kasus down syndrom

30
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang ingin diteliti, yaitu mengenai teori down syndrome, stres dari orangtua yang memiliki anak penyandang down syndrome, dan juga bagaimana coping terhadap stres tersebut. Hal-hal yang dibahas pada bab ini digunakan sebagai acuan dalam merencanakan prosedur dan melaksanakan penelitian. 2.1 Down Syndrome Down syndrome pada awalnya sudah diketahui sejak tahun 1866 oleh Dr. Longdon Down yang berasal dari Inggris, kemudian pada tahun 1959 seorang ahli genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya mengidentifikasi basis genetiknya. Manusia pada umumnya secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami down syndrome hampir selalu memiliki 47 kromosom bukan 46 kromosom. Ketika terjadi pematangan telur, dua kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil, gagal membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma, akan terdapat 3 kromosom 21 yang disebut trisomi 21 (Gerald dkk, 2006). Nama gangguan ini pada awalnya dikenal dengan sebutan Mongoloid atau Mongolism karena penyandangnya memiliki gejala klinik yang khas, yaitu mereka memiliki wajah seperti bangsa Mongol dengan karakteristik yang sama. Bangsa Mongol memiliki mata yang sipit membujur ke atas. Namun, setelah gangguan ini belakangan diketahui terdapat pada seluruh bangsa di dunia dan kemudian munculah tuntutan dari pemerintahan Negara Mongolia yang berpendapat dan

Upload: nurmala-ayla

Post on 19-Oct-2015

55 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 6

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    Pada bab ini akan membahas teori-teori yang berhubungan dengan

    permasalahan yang ingin diteliti, yaitu mengenai teori down syndrome, stres dari

    orangtua yang memiliki anak penyandang down syndrome, dan juga bagaimana

    coping terhadap stres tersebut. Hal-hal yang dibahas pada bab ini digunakan

    sebagai acuan dalam merencanakan prosedur dan melaksanakan penelitian.

    2.1 Down Syndrome

    Down syndrome pada awalnya sudah diketahui sejak tahun 1866 oleh Dr.

    Longdon Down yang berasal dari Inggris, kemudian pada tahun 1959 seorang

    ahli genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya mengidentifikasi

    basis genetiknya. Manusia pada umumnya secara normal memiliki 46 kromosom,

    sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu

    yang mengalami down syndrome hampir selalu memiliki 47 kromosom bukan 46

    kromosom. Ketika terjadi pematangan telur, dua kromosom pada pasangan

    kromosom 21, yaitu kromosom terkecil, gagal membelah diri. Jika telur bertemu

    dengan sperma, akan terdapat 3 kromosom 21 yang disebut trisomi 21 (Gerald

    dkk, 2006).

    Nama gangguan ini pada awalnya dikenal dengan sebutan Mongoloid atau

    Mongolism karena penyandangnya memiliki gejala klinik yang khas, yaitu mereka

    memiliki wajah seperti bangsa Mongol dengan karakteristik yang sama. Bangsa

    Mongol memiliki mata yang sipit membujur ke atas. Namun, setelah gangguan ini

    belakangan diketahui terdapat pada seluruh bangsa di dunia dan kemudian

    munculah tuntutan dari pemerintahan Negara Mongolia yang berpendapat dan

  • 7

    menganggap pemberian nama Mongoloid atau Mongolism kurang etis, maka

    dianjurkan untuk mengganti nama tersebut dengan down syndrome. Kata

    syndrome itu sendiri mengartikan kumpulan dari gejala-gejala klinik. Jadi,

    pengertian dari down syndrome adalah kelainan yang merupakan kumpulan

    gejala klinik tertentu yang ditemukan oleh Dr. Longdon Down (Fadhli, 2010).

    Down syndrome dapat dikatakan termasuk sebagai penyakit genetik

    karena kelainannya terdapat pada materi genetik tetapi bukan kelainan yang

    diturunkan. Penyebab dari terjadinya down syndrome adalah karena adanya

    penyimpangan jumlah kromosom yang membentuk sel-sel janin. Pada umumnya

    penyandang down syndrome mempunyai jumlah kromosom 47, karena adanya

    penambahan kromosom pada pasangan kromosom ke 21 sehingga kromosom

    tersebut berjumlah 3 (Selikowitz, 2001).

    2.1.1 Definisi Down Syndrome

    Down Syndrome merupakan gangguan pada perkembangan yang dibawa

    sejak lahir. Penyandang down syndrome sendiri dapat dengan mudah dikenali

    karena mereka memiliki ciri fisik dan karakteristik yang khas atau menonjol.

    Selain itu juga, penyandang down syndrome ini mengalami sejumlah

    keterbatasan baik secara fisik maupun mental (Selikowitz, 2001).

    2.1.2 Penyebab Down Syndrome

    Penyebab kelainannya berawal dari terbentuknya manusia dari satu sel

    yang terjadi akibat pertemuan sperma (mani) dan sebuah sel telur, setelah

    terjadinya proses pembuahan. Tubuh kita sendiri terdiri dari sel-sel yang

    mengandung kromosom-kromosom yang pada setiap sel terdapat 46

    kromosom. Kromosom ini bukan saja menentukan penampilan diri kita, tetapi

    juga menentukan ciri-ciri dan sifat manusia. Kromosom ini juga menentukan

    bagaimana bentuk wajah kita, karakter, sifat, bakat, karena di dalam

  • 8

    kromosom ini terdapat unsur-unsur keturunan yang sebagian berasal dari ibu

    dan separuhnya lagi berasal dari ayah. Jadi dalam setiap sel kita ada 23

    kromosom ibu dan 23 kromosom ayah.

    Seorang anak dengan down syndrome ini tidak memiliki 46 kromosom

    sebagaimana seharusnya melainkan 47 kromosom. Kelebihan satu pada

    jumlah kromosom ini selalu terdapat pada saudara kembar kromosom nomor

    21. Hal tersebut menyebabkan anak dengan down syndrome memiliki tiga

    kromosom 21, bukan dua kromosom 21. Kelebihan kromosom 21 ini biasanya

    terjadi karena terdapat kesalahan pada waktu pembagian sel. Tanpa

    disengaja masuklah dua kromosom 21 ke dalam anak sel, sehingga sel yang

    lainnya tidak memiliki kromosom nomor 21 ini, akibatnya ia musnah,

    sedangkan sel dengan kelebihan kromosom tumbuh dan terus hidup.

