kasus 4

113
1 KASUS 4 MURUNG Seorang perempuan berusia 65 tahun dibawa keluarganya untuk konsultasi ke psikiater karena sering terlihat murung dan tidak bersemangat sejak suaminya meninggal sekitar 6 bulan yang lalu,pasien merasa mudah lelah,nafsu makan menurun dan sulit tidur nyenyak di malam hari. Berat badan pasien dirasa semakin menurun ditandai dengan pakaian pasien jadi longgar,pasien juga tidak pernah lagi ikut kegiatan social seperti arisan,pengajian,dan lebih senang mengurung diri dikamar.Hobi bercocok tanampun sudah tidak pernah dilakukan lagi,menurut pasien kegiatan tersebut sudah tidak menarik minatnyta lagi.Keluarga khawatir karena pasien sering bilang ingin menyusul suaminya ke surga.Setelah dilakukan pemeriksaan status mental terhadap pasien,dokter memberikan antidepresan kepada pasien dan merencanakan terapi keluarga. STEP 1 _ STEP 2 1. Perubahan mental secara fisiologis pada lansia ?

Upload: dian-ayu-ningsih

Post on 15-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pbl kasus 4

TRANSCRIPT

Page 1: KASUS 4

1

KASUS 4

MURUNG

Seorang perempuan berusia 65 tahun dibawa keluarganya untuk konsultasi

ke psikiater karena sering terlihat murung dan tidak bersemangat sejak suaminya

meninggal sekitar 6 bulan yang lalu,pasien merasa mudah lelah,nafsu makan

menurun dan sulit tidur nyenyak di malam hari. Berat badan pasien dirasa

semakin menurun ditandai dengan pakaian pasien jadi longgar,pasien juga tidak

pernah lagi ikut kegiatan social seperti arisan,pengajian,dan lebih senang

mengurung diri dikamar.Hobi bercocok tanampun sudah tidak pernah dilakukan

lagi,menurut pasien kegiatan tersebut sudah tidak menarik minatnyta

lagi.Keluarga khawatir karena pasien sering bilang ingin menyusul suaminya ke

surga.Setelah dilakukan pemeriksaan status mental terhadap pasien,dokter

memberikan antidepresan kepada pasien dan merencanakan terapi keluarga.

STEP 1

_

STEP 2

1. Perubahan mental secara fisiologis pada lansia ?

2. Faktor resiko dan etiologi gangguan mental pada lansia ?

3. Bagaimana mekanisme gejala pada kasus ?

4. Bagaimana pengaruh perubahan fisik lansia dengan perubahan mental ?

5. Mengapa pasien merasa murung ?

6. Bagaimana pemeriksaan status mental terhadap lansia ?

7. Penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus ?

Page 2: KASUS 4

2

STEP 3

1. – Faktor biologis atau fisik

-Faktor psikologi

-faktor lingkungan

-Gaya hidup

2. A. Etiologi = -Genetik

-Hormon

-Lingkungan

-Obat-obatan

-Sosial

-Psikologi

B. Factor resiko :

a). jenis kelamin

b). status perkawinan

c). kepribadian

d). eksternal/ internal

3. biologis, psikologis, psikosofial

4. ↓ fungsi fisiologi otak, ↓ hormone, perubahan neurotransmitter, perubahan

ekstremitas & social

5. A. Faktor psikologi :

a). gangguan emosional

b). adaptasi terhadap kehilangan

B. Faktor social

6. bisa disamakan dengan pemeriksaan status mental pada dewasa & MMSE

7. A. anamnesis

B. pemeriksaan fisik

Page 3: KASUS 4

3

C. pemeriksaan status mental

D. diagnosis

E. penatalaksanaan :

a). farmakologi

b). non-farmakologi

DD:

A. Depresi

B. Skizonfrenia

C. Kecemasan

D. Bipolar 1

E. Gangguan tidur

STEP 4

1. A. genetic : serebrovaskular → gangguan mental

B. umur : neurotransmitter tdk sumbang, perubahan struktur otak &

penyakit yang menyertai.

C. psikologi :

a). mandiri → kehilangan → gangguan mental

b). bergantung → kurang perhatian

neurotransmitter yang berpengaruh pada lansia :

a. ↓ dopamine

b. ↓ asetilkolin

c. ↓ katekolamin

D. lingkungan :

a. keluarga → kesepian

b. perubahan status social

Page 4: KASUS 4

4

c. ↓ fungsi organ

d. gaya hidup → kurang asupan → kurangnya gizi yang

mengandung serotonin

E. kepribadian : introvert

F. obat-obatan :

a. anti depresi

b. NSAID

c. analgetik

3. stressor → penekanan → ↓ gaba → memicu reaksi kaskade di VTA →

pelepasan serotonin dari VTA→ memicu ↑ dopamine → mencegah ↓ aksis

HPA & kadar noradrenalin ↑ → strees

4. A. perubahan ekstremitas → stroke pada lansia → gangguan pada ekstremitas

→ berhubungan dengan penatalaksanaan , kurangnya dukungan keluarga →

gangguan mental

B. ↓ Ekstrogen pada wanita → pengaruh sendi

Etiologi

Pengaruh perubahan fisik yang mempengaruhi gangguan mental

Faktor resiko

Perubahan mental secara fisiologis pada lansia

Patofisiologi

Gangguan Mental Lansia

Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan

Page 5: KASUS 4

5

STEP 5

1. Pemeriksaan psikiatri pada lansia

2. Gangguan mental pada usia tua :

A. Gangguan bipolar

B. Delusional

C. Depresi

D. Kecemasan

E. Skizonfrenia

3. mekanisme patofisiologi gangguan mental pada usia tua ( aspek

monokuler)

STEP 6

BELAJAR MANDIRI

STEP 7

1. Pemeriksaan psikiatri pada lansia

a. Pemeriksaan status mental pada lansia

Pada  pasien  lanjut  usia,  dianjurkan  untuk  melakukan pemeriksaan status

mental  berulang-ulang  karena  adanya perubahan  yang berfluktuasi  dalam

status  mental  pasien. Riwayat longitudinal dari pasien atau keluarga penting

nilainya.

PENJELASAN UMUM

Termasuk di dalam bagian ini adalah penampilan pasien, aktivitas

psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktivitas bicara. Gangguan

motorik seperti gaya berjalan yang menyeret, postur bungkuk, gerakan jari

memilin pil, tremor harus dicatat. Gerakan involunter pada mulut atau lidah

mungkin merupakan efek samping fenotiazine. Wajah seperti topeng pada

Page 6: KASUS 4

6

penyakit Parkinson.  Air  mata atau  menangis  dapat  ditemukan  pada

gangguan depresif dan gangguan kognitif, terutama jika pasien merasa frustasi

tidak bisa menjawab pertanyaan pemeriksa. Penampilan umum dapat

memberikan gambaran mengenai fungsi psikologik. Penampilan umum

meliputi : Penampilan fisik, koordinasi gerakan, ekspresi muka dan postur

tubuh. Penampilan fisik meliputi : cara berpakaian, cara berdandan, perawatan

dan kebersihan diri.

Observasi yang dapat dilakukan untuk mengkaji penampilan umum :

1. Apakah penampilan fisik klien menandakan adanya gangguan

fungsi psikologik ?

2. Apakah gaya berjalan, postur tubuh dan ekspresi muka

menandakan adanya gangguan psikologik ?

3. Apakah ada tanda – tanda tardive dyskineksia atau efek yang

kurang baik akibat medikasi ?

Tabel 1 Penampilan umum berhubungan dengan fungsi psikologik

TANDA KETERANGAN

Penampilan fisik Penampilan fisik : pakaian compang –

camping, tidak rapi, bau badan tidak sedap

dapat dihubungkan dengan adanya depresi,

tetapi perlu dikaji faktor lain seperti :

adanya inkontinensia, kemampuan kognitif,

kondisi keuangan, gangguan pengelihatan/

penciuman, dan kemampuan melakukan

perawatan diri.

Postur tubuh Postur tubuh yang bukuk dapat menandakan

adanya depresi

Koordinasi gerak : gaya

berjalan

Gaya berjalan yang tidak terkoordinasi atau

tardive dyskineksia dapat diakibatkan oleh

efek pengobatan psikotropika

Gaya berjalan dengan lambaian tangan

seolah – olah tubuh lemah dengan kepala

Page 7: KASUS 4

7

ditekuk dapat menandakan adanya depresi

dan menarik diri.

Ekspresi muka Ekspresi muka dengan kontak mata ynag

kurang dapat menandakan adanya depresi.

PENILAIAN FUNGSI

Tanyakan  mengenai  kemampuan  mereka mempertahankan kemandirian

dan melakukan aktivitas dalam kehidupan  sehari-hari yaitu  toilet,

menyiapkan  makanan, berpakaian, berdandan.

MOOD, PERASAAN dan AFEK

Gangguan pada keadaan mood, terutama adalah depresi dan

kecemasan dapat mengganggu fungsi daya ingat. Tanyakan mengenai

pikiran bunuh diri, apakah pasien merasa tidak lagi berharga, merasa lebih

baik mati dan jika mati, tidak membebani orang lain lagi. Suatu mood yang

meluas atau euforik mungkin menyatakan suatu episode manik atau

mungkin merupakan bagian  dari  gangguan  demensia. Afek  yang  datar,

tumpul, depresif, skizofrenia atau disfungsi otak.

GANGGUAN PERSEPSI

Persepsi adalah daya mengenal benda, kualitas, hubungan dan

perbedaan melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan setelah

panca indranya mendapatkan rangsang.

Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia mungkin merupakan fenomena

transien yang disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa

harus mencatat dengan teliti kelainan yang terjadi, apakah berhubungan

dengan  suatu  kondisi  organik. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor

otak dan patologi lokal.

Tabel 2. Temuan – temuan pada Gangguan persepsi.

Page 8: KASUS 4

8

Persepsi Keterangan

Halusinasi Persepsi panca indra tanpa objek/rangsang

sensorik. Jenis : Visual, Akustik, olfaktorik,

gustatorik, dan taktil

Ilusi Persepsi / interpretasi yang salah terhadap suatu

rangsang sensorik.

Pada lansia gangguan persepsi biasanya berhubungan dengan demensia,

depresi dan delirium. Beberapa alasan pengkajian gangguan persepsi pada

lansia sulit dilakukan adalah :

1). Pasien berusaha mennyembunyikan adanya gangguan persepsi ?

2). Jika gangguan persepsi muncul akibat isolasi sosial, pengkajian

sulit dilakukan

3). Diperlukan pengamatan yang jeli

4). Pengaruh latar belakang budaya

KEMAMPUAN BERBAHASA

Mencakup afasia, yang merupakan gangguan pengeluaran bahasa yang

berhubungan dengan lesi organik otak. Pada afasia Broca, pengertian pasien

tetap utuh tetapi kemampuan untuk berbicara terganggu, salah diucapkan.

Pada afasia Wernicke, pasien diminta menunjukkan beberapa benda

sederhana yang umum (kunci, pensil, tombol lampu). Pasien mungkin tidak

dapat menunjukkan kegunaan benda sederhana tersebut.

FUNGSI VISUOSPASIAL

Suatu  penurunan  kapasitas  fungsi  visuospasial  adalah normal dengan

bertambahnya usia. Pemeriksaan neuropsikologi harus dilakukan jika fungsi

visuospasial sangat terganggu.

Page 9: KASUS 4

9

PIKIRAN

Hilangnya kemampuan untuk berpikir abstrak merupakan tanda awal dari

demensia. Isi pikiran harus diperiksa mengenai fobia, obsesi, preokupasi

somatik dan kompulsi. Gagasan bunuh diri pun harus diperiksa dengan

teliti.

SENSORIUM DAN KOGNISI

Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indera tertentu dan kognisi

mempermasalahkan proses informasi dan intelektual. Survey kedua bidang

tersebut dikenal sebagai pemeriksaan neuropsikiatrik dan terdiri dari

pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter dan tes psikologis berurutan yang

lengkap.

1. KESADARAN

Tabel 3 Beberapa tingkatan penurunan kesadaran.

TINGKAT

KESADARAN

KETERANGAN

Apati Keadaan mengantuk dan acuh tak acuh

terhadap rangsang yang masuk, diperlukan

rangsang yang lebih keras dari biasanya untuk

menarik perhatiannya.

Somnolen Keadaan sangat mengantuk, diperlukan

rangsang yang lebih keras dari biasanya untuk

menarik perhatiannya.

Sopor Hanya bereaksi dengan rangsang yang keras ,

ingatan , orientasi dan pertimbangan sudah

hilang

Koma Tidak ada lagi respon terhadap rangsang yang

keras sekalipun.

Page 10: KASUS 4

10

Observasi yang dapat dilakukan untuk mengkaji tingkat kesadaran:

- Apakah tingkat kesadaran pasien saat ini ?

- Apakah ada fluktuasi pada tingkat kesadaran pasien. Jika ada

apakah ada pola tertentu ?

- Apakah ada faktor fisik yang mempengaruhi tingkat

kesadaran, misal : pengaruh medikasi, kondisi patologik, dan

gangguan afektif ?

- Apakah ada faktor psikososial yang mempengaruhi tingkat

kesadaran misal : cemas, depresi, atau gangguan tidur ?

2. ORIENTASI

Orientasi meliputi orientasi terhadap tempat, orang dan waktu. Wawancara

untuk mengkaji orientasi klien :

1). Orang : Siapakah nama anda, Siapakah nama anak anda ?

Siapakah nama istri/ suami anda ?, dan lain-lain.

2). Waktu : Jam berapa sekarang ? , Kapan waktu anda makan pagi

? Hari apa sekarang ? , Bualan apa sekarang ? , dan lain-lain.

3). Tempat : Dimanakan saudara saat ini ? , Dimanakah alamat

saudara ? Apa nama kota ini ? , Apakah nama tempat ini ? dan

lain-lain.

3. DAYA INGAT

Memori meliputi memori baru, memori jangka pendek dan memori

jangka panjang. Gangguan memori dapat mengidentifikasikan adanya

gangguan intelektual/ kognitif. The Short Portable Mental Status

Quesionnaire (SPMQ) digunakan untuk mendeteksi tingkat gangguan

intelektual.

