kasusku.docx
TRANSCRIPT
Erupsi Akneiformis
Ratih Kusuma DewiStase Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UMS / RS PKU MuhammadiyahSurakarta
PENDAHULUAN
Erupsi akneiformis adalah suatu kelainan kulit yang menyerupai akne,
berupa reaksi peradangan folikular dengan manifestasi klinis papulopustular. Bork
pada tahun 1988 mendefinisikan erupsi akneiformis sebagai suatu reaksi inflamasi
yang bermanifestasi klinis sebagai papula, pustula dan menekankan ketiadaan
komedo sebagai perbedaan yang mendasar antara erupsi akneiformis dengan
akne.1,2
Etiologi penyakit ini masih belum jelas. Semula erupsi akneformis
disangka sebagai salah satu jenis akne, namun kemudian diketahui bahwa
etiopatogenesis dan gejalanya berbeda. Induksi obat yang diberikan secara
sistemik diakui sebagai faktor penyebab yang paling utama. Ada pula yang
mengganggap bahwa erupsi akneformis dapat disebabkan oleh aplikasi topikal
kortikosteroid.1,3
Gambaran klinis berupa papul yang eritematous, pustul, monomorfik atau
oligomorfik, biasanya tanpa komedo, komedo dapat terjadi kemudian setelah
sistem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam, malaise, dan umumnya tidak
terasa gatal. Umur penderita bervariasi, mulai dari remaja sampai orang tua dan
pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pemakaian obat.1,4,7
Pengobatan yang digunakan pada penderita erupsi akneiformis yang utama
adalah menghentikan penggunaan obat-obatan yang dipakai sehingga terjadinya
erupsi akneiformus. Obat topical yang digunakan pada erupsi akneiformis yaitu,
Bahan keratolitik yang dapat mengelupas kulit misalnya sulfur (4-20%), asam
retinoid (0,025-0,1%), benzoil peroksida (2,5-10%), asam azeleat (15-20%), dan
akhir-akhir ini digunakan pula asam alfa-hidroksi (AHA) seperti asam glikolat (3-
8%). Antibiotic tropical dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel,
1
misalnya, eritromisin (1%), klindamisin fosfat (1%). Pengobatan sistemik
ditujukan terutama untuk mengurangi reaksi radang disamping itu dapat juga
menekan produksi sebum, menekan aktivitas jasad renik dan mempengaruhi
keseimbangan hormonal.1,4,6
Pada makalah ini akan dilaporkan satu kasus mengenai erupsi akneiformis.
Pembahasan laporan ini lebih ditekankan pada masalah ketepatan pengobatan.
Kesalahan pengobatan pada kasus ini biasanya dikarenakan oleh ketidak tepatan
diagnosis.
2
KASUS
Perempuan, 18 tahun, pelajar, datang ke poliklinik kulit dan kelamin RS
PKU Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 25 Maret 2015 dengan keluhan
utama timbul jerawat pada dada sejak ±2 minggu yang lalu.
± 2 mingu sebelum periksa ke RS pasien mengaku timbul jerawat di
dada. Jerawat berupa mlentung-mlentung berwana kemerahan dan kecil. Awalnya
jerawat yang muncul hanya sekitar 3-5 saja. Untuk menghilangkan jerawatnya,
pasien membeli obat oles yang dibelikan ibunya (pasien lupa nama obatnya). Tiga
hari setelah pemakaian obat oles tersebut, jerawat pasien menjadi semakin banyak
dan gatal.
± 1 minggu SMRS, jerawat pasien semakin bertambah banyak, besar dan
berisi cairan putih. Pasien mengatakan jerawatnya terasa gatal sehingga pasien
selalu ingin menggaruk jerawatnya. Kemudian pasien berobat ke DKT. Di DKT
pasien mendapatkan obat minum dan salep (pasien lupa nama obatnya). Pasien
sudah dua kali berobat ke DKT namu tidak ada peruhan dan masih terasa gatal.
Oleh karena itu, pasien datang ke poli kulit untuk memeriksakan penyakitnya.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum penderita baik, status gizi kesan
cukup, compos mentis, dan tanda vital dalam batas normal. Status dermatologis
pada regio cervikalis sampai presternalis papul eritem, pustul, batas tegas, dengan
bentuk teratur, dan beberapa tampak hiperpimentasi (Gambar 1).