    Pembagian yang salah ini dapat terjadi baik dalam sperma laki-laki maupun

    pada sel telur wanita sebelum terjadi pembuahan. Tetapi hal ini juga dapat

    juga terjadi kesalahan pembagian selama proses pemecahan yang telah

    dibuahi berlangsung (Mangunsong, 2009).

    Fadhli (2010) mengatakan angka kejadian down syndrome rata-rata di

    seluruh dunia adalah 1 dari setiap 700 kelahiran. Kejadian ini akan bertambah

    dikarenakan semakin tua usia ibu hamil. Biasanya calon-calon bayi dengan

    down syndrome 60% cenderung gugur dan 20% akan lahir mati. Selain

    pengaruh usia ibu pada anak down syndrome, menurut Soetjiningsih (1995)

    usia ayah juga dapat membawa pengaruh pada anak down syndrome.

    Orangtua dari anak dengan down syndrome mendapatkan bahwa 20-30%

    kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak

    setinggi dengan usia ibu.

  • 9

    Down syndrome terjadi pada setiap 800 atau 1000, tetapi akan semakin

    kecil kemungkinan ibu melahirkan anak down syndrome jika ibu tersebut

    melahirkan pada usia muda, akan tetapi semakin tua usia ibu (lebih dari 40

    tahun) maka akan semakin besar peluang melahirkan anak down syndrome

    (Rosidah, 2010). Ibu dengan usia diatas 35 tahun harus waspada dengan

    adanya kemungkinan seperti ini, karena sel telur wanita telah dibuat pada saat

    wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per

    satu setiap bulan pada saat wanita tersebut akil balik. Oleh karena itu pada

    saat wanita menjadi tua, kondisi sel telur tersebut kadang-kadang menjadi

    kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh sel telur laki-laki, sel benih ini

    mengalami pembelahan yang kurang sempurna (Fadhli, 2010).

    2.1.3 Jenis-jenis Down Syndrome

    Terdapat 3 variasi genetik yang menjadi penyebab down syndrome

    (Selikowitz, 2001), yaitu :

    1. Trisomi 21

    Keadaan ini disebabkan oleh adanya ekstra kromosom 21 dalam

    semua sel individu. Hal seperti itu terjadi karena salah satu dari

    orangtua memberikan dua kromosom 21 baik melalui sel telur

    maupun melalui sperma, bukannya satu seperti biasanya. Ini

    merupakan bentuk yang paling banyak terjadi (95%) pada anak-anak

    down syndrome yang lahir dari ibu dengan bermacam-macam usia.

    2. Translokasi

    Pada tipe ini, sebagian dari kromosom lain tersangkut pada

    kromosom 21. Hal itu terjadi ketika bagian atas yang kecil dari

    kromosom 21 dan sebuah kromosom lain pecah, lalu kedua bagian

    yang tersisa saling melekat satu sama lain pada bagian ujungnya.

  • 10

    Proses saling melekat tersebut dinamakan translokasi. Kromosom

    yang terlibat hanya tertentu saja, yaitu kromosom yang memiliki

    ujung-ujung kecil yang secara genetik tidak aktif, yang dapat putus

    dan hilang tanpa menimbulkan efek buruk seperti kromosom 13, 14,

    15, 22 atau kromosom 21 lainnya. Kasus seperti ini terjadi hanya 3-

    4% pada anak-anak penyandang down syndrom.

    Jenis Translokasi ini bisa terjadi apabila salah satu orangtua

    merupakan pembawa. Yang dimaksud dengan pembawa adalah

    orang yang normal yang memiliki 23 pasang kromosom namun salah

    salah satu dari kromosom 21 melekat dengan kromosom lainnya.

    Maka masalah yang akan timbul adalah pada saat memproduksi

    sperma atau sel telur adalah sulitnya untuk membagi jumlah

    kromosom dengan merata, karena kedua kromosom tersebut sudah

    saling melekat satu sama lain.

    3. Mosaik

    Pada keadaan ini, hanya sebagian sel yang mengandung ekstra

    kromosom sedangkan sel yang lain normal. Individu-individu ini

    dikatakan menunjukkan gambaran mosaik karena sel-sel tubuh

    mereka seperti mosaik yang tersusun dari potongan-potongan yang

    berbeda, sebagian normal dan sebagian dengan kromosom

    tambahan. Kasus ini adalah kasus yang paling jarang terjadi pada

    anak down syndrome, jumlahnya hanya 1% saja.

    Penyandang jenis ini seringkali memiliki ciri-ciri fisik down syndrome

    yang kurang menonjol dan berkembang lebih mendekati normal.

    Meskipun sangat jarang terjadi, penyandang dengan bentuk seperti

    ini dapat memiliki intelektualitas yang normal.

  • 11

    2.1.4 Karakteristik Down Syndrome

    Beberapa ciri-ciri penyandang down syndrome meliputi karakteristik fisik,

    kognitif, dan kepribadian.

    a. Karakteristik Fisik

    Anak down syndrome memiliki ciri-ciri fisik yang khas dan

    menonjol sehingga mudah bagi mereka untuk dikenali. Hal tersebut

    yang kemudian membedakan mereka dengan anak-anak yang normal.

    Selikowitz (2001) menyebutkan ciri-ciri yang penting dalam mengenali

    kelainan down syndrome, yaitu :

    a. Wajah

    Ketika mereka dilihat dari depan, anak penyandang down syndrome

    biasanya mempunyai karakteristik wajah yang bulat. Dari samping,

    bentuk wajah mereka cenderung datar.

    b. Kepala

    Sebagian besar penyandang down syndrome memiliki bagian

    belakang kepala yang sedikit rata. Ini dikenal dengan istilah

    brachycephaly.

    c. Mata

    Hampir semua penyandang down syndrome memiliki mata yang

    sedikit miring ke atas. Selain itu, seringkali ada lipatan kecil pada

    kulit secara vertikal antara sudut dalam mata dan jembatan hidung.

    Lipatan tersebut dikenal dengan lipatan epicanthic atau epicanthus.

