kasus7

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes (Price, SA, 2006). Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati. Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL, atau 2 jam setelah makan ≥ 200

Upload: anggita-silk-carolina

Post on 25-Jul-2015

85 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: kasus7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan

klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi

karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes

melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik

dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis

hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan

klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa

ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap

berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes (Price, SA, 2006).

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai

dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi

insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan

komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati. Kriteria

diagnosis diabetes melitus adalah kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL, atau 2

jam setelah makan ≥ 200 mg/dL atau HbA1c ≥ 8%. Jika kadar glukosa 2 jam

setelah makan > 140 mg/dL tetapi < 200 mg/dL dinyatakan glukosa toleransi

lemah (Sukandar dkk, 2009).

1.1.1. Patofisiologi

a. DM tipe 1 (IDDM) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara

umum, DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa

dewasan yang disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas akibat

autoimun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Reaksi autoimun

umumnya terjadi setelah waktu yang panjang (9-13 tahun) yang

ditandai oleh adanya parameter-parameter sitem imun ketika terjadi

kerusakan sel β. Hiperglikemia terjadi apabila 80%-90% dari sel β

rusak. Penyakit DM dapat menjadi penyakit menahun dengan resiko

Page 2: kasus7

komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

autoimun tidak diketahui, tapi proses itu diperantarai oleh makrofag dan

limfosit T dengan autoantibodi yang bersirkulasi ke berbagai antigen sel

β (misalnya antibodi sel islet, antibodi insulin).

b. DM tipe 2 (NIDDM) terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan

biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif.

Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi

asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan

penurunan pengambilan glukosa pada otot seklet. Disfungsi sel β

mengakibatkan gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2

lebih disebabkan karena gaya hidup penderita diabetes (kelebihan

kalori, kurangnya olahraga dan obesitas) dibandingkan dengan

pengaruh genetik.

c. Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2%) dari semua kasus

diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali, sindrom

Cushing), diabetes melitus gestational (DMG), penyakit pankreas

eksokrin (pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid, pentamidin,

niasin dan α-interferon).

d. Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa terjadi pada

pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal tetapi

tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor resiko

untuk berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang

berhubungan dengan sindrom resistensi insulin.

e. Kompliasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati sedangkan

komplikasi makrovaskular berupa jantung koroner, stroke, dan penyakit

vaskular periferal.

(Sukandar dkk, 2009)

1.1.2. Etiologi

Ada bukrti yang menunjukan bahwa etiologi diabetes melitus

bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda

akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan

Page 3: kasus7

genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita

diabetes melitus (Price, SA, 2006).

a. Penyebab diabetes tipe I: ledakan sekresi insulin pada keadaan normal

terjadi setelah menelan makanan sebagai respons terhadap peningkatan

sekilas kadar glukosa dan asam amino bersirkulasi. Pada periode pasca-

absorbsi, kadar insulin basal rendah yang bersikulasi dipelihara melalui

sekresi sel-β. Walaupun begitu, diabetes tipe I sebenarnya tidak

mempunyai fungsi sel-β, dan juga tidak berespons terhadap variasi

bahan bakar yang bersikulasi maupun memelihara kadar sekresi basal

insulin. Perkembangan neuropati, nefropati, dan retinopati yang

progresif secara langsung berkaitan dengan besarnya kontol glikemik

(paling sering diukur sebagai kadar hemoglobian A1C dalam darah).

b. Penyebab diabetes tipe II: pada NIDDM pankreas masih mempunyai

beberapa fungsi sel-β, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi yang

tidak cukup untuk memelihara homeostatis glukosa. Pasien dengan

diabetes tipe II seringkali gemuk. Diabetes tipe II sering dihubungkan

dengan resistensi organ target yang membatasi respon insulin endogen

dan eksogen. Pada beberapa kasus, resistensi insulin disebabkan oleh

penurunan jumlah atau mutasi reseptor insulin. Walaupun demikian,

cacat yang tidak terbatas pada peristiwa yang terjadi setelah insulin

terikat pada reseptor, dipercaya menyebabkan resisten pada kebanyakan

penderita.

(Mycek, MJ, 2001)

1.1.3. Gejala dan tanda penyakit

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada

beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan

diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain

poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia

(banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan

penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan

Page 4: kasus7

pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat

mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.

a. Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,

polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah

(fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).

b. Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada.

DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru

dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang

dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih

mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin

buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas,

dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)

1.2. Terapi Penyakit

1.2.1. Farmakologi

a. Terapi insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1.

Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita

rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai

penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin

eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam

tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita

DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%

ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

b. Terapi obat hipoglikemik oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk

membantupenanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik

oral yang tepatsangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.

Page 5: kasus7

Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien,

farmakoterapi hipoglikemik oral dapat

dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua

jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang

digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes

(tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum

termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)

c. Golongan Sulfonilurea

Sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin pada pankreas

sehingga hanya efektif bila sel β pankreas masih dapat berproduksi

d. Golongan Biguanida

Biguanida bekerja menghambat glukoneogenesis dan

meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.

e. Golongan Tiazolidindion

Tiazolidindion meningkatkan sensitivitas insulin pada otonom dan

jaringan adiposa dan menghambat glukoneogenesis hepatik.

f. Golongan Penghambat α glukosidase

Penghambat α glukosidase bekerja menghambat α glukosidase

sehingga mencegah penguraian sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam

usus halus dengan demikian memperlambat dan menghambat penyerapan

karbohidrat.

(Yulinah, 2008)

1.2.2. Non farmakologi

a. Rencana dietb. Latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik

(Price, SA, 2006)

Page 6: kasus7

BAB II

URAIAN KASUS DAN PENYELESAIAN KASUS

2.1 Uraian Kasus

John, pria berusia 66 tahun, TB 175 cm, BB 90 kg, seorang pengusaha yang

mulain pensiun datang ke klinik kesehatan untuk menjalani tes kesehatan

rutin yang pertama kalinya. Ia diketahui tidak memiliki sejarah penyakit,

tidak sedang mengkonsumsi obat secara rutin, dan tidak merokok. Ia

memiliki 2 saudara yang menderita diabetes melitus tipe 2, dan salah satunya

pernah mengalami serangan infrak miokard akut. Hasil pemeriksaan

menunjukkan tekanan darah John normal, dan hasil urinalisis normal, glukosa

plasma puasa sebesar 8,5 mmol/L, HbA1C 9,0%, profil lipid dan fungsi ginjal

normal. John didiagnosa diabetes melitus tipe 2.

2.2 Penyelesaian Kasus

Metode SOAP

a. Subject :

Nama : John

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 66 tahun

Tinggi Badan : 175 cm

Berat Badan : 90 kg

b. Object :

Vital sign : tekanan darah normal

Data laboratorium :

No.

Data Laboratorium

Hasil Pemerikasaan

Hasil Normal Keterangan

1.Glukosa

plasma puasa8,5 mmol/L

3.8–5.5 mmol/L

Tidak Normal

2. HbA1C 9,0% 4,5-6,2% Tidak Normal3. Urinalisis Normal 4. Profil lipid Normal5. Fungsi ginjal Normal

(Turner, Robert, 2004)

Page 7: kasus7

c. Assesment :

Pasien mengalami diabetes miletus tipe 2.

d. Planning :

Pemberiaan obat golongan biguanid yaitu metformin.

2.3 Pemilihan Terapi dan Alasannya

2.3.1 Farmakologi

a. Obat Terpilih dan Golongan

Metformin : Biguanida

b. Mekanisme Aksi

Metformin : Bekerja menghambat glukoneogenesi dan meningkatkan

penggunaan glukosa jaringan (Sukandar dkk, 2009)

c. Dosis, Frekuensi, dan Durasi

Metformin : Ketika sarapan (Katzung, 2011)

d. Cara Pemberian

Metformin : Oral (tablet)

e. Alasan Penggunaan Obat

Metformin : Metformin merupakan obat hipoglikemik yang biasa

digunakan untuk terapi tunggal pertama. Metformin

tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga

biasa digunakan khususnya pada pasien dengan obesitas

(Price, SA, 2006)

Risiko hipoglikemia lebih kecil daripada obat-obat

sulfonilurea (Mycek, MJ, 2001)

2.3.2 Non Farmakologi

a. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang

dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi

baik sebagai berikut:

1) Karbohidrat : 60-70%

Page 8: kasus7

2) Protein : 10-15%

3) Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai

dan mempertahankan berat badan ideal.

Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per

hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang

mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam

lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan,

ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak

mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita

diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.

b. Olahraga

Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan

secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga

yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical,

Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai

zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan

dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olahraga

yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan

lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total

30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan

diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak

jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga

meningkatkan penggunaan glukosa.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)

Page 9: kasus7

2.4 Evaluasi Obat Terpilih

2.4.1 Kontraindikasi

Metformin : Dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit ginjal,

alkoholisme, penyakit hati, atau kondisi-kondisi yang

menjadi faktor predisposis timbulnya anoreksia jaringan

(misalnya, disfungsi kardiopulmonal kronik) karena adanya

peningkatan risiko terjadinya asidosis laktat yang diinduksi

obat golongan biguanid dengan keberadaan penyakit-

penyakit tersebut (Katzung, 2011)

2.4.2 Efek Samping

Metformin : Laktat asidosis disebabkan oleh penghambatan terhadap

penguraian asam laktat di hati → penumpukan, yang

dipengaruhi oleh situasi metabolisme yang berkaitan,

misalnya hipoksia jaringan (Schmitz, 2009).

2.4.3 Interaksi Obat

Metformin : Dengan obat penurun glukosa lainnya dapat meningkatkan

resiko hipoglikemia. Dengan alkohol akan meningkatkan

resiko latic asidosis dan hipoglikemia (Sweetman, Sean

C,2009)

2.4.4 Analisis Biaya

Metformin : Rp 23.100 10 tablet @500 mg (Biro Perlengkapan Sekda

Provinsi Kaltim, 2012)

2.5 Monitoring dan Tindak Lanjut

a. Laporkan gejala asidosis laktat misalnya kejang atau nyeri otot,

hiperventilasi, kelelahan yang tidak wajar dan kelemahan, dsb

b. Monitoring pada kadar glukosa puasa agar tetap dipertahankan normal

(3,8-5,5 mmo/L), kemudian HbA1C agar tetap berada pada range

normalnya didalam darah (4,5-6,2 %), dan juga dengan kontrol BB agar

BB pasien ideal dan tidak obesitas.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)

Page 10: kasus7

c. Perhatikan pencapaian efek terapi. Bial efek terapi tidak tercapai perlunya

ditingkatkan dosis Metformin atau kombinasi obat (Katzung, 2011).

2.6 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada Pasien

a. Minumlah bersama makanan untuk menghindari gangguan pada perut

(gastrointestinal upset). mungkin mengalami diare ringan dan kembung

(bloatedness), apabila diminum bersamaan dengan sulfonilurea atau

insulin.

b. Penderita perlu diingatkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia.

c. Jelaskan bahwa gangguan ginjal dapat mengarah pada asidosis laktat dan

mintalah untuk memantau fungsi ginjal dan hati secara teratur.

d. Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk menekankan konsep,

meningkatkan dan menjaga motivasi , dan berupaya agar pasien dapat

mengurus dirinya dan peduli terhadap kesehatannya.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)

e.

Page 11: kasus7

BAB III

PEMBAHASAN

Penanganan terapi bagi pasien schiophrenia di masa lalu memiliki maksud

utama untuk menurunkan gejala positif yang berhubungan dengan agresivitas dan

kebiasaan hidup. Namun, kini maksud pengobatan semakin meluas, tidak hanya

mengobati gejala positif, tetapi juga gejala negatif, depresi, dan anxiety. Tujuan

pengobatan tidak hanya menurunkan gejala simpatomologi dan psikis, tetapi juga

meningkatkan fungsi dan hubungan sosialnya (Burns, 2008).

Ada beberapa teori yang menerangkan terjadinya schizophrenia. Dua

diantaranya adalah pertama, akibat ketidakstabilan kadar dopamin di otak. Teori

ini disusun pada akhir tahun 1950, ketika seseorang mengalami kenaikan kadar

dopamin di otaknya, maka dia akan menunjukkan kenaikan gejala psikis

(halusinasi, delusi, atau gangguan pikiran). Kemudian dengan pemberiaan obat

penghambat reseptor dopamin, terjadi penurunan gejala-gejala psikis tersebut.

