaian di Aceh berlangsung.
Dua pendekatan
Untuk mengatasi hal tersebut ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu
pengubahan mindset mengenai damai dan kehidupan bersama, dan menjamin
keterampilan kerja yang merata bagi masyarakat yang potensial memunculkan
konflik. Pengubahan mindset dimaksudkan untuk memberikan wawasan kepada
masyarakat tentang pentingnya kehidupan bersama. Manusia tidak mungkin dapat
mengasingkan diri dan berkembang tanpa melibatkan orang lain. Mengasingkan
diri justru akan menjadikan sebuah masyarakat tertinggal dalam berbagai
kehidupan bahkan lama-kelamaan akan berubah menjadi suku terasing yang
tidak memiliki peradaban.
Merubah mindset ini perlu disebabkan banyak orang yang terlibat menjadi aktor
konflik di tingkat bawah pada masa lalu adalah mereka yang sebenarnya tidak
memiliki cara pandang dunia yang terbuka dan tidak mengerti dan menghargai
hak asasi orang lain. Aktor-aktor bawah inilah yang digunakan oleh orang yang
memiliki kepentingan lebih besar, baik secara pribadi atau organisasi sehingga
M E R AWAT DA M A I D E N G A N H AT I
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I16
konflik terus bertahan. Hal ini pasti akan berbeda jika di tingkat masyarakatnya
ada kesadaran masif akan buruknya konflik. Mereka tidak mau terlibat di dalamnya
hingga kepentingan yang digagas oleh aktor yang lebih tinggi tidak akan berjalan
dengan baik.
Selain itu diperlukan sebuah upaya menjamin pemerataan keterampilan kerja
kepada masyarakat yang potensial menimbulkan konflik. Saya menekankan
keterampilan kerja bukan modal usaha sepeti yang selama ini banyak diprogramkan
oleh pemerintah dan NGO. Keterampilan kerja akan membuka kemandirian dan
kreatifitas sehingga mereka sibuk dengan kreatifitas tersebut. Hal ini berbeda
dengan memberikan modal usaha pada orang yang tidak memiliki kemampuan
skill usaha. Pemberian itu justru dimanfaatkan untuk hal-hal yang konsumtif yang
hanya bertahan dalam jangka waktu pendek. Seiring perjalanan waktu pemberian
modal usaha justru menimbulkan ketergantungan dan memudarkan semangat
kerja dari masayarakat. Bahkan jika pembagian modal usaha tidak dilakukan
dengan pertimbangan yang bijak bisa jadi ia berubah menjadi awal dari munculnya
konflik dalam masyarakat.
Penutup
Mencermati fenomena di atas maka masalah perdamaian sangat ditentukan oleh
keinginan baik dari individu yang menjadi anggota masyarakat Aceh. Seandainya
dalam dada semua masyarakat tertanam keinginan untuk menjadikan kedamaian
di Aceh abadi, maka benih-benih konflik akan hancur sebelum berkembang. Untuk
kepentingan ini diperlukan kerja sama semua pihak dan organisasi sosial masyarakat
untuk terus menerus memberikan kepahaman bahwa hidup damai adalah hidup
dengan dengan penghargaan kepada orang lain. Hal ini perlu dilakukan sejak
dini dan dalam berbagai kelompok sosial masyarakat. Hanya dengan demikian di
dalam hati setiap masyarakat Aceh akan tertanam keinginan untuk hidup damai
dan menjaganya sepanjang masa. Wallahu alam.***
-
Panglima Ahtisaari(Surat Terbuka Untuk Peraih Nobel Perdamaian 2008)
Munawardi IsmailPekerja media di Banda Aceh
Yang Mulia Tuan Martti Ahtisaari. Mit kuuluu Mister Ahtisaari. Toivon, ett sinusta
tuntuu hyvlt. Kehu teidn palkinnon (terjemahan bebasnya; apa kabar Mister
Ahtisaari, saya harap anda baik-baik saja. Selamat atas penghargaan yang anda
terima). Tuan, kami rakyat Aceh, pantas memberi apresiasi atas Nobel Perdamaian
yang anda terima.
Ini warkah saya tulis secara terbuka agar para Yahwa dan Mawa di segala pesolok
gampong Aceh ikut membaca. Sebab merekalah yang menikmati pohon damai
sesudah anda bantu semai. Damai itu, membuat mereka bisa kembali ke ladang,
mulai dari tanom pade sampai pula campli, tapi bukan pula pingkui.
Maaf kalau ketika membuka surat ini, saya mengawali dengan mengutip bahasa
Suomi, bahasa yangmungkin--anda pakai sehari-hari. Kalau salah harap maklum,
karena ini saya kutip dari internet. Dengan teknologi, Aceh dan negara anda cuma
selebar komputer jinjing.
Kini, saya tidak tahu, apakah anda masih tetap memantau situasi nanggroe
tsunami; Aceh. Apalagi sesudah tuan menerima Nobel Perdamaian pada 10
Desember lalu. Setahu saya anda menjadi orang ke 89 yang menerima Nobel di
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I18
bidang perdamaian, setelah Jean Henri Dunant dari Swiss dan Frdric Passy asal
Perancis yang menerimanya pertama kali pada 1901.
Tuan Martti, saya ingin kabari bahwa, menjelang Pemilihan Umum 2009 nanti,
situasi Aceh diprediksikan bakal panas sekali, bukan karena ekses pemanasan global
atau gara-gara hutan yang terbakar. Suasana itu dipengaruhi oleh suhu politik.
Apalagi pemburuan kursi legislatif juga kian ketat dengan adanya partai lokal di
sini. Padahal kami berharap, Pemilu nanti bisa sejuk, sedingin salju di Helsinki. Tapi
apa daya, semua kadung terjadi.
Tuan, kami rakyat jelata, tidak bicara soal tahta. Kami tahu, pemilu itu pesta
demokrasi, kalau enak kami ikuti, jika tidak juga tak boleh dipaksai. Apalagi sampai
harus membuat fatwa haram bagi yang tidak berpartisipasi (baca: golput). Maaf
tuan, saya tidak menggurui, mungkin begitulah prinsip orang berdemokrasi. Tak
boleh intimidasi apalagi memaksa sesuka hati.
Tak Ingin Konflik
Beranjak dari klausul perjanjian yang sudah ditandatangani, kami tahu ada
perkara mulia di sana buat rakyat jelata. Dengan damai, kami bisa hidup merakit asa
yang sempat dihayak senjata. Menata negeri supaya maju. Agar rakyat bisa hidup
sejahtera, tanpa perlu menadah tangan meminta-minta. Dengan potensi yang
melimpah, kami ingin, supaya rakyat juga tidak perlu hidup susah. Meski itu tidak
mudah, tapi jangan pula dibuat hati rakyat makin gundah. Pasalnya, banyak aturan
yang menjadi amanat undang-undang, tapi belum juga kelar. Bagaimana ini Tuan?
Bagi kami, itu tugasnya petinggi negeri yang sedang bertahta. Mereka berhak
menagih dan meminta kepada yang lebih berkuasa di Jakarta. Kami hanya rakyat
jelata, cuma ingin agar tak ada lagi amuk senjata. Tuan Presiden lebih tahu, konflik
yang membuat hidup menjadi pelik. Oleh karena itu, kami rindu Aceh tanpa mesiu.
Rindu Aceh tanpa perang, termasuk perang kata-kata, seperti banyak diberitakan
media. Jangan sampai pula, gara-gara perang-perangan membuat kami berhenti
berladang.
Kami tak ingin, petinggi di sini saling tuding-menuding. Semuanya harus akur.