Page 11: KASUS 4

11

Tabel 4. The Short Portable Mental Status Quesionnaire ( SPMQ )

K

Kete

KeKeteKeterangan :

Jumlah kesalahan :

0 – 2 kesalahan : Baik

2 – 4 kesalahan : Gangguan ringan

5 – 7 kesalahan : Gangguan sedang

7– 10 kesalahan : Gangguan berat

b. Mini Mental State

Mini Mental State Examination (MMSE) adalah metode pemeriksaan

untuk menilai fungsi kognitif yang telah digunakan secara luas oleh para

klinisi untuk praktek klinik maupun penelitian.

MMSE diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975 dan telah banyak

dipakai di dunia dan di Indonesia juga telah direkomendasikan oleh

No PERTANYAAN JAWABAN

BETUL SALAH

1 Tanggal berapa hari ini ?

2 Hari apakah hari ini ?

3 Apakah nama tempat ini ?

4 Berapa no. telepon rumah anda ?

5 Berapa usia anda ?

6 Kapan anda lahir ( Tgl/Bln/ Thn ) ?

7 Siapakah nama presiden sekarang ?

8 Siapakah nama presiden sebelumnya ?

9 Siapakah nama ibu anda ?

10 5 + 6 adalah ?

Page 12: KASUS 4

12

kelompok studi fungsi luhur PERDOSSI. Gangguan kognitif dapat diperiksa

secara bedside dengan menggunakan MMSE. Tes ini mudah dikerjakan dan

hanya memerlukan waktu yang singkat. Pemeriksaan MMSE meliputi

penilaian orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali

serta bahasa. Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsi-fungsi tersebut

dan nilai sempurna adalah 30.

Tes-tes pada MMSE antara lain tes orientasi ini untuk menilai

kesadaran juga daya ingat. Tes registrasi untuk menilai memori kerja. Tes

recall untuk menilai memori mengenal kembali. Informasi tidak disimpan

bila memori kerja negatif. Disfungsi proses pencarian/ pemanggilan kembali

terjadi bila memori kerja negatif sedang memori mengenal kembali positif.

Penurunan konsentrasi dapat terjadi apabila ada gangguan pada tes atensi

dan kalkulasi. Keadaan ini terdapat pada degenerasi difus atau gangguan

metabolik, sedangkan pada tes bahasa pasien diminta untuk menyebut nama

(naming), bila ada gangguan penamaan berarti ada lesi fokal di otak atau

disfungsi difus hemisfer. Pasien diminta untuk mengulang kalimat (repetisi)

pada tes pengulangan kalimat, bila ada gangguan repetisi berarti ada

gangguan pada perisylvian hemisfer kiri. Tes lainnya adalah dengan

menyuruh pasien untuk melakukan tiga perintah bertahap (bahasa

komprehensif), bila ada gangguan pada tes ini berarti ada disfungsi lobus

temporal posterior kiri atau korteks parietotemporal. Pasien juga disuruh

untuk menulis kalimat perintah dan melakukan perintah tersebut, pasien

disuruh menulis kalimat spontan dan menyalin gambar pentagon,

kesemuanya ini untuk menilai fungsi eksekutif.

Beberapa penulis melaporkan bahwa nilai MMSE dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti faktor sosiodemografik, termasuk di dalamnya

adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status

perkawinan yang kedua adalah faktor lingkungan dan faktor behavior yang

termasuk pada faktor ini adalah beban kehidupan secara umum, stress fisik,

kontak social, aktifitas fisik, merokok dan minum alkohol. Penelitian ini

melaporkan bahwa umur dan pendidikan akan mempengaruhi nilai MMSE.

Page 13: KASUS 4

13

Sedangkan peneliti lain melaporkan bahwa yang mempengaruhi nilai

MMSE hanya tingkat pendidikan saja.

Pemeriksaan MMSE mudah dilakukan yaitu dengan member nilai

untuk beberapa fungsi kognitif. Tes ini menilai orientasi waktu, tempat,

ingatan hal segera, memori jangka pendek dan kemampuan pengurangan

serial atau membaca terbalik, selain itu juga mengukur kemampuan

konstruksional dan pemakaian bahasa. Tes ini dapat dilakukan oleh dokter,

perawat atau orang awam dengan sedikit pelatihan dan hanya membutuhkan

waktu sekitar 10 menit.

Beberapa modifikasi dari MMSE telah dilakukan supaya dapat

digunakan pada negara tertentu. Poungvarrin melakukan modifikasi MMSE

sesuai dengan pendidikan dan sosial tradisi masyarakat Thailand menjadi

Thai Mental State Examination (TSME) dan jumlah nilai TSME sama

dengan MMSE.

Beberapa perbedaan terjadi di antara para ahli dalam menentukan

klasifikasi penilaian MMSE. Grut et al dan Folstein et al mendapatkan nilai

normal MMSE adalah lebih besar atau sama dengan 27, sedangkan Wind

mendapatkan nilai MMSE normal (27-30) curiga gangguan fungsi kognitif

(22-26), pasti gangguan fungsi kognitif (<21). Kukull et al menyatakan

bahwa nilai MMSE normal adalah lebih besar atau sama dengan 27.

c. Clock drawing test

CDT (Clock Drawing Test) telah diusulkan sebagai tes skrining cepat

untuk disfungsi kognitif sekunder untuk demensia, delirium atau kisaran

penyakit neurologis dan psikiatris.

Skrining cepat untuk fungsi kognitif dapat berkonstribusi penyelidikkan

penilaian secara keseluruhan yang dibutuhkan untuk pasien. Menurut

Sulaiman, CDT melengkapi tes skrining cepat termasuk MMSE dan

merupakan komponen 7 menit neurokognitif pemutaran baterai.

Kekuatan dan kelemahan dari tes menggambar jam terletak pada jumlah

kognitif, motor dan fungsi persepsi yang diperlukan untuk keberhasilan

penyelesaian secara bersamaan orientasi, konseptualisasi waktu, organisasi

spasial visual, memori dan fungsi eksekutif, pemahaman pendengaran,

Page 14: KASUS 4

14

memori visual, pemprograman motorik, pengetahuan numeric, instruksi

semantic, penghambatan stimulus mengganggu, konsentrasi dan frustrasi

toleransi. Fungsi eksekutif yang diperlukan untuk CDT melibatkan fungsi

control yang kompleks panduan perilaku terarah tujuan dan tidak relevan

atau ambigu isyarat lingkungan, dan bahwa tuntutan serupa juga dimiliki

oleh keterampilan hidup mandiri.

2. Gangguan mental pada usia tua

A. Gangguan Bipolar 1

Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa bersifat episodik dan ditandai

oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi dan campuran, biasanya rekuren

serta dapat berlangsung seumur hidup. Kelainan fundamental pada kelompok

gangguan ini adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya ke

arah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau ke arah elasi

(suasana perasaan yang meningkat). Perubahan suasana perasaan ini biasanya

disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas, dan

kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah

dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut.

Ada empat jenis GB tertera di dalam Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders IV-Text Revision (DSM-IV TR) yaitu GB I, GB II. gangguan

siklotimia, dan GB yang tak dapat dispesifikasikan.

Gangguan Bipolar I adalah suatu perjalanan klinis yang dikarakteristikkan

oleh terdapatnya satu atau lebih episode manik atau campuran, dimana individu

tersebut juga mempunyai satu atau lebih episode depresi mayor. Kekambuhan

ditunjukkan oleh perpindahan polaritas dari episode atau terdapatnya interval

diantara episode-episode paling sedikit 2 bulan tanpa adanya gejala-gejala

mania.

1. Etiologi

Faktor biologi

Hingga saat ini neurotransmitter monoamine seperti norepinefrin,

dopamine, serotonin, dan histamine menjadi focus teori dan masih diteliti

hingga saat ini. Sebagai biogenik amin norepinefrin dan serotonin adalah

Page 15: KASUS 4

15

neurotransmitter yang paling berpengaruh dalam patofisiologi gangguan mood

ini.

Norepinefrin. Teori ini merujuk pada penurunan regulasi dan penurunan

sensitivitas dari reseptor β adrenergik dan dalam klinik hal ini dibuktikan oleh

respon pada penggunaan anti depresan yang cukup baik sehingga mendukung

adanya peran langsung dari system noradrenergik pada depresi. Bukti lainnya

melibatkan reseptor β2 presinaps pada depresi karena aktivasi pada reseptor ini

menghasilkan penurunan dari pelepasan norepinefrin. Reseptor β2 juga terletak

pada neuron serotoninergic dan berperan dalam regulasi pelepasan serotonin.

Serotonin. Teori ini didukung oleh respon pengobatan SSRI (selective

serotonin reuptake inhibitor) dalam mengatasi depress. Rendahnya kadar

serotonin dapat menjadi factor resipitat depresi, beberapa pasien dengan

dorongan bunuh diri memiliki konsentrasi serotonin yang rendah dalam cairan

cerebropinalnya dan memiliki kadar konsentrasi rendah uptake serotonin pada

platelet.

Dopamine. Selain dari norepinefrin dan serotonin, dopamine juga diduga

memiliki peran. Data memperkirakan bahwa aktivitas dopamine dapat

mengurangi depresi dan meningkat pada mania. Dua teori mengenai dopamine

dan depresi adalah bahwa jalur mesolimbic dopamine tidak berfungsi terjadi

pada depresi dan dopamine reseptor D1 hipoaktif pada keadaan depresi.

Kelainan di otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini.

Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita

bipolar. Melalui pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-

emission tomography (PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran

darah yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu,

Blumberg dkk dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang

kecil pada amygdale dan hippocampus. Korteks prefrontal, amygdale, dan

hippocampus merupakan bagian dari otak yang terlibat dalam respon emosi

(mood dan afek).

Penelitian lain menunjukkan ekspresi oligodendrosit-myelin berkurang

pada otak penderita bipolar. Seperti diketahui, oligodendrosit menghasilkan

membran myelin yang membungkus akson sehingga mampu mempercepat

Page 16: KASUS 4

16

hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang, maka

dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar.

Faktor genetik

Studi pada keluarga. Data dari studi ini mengatakan 1 orang tua dengan

gangguan mood, anaknya akan memiliki risiko antara 10-25% untuk menderita

gangguan mood. Jika kedua orang tuanya menderita gangguan mood, maka

kemungkinannya menjadi 2 kali lipat. Risiko ini meningkat jika ada anggota

keluarga dari 1 generasi sebelumnya daripada kerabat jauh. Satu riwayat

keluarga gangguan bipolar dapat meningkatkan risiko untuk gangguan mood

secara umum, dan lebih spesifik pada kemungkianan munculnya bipolar.

Studi pada anak kembar. Studi ini menunjukan bahwa gen hanya

menjelaskan 50-70% etiologi dari gangguan mood. Studi ini menunjukan

rentang gangguan mood pada monozigot sekitar 70-90% dibandingkan dengan

kembar dizigot sekitar 16-35%.

Faktor psikososial

Stress dari lingkungan dan peristiwa dalam hidup seseorang. Penelitian

telah membuktikan faktor lingkungan memegang peranan penting dalam

Gangguan perkembangan bipolar. Faktor lingkungan yang sangat berperan

pada kehidupan psikososial dari pasien dapat menyebabkan stress yang dipicu

oleh faktor lingkungan. Stress yang menyertai episode pertama dari Gangguan

bipolar dapat menyebabkan perubahan biologik otak yang bertahan lama.

Perubahan bertahan lama tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan

fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberian signal

intraneuronal. Perubahan mungkin termasuk hilangnya neuron dan penurunan

besar dalam kontak sinaptik. Hasil akhir perubahan tersebut adalah

menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita

Gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stressor eksternal.

Faktor kepribadian. Tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa gangguan

kepribadian tertentu berhubungan dengan berkembangnya gangguan bipolar I,

Page 17: KASUS 4

17

walaupun pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik berisiko untuk

dapat berkembang menjadi depresi mayor atau gangguan bipolar I. Kejadian

tiba-tiba yang memicu stress yang kuat adalah prediktor dari onset episode

depresi.

2. Patofisiologi

Siklus tipikal bipolar

Dalam sebagian besar kasus bipolar, fase depresi jauh melebihi fase

manik, dan siklus mania dan depresi tidak menentu dan tidak dapat diprediksi.

Banyak pasien mengalami episode campuran, yang merupakan episode manik

dan depresi muncul bersamaan selama 7 hari.

Rapid Cycling

Pasien dengan gangguan bipolar 1, perputran cepat kemungkinan adalah

wanita dan pernah mengalami episode depresif dan hipomanik, cenderung pada

gangguan pada faktor ekternal bukan dari genetik. Pada fase ini episode manik

dan depresi timbul bergantian sedikitnya 4 kali setahun dan pada kasus yang

parah, bisa mencapai sejumlah siklus sehari.rapid cycling cenderung untuk

timbul lebih sering pada wanita dan pada pasien bipolar II. Umumnya, rapid

cycling bermula pada fase depresi, dan episode depresi yang sering dan parah

bisa menjadi ciri khas dari kejadian ini. Fase ini sulit untuk ditangani,

khususnya karena antidepresan bisa mencetuskan perubahan ke mania dan

memunculkan pola melingkar.

Dengan Pola Musiman

Pasien dengan gangguan pola musiman dalam gangguan moodnya

cenderung mengalami episode depresi selama waktu tertentu dalam satu tahun,

biasanya pada musim dingin dan hanya terjadi satu kali dalam satu tahun. Bisa

juga terjadi remisi penuh dimana adanya perubahan dari depresi menjadi mania

atau hipomania.

3. Gambaran klinik atau manifestasi klinik

Page 18: KASUS 4

18

Terdapat dua pola gejala dasar pada Gangguan bipolar yaitu, episode

depresi dan episode mania.

Episode manic:

Paling sedikit satu minggu (bisa kurang, bila dirawat) pasien mengalami

mood yang elasi, ekspansif, atau iritabel. Pasien memiliki, secara menetap, tiga

atau lebih gejala berikut (empat atau lebih bila hanya mood iritabel) yaitu:

a. Grandiositas atau percaya diri berlebihan

b. Berkurangnya kebutuhan tidur

c. Cepat dan banyaknya pembicaraan

d. Lompatan gagasan atau pikiran berlomba

e. Perhatian mudah teralih

f. Peningkatan energy dan hiperaktivitas psikomotor

g. Meningkatnya aktivitas bertujuan (social, seksual, pekerjaan dan

sekolah)

h. Tindakan-tindakan sembrono (ngebut, boros, investasi tanpa

perhitungan yang matang).

