kajian tingkat bahaya longsor

87
1 AN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi geografis dan geodinamik Indonesia telah menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana (natural disaster prone region). Indonesia merupakan negara kepulauan yang menjadi tempat pertemuan tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Interaksi antar lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki aktivitas kegunungapian (vulkanisme) dan kegempaan yang cukup tinggi. Lebih dari itu, proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga membentuk relief permukaan bumi yang khas dan sangat bervariasi, mulai dari datar hingga pegunungan yang berlereng terjal. Surono (2008) dalam Aris Poniman dkk (2008), menyatakan bahwa topografi terjal yang tersusun oleh batuan dengan pelapukan tinggi dan curah hujan tinggi akan memicu daerah tersebut menjadi daerah rawan longsor. Tanah longsor (landslide) adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran bergerak ke bawah atau keluar lereng. Kabul Basah Suryolelono 1

Upload: bekti-hore2

Post on 15-Jun-2015

3.184 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tingkat bahaya longsor

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

1

AN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Posisi geografis dan geodinamik Indonesia telah menempatkan Indonesia

sebagai wilayah yang rawan bencana (natural disaster prone region). Indonesia

merupakan negara kepulauan yang menjadi tempat pertemuan tiga lempeng besar,

yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Interaksi

antar lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang

memiliki aktivitas kegunungapian (vulkanisme) dan kegempaan yang cukup

tinggi. Lebih dari itu, proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga

membentuk relief permukaan bumi yang khas dan sangat bervariasi, mulai dari

datar hingga pegunungan yang berlereng terjal. Surono (2008) dalam Aris

Poniman dkk (2008), menyatakan bahwa topografi terjal yang tersusun oleh

batuan dengan pelapukan tinggi dan curah hujan tinggi akan memicu daerah

tersebut menjadi daerah rawan longsor.

Tanah longsor (landslide) adalah perpindahan material pembentuk lereng

berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran bergerak ke

bawah atau keluar lereng. Kabul Basah Suryolelono (2002) menjelaskan bahwa

peristiwa longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau

kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alami atau buatan dan sebenarnya

merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya

gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya

pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Pada prinsipnya

tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya

penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan

kepadatan tanah. Sementara, gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut

kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan batuan. Di daerah dengan

kemiringan lereng terjal yang ditutupi oleh lapisan tanah penutup yang lunak atau

gembur, air hujan dapat dengan mudah merembes pada tanah yang gembur dan

1

Page 2: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

2

batuan lempung yang berongga atau retak-retak. Air rembesan ini berkumpul

antara tanah penutup dan batuan asal yang segar pada lapisan alas yang kedap air.

Tempat air rembesan ini berkumpul dapat berfungsi sebagai bidang luncur.

Meningkatnya kadar air dalam lapisan tanah atau batuan, terutama pada lereng-

lereng bukit akan mempermudah gerakan bergeser atau tanah longsor.

Seiring perkembangan zaman, aktivitas manusia semakin mengarah pada

eksploitasi alam secara berlebihan, baik diperuntukan dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidup. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam DAS secara sewenang-

wenang seperti penggundulan hutan, pembukaan lahan-lahan baru di

lereng-lereng bukit, tata kota yang tidak sesuai peruntukkannya, dan pemanfaatan

lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi telah menyebabkan beban

pada lereng semakin berat. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan memicu

terjadinya bencana akibat degradasi lingkungan, misalnya tanah longsor. Menurut

Dinas Pekerjaan Umum (2009), bencana diartikan sebagai suatu peristiwa atau

rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh perang, alam, perbuatan manusia, dan

penyebab lain yang dapat mengakibatkan korban dan penderitaan manusia,

kerugian, kerusakan serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan

penghidupan masyarakat. Jadi, peristiwa longsor maupun fenomena alam lainnya

tidak selalu disebut sebagai bencana, jika tidak mengakibatkan korban jiwa atau

gangguan terhadap penduduk sekitar. Namun, saat ini keadaan tersebut sulit

berlaku di DAS-DAS hulu, termasuk di Kabupaten Karanganyar.

DAS Jlantah adalah salah satu DAS yang terletak di Kabupaten

Karanganyar. Di bagian hulu, DAS tersebut memiliki ketinggian yang berkisar

antara 500 – 1000 m dpal dengan kemiringan lereng landai – sangat curam (8 –

>45%), sehingga mengisyaratkan bahwa sebagian daerahnya adalah terjal yang

berpotensi longsor. Berdasarkan kaidah konservasi, daerah dengan kemiringan

>45% seharusnya hanya diperuntukkan menjadi kawasan lindung dimana

permukiman dan tanaman budidaya tidak diperbolehkan. Namun, kawasan

lindung dan penyangga di beberapa DAS hulu Kabupaten Karanganyar telah

berubah menjadi area penanaman sayuran dan tanaman tahunan, serta

berkembang permukiman di antara bukit-bukit terjal.

Page 3: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

3

Longsor dalam skala kecil maupun besar, selalu terjadi dari waktu ke

waktu dan bahkan akhir-akhir ini semakin tinggi intensitasnya. Di Kabupaten

Karanganyar terdapat beberapa kecamatan yang rawan longsor, yaitu Kecamatan

Jenawi, Ngargoyoso, Tawangmangu, Jatiyoso, Matesih, dan Karangpandan.

Setiap daerah tersebut memiliki tingkat kerawanan longsor yang berbeda-beda.

Hal tersebut ditentukan oleh perbedaan karakteristik lahan yang sekaligus sebagai

parameter penyebab longsor, seperti kemiringan lereng, jenis tanah, kondisi

batuan, hidrologi, iklim, penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi.

Analisis tingkat bahaya longsor tanah di masing-masing DAS hulu di

Kabupaten Karangayar sangat diperlukan. Analisis tersebut dapat digunakan

untuk penyusunan informasi penanggulangan bencana yang digunakan sebagai

masukan bagi perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan

tataruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran ini dapat diminimalkan dengan

memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsor

tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus

dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif sebaiknya dibuat berdasarkan

prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi juga tindakan-tindakan yang

harus dilakukan pada saat bencana datang.

Desa Tlobo merupakan salah satu desa yang ada di DAS Jlantah Bagian

Hulu. Desa ini merupakan desa yang aksesbilitasnya cukup tinggi dibandingkan

dengan desa lain. Satuan lahan yang masuk desa ini cukup bervariasi sehingga

dapat dijadikan populasi dalam penelitian ini. Melalui hasil survei dan

pengamatan peta tentatif, diketahui bahwa Desa Tlobo memiliki kemiringan

lereng yang cukup kompleks dan penduduk yang relatif padat. Sebagian

permukiman penduduk menempati daerah berlereng curam yang rawan bencana

tanah longsor. Penggunaan lahan yang tidak tepat dan kurangnya pemahaman

masyarakat pada karakteristik lahan tempat mereka tinggal turut serta memberikan

pengaruh pada tingkat bahaya longsor di Desa Tlobo. Untuk itu perlu kiranya

dilakukan penelitian dan analisis tingkat bahaya longsor, yang hasilnya dapat

disosialisasikan kepada masyarakat agar lebih peduli dan tidak melakukan

eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan yang dapat membahayakan diri

Page 4: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

4

mereka sendiri sehubungan dengan tingkat bahaya longsor di lingkungan tempat

tinggal mereka.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti bermaksud

mengadakan penelitian di salah satu DAS hulu Kabupaten Karanganyar.

Penelitian tersebut berjudul “Tingkat Bahaya Longsor Sebagian Desa Tlobo di

DAS Jlantah Bagian Hulu Kabupaten Karanganyar Tahun 2009”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa masalah yang ada di daerah

penelitian. Masalah tersebut antara lain:

1. DAS Jlantah Bagian Hulu memiliki kemiringan lereng terjal

sehingga berpotensi terjadinya longsor.

2. Pemanfaatan lahan yang kurang tepat pada suata lahan, seperti

penanaman vegetasi sayur di kemiringan terjal, pembukaan lahan untuk

permukiman di antara bukit-bukit terjal dapat mempercepat terjadinya

longsor di kawasan tersebut.

3. Heterogenitas karakteristik lahan seperti kemiringan lereng, jenis

tanah, kondisi batuan, hidrologi, iklim, dan penggunaan lahan akan

mempengaruhi perbedaan tingkat bahaya longsor di setiap daerah.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah ”Bagaimana Tingkat Bahaya Longsor (TBL) Sebagian Desa

Tlobo di DAS Jlantah Bagian Hulu?”

D. Tujuan Penelitian

Beradasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui Tingkat Bahaya Longsor (TBL) Sebagian Desa Tlobo di

DAS Jlantah Bagian Hulu.

Page 5: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

5

E. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang

geomorfologi serta bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

a. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau arahan

bagi pemerintah daerah setempat dalam usahanya untuk memanfaatkan

dan melestarikan sumberdaya alam di DAS Jlantah Bagian Hulu.

b. Dapat digunakan untuk sosialisasi adanya potensi

terjadinya longsoran sehingga segenap masyarakat dapat mengenali

tipologi lereng yang rawan tanah longsor, gejala awal lereng akan

bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan.

c. Sebagai bahan acuan masyarakat dalam ikut serta

meningkatkan kelestarian sumberdaya alam di DAS Jlantah Bagian

Hulu.

Page 6: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tanah dan Lahan

“Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas, menduduki sebagian besar permukaan planet bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat sebagai pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk terhadap relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula” (Darmawijaya, 1990:9).

Marbut (1927) seorang ilmuan Rusia, dalam Darmawijaya (1990:8)

mengemukakan bahwa A Soil is a natural-thingout-off doors as an integrated part

of landscape artinya tanah merupakan lapisan luar kulit bumi yang biasanya

bersifat tak padu (unconsolidated) mempunyai tebal dari tiga meter, yang berbeda

dengan bahan di bawahnya biasanya dalam hal warna fisik, susunan kimia

mungkin juga proses-proses kimia yang sedang berlangsung sifat biologis dan

reaksi morfologinya.

Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dapat

dipelajari di lapangan. Pengamatan sebaiknya dilakukan pada profil tanah yang

baru dibuat (Hardjowigeno, 1993:4). Profil tanah adalah penampang melintang

(vertical) tanah yang terdiri dari lapisan tanah (solum) dan lapisan bahan induk.

Solum tanah adalah bagian dari profil tanah yang terbentuk akibat proses

pembentukan tanah (horizon A dan B) (Hardjowigeno, 1993:6). Profil tanah yang

akan diamati harus memenuhi syarat-syarat, tegak (vertical), baru dan tidak

langsung terkena sinar matahari (Darmawijaya, 1990:157)

Morfologi tanah ditentukan dengan pengamatan dan pengukuran terhadap

horizon penyusun tanah, setelah membatasi masing-masing horizon barulah

horizon tersebut diketahui ciri-ciri morfologinya. Ciri-ciri morfologi tersebut

adalah warna, struktur, tekstur, konsistensi, pH tanah, perakaran dan bahan-bahan

kasar atau bentukan-bentukan istimewa (Darmawijaya, 1990:157). Kualitas tanah

6

Page 7: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

7

merupakan hasil interaksi antara karakteristik tanah, penggunaan tanahnya, dan

keadaan lingkungannya (Darmawijaya, 1992:272).