Semua pihak seharusnya bersanding, bukan bertanding. Biarlah yang bertanding
-
19
itu para pemain sepakbola saja. Betul tidak Tuan? Lalu, kalau ada rasa curiga
sebaiknya di-stipo saja. Jangan curigai bahwa kami ingin merdeka lagi, merdeka itu
sudah cukup sekali, sebab setelah itu mati.
Tuan Martti. Kami sudah lelah berpeluh darah. Kami berharap damai itu tidak
semu seperti yang diketuskan petinggi negeri. Seharusnya itu kita jaga bersama-
sama, agar damai tidak sirna. Bukan itu saja, kita pun harus memupuk damai ini dari
yang katanya semu menjadi nyata, jika dia belum tumbuh, mari kita sirami biar dia
cepat berakar.
Panglima Ahtisaari
Tuan Ahtisaari. Di hari anda menerima penghargaan bergengsi dalam karier
sebagai politisi, sebenarnya kami ingin memberi juga sebuah gelar untuk Tuan.
Boleh jadi itu sebagai rasa terima kasih, atawa sebagai tanda jasa untuk anda yang
paling istimewa. Ya, anda telah berjasa bagi perubahan Aceh.
Setahu saya, para endatu kami dulu juga acap memberi gelar kehormatan
kepada mereka yang sudah berjasa. Gelarnya pun ada macam-macam, tapi yang
pasti itu amat-amat terhormat. Namun, sampai saat ini, saya melihat belum ada usul
dari orang yang membidangi adat-isitiadat guna memprakarsai itu.
Saya yakin, mereka bukan lupa, tapi sedikit sibuk mengurusi proyek. Ya, mulai
dari proyek jalan becek, sampai saya tak tahu hendak bilang apalagi ke Tuan. Karena
gelombang anggaran yang datang ke Aceh, bak hujan turun dari langit. Semoga
ini tidak membuat mereka lupa dataran. Sebab kalau lupa, bisa-bisa mereka harus
berenang di kamar sempit lembaga permasyarakatan.
Tuan Presiden, saya yakin dedikasi anda itu tanpa berharap imbalan dan pamrih.
Semua bermula dengan ketulusan merakit perdamaian. Soal sebuah gelar, ini bukan
untuk menambah eforia saja. Tapi murni sebagai bentuk menghargai kerja orang
lain. Ini tulus sebagai rasa terima kasih untuk kerja berat yang sudah Tuan perbuat.
Karena itu, jika anda berkenan datang lagi ke nanggroe kami. Saya ingin
memberi gelar tinggi, mungkin tak setinggi gunung Halimon, sebab tak kuasa kami
daki. Buktinya, kami pernah 32 tahun terperosok di sana. Ah, itu masa lalu Tuan,
sudah kami kuburkan bersama puing-puing gelombang tsunami.
PA N G L I M A A H T I S A A R I
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I20
Tapi anteeksi (maaf) Tuan, saya belum punya referensi tentang banyak gelar
warisan nenek moyang kami. Mungkin semuanya masih tersimpan rapi dalam
almari di Leiden, Belanda. Nah, ini kesempatan lagi untuk kembali studi banding
atau mencari jejak ke sana. Masalahnya bukan cuma itu saja Tuan, sampai saat
ini pun, yang berhak memberi gelar belum ada. Kalau tidak salah Wali Nanggroe
namanya. Itu pun, sampai kini, kami belum tahu siapa orangnya.
Qanun Wali Nanggroe yang menjadi amanat dari Helsinki pun tak kami ketahui
juntrungnya. Kabarnya sudah disusun rapi, tapi belum finalisasi. Sekali lagi anteeksi
Tuan, itu tugas anggota dewan, jadi kami tak berani campuri. Kami rakyat jelata
hanya bisa diam untuk sementara. Sembari menunggu aturannya, tak ada salahnya
kami mulai menyeleksi gelar yang tepat untuk Tuan.Sambil menanti kelar Qanun
Wali Nanggroe.
Mungkin biarkan kami menggelari anda panglima saja. Ya, Panglima Martti
Ahtisaari. Panglima itu juga jabatan yang sudah lazim di tempat kami. Contohnya
ada Panglima Laot. Lembaga Panglima Laot ini sudah berdiri sejak Sultan Iskandar
Muda. Dia itu raja kami dahulu kala yang gagah perkasa, membuat Aceh kaya raya.
Gelar itu, tak mungkin kami sematkan untuk Tuan. Karena Tuan berjasa bukan
hanya di laut dan darat saja. Damai itu membuat semua sendi kehidupan berdenyut
lagi. Kemudian ada lagi Panglima Uteun, tapi ini tak cocok dan tak banyak dipakai,
sebab mereka hanya Pang Seuneubok.
Lalu Panglima Polem, ini gelar untuk kalangan bangsawan istana. Jadi yang
berhak menyandang itu hanya orang-orang yang berdarah biru saja. Begitu pula
dengan Panglima Kawom. Ini juga skopnya kecil, hanya untuk kelompok atau
kalangan sebuah etnik saja. Panglima Tibang sama juga. Dia hanya mengurusi
urusan syahbandar pelabuhan. Dalam negara modern sekarangmungkindia
setara dengan kepala imigrasi. Untuk sekedar Tuan ketahui, Panglima Tibang pun
kadung cacat namanya. Kesannya sudah negatif.
Kalau Panglima Prang, jelas-jelas tak mungkin lagi, sebab negeri ini sudah damai.
Kalau Panglima Damai juga lebih-lebih salah kaprah, sebab tak ada literaturnya
dalam kamus masa silam Aceh. Untuk sementara sebagai bentuk penghargaan, tak
ada salahnya kami panggil Panglima Martti saja. Sembari menanti gelar yang layak
-
21
dari lembaga yang berhak menganugerahinya. Semoga anda berkenan.
Tuan, anda pasti tambah bingung melihat tulisan ini. Logis sekali, sebab saya
tidak menulis dalam bahasa yang anda pakai sehari-hari. Dan, kalaumungkin
sajaada orang yang kurang senang dengan warkah ini. Anggap saja ini tulisan
lalu. Eh, angin lalu maksud saya.
Sebab niat saya hanya ingin merekam suara jelata yang sudah bertumpuk dari
Sabang hingga Tamiang. Karena ini juga harapan mereka di Ate Fulawan (Simeulue)
sampai Lawe Bulan (Aceh Tenggara). Ini pula keinginan orang-orang Lembah
Seulawah sampai lewat Bener Meriah, juga hasrat para pedagang dan nelayan.
Harapan petani dan semua mereka yang mengagungkan damai.
Makanya Tuan, jika negeri ini damai, kami tak rugi. Kalau ada yang masam muka
karena Aceh begini, itu musuh yang harus dipreteli. Betul tidak Tuan? Kiitos (terima
kasih) anda sudah bersedia menyimak surat ini. Anteeksi jika ini tak berkenan di hati.
Nkemiin!***
PA N G L I M A A H T I S A A R I
-
Dari Helsinki Turun Ke Aceh
Munawardi IsmailPekerja media di Banda Aceh
Helsinki mendadak tenar di Aceh. Bukan tanpa alasan, nama kota yang ada tepi
Teluk Finlandia dan Laut Baltik itu mengepul dalam benak Rakyat Aceh. Aromanya
seharum kopi yang acap diseruput warga tanah rencong.
Begitu pula yang terjadi dengan Helsinki yang tak lain sebuah ibu kota sekaligus
kota terbesar di Finlandia. Kawasan itu penduduk sebanyak 562.570 jiwa. Kota ini
terletak di bagian selatan Finlandia, di tepi Teluk Finlandia dan Laut Baltik.