Gejala yang derajatnya berat dikaitkan dengam penderitaan, gambaran

psikotik, hospitalisasi untuk melindungi pasien dan orang lain, serta adanya

Gangguan fungsi sosial dan pekerjaan. Pasien hipomania kadang sulit

didiagnosa sebab beberapa pasien hipomania justru memiliki tingkat kreativitas

dan produktivitas yang tinggi. Pasien hipomania tidak memiliki gambaran

psikotik (halusinasi, waham atau perilaku atau pembicaraan aneh) dan tidak

memerlukan hospitalisasi.

Episode Depresi Mayor

Paling sedikit dua minggu pasien mengalami lebih dari empat symptom atau

tanda yaitu :

a. Mood depresif atau hilangnya minat atau rasa senang

b. Menurun atau meningkatnya berat badan atau nafsu makan

c. Sulit atau banyak tidur

d. Agitasi atau retardasi psikomotor

e. Kelelahan atau berkurangnya tenaga

Page 19: KASUS 4

19

f. Menurunnya harga diri

g. Ide-ide tentang rasa bersalah, ragu-ragu dan menurunnya

konsentrasi

h. Pesimis

i. Pikiran berulang tentang kematian, bunuh diri (dengan atau tanpa

rencana) atau tindakan bunuh diri.

Gejala-gejala diatas menyebabkan penderitaan atau mengganggunya fungsi

personal, sosial, pekerjaan.

Episode Campuran

Paling sedikit satu minggu pasien mengalami episode mania dan depresi

yang terjadi secara bersamaan. Misalnya, mood tereksitasi (lebih sering mood

disforik), iritabel, marah, serangan panic, pembicaraan cepat, agitasi,

menangis, ide bunuh diri, insomnia derajat berat, grandiositas, hiperseksualitas,

waham kejar dan kadang-kadang bingung. Kadang-kadang gejala cukup berat

sehingga memerlukan perawatan untuk melindungi pasien atau orang lain,

dapat disertai gambaran psikotik, dan mengganggu fungsi personal, sosial dan

pekerjaan.

Episode Hipomanik

Paling sedikit empat hari, secara menetap, pasien mengalami peningkatan

mood, ekspansif atau irritable yang ringan, paling sedikit terjadi gejala (empat

gejala bila mood irritable) yaitu:

a. Grandiositas atau meningkatnya kepercayaan diri

b. Berkurangnya kebutuhan tidur

c. Meningkatnya pembicaraan

d. Lompat gagasan atau pemikiran berlomba

e. Perhatian mudah teralih

f. Meningkatnya aktifitas atau agitasi psikomotor

g. Pikiran menjadi lebih tajam

h. Daya nilai berkurang

Page 20: KASUS 4

20

Tidak ada gambaran psikotik (halusinasi, waham, atau prilaku atau

pembicaraan aneh) tidak membutuhkan hospitalisasi dan tidak mengganggu

fungsi personal, sosial, dan pekerjaan. Sering kali dilupakan oleh pasien tetapi

dapat dikenali oleh keluarga.

4. Kriteria diagnosis

Keterampilan wawancara dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.

Informasi dari keluarga sangat diperlukan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

criteria yang terdapat dalam DSM-IV atau ICD-10. Salah satu instrumen yang

dapat digunakan untuk mengidentifikasi symptom Gangguan bipolar adalah

The Structured clinical Interview for DSM-IV (SCID). The Present State

Examination (PSE) dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi symptom

sesuai dengan ICD-10.

Pembagian menurut DSM-IV:

Gangguan mood bipolar I

Gangguan mood bipolar I, episode manic tunggal

A. Hanya mengalami satu kali episode manic dan tidak ada rwayat

depresi mayor sebelumnya.

B. Tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform,

skizoafektif, Gangguan waham, atau dengan Gangguan psikotik

yang tidak dapat diklasifikasikan.

C. Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau

kondisi medic umum

D. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup

bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan

aspek fungsi penting lainnya.

Gangguan mood bipolar I, episode manic sekarang ini

A. Saat ini dalam episode manic

B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu kali episode

manik, depresi, atau campuran.

C. Episode mood pada kriteria A dan B bukan skizoafektif dan tidak

bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, Gangguan

Page 21: KASUS 4

21

waham, atau dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat

diklasifikasikan.

D. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat

atau kondisi medik umum.

E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup

bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan

aspek fungsi penting lainnya.

Gangguan mood bipolar I, episode campuran saat ini

A. Saat ini dalam episode campuran

B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik,

depresi atau campuran

C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan

skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia,

skizifreniform, Gangguan waham, atau Gangguan psikotik yang

tidak diklasifikasikan

D. Gejala-gejala tidak disebabkan efek oleh fisiologik langsung zat

atau kondisi medik umum

E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup

bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau

aspek fungsi penting lainnya.

Gangguan mood bipolar I, episode hipomanik saat ini

A. Saat ini dalam episode hipomanik

B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manic

atau campuran

C. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup

bermakna atau hendaya social, pekerjaan atau aspek fungsi penting

lainnya

D. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan

sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan

skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, dan dengan

Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.

Gangguan mood bipolar I, episode depresi saat ini

Page 22: KASUS 4

22

A. Saat ini dalam episode depresi mayor

B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik dan

campuran

C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan

sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan

skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, dan dengan

Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.

D. Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau

kondisi medik umum

E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup

bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau

aspek fungsi penting lainnya.

Gangguan mood bipolar I, Episode Yang tidak dapat diklasifikasikan saat

ini

A. Kriteria, kecuali durasi, saat ini, memenuhi kriteria untuk manik,

hipomanik, campuran atau episode depresi.

B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manik

atau campuran.

C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan

sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan

skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, atau dengan

Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain.

D. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup

bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau

aspek fungsi penting lainnya.

5. Penatalaksanaan

Terapi psikososial

o Terapi kognitif (Aaron Beck)

Tujuannya :

Page 23: KASUS 4

23

a. Menghilangkan episode depresi dan mencegah rekurennya

dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif

negatif.

b. Mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel dan positif,

serta melatih kembali respon kognitif dan perilaku yang baru.

o Terapi interpersonal (Gerrad Kleman)

Memusatkan pada masalah interpersonal yang sekarang dialami oleh

pasien dengan anggapan bahwa masalah interpersonal sekarang

mungkin terlibat dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresi

sekarang. Terapi ini difokuskan pada problem interpersonal yang ada.

Diasumsikan bahwa, pertama, problem interpersonal yang ada saat ini

merupakan akar terjadinya disfungsi hubungan interpersonal. Problem

interpersonal saat ini berperan dalam terjadinya gejala depresi.

Biasanya sesi berlangsung antara 12 sampai 16 minggu dan ditandai

dengan pendekatan terapeutik yang aktif. Tidak ditujukan pada

fenomena intrapsikik seperti mekanisme defensi dan konflik internal.

Keterbatasan asertif, gangguan kemampuan sosial, serta penyimpangan

pola berpikir hanya ditujukan bila memang mempunyai efek pada

hubungan interpersonal tersebut.

o Terapi perilaku

Terapi didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptif

menyebabkan seseorang mendapatkan sedikit umpan balik positif dari

masyarakat dan kemungkinan penolakan yang palsu. Dengan demikian

pasien belajar untuk berfungsi di dunia dengan cara tertentu dimana

mereka mendapatkan dorongan positif.

o Terapi berorientasi-psikoanalitik

Mencapai kepercayaan dalam hubungan interpersonal, keintiman,

mekanisme penyesuaian, kapasitas dalam merasakan kesedihan serta

kemampuan dalam merasakan perubahan emosional secara luas.

o Terapi keluarga

Diindikasikan untuk gangguan yang membahayakan perkawinan

pasien atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood dapat ditangani

Page 24: KASUS 4

24

oleh situasi keluarga. Terapi keluarga meneliti peran suasana hati

teratur dalam keseluruhan kesejahteraan psikologis dari seluruh

keluarga, tetapi juga mengkaji peran seluruh keluarga dalam

pemeliharaan gejala pasien. Pasien dengan gangguan mood memiliki

tingkat tinggi perceraian, dan sekitar 50 persen dari semua pasangan

melaporkan bahwa mereka tidak akan menikah atau memiliki anak jika

mereka tahu bahwa pasien akan mengembangkan gangguan mood.

o Rawat Inap

Yang pertama dan paling penting keputusan dokter harus dibuat

adalah apakah untuk memutuskan pasien rawat inap atau pasien rawat

jalan. Jelas indikasi untuk rawat inap adalah risiko bunuh diri atau

pembunuhan, pasien yang sangat berkurang kemampuannya untuk

makan dan kebutuhan untuk prosedur diagnostik. Suatu onset yang

berkembang cepat gejala juga dapat menjadi indikasi untuk rawat

inap. Seorang dokter dapat dengan aman mengobati depresi ringan

atau hypomania dengan rawat jalan jika evaluasi pasien terus rutin

dilakukan. Tanda-tanda klinis dari gangguan penilaian, penurunan

berat badan, atau insomnia harus minimal. Sistem pendukung pasien

harus kuat, tidak ada menarik diri dari pasien. Setiap perubahan

negatif dalam gejala-gejala pasien atau perilaku mungkin cukup untuk

menjadi indikasi rawat inap rawat inap. Pasien dengan gangguan mood

sering tidak mau masuk rumah sakit secara sukarela, dan mungkin

harus sengaja dimasukan. Pasien-pasien ini sering tidak dapat

membuat keputusan karena pemikiran mereka melambat,

Weltanschauung negatif (pandangan dunia), dan keputusasaan. Pasien

yang manik sering memiliki seperti kurangnya wawasan gangguan

mereka yang rawat inap tampaknya benar-benar tidak masuk akal bagi

mereka.

o Terapi Fisik : Electro Convulsive Therapy (ECT)

Terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak melalui 2 elektrode

yang ditempatkan pada bagian temporal kepala.

Page 25: KASUS 4

25

Sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko

bunuh diri yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan

kurang baik (dengan dosis yang sudah adekuat).

o Farmakoterapi

Pendekatan farmakoterapeutik terhadap gangguan bipolar telah

menimbulkan perubahan besar dalam pengobatannya dan secara

dramatis telah mempengaruhi perjalanan gangguan bipolar dan

menurunkan biaya bagi penderita.

Episode mania atau hipomania

1. Mood Stabilizer

2. Antipsikotik atipikal

3. Mood stabilizer + antipsikotik atipikal.

Episode depresi

1. Antidepresan

2. Mood stabilizer

3. Antipsikotik atipikal

4. Mood stabilizer + antidepresan

5. Antipsikotik atipikal + antidepresan

Tabel 5 Penatalaksanaan kedaruratan agitasi akut.

Lini I • Injeksi IM Aripiprazol efektif untuk pengobatan agitasi pada pasien dengan episode

mania atau campuran akut. Dosis adalah 9,75mg/injeksi. Dosis maksimum adalah

29,25mg/hari (tiga kali injeksi per hari dengan interval dua jam). Berespons dalam

45-60 menit.

• Injeksi IM Olanzapin efektif untuk agitasi pada pasien dengan episode mania atau

campuran akut. Dosis 10mg/ injeksi. Dosis maksimum adalah 30mg/hari. Berespons

dalam 15-30 menit. Interval pengulangan injeksi adalah dua jam. Sebanyak 90%

pasien menerima hanya satu kali injeksi dalam 24 jam pertama. Injeksi lorazepam 2

mg/injeksi. Dosis maksimum Lorazepam 4 mg/hari. Dapat diberikan bersamaan

dengan injeksi IM Aripiprazol atau Olanzapin. Jangan dicampur dalam satu jarum

suntik karena mengganggu stabilitas antipsikotika

Lini II • Injeksi IM Haloperidol yaitu 5 mg/kali injeksi. Dapat diulang setelah 30 menit.

Page 26: KASUS 4

26

Dosis maksimum adalah 15 mg/hari.

• Injeksi IM Diazepam yaitu 10 mg/kali injeksi. Dapat diberikan bersamaan dengan

injeksi haloperidol IM. Jangan dicampur dalam satu jarum suntik.

Rekomendasi terapi pada mania akutTabel 6 Terapi mania

Lini I Litium, divalproat, olanzapin, risperidon, quetiapin, quetiapin XR,

aripiprazol, litium atau divalproat + risperidon, litium atau

divalproat + quetiapin, litium atau divalproat + olanzapin, litium

atau divalproat + aripiprazol

Lini II Karbamazepin, ECT, litium + divalproat, paliperidon

Lini III Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat haloperidol, litium

+ karbamazepin, klozapin

Tidak direkomendasikan Gabapentin, topiramat, lamotrigin, risperidon

+ karbamazepin, olanzapin + karbamazepin

Page 27: KASUS 4

27

Gambar 1. Algoritma terapi mania akut.

Penatalaksanaan pada Episode Depresi Akut, GB ITabel 7 Penatalaksanaan episode depresi akut.

Lini I Litium, lamotrigin, quetiapin, quetiapin XR, litium atau divalproat +

SSRI, olanzapin + SSRI, litium + divalproat

Lini II Quetiapin + SSRI, divalproat, litium atau divalproat + lamotrigin

Page 28: KASUS 4

28

Lini III Karbamazepin, olanzapin, litium + karbamazepin, litium atau

divalproat + venlafaksin, litium + MAOI, ECT, litium atau

divalproat atau AA + TCA, litium atau divalproat atau

karbamazepin + SSRI + lamotrigin, penambahan topiramat

Tidak direkomendasikan Gabapentin monoterapi, aripiprazol monoterapi

Gambar 2 Alogaritma terapi GB I, episode depresi.

Page 29: KASUS 4

29

Rekomendasi terapi rumatan pada GB ITabel 8 Terapi rumatan GB I.

