kasihkembali

14
Kasihkembali Ryo bukan berasal dari rahim seorang ibu, sekiranya itulah yang Arya tahu dari penuturan Ryo sendiri. Jalanan, aspal, trotoar, lampu merah, dan angkutan umumlah yang merawatnya sejak bayi. Selagi ia bertumbuh, dari tangan ke tangan preman ia diperbudak. Sampai pada saat terjadi razia, diwaktu itulah ia merasa bebas luar biasa walau ditempatkan dalam kurungan. Menurutnya itu jauh terasa lebih baik, tak ada siksaan, paksaan, makian, atau puluhan hantaman baik dari kepalan tangan maupun benda tumpul. Disaat itu Arya hanyalah anak sekolah menengah pertama yang datang untuk mengantarkan bekal dijam kerja ayahnya menjaga penjara. Ia menanyai perihal dimana ayahnya kepada polisi dari meja bagian informasi dan pengaduan. Tatapan beliau sedikitpun tak lepas dari gunung tumpukan berkas, meskipun Arya sudah dengan lekat menatap kedua matanya. “Pengecekan penjara remaja.” jawab laki-laki itu ketus karena merasa terganggu, sepertinya diakibatkan oleh kedatangan Arya yang mendadak. Arya langsung saja berlalu dari sana untuk mencegah timbulnya bala. Ia melangkah dengan perlahan dan penuh kehati-hatian agar tak menimbulkan keributan disepanjang koridor, melewati beberapa sel yang berkarat dan terlihat sedikit tak terawat. Wajah-wajah para kriminal yang mulai dari

Upload: prince-muabhi

Post on 28-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cerpen

TRANSCRIPT

Page 1: Kasihkembali

Kasihkembali

Ryo bukan berasal dari rahim seorang ibu, sekiranya itulah yang Arya tahu dari

penuturan Ryo sendiri. Jalanan, aspal, trotoar, lampu merah, dan angkutan umumlah

yang merawatnya sejak bayi. Selagi ia bertumbuh, dari tangan ke tangan preman ia

diperbudak. Sampai pada saat terjadi razia, diwaktu itulah ia merasa bebas luar biasa

walau ditempatkan dalam kurungan. Menurutnya itu jauh terasa lebih baik, tak ada

siksaan, paksaan, makian, atau puluhan hantaman baik dari kepalan tangan maupun

benda tumpul. Disaat itu Arya hanyalah anak sekolah menengah pertama yang

datang untuk mengantarkan bekal dijam kerja ayahnya menjaga penjara.

Ia menanyai perihal dimana ayahnya kepada polisi dari meja bagian informasi dan

pengaduan. Tatapan beliau sedikitpun tak lepas dari gunung tumpukan berkas,

meskipun Arya sudah dengan lekat menatap kedua matanya. “Pengecekan penjara

remaja.” jawab laki-laki itu ketus karena merasa terganggu, sepertinya diakibatkan

oleh kedatangan Arya yang mendadak. Arya langsung saja berlalu dari sana untuk

mencegah timbulnya bala. Ia melangkah dengan perlahan dan penuh kehati-hatian

agar tak menimbulkan keributan disepanjang koridor, melewati beberapa sel yang

berkarat dan terlihat sedikit tak terawat. Wajah-wajah para kriminal yang mulai dari

seumurannya hingga lanjut usia terlihat datar saat ia berlalu.

Akhirnya, sang ayah ditemukan berada diujung koridor. Beliau sedang tak seorang

diri, berdiri seorang anak tepat disebelahnya. Anak itu tampak sedang dimarahi.

Mungkin karena tingkahnya yang nakal, Arya hanya menerka-nerka. Lalu pelan-

pelan Arya mendekat dan mencoba dapat mengurangi jarak dengan ayahnya. Ketika

sedikit lagi ia berhasil, secara spontan ia terdiam karena matanya bertemu pandang

dengan mata anak yang sedang diceramahi oleh ayahnya ini. Lelaki sebaya yang

tersenyum lebar memamerkan sebaris gigi yang rapi dan luka lebam disudut bibir

kiri serta memar pada pelipis atas kanannya. Tanpa mengindahkan ocehan ayah

Arya, ia mengulurkan tangan kearah Arya dan berkata, “Hai! Gwa Ryo. Kita

sahabatan yok!”

Ditempat yang penuh ketenangan ini, rutinitas alam ketika beranjak malam

berlangsung. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan, menggugurkan

Page 2: Kasihkembali

dedaunan, dan membawa suhu hangat ke atmosfir. Sinkronisasinya membuat hawa

dingin menyebar setelah rona merah sinar mentari menghilang dalam kurun waktu

sebentar lagi.