Kota Helsinki, paling tidakmeski kurang sama hampir serupa dengan
tipologi Banda Aceh yang dibelah sungai (baca: Krueng Aceh) dan Selat Malaka.
Sanking pentingnya, kini sebuah tempat kongkow di kota ibu kota Aceh pun
ditabalkan dengan namanya.
Dari berbagai literatur disebutkan, Daerah Helsinki Raya (Greater Helsinki)
melingkupi lebih banyak kota-kota di sekitarnya dan memiliki 1.283.093 penduduk
yang berarti satu dari empat penduduk Finlandia tinggal di daerah tersebut.
Helsinki adalah pusat bisnis, keuangan, mode, hiburan, media, dan budaya di
Finlandia dengan jajaran museum, galeri, dan tempat pertunjukan. Kota ini juga
menjadi pintu gerbang internasional Finlandia.
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I24
Helsinki memiliki jumlah warga asing terbesar di Finlandia baik dalam jumlah
nyata maupun persentasenya. Mereka terdiri dari sekitar 130 kewarganegaraan
dengan mayoritas dari Rusia, Estonia, dan Swedia.
Dari Helsinki ke Aceh
Kota Helsinki menjadi saksi agung pada 15 Agustus 2005 silam. Ini adalah
momentum paling fenomenal bagi masyarakat kita; Aceh. Jatuhnya tanda tangan
dua pihak pada perjanjian kesepakatan damai bermakna ganda bagi bangsa kita,
tetutama rakyat Aceh. Itulah rahmat yang tak terkira.
Perjanjian damai yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Memorandum
of Understanding atau MoU Helsinki mengakhiri kesengsaraan akibat konflik.
Bencana dahsyat tsunami yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh pada
2004 yang lalu juga menyadarkan Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk
mengakhiri konflik 29 tahun.
Aroma kedamaian yang berhembus dari kota itu hinggap ke pelosok Aceh.
Damai itu bening, turun selembut salju di sana. Bagi Aceh, damai itu laksana butiran
hujan di ladang gersang. Dengan kehendak Allah SWT, perdamaian itu terwujud
ketika rakyat sudah berada pada puncak kejenuhan dan penderitaan. Menderita
akibat konflik dan dilantak tsunami.
Kini, ketika gerbong damai sudah meniti pada posisi empat tahun, tentu banyak
kerikil di dalamnya. Tapi, masa-masa itu sudah amat dinikmati dan dihayati rakyat
kita. Bagaimana angin perdamaian itu berhembus dalam masa-masa rawan yang
menyiratkan pesimisme.
Pesimisme itu menguat di antara duri-kuri kecil yang acap menganggu proses
perdamaian yang sedang berlangsung di daerah kita. Adakala kerikil itu tak bisa
dihindari dan kerap kali membuat kita gamang. Tapi, Alhamdulillah, rakyat Aceh
belajar banyak dari corobong perdamaian ini.
Perdamaian Aceh yang sudah empat tahun ini bukanlah tanpa ujian, beberapa
kali terjadi insiden yang berujung pada kematian-kematian mantan kombatan.
Motifnya sering samar; antara isu ekonomi dan politis.
Insiden-insiden kekerasan yang sempat terjadi pada lintasan tiga tahun
-
25
perdamaian itulah kerikil. Ini menjadi batu uji bagi rakyat Aceh. Apakah ingin
kembali ke masa lalu atau ingin melaju menuju masa depan yang sudah di tangan.
Masa depan merajut ketertinggalan dalam berbagai sektor, terutama ekonomi
dan pembangunan. Pemerintah tentu mendapat tantangan besar dalam mengisi
perdamaian ini. Tak sedikit persoalan yang belum dituntaskan. Program reintegrasi
menjadi pekerjaan besar yang membutuhkan energi ekstra. Jika salah dalam
mengelola, bukan tak mungkin kerikil yang kita khawatirkan akan menghadap
jalan perdamaian.
Persoalan ekonomi juga bisa menjadi sandungan. Pasalnya banyak kombatan,
korban konflik dan masyarakat yang menerima ekses konflik hidup sulit. Tingkat
pengangguran juga tinggi. Meski upaya ke arah sana terus diupayakan pemerintah,
tapi tak semudah membalik telapak tangan.
Masyarakat juga tak boleh terus-terusan cuma menengadah tangan ke atas.
Karena itu segala potensi ekonomi harus mendapat prioritas untuk dikembangkan.
Membangun sarana dan prasarana memudahkan masyarakat dalam berusaha
meretas jalan ekonominya.
Tapi di level grass root harus terus berusaha melestarikan perdamaian dengan
berbagai upaya. Tanpa itu, jangan harap warga kelas bawah bisa menikmati
perdamaian ini. Buktinya, selama ini mereka bisa bergerak bebas melakukan
aktivitas tanpa dicekam ketakutan. Semoga.
Pascaagenda bersejarah itu, tak salah jika kita berharap pula, kemudian, Aceh
menjadi pusat bisnis, keuangan, wisata dan budaya di Indonesia dengan karakternya
tersendiri. Tapi itu semua tak semudah mengambil air di kolam renang. Butuh kerja
keras semua komponen. Semoga Aceh nanti menjadi pintu gerbang dunia seperti
yang pernah terjadi berabad-abad silam.***
DA R I H E L S I N K I T U R U N K E AC E H
-
Aceh: Sebuah Refleksi Pergerakandan Masa Depan Perdamaian
MaimunMahasiswa Pascasarjana, Program Sains Politik, Universiti Kebangsaan Malaysia
Aceh telah lama menjadi pembicaraan bagi banyak kalangan, baik nasional
maupun internasional. Alasan utama yang mungkin dapat diterima kenapa Aceh
sering manjadi perhatian adalah karena Aceh merupakan lahan perang dan Aceh
juga merupakan wilayah yang pernah mendapatkan bencana besar, berupa
tsunami. Aceh dan perang, bagaikan dua suku kata yang kerap digabungkan.
Sehingga perang bagi orang Aceh bukan lagi kata yang asing, kata perang
sesungguhnya telah melekat dalam setiap ingatan orang Aceh. Realitas ini terjadi,
setelah berabad-abad orang Aceh harus berhadapan dengan perang kolonialis
Belanda. Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, Aceh juga harus merelakan
diri untuk berperang melawan kolonialis pemerintahan yang hegemoni, sejak
digabungkannya Aceh ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
tahun 1949. Karena perang telah menjadi perkataan yang lumrah, maka orang Aceh
akan sangat siap untuk terus berperang mempertahankan Islam, adat-resam serta
budaya sebagai intisari jatidiri bangsa Aceh, dari ancaman genocide ataupun ethnic
cleaning pemerintah yang otoriter. Maka sesungguhnya, adalah sesuatu yang fatal
apabila pemerintah pusat telah menangani Aceh dalam periode yang silih berganti
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I28
dengan pendekatan militer dan upaya manipulasi, atas aksi protes endatu orang
Aceh yang pernah ditunjukkan awal kali pada tahun 1953 yang ketika itu dipimpin
oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh. Sebab, sesungguhnya aksi protes para
endatu Aceh melalui gerakan Darul Islam Aceh (DIA) itu bertujuan menuntut keadilan
pusat agar menyempurnakan janjinya atas pemberian istimewa kepada Aceh dalam
tiga hal utama, yaitu: pertama, menyangkut dengan pemberlakuan syariat Islam,
yang harus diatur dengan pembentukan beberapa Qanun. Kedua, keistimewaan
atas pemberlakuan adat-istiadat Aceh dalam kehidupan masyarakatnya. Ketiga,
menyangkut dengan pembagian hasil bumi Aceh yang adil antara pusat dan
daerah (Ahmad Farhan, 2006). Tuntutan atas keistimewaan Aceh memiliki alasan
yang sangat dapat dipertanggungjawabkan, di mana Aceh adalah sebagai daerah
modal (region of capital) bagi negara Indonesia. Modal yang dimaksudkan oleh
sejarah dalam hal ini, dapat dilihat dalam beberapa bentuk: pertama, Aceh pernah
mengantarkan pasukannya sebanyak 3.000 orang untuk berperang melawan
agresi Belanda di Medan Area. Kedua, Aceh telah memberikan sumbangan dua
buah pesawat yang amat sangat penting bagi persiapan kemerdekaan Indonesia.