Lini I Litium, lamotrigin monoterapi, divalproat, olanzapin, quetiapin,

litium atau divalproat + quetiapin, risperidon injeksi jangka panjang

(RIJP), penambahan RIJP, aripirazol

Lini II Karbamazepin, litium + divalproat, litium + karbamazepin, litium

atau divalproat + olanzapin, litium + risperidon, litium + lamotrigin,

olanzapin + fluoksetin

Lini III Penambahan fenitoin, penambahan olanzapin,

penambahan ECT, penambahan topiramat,

penambahan asam lemak omega-3, penambahan okskarbazepin

Tidak direkomendasikan Gabapentin, topiramat atau antidepresan monoterapi

Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan pada gangguan bipolar:

Mood stabilizer

Litium

Litium sudah digunakan sebagai terapi mania akut sejak 50 tahun yang

lalu. Memiliki efek akut dan kronis dalam pelepasan serotonin dan

norepineprin di neuron terminal sistem saraf pusat.

Farmakologi

Sejumlah kecil litium terikat dengan protein. Litium diekskresikan dalam

bentuk utuh hanya melalui ginjal.

Indikasi

Episode mania akut, depresi, mencegah bunuh diri, dan bermanfaat

sebagai terapi rumatan GB.

Dosis

Respons litium terhadap mania akut dapat dimaksimalkan dengan

menitrasi dosis hingga mencapai dosis terapeutik yang berkisar antara 1,0-1,4

Page 30: KASUS 4

30

mEq/L. Perbaikan terjadi dalam 7-14 hari. Dosis awal yaitu 20 mg/kg/hari.

Dosis untuk mengatasi keadaan akut lebih tinggi bila dibandingkan dengan

terapi rumatan. Untuk terapi rumatan, dosis berkisar antara 0,4-0,8 mEq/L.

Dosis kecil dari 0,4 mEq/L, tidak efektif sebagai terapi rumatan. Sebaliknya,

gejala toksisitas litium dapat terjadi bila dosis 1,5 mEq/L.

Efek samping

Efek samping yang dilaporkan adalah mual, muntah, tremor, somnolen,

penambahan berat badan, dan penumpulan kognitif. Neurotoksisitas, delirium,

dan ensefalopati dapat pula terjadi akibat litium. Neurotoksisitas bersifat

irreversible. Akibat intoksikasi litium, deficit neurologi permanen dapat terjadi

misalnya, ataksia, deficit memori, dan gangguan pergerakan. Untuk mengatasi

intoksikasi litium, hemodialisis harus segera dilakukan. Litium dapat merusak

tubulus ginjal. Factor resiko kerusakan ginjal adalah intoksikasi litium,

polifarmasi dan adanya penyakit fisik yang lainnya. Pasien yang

mengkonsumsi litium dapat mengalami poliuri. Oleh karena itu, pasien

dianjurkan untuk banyak meminum air.

Pemeriksaan laboratorium

Sebelum memberikan litium, fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) dan

fungsi tiroid, harus diperiksa terlebih dahulu. Untuk pasien yang berumur di

atas 40 tahun, pemeriksaan EKG harus dilakukan. Fungsi ginjal harus

diperiksa Setiap Setiap 2-3 bulan dan fungsi tiroid dalam enam bulan pertama.

Setelah enam bulan, fungsi ginjal dan tiroid diperiksa sekali dalam 6-12 bulan

atau bila ada indikasi.

Valproat

Valproat merupakan obat antiepilepsi yang disetujui oleh FDA sebagai

antimania. Valproat tersedia dalam bentuk:

1. Preparat oral;

a. Sodium divalproat, tablet salut, proporsi antara asam valproat dan

sodium valproat adalah sama (1:1)

b. Asam valproat

Page 31: KASUS 4

31

c. Sodium valproat

d. Sodium divalproat, kapsul yang mengandung partikel-partikel salut

yang dapat dimakan secara utuh atau dibuka dan ditaburkan ke

dalam makanan.

e. Divalproat dalam bentuk lepas lambat, dosis sekali sehari.

2. Preparat intravena

3. Preparat supositoria

Farmakologi

Terikat dengan protein. Diserap dengan cepat setelah pemberian oral.

Konsentrasi puncak plasma valproat sodium dan asam valproat dicapai dalam

dua jam sedangkan sodium divalproat dalam 3-8 jam. Awitan absorbsi

divalproat lepas lambat lebih cepat bila dibandingkan dengan tablet biasa.

Absorbsi menjadi lambat bila obat diminum bersamaan dengan makanan.

Ikatan valproat dengan protein meningkat bila diet mengandung rendah lemak

dan menurun bila diet mengandung tinggi lemak.

Dosis

Dosis terapeutik untuk mania dicapai bila konsentrasi valproat dalam

serum berkisar antara 45 -125 mg/mL. Untuk GB II dan siklotimia diperlukan

divalproat dengan konsentrasi plasma < 50 mg/mL. Dosis awal untuk mania

dimulai dengan 15-20 mg/kg/hari atau 250 – 500 mg/hari dan dinaikkan setiap

3 hari hingga mencapai konsentrasi serum 45- 125 mg/mL. Efek samping,

misalnya sedasi, peningkatan nafsu makan, dan penurunan leukosit serta

trombosit dapat terjadi bila konsentrasi serum > 100 mg/mL. Untuk terapi

rumatan, konsentrasi valproat dalam plasma yang dianjurkan adalah antara 75-

100 mg/mL.

Indikasi

Valproat efektif untuk mania akut, campuran akut, depresi mayor akut,

terapi rumatan GB, mania sekunder, GB yang tidak berespons dengan litium,

siklus cepat, GB pada anak dan remaja, serta GB pada lanjut usia.

Efek Samping

Valproat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat terjadi,

misalnya anoreksia, mual, muntah, diare, dispepsia, peningkatan (derajat

Page 32: KASUS 4

32

ringan) enzim transaminase, sedasi, dan tremor. Efek samping ini sering

terjadi pada awal pengobatan dan bekurang dengan penurunan dosis atau

dengan berjalannya waktu. Efek samping gastrointestinal lebih sering terjadi

pada penggunaan asam valproat dan valproat sodium bila dibandingkan

dengan tablet salut sodium divalproat.

Lamotrigin

Lamotrigin efektif untuk mengatasi episode bipolar depresi. Ia

menghambat kanal Na+. Selain itu, ia juga menghambat pelepasan glutamat.

Farmakokinetik

Lamotrigin oral diabsorbsi dengan cepat. Ia dengan cepat melewati

sawar otak dan mencapai konsentrasi puncak dalam 2-3 jam. Sebanyak 10%

lamotrigin dieksresikan dalam bentuk utuh.

Indikasi

Efektif untuk mengobati episode depresi, GB I dan GB II, baik akut

maupun rumatan. Lamotrigin juga efektif untuk GB, siklus cepat.

Dosis

Berkisar antara 50-200 mg/hari.

Efek Samping

Sakit kepala, mual, muntah, pusing, mengantuk, tremor, dan berbagai bentuk

kemerahan di kulit.

Antipsikotika Atipik

Antipsikotika atipik, baik monoterapi maupun kombinasi terapi, efektif

sebagai terapi lini pertama untuk GB. Beberapa antipsikotika atipik tersebut

adalah olanzapin, risperidon, quetiapin, dan aripiprazol.

Risperidon

Risperidon adalah derivat benzisoksazol. Ia merupakan antipsikotika

atipik pertama yang mendapat persetujuan FDA setelah klozapin.

Absorbsi

Risperidon diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral. Ia

dimetabolisme oleh enzim hepar yaitu CYP 2D6.

Page 33: KASUS 4

33

Dosis

Untuk preparat oral, risperidon tersedia dalam dua bentuk sediaan

yaitu tablet dan cairan. Dosis awal yang dianjurkan adalah 2 mg/hari dan

besoknya dapat dinaikkan hingga mencapai dosis 4 mg/hari. Sebagian besar

pasien membutuhkan 4-6 mg/hari. Risperidon injeksi jangka panjang (RIJP)

dapat pula digunakan untuk terapi rumatan GB. Dosis yang dianjurkan untuk

orang dewasa atau orang tua adalah 25 mg setiap dua minggu. Bila tidak

berespons dengan 25 mg, dosis dapat dinaikkan menjadi 37,5 mg - 50 mg per

dua minggu.

Indikasi

Risperidon bermanfaat pada mania akut dan efektif pula untuk terapi rumatan.

Efek Samping

Sedasi, fatig, pusing ortostatik, palpitasi, peningkatan berat badan,

berkurangnya gairah seksual, disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada

risperidon bila dibandingkan dengan pada plasebo. Meskipun risperidon tidak

terikat secara bermakna dengan reseptor kolinergik muskarinik, mulut kering,

mata kabur, dan retensi urin, dapat terlihat pada beberapa pasien dan sifatnya

hanya sementara. Peningkatan berat badan dan prolaktin dapat pula terjadi

pada pemberian risperidon.

Olanzapin

Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin yang memiliki

afinitas terhadap dopamin (DA), D2, D3, D4, dan D5, serotonin 2 (5-HT2);

muskarinik, histamin 1(H1), dan a1- adrenergik.

Indikasi

Olanzapin mendapat persetujuan dari FDA untuk bipolar episode akut

mania dan campuran. Selain itu, olanzapin juga efektif untuk terapi rumatan

GB.

Dosis

Kisaran dosis olanzapin adalah antara 5-30 mg/hari.

Efek Samping

Page 34: KASUS 4

34

Sedasi dapat terjadi pada awal pengobatan tetapi berkurang setelah

beberapa lama. Efek antikolinergik dapat pula terjadi tetapi kejadiannya

sangat rendah dan tidak menyebabkan penghentian pengobatan. Risiko

terjadinya diabetes tipe-2 relatif tinggi bila dibandingkan dengan antipsikotika

atipik lainnya. Keadaan ini dapat diatasi dengan melakukan psikoedukasi,

misalnya merubah gaya hidup, diet dan latihan fisik.

Quetiapin

Quetiapin merupakan suatu derivat dibenzotiazepin yang bekerja

sebagai antagonis 5-HT1A dan 5 -HT2A, dopamin D1, D2, histamin H1 serta

reseptor adrenergik a1 dan a2. Afinitasnya rendah terhadap reseptor D2 dan

relatif lebih tinggi terhadap serotonin 5-HT2A.

Dosis

Kisaran dosis pada gangguan bipolar dewasa yaitu 200-800 mg/hari.

Tersedia dalam bentuk tablet IR (immediate release) dengan dosis 25 mg, 100

mg, 200 mg, dan 300 mg, dengan pemberian dua kali per hari. Selain itu, juga

tersedia quetiapin-XR dengan dosis 300 mg, satu kali per hari.

Indikasi

Quetiapin efektif untuk GB I dan II, episdoe manik, depresi, campuran,

siklus cepat, baik dalam keadaan akut maupun rumatan.

Efek Samping

Quetiapin secara umum ditoleransi dengan baik. Sedasi merupakan

efek samping yan sering dilaporkan. Efek samping ini berkurang dengan

berjalannya waktu. Perubahan dalam berat badan dengan quetiapin adalah

sedang dan tidak menyebabkan penghentian pengobatan. Peningkatan berat

badan lebih kecil bila dibandingkan dengan antipsikotika tipikal.

Aripiprazol

Aripiprazol adalah stabilisator sistem dopamin-serotonin.

Farmakologi

Aripiprazol merupakan agonis parsial kuat pada D2, D3, dan 5-HT1A

serta antagonis 5- HT2A. Ia juga mempunyai afinitas yang tinggi pada

Page 35: KASUS 4

35

reseptor D3, afinitas sedang pada D4, 5-HT2c, 5-HT7, a1-adrenergik,

histaminergik (H1), dan serotonin reuptake site (SERT), dan tidak terikat

dengan reseptor muskarinik kolinergik.

Dosis

Aripiprazol tersedia dalam bentuk tablet 5,10,15,20, dan 30 mg.

Kisaran dosis efektifnya per hari yaitu antara 10-30 mg. Dosis awal yang

direkomendasikan yaitu antara 10 - 15 mg dan diberikan sekali sehari. Apabila

ada rasa mual, insomnia, dan akatisia, dianjurkan untuk menurunkan dosis.

Beberapa klinikus mengatakan bahwa dosis awal 5 mg dapat meningkatkan

tolerabilitas.

Indikasi

Aripiprazol efektif pada GB, episode mania dan episode campuran

akut. Ia juga efektif untuk terapi rumatan GB. Aripiprazol juga efektif sebagai

terapi tambahan pada GB I, episode depresi.

Efek Samping

Sakit kepala, mengantuk, agitasi, dispepsia, anksietas, dan mual

merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang dilaporkan secara spontan

oleh kelompok yang mendapat aripiprazol. Efek samping ekstrapiramidalnya

tidak berbeda secara bermakna dengan plasebo. Akatisia dapat terjadi dan

kadang-kadang dapat sangat mengganggu pasien sehingga sering

mengakibatkan penghentian pengobatan. Insomnia dapat pula ditemui. Tidak

ada peningkatan berat badan dan diabetes melitus pada penggunaan

aripiprazol. Selain itu, peningkatan kadar prolaktin juga tidak dijumpai.

B. Delusional

Gangguan delusional definisikan sebagai sesuatu gangguan psikiatri yang

mana gejala utamanya adalaha waham. Gangguan delisional sebelumnya disebut

“paranoia” atau gangguan paranoid.tetapi istilah tersebut secara tidak tepat

menytakan bahwa waham selalu bersifat persekutorik. Waham pada gangguan

delusional juga bersifat kebesaran, erotic, cemburu,somatic dan campuran.

Page 36: KASUS 4

36

Gangguan delusional harus dibedaka dengan gangguan mood dan skizofrenia.

Walaupun pasien dengan gangguan delusional mungkin memiliki suatu mood

yang konsisten dengan isi wahamnya.

1. Etiologi

Faktor biologis

Berbagai kondisi medis non psikiatrik dan zat dapat menyebabkan waham,

jadi menyatakan bahwa faktor biologis yang jelass dapat menyebabkan waham.

