pemetaan tingkat bahaya erosi dengan metode rusle …lib.unnes.ac.id/41501/1/3212316014.pdf ·...

169
PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE RUSLE DI SUB DAS GARANG HULU TUGAS AKHIR Untuk memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md) Oleh : Danny Pamungkas NIM 3212316014 JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020

Upload: others

Post on 13-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI

    DENGAN METODE RUSLE DI SUB DAS GARANG HULU

    TUGAS AKHIR

    Untuk memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md)

    Oleh :

    Danny Pamungkas

    NIM 3212316014

    JURUSAN GEOGRAFI

    FAKULTAS ILMU SOSIAL

    UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

    2020

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    Pray, patient, passion and vision. Vision berarti pandangan atau impian yang

    ingin dicapai, tentu saja setiap orang memiliki impian masing-masing, maka

    dari itu penting bahwa seseorang perlu memiliki impian dalam hidup. Impian

    tentunya sebisa mungkin diwujudkan dengan penuh semangat (passion). Ketika

    dalam perjalanan untuk mewujudkan impian hidup terkadang ada kendala atau

    masalah yang menimpa, maka dari itu perlu bersikap sabar (patient). Selain

    membutuhkan semangat dan kesabaran, beribadah dan berdoa kepada Allah

    SWT juga penting agar dimudahkan segala urusan. (Penulis)

    Ojo adigang, adigung, adiguna. Jika diberi amanah kekuasaan janganlah

    bertindak semena-mena terhadap orang lain. Jika memiliki sesuatu janganlah

    bertindak sombong. Ketika ilmu yang dimiliki melebihi dari teman ataupun

    orang lain, berbagilah ilmu yang dimiliki jangan justru menghina dan

    merendahkan orang lain. (Anonim)

    Percaya pada diri sendiri. Ketika suatu tantangan datang, terkadang kita merasa

    berkecil hati untuk menghadapi tantangan tersebut. Tetapi hal tersebut tidaklah

    baik, percaya akan kemampuan diri harus dimiliki. Percaya akan diri sendiri

    dapat meningkatkan kapasitas diri kita, dengan menghadapi tantangan yang ada

    maka diri kita akan dapat berkembang / improve. (Penulis)

    Persembahan:

    Karya ini dipersembahkan untuk :

    Bapak Riyoto dan Ibu Sri Sulastri, S.Pd.I, selaku orang tua saya yang selalu

    memberikan semangat saat menemui kendala serta selalu mendukung segala

    usaha dan pilihan saya.

    Adinda Febriana yang selalu memberikan semangat dan mengingatkan untuk

    segera menyelesaikan Tugas Akhir ini. Juga telah menemani ketika melakukan

    survei lapangan dan mengerjakan Tugas Akhir saya.

  • vi

    SARI

    Pamungkas, Danny. 2020, Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Dengan Metode

    RUSLE Di Sub DAS Garang Hulu. Jurusan Geografi FIS UNNES. Pembimbing

    Fahrudin Hanafi, S.Si., M.Sc. 150 Halaman.

    Kata Kunci : Erosi, Tingkat Bahaya Erosi, Indeks Bahaya Erosi, RUSLE

    (Revised Universal Soil Loss Equation).

    Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah

    dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad 2010). Erosi yang terjadi

    di sub DAS Garang Hulu diakibatkan oleh adanya perubahan penggunaan lahan,

    kegiatan pertanian dan perkebunan sehingga tampak jelas pada saat turunnya hujan

    sungai menjadi berwarna keruh. Kegiatan pertanian dan perkebunan pada lahan

    yang miring banyak ditemukan tidak mengindahkan tindakan konservasi tanah,

    seperti di Desa Lempuyang, Kecamatan Bergas. Hal ini perlu diadakannya

    penelitian dan pemetaan untuk mengetahui daerah yang memiliki tingkat erosi

    tinggi untuk selanjutnya dapat dilakukan evaluasi oleh pemerintah.

    Metode pemetaan tingkat bahaya erosi pada penelitian ini menggunakan metode

    RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation), RUSLE memiliki lima faktor yang

    digunakan sebagai parameter yaitu, erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan

    kemiringan lereng, pengelolaan tanaman, serta tindakan konservasi. Erosivitas

    hujan dipetakan dari hasil pengolahan data curah hujan, erodibilitas tanah dipetakan

    dari data jenis tanah yang kembali di survei secara kualitatif, panjang dan

    kemiringan lereng dipetakan dari data SRTM V3, faktor pengelolaan tanaman

    menggunakan data citra landsat 8 yang diolah menjadi peta tutupan lahan, serta

    faktor tindakan konservasi menggunakan data DEMNAS dengan membaginya

    menjadi beberapa kelas lereng.

    Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berupa peta indeks bahaya erosi diketahui

    seluas 1191,56 hektar (14,14%) erosi yang terjadi masih dibawah batas erosi yang

    diperbolehkan, sedangkan area seluas 7232,67 hektar (85,86%) erosi yang terjadi

    diatas batas nilai erosi yang diperbolehkan. Laju erosi di Sub DAS Garang Hulu

    berkisar antara 5,4 - 751,29 ton/ha/tahun. Kelas TBE dari sangat ringan hingga

    sedang, seluas 5381,49 Ha. Pada kelas berat hingga sangat berat seluas 3042,72 Ha.

    Berdasarkan hasil pemetaan tingkat bahaya erosi menggunakan metode RUSLE,

    dapat disimpulkan bahwa wilayah sub DAS Garang Hulu memiliki tingkat erosi

    yang berat dibuktikan dengan wilayah seluas 7232,67 hektar diatas ambang erosi

    yang diperbolehkan. Hal ini juga menandakan bahwa kegiatan pertanian dan

    perkebunan pada lahan miring serta perubahan penggunaan lahan di lereng Gunung

    Ungaran menyebabkan erosi yang terjadi sangat tinggi.

  • vii

    PRAKATA

    Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, rezeki

    dan hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir

    dengan judul “Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Dengan Metode RUSLE di Sub

    DAS Garang Hulu”. Tugas akhir ini disusun berdasarkan hasil penelitian

    dilapangan dan pengolahan data spasial, bukan hasil menjiplak dari karya manapun.

    Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu pemenuhan syarat untuk menyelesaikan

    pendidikan D3 Program Studi Survei dan Pemetaan Wilayah Universitas Negeri

    Semarang. Melalui tugas akhir ini penulis dianggap telah selesai dalam menempuh

    pendidikan dan mendapatkan gelar Ahli Madya (A.Md).

    Dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari

    berbagai pihak. Baik secara moril maupun materil. Penulis mengucapkan banyak

    terimakasih kepada :

    1. Bapak Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. Selaku Rektor Universitas Negeri

    Semarang.

    2. Bapak Dr. Moh Solehatul Mustofa, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

    Universitas Negeri Semarang.

    3. Bapak Dr. Tjaturahono Budi Sanjoto, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Geografi

    Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

    4. Bapak Dr. Ir. Ananto Aji, M.S. Selaku Ketua Program Studi Survei dan

    Pemetaan Wilayah Jurusan Geografi FIS Universitas Negeri Semarang.

    5. Bapak Fahrudin Hanafi, S.Si., M.Sc. Selaku dosen pembimbing yang telah

    membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan

    Tugas Akhir.

    6. Segenap Dosen Jurusan Geografi FIS UNNES yang telah memberikan ilmu

    dalam bidang pemetaan.

    7. Bapak Ir. Suratman, M.Si. Selaku Kepala Balai Pengelolaan DAS dan Hutan

    Lindung (BPDASHL) Pemali Jratun dan Bapak Ir. H. Ruhban Ruzziyatno, MT.

    Selaku Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana, yang telah

  • viii

  • ix

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii

    PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................. iii

    PERNYATAAN ...................................................................................... iv

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................... v

    SARI ........................................................................................................ vi

    PRAKATA .............................................................................................. vii

    DAFTAR ISI ........................................................................................... ix

    DAFTAR TABEL ................................................................................... xi

    DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xvii

    BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3

    1.3 Tujuan................................................................................... 3

    1.4 Manfaat................................................................................. 3

    1.5 Batasan Istilah ...................................................................... 3

    BAB II LANDASAN TEORI ............................................................... 5

    2.1 Pemetaan .............................................................................. 5

    2.2 Tingkat Bahaya Erosi ........................................................... 6

    2.3 Metode RUSLE .................................................................... 11

    2.4 Daerah Aliran Sungai ........................................................... 22

  • x

    BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 28

    3.1 Lokasi Penelitian .................................................................. 28

    3.2 Alat dan Bahan ..................................................................... 28

    3.3 Fokus Penelitian ................................................................... 28

    3.4 Variabel ................................................................................ 28

    3.5 Sumber Data ......................................................................... 29

    3.6 Metode Pengumpulan Data .................................................. 30

    3.7 Analisis Data ........................................................................ 31

    3.8 Diagram Alir ........................................................................ 37

    BAB IV HASIL PEMETAAN DAN PEMBAHASAN ....................... 38

    4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian........................................ 38