Ketiga, Aceh telah berhasil mempengaruhi opini masyarakat internasional dengan
Radio Rimba Raya, dengan mengabarkan kepada dunia, bahwa Indonesia belum
dapat dikuasi oleh belanda. Keempat, Aceh telah menyumbangkan banyak biaya
untuk persiapan kemerdekaan Indonesia, baik berupa biaya perjalanan diplomatik
maupun untuk kebutuhan dalam negeri. Pendekatan militer dan upaya manipulasi
pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh, sudah tidak menghasilkan satu
kesimpulan yang baik bagi perdamaian abadi, malah akan menjadi alasan utama
penyebab munculnya kecurigaan yang mendalam dan rasa tidak percaya orang
Aceh terhadap pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi yang harus diterima
pemerintah pusat atas kealpaannya menerapkan pendekatan sosial budaya dalam
menangani masalah Aceh, maka muncullah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
diproklamirkan oleh Dr. Hasan Muhammad Ditiro pada tahun 1976 di Djokan Pidie.
GAM lahir pada awalnya sebagai kelanjutan dari aksi protes keras episode kedua
gerakan yang pernah dipimpin oleh Tgk. Daud Beureuh. Dimana GAM menuntut
keadilan yang sama seperti yang pernah dituntut endatunya, yaitu: menuntut
-
29
pemerintah pusat untuk menuaikan realisasi janjinya tentang keistimewaan Aceh.
Tapi, sekali lagi amat disayangkan, orde baru telah menganggap GAM sebagai
pengacau stabilitas keamanan pemerintah pusat di Aceh, sehingga GAM dianggap
sebagai gerakan liar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.
Orde baru, bukan hanya telah menjadikan Aceh miskin secara ekonomi,
akan tetapi juga telah membuat Aceh harus menerima resiko miskin secara
pengetahuan, degradasi budaya dan adat-istiadat Aceh harus terbentur dengan
kebijakan pemerintah pusat, persis sama seperti apa yang digambarkan oleh
Samuel Hungtington (1996) dalam thesisnya The Class of Civilization and the
Remaking of the World Order. Untuk membasmi GAM, Pemerintah Pusat Indonesia
telah memberlakan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada sejak tahun 1989
hingga 1998. Buah dari operasi yang dijuluki dengan Operasi Jaring Merah (OJM)
ini telah mengakibatkan terjadinya 7,727 kasus pelanggaran hak azasi manusia
(human rights) di Aceh (Suraiya, 2001). Pencabutan status darurat militer di Aceh,
didasari oleh meletusnya isu reformasi yang mulai digulirkan sejak awal mei, hingga
mencapai mencapai puncaknya tuntutan reformasi pada 20 Mei 1998 yang ditandai
dengan runtuhnya rezim otoriter Indonesia. Keruntuhan orde baru, juga bermakna
peluang bagi orang Aceh untuk menyampaikan kehendaknya kepada dunia luas.
Betapa tidak, orde reformasi telah membuka peluang bagi terciptanya perubahan
besar di Indonesia. Sebagai representatif masyarakat Aceh, GAM kembali eksis untuk
menuntut keadilan bagi Aceh. Kali ini, GAM bukan sekedar menuntut keistimewaan,
tetapi juga ingin membebaskan Aceh dari bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Referendum yang diusung Sentral Informasi Referendum Aceh
(SIRA) pada tahun 1998 yang pimpin oleh Muhammad Nazar, telah memperkuat
asumsi bahawa lebih dari 85 persen orang Aceh sedang menuntut pemisahan Aceh
dari Republik. Ini adalah kemarahan puncak masyarakat Aceh terhadap Republik.
Pemerintah pusat seperti cepat lupa, bagaikan keledai yang harus jatuh dalam
lubang yang sama dalam waktu yang berbeda. Pemerintah pusat tidak ingat akan
satu pepatah bahwa ureung Aceh, meunyoe kateupeh, bu leubeh han geu peutaba.
Tapi meunyo hana teupeh, dumho pih geumaba (orang Aceh, kalau sudah dibuat
marah, maka nasi lebihpun tidak akan ditawarkan kepada kita. Tapi kalau tidak
AC E H : S E B UA H R E F L E K S I P E R G E R A K A N DA N M A S A D E PA N P E R DA M A I A N
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I30
dibuat marah, maka semuanya akan diberikan kepada kita). Nampaknya pemerintah
pusat pada ketika itu, sedang tidak dapat belajar dari pengalamannya, ini bermakna
sejak Januari 1999 sampai ke November 2003, pemerintah telah mengembalikan
Aceh kepada status Darurat Militer, walapun kemudian diturunkan menjadi darurat
sipil sejak Mei hingga akhir tahun 2004 yang disebabkan oleh satu kejadian besar
yaitu tsunami (Tempo Report, Desember 2004). Konflik bersenjata yang terjadi
sejak tahun 1989 hingga akhir 2004, telah menyebabkan 11,214 kasus pelanggaran
berat HAM, yang terdiri dari korban pembunuhan, pembakaran rumah, pelecehan
seksual, pemerkosaan, penahanan semerta-merta, dan meningggal pada saat
perang (ARF Report, Mei 2007). Penghujung tahun ketika itu, tepatnya pada hari
minggu 26 Desember 2004, Aceh harus berhadapan dengan bencana besar.
Bencana internasional tersebut bernama gempa tektonik dengan kekuatan 8,9 SR
yang diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan sebagian pesisir Aceh. Nampaknya
Tuhan telah memberikan teguran besar kepada kita semua, agar praktek homo
homini lupus sesegera mungkin harus ditinggalkan. Tsunami Aceh telah membuat
luka yang belum kering akibat konflik, menjadi tersobek-sobek serta menciptakan
kepiluan yang amat dalam bagi Aceh. Tsunami telah menyebabkan 170,000 orang
meninggal, manakala 500,000 orang lainnya harus kehilangan tempat tinggaassl
mereka (Pemerintah NAD, 2006). Perkiraan atas kerusakan dan kerugian materipun
sangat tidak sedikit (loss and damage assessment), kerugian yang dialami secara
materil sebanding dengan lima kali bilangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Aceh tahun 2004 atapun mencapai Rp. 29,4 triliun atau U$D 11,5
(Bank Dunia 2005).
Aceh Pascakonflik dan Tsunami serta Upaya Reintegrasi
Gambaran terhadap fenomena di atas, telah membuat hati rakyat Aceh bukan
saja tersayat, tetapi hancur. Sebetulnya bukan hanya Aceh yang menangis, namun
Indonesia juga menangis, bahkan duniapun berkabung sembari menghening cipta
untuk mengenang kejadian yang amat menyayat itu. Konflik dan tsunami, bukan
hanya telah membinasakan Aceh secara fisik, tetapi juga mental. Sehingga Aceh
semakin tertinggal dalam beberapa bidang penting, seperti ekonomi, pendidikan,
-
31
kesehatan, hukum dan sosial budaya. Kondisi seumpama di atas tadi, telah
membuka hati para pemimpin kedua belah pihak yang bertikai, untuk memikirkan
jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik Aceh yang telah lama berlarut. Maka
pada tanggal 15 agustus 2005, sebuah perjanjian antara Gerakan Aceh Merdeka
dengan pemerintah pusat Indonesia telah disepakati di Helsinki Finlandia.