Keadaan neorologis yang paling sering berhubungan dengan waham adalah

waham keadaan yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis. Pasien

yang memiliki waham yang disebabkan oleh kondidi neurologis tanpa adanya

gangguan kecerdaan cenderung memiliki waham yang kompleks yang mirip

dengan pasien yang memiliki gangguan delusional. Sebaliknya, pasien yang

menderita gangguan neurologis dengan gangguan kecerdasan sering kali memiliki

waham yang sederhana yang tidak sama dengan yang ditemukan pada pasien

dengan gangguan delusional.

Faktor psikodinamik

Observasi klinis menyatakan bahwa pasien paranoid mengalami tidak

adanya kepercayaan di dalam hubungan mereka. Kepercayaan tersebut telah

dihipotesiskan berhubungan dengan lingkungan keluarga yang terus menerus

bermusuhan, sering kali dengan ibu yang terlalu mengendalikan dan ayah yang

jauh atau sadistic. Pasien dengan gangguan delusional terutama menggunakan

mekanisme pertahanan formasi reaksi, penyangkalan, dan proyeksi. Formasi

reaksi sering diguakan sebagai perahanan melawan agresi, kebutuhan

ketergantungan dan perasaan cinta. Kebutuhan akan kerergantungan

ditransformasikan menjadi kemandirian yang kukuh. Penyangkalan digunakan

untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang menyakitkan. Dibebani

dengan kemarahan dan permusuhan dan tidak mampu menghadapi tanggung

jawab atas kemarahan.

2. Tanda dan gejala

Kriteria diagnosis untuk gangguan delusional

Page 37: KASUS 4

37

a. waham yang tidak aneh (yaitu, melibatkan situasi yng terjadi dalam

kehidupan nyata, seperti sedang diikuti,diracuni,ditulari infeksi,

dicintai dari jarak jauh,atau dihianati oleh pasangan atau kekasih, atau

menderita suatau penyakit ) selama sekurangnya 1 bulan.

b. Kriteria A untuk kizofren tidak pernah terpenuhi

c. Terlepas dari pengaruh waham atau percabangannya. Fungsi adalah

tidak terganggu dengan jelas dan prilaku tidak jelas aneh atau kacau.

d. Jika episode mood telah terjadi secara bersamaan dengan waham, lama

totalnya adalah relative singkat dibandingkan lama periode waham.

e. Gangguan adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat

(misalnya,obat yang disalah gunakan, suatu medikasi ) atau suatu

kondisi medis umum.

3. Penatalaksanaan

a. Farmakoterapi

Pada keadaan darurat, seorang yang teragitasi parah harus diberikan suatu

obat ntipsikotik secara intramuscular. Walau percobaan klinik yang

dilakukansecara adekuat dengan sejumlah pasien belum ada sebagian besar klinisi

berpendapat bahwa obat anti psikotik adalah obat yang terpilih untuk gangguan

delusional. Pasien gangguan delusional mungkin menolak medikasi karena

mereka dapat secara mudah menyatukan pemberian obat kedalam sistem

wahamnya. Dokter harus mulai dengan dosis rendah sebaai contoh haloperidol 2

mg dan meningkatkan dosis secara perlahan. Jika pasien gagal berespons dengan

obat pada dosis yang cukup dalam percobaan selama 6 minggu, anti psikotik dari

kelas lain harus dicoba. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa pimozide

mungkin efektif dalam gangguan delusional, hususnya pasien yang waham

somatic. Penyebab kegagalan obat yan tersering adalah ketidakpatuhan pasien,

dan kemungkinan tersebut harus diperhitungkan.

b. Psikoterapi

Elemen yang paling penting dalam psikoterapi yang efektif adalah

penegakkan suatu hubungan dimana pasien mulai mempercayai ahli terapi. Terapi

Page 38: KASUS 4

38

individual tampaiknya lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapi kelompok

berorientasi tillikan, kognitif, dan prilaku sering kali efektif. Pada awalnya ahli

terapi harus menanyakan tentang waham untuk menegaskan luasnya, pertanyaan

terus menerus tentang waham kemugkinan harus dihindari. Dokter dapat

menstimulasi motivasi untuk mendapatkan bantuan dengan menekankan kemauan

untuk membantu pasien mengatasi kecemasan atau iritabilitasnya. Tanpa

menyatakan waham yang akan di obati. Tetapi, ahli terapi tidak boleh secara aktif

mendukung gagasan bahwa waham merupakan kenyataan. Ahli terapi tidak boleh

membuat tanda-tanda yang meremehkan tentang waham atau gagasan pasien

tetapi secara simpatik menyatakan pada pasien bahwa keasikan mereka dengan

wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan

yang konstruktif. Jika pasien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, ahli terapi dapat

meninggikan tes realitas dengan meminta pasien memperjelas permasalahan

mereka.

A. Depresi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan

dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan

pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,

rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.

Depresi merupakan salah satu dari gangguan mood.Gangguan mood adalah

keadaan emosi yang menetap selama lebih dari seminggu, yang menunjukkan

penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang. Kunci dari gejala depresi adalah

mood yang depresif serta hilangnya minat atau kesenangan.

Berdasarkan onsetnya depresi pada lansia dibagi menjadi dua yaitu early

onset depression dan late onset depression.Early onset depressionadalah depresi

yang onset pertamanya terjadi sebelum memasuki usia lanjut sedangkan late onset

depression adalah depresi yang terjadi onset pertamanya setelah memasuki usia

lanjut pada pasien geriatri yang berkembang dengan peningkatan usia.

1. Etiologi

Page 39: KASUS 4

39

Depresi secara umum dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, untuk

depresi pada geriatri beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya

kasus ini adalah :

Faktor biologis

stresor psikososial

Faktor genetik

2. Tanda dan gejala

Pada penegakan diagnosis depresi dapat digunakan kriteria menurut

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III atau

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV.

Kriteria episode depresi menurut PPDGJ III yang merujuk kepada

International Classification Diagnostic (ICD), yaitu:

Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, berat):

1. Afek depresif

2. Kehilangan minat dan kegembiraan

3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa

lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.

Gejala lainnya:

a) Konsentrasi dan perhatian kurang

b) Harga diri dan kepercayaan berkurang

c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis

e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f) Tidur terganggu

g) Nafsu makan berkurang

Penggolongan depresi berdasarkan perhitungan jumlah gejala diatas:

Tabel Penggolongan depresiberdasarkan PPDGJ III3

Tingkat depresi

Gejala utama

Gejala lain Fungsi Keterangan

Ringan 2 2 Baik

Sedang 2 3-4 Terganggu Nampak distress

Page 40: KASUS 4

40

Berat 3 4/lebih Sangat terganggu Sangat distress

Kriteriaepisode depresif berat menurut DSM IV, yaitu:

A. Lima (atau lebih) gejala berikut telah ditemukan selama periode dua minggu

yang sama dan mewakili perubahan fungsi sebelumnya; sekurangnya satu

gejala dari gejala adalah salah satu dari mood terdepresi atau hilangnya minat

atau kesenangan.

Dilarang memasukkan gejala yang jelas karena suatu kondisi medis umum,

atau waham atau halusinasi yang tidak sesuai dengan mood.

1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang

ditunjukkan dalam laporan subjektif (misalnya, merasa sedih atau kosong)

atau pengamatan yang dilakukan orang lain (misalnya, tampak sedih).

2. Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua, hampir

semua, aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti ditunjukkan

oleh keterangan subjektif atau pengamatan yang dilakukan orang lain).

3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau

penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5%

dalam satu bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir

setiap hari.

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat dilihat oleh

orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif adanya kegelisahan atau

menjadi lamban).

6. Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari.

7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat

(mungkin bersifat waham) hampir setiap hari (tidak semata-mata mencela

diri-sendiri atau menyalahkan karena sakit).

8. Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian, atau

tidak dapat mengambil keputusan, hampir setiap hari (baik oleh

keterangan subjektif atau seperti yang dilihat orang lain)

Page 41: KASUS 4

41

9. Pikiran akan kematian yang rekuren (bukan hanya takut mati), ide bunuh

diri yang rekuren tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh diri atau

rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.

B. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran

C. Gejala menyebabkan penderitaan bermakna secara klinis atau gangguan dalam

fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.

D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat

yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum

(misalnya, hipotiroidisme).

E. Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh dukacita, yaitu, setelah kehilangan

orang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai gangguan

fungsional yang jelas, preokupasi morbid dengan rasa tidak berharga, ide

bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.

Gejala depresi pada lansia sering kurang atau tidak terdiagnosis di Unit

Pelayanan Kesehatan Primer disebabkan oleh hal berikut:

1. Penyakit fisik yang menyertai mengacaukan gambaran depresi, seperti

menjadi lebih cepat lelah dan menurunnya berat badan.

2. Golongan lanjut usia seringkali menutupi kesedihannya dengan menunjukkan

dia lebih aktif.

3. Kecemasan, obsesionalitas, histeria dan hipokondria yang sering merupakan

gejala depresi justru sering menutupi depresi.

4. Masalah sosial pada lansia membuat gambaran depresi lebih rumit.

Untuk mempermudah penegakan diagnosis depresi pada lansia dalam

praktik sehari-hari menggunakan pengukuran berdasarkanGeriatric Depression

Scale (GDS).

3. Patofisiologi

Faktor penyebab dapat lebih mudah dikenali dengan pembagian secara

buatan menjadi faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Dalam hal

ini pembagian faktor penyebab disebut buatan karena setiap faktor tidak bisa

berdiri sendiri tetapi dengan adanya salah satu faktor yang terjadi menyebabkan

terpengaruhnya faktor lain.

Page 42: KASUS 4

42

1. Faktor biologis

a. Hipotesis defisiensi amin biogenik

Amin biogenik antara lain terdiri dari norepinefrin dan serotonin yang

merupakan dua neurotransmitter berada dalam otak dan selalu dikeluarkan ke

bagian otak lain untuk memodulasi area perasaan, pikiran dan perilaku. Oleh

karena itu, keduanya memegang peranan penting dalam patofisiologi gangguan

mood.

Pada penelitian dengan menggunakan positron-emission tomographic

tampak peningkatan dari enzim monoamine oksidase di ligand otak pada pasien

yang depresi sebanyak 30%.19 Hal tersebut menandakan peningkatan katabolisme

dari amin biogenik di otak. Pada penelitian lain ditemukan enzim triptofan

hidroksilase yang spesifik untuk otak yaitu HPH-2, hal ini dapat menjelaskan

penyebab penelitian sebelumnya yang menunjukan kadar triptofan hidroksilase

pada pasien depresi dan kontrol tidak ditemukan perbedaan.

Mekanisme ini belum dapat dijelaskan sepenuhnya tetapi dapat dibuktikan

dengan keefektifan dalam pengobatan menggunakan antidepresan yang bekerja

menghalangi reuptake dari serotonin dan norepinefrin sehingga meningkatkan

kadar serotonin dan norepinefrin di sinaps. Peningkatan ini menstimulasi neuron

postsinaps yang pada akhirnya memodulasi area perasaan, pikiran dan perilaku.

Page 43: KASUS 4

43

Gambar 1.Jalur neurotransmitter amin biogenic

b. Stress dan hipotalamus-pituitari-adrenal axis

Respon terhadap stress yang diterima,korteks cerebri akan mentransmisi ke

hipotalamus.Hipotalamus adalah pusat regulasi sumbu neurohormonal yang

banyak menerima masukan melalui neurotransmitter amin biogenik.Transmisi ini

memicu pengeluaran Corticotropin Releasing Hormone (CRH) ke reseptor

pituitari. Pituitari mensekresi kortikotropin masukke dalam plasma menstimulasi

reseptor kortikotropin di korteks adrenal, maka terjadi pengeluaran kortisol ke

dalam darah. Sebagai respon hemeostasis terdapat reseptor kortisol di hipotalamus

merespon penurunan produksi CRH apabila kadar kortisol berlebihan yang

merupakan umpan balik cepat.Terdapat juga umpan balik lambat, yang sensitif

terhadap konsentrasi kortisol mantap, yang bekerja pada reseptor hipofisis dan

adrenal.

Page 44: KASUS 4

44

Gambar 2. Jalur neurohormonal

Terdapat juga beberapa temuan yangmendukung hipotesis hipotalamus-

hipofisis-kortisol bahwa pada pasien yang depresi terjadi disregulasi

neuroendokrin. Hal tersebut ditandai dengan temuan kadar kortisol meningkat di

plasma pada depresi berat, ukuran hipofisis anterior dan korteks adrenal

meningkat, dan tingkat CRH dalam cairan serebrospinal dan ekspresi CRH di

daerah otak limbik juga meningkat. Ukuran hippocampus dan jumlah neuron dan

glia mengalami penurunan, mungkin mencerminkan pengurangan neurogenesis

karena tingkat kortisol tinggi atau karena berkurangnya faktor neurotropik yang

diturunkan dari otak.

c. Inflamasi

Pada proses inflamasi terjadi pengeluaran dari sitokin ke perifer. Oleh

karena jumlah yang sangat besar dari sitokin maka terjadi kesulitan dalam

melewati blood brain barrier (BBB).Sitokin memasuki otak melalui tiga cara

yaitu masuk melalui celah di BBB seperti organ sirkumventricular, mengikat pada

Page 45: KASUS 4

45

molekul transport spesifik sitokin di epitelium otak, dan aktivasi jalur afferendari

vagal dimana terjadi transmisi signal sitokin ke bagian spesifik nukleus otak,

seperti inti dari traktus soliter, dimana berfungsi sebagai relay stationke bagian

nucleus otak lain, seperti nucleus paraventrikular di hipotalamus.

Gambar 3.Interaksi antara depresi, imun dan stres

Di dalam otak terdapat Central Nerve System (CNS) cytokine networkyang

tedapat pada sel, tidak hanya untuk memproduksi sitokin tetapi juga

mengespresikan reseptor sitokin dan juga memperkuat sinyal sitokin, dimana

dapat berefek kepada neurotransmitter dan fungsi CRH. Dengan ini dalam proses

depresi, sitokin mempengaruhi perilaku melalui perubahan pada metabolisme

serotonin, norepinefrin dan dopamine di bagian otak yang meregulasi emosi,

termasuk sistem limbik (amygdala, hippocampus dan nucleus accubens) yang

meregulasi fungsi psikomotor dan tindakan balasan, dan juga ganglia basal.

