kasus meningitis.pdf

16
Serial Kasus Meningitis Kriptokokus   ILUSTRASI KASUS Kasus 1 Tn. SS laki-laki 48 tahun, aktivitas sebagai mahasiswa S2, datang ke RSCM dibawa oleh keluarga karena mengamuk dan bicara meracau sejak dua belas jam smrs. Lima hari smrs pasien mengeluh sakit kepala sangat berat pada seluruh kepala. Pasien berobat dan diberikan obat sakit kepala. Sakit mereda bila minum obat dan tidak lama kemudian timbul lagi. Mual (+) muntah (-) demam (-) penurunan berat badan dan nafsu makan (+). Riwayat penyalah gunaan obat disangkal, promiskuitas disangkal. Pasien pernah mendapatkan transfusi sebanyak dua kali sepuluh tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik saat masuk didapatkan tingkat kesadaran agitasi dengan tanda vital tekanan darah 150/90 mmHg, frekuensi nadi 96 kali per menit, frekuensi napas 22 kali per menit, dan suhu afebris. Pada kulit ditemui lesi hiperpigmentasi berbagai ukuran dari sebesar kancing hingga koin, berbatas tegas, yang tersebar di seluruh tubuh. Pada pemeriksaan status neurologis, GCS E4M5V4, tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal. Nervus kranial dan ekstremitas tidak terkesan paresis. Pemeriksaan darah didapatkan Hb 9.2 g/dL, Ht 27%, leukosit 2500/uL, trombosit 125000, ureum 38 mg/dL, kreatinin 1.2 mg/dL, SGOT 24 U/L, SGPT 29 U/L, albumin 2.4 g/dL, glukosa darah sewaktu 122 mg/dL, LED 40 mm/jam, hitung jenis basofil/eosinofil/neutrofil/limfosit/monosit 0/1/72/19.7/7.2 natrium darah 121 meq/L, kalium darah 3,7 meq/L, klor darah 77 meq/L, CD4 absolut 69/uL, anti HIV penyaring (+), Ro thorax tidak ditemukan kelainan, CT scan kepala dengan kontras tidak ditemukan kelainan. Funduskopi ODS papil batas tegas, cupping (+), a:v 2:3; warna jingga, eksudat (-), perdarahan (-). Analisa cairan otak warna jernih, bekuan (-), sel PMN 6/uL, limfosit 2/uL, nonne (+) pandi (-), protein 80 mg/dL, glukosa cairan otak 39 mg/dL (47% glukosa serum), pemeriksaan tinta india 1 / 16

Upload: yulinda-de-ce

Post on 08-Feb-2016

59 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kasus meningitiss

TRANSCRIPT

Page 1: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

 

 

ILUSTRASI KASUS

Kasus 1

Tn. SS laki-laki 48 tahun, aktivitas sebagai mahasiswa S2, datang ke RSCM dibawa olehkeluarga karena mengamuk dan bicara meracau sejak dua belas jam smrs. Lima hari smrspasien mengeluh sakit kepala sangat berat pada seluruh kepala. Pasien berobat dan diberikanobat sakit kepala. Sakit mereda bila minum obat dan tidak lama kemudian timbul lagi. Mual (+)muntah (-) demam (-) penurunan berat badan dan nafsu makan (+). Riwayat penyalah gunaanobat disangkal, promiskuitas disangkal. Pasien pernah mendapatkan transfusi sebanyak duakali sepuluh tahun yang lalu.

Pada pemeriksaan fisik saat masuk didapatkan tingkat kesadaran agitasi dengan tanda vitaltekanan darah 150/90 mmHg, frekuensi nadi 96 kali per menit, frekuensi napas 22 kali permenit, dan suhu afebris. Pada kulit ditemui lesi hiperpigmentasi berbagai ukuran dari sebesarkancing hingga koin, berbatas tegas, yang tersebar di seluruh tubuh. Pada pemeriksaan statusneurologis, GCS E4M5V4, tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal. Nervus kranialdan ekstremitas tidak terkesan paresis.

Pemeriksaan darah didapatkan Hb 9.2 g/dL, Ht 27%, leukosit 2500/uL, trombosit 125000,ureum 38 mg/dL, kreatinin 1.2 mg/dL, SGOT 24 U/L, SGPT 29 U/L, albumin 2.4 g/dL, glukosadarah sewaktu 122 mg/dL, LED 40 mm/jam, hitung jenisbasofil/eosinofil/neutrofil/limfosit/monosit 0/1/72/19.7/7.2 natrium darah 121 meq/L, kaliumdarah 3,7 meq/L, klor darah 77 meq/L, CD4 absolut 69/uL, anti HIV penyaring (+), Ro thoraxtidak ditemukan kelainan, CT scan kepala dengan kontras tidak ditemukan kelainan.Funduskopi ODS papil batas tegas, cupping (+), a:v 2:3; warna jingga, eksudat (-), perdarahan(-). Analisa cairan otak warna jernih, bekuan (-), sel PMN 6/uL, limfosit 2/uL, nonne (+) pandi (-),protein 80 mg/dL, glukosa cairan otak 39 mg/dL (47% glukosa serum), pemeriksaan tinta india

1 / 16

Page 2: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

(++).

