kasus7
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes
melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik
dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis
hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan
klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa
ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap
berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes (Price, SA, 2006).
Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi
insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan
komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati. Kriteria
diagnosis diabetes melitus adalah kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL, atau 2
jam setelah makan ≥ 200 mg/dL atau HbA1c ≥ 8%. Jika kadar glukosa 2 jam
setelah makan > 140 mg/dL tetapi < 200 mg/dL dinyatakan glukosa toleransi
lemah (Sukandar dkk, 2009).
1.1.1. Patofisiologi
a. DM tipe 1 (IDDM) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara
umum, DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa
dewasan yang disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas akibat
autoimun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Reaksi autoimun
umumnya terjadi setelah waktu yang panjang (9-13 tahun) yang
ditandai oleh adanya parameter-parameter sitem imun ketika terjadi
kerusakan sel β. Hiperglikemia terjadi apabila 80%-90% dari sel β
rusak. Penyakit DM dapat menjadi penyakit menahun dengan resiko
komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
autoimun tidak diketahui, tapi proses itu diperantarai oleh makrofag dan
limfosit T dengan autoantibodi yang bersirkulasi ke berbagai antigen sel
β (misalnya antibodi sel islet, antibodi insulin).
b. DM tipe 2 (NIDDM) terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan
biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif.
Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi
asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan
penurunan pengambilan glukosa pada otot seklet. Disfungsi sel β
mengakibatkan gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2
lebih disebabkan karena gaya hidup penderita diabetes (kelebihan
kalori, kurangnya olahraga dan obesitas) dibandingkan dengan
pengaruh genetik.
c. Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2%) dari semua kasus
diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali, sindrom
Cushing), diabetes melitus gestational (DMG), penyakit pankreas
eksokrin (pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid, pentamidin,
niasin dan α-interferon).
d. Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa terjadi pada
pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal tetapi
tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor resiko
untuk berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang
berhubungan dengan sindrom resistensi insulin.
e. Kompliasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati sedangkan
komplikasi makrovaskular berupa jantung koroner, stroke, dan penyakit
vaskular periferal.
(Sukandar dkk, 2009)
1.1.2. Etiologi
Ada bukrti yang menunjukan bahwa etiologi diabetes melitus
bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda
akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan
genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita
diabetes melitus (Price, SA, 2006).
a. Penyebab diabetes tipe I: ledakan sekresi insulin pada keadaan normal
terjadi setelah menelan makanan sebagai respons terhadap peningkatan
sekilas kadar glukosa dan asam amino bersirkulasi. Pada periode pasca-
absorbsi, kadar insulin basal rendah yang bersikulasi dipelihara melalui
sekresi sel-β. Walaupun begitu, diabetes tipe I sebenarnya tidak
mempunyai fungsi sel-β, dan juga tidak berespons terhadap variasi
bahan bakar yang bersikulasi maupun memelihara kadar sekresi basal
insulin. Perkembangan neuropati, nefropati, dan retinopati yang
progresif secara langsung berkaitan dengan besarnya kontol glikemik
(paling sering diukur sebagai kadar hemoglobian A1C dalam darah).
b. Penyebab diabetes tipe II: pada NIDDM pankreas masih mempunyai
beberapa fungsi sel-β, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi yang
tidak cukup untuk memelihara homeostatis glukosa. Pasien dengan
diabetes tipe II seringkali gemuk. Diabetes tipe II sering dihubungkan
dengan resistensi organ target yang membatasi respon insulin endogen
dan eksogen. Pada beberapa kasus, resistensi insulin disebabkan oleh
penurunan jumlah atau mutasi reseptor insulin. Walaupun demikian,
cacat yang tidak terbatas pada peristiwa yang terjadi setelah insulin
terikat pada reseptor, dipercaya menyebabkan resisten pada kebanyakan
penderita.
(Mycek, MJ, 2001)
1.1.3. Gejala dan tanda penyakit
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada
beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan
diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain
poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia
(banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan
penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan
pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat
mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
a. Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah
(fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
b. Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada.
DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru
dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang
dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih
mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin
buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas,
dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)
1.2. Terapi Penyakit
1.2.1. Farmakologi
a. Terapi insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1.
Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita
rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai
penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin
eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita
DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%
ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
b. Terapi obat hipoglikemik oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk
membantupenanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik
oral yang tepatsangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.
Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien,
farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua
jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang
digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes
(tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum
termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)
c. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin pada pankreas
sehingga hanya efektif bila sel β pankreas masih dapat berproduksi
d. Golongan Biguanida
Biguanida bekerja menghambat glukoneogenesis dan
meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.
e. Golongan Tiazolidindion
Tiazolidindion meningkatkan sensitivitas insulin pada otonom dan
jaringan adiposa dan menghambat glukoneogenesis hepatik.
f. Golongan Penghambat α glukosidase
Penghambat α glukosidase bekerja menghambat α glukosidase
sehingga mencegah penguraian sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam
usus halus dengan demikian memperlambat dan menghambat penyerapan
karbohidrat.
(Yulinah, 2008)
1.2.2. Non farmakologi
a. Rencana dietb. Latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik
(Price, SA, 2006)
BAB II
URAIAN KASUS DAN PENYELESAIAN KASUS
2.1 Uraian Kasus
John, pria berusia 66 tahun, TB 175 cm, BB 90 kg, seorang pengusaha yang
mulain pensiun datang ke klinik kesehatan untuk menjalani tes kesehatan
rutin yang pertama kalinya. Ia diketahui tidak memiliki sejarah penyakit,
tidak sedang mengkonsumsi obat secara rutin, dan tidak merokok. Ia
memiliki 2 saudara yang menderita diabetes melitus tipe 2, dan salah satunya
pernah mengalami serangan infrak miokard akut. Hasil pemeriksaan
menunjukkan tekanan darah John normal, dan hasil urinalisis normal, glukosa
plasma puasa sebesar 8,5 mmol/L, HbA1C 9,0%, profil lipid dan fungsi ginjal
normal. John didiagnosa diabetes melitus tipe 2.
2.2 Penyelesaian Kasus
Metode SOAP
a. Subject :
Nama : John
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 66 tahun
Tinggi Badan : 175 cm
Berat Badan : 90 kg
b. Object :
Vital sign : tekanan darah normal
Data laboratorium :
No.
Data Laboratorium
Hasil Pemerikasaan
Hasil Normal Keterangan
1.Glukosa
plasma puasa8,5 mmol/L
3.8–5.5 mmol/L
Tidak Normal
2. HbA1C 9,0% 4,5-6,2% Tidak Normal3. Urinalisis Normal 4. Profil lipid Normal5. Fungsi ginjal Normal
(Turner, Robert, 2004)
c. Assesment :
Pasien mengalami diabetes miletus tipe 2.
d. Planning :
Pemberiaan obat golongan biguanid yaitu metformin.
2.3 Pemilihan Terapi dan Alasannya
2.3.1 Farmakologi
a. Obat Terpilih dan Golongan
Metformin : Biguanida
b. Mekanisme Aksi
Metformin : Bekerja menghambat glukoneogenesi dan meningkatkan
penggunaan glukosa jaringan (Sukandar dkk, 2009)
c. Dosis, Frekuensi, dan Durasi
Metformin : Ketika sarapan (Katzung, 2011)
d. Cara Pemberian
Metformin : Oral (tablet)
e. Alasan Penggunaan Obat
Metformin : Metformin merupakan obat hipoglikemik yang biasa
digunakan untuk terapi tunggal pertama. Metformin
tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga
biasa digunakan khususnya pada pasien dengan obesitas
(Price, SA, 2006)
Risiko hipoglikemia lebih kecil daripada obat-obat
sulfonilurea (Mycek, MJ, 2001)
2.3.2 Non Farmakologi
a. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
baik sebagai berikut:
1) Karbohidrat : 60-70%
2) Protein : 10-15%
3) Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai
dan mempertahankan berat badan ideal.
Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per
hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang
mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam
lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan,
ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak
mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita
diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.
b. Olahraga
Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga
yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai
zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olahraga
yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan
lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total
30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan
diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak
jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)
2.4 Evaluasi Obat Terpilih
2.4.1 Kontraindikasi
Metformin : Dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit ginjal,
alkoholisme, penyakit hati, atau kondisi-kondisi yang
menjadi faktor predisposis timbulnya anoreksia jaringan
(misalnya, disfungsi kardiopulmonal kronik) karena adanya
peningkatan risiko terjadinya asidosis laktat yang diinduksi
obat golongan biguanid dengan keberadaan penyakit-
penyakit tersebut (Katzung, 2011)
2.4.2 Efek Samping
Metformin : Laktat asidosis disebabkan oleh penghambatan terhadap
penguraian asam laktat di hati → penumpukan, yang
dipengaruhi oleh situasi metabolisme yang berkaitan,
misalnya hipoksia jaringan (Schmitz, 2009).
2.4.3 Interaksi Obat
Metformin : Dengan obat penurun glukosa lainnya dapat meningkatkan
resiko hipoglikemia. Dengan alkohol akan meningkatkan
resiko latic asidosis dan hipoglikemia (Sweetman, Sean
C,2009)
2.4.4 Analisis Biaya
Metformin : Rp 23.100 10 tablet @500 mg (Biro Perlengkapan Sekda
Provinsi Kaltim, 2012)
2.5 Monitoring dan Tindak Lanjut
a. Laporkan gejala asidosis laktat misalnya kejang atau nyeri otot,
hiperventilasi, kelelahan yang tidak wajar dan kelemahan, dsb
b. Monitoring pada kadar glukosa puasa agar tetap dipertahankan normal
(3,8-5,5 mmo/L), kemudian HbA1C agar tetap berada pada range
normalnya didalam darah (4,5-6,2 %), dan juga dengan kontrol BB agar
BB pasien ideal dan tidak obesitas.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)
c. Perhatikan pencapaian efek terapi. Bial efek terapi tidak tercapai perlunya
ditingkatkan dosis Metformin atau kombinasi obat (Katzung, 2011).
2.6 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada Pasien
a. Minumlah bersama makanan untuk menghindari gangguan pada perut
(gastrointestinal upset). mungkin mengalami diare ringan dan kembung
(bloatedness), apabila diminum bersamaan dengan sulfonilurea atau
insulin.
b. Penderita perlu diingatkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia.
c. Jelaskan bahwa gangguan ginjal dapat mengarah pada asidosis laktat dan
mintalah untuk memantau fungsi ginjal dan hati secara teratur.
d. Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk menekankan konsep,
meningkatkan dan menjaga motivasi , dan berupaya agar pasien dapat
mengurus dirinya dan peduli terhadap kesehatannya.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2005)
e.
BAB III
PEMBAHASAN
Penanganan terapi bagi pasien schiophrenia di masa lalu memiliki maksud
utama untuk menurunkan gejala positif yang berhubungan dengan agresivitas dan
kebiasaan hidup. Namun, kini maksud pengobatan semakin meluas, tidak hanya
mengobati gejala positif, tetapi juga gejala negatif, depresi, dan anxiety. Tujuan
pengobatan tidak hanya menurunkan gejala simpatomologi dan psikis, tetapi juga
meningkatkan fungsi dan hubungan sosialnya (Burns, 2008).
Ada beberapa teori yang menerangkan terjadinya schizophrenia. Dua
diantaranya adalah pertama, akibat ketidakstabilan kadar dopamin di otak. Teori
ini disusun pada akhir tahun 1950, ketika seseorang mengalami kenaikan kadar
dopamin di otaknya, maka dia akan menunjukkan kenaikan gejala psikis
(halusinasi, delusi, atau gangguan pikiran). Kemudian dengan pemberiaan obat
penghambat reseptor dopamin, terjadi penurunan gejala-gejala psikis tersebut.
Sedangkan ketika aktivitas dopamin menurun di bagian prefrontal lobe, maka
akan muncul gejala-gejala ‘negatif’. Teori kedua adalah schizophrenia disebabkan
ketidakstabilan kadar serotonin di dalam otak. Karena ikatan reseptor serotonin
menjadi penting untuk menimbulkan aksi obat (Burns, 2008).