    Hal tersebut memberikan kesan mata terlihat juling. Mata

    mempunyai bintik putih atau kuning terang di sekitar pinggir selaput

    pelangi (bagian berwarna dari mata). Bintik itu disebut dengan

  • 12

    brushfield, yang dinamai sesuai dengan nama penemunya yaitu

    Thomas Brushfield.

    d. Rambut

    Penyandang down syndrome biasanya memiliki rambut yang lemas

    dan lurus.

    e. Leher

    Bayi-bayi yang baru lahir dengan mengidap down syndrome

    memiliki kulit berlebih pada bagian belakang leher namun hal ini

    biasanya berkurang seraya usia mereka bertambah. Anak-anak

    yang lebih besar dan dewasa cenderung memiliki leher yang

    pendek dan lebar.

    f. Mulut

    Rongga mulut sedikit lebih kecil dan lidah sedikit lebih besar dari

    ukuran anak pada umumnya. Kombinasi ini membuat sebagian

    anak mempunyai kebiasaan menjulurkan lidahnya.

    g. Tangan

    Kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek. Jari

    kelingking kadang-kadang hanya memiliki satu sendi, bukan dua

    seperti biasanya. Jari kelingking mungkin juga sedikit melengkung

    ke arah jari-jari lain. Keadaan ini disebut dengan istilah klinodaktili.

    Telapak tangan hanya memiliki satu alur yang melintang dan

    apabila ada dua garis, keduanya memanjang melintasi tangan.

    h. Kaki

    Bentuk jari kaki cenderung pendek dan gemuk dengan jarak yang

    lebar antara ibu jari dengan telunjuk. Hal itu disertai dengan suatu

  • 13

    alur pendek pada telapak kaki yang berawal dari celah antar jari lalu

    ke belakang sepanjang beberapa sentimeter.

    i. Tonus

    Tungkai dan leher penyandang down syndrome yang masih kecil

    seringkali terkulai. Lembeknya otot (Hipotonia) berarti mempunyai

    tonus rendah. Tonus adalah tahanan yang diberikan oleh otot

    terhadap tekanan pada waktu otot dalam relaksasi. Tonus ini selalu

    paling rendah pada tahun-tahun awal dan kembali secara spontan

    sewaktu anak tersebut bertambah besar. Tonus berbeda dengan

    kekuatan otot yang membutuhkan kontraksi otot yang aktif.

    Kekuatan otot-otot biasanya normal. Otot-otot mereka mungkin

    lembek, namun mereka tidak lemah.

    j. Ukuran tubuh

    Berat badan penyandang down syndrome biasanya kurang

    daripada berat rata-rata. Panjang tubuhnya sewaktu lahir juga lebih

    pendek. Semasa kanak-kanak, mereka tumbuh dengan lancar

    tetapi lambat. Sebagai orang dewasa umumnya mereka lebih

    pendek dari anggota keluarga yang lainnya. Tinggi mereka berkisar

    sekitar dibawah tinggi rata-rata orang normal.

    b. Karakteristik Kognitif

    Ciri lain dari penyandang down syndrome yang merupakan

    keluhan utama pada orangtua adalah retardasi mental atau

    keterbelakangan mental. Mangunsong (2009) menyebutkan bahwa

    kaum profesional mengklasifikasikan anak down syndrome berdasarkan

    tingkat keparahan masalahnya. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tingkat

    kecerdasan atau skor IQ, yaitu :

  • 14

    1. Mild mental retardation (ringan) (IQ 55-70)

    Pada tingkatan ini dalam segi pendidikan termasuk yang bisa dididik,

    mereka masih bisa dididik di sekolah umum, meskipun hasilnya lebih

    rendah daripada anak-anak normal pada umumnya karena rentang

    perhatian mereka pendek sehingga sulit berkonsentrasi dalam

    jangka waktu yang lama. Mereka juga tidak memperlihatkan kelainan

    fisik yang mencolok sekalipun perkembangan fisiknya lebih lambat

    dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Tinggi dan

    berat badannya tidak berbeda dengan anak-anak normal pada

    umumnya namun berdasarkan hasil observasi mereka kurang dalam

    hal kekuatan, kecepatan, dan koordinasi, serta sering memiliki

    masalah kesehatan. Terkadang sering merasa frustasi saat diminta

    berfungsi secara sosial atau akademis yang sesuai dengan usia

    mereka sehingga tingkah laku mereka menjadi tidak baik, misalnya

    ketika diminta untuk acting out atau menolak untuk melakukan tugas

    didalam kelas. Sikap yang ditunjukkan adalah malu dan diam.

    Namun hal-hal tersebut dapat berubah bila mereka banyak

    dilibatkan untuk berinteraksi dengan anak-anak lainnya.

    Di luar pendidikan, mereka dapat melakukan beberapa ketrampilan

    sendiri seperti makan, mandi, berpakaian, dan sebagainya. Pada

    mereka yang IQ-nya lebih tinggi mampu menikah dan berkeluarga.

    2. Moderate mental retardation (IQ 40-55)

    Pada tingkatan ini dapat dilatih untuk beberapa ketrampilan tertentu.

    Meski sering berespon lama terhadap pendidikan dan pelatihan, jika

    diberikan kesempatan pendidikan yang sesuai maka mereka dapat

    dididik untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan-

  • 15

    kemampuan tertentu. Mereka dapat dilatih untuk mengurus dirinya

    sendiri dan dilatih untuk membaca dan menulis sederhana. Mereka

    memiliki kekurangan dalam kemampuan mengingat bahasa,

    konseptual, perseptual, dan kreativitas, sehingga perlu diberikan

    tugas yang lebih simpel, singkat, relevan, berurutan.

    Mereka menampakkan kelainan fisik yang merupakan gejala

    bawaan, namun gejala fisik itu tidak seberat yang dialami anak-anak

    pada kategori severe dan profound. Mereka memiliki koordinasi fisik

    yang buruk dan mengalami masalah di banyak situasi sosial. Selain

    itu mereka juga menampakkan adanya gangguan pada fungsi bicara

    mereka.

    3. Severe mental retardation (IQ 25-40)

    Pada tingkatan ini memperlihatkan banyak masalah dan kesulitan

    meskipun mereka sudah disekolahkan pada sekolah khusus. Oleh

    karena itu mereka membutuhkan perlindungan hidup dan

    pengawasan yang lebih teliti, pelayanan dan pemeliharaan yang

    terus menerus karena mereka tidak dapat mengurus diri mereka

    sendiri tanpa bantuan dari orang lain meskipun menghadapi tugas-

    tugas yang sederhana. Mereka jarang sekali dipekerjakan dan

    sedikit sekali dalam berinteraksi sosial.