3
Status Dermatologi
Gambar 1
Tanggal 30 Maret 2015Pada saat kontrol pertama, status dermatologis pada regio cervikalis
sampai presternalis papul eritem berkurang, pustul sudah tidak ditemukan, batas
tegas, dengan bentuk teratur, dan beberapa masih tampak hiperpimentasi (Gambar
2).
Gambar 2
4
Tanggal 6 April 2015Pada saat kontrol pertama, status dermatologis pada regio cervikalis
sampai presternalis papul eritem berkurang, pustul sudah tidak ditemukan, batas
tidak tegas, dengan bentuk tidak teratur, dan semakin banyak yang hiperpimentasi
(Gambar 3).
Gambar 3
Diagnosis banding untuk kasus ini adalah erupsi akneiformis, akne
vulgaris dan dermatitis kontak iritan. Pada kasus ini dapat diusulkan pemeriksaan
mikrobiologi dengan pewarnaan gram yang digunakan untuk membedakan antara
erupsi akneiformis dengan folikulitis dan pemeriksaan histopatologi yang
digunakan untuk membedakan erupsi akneiformis yang disebabkan oleh INH dan
kortikosteroid. Namun pemeriksaan penunjang tidak dilakukan karena
keterbatasan waktu dan masalah administrasi. Dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik diagnosis kerja yang diajukan adalah erupsi akneiformis.
5
PEMBAHASAN
Erupsi akneiformis adalah suatu kelainan kulit yang menyerupai akne,
berupa reaksi peradangan folikular dengan manifestasi klinis papulopustular.
Etiologi penyakit ini masih belum jelas. Semula erupsi akneformis disangka
sebagai salah satu jenis akne, namun kemudian diketahui bahwa etiopatogenesis
dan gejalanya berbeda. Induksi obat yang diberikan secara sistemik diakui sebagai
faktor penyebab yang paling utama seperti yang tercantum dalam tabel di bawah
ini.1,3
Hormon dan Steroid Antibiotik- Gonadotropin- Androgen-steroid anabolic- Steroid topical dan oral
- Tetrasiklin- Cotrimoxazole- Penisilin- Doxicyclin- Kloramfenikol- Ofloxacin
Senyawa Halogen Vitamin- Bromide- Iodide-halotan
- Riboflavin (B2)- Piridoksin (B6)- Sianokobalamin (B12)
Obat Antikonvulsi Obat lain- Fenitoin- Fenobarbital-troxidone
- Litium- Kloral hidrat-Disulfiram- Psorialen dengan ultraviolet AObat Anti Tuberkulosis
- Isoniazid (INH)- Rifampisin
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi akneiformis
adalah:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan jauh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun
ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.
2. Sistem Imunitas
Erupsi akneiformis lebih mudah terjadi pada seseorang yang
mengalami penuruna sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan
obat sulfametoksazole justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi
eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
6
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada
anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena
perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada
orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak
dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya
onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena
reaksi yang berat.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan
memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi,
dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.
Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya
reaksi alergi pada penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat
berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten
dengan human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang
mengalami sindrom hipersensitifitas obat.
6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan.
Walaupun demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang
dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata
tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur,
penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan
perawatannya.
Pada kasus ini faktor yang dapat memperbesar risiko timbulnya erupsi
akneiformis adalah jenis kelamin dan usia.
Gambaran klinis berupa papul yang eritematous, pustul, monomorfik atau
oligomorfik, biasanya tanpa komedo, komedo dapat terjadi kemudian setelah
sistem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam, malese, dan umumnya tidak
7
terasa gatal. Umur penderita bervariasi, mulai dari remaja sampai orang tua dan
pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pemakaian obat.1,4,7
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat
timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat
dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral.
Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan
karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam
metabolisme.1
Tabel 2.1. Reaksi imunologis dan non imunologis
8
Pada kasus ini, dapat di diagnosis sebanyak penyakit erupsi akneiformis.
Diagnosis tersebut didapatkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesa didapatkan pasien mengeluh jerawat di daerah dada sejak ± 2 minggu
SMRS dan jerawat makin bertambah setelah menggunakan obat yang dibeli
sendiri. Pasien juga mengatakan sejak menggunakan obat tersebut, jerawatnya
terasa gatal dan kemerahan yang terkadang timbul cairan putih pada jerawatnya.