Masyarakat Aceh secara umum, menaruh harapan besar pada konsensus tersebut.
Tercapainya perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan GAM adalah
sebuah rahmat dan kesuksesan besar yang telah dicapai. Konsesnsus ini, tidak
hanya diperuntukkan bagi GAM dan Pemerintah pusat semata-mata, akan tetapi
juga bagi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan bahkan
lebih dari itu, yakni untuk perdamaian dan keamanan kawasan (Humam Hamid,
2007).
Membangun Aceh pascakonflik dan tsunami, sebetulnya kita tidak sedang
berbicara tentang build back Aceh, tetapi lebih kepada build better Aceh. Bukan
hanya waktu yang dibutuhkan, tetapi juga tenaga serta biaya yang tidak tergolong
sedikit, demi pembangunan Aceh ke depan yang lebih baik dengan tanpa harus
kehilangan jatidirinya. Adanya pemerintahan dari unsur rakyat Aceh tulen yang
ditopang oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
maka, akan sangat dimungkinkan bahwa pembangunan Aceh dapat diwujudkan
secara adil dan merata. Saat ini, Aceh ada peruntukan beberapa sektor penting dari
pemerintah pusat melalui UUPA. Peruntukan tersebut mencakupi pembagian hasil
migas antara pusat dan daerah, otonomi dalam bidang pendidikan dan kesehatan,
otonomi dalam bidang adat-istiadat dan resam serta otonomi dalam pelasanaan
syariaat Islam. Tiga poin penting ini, sesungguhnya dapat dijadikan sebagai modal
besar terhadap pembangunan Aceh secara adil dan menyeluruh tanpa harus
melahirkan kecumburuan sosial.
Hal lain yang tidak kalah penting dan harus menjadi perhatian utama adalah
pelaksanaan reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata yang merupakan salah
satu dari point terpenting dari Memorandum of Understanding. Saat ini Aceh telah
memasuki tahun keempat bagi sebuah transisi. Maka dengan demikian, pelaksanaan
reintegrasi Aceh dengan adil dan bijaksana akan memberikan ruang khusus bagi
AC E H : S E B UA H R E F L E K S I P E R G E R A K A N DA N M A S A D E PA N P E R DA M A I A N
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I32
terwujudnya situasi damai Aceh di masa depan. Berbicara damai, sebetulnya bukan
hanya sekedar berbicara tentang pemotongan 900 pucuk senjata dan mobililasi
militer, akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah, bagaimana mewujudkan tujuan
terhadap reintegrasi itu sendiri. Proses reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata
secara formal telah dilimpahkan wewenang melalui Badan Reintegrasi Damai Aceh
(BRDA), namun demikian tetap akan menjadi tanggung jawab masyarakat Aceh
secara keseluruhan, untuk mewujudkan Aceh yang damai dan sejahtera. Ditinjau
dari tujuannya, maka proses reintegrasi lebih ditujukan kepada tiga hal utama:
Pertama adalah berkaitan dengan reintegrasi mantan kombatan GAM ke dalam
masyarakat dengan pendekatan ekonomi, sosial dan politik. Ini berarti, mantan
kombatan GAM berhak atas uang jaminan sosial, pemberian amnesti dan remisi
kepada tapol/napol GAM dan sekaligus pemberian kesempatan kepada mantan
kombatan GAM untuk bergabung dalam arena politik lokal dan nasional ataupun
membentuk partai baru. Berdasarkan MoU, GAM berjumlah 3.000 orang (Ahmad
Farhan, 2006: 203). Kedua, berkaitan dengan reintegrasi Aceh ke dalam Republik
Indonesia pascakonflik bersenjata (Aceh re-integrated post conflict). Reintegrasi
ini pula dilakukan bagi mengukuhkan patriotisme dan juga Nasionalisme ke-
Indonesia-an yang dimiliki oleh rakyat Aceh dengan pendekatan pendidikan
sebagai intry point. Ketiga, berkaitan dengan reintegrasi masyarakat korban konflik
yang yang ditangani dengan pendekatan ekonomi sebagai entry point.
Salah satu tolak ukur terpenting pencapaian perdamaian Aceh di masa
mendatang adalah amat sangat tergantung kepada seberapa efektifnya proses
reintegrasi itu dapat diwujudkan dengan seadil-adilnya. Ini artinya, bahwa proses
reintegrasi Aceh tidak boleh dijadikan sebagai lencana politik kelompok tertentu,
karena erosi integrasi pasti akan terus terjadi, sebab politik tidak punya mata, tidak
punya telinga, tidak punya hati. Politik hanya mengenal kawan dan lawan, kalah dan
menang, peradaban yang dangkal. Maka reintegrasi Aceh juga perlu menanamkan
sikap senses of belonging, dengan rasa saling percaya, sehingga transisi ini akan
menjadi modal bagi terbentuknya perdamaian Aceh yang abadi di masa yang akan
datang. Amin.***
-
Saifuddin Bantasyam SH MADosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Isu-Isu Kritis dalam Pembangunan Perdamaian Aceh
Karakter konflik yang berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tidak
lagi didominasi oleh konflik antarnegara, melainkan konflik yang terjadi di dalam
wilayah suatu negara. Dua elemen kuat sering bergabung dalam konflik seperti
ini: elemen identitas, dan elemen distribusi. Jenis konflik seperti itu cenderung
bertahan lama, dan fasenya silih berganti, antara bersifat laten dan terbuka. Skala
penderitaan manusia juga sangat dahsyat. Konflik yang demikian, meskipun ada
di tingkat internal, juga bisa menyebar hingga jauh keluar perbatasan geografis
negara di mana konflik berlangsung. Ini menandakan bahwa konflik dalam negara
yang rendah tingkatannya pun bisa meningkat menjadi konflik antarnegara yang
lebih tajam. Jika ini terjadi, maka korban jatuh diperkirakan akan jauh lebih banyak.
Dengan pelajaran sebagaimana disebutkan di atas, maka tak mengherankan
apabila semua pihak yang terlibat dalam konflik, baik internal dan eksternal, berusaha
keras untuk menyelesaikan konflik. Kelihatannya, pihak-pihak yang berkonflik
memiliki sebuah kesadaran, bahwa konflik yang berlarut-larut akan membuat pihak
yang berkonflik membayar harga yang tak murah, dan menghabiskan energi yang
tak terhitung besarnya. Masyarakat di wilayah itu demikian juga, mereka tak akan
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I34
pernah bebas dari penderitaan sebagai akibat langsung dan tidak langsung konflik,
bahkan sebuah generasi dapat saja lenyap karena konflik.
***
Demikian halnya dalam kaitannya dengan konflik bersenjata antara Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Dalam beberapa catatan, angka
kematian hampir mencapai seribu orang setiap tahun sepanjang tahun 1999, 2000
dan 2001. Termasuk yang tewas adalah mereka yang berstatus penduduk sipil
yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan konflik, atau tidak mengambil
bagian apapun dalam konflik. Di luar angka korban tersebut, konflik bersenjata di
Aceh telah menghancurkan banyak sisi kehidupan sosial politik dan ekonomi, dan
menimbulkan rasa takut dan trauma yang mendalam di kalangan warga masyarakat,
khususnya yang bertempat tinggal di pedalaman di beberapa kecamatan di
sejumlah daerah kabupaten di Aceh. Akibatnya sangat parah, kantor-kantor
pemerintahan di tingkat desa dan tingkat kecamatan tidak berfungsi maksimal,
mobilitas masyarakat sehari-hari menjadi sangat terganggu, dan angka kemiskinan
juga meningkat. Kondisi ini tak hanya memberi beban kepada pemerintah pusat dan
daerah, namun juga bagi PBB dan masyarakat internasional, karena sesungguhnya
dampak konflik berpeluang menyebar ke luar batas geographis Aceh.