    4.2 Model dan Perhitungan Faktor-faktor Erosi......................... 40

    4.3 Erosi Menurut Satuan Medan ............................................... 61

    4.4 Pembuatan Peta .................................................................... 66

    BAB V PENUTUP ................................................................................. 100

    5.1 Kesimpulan........................................................................... 100

    5.2 Saran ..................................................................................... 100

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 102

    LAMPIRAN ........................................................................................... 107

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    Tabel 1. Erosi yang diperbolehkan ............................................................. 10

    Tabel 2. Nomograf erodibilitas tanah.......................................................... 15

    Tabel 3. Tipe struktur tanah ........................................................................ 16

    Tabel 4. Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah .................................. 17

    Tabel 5. Kelas faktor pengelolaan tanaman ................................................ 21

    Tabel 6. Nilai faktor konservasi lahan ........................................................ 22

    Tabel 7. Contoh producer’s dan user’s accuracy ....................................... 34

    Tabel 8. Tingkat bahaya erosi ..................................................................... 35

    Tabel 9. Jumlah penduduk .......................................................................... 39

    Tabel 10. Data curah hujan ......................................................................... 42

    Tabel 11. Data curah hujan yang hilang...................................................... 43

    Tabel 12. Melengkapi data curah hujan yang hilang .................................. 43

    Tabel 13. Uji konsistensi ............................................................................. 45

    Tabel 14. Mencari nilai K ........................................................................... 46

    Tabel 15. Curah hujan telah di uji konsistensi ............................................ 48

    Tabel 16. Perhitungan nilai erosivitas hujan ............................................... 50

    Tabel 17. Nomograf jenis tanah .................................................................. 52

    Tabel 18. Ciri-ciri tanah kualitatif ............................................................... 53

    Tabel 19. Kriteria Indeks Keterpisahan ...................................................... 56

    Tabel 20. Indeks keterpisahan antar piksel ................................................. 56

    Tabel 21. Contoh pengisian confusion matrix............................................. 57

    Tabel 22. Contoh producer’s dan user’s accuracy ..................................... 58

    Tabel 23. Confusion matrix hasil survei tutupan lahan ............................... 59

    Tabel 24. Producer’s dan user’s accuracy hasil survei .............................. 59

    Tabel 25. Nilai koefisien kappa .................................................................. 60

    Tabel 26. Nilai faktor P ............................................................................... 61

    Tabel 27. Kelas lereng satuan medan .......................................................... 62

    Tabel 28. Nilai indeks bahaya erosi ............................................................ 63

  • xii

    Tabel 29. Tingkat bahaya erosi ................................................................... 64

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    Gambar 1. Diagram segitiga kelas tekstur tanah (USDA 1997) ................. 18

    Gambar 2. Siklus hidrologi (Asdak, 2010) ................................................. 23

    Gambar 3. Kurva massa ganda.................................................................... 47

    Gambar 4. Data curah hujan setiap stasiun hujan ....................................... 66

    Gambar 5. Data curah hujan yang hilang .................................................... 66

    Gambar 6. Uji konsistensi data curah hujan ............................................... 66

    Gambar 7. Kurva massa ganda.................................................................... 67

    Gambar 8. Rumus Lenvain ......................................................................... 67

    Gambar 9. Hasil perhitungan erosivitas hujan ............................................ 67

    Gambar 10. Nilai erosivitas hujan ............................................................... 67

    Gambar 11. Input data erosivitas ................................................................ 67

    Gambar 12. Display koordinat x dan y ....................................................... 68

    Gambar 13. Pilih data x dan y ..................................................................... 68

    Gambar 14. Tampilan data x dan y ............................................................. 68

    Gambar 15. Pengisian data pada tool IDW ................................................. 69

    Gambar 16. Hasil metode IDW ................................................................... 69

    Gambar 17. Erosivitas hujan dan fungsi int, times ..................................... 70

    Gambar 18. Data jenis tanah ....................................................................... 70

    Gambar 19. Persebaran titik survei tanah ................................................... 71

    Gambar 20. Nilai nomograf tanah pada attribute table .............................. 71