Arya menggigil, suasana seperti ini yang membekukannya dan hening yang merebak

menghanyutkan ia ke duka yang lebih mendalam lagi. Ia tak suka kesunyian, apalagi

orang yang sedang dikunjunginya. Orang yang dulunya dikenal tak punya batasan

stok tawa, berton-ton rasa bahagia, dan ekspresi abadi cerianya. Sekarang semua

terasa aneh tanpanya disisi Arya. Arya kembali mengelus nisan yang mulai

diselimuti lumut dan jamur-jamur kecil, masih belum cukup banyak untuk menutupi

pahatan nama yang tertera disana. Sehingga ia juga masih dapat dengan jelas

membaca siapa tepatnya yang berbaring dua meter di bawah pijakan kakinya berada.

Angin berhembus kembali, kali ini lebih kuat dan kencang. Udaranya menyusup

masuk ke tiap inci rongga dada Arya, membiusnya dan memanggil masa-masa

silam, serta menjamah jauh tahun-tahun yang lampau. Gambaran pertama yang

langsung terproyeksi dari kenangannya berupa sebuah manekin perempuan yang

didandani punk ala rocker.

“Kece gak Ya? Gwa yang ngepermak ni cewe’ jadi kayak gini.” dengan bangga Ryo

mengangkat jempol tanda kepuasannya akan kesuksesan yang telah ia capai.

“Kemaren gwa liat ni cewe’ cupu banget di toko baju perempatan jalan. Gwa pinjam

bentar. Dah ntu, taraa! Jadi cantik. Ntar gwa pengen nyari pacar seperpek ni dah!

Gak ada cewe’ yang secantik ni, satu-satunya di jagat raya, dan cuma milik gwa. Lo

pasti bakalan ngiri!” tanpa menunggu pendapat dari si lawan bicara alias teman Ryo

satu-satunya, kata-kata narsis, bualan, harapan palsu, dan bahasa inggris yang

sekenanya sudah keburu beruntun keluar dari mulut Ryo.

Hanya dua logika yang ada di dalam pemikiran Arya. Satu, adalah lumrah kalau

manekin ini cantik menurut Ryo. Baginya, tak akan cantik seorang wanita kalau tak

punya tato minimal 15 buah tersebar di seluruh tubuh dan tindikan menggantung

dimana-mana. Dua, fakta yang menyatakan wanita ini hanya satu-satunya sejagat

raya bisa dikategorikan 99,99% benar absolut, yaitu tak lain adalah manekin itu

sendiri. Jikalaupun ada yang mampu menyaingi rupa manekin ini dalam bentukan

Page 3: Kasihkembali

manusia asli, hidup, dan sungguhan. Arya yakin manusia itu akan diburu oleh Ryo

hingga akhir zaman atau mesti mengobrak-abrik matahari sekalipun untuk

menangkapnya.

Tanpa memperdulikan Arya yang mematung layaknya manekin juga, Ryo memeluk

erat sang wanita idaman sembari berlinangan air mata penuh haru. Seakan benar-

benar menemukan belahan jiwanya setelah jatuh bangun dalam usaha permutasian

beberapa manekin sebelumnya. Arya sendiri sebenarnya langsung merasa mual

sekaligus mendapati hasrat untuk buang hajat seketika ia melihat manekin tersebut.

Beda dampak pada orang lansia yang mungkin rentan jantungnya, dapat dipastikan

mengalami kejang-kejang dan mengeluarkan buih bukan hanya dari mulut, tapi juga

lubang-lubang disekitarnya. Gejala selanjutnya dapat mengantar mereka ke UGD

atau hal terburuk lain, apabila melihat penampakan karya seni fenomenal ini lebih

khidmat lagi.

Sebenarnya, sepulang dari sekolah tadi. Ryo yang baru saja habis dari mengamen

langsung menghampiri Arya. Dengan satu jam nonstop manekin bersangkutan

dideskripsikan oleh pemiliknya –Ryo–, yang mana membuat telinga Arya kembang-

kempis dan benar-benar berhasil memberi syok akut. Suatu hal yang berada diluar

bayangan Arya, dimana sesungguhnya benda ini tampak jauh lebih cacat dari tiap

pujian di dalam cerita Ryo. Anggap saja terlebih karena sang pencerita sendiri tak

pandai dalam menjabarkan gambaran si manekin dari sisi manusiawi.