Keluhan ini memberi gambaran bahwasanya kemungkinan pasien mengalami
peradangan yang disebabkan oleh obat yang dia beli sendiri. Pada kasus ini,
tempat predileksi erupsi akneiformis di daerah dada meskipun erupsi akneiformis
ini bisa terjadi di tempat lain. Usia pasien ini adalah 18 tahun dimana terjadinya
9
erupsi akneiformis ini adalah pada masa remaja sampai orang tua dimana pada
masa ini terjadi peningkatan pemakaian obat-obat tertentu.
Berdasarkan anamnesa, faktor-faktor yang mendukung timbulnya erupsi
akneiformis ini yaitu :
- Jerawat yang bertambah setelah penggunaan obat yang dibeli sendiri.
Pada pemeriksaan kulit ditemukan papul, pustule dan eritematous pada
sekitar leher yang multiple.
Adapun diagnosis banding pada kasus ini adalah sebagai berikut
1. DKI
DKI, dimana gambaran klinis dari DKI ditentukan oleh proses
terjadinya DKI tetapi secara umum reaksi iritan pada dermatitis iritan yaitu
berupa skuama, eritema, vesikel, pustule dan erosi. Umunya bisa sembuh
sendiri dan menimbulkan penebalan kulit.
2. Akne Vulgaris
Hampir sama dengan erupsi akneiformis dan yang membedakan
hanya pada proses terjadinya penyakit akne vulgaris yang tidak dipegaruhi
oleh obat-obatan tertentu.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membedakan
penyebab tidak ada spesifik tapi hanya digunakan untuk membedakan penyebab
dari erupsi akneiformis yaitu dengan pemeriksaan histopatologi.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu bisa secara topical dan/atau secara
sistemik. Obat-obat topikal yang digunakan diantaranya mediklin (berisi sulfur)
yang berfungsi keratolitik dan memiliki daya antiseptik. Sedangkan obat sistemik
yang digunakan pada kasus ini diantaranya yaitu :
- Doksisiklin : merupakan antibiotik golongan tetrasiklin. Doksisiklin
bekerja secara bakteriostatik dengan mencegah sintesa protein
mikroorganisme. Doksisiklin mempunyai spektrum kerja yang luas
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
- Cetirizine : merupakan antihistamin selektif, antagonis reseptor H1
perifer yang mempunyai efek sedatif yang rendah pada dosis aktif dan
mempunyai sifat tambahan sebagai anti alergi. Cetirizine bekerja
10
menghambat pelepasan histamin pada fase awal dan mengurangi
migrasi sel inflamasi. Pada kasus digunakan antihistamin karena
pasien mengeluh adanya gatal yang hebat.
Prognosis pada pasien ini adalah baik asalkan pasien menghentikan
pengobatan yang membuat jerawat pasien menjadi seperti ini.
RINGKASAN
Dilaporkan sebuah kasus dengan Erupsi Akneiformis pada seorang
perempuan, 18 tahun berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan
diagnosis kerja erupsi akneiformis yang disebabkan oleh penggunaan
kortikosteroid topikal. Pada pasien ini diberikan terapi oral doksisiklin tablet
2x100mg, cetirizine 1x1 dan diberikan terapi topikal racikan acne feldin lotion
dan mediklin lotion 2 kali sehari di tempat erupsi. Setelah pengobatan tersebut
terdapat perubahan berupa eritem, papul dan gatal berkurang berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wasitaatmadja S. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea, Rinofema, dalam Adhi Djuanda, Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke 5. Balai Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008.
2. Lobo A, Mathai R, Jacob M. Pathogenesis of Drug Induced Acneform Eruptions. Indian Journal Dermatology Venereol Leprol. 1992.
3. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology 3rd Edition.Blackwell Science Ltd. Oxfold 2003.
11
4. Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM. Textbook of Dermatology. Volume II. 6th Edition. Blackwell Science Ltd. London. 1998.
5. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions. Types and Treatment Options. In : American Family Physician. Volume 68. 2003. www.aafp.org/afp
6. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In : Hong Kong Practitioner. Volume xv. Cardiff. Department of Dermatology University of Wales College of Medicine, 1993. http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
7. Lawrence CP, Brenner S, Ramos-e-Silva M, Parish JL. Atlas of Women's Dermatology : From Infancy to Maturity. London, Taylor & Francis, 2006.
8. James WD. Acne. The New England Journal of Medicine. 2005. www.insp.mx/biblio/alerta/al0805/24.pdf
12