Pasien mendapatkan terapi kombinasi amfoterisin B 0.7 mg/kgBB/hari dan flukonazol 4x200mgselama 22 hari. Kemudian dilakukan lumbal punksi pada hari ke-23 dengan tekanan bukaan 10cmH2O. Analisa hasil cairan serebrospinal warna jernih, bekuan (-), sel PMN 2/uL, limfosit17/uL, nonne (+) pandi (+), protein 130 mg/dL, glukosa cairan otak 17 mg/dL (22% glukosaserum), pemeriksaan tinta india (+). Terapi kombinasi dilanjutkan selama 2 pekan kemudiandilakukan lumbal punksi dengan tekanan bukaan 15 cmH2O. Hasil tinta india (+). Selanjutnyaterapi kombinasi dihentikan dan diganti dengan flukonazol 4x200mg.

Kasus 2

Tn. FS laki-laki 29 tahun, datang dengan keluhan sakit kepala 3 bulan, terasa berdenyut yangmemberat pada kepala sebelah kiri. Mual (-) muntah (+) pandangan dobel bila melihat ke kiri (+)dan mulut mencong ke sebelah kanan sejak 3 bulan. Demam (+) penurunan berat badan dannafsu makan (+). Riwayat promiskuitas (+) penyalahgunaan obat disangkal.

Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dengan tekanan darah 118/60 mmHg,rekuensi nadi 101 kpm, frekuensi napas 28 kpm, dan suhu tubuh 37.8oC. GCS E4M6V5 kakukuduk (-) parese nervus VI sin dan VII sin LMN.

Pemeriksaan darah didapatkan Hb 9.4 g/dL, Ht 28%, leukosit 3900/uL, trombosit 99000, LED100 mm/jam, hitung jenis basofil/eosinofil/batang/segmen/limfosit/monosit 0/1/0/80/14/5, ureum38 mg/dL, kreatinin 1.0 mg/dL, glukosa darah sewaktu 93 mg/dL, SGOT 35 U/L, SGPT 21 U/L,natrium darah 142 meq/L, kalium darah 3.8 meq/L, klor darah 116 meq/L, CD4 absolut 29/uL,anti HIV (+; ELISA; rapid 1 dan 2), HbsAg (-), anti HCV (-), albumin 2.7 g/dL, PCR TB daridarah (-), feses bakteri (++), Ro thorax kesan bronkopneumonia kanan, CT scan kepala dengankontras lesi noduler kecil-kecil yang terlihat samar setelah pemberian kontras di parietalbilateral, dan lesi hipodens di frontal kanan. Funduskopi ODS papil batas tegas, cupping (+),a:v 2:3; warna jingga, eksudat (-), perdarahan (-) pemeriksaan tinta india (++).

Pasien mendapatkan terapi amfoterisin B selama 3 hari dan flukonazol 2x150mg sebelummasuk RSCM. Dua pekan pertama di RSCM pasien diterapi dengan kombinasi amfoterisin B0.7 mg/kgBB/hari dan flukonazol 2x150mg. Kemudian dilakukan pemeriksaan lumbal punksi

2 / 16

Page 3: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

pada hari ke-14 dengan hasil tekanan bukaan >27 cmH2O, analisa cairan otak warna jernih,bekuan (-), sel PMN 6/uL, limfosit 2/uL, nonne (+) pandi (-), protein 80 mg/dL, glukosa cairanotak 39 mg/dL (47% glukosa serum), pemeriksaan tinta india (++). Terapi kombinasi kemudianditeruskan selama sepekan dan lumbal punksi dilakukan pada hari ke-21. Tekanan bukaan 25cmH2O dan hasil analisa cairan serebrospinal warna jernih, bekuan (-), sel PMN 1/uL, limfosit9/uL, nonne (-) pandi (+), protein 190 mg/dL, glukosa cairan otak 49 mg/dL (49% glukosaserum), pemeriksaan tinta india (+), kultur tidak tumbuh jamur. Terapi kombinasi dilanjutkanhingga hari ke-28 dan pasien kembali dilakukan kembali lumbal punksi dengan tekanan bukaan<10 cmH2O. Hasil analisa cairan serebrospinal warna jernih, bekuan (-), sel PMN 1/uL, limfosit5/uL, nonne (+) pandi (+), protein 400 mg/dL, glukosa cairan otak 44 mg/dL (44% glukosaserum), pemeriksaan tinta india (+). Selanjutnya terapi kombinasi diganti dengan flukonazol2x200mg.