Tepat digenap lima menit berikutnya, otak Arya disesaki oleh formula-formula

logika dan sekarang untuk kali pertamanya, nalar Arya tak sampai untuk menerima

eksistensi wanita jadi-jadian dihadapannya ini. Jantungnya meloncat-loncat, napas

memburu, keringat dingin mengucur deras, dan dalam sekejap wajahnya menjadi

pucat pasi. Arya hilang kontrol akan kesadarannya dan jatuh pasrah layaknya sebuah

manekin, tetap kaku saat terhempas ke lantai.

Siluet senja mewarnai langit sore hari ini, tampak burung wallet berkeliaran mencari

ranting atau gedung yang tinggi untuk bersarang atau sekedar singgah untuk

bermalam. Tidak seorangpun masih sanggup menetap di pemakaman umum itu pada

jam-jam menjelang adzan magrib seperti ini, tapi nyatanya tidak dengan Arya.

Page 4: Kasihkembali

Kelaziman akan standar jam berziarah tak digubrisnya, meski penjaga kuburan juga

sudah mengingatkannya untuk puluhan kali. Ia masih mau berlama-lama melepas

rasa rindunya, memanjatkan banyak do’a, dan terutama untuk mengucapkan selamat

tinggal dipenghujung hari berziarah. Selama ini kata itu tercekat ditenggorokannya

dan tak mau keluar. Saat dicoba, mulutnya bergerak tapi tak dapat bersuara, karena

meski kemauannya berkehendak, hatinya dengan tegas menolak. Sekarang ia

tersenyum pilu, menyadari bahwa sosok yang ditimbun tanah ini hingga akhir

hayatnya tetap tak mampu menemukan wanita idaman seperti si manekin pujaan.

Andai saja saat itu ia tak pingsan, Ryo mungkin tak harus mengembalikan si

manekin.

Disaat Ryo menyadari bahwa Arya pingsan, ia tersenyum geli. Dilihatnya sahabat

yang sudah dianggapnya adik sendiri ini terkapar hanya karena manekin iseng-

isengnya. Ia juga sebenarnya lebih bergidik menatap manekin ini, tapi tak elak ia

merasa sangat bersalah pula. Diangkat, digendong, dan ditidurkannya Arya diatas

kasur busa yang banyak dipenuh lubang karena digerogoti mahluk pengerat. Satu-

satunya properti yang ada digubuk miliknya selain si manekin. Ia mencoba

membangunkan Arya, tapi teringat akan manekin yang masih bergaya di sudut

ruangan itu. Ia berpikir sebaiknya untuk mengembalikan terlebih dahulu benda

tersebut ke empunya. Sekalian mencegah pingsannya Arya untuk kali kedua.

Ryo berlari menuju toko baju perempatan jalan, tempat dimana ia meminjam tanpa

izin manekin ini karena sang pemilik sedang pergi disaat Ryo bertamu kesana. Tak

ada niatnya untuk mencuri. Maksudnya tak lain hanya untuk bersenang-senang

dengan memberi kejutan sebenarnya kepada Arya, yaitu sebuah hadiah cincin

persahabatan berukir kata, ‘Terimakasih’. Ia tahu kalau dirinya bukanlah tipe yang

sanggup menyatakan ucapan tersebut secara lisan langsung ke Arya. Jadi ia mencari

cara lain, dengan membeli cincin yang telah diperjuangkan selama ini melalui jerih

payah mengamen dijalan.

Ryo berlari secepat yang ia bisa, dengan muka bahagia tapi rasa cemas terhadap

Arya. Tak disadarinya sekumpulan massa telah menunggu kedatangan dari sang

pencuri manekin dipersembunyian mereka, mengepung Ryo disekeliling toko baju.

Page 5: Kasihkembali

Ia terkesiap ketika derap langkah puluhan warga mengejarnya, lalu diikuti bunyi

pentungan, tinju, tendangan, dan sayatan oleh benda tajam. Erangan pelan dari

mulutnya yang sobek terdengar lirih tapi ia tetap tak mau melawan. Ia malah

meringkuk menjaga hadiah untuk Arya dalam genggaman kedua tangannya.

Sebagian warga berniat membakar gubuk barunya, sebelum salah seorang dari

mereka yang menggeledah ruangan itu berteriak ada anak laki-laki tertidur didalam

sana. Mereka mencoba membangunkan Arya dan dengan sedikit memaksa bertanya

tentang apa yang terjadi setelah ia kembali terjaga. Ia yang bingung menjawab kalau

ia tadi pingsan akibat sebuah manekin. Amarah para warga kembali membuncah,

kesalahpahaman mereka membawa hal yang tak diinginkan berlanjut ketahap yang

lebih kritis antara Ryo dan Arya.