Menurut Jenny dalam Darmawijaya (1990:73) berdasarkan definisi tanah

dikenal lima macam faktor pembentukan tanah yang dihubungkan dengan sifat -

sifat tanah:

s = f(i,h,b,t,w,….)

dengan,

s = sifat – sifat tanah

a. Iklim (i)

Komponen iklim yang utama adalah curah hujan dan temperatur, kedua

komponen ini saling mempengaruhi. Iklim merupakan rata-rata cuaca,

cuaca merubah energi matahari menjadi energi mekanik dan energi panas

sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam atmosfer dari hari ke hari dan

dari musim ke musim (Darmawijaya, 1990:74).

Pengaruh curah hujan terhadap sifat tanah: (Jenny dalam Darmawijaya,

1990:79)

1). Pelindihan unsur-unsur K dan Na

2). Pelindihan CaCO3 dalam profil tanah

3). Pelindihan C dan N dalam tanah

Sedangkan temperatur berpengaruh memperbesar evapo-transpirasi dan

mempercepat reaksi kimia dalam tanah sehingga mempengaruhi pula

gerakan air dalam tanah.

b. Kehidupan (h)

Semua mahluk atau jasad hidup, baik diwaktu hidupnya maupun sesudah

mati mempunyai pengaruh terhadap pembentukan tanah. Diantaranya yang

paling berpengaruh adalah vegetasi karena berkedudukan tetap untuk

waktu lama (Darmawijaya, 1990:92).

c. Bahan Induk (b)

Tiap-tiap satuan bahan induk merupakan faktor pengubah bebas dalam

pembentukan tanah. Sifat-sifat penting yang berpengaruh terhadap proses-

proses pelapukan antara lain tekstur batuan, struktur batuan, kemasaman,

Page 8: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

8

kadar Ca yang dikandung bahan induk dan jenis mineral yang menyusun

batuan (Darmawijaya, 1990:87).

d. Topografi (t)

Pada tanah datar kecepatan pengaliran air lebih kecil daripada tanah

berombak (undulating). Topografi miring mempergiat proses erosi,

sehingga membatasi dalamnya solum (Darmawijaya, 1990:98).

e. Waktu (w)

Lamanya bahan induk mengalami pelapukan dan perkembangan tanah

memainkan peranan dalam menentukan jenis tanah yang terbentuk.

Tanah terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu (Darmawijaya, 1990:156)

a. Tubuh tanah (solum), lapisan tanah mineral

dari atas sampai sedikit di bawah batas horizon C

b. Tanah atasan (topsoil), lapisan tanah yang

subur biasanya mengandung bahan organik (horizon Ap, A1 atau horizon

A seluruhnya)

c. Tanah permukaan (surface soil), lapisan tanah

permukaan setebal 12 – 20 cm (5 – 8 inches) yang biasanya terpindahkan

saat penggarapan tanah.

d. Tanah bawah permukaan (subsurface soil),

horizon A yang terdapat di bawah surface soil

e. Tanah bawahan (subsoil), horizon B bagi

tanah-tanah yang profilnya jelas.

f. Lapisan bawah tanah (substratum), tiap

lapisan dibawah solum baik horizon C atau R

Lahan merupakan bagian dari bentangalam (landscape) yang mencakup

pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan

bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara

potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, dalam Djaenudin

dkk, 2003:3).

Menurut FAO dalam Asdak (1989 :207), lahan didefinisikan sebagai

berikut:

Page 9: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

9

“Lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap perubahan penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi, dan juga hasil yang merugikan seperti tanah yang tersalinasi. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang atau tempat.”Dalam identifikasi morfologi lahan yang perlu diamati adalah sebagai

berikut : (Darmawijaya, 1990:184)

a. Relief

Relief digunakan untuk menunjukkan secara sederhana perbedaan elevasi

(tinggi tempat) suatu bidang lahan

b. Miring tanah atau lereng (slope)

Miring tanah biasanya diukur dengan alat penyipat datar antara lain abney

level, kompas geologi dan klinometer yang dinyatakan dengan derajat atau

persen

c. Drainase

Drainase tanah adalah kecepatan perpindahan air dari suatu bidang lahan,

baik berupa run-off maupun peresapan air kedalam tanah (Darmawijaya,

1990:187)

d. Vegetasi

Pengamatan vegetasi lebih ditekankan pada penentuan perakaran dalam

profil tanah

e. Erosi

Pengikisan tanah, batuan dipermukaan bumi oleh kerja air, angin, es, dan

gravitasi. Dalam hal ini ditekankan pada air.

Karakteristik lahan adalah suatu parameter lahan yang dapat diukur atau

diestimasi, misalnya kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah dan sebagainya

(Yunianto, 1991:3). Sitorus (1995:5) mendefinisikan karakteristik lahan sebagai

suatu proses yang meliputi penentuan ciri lahan (land properties) yang ada

hubungannya dan dapat diukur atau dianalisis tanpa memerlukan usaha-usaha

yang besar.

Page 10: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

10

Satuan lahan merupakan kelompok dari lokasi yang berhubungan, yang

mempunyai bentuklahan tertentu di dalam sistem lahan dan seluruh satuan lahan

yang sama yang tersebar akan mempunyai asosiasi lokasi yang sama. Sistem

lahan merupakan area yang mempunyai pola yang berulang dari topografi, tanah

dan vegetasi (Sitorus, 1995:93).

Karakteristik lahan berbeda dengan kualitas lahan, karakteristik lahan

merupakan parameter yang akan digunakan dalam mengetahui kualitas lahan.

Kualitas lahan Kualitas tanah merupakan hasil interaksi antara karakteristik tanah,

penggunaan tanah, dan keadaan lingkungan (Darmawijaya, 1992:272). FAO

dalam Sitorus (1995:5) mendefinisikan kualitas lahan adalah suatu sifat lahan

yang komplek atau sifat komposit yang sesuai untuk suatu penggunaan yang

ditentukan oleh seperangkat karakteristik lahan yang berinteraksi.

2. Longsor

Longsoran menurut Sharpe (1938) dalam Thornbury (1969:46) adalah tipe

gerakan masa batuan yang diamati dan melibatkan masa kering bahan rombakan

bumi (earth debris). Sharpe membagi tiga gerakan yang termasuk longsoran

menjadi lima kategori, yaitu:

a. Nendatan (slump)

Nendatan adalah longsoran yang bergerak secara rotasi pada bidang

gelincir yang diakibatkan oleh berkurangnya tahanan geser pada masa

yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Ciri jenis longsoran ini adalah masa

gelinciran bergerak secara rotasi dan cenderung ke arah dalam lereng

dengan bagian atas gelinciran membentuk cekungan.

b. Gelinciran bahan rombakan (debris slide)

Gelinciran bahan rombakan merupakan tipe longsoran yang terjadi pada

zona bagian terlapuk. Pada batuan terlapuk terbentuk masa rombakan yang

berupa pecahan-pecahan (ductile) batuan yang terakumulasi pada lereng

bukit dan memiliki potensi yang besar untuk bergerak terutama pada

waktu hujan turun. Jika hujan turun akan terjadi aliran permukaan pada

Page 11: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

11

lereng bukit maka masa rombakan tersebut akan ikut bergerak meluncur

menuruni lereng bukit sebagai gelinciran.

c. Jatuhan bahan rombakan (debris fall)

Debris fall merupakan material kasar dan halus yang saling bercampur

(mixed) yang bergerak jatuh bebas pada lereng yang vertikal akibat

pengaruh gaya gravitasi.

d. Gelinciran batuan (rock slide)

Gelinciran batuan merupakan tipe longsoran yang masa batuannya

menuruni lereng bukit akibat pengaruh dari struktur geologinya.

e. Jatuhan batu (rock fall)

Jatuhan batu prosesnya sama dengan debris fall tetapi masa yang bergerak

adalah masa batuan yang ukuran masanya lebih besar daripada masa

rombakan batuan.

Dalam longsoran yang sebenarnya, gerakan ini terdiri dari peregangan

secara geser dan peralihan sepanjang suatu bidang atau beberapa bidang gelincir

yang dapat nampak secara visual. Gerakan ini dapat bersifat progresif yang berarti

bahwa keruntuhan geser tidak terjadi seketika pada seluruh bidang gelincir

melainkan merambat dari suatu titik. Masa yang bergerak menggelincir di atas

lapisan batuan/tanah asli dan terjadi pemisahan dari kedudukan semula. Sifat

gerakan biasanya lambat hingga amat lambat.

Longsoran berdasarkan bentuk bidang gelincirnya dapat dibagi menjadi :

(Schutcer dan Raimond, 1978:13)

a. Longsoran Rotasi (rotasional slides)

Longsoran rotasi adalah yang paling sering dijumpai oleh para

rekayasawan sipil. Longsoran jenis ini dapat terjadi pada batuan maupun

tanah. Pada kondisi tanah homogen, longsoran rotasi dapat berupa busur

lingkaran, tetapi dalam kenyataan sering dipengaruhi oleh diskontinuitas

oleh adanya sesar, lapisan lembek dan lain-lain.

b. Longsoran Translasi (translational slides)

Dalam longsoran translasi, longsoran bergerak sepanjang bidang gelincir

berbentuk bidang rata. Perbedaan terhadap longsoran rotasi dan translasi

Page 12: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

12

merupakan kunci penting dalam penanggulannya. Gerakan dari longsoran

translasi umumnya dikendalikan oleh permukaan yang lembek. Longsoran

translasi ini dapat bersifat menerus, luas, dan dapat pula dalam blok.

Dalam http://merapi.vsi.esdm.go.id mengungkapkan ada 6 jenis longsoran,

yaitu:

a. Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada

bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Gambar 1: Longsor Translasi

b. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang

gelincir berbentuk cekung.

Gambar 2: Longsor Rotasi

c. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang

gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok

batu.

Page 13: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

13

Gambar 3: Pergerakan Blok

d. Runtuhan batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain

bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng

yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar

yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

Gambar 4: Runtuhan Batu

e. Rayapan Tanah

Rayapan tanah dalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis

tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis longsor ini hampir tidak

dapat dikenali. Setelah waktu cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa

menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

Gambar 5: Rayapan Tanah

f. Aliran Bahan Rombakan

Aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh

air. Kecepatan aliran tergantung kemiringan lereng, volume dan tekanan

air, dan jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan

mampu mencapai ratusan meter. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan

meter seperti di DAS sekitar gunung api. Aliran tanah dapat menelan

korban cukup banyak.

Page 14: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

14

Gambar 6: Aliran Bahan Rombakan

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng

lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh

kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sementara, gaya pendorong dipengaruhi

oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan

batuan.

Faktor-faktor penyebab gerakan tanah antara lain:

a. Hujan

Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena

meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan

menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah

besar. Hal itu mengakibatkan munculnya poripori atau rongga tanah

hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air

akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat

mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang

tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi

jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat

menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk

dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan

lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah

karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan

berfungsi mengikat tanah.

b. Lereng terjal

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng

yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan

Page 15: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

15

angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180

apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

c. Tanah yang kurang padat dan tebal

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah liat dengan ketebalan lebih

dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki

potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain

itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi

lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

d. Batuan yang kurang kuat

Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan

campuran antara kerikil, pasir, dan liat umumnya kurang kuat. Batuan

tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan

umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang

terjal.

e. Jenis tata lahan

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan,

perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan

persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat

tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi

longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena

akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan

umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

f. Getaran

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan,

getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang

ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah

menjadi retak.

g. Susut muka air danau atau bendungan

Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng

menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi

longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

Page 16: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

16

h. Adanya beban tambahan

Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan

kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama

di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering

terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya relatif lembah.

i. Pengikisan/erosi

Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai relative tebing. Selain itu

akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi

terjal.

j. Adanya material timbunan pada tebing

Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya

dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan

pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang

berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah

yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.ikirs

k. Bekas longsoran lama

Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadipengendapan

material gunung api pada lereng yang relatif terjal ataupada saat atau

sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri-

cirisebagai berikut:

1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuktapal

kuda

2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebalkarena

tanahnya gembur dan subur

3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai

4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah

5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas

longsoran kecil pada longsoran lama

6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan

danlongsoran kecil

Page 17: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

17

7) Longsoran lama ini cukup luas

l. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)

Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:

1) Bidang perlapisan batuan

2) Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar

3) Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang

kuat.

4) Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan

batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).

5) Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.

6) Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat

berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.

m. Penggundulan hutan

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul

dimana pengikatan air tanah sangat kurang. Longsoran lama umumnya

terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada

lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit

bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri:

1) Adanya tebing terjal yang panjang

melengkung memmembentuk tapal kuda.

2) Umumnya dijumpai mata air,

pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur.

3) Daerah badan longsor bagian atas

umumnya relative landai.

4) Dijumpai longsoran kecil terutama

pada tebing lembah.

5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal

yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama.

6) Dijumpai alur lembah dan pada

tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil. Longsoran lama ini

cukup luas.

Page 18: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

18

n. Daerah pembuangan sampah

Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam

jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah

dengan guyuran hujan.

3. Daerah Aliran Sungai

a. Pengertian Daerah Aliran Sungai

Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan dasar dari semua

perencanaan hidrologi. Secara umum DAS dapat di definisikan sebagai suatu

wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggungan bukit atau gunung,

maupun batas buatan seperti jalan atau tanggul dimana titik hujan yang turun di

daerah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik keluaran (outlet). Menurut

Asdak (1995:4) Daerah Aliran Sungai (DAS) diartikan sebagai daerah yang

dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh di daerah

tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui

sungai-sungai kecil di sungai utama.

Menurut kamus webster DAS juga didefinisikan sebagai suatu wilayah

daratan yang dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya oleh pemisah alam

topografi, seperti punggung bukit atau gunung dan menerima air hujan,

menampung, dan mengalirkannya melalui sungai utama ke laut/danau. Apapun

definisi yang kita anut, DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya

terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia.

Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan ke dalamnya, proses yang

terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari

ekosistem tersebut. Komponen masukan dari ekosistem DAS adalah curah hujan,

sedangkan keluaran berupa debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen

DAS yang berupa vegetasi, tanah dan saluran air dalam hal ini bertindak sebagai

prosessor.

Page 19: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

19

Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai

fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS yang mengakibatkan

perubahan ekosistem, misalnya tata guna lahan, khususnya di daerah hulu dapat

memberikan dampak di daerah hilir yang mengakibatkan perubahan fluktuasi

debit air dan muatan sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan

antara masukan dan keluaran pada suatu DAS dapat dijadikan dasar untuk

mengetahui dampak suatu tindakan atau aktifitas bangunan di dalam DAS

terhadap lingkungan, khusunya tanah. Sebagai pertimbangan berikut ini gambar

model siklus hidrologi yang menjelaskan proses memutarnya alur air.

Gambar 7: Siklus Hidrologi (Sumber: Miller, 1990 dalam Sartohadi, 2005)

b. Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Tanah longsor, bencana banjir dan kekeringan silih berganti terjadi di

suatu wilayah merupakan dampak negatif kegiatan manusia pada suatu DAS.

Keadaan sosial ekonomi penduduk setempat berpengaruh mutlak dalam

berlangsungnya ekosistem DAS, rendahnya taraf ekonomi masyarakat memaksa

lahan disekitarnya untuk dijadikan lahan produktif. Dalam hal ini dapat dikatakan

bahwa kegiatan manusia telah menyebabkan DAS gagal menjalankan fungsinya

sebagai penampung air hujan yang jatuh dari langit, menyimpan dan

mendistribusikan air tersebut ke saluran-saluran atau sungai.

Page 20: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

20

Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang

penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian

DAS. Perlindungan ini, antara lain dari segi fungsi tata air. Keterikatan antara

hulu dan hilir menurut Asdak (1995:572) dapat dipakai sebagai satuan monitoring

dan evaluasi pengelolaan sumberdaya air. Fungsi Pemantauan (monitoring)

didefinisikan sebagai aktifitas pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus

atau secara periodik terhadap pelaksanaan salah satu atau beberapa program

pengelolaan DAS untuk menjamin bahwa rencana-rencana kegiatan yang

diusulkan, jadwal kegiatan, hasil-hasil yang diinginkan dan kegiatan-kegiatan lain

yang diperlukan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Sedangkan fungsi evaluasi

didefinisikan sebagai suatu proses yang berusaha untuk menentukan relevansi,

efektifitas dan nampak dari aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan untuk mencapai

sasaran yang telah ditentukan (Asdak, 1995:573).

c. Pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS)

DAS yang sering disebut juga dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS)

terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir

(Asdak, 1995:11). Seperti dijelaskan pada gambar berikut.

Gambar 8: Penampang 3 Dimensi Struktur Memanjang Sungai ( Miller,

1990 dalam Sartohadi, 2005)

1) Daerah hulu

Derah hulu mempunyai ciri-ciri :

a). Proses pendalaman lembah sepanjang aliran sungai

Page 21: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

21

b). Laju erosi lebih cepat daripada pengendapan

c). Merupakan daerah konservasi.

d). Mempunyai kerapatan drainase yanng lebih tinggi.

e). Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase.

f). Lereng terjal

g). Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “V”

2) Daerah tengah

Bagian tengah DAS merupakan daerah peralihan antara bagian hulu

dengan bagian hilir dimana masih terdapat sedikit proses erosi dan mulai

terjadi pengendapan. Dicirikan dengan daerah yang relatif datar.

3) Daerah hilir

Bagian hilir dicirikan dengan :

a). Merupakan daerah deposisional

b). Kerapatan drainase kecil.

c). Merupakan daerah dari kemiringan lereng landai.

d). Potensi bahan galian golongan C

e). Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “U”

f). Pengaturan air sebagian besar ditentukan oleh bangunan irigasi

g). Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan) dan

mulai terbentuk delta serta meander.

Kondisi topografi suatu daerah akan mempengaruhi pola dan bentuk DAS

sebagai contoh pada daerah dengan topografi pegunungan akan menjadikan

bentuk DAS berpola radial, berbeda dengan dengan pola DAS pada daerah

topografi perbukitan karst. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai bagian hulu akan

berpengaruh pada ekosistem pada bagian hilir. Oleh karenanya DAS bagian hulu

merupakan daerah yang sangat penting karena mempunyai fungsi perlindungan

terhadap seluruh bagian DAS, jadi apabila terjadi pengelolaan yang tidak benar

terhadap bagian hulu maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada

Page 22: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

22

bagian hilir. Dalam pengelolaan DAS digunakan tiga pendekatan analisis yaitu :

(Asdak,1995 : 537 )

a. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah

perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan.

b. Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat

implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan

dan terkait.

c. Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan

memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik.

4. Satuan Lahan

Satuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan persamaan

karakteristiknya. Dalam penelitian ini satuan lahan berperan sebagai satuan

analisis. Satuan lahan diperoleh dengan menumpangsusunkan (overlay) Peta

Tanah, Peta Geologi, Peta Lereng, dan Peta Penggunaan Lahan. Setiap satuan

lahan dilakukan pengenalan sifat morfologi tanah dan karakteristik lingkungan

fisik dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data-data tersebut

meliputi jenis tanah, formasi batuan, kelerengan, kedalaman efektif, solum tanah,

singkapan batuan, banyaknya kerikil dan batuan, dinding terjal, kenampakan

erosi, banjir, struktur tanah, drainase, konservasi, jenis dan kerapatan vegetasi,

permeabilitas karakteristik kimia tanah, serta luas daerah pada setiap satuan lahan.

Satuan Lahan

Penggunaan Lahan Permukiman

Lereng Kelas I

Jenis Tanah Andosol

Batuan Qlla

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Agung Hartono (2008) mengadakan penelitian dengan judul “Arahan

Konservasi Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo

Qlla – An – I – Pmk

Page 23: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

23

Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006”. Penelitian tersebut bertujuan untuk (1)

mengetahui persebaran satuan lahan dengan pengenalan karakteristik lingkungan

fisik, (2) mengetahui tingkat bahaya erosi, (3) mengetahui tingkat bahaya longsor,

(4) mengetahui kemampuan lahan, (5) mengetahui kesesuaian lahan, (6)

menentukan prioritas penanganan konservasi tanah, dan (7) menentukan cara

penanganan dalam arahan konservasi tanah di Daerah Aliran Sungai Samin.

Penelitian tersebut menggunakan metode survei yang disertai analisis data

sekunder. Populasi dalam penelitian adalah seluruh satuan lahan di DAS Samin

yang berjumlah 152 satuan. Sampel yang diamati sebanyak 45 titik dengan

menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data satuan lahan dengan

menggunakan analisi dokumentasi. Data untuk menghitung tingkat bahaya erosi,

tingkat bahaya longsor, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, menentukan

prioritas penanganan, dan menentukan arahan konservasi diperoleh dengan

wawancara, observasi lapangan, analisis laboratorium, dan analisis dokumentasi

dengan instrumen lembar pertanyaan dan checklist. Teknik analisis data yang

digunakan adalah teknik analisis kualitatif dari faktor-faktor penyebab erosi, besar

erosi, tingkat bahaya erosi, sedangkan teknik analisis data untuk penentuan tingkat

bahaya longsor, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, dan prioritas penanganan

dilakukan adengan teknik skoring. Untuk menentukan arahan konservasi lahan

dilakukan dengan membandingkan indeks C P dengan indeks alternatifnya

sehingga diketahui besar erosi yang melebihi erosi wajar dan lahan yang tidak

sesuai denagn kemapuannya. Analisis peta menggunakan aplikasi SIG.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) DAS Samin tersusun dari 15 jenis

tanah, 8 formasi batuan penyusun, 5 kelas kemiringan lereng, 5 jenis penggunaan

lahan yang kemudian membentuk 152 satuan lahan, (2) Tingkat Bahaya Erosi di

DAS Samin terbagi ke dalam 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R),

Sedang (S), Berat (B), dan Sangat Berat (SB) dengan luas secara berurutan

22163,786 ha (68,487%), 3719,420 ha (11,493%), 2330,879 ha (7,202%),

2639,904 ha (8,157%), dan 1508,143 ha (4,660%), (3) Tingkat Bahaya Longsor

dibagi menjadi 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat

(B), dan Sangat Berat (SB) yang secara berurutan memiliki luas 8472,69 ha

Page 24: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

24

(26,18%), 6363,4 ha (19,66%), 10557,07 ha (32,62%), 6337,181 ha (19,58%), dan

631,79 ha (1,95%), (4) klasifikasi kelas kemampuan lahan daerah penelitian

sebagian besar berupa subkelas kemampuan lahan VIIIw dengan luas 15349,21 ha

(47,3%) yang diikuti sub kelas Vw, VIIs, VIIes, IVe, VIe, VIIIe, VIIe yang secara

berurutan memiliki luas 8145,48 ha (25,17%), 3208,7 ha (9,91%), 964,31 ha

(2,97%), 826,3 ha (2,53%), 2327,94 ha (7,19%), 656,10 ha (2,02%), 272,82 ha

(0,84%), 30,55 ha (0,09%). Faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan

lahan adalan ancaman erosi, drainase, dan hambatan yang berada pada daerah

perakaran. (5) Berdasarkan kondisi fisik di lapangan maka sebagian besar

(57,11%) lahan-lahan di daerah penelitian dinilai tidak layak secara aktual utnuk

pengembangan secara langsung dari jenis tanamn padi, jagung, dan ketela pohon.