Kasus 3

Tn R, laki-laki 33 tahun, datang ke RSCM dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 7 jamsmrs. Dua hari smrs pasien merasa sakit kepala yang sangat berat, muntah (-) demam (+).Pasien juga dikeluhkan kejang sejak dua hari sebanyak 2-3 kali sehari dengan durasi kuranglebih lima menit. Selama kejang seluruh tubuh kelojotan, mata mendelik keatas, dan mulutberbusa, serta pasien tidak sadar. Pasien dalam pengobatan TBC paru bulan kedua.

Pemeriksaan fisik kesadaran sopor dan tampak sakit berat. Tekanan darah 110/70 mmHg,frekuensi nadi 72 kpm, frekuensi napas 26 kpm, suhu 38.1oC. Oral thrush (+), GCS E1M4V2,kaku kuduk (+), nervus kranial dan ekstremitas kesan tidak ada paresis. Reflek babinski (+)pada kedua tungkai.

Pemeriksaan darah didapatkan Hb 9.1 g/dL, Ht 26%, leukosit 4200/uL, trombosit 147000,hitung jenis basofil/eosinofil/batang/segmen/limfosit/monosit 0/1/1/88/10/0, ureum 25 mg/dL,kreatinin 0.9 mg/dL, glukosa darah sewaktu 122 mg/dL, SGOT 19 U/L, SGPT 11 U/L, natriumdarah 139 meq/L, kalium darah 2.6 meq/L, klor darah 101 meq/L, pH 7.50 pCO2 32 mmHg pO287 mmHg sat O2 97.6% HCO3 25.6 mmol/L, anti HIV penyaring (+), Ro thorax tidak ditemukankelainan, CT scan kepala dengan kontras tidak tampak lesi patologis pada kedua hemisferserebri. Funduskopi ODS papil batas tegas, cupping (+), a:v 2:3; warna jingga, eksudat (-),perdarahan (-). Analisa cairan serebrospinal  warna jernih, bekuan (-), sel PMN 1/uL, limfosit2/uL, nonne (-) pandi (-), protein 0 mg/dL, glukosa cairan otak 35 mg/dL (41% glukosa serum)pemeriksaan tinta india (++).

3 / 16

Page 4: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

Pasien tidak mendapat terapi meningitis kriptokokus karena ketiadaan dana, dan meninggalpada hari perawatan pertama.

Kasus 4

Tn.YAA laki-laki 30 tahun datang dengan sakit kepala yang memberat sejak seminggu smrs.Sakit kepala dirasakan sejak 5 bulan smrs, sakit dirasakan pada puncak kepala. Awalnyamereda dengan minum obat dan masih dapat melakukan aktivitas. Mual (+) bila sakit kepalakambuh. Seminggu smrs sakit kepala dirasakan memberat seperti diris-iris pada puncakkepala, pandangan buram (+) dan menjadi dobel tiga hari kemudian, terutama bilamenggunakan mata kanan. Nafsu makan dan berat badan menurun (+). Pasien sudahdidiagnosis HIV sejak 5 bulan smrs dan rutin mengkonsumsi anti retrovirus. Dua bulan smrspasien pernah masuk IGD RSCM dengan keluhan sakit kepala, saat itu dikatakan sudahdilakukan lumbal punksi dan hasil tinta indianya (-). Pasien pulang atas keinginan sendirikarena tidak mendapat ruangan.

Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 100/70 mmHg,frekuensi nadi 96 kpm, frekuensi nafas 18 kpm, dan suhu 37oC. Terdapat tatto pada lenganatas kiri. GCS E4M6V5 kaku kuduk (+) lesi nervus II OD, paresis nervus III OD parsial.

Pemeriksaan laboratorium darah Hb 11.2 g/dL, Ht 34.1%, leukosit 8600/uL, trombosit 198000,LED 44 mm/jam, hitung jenis basofil/eosinofil/neutrofil/limfosit/monosit 0/0/89/5/6, ureum 21mg/dL, kreatinin 0.7 mg/dL, glukosa darah sewaktu 150 mg/dL, SGOT 15 U/L, SGPT 32 U/L,natrium darah 137 meq/L, kalium darah 3.79 meq/L, klor darah 105 meq/L, CD4 absolut 37/uL,anti HIV (+; rapid 1 dan 2), HbsAg (-), anti HCV (+), Ro thorax kesan tidak tampak kelainan, CTscan kepala dengan kontras tidak tampak lesi patologis pada kedua hemisfer serebri. Funduskopi ODS papil batas kabur, cupping (-), a:v 1:3; warna hiperemis, eksudat (+) OD, perdarahan(-). Dilakukan lumbal punksi hasil analisa cairan serebrospinal warna jernih, bekuan (-), selPMN 1/uL, limfosit 3/uL, nonne (-) pandi (-), protein 75 mg/dL, glukosa cairan otak 41 mg/dL(30% glukosa serum), pemeriksaan tinta india (+), tekanan bukaan tidak diukur.