    Mereka juga mengalami gangguan bicara, mereka hanya bisa

    berkomunikasi secara vokal setelah pelatihan intensif. Tanda-tanda

    kelainan fisik lainnya ialah lidah yang seringkali terjulur keluar

    bersamaan dengan keluarnya air liur, ukuran kepala lebih besar dari

    biasanya. Kondisi fisik mereka lemah sehingga mereka hanya bisa

  • 16

    dilatih ketrampilan khusus selama kondisi fisik mereka

    memungkinkan.

    4. Profound mental retardation (IQ di bawah 25).

    Pada tingkatan ini mereka mempunyai problem yang serius, baik itu

    menyangkut fisik, inteligensi serta program pendidikan yang tepat

    bagi mereka. Pada umumnya mereka memperlihatkan kerusakan

    pada otak serta kelainan fisik yang nyata, seperti hydrocephalus,

    mongolism, dan sebagainya. Mereka dapat makan dan berjalan

    sendiri namun, kemampuan berbicara dan berbahasa mereka

    sangat rendah begitupun dengan interaksi sosial mereka sangat

    terbatas. Kelainan fisik lain yang dimiliki mereka dilihat dari kepala

    yang lebih besar dan sering bergoyang-goyang. Mereka juga sangat

    kurang dalam hal penyesuaian diri sendiri seperti sewaktu mereka

    berdiri, mereka tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari orang

    lain dan mereka membutuhkan bantuan pelayanan medis yang baik

    dan intensif (Mangunsong, 2009).

    Meskipun demikian, Mangunsong (2009) menyatakan bahwa biasanya

    anak down syndrome memiliki IQ yang berkisar antara mild dan

    moderate mental retardation.

    Keterbelakangan mental ini menyebabkan penyandang down

    syndrome mengalami defisiensi dalam berbagai ketrampilan adaptif

    seperti ketrampilan komunikasi dan bahasa, sosial, akademik, merawat

    diri, dan hidup berumah tangga, mengatur atau mengarahkan diri, serta

    ketrampilan bekerja (Davidson dan Neale, 1998). Keterbatasan tersebut

    menjadi keluhan utama bagi orangtua karena dengan keterbatasan

    intelektual, anak menjadi tidak dapat mandiri sepenuhnya dan akan

  • 17

    selalu membutuhkan dukungan yang berkepanjangan dan terus

    menerus dari keluarga dan institusi-institusi tertentu (Hoffnung, 1997).

    Namun demikian, melalui pendidikan yang tepat, penyandang down

    syndrome dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal

    (Selikowitz, 2001). Hall dan Hill (1996) menyebutkan bahwa faktor

    lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan anak penyandang

    down syndrome.

    c. Karakteristik Kepribadian

    Dari aspek kepribadian, stereotipe dari anak down syndrome

    adalah bersahabat, suka bergaul, dan terbuka. Hal itu memaksudkan

    bahwa mereka bisa bersosialisasi dengan lingkungan secara baik

    meskipun keterbelakangan mental membatasi ketrampilan sosialnya.

    Hasil dari penelitian lain menunjukkan adanya variasi pada stereotipe

    kepribadian dari anak-anak penyandang down syndrome sehubungan

    dengan adanya perbedaan pada usia dan jenis kelamin (Wenar, 1994).

    Seperti halnya dengan perilaku dan emosinya yang juga bervariasi

    sangat luas, seorang anak penyandang down syndrome dapat lemah

    dan tidak aktif, sedangkan yang lainnya agresif dan hiperaktif. Sehingga

    gambaran stereotipe dimasa lalu tentang anak down syndrome yang

    pendek, gemuk, tak menarik dengan mulut yang selalu terbuka dan lidah

    yang terjulur keluar, serta retardasi mental yang berat adalah deskripsi

    yang tidak sepenuhnya benar (Soetjiningsih, 1995).

    2.1.5 Masalah kesehatan

    Kebanyakan dari anak dengan down syndrome mempunyai kesehatan

    yang baik. Bila mereka sakit, biasanya penyakit yang disandang adalah

    penyakit anak-anak normal pada umumnya yang tidak ada hubungannya

  • 18

    sama sekali dengan down syndrome sehingga tidak perlu ditangani dengan

    berbeda (Selikowitz, 2001). Namun demikian, Selikowitz (2001) menyebutkan

    beberapa keadaan yang lebih sering terjadi pada anak down syndrome adalah

    seperti gangguan pernapasan, gangguan pendengaran, gangguan

    penglihatan, gangguan pencernaan, disfungsi pada tiroid, gangguan pada

    gigi, penyakit kulit, leukimia, dan kelainan jantung. Hoffnung (1997)

    menyebutkan bahwa sebagian besar anak-anak dengan down syndrome

    hanya dapat bertahan hidup hingga dewasa muda (middle Adulthood) tetapi

    sekitar 14% meninggal pada usia satu tahun dan 21% meninggal pada usia

    sepuluh tahun.

    Pada awal abad ke 20, individu dengan down syndrome ditakdirkan

    hidup di lembaga-lembaga perawatan dan jarang yang dapat bertahan hidup

    hingga melewati usia 9 tahun. Namun belakangan peningkatan dalam

    intervensi terapeutik dan pendidikan, seperti treatmen medis yang lebih baik

    dan penyatuan anak-anak ke sekolah dan komunitas, telah berkontribusi

    meningkatkan harapan hidup mereka. Saat ini sebagian besar individu

    dengan down syndrome dapat hidup hingga usia sekitar 50 tahun. Akan tetapi

    kesehatan mereka yang hidup hingga usia tersebut biasanya buruk, dan

    hampir semuanya mengalami perubahan otak hampir sama dengan penderita

    Alzheimer (Halgin & Krauss, 2011).

    2.1.6 Masalah Perilaku

    Ada dua pendapat yang bertolak belakang mengenai perilaku anak-anak

    dan otang dewasa penyandang down syndrome. Yang pertama adalah bahwa

    mereka adalah individu-individu yang tenang dan mudah diatur. Pendapat

    lainnya adalah bahwa mereka merupakan orang-orang yang keras kepala dan

    sulit dikontrol. Hal tersebut mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya

  • 19

    bahwa perilaku penyandang down syndrome adalah bervariasi (Selikowitz,

    2001).