Faktor penghambat yang domiann adalah kondisi perakaran, ketersediaan hara,

potensi mekanisasi dan tingkat bahaya erosi. (6) prioritas penanganan konservasi

tanah sebagian besar mempunyai prioritas penanganan 4 dengan luas 19378,18 ha

(59,88%) yang diikuti oleh prioritas 2, 3, 5, 1 yang masing-masing memilki luas

5959,88 ha (18,42%), 2663,56 ha (8,23%), 2366,78 ha (7,31%), dan 1993,73 ha

(6,16%). Artinya bahwa lahan-lahan di daerah penelitian perlu mendapatkan

perhatian yang serius. (7) secara vegetatif pada lahan yang mempunyai

kemiringan lereng curam – sangat curam diarahkan sebagai penggunaan lahan

hutan lindung, sedangkan pada lereng datar- sedang diarahkan sebagai wanatani

(agroforesty). Secara teknik alternatif arahan konservasinya sebagian besar berupa

pembuatan dan penyempurnaan bentuk teras yang sudah ada.

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Sub Sistem DAS

Samin bagian hulu dicirikan dengan karakteristik tanah jenis Andosol, Litosol,

Latosol, Kompleks Andosol Regosol dan Litosol, Kompleks Andosol Latosol,

Asosiasi Regosol dan Andosol. Sebagian besar vegetasi berupa tanaman yang

mampu tumbuh optimal pada suhu rendah seperti akasia, pinus, wortel, stroberi.

Sub Sistem DAS Samin bagian tengah dicirikan dengan karakteristik tanah jenis

Mediteran dan Kompleks Mediteran dan Grumosol. Vegetasi yang dapat tumbuh

optimal pada lahan ini adalah ketela pohon dan kacang tanah. Sub Sistem DAS

Samin bagian bawah mempunyai karakteristik tanah jenis Gleisol, Asosiasi

Page 25: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

25

Grumosol dan Mediteran, Asosiasi Kambisol dan Grumosol, dan Kompleks

Mediteran dan Grumosol yang sebagian besar tanahnya dimanfaatkan untuk

tanaman padi sawah. Tingkat Bahaya Erosi dan Tingkat Longsor di DAS Samin

mempunyai kelas Sangat Ringan (SR) sampai Sangat Berat (SB). Kelas

kemampuan lahan IV sampai dengan VIII dengan 5 kelas prioritas penanganan.

Arahan konservasi yang disusun disampaikan secara vegetatif dan teknik.

C. Kerangka Pemikiran

Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan masa tanah, batuan,

atau kombinasinya sering terjadi pada lereng-lereng dan sebenarnya merupakan

proses alami. Longsor berkaitan erat dengan kemampuan daya dukung lahan dan

besaran gangguan pada lahan. Semakin tinggi kemampuan daya dukung lahan dan

semakin kecil besaran gangguan maka tingkat bahaya longsornya semakin kecil

dan sebaliknya.

Penelitian ini menggunakan satuan lahan sebagai satuan analisisnya.

Satuan lahan diperoleh dari menumpangsusunkan (overlay) peta tanah, peta

geologi, peta lereng, dan peta penggunaan lahan dengan menggunakan program

SIG. Peta satuan lahan tersebut digunakan dalam mengambil sampel di lapangan

yang diambil dengan teknik random sampling.

Besarnya Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dilakukan dengan memberikan

pengharkatan terhadap parameter penentu longsor. Tingkat Bahaya Longsor

kemudian diklasifikasikan berdasarkan total skor dari parameter di setiap satuan

lahan. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam

diagram alur sebagai berikut:

Daya Dukung Lahan Besaran Gangguan

Peta Geologi

Peta TanahPeta Satuan Lahan

sebagai Satuan Analisis

Page 26: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

26

OVERLAY

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian Tingkat Bahaya Longsor dilakukan di DAS Jlantah Bagian

Hulu. Secara administrasi DAS Jlantah Bagian Hulu terletak di dua kecamatan

yaitu Kecamatan Tawangmangu dan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar.

Berdasarkan letak astronomis, DAS Jlantah Bagian Hulu berada pada posisi

0508733mT – 0520518mT dan 9146742mU – 9151575mU.

2. Waktu Penelitian

Penelitian Tingkat Bahaya Longsor di DAS Jlantah Bagian Hulu akan

dilaksanakan pada hari Selasa - Kamis, tanggal 2 – 4 Juni 2009.

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Moleong (1990:3)

metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang

diamati. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif,

yaitu penelitian yang melukiskan atau menafsirkan keadaan yang ada atau yang

sedang terjadi pada saat penelitian sedang berlangsung.

Peta Penggunaan Lahan

Peta Tingkat Bahaya Longsor

Peta Curah Hujan

Peta Lereng

SKORING

Page 27: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

27

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan metode survei. Metode

Survei adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data di lapangan dengan

cara pengamatan, pengukuran, dan pencatatan secara sistematik terhadap

fenomena yang diselidiki dan melakukan observasi, pengukuran, dan deskripsi

sifat-sifat lahan di setiap satuan lahan sebagai satuan analisisnya.

C. Populasi dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini ada 21 unit satuan lahan di sebagian Desa

Tlobo yang berada di DAS Jlantah Bagian Hulu.

2. Sampel

Teknik pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik

sampling, yaitu menggunakan teknik random sampling, artinya pengambilan

sampel dilakukan secara acak di setiap satuan lahan, karena anggota populasi

dianggap memiliki peluang sama untuk dijadikan sebagai sampel.

D. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan,

yaitu diperoleh dari hasil wawancara, pengukuran dan pengujian di lapangan,

sedangkan data sekunder adalah data penunjang yang diperoleh dari instansi-

instansi terkait dan dari hasil penelitian terdahulu. Adapun data yang diperlukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini :

1. Data Primer

Data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Kemiringan

lereng

b. Penggunaan

lahan

c. Solum tanah

d. Tekstur tanah

26

Page 28: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

28

e. Permeabilitas

f. Kedalaman

pelapukan

2. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan meliputi :

a. Data letak, luas, batas dan ketinggian tempat daerah

penelitian yang diperoleh dari Peta Rupabumi Indonesia lembar 1508 – 131

TAWANGMANGU dan 1508 – 132 PONCOL.

b. Data kemiringan lereng dari Peta Rupabumi Indonesia

lembar 1508 – 131 TAWANGMANGU dan 1508 – 132 PONCOL.

c. Data jenis batuan diperoleh dari Peta Geologi lembar

Ponorogo.

d. Data macam tanah diperoleh dari Peta Tanah dari

BAPPEDA Kabupaten Karanganyar.

e. Data iklim, yang meliputi curah hujan, iklim dan suhu

yang diperoleh dari Balai Sungai Surakarta.

f. Data penggunaan lahan dari Peta Rupabumi Indonesia

lembar 1508 – 131 TAWANGMANGU dan 1508 – 132 PONCOL.

E. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan uraian tentang sumber data diatas, ada beberapa teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi lapangan,

dokumentasi, dan wawancara, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

1. Observasi lapangan

Observasi lapangan adalah suatu cara pengumpulan data dengan

pengamatan langsung di lapangan. Observasi lapangan ini dilakukan untuk

mengambil sampel tanah untuk analisis fisik tanah, pengukuran kemiringan

lereng, kedalaman pelapukan, dan penggunaan lahan.

2. Dokumentasi

Dokumentasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan menelaah segala

bentuk catatan atau literatur yang terkait dengan penelitian, termasuk peta. Data

Page 29: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

29

yang dikumpulkan berupa data sekunder, seperti data data jenis tanah dari Peta

Tanah dari BAPPEDA Kabupaten Karanganyar, data penggunaan lahan dari Peta

Rupabumi Indonesia, data jenis batuan dari Peta Geologi lembar Ponorogo –

Ngawi dan Surakarta – Giritontro, dan data curah hujan dari Balai Sungai

Surakarta.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data untuk penentuan Tingkat Bahaya Longsor dilakukan

dengan teknik skoring, yaitu dengan memberikan pengharkatan terhadap faktor

penentu longsor. Pengharkatan dilakukan secara bertingkat, dimana harkat terkecil

(dalam hal ini adalah 1) menunjukan bahwa peranannya terhadap longsor paling

kecil, sedangkan harkat terbesar (dalam hal ini adalah 5) menunjukan peranannya

yang paling besar terhadap terjadinya longsor. Pembobotan disusun atas dasar

pemahaman faktor penyebab dan faktor pemicu longsor. Faktor yang

menyebabkan terjadinya longsor adalah gaya gravitasi yang bekerja pasa suatu

massa tanah dan atau batuan. Di lapangan, besarnya pengaruh gaya gravitasi

tersebut ditentukan oleh besarnya kemiringan lereng. Oleh karena itu dalam

penilaian Tingkat Bahaya Longsor, faktor kemiringan lereng diberikan bobot yang

paling tinggi (bobot 10) dibandingkan faktor-faktor lain.

Pemberian bobot pada faktor pemicu adalah dengan memperhatikan faktor

dinamik dan faktor statis. Faktor yang bersifat dinamik diberi bobot yang lebih

tinggi karena longsor selalu dipicu oleh adanya perubahan gaya/energi akibat

faktor dinamik, seperti hujan dan penggunaan lahan. Faktor hujan memiliki bobot

yang lebih tinggi (bobot 5,6) dibandingkan penggunaan lahan (bobot 2,4) karena

hujan dapat mempengaruhi perubahan besar terhadap beban masa batuan atau

tanah seacra lebih cepat. Faktor-faktor yang bersifat statis dikelompokkan menjadi

2, yaitu faktor tanah dan batuan. Faktor batuan diberi bobot lebih tinggi

dibandingkan dengan tanah karena batuan merupakan alas tanah. Perubahan-

perubahan yang terjadi pada batuan secara otomatis mempengaruhi kestabilan

tanah yang menumpang diatasnya.