Pasien mendapatkan terapi kombinasi amfoterisin B 0.7 mg/kgBB/hari dan flukonazol 2x400mg.Pasien meninggal setelah mengalami kejang-kejang berulang di hari pertama pemberianamfoterisin B.

4 / 16

Page 5: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

 

PATOFISIOLOGI

Infeksi kriptokokus kemungkinan pertama kali didapat dari inhalasi sel ragi kecil ataubasidiospora. Infeksi primer pada paru biasanya asimtomatik dan sudah dihancurkan atauberada dalam granulomata. Kriptokokus neoformans memiliki beberapa faktor virulensi yangmembuatnya dapat bertahan dan memperbanyak diri pada sel individu yang terinfeksi, terlebihlagi bila imunitas spesifik sel T mengalami defisiensi, diantaranya: kemampuannya untuktumbuh pada suhu 37oC, kapsulnya yang bersifat antifagosit dan dapat menghentikan responimun seluler maupun humoral ketika berada di jaringan inang, dan laccase dan melanin yang mengganggu kematian oksidatif oleh fagosit. Produksi melanin dari L-dopa olehenzim laccasedapat menjadikan predileksinya di sistem saraf pusat. C.neoformans merupakan patogen yangbersifat intra dan ekstra sel, dan dapat hidup serta memperbanyak diri dalam makrofagfagolisosom yang bersifat asam. Dalam proses replikasi intraselnya, kapsul polisakaridaterakumulasi dalam vesikel, menyebabkan peningkatan permeabilitas membran fagolisosomdan sitotoksisitas. Pasien HIV tidak memiliki granulomata, sehingga lebih memudahkannyauntuk mencapai parenkim otak selain menyebabkan infeksi meningen dan lebih cenderungberada di ekstra dibanding intra sel. Temuan ini mendukung peranan penurunan imunitas sel,terutama fungsi makrofag dan mikroglia yang berubah, dalam menentukan patologimeningoensefalitis kriptokokus pada pasien AIDS.

 

GEJALA DAN TANDA KLINIS

Kriptokokus neofomans dapat menginfeksi berbagai organ tubuh, tapi tempat predileksiutamanya adalah paru-paru dan sistem saraf pusat. Kedua paru merupakan tempat palingsering awal masuknya jamur ini dan gejalanya sangat bervariasi dari asimtomatik sampaidengan pneumonia berat.

5 / 16

Page 6: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

Peradangan selaput otak merupakan manifestasi paling sering dari kriptokokosis. Peradanganini juga selalu disertai dengan peradangan parenkim otak sehingga, istilah meningoensefalitislebih tepat digunakan. Pasien dengan kelainan ini biasanya datang dengan keluhan sakitkepala (73-81%), demam (62-88%), lesu (38-76%), perubahan perilaku dalam beberapa pekanterakhir (18-28%), mual dan muntah (8-42%), dan fotofobia (19%). Tanda-tanda dari kelainanini tidak ada yang khas, namun biasanya ditemukan kaku kuduk (22-44%), papiledem (10%),paresis nervus kranial (6%), dan defisit neurologi fokal lainnya, serta penurunan kesadaran.Komplikasi yang banyak terjadi adalah gangguan penglihatan (30%) dan pendengaran,terutama pada kondisi tekanan intra kranial meningkat tanpa disertai pembesaran ventrikel.Sedangkan yang jarang terjadi diantaranya, gangguan kognitif dan gait ataxia pada kondisihidrosefalus obstruktif dengan pembesaran ventrikel. Perubahan perilaku yang terjadi dapatberupa tampak kebingungan, gaduh gelisah, mudah marah, agitasi, perubahan kepribadian,dan psikosis. Tidak ditemukannya kaku kuduk dapat merupakan suatu tanda respon inflamasiyang buruk. Bila ditemukan kehilangan penglihatan yang bilateral maka dapat dicurigai terjadiarachnoiditis setinggi nervus optikus atau invasi jamur ke nervus optikus.

Pada pasien HIV, kriptokokosis biasanya terjadi bila jumlah CD4 hitung kurang dari 100 sel permikro liter. Selain itu dapat juga terjadi kekambuhan dan kriptokokosis di luar sistem saraf pusatbila obat anti jamur dihentikan sebelum pemberian anti retrovirus yang efektif. Gejala yangditemukan pada pasien HIV biasanya juga lebih akut dan berhubungan dengan titer serumantigen kriptokokus yang tinggi dan buruknya respon inflamasi dari cairan serebrospinal(leukosit kurang dari 20 per mikro liter).

 

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan roentgen thorax pada pasien HIV dapat ditemukan perselubungan padainterstitial, sedangkan CT-scan dapat normal atau penyangatan yang minimal pada selaputotak.