Berdasarkan keseluruhan patofisiologi di atas dapat ditarik kesimpulan dari

keefektifan dalam pemberian farmakologi berupa antidepresan sepertiSelective

Page 46: KASUS 4

46

Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), antidepresan trisiklik dan monoamin

oksidase inhibitor.

2. Faktor genetika

Pada depresi yang early onset, berat dan rekuren diduga lebih disebabkan

oleh genetik daripada bentuk depresi yang lain.18Penelitian yang dilakukan

terhadap anak kembar yang memiliki gangguan bipolar I menunjukan faktor

genetika monozigotikdapat mempengaruhi sebesar 33 sampai 90 persen, untuk

gangguan depresif berat angka kesesuaiannya pada monozigotik sebesar 50

persen. Sebaliknya pada kembar dizigotik adalah kira-kira 5 sampai 25 persen

untuk gangguan bipolar I dan 10 sampai 25 persen untuk gangguan depresif berat.

3. Faktor psikososial

a. Stress kehidupan

Stress kehidupan pada usia lanjut misalnya kesulitan finansial, kehilangan

pasangan hidup, penyakit baru, disabilitas diri atau anggota keluarga yang lain,

perubahan situasi kehidupan dan konflik interpersonal. Pensiun tidak selalu

bersamaan dengan depresi pada kebanyakan lansia, tetapi hal tersebut

meningkatkan resiko pada pria yang pensiun lebih cepat, untuk alasan yang tidak

dieksplorasi.

Disabilitas dapat dinilai menggunakan penilaian Activity of Daily

Living(ADL) menggunakan indeks Barthel.Pada penelitian yang dilakukan

sebelumnya penilaian ADL dilakukan menggunakan Tokyo Metropolitan Institute

of Gerontology index of competence (TMIG-IC). Kekurangan yang terjadi adanya

pertanyaan mengenai pengurusan keuangan di bank, dimana letak pada penelitian

itu di daerah pedesaan di mana kebanyakan lansia tidak menggunakan fasilitas

tersebut.

b. Masalah dukungan sosial

Hubungan sosial yang buruk dapat menyebabkan terjadinya depresi seperti

konflik dalam rumah tangga, adanya kritik dalam keluarga dan depresi pada

pasangan.Peningkatan gejala depresi berhubungan dengan dukungan sosial yang

buruk disertai dengan keterbatasan kemampuan fisikpada lansia yang

menginginkan kemandirian dalam melakukan aktivitas.

Page 47: KASUS 4

47

c. Faktor kepribadian

Setiap orang mempunyai pola kepribadian tertentu dapat mengalami depresi

sesuai dengan situasinya. Orang yang beresiko tinggi terjadinya depresi adalah

orang yang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi, histrionik dan

ambang.

4. Penatalaksanaan

Prinsip utama tata laksana pada pasien gerriatri adalah untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien tersebut dan sebisa mungkin mencegah penempatan mereka

di rumah perawatan. Terdapat dua modalitas utama

Farmakologi

Pada orang tua biasakan memulai dengan dosis rendah yang dapat menimbulkan

efek terapi. Waspadai adanya penyakit-penyakit yang dapat yang perlu

penyesuaian dosis, seperti : gangguan ginjal yang menyebabkan ekskresi obat

terganggu, gangguan pada hati yang menyebabkan metabolisme obat terganggu.

Beberapa jenis obat yang dapat digunakan:

- Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI)

SSRI bekerja dengan cara menghambatan bersifat selektif terhadap

neurotransmitter serotonin (5HT2). Dibanding TCA, SSRI memiliki efek

antikolinergik dan kardiotoksik lebih rendah.

Contoh golongan obat ini adalah:

Sertraline HCl. Dosis : 50 – 100 mg/hari.

Paroxetine HCl. Dosis : 20 – 40 mg/hari.

Fluoxetine. Dosis : 20 – 40 mg/hari.

Duloxetine. Dosis : 30 – 60 mg/hari.

Efek sampingnya lebih sedikit dan biasanya lebih aman digunakan pada penderita

depresi yang disertai kelainan jiwa. Efek samping yang terjadi berupa mual, diare

dan sakit kepala ringan dan akan segera menghilang jika pemakaian obat

dilanjutkan. SSRIs efektif digunakan pada depresi yang disertai oleh kelainan jiwa

seperti penyakit obsesif-kompulsif, penyakit panik, fobia sosial, bulimia.

Page 48: KASUS 4

48

Efek samping utama dari SSRIs adalah sering menyebabkan penurunan gairah

seks / libido.

- SNRI

Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors salah satu antidepressan yang

populer digunakan. Bekerja dengan memblok reuptake baik dari serotonin

maupun norepinefrin dari sinaps. Sehingga meningkatkan jumlah kedua

neurotransmitter ini di otak. Contoh obatnya: venlafaxine dan duloxetine

- Terasiklik

Efek samping otonomik dan kardiologi kecil sehingga golongan obat ini dapat

diperuntukkan untuk pasien usia tua. Contoh obat ini : maprotiline, mianserin

Ada 5 proses dalam pengaturan dosis antidepresan :

1) Initiating dosage

Untuk mencapai dosis anjuran selama Minggu I.

Misalnya amitriptiline25 mg/h = hari 1 dan 2

50 mg/h = hari 3 dan 4

100mg/h = hari 5 dan 6

2) Titrating dosage (optimal dose)

Mulai dosis anjuran sampai mencapai dosis efektif → dosis optimal

Misalnya, amitriptyline 150 mg/h = hari 7 s/d 14 (minggu II)

Minggu III : 200 mg/h →minggu IV : 300 mg/h

3) Stabilizing dosage

Dosis optimal yang dipertahankan selama 2-3 bulan

Misalnya, amitrptyline 300mg/h → dosis optimal selama 2-3 bulan.

→ diturunkan hingga dosis pemeliharaan

4) Maintaining dosage

Selama 3-6 bulan. Biasanua dosis pemeliharaan ½ dari dosis optimal

Misalnya amitripyline 150 mg/h → selama 3-6 bulan

5) Tapering dosage

Page 49: KASUS 4

49

Selama 1 bulan. Kebalikan dari proses “initiating dosage”.

Misalnya, amitriptyline 150 mg/h → 100 mg/h (1 minggu), 100 mg/h → 75 mg/h

( 1 minggu) , 75 mg/h → 50 mg/h ( 1minggu), 50 mg/h → 25 mg/h ( 1 minggu ) .

Dngan demikian pemberian obat antidepresi dapat dihentikan total. Kalau

kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan

seterusnya.

Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pad amalam hari untuk

golongan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI diberikan dosis tunggal apda pagi hari

setelah sarapan pagi.

Non-farmakologi ( psikoterapi )

Standard psikoterapi yang dapat diberikan dapat dipakai pada pasien geriatri,

seperti supportif psikoterapi, terapi kognitif, terapi grup dan terapi keluarga.

Psikoterapi menolong pasien geriatri untuk menghadapi berbagai masalah seperti

kehilangan orang yang dicintai, perceraian, pensiun dari pekerjaan dan

memperbaiki hubungan interpersonal,selain itu juga meningkatkan rasa percaya

diri, mengurangi rasa tidak berguna sehingga secara otomatis dapat meningkatkan

kualitas hidup.

- Terapi kognitif

Berlangsung 12-16 sesi dan terbagi dalam 3 fase:

Fase awal (sesi 1-4)

Membentuk hubungan terapeutik dengan pasien. Mengajarkan pasien tengang

bentuk kognitif yang salah dan pengaruhnya terhadap emosi dan fisik.

Menentukan tujuan terapi.

Fase pertengahan ( sesi 5-12)

Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah. Membantu pasien

mengenal akar kepercayaan diri. Pasien diminta mempraktikkan ketrampilan

bersespons terhadap hal-hal yang depresogenik dan memodifikasinya

Fase akhir (sesi 13-16)

Menyiapkan pasien untuk terminasi dan memprediksi situasi berisiko tinggi yang

relevan untuk terjadinya kekambuhan dan mengkonsolidasi pembelajaran melali

tugas-tugasnya sendiri

- Psikoterapi suportif

Page 50: KASUS 4

50

Hampir selalu diindikasikan. Memberikan kehangatan, emapti, pengertian dan

optimistik. Bantu pasien mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya dan

bantuk untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan membantu

mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal. Latih pasien untk mengenal

tanda-tanda dekompensasi yang akan datang. Temui pasien sesering mungkin

(mula-mula 1-3 kali perminggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak

berakhir atau selamanya.

- Terapi grup (terapi kelompok)

Tidak ada bentuk terapi kelompok yang spesfik. Ada beberapa keuntungan terapi

kelompok:

Biaya lebih murah

Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktikan ketrampilan

perilaku interpersonal yang baru

Membantupasien dalam mengaplikasikan ketrampilan baru

Terapi kelompok ini sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan.

Ia juga efektif untuk depresi ringan.

B. Ansietas

Gangguan ansietas merupakan keadaan psikiatri dimana adanya peningkatan

morbiditas, penggunaan pelayanan kesehatan, dan hendaya fungsional.

Pemahaman neuroanatomi dan biologi molekuler ansietas menjanjikan pengertian

baru mengenai etiologi dan terapi yang lebih spesifik di masa datang.

1. Gejala ansietas

Pengalaman ansietas memiliki dua komponen kesadaran akan secara fisiologis

(seperti palpitasi dan berkeringat) serta kesadaran bahwa ia gugup atau ketakutan.

Selain pengaruh visceral dan motorik, ansietas mempengaruhi pikiran, persepsi,

dan pembelajaran. Ansietas cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi

persepsi, tidak hanya persepsi waktu dan ruang tetapi juga orang dan arti

peristiwa. Distorsi ini dapat mengganggu proses pembelajaran dengan

menurunkan konsntrasi, mengurangi daya ingat, dan mengganggu kemampuan

menghubungkan satu hal dengan lain yaitu membuat asosiasi.

Page 51: KASUS 4

51

Aspek penting emosi adalah efeknya pada selektivitas perhatian. Orang yang

mengalami ansietas cenderung memperhatikan hal tertentu di dalam

lingkungannya dan mengakibatkan hal lain dalam upaya untuk membuktikan

bahwa mereka dibenarkan untuk menganggap situasi tersebut menakutkan. Jika

keliru dalam membenarkan rasa takutnya, mereka akan meningkatkan ansietas

dengan respon yang selektif dan membentuk lingkaran setan ansietas, persepsi

yang mengalami distorsi, dan ansietas yang meningkat. Jika sebaliknya, mereka

dengan keliru menentramkan diri mereka dengan pikiran selektif, ansietas yang

tepat dapat berkurang, dan mereka dapat gagal mengambil tindakan pertahanan

yang perlu.

Tabel manifestasi klinis pada ansietas

Manifestasi perifer anssietas

Diare

Pusing, kepala teras ringan

Hiperhidrosis

Hiperrefleksia

Hipertensi

Palpitasi

Midrasis pupil

Gelisah (berjalan mondar-mandir)

Sinkop

Takikardi

Kesemutan di ekstremitas

Tremor

Gangguan perut

Page 52: KASUS 4

52

Frekuensi, hesitensi dan urgensi uri.

2. Patofisiologi

a. Sistem saraf otonom

Stimulusi sistem saraf otonom menimbulkan gejala tertentu kardiovaskuler

(takikardi), muskular (sakit kepala), gastrointeestinal (diare), dan pernapasan

(takipneu). Manifestasi perifer ansietas ini tidak khas pada gangguan ansietas dan

tidak selalu berhubungan dengan pengalaman subjektif ansietas. Ansietas

subjektif merupakan respons terhadap fenomena perifer. Setelah ini telah menjadi

pemikiran umum bahwa ansietas sistem saraf pusat mendahului manifestasi

perifer ansietas, kecuali jika seorang pasien memiliki penyebab perufer spesifik,

misalnya bila terdapat feokromositoma. Sistem saraf otonom pada sejumlah

pasien dengan gangguan ansietas, terutama mereka dengan gangguan panik,

menunjukan peningkatan tobus simpatik, beradaptasi lambat terhadap stimulasi

berulang, dan berespons berlebihan terhadap stimulus sedang.

b. Neurotrasmitter

tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan ansietas terkait dengan terapi obat

adalah norepinefrin, serotonin, dan asam gama-aminobutirat(GABA). Banyak

informasi ilmu saraf dasar mengenai ansietas, menyatakan bahwa obat

benzodiazepin cenderung memudahkan adaptasi, sedangkan obat lain amfetamin

merusak jauh respons perilaku.

c. Norepinefrin

teori umum mengenai peran norepinefrin dalam gangguan ansietas dapat memiliki

sistem adrenergik yang diatur dengan buruk dengan ledakan aktivitas yang

kadang-kadang terjad. Badan sel sistem noradrenergik terutama terletak pada

locus cereleus di pons rostralis dan badan sel ini menjulurkan aksonnya ke korteks

serebri, sistem limbik, batang otak, serta medula spinalis. Eksperimen

Page 53: KASUS 4

53

menunjukan bahwa stimulus locus cereleus menghasilkan respons rasa takut dan

ablasi pada area yang sama menghambat atau benar benar menghalangi

membentuk respons rasa takut.

d. Serotonin

Identifikasi banyak jenis reseptor serotonin memicu pencarian peran serotonin

dalam pathogenesis ansietas. Minta mengenai hubungan ini awalnya didorong

oleh pengamatan bahwa antidepresan serotonergik memiliki efek terapeutik pada

sejumlah gangguan ansietas contohnya cloropramine pada gangguan obsesif

kompulsif. Efektivitas buspiron, agonis reseptor serotonin 5-HT1a, dalam terapi

gangguan ansietas juga mengesankan kemungkinan hubungan antara serotonin

dan ansietas. Badan sel sel sebagian neuron serotonergik terletak di raphe nucleiu

di batang otak pars rostalis dan menyalurkan impuls ke korteks serebri, sistem

limbic (khusunya amigdala dan hipokampus), serta hipotalamus.

e. GABA

Peran gaba dalam gangguan ansietas paling kuat didukung oleh ektifitas

benzodiazapin yang tidak meragukan, yang meningkatkan aktivitas gaba di

reseptor GABA A, didalam terapi jenis gangguan ansietas. Antagonis

benzodiazapin, flumezenil, menyebabkan serangan panic berat yang sering pada

pasien dengan gangguan panic. Data ini mengarahkan peniliti berhipotesis bahwa

sejumlah pasien gangguan ansitas memiliki fungsi abnormal reseptor GABAA,

walapun hubungannya belum terlihat langsung.