Page 30: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

30

Tingkat Bahaya Longsor selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan total

skor dari parameter di setiap satuan lahan. Penentuan kelas interval ditentukan

sebagai berikut :

Keterangan: X = nilai interval a = harkat tertinggi

N = jumlah kelas b = harkat terendah

Adapun klasifikasi Tingkat Bahaya Longsor disajikan pada tabel berikut:

Tabel 1. Tingkat Bahaya Longsor

No Tingkat Bahaya Longsor Skor Total

1. Sangat Rendah (SR) 24 – 43,2

2. Rendah (R) > 43,2 – 62,4

3. Sedang (S) > 62,4 – 81,6

4. Tinggi (T) > 81,6 – 100,8

5. Sangat Tinggi (ST) > 100,8 – 120

Tabel 2. Pengharkatan Parameter Penentu Longsor

No Parameter Kriteria Harkat 1. Kemiringan lereng (%)

0 – 8 Datar 18 – 15 Landai 215 – 25 Agak curam 3 25 – 45 Curam 4> 45 Sangat curam 5

2. Curah hujan (mm/hr)0 – 13,6 Sangat rendah 113,6 – 20,7 Rendah 220,7 – 27,7 Sedang 327,7 – 34 Tinggi 4> 34 Sangat tinggi 5

3. Penggunaan lahanHutan - 1Tegalan berteras + kebun campuran berteras

- 2

Permukiman + semak belukar - 3Tegal + kebun campuran tak berteras - 4Sawah - 5

4. Kedalaman pelapukan (cm)<50 Dangkal 150 – 75 Agak dangkal 2

Page 31: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

31

75 – 100 Sedang 3100 – 150 Dalam 4>150 Sangat dalam 5

5. Solum tanah (cm)0 – 25 Sangat dangkal 125 – 50 Dangkal 250 – 90 Sedang 390 – 120 Dalam 4>120 Sangat dalam 5

6. Permeabilitas tanah (cm/jam)>12,5 Cepat 16,25 – 12,5 Agak cepat 22,0 – 6,25 Sedang 30,5 – 2,0 Agak lambat 4< 0,5 Sangat lambat 5

7. Tekstur tanahGeluh - 1Pasir - 2geluh lempungan, geluh lempung pasiran, geluh lempung debuan

-3

geluh debuan, debu, pasir geluhan - 4lempung, lempung pasiran - 5

Sumber: Sunarto Goenadi, dkk (2003), Kuswaji (2006), dengan modifikasi

Tabel 3. Pengharkatan dan Pembobotan Parameter Penentu Longsor

No Jenis Faktor

Parameter B K B x K Harkat Harkat x Bobot x

KonstantaMin Maks Min Maks

1. Penyebab Kemiringan lereng

10 1 10 1 5 10 50

2. Pemicu (Dinamik)

Curah hujan 8 0,7 5,6 1 5 5,6 283. Penggunaan

lahan8 0,3 2,4 1 5 2,4 12

4. Pemicu (Statis)

Kedalaman pelapukan

6 0,7 4,2 1 5 4,2 21

5. Solum tanah 6 0,15 0,9 1 5 0,9 4,56. Permeabilitas 6 0,09 0,54 1 5 0,54 2,77. Tekstur

tanah6 0,06 0,36 1 5 0,36 1,8

Jumlah 24 120Sumber: Sunarto Goenadi, dkk (2003) dan Kuswaji (2006) dengan modifikasi

G. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan dan Pengajuan Proposal

Page 32: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

32

Pada tahap ini dilakukan observasi awal terhadap daerah penelitian

kemudian mencari literatur yang sesuai dengan tema penelitian.

2. Penyusunan Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk menggumpulkan

data yang diperlukan . Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah peta

satuan lahan kemudian diperlukan juga lembar checklist.

3. Tahap Pengumpulan data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data berupa data primer dan data

sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengambilan sampel tanah

guna analisis sifat fisik tanah. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan

diperoleh dari instansi-instansi terkait, penelitian yang relevan, dan analisis pada

Peta RBI, Peta Geologi dan Peta Tanah.

4. Tahap Analisis Data

Tahap ini merupakan tahap dimana data yang diperoleh dihitung,

dianalisis dan diklasifikasikan untuk dapat menyimpulkan hasil dari penelitian.

5. Tahap Penulisan Laporan Penelitian

Merupakan tahap terakhir dalam penelitian dimana hasil penelitian yang

diperoleh dilaporkan atau disajikan dalam bentuk tulisan, tabel, gambar, dan peta.

Page 33: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

33

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian

a. Letak Daerah Penelitian

Penelitian dilaksanakan di sebagian Desa Tlobo di Daerah Aliran Sungai

Jlantah Bagian Hulu. Secara astronomis, DAS Jlantah Bagian Hulu berada pada

posisi 0508733mT – 0520518mT dan 9146742mU – 9151575mU. Letak tersebut

diketahui berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25.000 Tahun 2003

lembar 1508–132 Poncol, lembar 1508–131 Tawangmangu, yang dikeluarkan

oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).

Secara administratif DAS Jlantah Bagian Hulu terletak di sebagian

Kecamatan Tawangmangu, dan Kecamatan Jatiyoso. Pembagian wilayah

administrasi DAS Jlantah Bagian Hulu secara rinci dapat dilihat pada tabel 4

berikut:

Page 34: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

34

Tabel 4.Pembagian Wilayah Administrasi DAS Jlantah Bagian Hulu

Kabupaten Kecamatan Desa

Karanganyar Tawangmangu - Gondosuli

- Blumbang

- Kaliboro

- Tawangmangu

- Beruk

Jatiyoso - Wonorejo

- Tlobo

- Karangsari

b. Luas DAS Jlantah Bagian Hulu

Luas suatu DAS merupakan hasil kali antara panjang rata-rata DAS

dengan lebar rata-rata DAS. Berdasarkan hasil digitasi dengan menggunakan

Sistem Informasi Geografis (SIG) luas DAS Jlantah Bagian Hulu adalah

32.378,787 Ha dimana dua pertiga luasnya berada di Kecamatan Tawangmangu

dan sepertiga luasnya berada di Kecamatan Jatiyoso.

c. Batas DAS Jlantah Bagian Hulu

Secara umum batas DAS Jlantah adalah sebagai berikut:

1) Bagian Utara berbatasan dengan DAS Samin di Kecamatan

Tawangmangu.

2) Bagian Timur berbatasan dengan DAS Gandong di Kabupaten

Magetan dan Ngawi.

3) Bagian Selatan berbatasan dengan DAS Walikan di Kecamatan

Jatiyoso.

4) Bagian Barat berbatasan dengan DAS Jlantah Bagian Tengah

Kecamatan Jatiyoso.

Daerah Aliran Sungai Jlantah Bagian Hulu yang terletak di Kabupaten

Karanganyar membentang dari arah timur yaitu di Kecamatan Tawangmangu

bagian selatan meliputi 4 (empat) desa yaitu Desa Gondosuli, Kelurahan

Blumbang, Kelurahan Kaliboro dan Kelurahan Tawangmangu, serta Kecamatan

Page 35: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

35

Jatiyoso bagian timur meliputi Desa Beruk, ke arah barat meliputi Desa

Wonorejo, Desa Tlobo dan Desa Wonosari di wilayah Kecamatan Jatiyoso.

2. Iklim

Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur

cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu tempat

atau pada suatu wilayah (Handoko, 1995:3), sedangkan cuaca adalah suhu rata-

rata udara di suatu daerah dalam waktu yang singkat dan di daerah yang sempit.

Sintesis tersebut dapat diartikan sebagai nilai statistik yang meliputi rata-rata,

maksimum, minimum, frekuensi kejadian, atau peluang kejadian dan sebagainya.

Maka iklim dapat dikatakan sebagai nilai statistik cuaca jangka panjang di suatu

tempat atau suatu wilayah.

Iklim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu radiasi matahari,

evapotranspirasi, curah hujan, temperatur, kelembaban, angin dan sebagainya.

Jumlah curah hujan merupakan faktor iklim yang berperan dalam terbentuknya air

di suatu tempat. Sebagian curah hujan yang jatuh mengalami evaporasi, sebagian

menjadi aliran permukaan dan sebagian lagi mengalami infiltrasi. Berkaitan

dengan penelitian ini hanya akan dikemukakan data temperatur dan curah hujan

yang terjadi di DAS Jlantah Bagian Hulu dan sekitarnya.

a. Temperatur

Temperatur udara rata-rata di DAS Jlantah Bagian Hulu dan sekitarnya

dihitung dengan menggunakan Rumus Braack, pendekatan ini dilakukan karena

keterbatasan data sekunder maupun data lapangan mengenai temperatur udara

yang diperoleh.

T = 26,3 ºC – 0,61 h

Keterangan :

T = Suhu udara rata-rata (0C)

26,3 ºC = Temperatur rata-rata di permukaan air laut tropis.

h = Ketinggian tempat dari permukaan air laut (dalam 100

meter).

Berdasarkan Peta RBI lokasi DAS Jlantah Bagian Hulu paling tinggi 3.150

m dpl yang merupakan Puncak Gunung Lawu dan paling rendah 100 m dpl yang

Page 36: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

36

merupakan muara Sungai Jlantah. Berdasarkan rumus di atas maka rata-rata

temperatur tertinggi adalah 25,69 ºC dan temperatur terendah adalah 7,08 ºC.

b. Curah Hujan

Data iklim yang berpengaruh langsung terhadap aktivitas suatu DAS

adalah curah hujan. Curah hujan (presipitasi) merupakan turunnya air dari

atmosfer ke permukaan bumi dan laut. Curah hujan ini merupakan faktor utama

yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS. Pengukuran curah hujan

akan menunjukkan adanya rerata bulan basah maupun bulan kering pada suatu

DAS. Data curah hujan DAS Jlantah Bagian Hulu diperoleh dari pencatatan yang

dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Sub Dinas Pengairan Kabupaten

Karanganyar, yaitu data curah hujan harian selama 10 tahun (1995-2004). Data

curah hujan rerata, jumlah hari hujan dan intensitas hujan dari stasiun meteorologi

di DAS Jlantah Bagian Hulu dan sekitarnya selama 10 tahun (tahun 1995–2004)

disajikan dalam tabel 5. berikut:

Tabel 5. Rerata Curah Hujan, Jumlah Hari Hujan dan Intensitas Hujan

Tahun 1995-2004

No. Stasiun

Curah

Hujan

(mm / th)

Hari Hujan

(hari / tahun)

Intensitas Curah

Hujan

(mm / hari)

1. Tawangmangu 2.786,60 137,3 20,3

2. Matesih 2.690,00 110,0 24,5

3. Jatiyoso 2.186,43 99,6 22,0

4. Jumantono 2.189,44 88,1 24,9

5. Jumapolo 2.112,70 92,0 23,0

6. Waduk Mulur 1.849,81 85,2 21,7

7. Bekonang 1.794,91 89,3 20,1

8. Trani 2.077,66 94,6 22,0

Page 37: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

37

9. Lalung 1.850,87 86,6 21,4

10. Giriwondo 2.216,93 103,0 21,5

11. Polokarto 1.800,02 79,1 23,0

12. Jetu 1.749,83 83,8 20,9

13. Delingan 1.523,25 76,7 19,9

14. Tawangsari 1.730,78 83,2 20,8

15. Sukoharjo 1.796,08 85,8 20,9

16. Nguter 1.661,79 86,4 19,2

17. Ngegoh 1.933,43 96,8 20,0

18. Silamat 1.311,80 78,8 16,6

Sumber : Hasil Perhitungan Tabel Curah Hujan Tahun 1995-2004

Penentuan iklim suatu daerah dapat ditentukan dengan pendekatan

berbagai metode. Salah satu metode yang sangat terkenal dan banyak digunakan

adalah klasifikasi iklim menurut Schmidth dan Fergusson. Klasifikasi ini

sebenarnya merupakan modifikasi atau perbaikan dari sistem klasifikasi Mohr

yang telah ada sebelumnya dan digunakan di Indonesia.

Penentuan tipe iklim menurut klasifikasi ini hanya memperhatikan salah

satu unsur iklim saja yaitu hujan dan memerlukan data hujan bulanan paling

sedikit 10 tahun. Kriteria yang digunakan adalah penentuan bulan kering, bulan

lembab dan bulan basah dengan pengertian sebagai berikut :

1) Bulan kering (BK) : bulan dengan hujan < 60 mm.