    Menurut Selikowitz (2001), tidak ada masalah perilaku yang unik pada

    anak-anak down syndrome. Jikapun ada masalah yang muncul, pada

    umumnya masalah ini serupa dengan yang ditemukan pada anak-anak

    normal yang berusia lebih muda. Hal tersebut dikarenakan anak-anak dengan

    down syndrome lebih lambat dalam pencapaian tingkatan perkembangan

    daripada anak-anak normal pada umumnya, sehingga mereka secara fisik

    terlihat lebih tua dan lebih besar daripada anak-anak normal ketika mereka

    berada pada tingkatan usia yang sama. Seperti contohnya tantrum yang

    biasanya pada anak-anak normal muncul di usia dua tahun, sedangkan pada

    anak down syndrome mungkin baru akan muncul pada usia empat tahun.

    Pada saat itu kelakuannya mungkin akan lebih menggangu karena anak lebih

    besar.

    Beberapa perilaku spesifik yang seringkali muncul pada anak-anak

    down syndrome (Selikowitz, 2001), adalah :

    1. Menjulurkan lidah, hal ini disebabkan oleh kombinasi lidah yang

    berukuran lebih besar daripada ukuran rata-rata dan mulut yang

    berukuran lebih kecil.

    2. Mencucurkan air liur, karena tonus pada anak-anak down syndrome

    rendah sehingga cendrerung membiarkan mulutnya terbuka dan

    mencucurkan air liur selama masa kanak-kanak dini.

    3. Hiperaktif, kesulitan dalam menyalurkan perhatian kepada satu

    aktivitas untuk satu periode.

  • 20

    4. Menghilang secara diam-diam, hal ini dikarenakan sulit bagi anak-

    anak dengan down syndrome untuk tetap berada disamping orang

    dewasa.

    5. Tantrum, biasanya muncul pada saat anak sedang frustasi atau

    keinginannya dihalangi.

    6. Memukul serta menggigit anak-anak lainnya, hal ini seringkali

    dimulai sebagai suatu usaha dari seorang anak dengan ketrampilan

    bahasa yang lemah untuk berkomunikasi dengan anak yang lain.

    7. Perilaku destruktif, biasanya pada mainan dan benda-benda lainnya.

    Perilaku-perilaku di atas dapat diperbaiki dengan metode yang

    sederhana serta bisa melalui modifikasi perilaku.

    Dari karakteristik-karakteristik diatas dari mulai fisik, kognitif, dan

    kepribadian, keterbatasan yang dimiliki oleh anak down syndrome disesuaikan

    dengan ibu, serta bila kita amati dan lihat dari masalah-masalah yang muncul

    pada mereka, maka hal tersebut dapat berpotensi stres pada orang tua (ibu)

    dari anak penyandang down syndrome.

    2.2 Stres, Coping, dan STAI

    2.2.1 Definisi Stres

    Stres bukanlah suatu yang mudah didefinisikan. Pada awalnya, istilah

    stress diambil begitu saja dalam ilmu fisika. Pada saat itu manusia

    diumpamakan serupa dengan logam yang mampu menahan kekuatan dari

    luar namun pada satu titik akan kehilangan kekuatannya bila dihadapkan pada

    satu tekanan yang lebih besar (Santrock, 1996).

    Menurut Selye (dalam Santrock, 1996) stres sebenarnya adalah

    kerusakan yang dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan

  • 21

    padanya. Berapapun kejadian dari lingkungan atau stimulus akan

    menghasilkan respon stres yang sama pada tubuh. Menurut Spielberger

    (dalam Irving dan Edward, 2010) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan-

    tuntutan yang mengenai seseorang, misalnya objek-objek dalam lingkungan

    atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa

    diartikan sebagai tekanan, ketegangan, atau gangguan yang tidak

    menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

    Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa stres adalah

    respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor),

    yang mengancam dan menggangu kemampuan seseorang untuk

    menanganinya (coping) (Santrock,1996).

    2.2.2 Sumber Stres

    Sarafino (1998) mengatakan bahwa sumber stres terdiri dari 3 macam,

    yaitu :

    a. Stres dari dalam diri sendiri (Sources within the person)

    Tingkat stres tergantung seberapa besar suatu aktifitas memerlukan

    kekuatan fisik, sumber stres lain berasal dari dalam diri adalah

    adanya konflik yang timbul pada diri seseorang karena adanya

    kepentingan yang berlawanan. Misalnya: kelemahan atau

    ketidaksiapan secara fisik.

    b. Stres dari dalam keluarga (Sources in the family)

    Keluarga Merupakan salah satu sumber stres. Kecemasan

    terhadap keadaan keluarga dirumah dan rasa rindu pada keluarga

    bisa menimbulkan stres. Misalnya : perasaan kangen terhadap

    keluarga yang berada dikampung halaman.

    c. Stres dari lingkungan dan pekerjaan (Sources in the community

  • 22

    and society)

    Stres yang berhubungan dengan lingkungan dan pekerjaan yang

    dialami oleh orang dewasa. Pada faktor lingkungan yang

    melibatkan tuntutan tugas dan tanggung jawab terhadap

    kehidupan menyangkut keselamatan seseorang.

    Jadi stresor dapat disimpulkan sebagai kondisi fisik dan lingkungan

    sebagai mengancam merusak, membahayakan yang menghasilkan perasaan

    tertekan (Sarafino, 1998).

    2.2.3 Gejala Stres

    Menurut Wijoyo (2011) ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya

    terkena stres padahal sebenarnya tidak. Sebaliknya para penderita stress

    justru tidak menyadari keadaannya. Menurut Donald (dalam Wijoyo, 2011)

    menunjukkan bahwa gejala seseorang mengalami stres pada dasarnya dapat

    dibagi dalam tiga kategori yaitu berdasarkan fisik, psikologis, dan perilaku.

    1. Gejala stres pada fisik

    a. Mudah lelah, sesak napas, napas terengah-engah, nyeri

    kepala, nyeri rahang, pandangan tertekan, berkeringat

    meskipun suhu normal, mulut kering, rambut kusut, wajah

    pucat.

    b. Otot tegang di leher, bahu, pundak, lengan, dan kaki.