3. Penatalaksanaan

Respon yang lebih baik terhadap pengobatan akan terjadi jika penderita

melibatkan proses biologis dan psikis. Obat-obatan dan terapi perilaku biasanya

bisa mengendalikan gejala-gejalanya. Selain itu, psikoterapi bisa membantu

menyelesaikan berbagai pertentangan psikis yang mungkin melatar belakangi

perasaan dan perilaku cemas

a. Farmakoterapi

Page 54: KASUS 4

54

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan panik adalah obat

anti depresi dan obat anti cemas:

1. SSRI ( Serotonin Selective Reuptake Inhibitors), terdiri atas beberapa

macam dapat dipilih salah satu dari sertralin, fluoksetin, fluvoksamin,

escitalopram, dll. Obat diberikan dalam 3-6 bulan atau lebih, tergantung

kondisi individu, agar kadarnya stabil dalam darah sehingga dapat

mencegah kekambuhan

2. Alprazolam; awitan kerjanya cepat, dikonsumsi biasanya antara 4-6

minggu, setelah itu secara perlahan-lahan diturunkan dosisnya sampai

akhirnya dihentikan. Jadi setelah itu dan seterusnya, individu hanya

minum golongan SSRI

b. Psikoterapi

Terapi Relaksasi

Terapi ini bermanfaat meredakan secara relatif cepat serangan panik dan

menenangkan individu, namun itu dapat dicapai bagi yang telah berlatih setiap

hari. Prinsipnya adalah melatih pernafasan (menarik nafas dalam dan lambat, lalu

mengeluarkannya dengan lambat pula), mengendurkan seluruh otot tubuh dan

mensugesti pikiran ke arah konstruktif atau yang diinginkan akan dicapai. Dalam

proses terapi, dokter akan mebimbing secara perlahan-lahan, selama 20-30 menit.

Setelah itu, individu diminta untuk melakukannya sendiri di rumah setiap hari.

Terapi Kognitif Perilaku

Pasien diajak bersama-sama melakukan restrukturisasi kognitif, yaitu

membentuk kembali pola perilaku dan pikiran yang irasional dan menggantinya

dengan yang lebih rasional. Terapi berlangsung 30-45 menit.

Psikoterapi Dinamik

Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan

sekedar menghilangkan gejalanya semata. Pada psikoterapi ini, biasanya pasien

lebih banyak berbicara, sedangkan dokter lebih banyak mendengar. Terapi ini

memerlukan waktu panjang, dapat berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hal ini

Page 55: KASUS 4

55

tentu memerlukan kerjasama yang baik antara individu dengan dokternya, serta

kesabaran kedua belah pihak.

E. Skizofrenia

Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab

(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau

“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada

perimbangan pengaruh genetic, fisik, dan social budaya. (Kaplan,2010)

Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan

karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar

(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear

consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun

kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. (Kaplan,2010)

1. Etiologi

a. Pengaruh Genetik

Kemungkinan bahwa skizofrenia merupakan kondisi kompleks warisan,

dengan beberapa gen mungkin berinteraksi untuk menghasilkan resiko skizofrenia

terpisah atau komponen yang dapat terjadi mengarah diagnosa. Gen ini akan

muncul untuk nonspesifik dimana mereka dapat menimbulkan resiko gila lainnya.

Seperti kekacauan gangguan bipolar. Duplikasi dari urutan DNA dalam gen

(dikenal sebagai menyalin nomor varian) memungkinkan terjadi peningkatan

resiko skizofrenia. (Kaplan,2010)

Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik dari

DNA yang diperkirakan meningkatkan penyakit skizofrenia, serta beberapa gen

lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David St. Clair seorang

psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia mengatakan, penemuan ini

seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti memahami mekanisme kerja dari

proses mutasi, maka obat dan pendekatan baru dapat dikembangkan.

Dalam penelitian,peneliti menganalisa gen dari 6.000-10.000 orang dari

seluruh dunia yang separuhnya menderita skizofrenia. Mereka menemukan 1

mutasi pada kromosom 1,dua pada kromosom 15 dan menetapkan suatu jenis gen

yang terkait dengan kondisi skizofrenia pada kromosom 22. Perubahan ini dapat

Page 56: KASUS 4

56

meningkatkan resiko berkembangnya skizofrenia hingga 15 kali lipat.

(Kaplan,2010)

b. Faktor Biologis

1. Hipotesis Dopamin

Gejala skizofrenia merupakan hasil dari peningkatan aktifitas dopamine pada

system limbic (gejala positif) dan penurunan aktifitas dopamine (gejala

negatif).Patologi dopamine ini bisa karena abnormalitas jumlah reseptor atau

sensitifitasnya, atau abnormalitas pelepasan dopamine (terlalu banyak atau terlalu

sedikit).

2. Hipotesis Norepinefrin

Peningkatan level norepinefrin pada skizofrenia menyebabkan peningkatan

sensitisasi masukan sensorik.

3. Hipotesis GABA

Penurunan aktifitas GABA menyebabkan peningkatan aktifitas dopamine.

4. Hipotesis Serotonin

Metabolisme serotonin tampaknya tidak normal pada beberapa pasien skizofrenia,

dengan dilaporkannya hiperserotoninemia ataupun hiposerotoninemia.Secara

spesifik, antagonis dari reseptor serotonin 5-HT2 ditegaskan memiliki peran

penting dalam mengurangi gejala psikotik dan dalam melawan perkembangan dari

gangguan gerak yang berhubungan dengan antagonis D2.

5. Halusinogen

Diperkirakan beberapa endogenous amines bertindak bertindak sebagai substrat

untuk abnormalitas methylation, yang dihasilkan dalam endogenous

hallucinogens.Hipotesis ini tidak didukung oleh data yang akurat.

6. Hipotesis Glutamat

Penurunan fungsi dari glutamat reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA)

diteorikan dalam menyebabkan gejala positif ataupun negatif dari skizofrenia.

7. Teori Neurodevelopmental dan Neurodegeneratif

Angka kejadian untuk abnormalitas migrasi neuronal terjadi selama trimester ke

dua dari perkembangan janin.Teori dari abnormalitas fungsi neuron pada orang

dewasa merujuk kepada gejala-gejala emergency.Reseptor glutamat yang

memediasi kematian sel mungkin terjadi.Semua ini dapat menjelaskan kematian

Page 57: KASUS 4

57

sel tanpa gliosis yang terlihat pada skizofrenia, dan perjalanan progresif penyakit

ini pada beberapa pasien. (Kaplan,2010)

c. Faktor Psikososial

Skizofrenia ditinjau dari factor psikososial sangat dipengaruhi oleh faktor

keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya memiliki emosi

ekspresi yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi daripada pasien yang

berasal dari keluarga berkspresi yang rendah. EE didefinisikan sebagai perilaku

yang intrusive, terlihat berlebihan, kejam dan kritis.Disamping itu, stress

psikologik dan lingkungan paling mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik

yang lebih terkontrol.Di Negara industri sejumlah pasien skizofrenia berada

dalam kelompok sosio ekonomi rendah.Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh

hipotesis pergeseran ke bawah (Downward drift hypothesis), yang menyatakan

bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok sosioekonomi rendah karena

penyakitnya. Suatu penjelasan alternative adalah hipotesis akibat sosial,yang

menyatakan stress yang dialami oleh anggota kelompok sosioekonomi rendah

berperan dalam perkembangan skizofrenia.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari skizofenia di

setiap kultur berbeda tergantung dari bagaim ana penyakit mental diterima di

dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya sistem pendukung sosial dan

keluarga, dan kompleksitas komunikasi sosial. (Kaplan,2010)

d. Teori Infeksi

Angka kejadian dari penyebab virus meliputi perubahan neuropatologi

karena infeksi: gliosis, glial scaring, dan antivirus antibody dalam CSF serum

pada beberapa pasien skizofrenia.

2. Gejala

Seperti halnya berbagai macam penyakit, skizofrenia pun memiliki gejala-

gejala awal. Berikut ini adalah beberapa indikator premorbid (pra-sakit) pre-

skizofrenia:

- Ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang

tersenyum, acuh tak acuh.

- Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang

Page 58: KASUS 4

58

menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).

- Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau

memindahkan atensi.

- Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak

bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak

disiplin.

Pada umumnya gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok

berikut:

1. Gejala-gejala Positif

Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang

dapat diamati oleh orang lain. Yang termasuk dalam gejala ini antara lain adalah

halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). (Kaplan,2010)

2. Gejala-gejala Negatif

Gejala-gejala ini disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri

khas atau fungsi normal seseorang.Yang termasuk dalam gejala-gejala ini antara

lain adalah kurang atau tidak mampu menampakkan/ mengekspresikan emosi

pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat

menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara

(alogia).

Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita Skizofrenia atau penyakit

psikotik yang lainnya, keberadaan Skizofrenia pada kelompok ini sangat sulit

dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau

ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan Post Traumatic Stress Dissorder.

Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau Skizofrenia pada anak-anak kecil

harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang

bersangkutan. (Kaplan,2010)

Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor

predisposisi skizofrenia, yaitu:

- Gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua

orang sebagai musuh.

- Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat

dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri.

Page 59: KASUS 4

59

- Gangguan skizotipal yaitu perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit,

percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi

pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-

samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi

dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.

- Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi

skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala

skizofrenia, misalnya tekanan (stresor) lingkungan dan faktor genetik ataupun

penggunaan yang salah pada beberapa jenis obat-obatan terlarang.

Gambaran Klinis

Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut ini:

1. Fase Prodromal

Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa

minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas.

Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi

penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini

akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan

mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal

semakin buruk prognosisnya. (Kaplan,2010)

2. Fase Aktif

Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku

katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek.Hampir semua

individu datang berobat pada fase ini.Bila tidak mendapat pengobatan, gejala-

gejala tersebut dapat hilang secara spontan tetapi suatu saat mengalami

eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat disembuhkan). Fase aktif akan diikuti

oleh fase residual.(Kaplan,2010)

1. Fase Residual

Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal tetapi

gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi

pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif

berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan

Page 60: KASUS 4

60

eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).(Kaplan,2010)

Diagnosis Skizofrenia

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :

(a) - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,

namun kulitasnya berbeda; atau

- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar masuk

kedalam pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari

luar (withdrawal); dan

- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau

umum mengetahuinya;

(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke

pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan

khusus);

- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna

sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

(c) Halusinasi auditorik :

- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku

pasien, atau

- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara

yang berbicara), atau

- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan

agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa

Page 61: KASUS 4

61

(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk

asing dari dunia lain).

2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh

waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan

afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas)

yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau

berbulan-bulan terus menerus;

(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan

(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan,

atau neologisme;

(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh

tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;

(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja

social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi

atau medikasi neuroleptika;

3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu

satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan

(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal behaviour),

bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat

sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri

secara sosial. (Kaplan,2010)

3. Penatalaksanaan

a.. Terapi biologis

1.Penggunaan Obat Antipsikosis

Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia

adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua

Page 62: KASUS 4

62

obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan

haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat

menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang

lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan

mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus.

luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang tampaknya tidak

dapat menyaring stimulus yang tidak relevan).

Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian

batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita

dari alat indera pada cortex cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi

masukan sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak mencapai cortex

cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala

skizophrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah

kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan

menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan perbaikan dosis

pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah sakit.

Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik tersebut

memiliki dampak sampingan yang kurang menyenangkan, yaitu mulut kering,

pandangan mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan

pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan yang lebih serius

dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah rendah dan gangguan otot yang

menyebabkan gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja. Selain itu, dalam 2-3

tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti schizophrenic bermunculan dan

mulai digunakan di Indonesia. Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone,

olanzepine, iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang

lebih baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-obat lama. Obat-obat

generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut schizophrenia seperti

tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi,

maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik (pikiran

penuh fantasi dan tak terarah), perasaan tumpul, dan gangguan dorongan

kehendak. Namun, obat-obat anti schizophrenia ini memiliki harga yang cukup

Page 63: KASUS 4

63

mahal. Sementara, penderita schizophrenia di Indonesia kebanyakan berasal dari

golongan sosial ekonomi rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik

(generik).

2 Terapi Elektrokonvulsif

Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock.

ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena

beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa

pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak

membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih

manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan

pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke

tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali

menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya,

intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai

cacat fisik.

Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat bius

ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat

lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung

belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk

menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang

bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya

kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan

tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan

hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada

belahan otak yang tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam

kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.

Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia,

namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et

al.,1991).

3 Pembedahan bagian otak

Page 64: KASUS 4

64

Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal

lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia.

Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang

dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi,

pada tahun 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita

kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan

meninggal.

b. Psikoterapi

Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi

pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton

dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk

menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT).

Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah

dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap

muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan (Wicaksana, 2000).

Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara

psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku

tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.

1 Terapi Psikoanalisa.

Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan

psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya

dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan

kecemasannya . Hal yang paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi

hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada saat

penderita schizophrenia sedang tidak "kambuh". Macam terapi psikoanalisa yang

dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong

untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada

dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran (Akinson, 1991).

Page 65: KASUS 4

65

Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik

fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah

berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang

dipikirkan pada saat itu secara verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan

disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya

dan penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari

keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti

sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur otorotas

yang selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger dan hostile

merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada

individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi tidak

baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.

Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka

penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan

insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking bertujuan agar

penderita mampu menempatkan konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita

mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran

terhadap konflik yang dialaminya. Seperti yang telah diungkapkan terdahulu

bahwa penderita diberi kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic

events dan keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan

moment chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk mengeluarkan uneg-

uneg yang ia rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan emosi dalam

menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga

terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan

therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya menimbulkan

masalah bagi penderita.