2) Bulan lembab (BL) : bulan dengan hujan 60 – 100 mm.

3) Bulan basah (BB) : bulan dengan hujan > 100 mm.

(Handoko, 1995:168)

Penentuan tipe curah hujan menurut Schmidth dan Fergusson tersebut

dinyatakan dengan nilai “quotient” (Q). Q merupakan perbandingan rerata jumlah

bulan kering dan rerata jumlah bulan basah.

Rata – Rata Bulan Kering (BK) Q = x 100 %

Page 38: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

38

Rata – Rata Bulan Basah (BB)

Selanjutnya Schmidth dan Fergusson menentukan jenis curah hujan

berdasarkan nilai Q sebagai berikut :

Tabel 6. Tipe Curah Hujan Menurut Schmidth dan Fergusson

Tipe CH Nilai Q Sifat

A 0 < Q < 0,143 Sangat basah

B 0,143 < Q < 0,333 Basah

C 0,333 < Q < 0,666 Agak basah

D 0,666 < Q < 1,000 Sedang

E 1,000 < Q < 1,670 Agak kering

F 1,670 < Q < 3,000 Kering

G 3,000 < Q < 7,000 Sangat kering

H 7,000 < Q Luar biasa kering

Sumber : Kartasapoetra, 1986:26

Tipe iklim DAS Jlantah Bagian Hulu berdasarkan hasil perhitungan data

curah hujan rata-rata bulanan selama 10 tahun dari beberapa stasiun di daerah

penelitian, didapat hasil bahwa di DAS Jlantah Bagian Hulu memiliki tipe iklim

C-D yang berarti agak basah sampai sedang. Tipe iklim C meliputi daerah

Tawangmangu dan Matesih. Tipe iklim D meliputi daerah Jatiyoso, Jumantono,

Jumapolo, Karangpandan, Karanganyar, Polokarto, Bendosari, Mojolaban, Grogol

dan Sukoharjo.

Tabel 7 . Perhitungan Tipe Iklim Menurut Schmitdt dan Ferguson Dari Tiap-

Tiap Stasiun Pengamatan

No.Stasiun

Pengamatan

Q = (Bln Kering / Bln Basah) x

100 %

Tipe

Iklim

1. Tawangmangu (4,0 / 7,0) x 100 % = 57,1429 % C

2. Matesih (4,1 / 7,1) x 100 % = 57,7465 % C

3. Jatiyoso (4,9 / 6,7) x 100 % = 73,1343 % D

Page 39: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

39

4. Jumantono (4,9 / 7,1) x 100 % = 69,0141 % D

5. Jumapolo (4,4 / 6,9) x 100 % = 63,7681 % D

6. Bekonang (5,1 / 6,5) x 100 % = 78,4615 % D

7. Waduk Mulur (4,7 / 6,3) x 100 % = 74,6032 % D

8. Polokarto (5,0 / 6,3) x 100 % = 79,3651 % D

9. Delingan (5,5 / 6,0) x 100 % = 91,6667 % D

10. Sukoharjo (4,7 / 6,2) x 100 % = 75,8065 % D

Sumber : DPU Sub Pengairan Kabupaten Karanganyar dan analisis data

(6,4 ; 4,6)

(6,4 ; 4,6)

11

10

9

8

7

6

5

4

3

2

1

02 3 4 5 6 7 8 9 10 11 121

12

Jumlah rata-rata bulan basah

Jum

lah

rata

-rat

a bu

lan

keri

ng

H

G

F

E

D

C

B

A

700 %

300%

167 %

100 %

14,3 %

33,3 %

60 %

0

Nilai Q ( % )

Page 40: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

40

Gambar 1. Diagram Tipe Curah Hujan DAS Jlantah Tahun 1995-2004

Menurut Schmidth dan Fergusson

Berdasarkan nilai Q tersebut, dapat diketahui bahwa DAS Jlantah Bagian

Hulu memiliki dua tipe iklim, yaitu :

Tipe iklim C : Daerah agak basah dengan vegetasi hutan rimba.

Tipe iklim D : Daerah sedang dengan vegetasi hutan musim.

3. Geologi

Geologi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi karakter suatu

daerah. Setiap daerah memiliki ciri khas sendiri berdasarkan struktur geologi yang

menyusun daerah tersebut. Keadaan geologi suatu daerah secara langsung

berpengaruh terhadap keberadaan dan sifat sumberdaya air yang selanjutnya

berpengaruh terhadap sumberdaya alam. Secara garis besar keadaan geologi di

daerah penelitian dapat dibedakan menjadi 2 yaitu Geologi Regional dan Geologi

Daerah Penelitian.

a. Geologi Regional

Menurut Van Bemmelen (1968:80), wilayah DAS Jlantah secara geologi

regional masuk dalam fisiografi Zona Cekungan Solo (Solo Depresion Zone).

Zone ini menempati bagian selatan dan tengah daerah penelitian. Depresi ini

bagian utara dibatasi oleh Pegunungan Kendeng dan bagian selatan dibatasi oleh

Pegunungan Selatan. Depresi ini di daerah penelitian telah terisi oleh endapan

Page 41: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

41

vulkanik Gunung Lawu, sehingga secara umum daerah ini mempunyai ketebalan

tanah yang dalam dan subur.

Diantara Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Selatan di Jawa Timur

yang terjadi zone depresi, terbentuk percabangan di Jawa Tengah menjadi zone

Serayu dan Dataran Pantai Selatan Jawa Tengah yang berdampingan dengan

Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan. Di lembah Progo dekat Yogyakarta kedua

cabang tersebut bertemu membentuk Zone Solo yang lebar di Jawa Timur.

Depresi yang memanjang di Jawa Timur ini sebagian terisi dan tertutup oleh

sederetan gunungapi muda dan dapat dibagi lagi menjadi tiga jalur yang sejajar

Subzone Ngawi, Zone Solo (Solo Zone Sensu Stricto) dan Subzone Blitar.

Zone Solo (Sensu Stricto) dibentuk oleh sederetan besar vulkan Kuarter

dengan dataran antar pegunungan dimana daerah penelitian berada pada

Gunungapi Lawu.

Tabel 8. Zona Solo di Jawa Timur

Gunungapi Dataran Antar Tinggi (dpal)

Sundoro

Sumbing

Dataran Magelang atau Progo

3.135 m

3.371 m

380 m

Merbabu

Merapi

Dataran Surakarta atau Solo

3.142 m

2.911 m

104 m

Lawu

Dataran Madiun

3.265 m

66-95 m

Wilis

Dataran Kediri atau Brantas

2.563 m

62-85 m

Kelud 1.731 m

Page 42: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

42

Kawi

Butak

Andjasmoro

Wedrang

Arjuna

Dataran Malang

2.651 m

2.868 m

2.282 m

3.156 m

3.339 m

445 m

Sumber : Van Bemmelen, 1968:80-81

b. Geologi Daerah Penelitian

Jenis batuan dan struktur batuan mempengaruhi kualitas dan karakteristik

lahan suatu Daerah Aliran Sungai. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Ponorogo

Tahun 1989, DAS Jlantah Bagian Hulu merupakan daerah yang struktur

batuannya berupa sesar yang dijumpai di Kecamatan Tawangmangu dan

sekitarnya. Proses secara geologis banyak dipengaruhi dari Vulkan Lawu Tua dan

Vulkan Lawu Muda. Bagian timur laut DAS Jlantah Bagian Hulu didominasi

oleh material-material hasil Aliran Lava Andesit dari Komplek Gunung

Sidoramping dan bagian timur sebelah selatan hingga bagian tengah didominasi

oleh material hasil proses Lawu Tua, sedangkan pada bagian barat didominasi

oleh material–material Lawu Muda.

Formasi batuan penyusun DAS Jlantah Bagian Hulu terdiri dari :

1) Endapan Lahar Lawu (Qlla), terdapat pada bagian lereng bawah

Gunung Lawu. Batuannya tersusun olehbatuan andesit.

2) Lava Jobolarangan (Qvjl), berupa batuan hasil pengendapan Lava

Andesit yang berasal dari Gunung Jobolarangan (Lawu Tua) dan Gunung

Cemoropenganten.

4. Geomorfologi

Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan, proses-

proses yang mempengaruhi pembentukannya dan menyelidiki hubungan

timbalbalik antara bentuklahan dan proses-proses dalam tatanan keruangannya

(Van Zuidam dan Cancelado, 1979:3). Salah satu aspek kajian geomorfologi

adalah bentuklahan (landform) yang merupakan bagian dari permukaan bumi

Page 43: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

43

yang terbentuk akibat pengaruh dari proses geomorfologis, proses geologis, dan

struktur geologis pada material batuan dalam ruang dan waktu dalam urutan

tertentu.

Bentuklahan (landform) adalah bentukan pada permukaan bumi sebagai

hasil dari perubahan bentuk permukaan bumi oleh proses-proses geomorfologis

yang beroperasi di permukaan bumi (Sunardi, 1985:9). Informasi geomorfologis

memuat tentang morfologi, morfogenesa, morfokronologi, dan morfoaransemen.

Dalam penelitian ini akan dijelaskan kondisi geomorfologi yang meliputi

morfologi dan proses geomorfologi untuk mengetahui asal pembentukannya dan

sebagai informasi bagaimana lahan di daerah penelitian terbentuk.

Menurut Pannekoek (1989:2) secara umum Pulau jawa terbagi atas tiga

zone:

a. Zone Selatan: kurang lebih berupa plato, berlereng (miring) kearah selatan

menuju Laut Hindia dan di sebelah utara berbentuk tebing patahan. Kadang-

kadang zona ini begitu terkikis–kikis sehingga kehilangan bentuk platonya. Di

Jawa Tengah sebagian dari zone ini telah diganti (ditempati) oleh dataran

aluvial.

b. Zona Tengah: merupakan zone depresi. Di tempat-tempat tersebut muncul

kelompok gunung berapi besar. Proses geomorfologi yang terjadi adalah

vulkanisme.

c. Zona Utara: terdiri dari rangkaian gunung lipatan berupa bukit rendah atau

pegunungan dan diselingi oleh beberapa gunung-gunung api dan biasa

berbatasan dengan dataran aluvial.

DAS Jlantah Bagian Hulu merupakan bagian dari Zone Tengah yang

merupakan jalur vulkan dan depresi yang diisi oleh material vulkan. Hal ini lebih

lanjut dijelaskan dengan teori tektonik lempeng, bahwa akibat gerakan lempeng

Eurasia yang menumbuk lempeng Pasifik yang terdiri dari Kepulauan Indonesia

yang salah satunya adalah Pulau Jawa, maka menghasilkan deretan gunungapi di

bagian tengah pulau tersebut.

Bentuklahan yang ada di DAS Jlantah Bagian Hulu sangat menentukan

proses geomorfologi yang terjadi. Pada bentuklahan lereng atas vulkanbukit

Page 44: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

44

terdenudasi dan bukit gamping terisolasi proses geomorfologi yang terjadi adalah

erosi dan longsor lahan. Proses erosi yang terjadi disamping dipengaruhi oleh

kemiringan lereng juga disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai

dengan fungsi kawasannya. Misalnya yang terjadi di lereng atas dan tengah

Gunungapi Lawu di wilayah Kecamatan Tawangmangu yaitu pada lahan yang

mempunyai kemiringan > 30 % digunakan untuk tanaman semusim (sayuran).