Pemeriksaan cairan otak dengan tinta india telah mempermudah penegakan diagnosiskriptokokosis pada pasien-pasien HIV (70-90%). Pleositosis monosit (>20 sel per mikro liter)pada 13-31% tapi dapat juga terjadi penurunan monosit (<10 sel per mikro liter) dalam suatupenelitian. Protein biasanya meningkat lebih dari 45 mg/dL (33-66%) dan glukosa dapat jugamenurun kurang dari 60% glukosa darah (17-65%). Pada pengukuran tekanan inisial

6 / 16

Page 7: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

didapatkan peningkatan lebih dari 20 cmH2O di lebih dari 66% kasus.

Pemeriksaan antibodi terhadap C.neoformans tidak berguna untuk penegakan diagnosis. Akantetapi, deteksi polisakarida antigen kriptokokus pada cairan tubuh dengan menggunakan rapid dansimple latex agglutination test atauenzyme immunoassay memiliki sensitivitas lebih dari 90%, dan pada titer >1:4 sangat spesifik. Pada pasien HIV yangasimtomatis, diagnosis dan tatalaksana dapat ditegakan bila terdapat antigenemia di serum.

Kultur untuk membiakan jamur ini digunakan agar dekstrosa sabouraud. Koloni biasanyatumbuh setelah dua sampai tiga hari. Kultur dari sampel cairan otak biasanya tumbuh hinggamendekati 100% sedangkan darah 66-80%.

 

TATALAKSANA

Meningitis kriptokokus yang tidak terobati biasanya mematikan, meski ada yang bertahanselama beberapa pekan pada pasien-pasien HIV. Amfoterisin B, poliene yang pertama kalidikenalkan pada tahun 1950an, adalah obat fungisida yang terikat pada ergosterol darimembran plasma jamur kemudian meningkatkan permeabilitas membran terhadap proton dankation monovalen seperti kalium. Selain itu, obat ini juga dapat meningkatkan poduksi radikalbebas terhadap sel jamur. Dosis yang dianjurkan untuk penggunaannya dalam terapi meningitiskriptokokus adalah 0,7 mg/kgBB/hari selama dua minggu. Efek samping dari obat ini adalahnefrotoksisitas dan dapat dikurangi dengan loading cairan atau saline (satu liter per hari kecualiada kontraindikasi).

Anti jamur selanjutnya yang direkomendasikan adalah fluositosin (5-fluorositosin/5FC) awalnyadigunakan sebagai anti kanker pada tahun 1970an. Dalam sel kriptokokus obat ini diubah olehenzim sitosin deaminase (enzim yang ada pada jamur dan bakteri) menjadi 5-fluorouracil (5FU),suatu analog pirimidin sehingga mencegah pembentukan asam nukleat. Efek samping utamadari obat ini adalah depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal.

7 / 16

Page 8: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

Obat terakhir yang banyak digunakan adalah flukonazol, suatu golongan azol yang mencegahpembentukan egosterol, memiliki daya absorbsi dan penetrasi cairan otak yang sangat baik danjuga aman. Flukonazol dimetabolisme oleh sistem sitokrom P-450, dan penggunaannyabersama obat lain yang menggunakan sistem sama perlu diperhatikan.

Akibat efek samping nefrotoksisitas dari amfoterisin B, ketidak tersediaan secara luas darifluositosin, dan lambatnya respon terapi flukonazol, maka dibuatlah suatu panduan terapimeningitis kriptokokus yang mengkombinasikan ketiga obat tersebut (tabel 1). Terapi terusdilanjutkan sampai 6-18 bulan setelah target status imun yang diharapkan tercapai (CD4>100-200 sel/mikro liter) dengan terapi anti retroviral.

 

Tabel 1. Anjuran terapi meningitis kriptokokus pada pasien HIV

 

Obat pilihan

Keterangan

Dua minggu pertama

Amfoterisin B 0,7-1 mg/kgBB/hari + fluositosin 100 mg/kgBB/hari

8 / 16

Page 9: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

Bila intoleran pada fluositosin atau tidak tersedia, pertimbangkan amfoterisin B 1 mg/kgBB/hari

Bila intoleran terhadap amfoterisin B ganti langsung dengan flukonazol

Bila tidak ada fasilitas terapi iv pertimbangkan flukonazol 800 mg/hari untuk dua minggu pertama

Delapan minggu berikutnya

Flukonazol 400 mg/hari

Selanjutnya hingga status imun mencapai target

Flukonazol 200 mg/hari

 

Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Peningkatan tekanan inisial pada lumbal punksi (>25 cmH2O) terjadi secara signifikan padalebih dari 50% pasien dengan meningitis kriptokokus disertai HIV. Kondisi ini dapat terjadi padaawal terapi atau terus berkembang selama terapi, dan berhubungan dengan sakit kepala yangmemburuk, perubahan status mental, hilangnya penglihatan dan pendengaran, serta mortalitasyang meningkat. Mekanisme peningkatan TIK pada kondisi ini diduga karena hambatan alirancairan serebrospinal oleh hifa dan polisakarida yang menyumbat villi arachniod. Bila terjadipeningkatan TIK maka perlu dilakukan lumbal punksi serial untuk mengeluarkan sejumlah besar