    Gambar 21. Peta erodibilitas tanah ............................................................. 71

    Gambar 22. SRTM V3 ................................................................................ 72

    Gambar 23. Raster calculator untuk mengubah derajat ke radian.............. 72

    Gambar 24. Peta kemiringan dan aspect ..................................................... 73

    Gambar 25. Rumus Moore dan Wilson pada raster calculator .................. 73

    Gambar 26. Hasil raster calculator rumus Moore dan Wilson .................. 73

    Gambar 27. Reclassify data faktor LS ......................................................... 74

    Gambar 28. Peta faktor LS .......................................................................... 74

  • xiv

    Gambar 29. Input citra landsat 8 ................................................................. 75

    Gambar 30. Pilih saluran yang akan dimasukkan ....................................... 75

    Gambar 31. Tampilan citra komposit 4,3,2................................................. 75

    Gambar 32. Menyimpan citra komposit 4,3,2............................................. 76

    Gambar 33. Tampilan citra di Envi 5.1 ....................................................... 76

    Gambar 34. Proses koreksi geometrik 1 ..................................................... 77

    Gambar 35. Proses koreksi geometrik 2 ..................................................... 77

    Gambar 36. Membuat GCP (Ground Control Point) ................................. 78

    Gambar 37. Tingkat RMS Error ................................................................. 78

    Gambar 38. Warp file untuk menyesuaikan citra dengan koordinat GCP .. 78

    Gambar 39. Pilih citra landsat 8 untuk di warp file .................................... 79

    Gambar 40. Simpan citra landsat 8 terkoreksi geometrik ........................... 79

    Gambar 41. Masukkan file MTL ................................................................. 79

    Gambar 42. Membuat file reflectance ......................................................... 80

    Gambar 43. Setting untuk FLAASH reflectance (1) ................................... 80

    Gambar 44. Masukkan file radiance ........................................................... 80

    Gambar 45. Setting untuk FLAASH reflectance (2) ................................... 81

    Gambar 46. Hasil reflectance ...................................................................... 81

    Gambar 47. Compute statistic ..................................................................... 81

    Gambar 48. Histogram nilai sebelum dimasukkan rumus .......................... 82

    Gambar 49. Rumus untuk koreksi radiometrik dengan band math ............ 82

    Gambar 50. Pilih file reflectance ................................................................ 82

    Gambar 51. Pilih saluran pada file reflectance ........................................... 83

    Gambar 52. Compute statistic hasil FLAASH ............................................ 83

    Gambar 53. Histogram citra terkoreksi radiometrik FLAASH ................... 83

    Gambar 54. Input data shapefile batas DAS (1) ......................................... 84

    Gambar 55. Input data shapefile batas DAS (2) ......................................... 84

    Gambar 56. Tampilan shapefile batas DAS ................................................ 84

    Gambar 57. Subset data via ROI ................................................................. 85

    Gambar 58. Hasil crop citra landsat sesuai batas DAS ............................... 85

    Gambar 59. Buka data citra sesuai batas DAS ............................................ 85

  • xv

    Gambar 60. Klik supervised maximum likelihood ...................................... 86

    Gambar 61. Pilih citra hasil terkoreksi geometrik dan radiometrik ............ 86

    Gambar 62. Pilih seluruh kelas titik sampel................................................. 86

    Gambar 63. Hasil klasifikasi ....................................................................... 87

    Gambar 64. Peta faktor C hasil penyesuaian luas ....................................... 87

    Gambar 65. Titik sampel faktor C............................................................... 88

    Gambar 66. Input data DEMNAS ............................................................... 88

    Gambar 67. Tool slope untuk pembuatan peta kemiringan lereng ............. 89

    Gambar 68. Peta kemiringan lereng untuk faktor P .................................... 89

    Gambar 69. Reclassify data raster kemiringan lereng ................................ 89

    Gambar 70. Raster to polygon .................................................................... 90

    Gambar 71. Peta faktor P hasil penyesuaian luas ....................................... 90

    Gambar 72. Tool intersect ........................................................................... 90

    Gambar 73. Attribute table satuan medan ................................................... 91

    Gambar 74. Peta satuan medan ................................................................... 91

    Gambar 75. Attribute table dan bulk density, kedalaman tanah, dan faktor

    kedalaman tanah ...................................................................... 92

    Gambar 76. Perhitungan EDP menggunakan raster calculator.................. 92

    Gambar 77. Attribute table hasil perhitungan EDP .................................... 92