Disamping itu erosi juga diperbesar oleh adanya penebangan hutan di kawasan

lindung.

5. Tanah

Tanah merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri atas

komponen-komponen padat, cair dan gas dan mempunyai sifat serta perilaku yang

dinamik, yang terbentuk sebagai hasil kerja interaksi antara iklim, jasad hidup,

terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk dan

waktu. Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa faktor-

faktor pembentuk tanah terdiri dari: iklim, bahan induk, relief, organisme dan

waktu. Dalam mempengaruhi pembentukan dan perkembangan tanah, faktor-

faktor tersebut tidak mempunyai intensitas yang sama, sehingga berakibat bahwa

pada setiap tempat di permukaan bumi mempunyai sifat dan karakteristik tanah

yang tidak homogen atau sama. Dari perbedaan tersebut dimungkinkan terjadi

perbedaan penamaan dalam setiap kategorinya. Disamping itu lahan pada

berbagai tempat dimungkinkan pula mempunyai perbedaan dalam kemampuan

dan kesesuaian tanah dalam kaitannya dengan penggunaannya.

Pembentukan tanah di DAS Jlantah Bagian Hulu sangat dipengaruhi oleh

bahan induk dan relief. Menurut klasifikasi tanah Departemen Ilmu Tanah

Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Tahun 1979, di DAS Jlantah Bagian

Hulu terdapat 2 (dua) satuan macam tanah, yaitu:

a. Komplek Andosol Coklat, Andosol Coklat Kekuningan dan Litosol

Macam tanah ini menempati proporsi paling luas di DAS Jlantah Bagian Hulu

yaitu 144,66 Ha. Tanah Andosol merupakan tanah yang sangat porous,

mengandung bahan organik dan lempung. Sedangkan Tanah Litosol tergolong

ke dalam tanpa diferensiasi horison. Tanah Litosol merupakan tanah yang

Page 45: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

45

dianggap paling muda sehingga bahan induknya seringkali dangkal (<45 cm)

atau tampak tanah sebagai batuan yang kompak dan padu. Tanah ini belum

mengalami perkembangan tanah sebagai akibat pengaruh iklim yang lemah,

letusan vulkan, atau topografi yang terlalu miring atau bergelombang

(Darmawijaya, 1990:287).

b. Latosol Coklat Kemerahan

Tanah latosol memiliki fraksi lempung rendah, kadar mineral rendah,

stabilitas agregat tinggi, dan berwarna coklat kemerahan. Tanah ini mengalami

pelapukan intensif dan perkembangan tanah lanjut. Di DAS Jlantah Bagian

Hulu, macam Tanah Latosol Coklat Kemerahan menempati daerah seluas

749,974 Ha.

6. Hidrologi

Deskripsi hidrologi DAS Jlantah Bagian Hulu dapat dicerminkan melalui

kondisi air permukaan dan kondisi air tanah. Kondisi air permukaan dapat

menunjukan bagaimana perlakuan konservasi tanah pada suatu daerah, apabila air

permukaan tampak keruh menandakan bahwa konservasi belum maksimal karena

masih terjadi erosi. Penggunaan lahan berupa hutan dapat berfungsi untuk

menyimpan air hujan sebagai cadangan air di musim kemarau. Daerah hulu sungai

memiliki penggunaan lahan hutan yang dapat mengalirkan air sepanjang tahun

dipengaruhi oleh musim, lain halnya denga daerah yang mempunyai konservasi

buruk, maka saat hujan hanya sebagian kecil yang mengalami infiltrasi dan

sebagian besar yang lain akan menjadi aliran permukaan. Daerah degan

karakteristik tersebut yang menyebabkan daerah penelitian (DAS Jlantah Bagian

Hulu) rawan longsor saat musim penghujan dan kekurangan debit air saat musim

kemarau.

Kabupaten Karangayar merupakan bagian dari Cekungan Air Tanah

Surakarta yang mempunyai luas 144.300 Ha. Menurut Direktorat Geologi Tata

Lingkungan dan Kawasan Pertambangan dalam Nugraha, dkk (2006 : 29),

dijelaskan bahwa Cekungan Surakarta di bagian selatan dibatasi oleh batuan padu

berumur tersier, bagian utara dibatasi oleh Sungai Cemoro dan Batuan Tufaan dari

Formasi Notopuro, bagian timur dibatasi oleh Sungai Wotgalih dan Sungai Mider

Page 46: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

46

yang mengalir kea rah utara, di bagian selatan dibatasi oleh Batuan Breksi dan

Batu Gamping tersier, sedangkan bagian barat dibatasi Oleh Sungai Opak.

Secara keruangan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo merupakan satu

cekungan dengan Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Klaten dan

Kota Surakarta. Cekungan Surakarta membentang dari puncak Merapi- Merbabu

di bagian barat sampai dengan puncak Gunung Lawu di bagian timur. Sedangkan

di bagian utara mulai dari Pendem sampai Bukit Watu Kelir di bagian selatan.

Bentuk DAS Jlantah Bagian Hulu memanjang dari timur ke barat dengan

tipe aliran sungai paralel. Muara DAS Jlantah Bagian Hulu mempunyai orde

sungai 4 (empat) yang menandakan bahwa Sungai Jlantah memiliki banyak

percabangan dan berkelok membentuk sudut-sudut. Tipe Sungai Jlantah sebagai

sungai utama adalah Perenial dengan iar mengalir setiap tahun.

Hal tersebut dikarenakan keberadaan air tanah yang berada di atas rata-rata

air sungai, tetapi cabang-cabang Sungai Jlantah pada orde 1 (satu) banyak bertipe

intermitten yaitu air hanya mengalir apabila musim penghujan. Kondisi ini

menandakan bahwa keberadaan muka air tanah berada di bawah rata-rata dasar

percabangan Sungai Jlantah pada Orde 1 (satu). Sungai-sungai yang terdapat di

DAS Jlantah Bagian Hulu mempunyai bentuk lembah “V”, gambaran ini

mengindikasikan bahwa erosi secara vertikal lebih intensif dibandingkan erosi

secara horizontal. Tipe lebah sungai seperti di atas menunjukan bahwa sungai

tersebut masih berumur muda.

7. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan merupakan bentuk setiap campur tangan manusia

terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material

maupun spiritual. Pembagian penggunaan lahan dibedakan menjadi 2 yaitu untuk

pertanian dan non pertanian. Pertanian meliputi: ladang (perladangan), tegalan dan

sawah, sedangkan penggunaan lahan non pertanian adalah untuk hutan,

perkebunan, permukiman (pekarangan) dan lahan kosong.

Penggunaan lahan yang terdapat di DAS Jlantah Bagian Hulu dipengaruhi

oleh kualitas dan karakteristik lahan. Disamping itu bentuk penggunaan lahan

saling berpengaruh dengan perekonomian masyarakat di DAS Jlantah Bagian

Page 47: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

47

Hulu Bentuk penggunaan lahan yang terdapat di DAS Jlantah Bagian Hulu

meliputi: sawah, permukiman, tegalan, perkebunan, dan semak belukar. Luas

masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9 . Penggunaan Lahan di DAS Jlantah Bagian Hulu

No. Bentuk Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1. Permukiman 142,716

2. Kebun/Perkebunan 965,568

3. Sawah 61,687

4. Tegalan/Ladang 526,136

5. Semak belukar 498,567

Sumber : Hasil Analisis SIG Peta Penggunaan Lahan DAS Jlantah Bagian Hulu

Kabupaten Karanganyar Tahun 2009

8. Kondisi Kependudukan

Penduduk mempunyai peranan penting dalam kegiatan pengelolaan lahan.

Jumlah dan komposisi penduduk di DAS Jlantah Bagian Hulu dapat menjadi

faktor tekanan penduduk terhadap lingkungan terutama fungsi DAS Jlantah

Bagian Hulu. Tetapi dalam penelitian ini tidak dibahas kondisi kependudukan di

seluruh kawasan DAS, melainkan hanya di Desa Tlobo yang merupakan salah

satu desa di DAS Jlantah Bagian Hulu sebagai sampel dari kondisi kependudukan

di keseluruhan DAS. Komposisi penduduk di Desa Tlobo dapat disajikan dalam

table 10 berikut:

Tabel 10. Komposisi Penduduk Desa Tlobo Kecamatan Jatiyoso

Desa

Jumlah Penduduk (Jiwa)Luas

(Km2)

Kepadatan

(Jiwa / Km2)Laki-LakiPrempua

nJumlah

Tlobo 1623 1.608 3.231 49.865,7 15

Page 48: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

48

Sumber: Data Monografi Desa/Kelurahan Tlobo Kecamatan Jatiyoso Kabupaten

Karanganyar Bulan Desember Tahun 2008

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Satuan Lahan Daerah Penelitian

Satuan lahan merupakan satuan wilayah dengan satu atau lebih

karakteristik lahan tertentu yang dapat digambarkan dalam suatu peta. Penelitian

ini menggunakan satuan lahan sebagai satuan analisis dan satuan pemetaannya.

Parameter penyusun satuan lahan diperoleh dari tumpangsusun (overlay) peta-peta

dasar dan peta tematik, yaitu: peta geologi, peta tanah, peta lereng, dan peta

penggunaan lahan.

1. Parameter Penyusun Satuan Lahan

1) Formasi Batuan

Satuan batuan yang digunakan sebagai penyusun satuan lahan

menggunakan nama formasi batuan. Hal ini karena setiap formasi batuan

mempunyai jenis dan struktur batuan yang berbeda, sehingga karakteristik dalam

menanggapi tenaga asal luar (eksogen) juga berbeda. Pada batuan yang keras dan

kompak akan lebih sulit terlapuk dan tererosi dibandingkan sifat batuan yang

lunak dan banyak terdapat struktur retakan (joint) dan patahan (fault).

Berdasarkan litologinya, Desa Tlobo tersusun atas 2 formasi batuan.

Untuk lebih jelasnya, formasi batuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 11. Formasi Batuan di Desa Tlobo

No. Formasi Batuan Simbol

1. Endapan Kuarter Lahar Lawu Qlla

2. Lava Jobolarangan Qvjl

Sumber: Peta Geologi Lembar Ponorogo Tahun 1992 Skala 1:100.000

(Puslitbang Geologi, Bandung)

2) Tanah

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap sifat fisik tanah, menunjukkan

bahwa tanah di daerah penelitian hanya ada satu macam yaitu Latosol Coklat

Page 49: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

49

Kemerahan (Lack). Tanah ini memiliki fraksi lempung rendah, kadar mineral

rendah, stabilitas agregat tinggi, dan berwarna coklat kemerahan, mengalami

pelapukan intensif dan perkembangan tanah lanjut.

3) Kemiringan Lereng

Penyusun satuan lahan yang ketiga adalah kemiringan lereng. Variabel

kemiringan lereng merupakan salah satu variabel yang sangat berpengaruh

terhadap penentuan besar longsor dan Tingkat Bahaya Longsor (TBL). Klasifikasi

kemiringan lereng yang digunakan di Desa Tlobo berdasarkan klasifikasi menurut

Asdak (2004), disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 12. Kemiringan Lereng di Desa Tlobo

No. Kemiringan Lereng (%) Keterangan Simbol

1. 8 – 15 Landai II

2. 15 – 25 Agak Curam III

3. 25 – 45 Curam IV

4. > 45 Sangat Curam V

Sumber : - Interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia Tahun 2001

Lembar 1508 – 131 TAWANGMANGU

- Hasil Perhitungan Tahun 2009

4) Penggunaan Lahan

Penyusun satuan lahan yang keempat adalah penggunaan lahan.

Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi manusia terhadap

lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual

(Arsyad, 1989:207). Penggunaan lahan merupakan hasil interaksi antara aktivitas

manusia dengan lingkungan alami. Berdasarkan jenis penggunaan lahan, di Desa

Tlobo dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, seperti yang terlihat pada Tabel

berikut ini.

Tabel 13. Jenis Penggunaan Lahan di Desa Tlobo

No. Penggunaan Lahan Simbol

1. Permukiman Pmk

2. Sawah Sw

3. Tegalan Tg

Page 50: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

50

4. Kebun Kb

5. Semak belukar Sb

Sumber : - Interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia Tahun 2001

Lembar 1508 – 131 TAWANGMANGU

- Hasil Cek Lapangan Tahun 2009

2. Satuan Lahan

Berdasarkan tumpang susun (overlay) dari peta geologi, peta tanah, peta

lereng, dan peta penggunaan lahan, satuan lahan di daerah penelitian (Desa Tlobo)

dapat dikelompokkan menjadi 21 satuan lahan. Pemberian nama untuk masing-

masing satuan lahan adalah dengan menggunakan simbol dari setiap unsur yang

menyusun satuan lahan secara berurutan mulai dari jenis batuan, macam tanah,

kemiringan lereng dan penggunaan lahan.

2. Tingkat Bahaya Longsor (TBL)

Penentuan Tingkat Bahaya Longsor (TBL) di Desa Tlobo dilakukan

dengan teknik skoring, yaitu dengan memberikan pengharkatan terhadap faktor

penentu longsor yaitu: kemiringan lereng, solum tanah, permebilitas tanah,

kedalaman pelapukan, penggunaan lahan, curah hujan, dan tekstur tanah.

Selanjutnya, tabulasi hasil pengukuran parameter dan penskoran parameter

disajikan dalam tabel 14 dan 15.

Secara umum, pada curah hujan dan macam tanah yang sama, semakin

besar skor kemiringan lereng, kedalaman pelapukan batuan, dan solum tanah

menunjukkan tingkat bahaya longsor tanah yang semakin tinggi pula. Sementara,

penggunaan lahan, tekstur tanah, dan permeabilitas dengan skor lebih besar belum

tentu menyebabkan tingkat bahaya longsor tanah yang tinggi. Hal ini tampak pada

satuan lahan Qlla-Lack-V-Sb dan Qlla-Lack-IV-Pmk dengan skor 7,2 justru

tingkat bahaya longsornya lebih tinggi dibandingkan pada satuan lahan Qlla-

Lack-II-Sw dengan skor penggunaan lahan 12. Demikian pula dengan

permeabilitas tanah dimana pada satuan lahan Qlla-Lack-V-Pmk dan Qlla-Lack-

III-Tg yang ternyata menunjukkan kondisi yang berkebalikan. Selain itu, pada

satuan lahan Qvjl-Lack-IV-Tg dan Qvjl-Lack-V-Sb dimana masing-masing

Page 51: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

51

memiliki tingkat bahaya longsor rendah dan tinggi ternyata memiliki skor

pemeabilitasnya sama.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan teknik skoring pada

tabel di atas, maka diperoleh klasifikasi Tingkat Bahaya Longsor (TBL) di Desa

Tlobo yang terbagi menjadi 4 kelas, yaitu mulai dari Sangat Rendah (SR), Rendah

(R), Sedang (S), dan Tinggi (T). Selanjutnya penjelasan dari masing-masing

Tingkat Bahaya Longsor adalah sebagai berikut:

a. Tingkat Bahaya Longsor Sangat Rendah (SR)

Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Sangat Rendah adalah daerah

yang mempunyai potensi sangat rendah untuk terjadi gerakan massa. Pada kelas

ini sangat jarang atau hampir tidak pernah terjadi gerakan massa. Kelas ini

merupakan daerah yang bertopografi landai, dengan kemiringan lereng sebesar

14,07 %. Tanah pada daerah ini terbentuk dari pelapukan batuan dasar dari

Formasi Endapan Lahar Lawu. Tingkat Bahaya Longsor Sangat Rendah terdapat

pada satuan lahan Qlla-Lack-II-Pmk.

Gambar 9. Tingkat Bahaya Longsor Sangat Rendah (SR)

Page 52: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

52

b. Tingkat Bahaya Longsor Rendah (R)

Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Rendah adalah daerah yang

mempunyai potensi rendah untuk terjadi gerakan massa. Umumnya pada kelas ini

jarang terjadi gerakan massa jika tidak mengalami gangguan pada lereng dan jika

terjadi gerakan massa lama, lereng telah mantap kembali. Gerakan massa dalam

ukuran kecil terutama terjadi pada tebing sungai (alur sungai). Pada kelas ini

daerahnya bertopografi bergelombang sampai perbukitan dengan kemiringan

lereng 13,5 – 35,93%. Tingkat Bahaya Longsor Rendah terdapat pada satuan

lahan Qlla-Lack-II-Sw, Qlla-Lack-II-Kb, Qlla-Lack-III-Tg, Qlla-Lack-III-Kb,

Qvjb-Lack-III-Tg, Qvjb-Lack-IV-Tg, Qlla-Lack-IV-Tg.

Gambar 10. Tingkat Bahaya Longsor Rendah (R)

c. Tingkat Bahaya Longsor Sedang (S)

Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Sedang adalah daerah yang

mempunyai potensi menengah untuk terjadi gerakan massa. Pada kelas ini dapat

terjadi gerakan massa berdimensi kecil sampai dengan besar, terutama pada

daerah yang berbatasan dengan lembah sungai atau tebing jalan. Gerakan massa

yang lama dapat aktif kembali terutama disebabkan oleh curah hujan yang tinggi

dan erosi yang kuat. Daerah ini mempunyai topografi bergelombang sampai

perbukitan dengan kemiringan lereng 25 – >65%. Tingkat Bahaya Longsor

Sedang terdapat pada satuan lahan Qlla-Lack-III-Sw, Qlla-Lack-IV-Pmk, Qlla-

Page 53: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

53

Lack-IV-Sb, Qlla-Lack-V-Sw, Qlla-Lack-V-Tg, Qlla-Lack-V-Sb, Qlla-Lack-V-

Kb, Qvjl-Lack-IV-Pmk, , Qlla-Lack-IV-Sw, Qvjl-Lack-V-Pmk, Qvjl-Lack-V-Tg.

Gambar 11. Tingkat Bahaya Longsor Sedang (S)

d. Tingkat Bahaya Longsor Tinggi (T)

Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Tinggi adalah daerah yang

mempunyai potensi yang tinggi untuk terjadi gerakan massa. Pada kelas ini sering

terjadi gerakan massa, baik gerakan massa lama maupun gerakan massa baru.

Daerah ini mempunyai topografi bergelombang sampai perbukitan dengan

kemiringan lereng 45 – >65%. Tingkat Bahaya Longsor Tinggi terdapat pada

satuan lahan Qlla-Lack-V-Pmk, Qvjl-Lack-V-Sb.

Page 54: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

54

Gambar 12. Tingkat Bahaya Longsor Tinggi (T)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan yang

dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Di daerah penelitian terdapat 21 satuan lahan dengan 4

Tingkat Bahaya Longsor yaitu :

a. Sangat Rendah (SR), meliputi satu satuan lahan yaitu Qlla-Lack-II-Pmk

b. Rendah (R), meliputi satuan lahan Qlla-Lack-II-Sw, Qlla-Lack-II-Kb,

Qlla-Lack-III-Tg, Qlla-Lack-III-Kb, Qvjb-Lack-III-Tg, Qvjb-Lack-IV-Tg,

Qlla-Lack-IV-Tg

c. Sedang (S), meliputi satuan lahan Qlla-Lack-III-Sw, Qlla-Lack-IV-Pmk,

Qlla-Lack-IV-Sb, Qlla-Lack-V-Sw, Qlla-Lack-V-Tg, Qlla-Lack-V-Sb,

Qlla-Lack-V-Kb, Qvjl-Lack-IV-Pmk,Qlla-Lack-IV-Sw,Qvjl-Lack-V-Pmk,

Qvjl-Lack-V-Tg

d. Tinggi (T), meliputi satuan lahan Qlla-Lack-V-Pmk, Qvjl-Lack-V-Sb

2. Dari analisis hasil skoring terhadap parameter pemicu

terjadinya longsoran menunjukkan bahwa pada curah hujan dan macam tanah

yang sama, semakin besar skor kemiringan lereng, kedalaman pelapukan

Page 55: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

55

batuan, dan solum tanah menunjukkan tingkat bahaya longsor tanah yang

semakin tinggi pula. Sementara, penggunaan lahan, tekstur tanah, dan

permeabilitas dengan skor lebih besar belum tentu menyebabkan tingkat

bahaya longsor tanah yang tinggi.

B. Implikasi

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau

arahan bagi pemerintah daerah setempat dalam usahanya untuk memanfaatkan

dan melestarikan sumberdaya alam di DAS Jlantah Bagian Hulu. Serta dapat

digunakan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang adanya potensi

terjadinya longsor agar dapat mengantisipasi bahaya longsor yang mengancam,

sehingga masyarakat setempat dapat ikut serta meningkatkan kelestarian

sumberdaya alam di DAS Jlantah Bagian Hulu untuk meminimalkan bahaya

longsor yang berpotensi di daerah tersebut.

C. Saran

Agar bahaya longsor dapat diminimalkan perlu adanya analisis tingkat

bahaya longsor tanah di masing-masing DAS hulu di Kabupaten Karanganya.

rAnalisis tersebut dapat digunakan untuk penyusunan informasi penanggulangan

bencana yang digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan pembangunan

wilayah maupun penyempurnaan tataruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran

ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali

tipologi lereng yang rawan longsor tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta

upaya antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif

sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi

juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana datang.

Page 56: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

56

DAFTAR PUSTAKA

Agung Hartono. 2008. Arahan Konservasi Daerah Aliran Sungai Samin

Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah Tahun

2006. Skripsi S1 FKIP UNS. Surakarta.

Aris poniman, dkk. 2009. Pemetaan Banjir dan Tanah Longsor Surakarta dan

Karanganyar. Surakarta.

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: ITB

Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Darmawijaya, M Isa. 1990. Klasifikasi Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Dinas Pekerjaan Umum. 2009. Penanganan Resiko Bencana. Surakarta

Djaenudin, dkk. 2003. Kesesuaian Lahan Untuk Daerah Pertanian. Bogor: PT

Andal Adikarya Prima.

Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta: PT Mediyatama Sarana

Perkasa.

Kabul Basah Suryolelono. 2002. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu

Geoteknik, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Yogyakarta: Fakultas

Teknik UGM.

Page 57: Kajian Tingkat Bahaya Longsor

57

Kuswaji Dwi Priyono, dkk. 2006. Analisis tingkat bahaya longsor tanah di

Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara. Laporan Penelitian,

Surakarta: Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Moleong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Sitorus, Santun. 1995. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito.

Sunarto Goenadi, dkk. 2003. Konservasi Lahan Terpadu daerah Rawan Bencana

Longsoran di Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta,

Laporan Penelitian, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM.

http://merapi.vsi.esdm.go.id. “Pengenalan Gerakan Tanah”

56