Arya masih menatap kosong gundukan tanah yang ditanami rerumputan kerdil,

memindahkan satu-persatu kerikil yang berserakan diatasnya. Ia berhitung dengan

mengingat berapa hari Ryo ditahan dalam ruangan petak bertembok beton dan

berjendela terali besi dimasa lalu. Ia menyalahkan dirinya, karena memang semua

salahnya. Kalau saja ia tidak diikutsertakan pada detik itu, mungkin Ryo tak akan

kembali dimasukkan ke kurungan. Dikarenakan olehnya, kekeliruan terbesar

muncul. Semua warga membenci si mantan anak didik preman yang kembali

berulah. Ayah Arya, seorang polisi yang sebelumnya selalu membela Ryo sudah

angkat tangan menyerah setelah mendengar penuturan warga, dan semuanya

mengungkit pingsannya ia adalah karena ia diperlakukan sadis oleh Ryo. Diatas

segalanya, kesaksian Arya mengunci ketukan palu dan menentukan vonis hukuman

kepada sahabat tercinta.

Sesadarnya Arya dari pingsan, ia dipaksa menjadi saksi oleh beberapa pihak

dipengadilan. Ketersudutannya sebagai salah satu saksi memaksa dirinya meng-iya-

kan tiap pertanyaan dari hakim dan pengacara si pemilik manekin. Kesaksiannya

memukul telak perasaan Ryo, membuat Ryo hanya mampu meringis dengan mulut

terbungkam. Bukan karena luka lebam dan kulit yang tergores benda tajam disana-

sini, tapi terlebih karena satu-satunya orang yang ia punya telah menghianatinya,

melegalisasi hukuman dengan perkataan penuh kepalsuan, dan menjebloskannya ke

Page 6: Kasihkembali

dalam penjara untuk kurun waktu cukup lama. Dipengadilan itu Arya menyesal

dengan penuh sangat, ia tak bisa berbuat apa-apa selain berkata bohong dengan

todongan dan ancaman dari seluruh warga.

Lama waktu berlalu, hukuman Ryo berupa pengasingan dari kota tersebut, ia harus

dikurung dalam penjara yang berada jauh ditepi peradaban. Lalu perlahan tapi pasti,

Arya mulai melupakannya karena sibuk dikerubungi pekerjaan sebagai polisi baru.

Tak terdapat pertanyaan dalam benaknya akan keadaan atau kabar dari Ryo. Sampai

keperduliannya terhadap Ryo seakan pupus, terkikis menjadi debu dan terbawa oleh

angin melayang jauh.

Genap sudah dua tahun ia menjadi polisi, banyak kasus sudah dipecahkannya.

Sampai suatu hari ia mesti menghentikan tawuran yang mulai merambah ke kota.

Ketika tawuran itu terjadi, semua warga mengungsi, blokade pertahanan polisi

dirusak, dan korban berjatuhan bersama porak porandanya kota itu.

Pada peristiwa tawuran kedua yang sedang terjadi, ia terdesak ke dalam kerumunan,

terjebak diantara perkelahian dan bom asap air mata. Seseorang menariknya dari

sana dan membawanya menjauhi lokasi kejadian di balik puing-puing rumah yang

runtuh. Ia tak yakin jikalau ia mengenalnya, karena bom asap itu berhasil

mengaburkan pandangannya. Tapi suaranya hanya memberi satu pilihan dan nama

yang muncul untuk orang yang telah menyelamatkan dirinya adalah Ryo.

Ia tertegun sembari Ryo mengelapkan semacam kain basah ke kedua matanya. Tak

ada yang salah dengan pandangannya sekarang, matanya tak lagi pedih ataupun

berair. Lelaki dihadapannya kinipun terlihat jelas, sosok periang yang lama tak

berjumpa dengannya.

“Lo nggak papa khan Ya?” Ryo bertanya sembari mengecek apa ada yang salah

ditiap inci tubuh Arya. Orang yang ditanya hanya mampu menggeleng pelan.