    Tangan terasa atau teraba dingin.

    c. Jantung berdebar, detak tak teratur. Rasa sesak atau

    kencang di dada dan didaerah jantung. Tangan gemetar

    (Tremor). Tekanan darah tinggi, gula darah dan zat

    pembeku darah naik.

  • 23

    d. Nyeri perut, mual atau muntah, perut kembung dan banyak

    gas, gangguan pencernaan, mencret, dan sering buang air

    besar berlendir atau sebaliknya sembelit, sering buang air

    kecil lebih banyak dari biasanya, asam lambung bertambah

    (nyeri, sakit atau pana pada bagian ulu hati).

    e. Tubuh mudah diserang berbagai penyakit seperti alergi

    dan infeksi karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

    f. Nyeri pinggang, sakit punggung bawah, nyeri atau radang

    sendi.

    g. Pada wanita, siklus haid akan terganggu.

    2. Gejala stres pada jiwa

    a. Sedih, menangis, merasa seperti tidak berdaya.

    b. Perasaan yang berubah-ubah

    c. Sulit berkonsentrasi, proses berpikir dan ingatan

    terganggu.

    d. Kehilangan selera humor, minat dan tidak tertarik pada

    orang lain dan pada penampilannya sendiri. Kehilangan

    selera terhadap kesenangan dan seks.

    e. Menarik diri dari pergaulan dan orang lain.

    f. Merasa negatif pada diri sendiri, segala sesuatunya tidak

    berguna, merasa terjepit, dan menyalahkan diri sendiri.

    3. Gejala stres pada perilaku

    a. Aktivitas berkurang, tidak ada tenaga, atau aktivitas

    berlebih dan tidak bisa istirahat.

    b. Banyak minum alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan

    terlarang seperti narkoba.

  • 24

    c. Sulit berkonsentrasi, cepat tersinggung, dan marah-marah,

    berbicara tanpa sadar dengan nada yang tinggi.

    d. Mudah kecewa, resah, gelisah, cemas, panik, dan menjadi

    pelupa.

    e. Sulit tidur atau insomnia tidur terlalu sedikit karena selalu

    memikirkan masalah yang ada. Tidur tidak tenang dan

    mudah terganggu.

    2.2.4 Konflik Utama Stres

    Berbagai stimulus bukan hanya menjadi beban yang berat, namun bisa

    juga menjadi sumber konflik. Konflik ini sering terjadi ketika individu tersebut

    harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok.

    Tiga konflik utama tersebut menurut Santrock (1996) adalah:

    1. Konflik mendekat-mendekat (Approach-approach conflict)

    Hal ini terjadi apabila individu harus memilih antara dua stimulus

    atau dua keadaan yang sama-sama menarik. Konflik mendekat-

    mendekat ini adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah

    dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya

    memberikan hasil yang positif.

    2. Konflik menghindar-menghindar (Avoidance-avoidance conflict)

    Hal ini terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus

    yang sama-sama tidak menarik yang sebenarnya individu tersebut

    ingin menghindari keduanya, namun pada kenyataannya mereka

    harus menentukan atau membuat pilihan salah satu dari

    keduanya. Konflik ini lebih menyebabkan stres daripada memiliki

    keleluasaan memilih dua situasi yang menyenangkan seperti pada

    konflik yang sudah dibahas sebelumnya yaitu konflik mendekat-

  • 25

    mendekat. Pada akhirnya banyak yang memilih untuk menunda

    mengambil keputusan dalam konflik menghindar-mengindar

    sampai saat terakhir.

    3. Konflik mendekat-menghindar (Approach-avoidance conflict)

    Hal ini terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun

    memiliki karakteristik yang positif juga negatif. Konflik ini juga

    dapat menyebabkan stres. Dalam posisi seperti ini individu

    tersebut seringkali merasa bimbang sebelum mengambil

    keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan yang

    semakin dekat, kecendrungan menghindar biasanya semakin

    mendominasi (Miller dalam Santrock, 1996).

    2.2.5 Primary Appraisal dan Secondary Appraisal

    Lazarus (1984) mengatakan dalam menilai sesuatu sebagai stres, terjadi

    proses dalam diri individu meliputi Primary Appraisal dan Secondary

    Appraisal. Dalam melakukan penilaian tersebut ada dua tahap yang harus

    dilalui, yaitu :

    1. Primary appraisal

    Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu

    peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat

    dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa

    yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm,

    threat, atau challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya

    yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian

    mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang didapat dari

    peristiwa yang terjadi. Challenge merupakan tantangan akan

  • 26

    kesanggupan untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan dari

    peristiwa yang terjadi.

    Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

    1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang

    dimiliki seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang

    terjadi dengan tujuan personalnya.

    2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu

    pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan

    individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak,

    dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan

    personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut

    sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut

    memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.

    3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada

    berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen

    seseorang.

    2. Secondary appraisal

    Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai kemampuan

    individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya,

    dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan

    challenge dalam peristiwa yang terjadi.

    Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

    1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung

    jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.

  • 27

    2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat

    mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen

    pribadinya.

    3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan

    tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi

    lebih baik atau buruk.

    Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan antara

    primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang ada cukup

    besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai, stres

    yang besar akan dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika kemampuan

    coping besar, stres dapat diminimalkan (Lazarus, 1984).

    2.2.6 Definisi Coping

    Menurut Wong (2002) Coping adalah tahapan khusus dari reaksi individu

    terhadap stresor, khususnya terhadap stresor yang menghapus, mengurangi,

    atau menggantikan status emosi yang diklasifikasikan sebagai penuh stres.

    Menurut Lazarus dan Folkman (1984) Pengelolaan stres yang disebut

    dengan istilah coping adalah proses mengelola tuntutan (internal ataupun

    eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan individu.

    Definisi pengelolaan stres yang dikemukakan oleh Lazarus lebih menekankan

    pada proses, karena berhubungan dengan sesuatu yang secara aktual dipikirkan

    atau dilakukan individu dalam situasi khusus, disertai perubahan pikiran dan

    tindakan terhadap suatu peristiwa.

    Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi pada kegiatan untuk

    mengelola seperti menuntaskan, ketabahan, mengurangi, atau meminimalkan

    tuntutan internal dan eksternal serta konflik diantaranya.