Pasien dengan tingkah laku ingin melakukan pembunuhan terhadap ibunya
sendiri dengan alasan diperintah oleh setan didiagnosa mengalami halusinasi.
Gejala ini termasuk gejala positif dalam kasus schizophrenia. Pasien hanya
menunjukkan gejala positif dan tidak menampakkan gejala negatif maupun gejala
kognitif karena masih dapat diajak bicara.
Halusinasi merupakan gejala yang dapat hadir jika bagian auditory system
dan atau occipital lobe otak terganggu. Gangguan pada auditory system akan
menyebabkan seseorang merasakan “panggilan” dari luar yang terasa nyata.
Sedangkan gangguan pada occipital lobe akan menyebabkan seseorang terkadang
mengalami halusinasi berupa “penglihatan” dan akan lebih sering mengalami
kesulitan untuk mengintrepertasikan gambar yang kompleks, melihat perubahan
gerakan, dan membaca emosi dari wajah orang lain.
Pasien belum pernah mendapatkan penanganan psikis maupun
farmakoterapi. Dengan demikian, pasien lebih baik diberi obat antipsikotik
generasi kedua (second-generation antipsychotic/SGA). Dibandingkan sesama
obat SGA, obat risperidon memiliki efek terapi yang lebih baik dengan efek
samping rendah dan harga lebih murah. Walaupun sebenarnya, obat aripiprazol
dan ziprasidon memiliki efek terapi yang paling baik, namun harganya lebih
mahal dan tidak tersedia di Indonesia. Oleh karena itu, obat risperidon menjadi
obat terpilih.
Obat risperidon memiliki ikatan afinitas yang kuat dengan reseptor
serotonin (5-HT2A) dan dopamin (D2), serta dengan reseptor 1 dan 2 dan mampu
memblok dengan sangat kecil atas reseptor kolinergik (Burns, 2008).
Terapi farmakologi awal bagi pasien schizophrenia diawali dengan satu obat
dari golongan SGA (second-generation antipshychotic). Ketika tidak
menunjukkan respon, maka pengobatan diteruskan dengan mengganti obat
risperidon menjadi obat lain dengan obat lain dari golongan SGA (Dipiro, 2008).
Selama terapi dengan obat risperidon, kondisi pasien harus tetap
diperhatikan terutama kondisi vital sign (tekanan darah) dan keseimbangan larutan
elektrolit tubuh. Karena obat risperidon dapat menyebabkan hipotensi dan
mengganggu keseimbangan cairan elektrolit tubuh. Oleh karena itu, hari pertama
penggunaan obat risperidon diberikan 2 mg sekali sehari untuk penyesuaian tubuh
terhadap obat risperidon. Kemudian dosis obat ditingkatkan menjadi 2 mg dua
kali sehari karena pada dosis tersebut, obat risperidon menunjukkan efek
terapeutik yang optimal (Martindale, edisi 36).
Pendukung terapi farmakologi bagi pasien schizophrenia adalah terapi non-
farmakologi berupa pemberiaan perhatian dan kasih sayang bagi pasien. Karena
rasa perhatian dan kasih sayang mampu menunjukkan efek yang optimal bagi
kesembuhan pasien, bahkan terkadang lebih efektif dibandingkan dengan terapi
farmakologi.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
a. (Lisa) diberikan terapi farmakologi berupa risperidon (second-gereration
antipspycotic).
b. Pasien melakukan terapi non farmakologi berupa pemberiaan perhatian
dan kasih sayang.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Perlengkapan Sekertaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Penetapan Standarisasi Harga dan Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemenrintah Daerah. Diambil dari //http: www.bappedakaltim.com
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Direktorat Jenderal, Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Direktorat Jenderal, Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Katzung. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Schimitz,Gery. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. EGC. Jakarta.
Sukandar, Elim Yulinah, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan.
Jakarta
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Six
Edition. Pharmaceutical Press. London.
Turner, Robert, dkk. 2003. Clinical Skill. Blackwell Science. USA.