Sedangkan ketika aktivitas dopamin menurun di bagian prefrontal lobe, maka

akan muncul gejala-gejala ‘negatif’. Teori kedua adalah schizophrenia disebabkan

ketidakstabilan kadar serotonin di dalam otak. Karena ikatan reseptor serotonin

menjadi penting untuk menimbulkan aksi obat (Burns, 2008).

Pasien dengan tingkah laku ingin melakukan pembunuhan terhadap ibunya

sendiri dengan alasan diperintah oleh setan didiagnosa mengalami halusinasi.

Gejala ini termasuk gejala positif dalam kasus schizophrenia. Pasien hanya

menunjukkan gejala positif dan tidak menampakkan gejala negatif maupun gejala

kognitif karena masih dapat diajak bicara.

Halusinasi merupakan gejala yang dapat hadir jika bagian auditory system

dan atau occipital lobe otak terganggu. Gangguan pada auditory system akan

menyebabkan seseorang merasakan “panggilan” dari luar yang terasa nyata.

Sedangkan gangguan pada occipital lobe akan menyebabkan seseorang terkadang

mengalami halusinasi berupa “penglihatan” dan akan lebih sering mengalami

Page 12: kasus7

kesulitan untuk mengintrepertasikan gambar yang kompleks, melihat perubahan

gerakan, dan membaca emosi dari wajah orang lain.

Pasien belum pernah mendapatkan penanganan psikis maupun

farmakoterapi. Dengan demikian, pasien lebih baik diberi obat antipsikotik

generasi kedua (second-generation antipsychotic/SGA). Dibandingkan sesama

obat SGA, obat risperidon memiliki efek terapi yang lebih baik dengan efek

samping rendah dan harga lebih murah. Walaupun sebenarnya, obat aripiprazol

dan ziprasidon memiliki efek terapi yang paling baik, namun harganya lebih

mahal dan tidak tersedia di Indonesia. Oleh karena itu, obat risperidon menjadi

obat terpilih.

Obat risperidon memiliki ikatan afinitas yang kuat dengan reseptor

serotonin (5-HT2A) dan dopamin (D2), serta dengan reseptor 1 dan 2 dan mampu

memblok dengan sangat kecil atas reseptor kolinergik (Burns, 2008).

Terapi farmakologi awal bagi pasien schizophrenia diawali dengan satu obat

dari golongan SGA (second-generation antipshychotic). Ketika tidak

menunjukkan respon, maka pengobatan diteruskan dengan mengganti obat

risperidon menjadi obat lain dengan obat lain dari golongan SGA (Dipiro, 2008).

Selama terapi dengan obat risperidon, kondisi pasien harus tetap

diperhatikan terutama kondisi vital sign (tekanan darah) dan keseimbangan larutan

elektrolit tubuh. Karena obat risperidon dapat menyebabkan hipotensi dan

mengganggu keseimbangan cairan elektrolit tubuh. Oleh karena itu, hari pertama

penggunaan obat risperidon diberikan 2 mg sekali sehari untuk penyesuaian tubuh

terhadap obat risperidon. Kemudian dosis obat ditingkatkan menjadi 2 mg dua

kali sehari karena pada dosis tersebut, obat risperidon menunjukkan efek

terapeutik yang optimal (Martindale, edisi 36).

Pendukung terapi farmakologi bagi pasien schizophrenia adalah terapi non-

farmakologi berupa pemberiaan perhatian dan kasih sayang bagi pasien. Karena

rasa perhatian dan kasih sayang mampu menunjukkan efek yang optimal bagi

kesembuhan pasien, bahkan terkadang lebih efektif dibandingkan dengan terapi

farmakologi.

Page 13: kasus7

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

a. (Lisa) diberikan terapi farmakologi berupa risperidon (second-gereration

antipspycotic).

b. Pasien melakukan terapi non farmakologi berupa pemberiaan perhatian

dan kasih sayang.

Page 14: kasus7

DAFTAR PUSTAKA

Biro Perlengkapan Sekertaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Penetapan Standarisasi Harga dan Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemenrintah Daerah. Diambil dari //http: www.bappedakaltim.com

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Direktorat Jenderal, Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Direktorat Jenderal, Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Katzung. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta.

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Schimitz,Gery. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. EGC. Jakarta.

Sukandar, Elim Yulinah, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan.

Jakarta

Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Six

Edition. Pharmaceutical Press. London.

Turner, Robert, dkk. 2003. Clinical Skill. Blackwell Science. USA.