9 / 16

Page 10: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

cairan serebrospinal hingga didapatkan tekanan kurang dari 20 cmH2O atau setidaknya 50%dari tekanan awal. Bila terdapat fasilitas yang mendukung, maka pemasangan drainase lumbaltemporer lebih dianjurkan karena lebih aman untuk mengeluarkan cairan serebrospinal hinggallebih dari 200ml sehari. Terapi dengan penggunaan manitol dan asetazolamid terbukti tidakefektif. Pemberian steroid, dalam suatu studi retrospektif, juga terbukti tidak bermanfaat dantidak rasional. Bahkan keberadaan sitokin pro inflamasi dalam cairan serebrospinal, yang dapatterganggu karena pemberian steroid, berhubungan dengan survival dan kecepatan sterilisasiotak dari infeksi.

Anti Retro Viral dan Pencegahan

Pemberian obat-obatan anti retrovirus menurut banyak ahli sebaiknya ditunda hinggasetidaknya sebulan setelah diagnosis dan terapi ditegakkan. Hal ini dikuatkan oleh sebuahpenelitian kohort di Perancis terhadap penderita HIV dengan meningitis kriptokokus yangmemunculkan 8% immune reconstitution sundrome setelah 8 bulan diagnosis dan terapiditegakkan, serta berhubungan dengan mortalitas sebesar 25%. Resiko terjadinya sindrom initinggi pada mereka yang baru saja terdiagnosis HIV, CD4 yang lebih rendah dan fungaemiapada saat datang, dan pada pasien yang sedang terapi ARV selama 2 bulan sebelum diagnosisditegakkan.

Pencegahan primer pada pasien HIV dengan CD4 yang rendah menggunakan flukonazoldalam suatu studi acak tersamar ganda terbukti mengurangi angka kejadian meningitiskriptokokus secara dramatis. Akan tetapi hal ini juga perlu diperhatikan mengingat adanyakemungkinan resistensi azol pada kandidiasis. Namun dengan sudah lebih mudahnya aksesuntk mendapatkan ARV, maka pencegahan meningitis kriptokokus akan lebih baik denganmenggunakan ARV.

 

PROGNOSIS

Pada pasien HIV, beberapa diantara prediktor prognosis yang buruk adalah, status mentalabnomal, jumlah organisme yang tinggi setelah diukur dengan kultur cairan otak atau titer

10 / 16

Page 11: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

antigen dari cairan otak yang tinggi (>1:1024). Sedangkan keluaran yang buruk ditentukan daritekanan inisial cairan otak yang meningkat dan rendahnya leukosit dari cairan serebrospinal,dan hiponatremia.

 

DISKUSI

Seluruh pasien pada ilustrasi kasus datang dengan keluhan sakit kepala yang berat. Mual danmuntah dikeluhkan pada tiga dari empat pasien. Demam terdapat pada separuh pasien. Kejangterdapat pada dua pasien, sedangkan gangguan perilaku dialami pada satu pasien. Gangguandefisit neurologi fokal hanya terjadi pada satu pasien dengan keluhan penglihatan dobelterutama bila melihat sisi kiri. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwasakit kepala terjadi pada 73-81%, mual dan muntah terjadi pada 8-42%, demam 62-88% kasus.Penurunan berat badan dan nafsu makan terjadi pada tiga pasien dapat diakibatkan oleh sakitkepala kronis yang diderita pasien sehingga mengganggu berbagai aktivitas dasar pasiendiantaranya makan. Faktor resiko penularan HIV terdapat pada dua pasien, masing-masingpenyalahgunaan obat intra vena dan perilaku seks bebas.

Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan peningkatan frekuensi pernapasan pada 3 pasien,sedangkan dua pasien mengalami gangguan kesadaran. Hal ini terjadi sebagai respon pasienterhadap peningkatan tekanan intra kranial yang terus meningkat. Pada pemeriksaan statusneurologi kaku kuduk ditemukan pada dua pasien. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yangmenyebutkan bahwa kaku kuduk hanya ditemukan pada 22-44% kasus diakibatkan status imunyang sudah menurun sehingga kaku kuduk tidak selalu ditemukan pada kondisi ini. Paresisnervus kranial ditemukan pada dua pasien, berupa paresis nervus III parsial OD, nervus VI OS,dan nervus VII kiri perifer. Kelainan ini mungkin disebabkan peradangan di daerah meningenbasal. Sedangkan satu pasien diketahui mengalami lesi nervus II OD. Hal ini dapat disebabkanarachnoiditis setinggi nervus optikus atau invasi jamur ke nervus optikus. Hal ini dikuatkandengan gambaran papil edem pada kedua mata pasien tersebut. Sedangkan pada pasienlainnya tidak didapatkan gambaran papil edem. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yangmenyebutkan bahwa hanya 10% pasien yang mengalami papil edem.

Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan penurunan status imun yang ditandai denganturunnya jumlah leukosit dan limfosit pada keempat pasien. Fungsi ginjal dan hepar masihterjaga. Pemeriksaan HIV reaktif pada tiga pasien dengan CD4 absolut kurang dari 100,

11 / 16

Page 12: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

sedangkan satu pasien meninggal sebelum diketahui hasilnya. Namun CD4 hitungnyadiperkirakan sekitar 140. Pemeriksaan anti HCV didapatkan hasil positif pada pasien denganriwayat penyalah gunaan obat intra vena. Pemeriksaan tinta india memberikan hasil yang positifpada seluruh pasien. Cairan otak yang dianalisa hanya terdapat pada 3 pasien sedangkan satupasien tidak ditemukan data awal sebelum diberikan terapi. Analisa cairan serebro spinalmemberikan gambaran yang jernih dan tanpa bekuan pada seluruh pasien. Jumlah selmeningkat hanya pada satu pasien dengan penurunan jumlah limfosit. Peningkatan proteindidapatkan pada tiga pasien dan glukosa menurun pada seluruh pasien. Gambaran ini sesuaidengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa cairan otak pada meningitis kriptokokusmemberikan gambaran yang jernih. Sedangkan jumlah sel umumnya tidak meningkatdiakibatkan respon imun sistemik yang menurun pada pasien HIV. Kadar protein di otak jugameningkat pada 33-66% kasus, hal ini mungkin disebabkan degradasi patogen oleh sistemimun. Glukosa turun terjadi pada 17-65% kasus sebagai akibat penggunaannya oleh jamuruntuk metabolisme. Tekanan bukaan tidak didapatkan data pada semua pasien disebabkantidak tersedianya fasilitas manometer di instalasi gawat darurat. Namun pada perawatandidapatkan tekanan bukaan lebih dari 20 cmH2O pada setiap pasien yang dilakukukan lumbalpunksi untuk tujuan terapi dan evaluasi terapi. Penunjang radiologi berupa roentgen thoraxhanya menemukan kelainan pada satu pasien berupa bronkopneumonia dan lesi lesi noduler kecil-kecil yang terlihat samar setelah pemberian kontras di CT scan kepala pasienyang sama. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan secara umum pemeriksaanradiologi pada pasien meningitis kriptokokus dengan HIV adalah normal.

Pasien pertama mendapatkan terapi sesuai anjuran terkini yaitu amfoterisin B 0.7 mg/kgBB/harikombinasi dengan flukonazol 800 mg/hari. Namun setelah terapi selama 23 hari ternyata hasilpulasan tinta indianya masih positif mengandung jamur dan kombinasi terapi dilanjutkan hinggaminggu kelima. Kemudian meski pemeriksaan tinta india masih tetap positif terapi amfoterisindihentikan dan dilanjutkan dengan flukonazol 800mg. Hal ini dilakukan untuk menghindari efektoksisitasnya terhadap ginjal. Selain itu setelah pemberian terapi kombinasi tampaknya klinispasien juga sudah lebih baik dinilai dari tekanan bukan lumbal punksi yang berada di bawah 20cmH2O.

Pada pasien kedua terapi kombinasi yang diberikan tidak sesuai dengan anjuran dalam halpemberian flukonazol yaitu 2x150mg. Dan mungkin hal inilah yang menyebabkan klinis pasienmasih belum memperlihatkan perbaikan dinilai dari tekanan bukaan lumbal punksi yang masihberada di atas 20 cmH20 hingga hari ke-28. jamur yang tidak tumbuh ketika dikultur mungkindapat diakibatkan oleh karena jumlah sampel yang kurang mencukuoi, atau media dan suasanayang digunakan tidak layak untuk pertumbuhan jamur.

Pasien ketiga datang sudah dalam kondisi penurunan kesadaran yang disertai kejang berulang.Status imun pada pasien ini dinilai dari jumlah CD4 hitungnya sekitar 140. Dalam kepustakaan,

12 / 16

Page 13: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

prognosis yang buruk dapat terjadi diantaranya pada kondisi penurunan kesadaran dan statusimun yang buruk. Selain itu keterlambatan terapi akibat keterlambatan diagnosis juga menjadihal yang memperberat kondisi pasien.

Pasien keempat sudah mendapatkan terapi kombinasi sesuai anjuran. Akan tetapi pasienmeninggal setelah mengalami sakit kepala yang terus memberat dan kejang berulang. Statusimun pasien ini juga cukup rendah dengan CD4 absolut 37/uL. Kedua hal ini, yakni penurunankesadaran pasca kejang dan status imun yang rendah dapat menjadi penentu prognosis yangburuk pada pasien ini hingga berakhir pada kematian.