Proses formal untuk mencapai perdamaian dimulai pada tahun 1999 ketika
Presiden Abdurrahman Wahid menyetujui kehadiran Hendry Dunant Centre
(HDC) untuk menjadi mediator dalam perundingan Pemerintah RI dengan wakil-
wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada masa-masa awal, dengan difasilitasi
oleh HDC, kedua belah pihak menyetujui kesepakatan yang disebut dengan Joint
Understanding for Humanitarian Pause (Kesepakatan Bersama Jeda Kemanusiaan)
pada Tahun 2000. Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk memungkinkan kedua
belah pihak membahas lebih lanjut berbagai masalah yang terjadi, menghentikan
kekerasan, dan untuk memungkinkan penyaluran bantuan kemanusiaan kepada
para korban konflik di berbagai daerah.
Namun, tujuan-tujuan tersebut tidak mampu sepenuhnya dicapai, yang antara
-
35I S U - I S U K R I T I S DA L A M P E M B A N G U N A N P E R DA M A I A N AC E H
lain terlihat pada intensitas kekerasan yang tetap tinggi, dan kedua pihak tidak
berhasil mencapai kesepakatan-kesepakatan lain yang lebih strategis. Karena itu,
usaha berikutnya dilakukan dalam bentuk The Cessation of Hostilities Agreement
(COHA) pada Desember 2002. Pada masa ini, disepakati juga penentuan zona-zona
aman di beberapa daerah seperti Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Namun,
pihak militer Indonesia kelihatannya tidak puas, dan sebagai akibatnya Pemerintah
Pusat di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, memberlakukan
status Darurat Militer pada Mei 2003 Mei 2004 dan kemudian melakukan operasi
militer besar-besaran.
Status Darurat Militer itu, kemudian dicabut dan diganti dengan status Darurat
Sipil pada Mei 2004, dan seharusnya berakhir pada Mei 2005. Namun keadaan
kemudian berubah drastis, ketika gempa dan tsunami melanda sebagian besar
daratan Aceh pada 26 Desember 2004. Bencana ini menjadi salah satu bencana
dengan korban terbesar di abad modern, karena itu mau tidak mau, Pemerintah
Indonesia harus membuka Aceh bagi dunia internasional untuk melaksanakan
misi-misi kemanusiaan. Status darurat sipil untuk Aceh menjadi tidak lagi berlaku,
dan meskipun disebut-sebut bahwa rancangan untuk mencari solusi damai terus
diupayakan sepanjang tahun 2004, namun tak bisa dipungkiri bahwa bahwa
proses perdamaian yang diakhiri dengan penandatanganan Memorandum of
Understanding (MoU) antara wakil GAM dan wakil Pemerintah Indonesia pada 15
Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, terjadi karena pengaruh bencana tersebut.
Setelah bencana dahsyat itu, memang sepertinya Aceh tak memiliki apapun lagi
untuk diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Karena itu, pilihan paling
tepat adalah menempuh jalan damai untuk membangun kembali berbagai
infrastruktur sosial dan ekonomi yang hancur dan memulihkan trauma para korban
dan keluarga yang ditinggalkan karena gempa dan tsunami besar tersebut, yang
seperti disebutkan di atas, diakhiri dengan penandatanganan MoU Helsinki.
***
Upaya untuk menjaga agar perdamaian tetap bertahan bukanlah sebuah
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I36
upaya yang mudah. Perdamaian sebagai suatu resultan dari sebuah negosiasi yang
sarat dengan berbagai kepentingan, adalah sebuah bangunan yang kompleks,
yang membutuhkan tidak hanya perencanaan dan strategi yang komprehensif
melainkan juga mensyaratkan anggaran yang cukup dengan pendekatan yang
adil, efisien dan efektif, untuk membuat bangunan tersebut dapat terus kokoh
berdiri. Di atas sudah disebutkan dua elemen penting yang mengemuka dalam
konflik internal, yaitu identitas dan distribusi. Dalam konteks Aceh, secara normatif,
identitas ke-Acehan sudah muncul melalui UU No. 44/1999 yang memberi
keistimewaan kepada Aceh, kemudian UU No. 18/2001 berkaitan dengan otonomi
khusus untuk NAD, dan terakhir UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU
PA). UU PA bahkan mengatur lebih banyak, misalnya pemilihan langsung kepala
daerah, yang dapat diikuti oleh calon perorangan, dan pembentukan partai politik
lokal. Hukuman cambuk terhadap beberapa bentuk pelanggaran pidana, semakin
menegaskan keistimewaan Aceh dibanding provinsi lain di Indonesia. Dengan kata
lain, identitas ke-Acehan sudah cukup terakomodasi dalam sejumlah aturan.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa program-program pembangunan pasca-
BRR, yang berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota, belum mampu menyerap tenaga kerja yang dalam jumlah
yang lumayan, sehingga angka kemiskinan pun tak menurun secara signifikan.
Di pihak lain, terjadi berbagai ketidaksiplinan dan kejadian salah urus dalam tata
kelola keuangan daerah, yang mengakibatkan terganggunya program-program
pembangunan. Bahkan beberapa daerah kabupaten/kota, mengalami defisit APBK,
sesuatu yang sulit diterima oleh akal sehat. Besar kemungkinan, suatu saat nanti,
para kepala daerah dan wakil kepala daerah akan menjadi tersangka atau terdakwa
dalam kasus-kasus korupsi. Ketika penegakan hukum dilakukan kepada para elit,
sangat mungkin akan ditarik kepada kepada isu ketidaksenangan Pemerintah
Pusat kepada Aceh, atau disebut sebagai bagian dari skenerio untuk melemahkan
Pemerintah Aceh. Pada akhirnya, muncul mobilisasi benih-benih kebencian dari
masyarakat Aceh kepada Pemerintah Pusat, yang kemudian dapat memicu gerakan
separatisme jilid berikutnya.
Lemahnya kinerja pemerintah di Aceh dapat melahirkan kekecewaan-
-
37
kekecewaan di kalangan masyarakat akar rumput; bahwa kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang dipilih langsung, termasuk dari kalangan mantan GAM,
ternyata tidak mampu mengangkat kesejahteraan ke arah yang lebih diinginkan,
atau bahwa perdamaian ternyata tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Ini
kemudian dapat menimbulkan gerakan kolektif untuk menolak kepala daerah
dipilih secara langsung, atau untuk menolak kepala daerah dari unsur perorangan,
yang niscaya bertentangan dengan semangat MoU Helsinki dan aturan dalam
UU PA. Sekedar untuk menambah informasi, Menteri Dalam Negeri mulai
membicarakan kemungkinan pemilihan gubernur dan wakil gubernur di masa
mendatang dilakukan oleh DPRD, sedangkan yang dipilih langsung hanya kepala
daerah kabupaten/kota. Keinginan tersebut juga berlawanan dengan UU PA,
sehingga berpotensi menimbulkan ketegangan antara Aceh dan Jakarta.