    Gambar 78. Perhitungan nilai erosi menggunakan raster calculator ......... 93

    Gambar 79. Hasil perhitungan erosi............................................................ 93

    Gambar 80. Attribute table poligon erosi .................................................... 94

    Gambar 81. Peta erosi ................................................................................. 94

    Gambar 82. Print and page setup ............................................................... 95

    Gambar 83. Rectangle dan ruler ................................................................. 95

    Gambar 84. Tool text ................................................................................... 95

    Gambar 85. Add data .................................................................................. 96

    Gambar 86. Legenda ................................................................................... 96

    Gambar 87. Arah/orientasi peta .................................................................. 97

    Gambar 88. Skala garis dan angka .............................................................. 97

    Gambar 89. Tool inset dan peta inset .......................................................... 98

  • xvi

    Gambar 90. Sumber dan pembuat peta ....................................................... 98

    Gambar 91. Koordinat pada peta ................................................................ 98

    Gambar 92. Tata letak peta ......................................................................... 99

  • xvii

    LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Peta Erosivitas Hujan ........................................................................ 107

    2. Peta Erodibilitas Tanah ..................................................................... 108

    3. Peta Panjang dan Kemiringan Lereng ............................................... 109

    4. Peta Pengelolaan Tanaman ............................................................... 110

    5. Peta Praktek Konservasi Lahan ......................................................... 111

    6. Peta Satuan Medan ............................................................................ 112

    7. Peta Indeks Bahaya Erosi .................................................................. 113

    8. Peta Tingkat Bahaya Erosi ................................................................ 114

    9. Tabel Hasil Survei Jenis Tanah ......................................................... 115

    10. Tabel Hasil Survei Tutupan Lahan ................................................... 119

    11. Tabel Satuan dan Kode Medan ......................................................... 121

    12. Tabel Nilai Erosi Berdasarkan Satuan Medan .................................. 123

    13. Tabel Erosi, EDP, IBE Berdasarkan Satuan Medan Sub DAS

    Garang Hulu ...................................................................................... 125

    14. Form Uji Akurasi Peta Tutupan Lahan ............................................. 135

    15. Form Survei Jenis Tanah ................................................................... 137

    16. Form Survei Geomorfologi ............................................................... 140

    17. Surat Perijinan Permintaan Data BPDASHL .................................... 143

    18. Surat Perijinan Permintaan Data Dinas PSDA Jateng ...................... 144

    19. Surat Perijinan Kesbangpol ............................................................... 145

    20. Surat Perijinan Alat Laboratorium .................................................... 146

    21. Peta Survei Lapangan ........................................................................ 148

    22. Foto Survei Lapangan ....................................................................... 149

    23. Gambar Diagram Alir Pemetaan Faktor-faktor RUSLE ................... 150

    24. Gambar Diagram Alir Pemetaan Erosi yang Diperbolehkan ............ 151

    25. Gambar Diagram Alir Pemetaan Indeks dan Tingkat Bahaya Erosi. 152

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh

    batas alam, seperti punggung bukit atau gunung, maupun batas buatan manusia,

    seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun pada wilayah tersebut

    memberi kontribusi aliran ke outlet (Suripin 2001). Lahan adalah suatu lingkungan

    fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, faktor-faktor

    tersebut saling mempengaruhi potensi pengunaannya, termasuk faktor akibat

    kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang (Hardjowigeno dkk.,

    2001). Perubahan penggunaan lahan menjadi faktor serius yang berkaitan dengan

    masalah erosi tanah. Perubahan tata guna lahan pada subDAS Garang Hulu yang

    semestinya menjadi kawasan lindung berubah menjadi kawasan budidaya tanaman

    semusim dan permukiman, menyebabkan terjadinya erosi tanah.

    RUSLE adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi kehilangan

    tanah tahunan rata-rata dalam kurun waktu yang lama terbawa oleh air limpasan

    dari kemiringan lereng lahan tertentu dalam sistem penanaman dan pengelolaan

    tertentu dan juga dari luas area. Metode RUSLE adalah model revisi atau

    penyempurnaan dari model sebelumnya yaitu USLE (Renard et al., 1997). RUSLE

    menggabungkan beberapa faktor penyebab erosi untuk memprediksi kehilangan

    tanah dari erosi lembar dan alur yang disebabkan oleh aliran permukaan dan hujan,

    hasil prediksi erosi dapat membantu perencanaan teknik konservasi (Sinukaban,

    1980).