Terdapat 2 macam transference, yaitu:

(1) transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur yang disukai

oleh penderita,

Page 66: KASUS 4

66

(2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur yang dibenci oleh

penderita

2 Terapi Perilaku (Behavioristik)

Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik

dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist

mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan kondisi

lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan perilaku itu .

Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel

kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang situasi menimbulkan

kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah mencakupkan upaya

untuk mengubah variabel semacam itu dengan prosedur yang khusus ditujukan

pada perilaku tersebut. Pada kongres psikiatri di Malaysia pada tahun 2000,

cognitif - behavior therapy untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri

dari Amerika maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup

baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif - behavior

therapy tersebut. Rupanya ada gelombang besar optimisme akan kesembuhan

schizophrenia di dunia dengan terapi yang lebih komprehensif ini. Selain itu,

secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung membentuk dan

mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang lebih sesuai, sebagai

persiapan penderita untuk kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz

menggunakan dua bentuk program psikososial untuk meningkatkan fungsi

kemandirian.

a. Social Learning Program.

Social learning program menolong penderita schizophrenia untuk mempelajari

perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni

suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token)

bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat

ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan atau hak-hak tertentu. Program

lainnya adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam program ini,

penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung

Page 67: KASUS 4

67

jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk

bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta

membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini

berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam proses perkembangan untuk

mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan

melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam penelitian, social

learning program mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan

perawatan dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan yang muncul

dalam terapi ini adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif. Tidak

jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain yang

menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan dengan tanda

tersebut membantu perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya

dalam lingkungan perawatan.

b. Social Skills Training.

Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian sosial, seperti

kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan

masyarakat. Social Skills Training menggunakan latihan bermain sandiwara. Para

penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar

mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi

seperti ini sering digunakan dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk

membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka

dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak,

berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya. Meskipun

terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan

perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi

yang tidak diajarkan secara langsung.

3 Terapi Humanistik

a. Terapi Kelompok.

Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam berhubungan

dengan orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari

Page 68: KASUS 4

68

relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola

penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan

dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat

bermanfaat bagi proses penyembuhan klien, khususnya klien skizophrenia.

Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,

beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai

fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut

saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh

mereka. Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk

berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam

kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan.

Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit akan

tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai

pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.

b. Terapi Keluarga.

Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.

Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu

dengan satu atau dua terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah

keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-

ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita

kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara

untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif

secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara

bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-

cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk

mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh penghargaan.

Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan

disusun sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian, seperti yang

dilakukan oleh Fallon campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses

penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit

penderita, dibandingkan dengan terapi

Page 69: KASUS 4

69

3. Mekanisme patofisiologi gangguan mental pada usia tua ( aspek monokuler)

a) Latar Belakang

Mekanisme stress adalah salah satu fungsi vital perilaku biologis yang

tercangkup dalam aspek mental homeostasis. Dalam hal ini, yang disebut

stress adalah segala sesuatu yang menggangu homeostasis baik berupa stress

fisik dengan berbagai agen fisik maupuan stress mental.

Namun, stress juga merupakan kebutuhan vital untuk proses kehidupan itu

sendiri karena stress merupakan faktor pemicu reaksi biologis sampai tingkat

biomolekular. Contohnya stress ancaman yang memicu reaksi flight or fight.

Reaksi ini mengaktifkan jaras noradrenalin untuk memobilisasi semua system

pertahanan tubuh. Tingkat oksidasi bertambah yang selanjutnya meningkatkan

penggunaan glukosa sebagai sumber energi. Artinya, apapun pilihan

psikologis dalam bentuk mekanisme mental yang dipilih korteks prefrontalis

dalam menghadapi ancaman, kebutuhan energi baik untuk pilihan ‘flight’

maupun ‘fight’ telah dipersiapkan.

Namun di sisi lain, kegagalan mekanisme penanganan stress juga menjadi

penyebab kerusakan biologis yang dapat menyebabkan kematian. Contoh

klasik adalah stress kronik. Meskipun mekanisme mental telah mengatasi

faktor stress tersebut, respon simpatis berlangsung secara berkelanjutan.

Seseorang terus menerus berada dalam kondisi fight or flight, dan jaras

noradrenalin terus menerus aktif mempengaruhi aksis hipotalamus hipofisis

dan adrenal (HPA aksis). Akibatnya, timbul gangguan homeostasis yang

sering bermanifestasi sebagai hipertensi dan gangguan kardiovaskular yang

dapat membawa kematian.

Karena semua itu, semua faktor lingkungan yang menurut penalaran

fungsi luhur berperan sebagai ancaman atau stress, selalu membangkitkan

respons psikologis, fisiologis, dan biologis sampai ke tingkat biomolekular.

b) Respon Fight or Flight

Walter cannon pada tahun 1915 mengemukakan respon fight or flight,

yang merupakan akronim dari hiperarousal atau respons stress akut. Konsep

Page 70: KASUS 4

70

ini mengemukakan bahwa hewan bereaksi terhadap ancaman dengan

hiperaktivitas menyeluruh susunan saraf simpatis. Akibatnya, hewan

dipersiapkan untuk Fight or Flight. Respon inilah yang menurut Hans Selye

merupakan tahap pertama sindrom adaptasi umum (SAU), yaitu tahap

peringatan yang meregulasi respons stress pada hewan bertulang belakang.

c) Locus Cereleus sebagai substrat biologis respons stress

Bila seseorang normal berada dalam kondisi tenang, letupan impuls

neuron-neuron di locus cereleus berada dalam tingkat minimal. Suatu stimulus

baru yang dipresepsikan sebagai stress seperti kemacetan lalu lintas, keributan,

berperan mencetuskan sinyal stressor di locus cereleus. Sinyal tersebut segera

setelah dipresepsikan sebagai stressor, diteruskan dari korteks sensorik otak

(korteks prefrontalis) melalui thalamus ke batang otak yang berpusat di locus

cereleus. Perjalanan sinyal ini menaikan tingkat aktivitas noradrenergic di

locus cereleus. Tingkat kewaspadaan terhadap lingkungan eksternal

meningkat. Melalui mekanisme yang sama, jumlah katekolamin yang

berlebihan di neuroreseptor akan memfasilitasi kecenderungan untuk

berperilaku intuisi atau spontan yang berkaitan dengan “lari” atau

“bertempur”. Jadi, locus cereleus selalu aktif baik dalam keadaan normal

maupun dalam kondisi stress dan hanya tingkat aktivitasnya yang berbeda.

d) Gambaran aktivitas Locus Cereleus pada kehidupan normal

Locus Cereleus pada kehidupan normal berfungsi untuk mempertahankan

keadaan homeostasis fungsi vital. Dengan fungsi ini, proses dasar kehidupan

berlangsung secara berlanjut dan berimbang dalam homeostasis. Locus

cereleus dalam upaya mempertahankan homeostasis berperan penting pada

respon “flight or fight” terhadap stress.

Neuron locus cereleus menghasilkan noradrenalin yang bersifat sebagai

stimulant dan mendistribusikannya ke bagian lain otak untuk mempertahankan

fungsi vital (kesadaran, kewaspadaan, pernafasan, fungsi kardiovaskular dan

tonus otot) sebagai ‘piranti’ fight or flight dalam bertahan hidup.

Page 71: KASUS 4

71

e) Locus Cereleus dan Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal pada respons

stress akut.

bila suatu stimulus di presepsi sebagai ancaman dan tidak dapat diatasi

melalui mekanisme penyelesaian masalah, stressor tersebut menjadi bersifat

aversif (menyakitkan). Tingkat emosi disforik memburuk menjadi aversif.

Kondisi ini disebut stress akut dan reponsnya adalah respons stress akut.

Pada respons stress akut, intensitas dan durasi cetusan aktivitas locus

cereleus yang meningkat tajam akan meningkatkan aktivasi jaras simpatis

pada system saraf otonom. Aktivasi ini akan mencetuskan aktivitas spesifik

fisiologis yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan :

1) Pelepasan adrenalin dan noradrenalin dari medulla kelenjar

adrenal yang dicetuskan oleh asteilkolin (Ach) yang dilepaskan

dari preganglion saraf simpatis.

2) Pelepasan kortisol dari aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.

f) Fisiologi respons stress

Hormone-hormon katekolamin seperti adrenalin, noradrenalin, dan

dopamine. Memfasilitasi reaksi fisis langsung untuk mempersiapkan kerja otot

yang kuat (memukul, menerjang atau lari). Persiapan ini terdiri atas reaksi

fisiologis berikut.

Akselerasi kontraksi kronotropik dan inotropik jantung dan paru-paru

Inhibisi kontraksi usus

Kontriksi pembuluh darah kulit

Mobilisasi nutrisi untuk kontraksi otot

Dilatasi pembuluh darah otot dan otak

Inhibisi kelenjar lakrimal dan parotis

Dilatasi pupil mata

Relaksasi kandung kemih

Inhibisi ereksi

g) Siklus hormone-stress melalui aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal

Page 72: KASUS 4

72

Tubuh bereaksi terhadap stress melalui siklus hormone stress dengan 2

agen kimiawi, yaitu hormone di darah dan neurotransmitter di otak. Beberapa

neurotransmitter memiliki struktur kimiawi yang sama dengan hormone, tetapi

berperan dalam kapasitas berbeda. Karena siklus ini melibatkan tiga organ

utama, yaitu hipotalamus, hipofisis dan adrenal, siklus hormone-stress

dianggap sebagai aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.

Hormone beredar di seluruh tubuh, mengubah metabolisme nutrisi

sehingga otak dan otot memiliki cadangan energi yang cukup untuk Fight or

Flight dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Upaya tersebut sekaligus

berperan dalam sebagai mekanisme penanganan sumber stress. Untuk

mendorong aktivitas tersebut, neurotransmitter di otak mencetuskan emosi

seperti agresivitas atau ansietas.

CRF dan ACTH merupakan agen kimiawi yang berfungsi ganda sebagai

hormone dan neurotransmitter. Bila hormone ini juga berfungsi sebagai

neurotransmitter, zat tersebut berperan dalam pencetusan respons emosional

terhadap stress.

Siklus hormone stress dikendalikan oleh beberapa stimulant kimiawi

selain CRF dan ACTH dan juga oleh beberapa inhibitor kimiawi selain

kortisol baik di otak maupun dalam darah. Salah satu opioid, dengan struktur

kimawi yang menyerupai opioid. Penelitian oleh Kreek pada tahun 1998 juga

menemukan bahwa peptide opioid menghambat pelepasan CRF dan

neurotransmitter lain yang berkaitan dengan stress di otak sehingga inhibisi

emosional terjadi pada keadaan stress.

Dikutip dari NDA Research Findings, volume 14, number 1 (1999).

Dalam keadaan normal, hormone stress dilepaskan dalam jumlah

kecil sepanjang hari. Namun, ketika menghadapi stress, kadar hormone ini

meningkat secara dramatis. Awal pelepasan hormone stress di mulai di

otak. Pertama-tama, corticotrophin-releasing factor (CRF) dilepaskan dari

otak ke aliran darah sehingga mencapai kelenjar hipofisis yang berlokasi

tepat di bawah otak. Di lokasi ini CRF merangsang pelepasan hormone

adrenokortikotropin (ACTH), yang selanjutnya melepaskan berbagai

hormone glukokortikoid. Hormone glukokortikoid yang paling utama

Page 73: KASUS 4

73

dalam siklus hormone stress adalah kortisol dari kelenjar adrenal.kortisol

beredar di seluruh tubuh untuk membantu mekanisme stress. Bila

stressornya kecil, setibanya di otak dan kelenjar hipofisis, kortisol tersebut

akan menghambat pelepasan lebih banyak CRF lebih kuat dari sinyal

penghambat kortisol, dan siklus hormone stress akan terulang kembali.

h) Interaksi Neurobiologis pada mekanisme penanganan stress akut

Hampir seua perilaku manusia bertitik tolak dari motivasi penanganan

keadaan disforik. Substrat biologis motivasi adalah system reward

mesolimbik yang terdiri atas area tegmental ventral (AVT), nucleus

accumbens (NAc), pada pengendalian korteks prefrontalis. Prasyarat utama

untuk formulasi motivasi ditentukan oleh keadaan awas/ waspada dengan

substrat biologis di locus cereleus dengan aktivitas pada tingkat basal.

Dikutip dari Konsten and Gorge. The Neurobiology of opioid

dependence. NIDA science perspectives, 2002.

Dalam keadaan awas, sesuatu terjadi seperti kemacetan. Di dalam

diri, korteks prefrontalis menganggap harus tepat waktu karena tuntutan

pekerjaan. Kemacetan berperan sebagai stress ancaman. Terjadi penekanan

terhadap aktivitas GABA sebagai neurotransmitter penghambat. Korteks

prefrontalis memutuskan memacu mobil dengan motivasi “tidak

terlambat” sebagai mekanisme penanganan stress. Nucleus amygdale

mencetuskan kondisi “flight or fight”. Aktivitas siklus hormone-stress

pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal meningkat sehingga kadar

noradrenalin meningkat. Kadar hormone glukokortikoid terutama kortisol

meningkat tajam. Aktivitas locus cereleus meningkat dan noradrenalin

terdistribusi ke seluruh organ yang berperan pada siklus hormone-stress.

Akibatnya, respons simpatis meningkat dan timbul keadaan emosional

disforik. Kita menjadi sensitive dan mudah marah. Hambatan GABA

memicu reaksi kaskade yang memicu pelepasan serotonin (5-HT) dari

AVT. Pelepasan serotonin memicu pelepasan dopamine ke NAc sebagai

dopamine bebas. Dopamine bebas akan mencegah penurunan aktivitas

aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Kadar noradrenalin tetap tinggi di atas

Page 74: KASUS 4

74

basal. Keadaan ini disebut stress akut. Kita berada pada tahap peringatan

sindorm adaptasi umum. Bila kita sampai di tempat kerja, motivasi kita

berarti terpenuhi, dopamine terikat pada reseptor DRD2 di NAc,

penurunan ke tingkat basal terjadi pada aktivitas locus cereleus, kadar

noradrenalin dan aktivitas aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Respons

simpatis berakhir, kadar kortisol menjadi turun dan timbul perasaan

nyaman.