Isu pemekaran Provinsi Aceh menjadi tiga provinsi, dua yang lain adalah Provinsi
Aceh Lauser Antara (ALA) dan Provinsi Aceh Barat-Selatan (ABAS) berkemungkinan
akan menyelinap di balik kondisi di atas. Jika dulu GAM antara lain muncul karena
politik diskriminatif Pemerintah Pusat dalam hal distribusi dana pembangunan,
maka elit dan warga masyarakat di kedua wilayah itu memunculkan isu mengenai
rendahnya alokasi APBA untuk pembangunan wilayah mereka. Akan terjadi
pertemuan kepentingan antara elit politik nasional dengan elit politik lokal
di kedua wilayah tersebut, yang bukan tidak mungkin akan berujung kepada
berdirinya dua provinsi baru itu, yang jelas bertentangan dengan UU PA. Selama
ini terlihat gejala, bahwa militer dan beberapa partai politik besar di Jakarta,
mendukung terbentuknya Provinsi ALA dan Provinsi ABAS. Dengan demikian,
poros konflik yang berpotensi menganggu perdamaian menjadi sangat kompleks,
melibatkan institusi di jajaran Pemerintah Pusat dan elit politik di Jakarta dan
elit politik dan masyarakat di wilayah ALA dan ABAS dengan Pemerintahan Aceh
(Pemda dan DPRA, yang didominasi oleh Partai Aceh) dan masyarakat Aceh yang
kontra dengan rencana pemekaran.
Tantangan lain berkaitan dengan bagaimana keberadaan partai politik lokal dan
hasil pemilu legislatif yang laludi dalam mana Partai Aceh menjadi mayoritas di
beberapa kabupaten/kota di Aceh. Partai Aceh tidak boleh menerima kemenangan
I S U - I S U K R I T I S DA L A M P E M B A N G U N A N P E R DA M A I A N AC E H
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I38
ini dengan sikap gembira semata-mata, melainkan juga menerima kemenangan
sebagai suatu beban, yaitu bagaimana membantu terciptanya pemerintahan yang
adil dan bersih serta legislatif yang responsif kepada kebutuhan rakyat. Jika tidak
demikian, maka partai politik lokal akan tamat riwayatnya, dan berkemungkinan
untuk ditinggalkan oleh konstituennya pada Pemilu 2014. Keadaan ini belum tentu
dapat diterima dengan suka rela oleh para mantan GAM atau Komite Peralihan Aceh
(KPA) yang membentuk Partai Aceh. Itu artinya, terbuka suatu konflik horizontal
baru di Aceh di masa mendatang. Mereka akan mengatakan bahwa rakyat Aceh
melupakan sejarah dan melecehkan MoU Helsinki. Berkenaan dengan partai politik
lokal ini, situasi akan dapat lebih memburuk jika Pemerintah Pusat dan elit politik
di Jakarta, suatu saat nanti, meninjau kembali aturan menyangkut keberadaan
partai politik lokal karena ada semacam kekhawatiran menguatnya lokalisme di
daerah-(daerah) yang diizinkan untuk mendirikan partai politik. Sekali lagi, keadaan
ini dapat menimbulkan perlawanan dari berbagai elemen di Aceh, karena ada
pengingkaran terhadap isi MoU Helsinki.
Kelambanan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan beberapa amanah UU
PA dapat merupakan sebuah ganjalan besar. Dari tiga Perpres yang harus dibuat,
hanya satu yang sudah ditetapkan. Sedangkan dari tujuh Peraturan Pemerintah
yang disebut dalam UU PA, juga hanya satu yang disahkan oleh Jakarta. Masalah
lain adalah berkaitan dengan pembentukan UU Pengadilan HAM di Aceh serta
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dua hal yang dengan jelas disebut dalam
MoU Helsinki dan UU PA. Mengenai Pengadilan HAM di Aceh, disebutkan dalam UU
PA bahwa putusan Pengadilan (nantinya) tersebut memuat antara lain pemberian
kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM. Itu artinya,
Pengadilan HAM bukan semata instrumen untuk menindak pelaku pelanggaran
HAM, melainkan juga untuk memenuhi hak-hak para korban. Sedangkan mengenai
KKR, keadaan jauh lebih rumit. Dalam MoU Helsinki disebutkan, pembentukan KKR
Aceh harus dengan mengacu kepada UU KKR Nasional, tetapi karena ada judicial
review, UU KKR Nasional dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah Pusat saat ini sedang menyusun RUU KKR Nasional, namun RUU tersebut
ternyata tak menampung aspirasi pembentukan KKR Aceh, melainkan hanya
-
39
menyebut bahwa perwakilan KKR akan dibangun di setiap provinsi di Indonesia.
***
Semua hal yang sudah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang sifatnya
komprehensif. Dari segi pendekatan, uraian-uraian lebih merupakan asumsi dengan
mendasarkan pada realitas yang berkembang dewasa ini di Aceh. Tetapi satu hal
sudah jelas, bahwa di antara sekian banyak proses mencapai perdamaian dari
konflik-konflik yang mematikan (deadly conflict) di berbagai belahan dunia, maka
proses untuk mencapai perdamaian dalam konflik Aceh merupakan sebuah contoh
yang sangat berguna baik bagi kepentingan akademik maupun kepentingan
praktis. Secara teoritis, dan dalam setting sosial dan politik, sebenarnya kehidupan
tak pernah dapat bebas dari konflik. Pada tingkat praktis, apa yang terjadi di Aceh
merupakan sebuah sumbangan kemanusiaan yang besar, bahwa pada akhirnya
konflik bukan hanya dapat dikelola, melainkan juga dihilangkan. Tetapi dalam
konteks Aceh pula, penandatanganan naskah perdamaian dapat juga sebenarnya
dipandang sebagai sebuah tindakan mudah, yang sedangkan hal yang terberat
adalah bagaimana mempertahankan perdamaian itu. Dengan kata lain, konflik
yang sudah hilang tersebut, dapat muncul kembali ke permukaan.
Pemaparan di atas lebih mengacu kepada spektrum yang bersifat makro,
atau pada tataran politik yang lebih luas, tanpa bermaksud untuk mengatakan
bahwa hal-hal yang bersifat mikro sudah selesai dalam konteks pembangunan
perdamaian di Aceh. Di samping itu, berbeda dengan provinsi lain, apapun
kebijakan dan peristiwa yang berlangsung di Aceh, berkemungkinan untuk selalu
dihubung-hubungkan dengan masa depan perdamaian, karena itu semua yang
cinta damai, perlu dengan jeli untuk mengantisipasi hal ini, agar tidak menambah
buruk keadaan di masa mendatang. Organisasi masyarakat sipil yang kelihatannya
seperti melihat tidak ada masalah apa-apa dalam pembangunan perdamaian di
Aceh, perlu juga menaruh kepedulian terhadap berbagai kemungkinan yang sudah
diterangkan di atas, untuk membantu Aceh tidak kembali ke masa lalu yang hitam
dan kelam.***
I S U - I S U K R I T I S DA L A M P E M B A N G U N A N P E R DA M A I A N AC E H
-
Damee-damee
Mukhtaruddin YakobKoresponden Liputan 6 SCTV dan Ketua AJI Banda Aceh
Aceh tak seksi lagi! Awalnya ungkapan saya biarkan berlalu begitu saja. Bukan
saja tidak penting, tapi meluncur bukan dari orang penting apalagi berpengaruh.
Tak lama kemudian saya terhenyak juga dengan ungkapan tersebut. Dalam benak
saya sempat berkecamuk antara ungkapan selintas atau ungkapan yang sarat
makna dengan memakai istilah sedikit nakal.
Saya berusaha mencari berbagai kesimpulan terhadap ungkapan itu. Antara
akal sehat dengan daya imajinasi pun saling berkecamuk. Memang tidak terlalu
lama menemukan jawaban tersebut. Ternyata ungkapan tak seksi terkait dengan
makin sulitnya jurnalis menyuplai berita atau laporan peristiwa ke redaksi mereka..