“Syukur kalo lo nggak pa-pa. Jujur gwa seneng banget ngeliat lo Ya. Apalagi

sekarang lo dah jadi polisi. Gwa nggak da kemajuannya, cuma bisa ngamen ama

tinggal disana-sini. Maksud gwa mau ngunjungin elo, eh, taunya da tawuran. Mana

elo sok eksis juga noh ditengah-tengah sana tadi. Mending tadi lo lari ja, ngelapor

Page 7: Kasihkembali

ama gwa. Gwa tepokin noh atu-atu, beres deh. Lo ingat khan pamor gwa sebagai

preman cap ajib, hahaha.” Ryo yang sama masih ada disini, dengan canda dan tawa

renyahnya selalu menenangkan di dalam kondisi mencekam seperti apapun. Arya

sadar selama ini ia hanya bersembunyi untuk membendung kerinduannya terhadap

Ryo dan sekarang rasa yang membeludak itu menyembur keluar dari

persembunyiannya. Ia terisak sedih penuh haru dalam perasaan bersalah dan campur

aduk, sedangkan Ryo hanya tersenyum geli melihatnya. Sayang disaat momen yang

ditunggu sedang berlangsung, bunyi keras letupan bom asap mengganggu dan

membuat para kerumunan berlari tunggang langgang kearah mereka berdua. Massa

yang kontra terhadap polisi tak sengaja melihat keberadaan Arya, mereka

mengacungkan senjata tinggi-tinggi dan berlari menuju Arya untuk dijadikan

sasaran amukan.

Ryo mengerti betul kondisi Arya yang hampir tak akan mampu mempertahankan

dirinya karena luka yang ada disekujur tubuh. Ini kesempatan terakhir, setidaknya

kali ini ia akan bertindak benar demi adiknya.

“Ya, gwa cuma pengen lo tau kalo gwa dah nganggap lo kayak saudara gwa, adek

gwa sendiri. Gwa sayang sama lo. Ini yang sebenarnya gwa mau kasih ama lo waktu

gwa bilang ada kejutan lima tahun yang lalu bukan manekin yang aneh itu, hehe. Lo

jaga baek-baek sebagai kenangan dari gwa ya.” Arya masih terdiam, mencoba

menelaah perkataan Ryo. Ia tahu makna dibalik kalimat tersebut, tapi apa maksud

Ryo mengatakannya dikondisi seperti sekarang.

Sebuah cincin Ryo pindah tangankan, lalu ia melihat kesekeliling mencari sesuatu.

Sepersekian detik selanjutnya, semua fragmen dipenglihatan Arya terjadi begitu

cepat. Ia merasakan sebuah pelukan, kecupan dikening, dan hangatnya air mata Ryo

yang menetes di pipinya secara berurutan. Lalu Ryo sudah menggenggam sebuah

balok kayu yang entah didapatnya dari mana. Ia berlari menerjang kerumunan massa

dan berteriak, “ARYA, CEPAT LARI! LARI!”

Kesadaran Arya kembali ketika sore mulai padam. Memori akhirnya menyimpulkan

bahwa jikalau bukan oleh kakaknya, ia tak mungkin masih bernapas hingga saat ini.

Page 8: Kasihkembali

Akan tetapi tindakan Arya yang menuruti perintah sang kakak untuk lari dan pergi

meninggalkan ia berjuang sendiri, tak dapat henti-hentinya disesali.

“Kak, adek gak mau bilang selamat tinggal, karena nggak ada kata berpisah buat

sahabat khan? Adek mau nebus kesalahan dengan cara yang sama saat kita pertama

ketemu. Sebuah jabat tangan pertemanan buat setiap Ryo yang ada diluar sana.

Semoga itu bisa ngebayar hutang ad dek sam ma ka kak.” Arya mulai sesenggukan.

Setelah ia mencoba mengatur napas dan merasa sedikit lebih tenang. Ia kembali

berucap, “Kak, adek yakin ntar kita bisa ketemu lagi, karena kita khan keluarga.”

diciumnya nisan Ryo, lalu ia melangkah pergi dari sana. Setelah dibukanya pintu

mobil, sekilas ia menengok kebelakang sambil memutar sebuah cincin di jari

manisnya. “Terimakasih kak.” bisiknya disela isak tangis dan derai air mata. Semilir

angin menyentuh wajahnya, seakan itulah ucapan balasan dari Ryo. Lalu ia masuk

ke dalam mobil untuk menuju yayasan pengayoman anak jalanan miliknya.

Senyumnya sekarang mengembang, mengetahui pasti disurga kakaknya

menyampaikan perkataan, “Kembali kasih.”

Page 9: Kasihkembali

January 17th, 2014 (02.00 pm)

Palembang, Unsri Bukit, Perpustakaan.