  • 28

    Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpukan bahwa coping stres atau

    pengelolaan stres merupakan suatu upaya mengelola tuntutan internal ataupun

    eksternal yang menjadi ancaman beban perasaan diluar kemampuan diri individu

    sebagai penyebab munculnya stres.

    2.2.7 Fungsi dan strategi Coping

    Lazarus (1984) menyatakan bahwa fungsi dari strategi pengelolaam stres

    atau strategi coping dibagi menjadi dua, yaitu :

    1. Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah (Problem

    Focused Forms of Coping)

    Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah sama dengan

    strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah. Strategi

    diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah penyebab

    stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan

    lingkungan. Pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya

    dilakukan dengan melakukan tindakan langsung untuk

    memecahkan masalah. Oleh karena itu, cara ini sering diarahkan

    pada mendefinisikan masalah (defining the problem),

    menghasilkan solusi alternatif (generating alternative solutions),

    pembobotan alternatif dalam hal cost dan manfaat, memilih antara

    cost dan manfaat, dan bertindak (acting). Namun fokus cara ini

    lebih luas mencakup strategi yang berorientasi pada masalah,

    daripada memecahkan masalahnya sendiri.

    Strategi yang berpusat pada masalah bukan hanya sekedar

    pemecahan masalah yang menganalisa secara objektif yang

    difokuskan pada lingkungan, akan tetapi strategi ini merupakan

  • 29

    proses analisa objektif yang difokuskan pada masalah dan

    diarahkan kedalam diri individu sendiri.

    2. Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi (Emotion

    Focused forms of Coping)

    Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi berfungsi untuk

    mengatur respon emosional terhadap masalah, yang terdiri atas

    proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan emosi

    negatif yang ditimbulkan oleh situasi yang tidak menyenangkan.

    Seperti menghindari (avoidance), meminimalisasi (minimization),

    memberi jarak (distancing), selective attention, perbandingan

    positif (positive comparisons), dan mengambil nilai positif dari

    suatu kejadian negatif. Banyak dari strategi ini berasal dari teori

    dan penelitian mengenai proses defensif dan digunakan dalam

    hampir setiap menghadapi stres. Dalam penelitian pada kelompok

    yang lebih kecil dari strategi kognitif, justru diarahkan untuk

    meningkatkan tekanan emosional. Beberapa individu perlu merasa

    buruk sebelum mereka dapat merasa lebih baik; dalam rangka

    untuk dapat meringankan mereka pertama kali harus mengalami

    penderitaan yang akut dan dalam menyalahkan diri sendiri atau

    bentuk lain dari menghukum diri sendiri. Dalam kasus lain, individu

    sengaja meningkatkan tekanan emosional mereka untuk

    memobilitasi diri untuk bertindak. Strategi yang berpusat pada

    emosi ini hampir sama dengan penilaian kembali (reappraisal),

    namun tidak semua penilaian kembali dimaksudkan untuk

    mengatur emosi.

  • 30

    2.2.8 Definisi STAI (State-Trait Anxiety Inventory)

    State-Trait Anxiety Inventory (STAI) adalah instrumen untuk mengukur

    kecemasan definitif pada orang dewasa. STAI dengan jelas membedakan

    antara kondisi sementara "state anxiety" dan kualitas yang lebih umum dan

    lama dari "trait anxiety." Hal yang dievaluasi oleh skala STAIS-Anxiety adalah

    perasaan ketakutan, gugup ketegangan, dan perasaan khawatir. Skor pada

    skala STAIS-Anxiety adalah melihat peningkatan respon terhadap bahaya fisik

    dan stres psikologis, dan penurunan sebagai hasil dari training relaksasi.

    Pada skala STAIT-Anxiety, konsisten dengan konstruk trait anxiety pasien

    sakit jiwa dan depresi pada umumnya memiliki nilai yang tinggi (Mindgarden,

    2010).

    2.2.9 Pengukuran STAI (State-Trait Anxiety Inventory)

    Kecemasan didefinisikan oleh Freud sebagai "sesuatu yang dirasakan,"

    sebuah keadaan emosi yang mencakup perasaan ketakutan, gugup

    ketegangan, dan khawatir disertai dengan gairah fisiologis. Konsisten dengan

    perspektif evolusi Darwin, Freud mengamati bahwa kecemasan adalah adaptif

    dalam memotivasi perilaku yang membantu individu mengatasi situasi yang

    mengancam dan kecemasan intens itu lazim di sebagian besar gangguan

    kejiwaan Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010).

    State-Trait Anxiety Inventory (STAI) dikembangkan untuk membuktikan

    sesuatu yang dapat dipercaya, relatif singkat, skala laporan diri untuk menilai

    tingkatan (state) dan trait anxiety dalam praktek penelitian dan klinis

    Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). Tes STAI terdiri dari dua 20

    item skala untuk mengukur intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional

    (S-Anxiety) dan perbedaan individu dalam wilayah yang rawan kecemasan

    sebagai ciri kepribadian (T-Anxiety). Dalam menanggapi item S-Anxiety,

  • 31

    subjek melaporkan perasaan intensitas kecemasan mereka "sekarang atau

    saat ini" dengan memberikan penilaian pada diri sendiri berdasarkan skala 4

    poin berikut: (1) Tidak sama sekali, (2) Agak, (3) cukup atau sedang, (4) amat.

    Dalam menanggapi item T-Anxiety dibutuhkan subyek untuk menunjukkan

    bagaimana perasaan mereka pada umumnya dengan melaporkan seberapa

    sering mereka telah mengalami kecemasan yang berhubungan dengan

    perasaan dan kognisi pada skala 4 poin: (1) Hampir tidak pernah, (2) Kadang-

    kadang, (3) Sering , dan (4) Hampir selalu.