Berita ringan atau soft news tidak menarik bagi majikannya. Apalagi, hard news yang
banyak dipasok dari daerah lain. Sehingga muncul istilah Aceh tak seksi lagi!
Alasan ini diperkuat asumsi para senior di salah satu media. Mereka menganggap
pemberitaan terhadap Aceh sudah habis-habisan atau mencapai klimaks ketika
tsunami dan setahun perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka. Agenda koh beude atau decommismioning dan relokasi TNI/Polri yang
berlangsung hingga akhir 2005 silam merupakan akhir dari proses eksplorasi
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I42
berbagai peristiwa di Aceh. Yang terbaru adalah proses pemilihan kepala daerah
langsung yang dilaksanakan Desember 2006 silam.
Bisa jadi tak seksi adalah asumsi jurnalis Aceh yang gemar dengan berita tam
tum atau berita berbau rusuh.Sungguh disayangkan, jika format berpikir jurnalis
di Aceh terkontaminasi dengan peristiwa kekerasan dan tragedi kemanusiaan.
Kekerasan dan duka lara kerap menjadi berita pilihan dan tak jarang muncul
sebagai headline di media kita. Tak heran jika yang menuding bahwa kantor media
di Indonesia bahkan dunia hanya tergiur dengan darah dan air mata. Tanpa darah
dan air mata, bukan berita! Demikian tudingan yang kerap dialamatkan pada
media sebelum perjanjian Helsinki .
Benar saja, image ini yang menjerumuskan para jurnalis terpatron pada
jurnalisme kekerasan seperti bunyi senjata atau bentrokan.. Petinggi media pun
sumringah ketika ada gambar kerusuhan atau peristiwa berdarah. Konon pula
ada tragedi kemanusiaan yang memancing emosi pembaca atau pemirsa atau
pendengar. Bisa saja para pemilik media berdalih, mereka menerapkan jurnalisme
empati yang untuk menggugah penonton. Yang pasti jurnalis dan media sudah
bersalah mengeksploitasi nasib masyarakat. Nah, format inilah yang tengah
menggelayut para pekerja pers sehingga muncul istilah Aceh tak seksi lagi!
Padahal darah dan air mata pasti melahirkan dendam. Istilah darah air mata
disingkat menjadi dam. Dam dalam terminologi Aceh identik dengan dendam.
Jika dendam dipelihara, bukan tak mungkin Serambi Mekkahtinggal nama. Konon,
unsur dam yang dibesar-besarkan, maka jurnalis pun tidak hanya mem-blow up
dam tapi juga dendam. Artinya, damai menjadi hal sangat sulit digapai. Karena
dam masih belum bisa dikikis malah dipelihara bukan dijadikan pelajaran berharga
untuk memulai kehidupan baru.
Jika fenomena ini dipelihara, jangan salahkanmasyarakat jika jurnalis nantinya
akan menjadi komunitas provokasi karena beritanya. Bahkan, lebih sadis menjadi
provokator akibat laporan kekerasan selalu menjadi sajian infomasi setiap hari.
Lalu, ke manakah nurani yang menjadi pijakan jurnalis melaporkan peristiwa
mendatangkan dampak positif bagi warga Aceh. Jangan sampai jurnalis
melahirkan kelompok jurnalis dendam. Karenadari dam bisa menelurkan damai.
-
43
Artinya, damai tanpa dam bukan lagi suasana yang berlangsung sesaat, tapi
selamanya, selama generasi itu ada.
Damai di sini bukan kepenjangan dari Darah dan Air Mata Anak Isteri atau
Darah dan Air Mata Ibu-Anak. Tapi damai yang sesungguhnya. Juga bukan damee-
damee alias boleh lebih kurang. Bukanlah damee-damee sebagai implementasi
dari pelarian dari proses hukum seperti yang disaksikan di jalan raya atau jual-beli
seperti kasus BLBI yang melibatkan para jaksa agung muda. Kalau damai dijadikan
damee-damee, maka apa pun yang dilakukan menyelamatkan perdamaian bisa
bertahan lama. Muaranya, Aceh terlibat lagi pada konflik yang saya yakini tak akan
reda lagi.
Ikrar Lamteh yang pernah lahir pada 8 April 1957 silam, merupakan agenda
damee-damee. Pemerintah Indonesia ingin meredam pemberontakan Teungku
Muhammad Daud Beureu-eh karena kecewa akibat Aceh dilebur dan digabungkan
ke Sumatera Utara pada 23 Januari 1951 oleh PM Muhammad Natsir. Natsir bahkan
mengumumkan secara langsung peleburan Aceh melalui RRI Banda Aceh. Padahal,
provinsi Aceh baru berusia setahun lebih yang didirikan pada tanggal 17 Desember
1949.
Bagi yang pernah merasakan getirnya kondisi mencekam, pahitnya berada di
bawah bayang ketakutan. Tak ada yang berharap bahwa suasana demikian hadir
lagi dan meramaikan pemberitaan di Aceh. Ingat! Semua sudah lelah dengan
perseteruan dan skenario yang menjijikkan. Tak perlu berharap banyak dari
pemberitaan kekerasan dan bombastis. Karena konflik Aceh sudah tak lagi jadi
komoditi laporan menggiurkan. Bukan hanya untuk luar negeri, dalam negeri pun
sudah tak sudi. Jadi, berhentikan berpikir bahwa berita ada jika kekerasan masih
terjadi.
Begitu lelah, jurnalis berada di bawah tekanan. Bukan saja, oleh ilegal, kelompok
legal pun tak hentinya merongrong media. Sudah banyak korban harga dan jiwa.
Tidak sadarkah kita pada pengorbanan teman-teman jurnalis yan telah mendahului.
Sebut saja Jamaluddin, kamerawan TVRI Banda Aceh yang ditemukan tak bernyawa,
Ersa Siregar yang tertembak dalam kontak senjata. Juga Feri Santoro yang hampir
setahun berada di rimba penculikan GAM. Peristiwa menimpa para jurnalis ketika
DA M E E - DA M E E
-
M E R A N G K A I K ATA DA M A I44
konflik dan pemberlakuan darurat militer adalah kenyataan pahit. Darah dan air
mata anak atau isteri begitu nyata ketika itu. Belum lagi para pekerja kemanusiaan
yang senantiasa terancam jika kekerasan masih saja menjadi brand mark daerah
Serambi Mekkah. Biarlah, Aceh ini menjadi darul salam atau negeri damai daripada
darul harb atau negeri perang.
Begitu panjang episode kekerasan di Aceh. Sejak pemberontakan pertama
meletus Desember 1976 silam, hanya beberapa saat Aceh ini damai. Masa DOM
yang berlangsung pada periode 1989-1998 bukan masa yang indah. Kuburan tanpa
nama bertebaran di mana-mana. Pembantaian nyaris menjadi hal biasa dengan
dalih penyematan negara. Demikian pula pascapencabutan DOM periode 1999-
2005. Ajang pembantaian baru seperti Tragedi KKA dan pembantaan Arakundo
atau kasus Bantaqiah muncul. Maka biarkan damai bersemi untuk selamanya bukan
sejenak seperti yang terjadi pada masa lalu.
Memang enak hidup tak damai, begitu sindiran anak-anak yang sering
terdengar. Bayangkan saja, bagaimana kehidupan malam bisa dinikmati tanpa rasa
aman. Tegasnya, kehidupan malam saat konflik bagai barang langka yang tak bisa
dibeli. Suasana mencekam, saling curiga dan tanpa tenggang rasa adalah bag