 

SIMPULAN

Meningitis kriptokokus merupakan salah satu kelainan neurologis yang cukup banyak seringterjadi pada pasien dengan infeksi HIV-AIDS. Pengenalan gejala dan tanda yang lebih baikpada kelainan neurologis pasien diharapkan dapat membantu penegakan diagnosis disampingpemeriksaan pulasan tinta india untuk memastikan diagnosis. Mahalnya biaya dan ketersediaanobat anti jamur untuk kriptokokosis menjadikannya suatu kendala yang dapat meghambatupaya penatalaksanaan pasien. Akan tetapi dengan sudah lebih mudahnya akses terhadapobat anti retrovirus, diharapkan insidensi kelainan ini dapat terus ditekan. Disamping itu upayapenegakan diagnosis lebih dini sebelum terjadinya dampak klinis yang lebih buruk melaluiberbagai penelitian perlu terus dilanjutkan agar penanganan pasien dapat lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

 

Casadevall A, Steenbergen JN, Nosanchuk JD (2003). ‘Ready made’ virulence and ‘dualuse’ virulence factors in pathogenic environmental fungi—the Cryptococcus neoformans

13 / 16

Page 14: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

paradigm. Curr Opin Microbiol, 6, 332–337.

Levitz SM, Nong S, Seetoo K, Harrison TS, Speizer R, Simons E (1999) Cryptococcusneoformans residesin an acidic phagolysosome of human macrophages. Infect Immun, 67, 885–890.

Lee SC, Dickson DW, Casadevall A (1996). Pathology of cryptococcal meningoencephalitis:analysis of 27 patients with pathogenetic implications. Hum Pathol, 27, 839–847.

Berlin L, Pincus JH (1989). Cryptococcal meningitis. False negative antigen test results andcultures in non-immunosuppressed patients. Arch Neurol, 46:1312–1316.

Feldmesser M, Harris C, Reichberg S, Khan S, Casadevall A (1996). Serum cryptococcalantigen in patients with AIDS. Clin Infect Dis, 23, 827–830.

Powderly WG, Cloud GA, Dismukes WE, Saag MS (1994). Measurement of cryptococcalantigen in serum and cerebrospinal fluid: value in the management of AIDS-associatedcryptococcal meningitis. Clin InfectDis , 18,

14 / 16

Page 15: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

789–792.

Mwaba P. Mwansa J, Chintu C et al. (2001) Clinical presentation, natural history, andcumulative death rates of 230 adults with primary cryptococcal meningitis in Zambian AIDSpatients treated under local conditions. PostgradMed J , 77,769–773.

DeLalla F, Pellizer G, Vaglia A et al. (1995). Amphotericin B as primary therapy forcryptococcosis in patients with AIDS: reliability of relatively high doses administered over arelatively short time period. Clin Infect Dis, 20,263–266.

Branch RA (1988). Prevention of amphotericin B-induced renal impairment. A review on theuse of sodium supplementation. Arch Intern Med, 148, 2389–2394.

Saag MS, Powderly WG, Cloud GA et al. (1992). Comparison of amphotericin B withfluconazole in the treatment of acute AIDS-associated cryptococcal meningitis. N Engl J Med, 326, 83–89.

Pitt J, Geel J, Orrell C, van Dyk M, Wood R (2005). Co-administration of nevirapine andfluconazole: pharmacokinetic and clinical findings. Abstract Tu Pe B4606, XV International AIDSConference, Bangkok, 2004.

Kaplan JE, Masur H, Holmes KK, USPHS, Infectious Diseases Society of America (2002). Guidelines for Preventing Opportunistic Infections Among HIV-Infected Persons 2002.Recommendations of the U.S. Public Health Service and the Infectious Diseases Society ofAmerica. MMWR Recomm Rep, 51

15 / 16

Page 16: kasus meningitis.pdf

Serial Kasus Meningitis Kriptokokus

: 1–46.

Siddiqui A, Brouwer AE, Wuthiekanun V et al. (2005) Interferon-γ at the site of infectiondetermines rate of clearance of infection in cryptococcal meningitis. J Immunol, 174, 1746–1750.

Brouwer AE, Rajanuwong A, Chierakul W et al. (2004) Combination antifungal therapies forHIV-associated cryptococcal meningitis: a randomised trial. Lancet, 363, 1764–1767.

Powderly WG, Finkelstein D, Feinberg J (1995) A randomized trial comparing fluconazolewith clotrimazole troches for the prevention of fungal infections in patients with advanced humanimmunodeficiency virus infection. N Engl JMed , 332,700–705.

Quagliarello VJ, Viscoli C, Horwitz RI (1995) Primary prevention of cryptococcal meningitis byfluconazole in HIV-infected patients. Lancet, 345, 548–552.

Bicanic T, Harrison TS (2004) Cryptococcal meningitis. Br Med Bulletin, 72, 99-118.

16 / 16