    Item yang dipilih untuk STAI (Formulir X) atas dasar korelasi yang sangat

    signifikan dengan langkah yang paling banyak digunakan dari kecemasan

    Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). Dalam penelitian berikutnya,

    korelasi kuat dari skala STAI dengan langkah-langkah depresi memberikan

    kontribusi untuk mengenali bahwa isi dari beberapa item diadaptasi dari

    tindakan kecemasan lain lebih terkait erat dengan depresi daripada

    kecemasan (misalnya, "Aku menangis dengan mudah"; "Saya merasa sedih"

    ). Dalam mengembangkan STAI direvisi (Formulir Y), definisi konseptual state

    dan kecemasan yang lebih diperjelas, dan item dengan konten depresif

    diganti (Spielberger dalam Irving dan Edward, 2010). Lebih dari 10.000 remaja

    dan orang dewasa diuji dalam pembangunan dan validasi dari STAI (Y

    Formulir), termasuk sekolah menengah dan mahasiswa, orang dewasa yang

    bekerja, personil militer, dan psikiatris, medis, dan pasien gigi Spielberger

    (dalam Irving dan Edward, 2010). STAI yang memiliki sifat psikometri sangat

    baik untuk sekolah menengah dan mahasiswa, orang dewasa yang bekerja,

    dan orang tua. Data normatif luas dilaporkan di manual tes. Bukti kuat dari

    validitas konstruk tercermin dalam skor tinggi pasien neuropsikiatri untuk

  • 32

    kecemasan adalah gejala utama dan untuk pasien medis dengan komplikasi

    kejiwaan.

    Penelitian dengan STAI telah sangat berkontribusi dalam pentingnya

    membedakan antara intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional fana

    dan perbedaan individu dalam kecemasan sebagai ciri kepribadian yang relatif

    stabil. Sejak pertama kali diperkenalkan lebih dari 40 tahun lalu, STAI telah

    diterjemahkan dan diadaptasi ke 70 bahasa dan dialek, dan digunakan secara

    ekstensif dalam penelitian seperti yang ditunjukkan oleh kutipan di lebih dari

    16.000 publikasi arsip Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010).

    2.3 Rentang Usia Ibu

    2.3.1 Dewasa Muda

    Dewasa muda merupakan salah satu tahapan dalam perkembangan

    kehidupan manusia. Ketika memasuki usia dewasa muda biasanya individu

    telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang

    matang. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, definisi dewasa muda

    adalah mereka yang telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri atau telah

    menentukan pilihan karirnya, telah membentuk significant relationship atau

    sudah membentuk suatu keluarga (Papalia et.al., 2005).

    2.3.1.1 Rentang Usia Dewasa Muda (20-40 tahun)

    Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa muda

    mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia dua

    puluh tahun hingga empat puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang

    dihadapi pada dewasa muda adalah intimacy and solidarity versus isolation.

    Dalam menjalin hubungan intim, individu akan membentuk ikatan yang kuat

  • 33

    dalam persahabatan yang ada, yang bersifat saling menguntungkan,

    berempati dan adanya hubungan timbal balik (Papalia et.al., 2005).

    Pada umumnya, individu dewasa muda akan membentuk hubungan

    kedekatan dengan solidaritas dengan orang lain, bila mereka merasa takut

    akan kehilangan identitas dirinya bila berada dalam suatu kebersamaan

    artinya mereka tidak dapat melebur identitasnya dengan orang lain. Oleh

    karena itu, jika usaha intimasi mereka gagal maka mereka akan melakukan

    isolasi dari hubungan sosialnya.

    2.3.2 Dewasa Madya

    Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa madya

    mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia empat

    puluh sampai umur enam puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang dihadapi

    pada dewasa madya adalah generativity vs stagnation. Pada tahapan ini

    individu dalam kehidupannya mulai berfokus pada dirinya sendiri dalam

    menghadapi usia tua (Papalia et.al., 2005).

    Pada umumnya, individu dewasa madya memikirkan keberlanjutan suatu

    hal yang sudah dicapai pada masa mudanya, misalnya seperti suasana dalam

    keluarga, pekerjaan, lingkungan sosial, dan hubungan dengan pasangan.

    Apabila hal tersebut tidak berlanjut, maka individu tersebut akan mengalami

    suatu tahapan yang disebut dengan tahap stagnation.

    2.3.2.1 Rentang Usia Dewasa Madya (40-60 tahun)

    Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial pada masa ini antara lain

    (Papalia et.al., 2005):

    a) Masa dewasa madya merupakan periode yang ditakuti dilihat dari

    seluruh kehidupan manusia.

  • 34

    b) Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan

    wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya

    dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri

    jasmani dan perilaku yang baru.

    c) Masa dewasa madya adalah masa berprestasi. Menurut Erikson,

    selama usia madya ini orang akan menjadi lebih sukses atau

    sebaliknya mereka berhenti (stagnasi).

    d) Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama lebih besar

    dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat

    dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi

    dan sosial.

    2.4 Kerangka Berfikir

    Adapun kerangka berfikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

    Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian stres dan coping pada ibu yang memiliki anak penyandang down syndrome

    Ibu yang mempunyai anak penyandang down syndrome dalam

    menghadapi anak mereka mengalami stres. Down syndrome sendiri memiliki

    empat karakteristik kognisi yang terdiri dari mild mental retardation (ringan)

    Ibu yang memiliki anak penyandang

    Down syndrome

    Anak down syndrome

    Mild Moderate Severe Profound

    Stres Coping

    Problem Focused Coping

    Emotions Focused Coping

  • 35

    dengan IQ 55-70, moderate mental retardation dengan IQ 40-55, severe

    mental retardation dengan IQ 25-40, dan profound mental retardation dengan

    IQ dibawah 25. Dari keempat karakteristik kognisi tersebut akan melihat

    perbedaan tingkat stres-nya.

    Dikarenakan ibu tersebut telah mengalami stres maka penulis juga akan

    melihat gambaran strategi coping yang digunakan oleh ibu tersebut, apakah

    ibu itu menggunakan problem focused coping atau Emotions focused coping.

    Problem focused coping yaitu strategi pengelolaan yang berpusat pada

    masalah sama dengan strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan

    masalah. Strategi diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah

    penyebab stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan

    lingkungan. Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya

    dilakukan terhadap situasi yang dinilai dapat berubah, dapat berupa tindakan-

    tindakan yang merumuskan masalah, membuat alternatif-alternatif jalan

    keluar, mempertimbangkan segala kemungkinan yang berhubungan dengan

    alternatif yang akan diambil, membuat alternatif yang terbaik sehingga

    akhirnya mengambil keputusan untuk bertindak.

    Emotions focused coping strategi pengelolaan yang berpusat pada

    emosi berfungsi untuk mengatur respon emosional terhadap masalah, yang

    terdiri atas proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan

    emosional dan termasuk strategi-strategi seperti penghindaran, pengurangan

    aktivitas, membuat jarak, perhatian yang selektif, perbandingan yang positif.

    Pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Lazarus,

    1984).