    DAS Garang adalah daerah aliran sungai yang berada di tiga wilayah

    administrasi yaitu Kabupaten Semarang, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal.

    DAS Garang terdiri dari empat bagian daerah aliran sungai, yaitu sub DAS Garang

    Hulu, Kreo, Kripik, dan Hilir. DAS Garang Hulu secara administrasi berada di

    sepuluh kecamatan yaitu Kecamatan Ungaran Timur, Kecamatan Gunungpati,

    Kecamatan Limbangan, Kecamatan Bandungan, Kecamatan Banyumanik,

  • 2

    Kecamatan Bergas, Kecamatan Boja, Kecamatan Gajahmungkur, Kecamatan

    Sumowono dan Kecamatan Ungaran Barat (Rosyada dkk., 2015).

    Dari tahun 1995-2010 terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup

    signifikan. Luasan hutan yang sebelumnya 23,28 km2 menjadi 18,38 km2, serta

    permukiman dari 1,69 km2 menjadi 7,41 km2 (Setyowati, dkk., 2011). Sedangkan

    menurut Sucipto (2008) selama kurun waktu 8 tahun (1998-2006) terjadi penurunan

    fungsi lahan pada area perkebunan sebesar 117 hektar dari 1.511 hektar (1998)

    menjadi 1.394 hektar (2006), dan setiap tahun nya ada peningkatan alih fungsi lahan

    untuk permukiman mencapai 8,50 hektar. Pada lahan perkebunan, terutama

    perkebunan pada lahan miring dan daerah yang tinggi persentase terjadinya erosi

    sangat tinggi, cara pengolahan lahan yang tidak sesuai seperti menggunakan sistem

    terasering tanpa adanya pembatas/tanggul yang menahan tanah, menyebabkan

    tanah dapat tererosi dengan mudah.

    Perkebunan dan pertanian di lereng Gunung Ungaran banyak ditemukan

    terasering tanpa menggunakan tanggul batu tambahan dan bahkan tanpa tanggul,

    hal tersebut jelas mempengaruhi laju erosi yang terjadi. Menurut Dinas

    Permukiman dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah (2005), permasalahan

    sedimentasi di Sungai kaligarang telah mencapai 20 ton/ha/tahun, tanah yang

    dominan di Sub DAS Garang Hulu adalah tanah latosol coklat tua dan latosol coklat

    tua kemerahan yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap erosi (BPDAS Pemali

    Jratun, 2005)

    Metode RUSLE mampu menghitung kehilangan tanah pada daerah dengan

    aliran permukaan yang signifikan, dan tidak dirancang untuk daerah yang tidak

    terjadi aliran permukaan (Jones et al., 1996). Berdasarkan hasil penelitian

    Nugraheni dkk., (2013). Berisi tentang perbandingan prediksi laju erosi

    menggunakan model USLE, MUSLE dan RUSLE, diketahui bahwa model RUSLE

    lah yang mendekati nilai hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya. Belum

    adanya pemetaan erosi menggunakan metode RUSLE serta belum adanya

    pembaruan mengenai pemetaan erosi yang terjadi di subDAS Garang Hulu,

    mengingat penggunaan lahan setiap tahunnya berpotensi mengalami perubahan.

  • 3

    Maka dari itu perlunya saya memetakan ulang erosi yang terjadi melalui penelitian

    menggunakan model RUSLE.

    1.2 Rumusan Masalah

    1.2.1 Seberapa besar total erosi yang terjadi pada sub das garang hulu?

    1.2.2 Pada satuan lahan manakah tingkat bahaya erosi yang paling berat?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Mengetahui total erosi yang terjadi pada sub das garang hulu dengan metode

    RUSLE.

    1.3.2 Memetakan tingkat bahaya erosi dengan metode RUSLE.

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Dapat memperkaya ilmu bagi dunia pendidikan, khususnya mahasiswa

    untuk mempelajari model laju erosi dengan metode RUSLE.

    1.4.2 Dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk dinas terkait

    mengenai konservasi di bagian hulu das garang.

    1.4.3 Dapat menjadi pengetahuan bagi masyarakat yang bermukim di sub das

    garang hulu mengenai daerah mana saja yang rawan erosi.

    1.5 Batasan Istilah

    Adapun penjelasan sekaligus pembatasan istilah terkait judul yaitu :

    1.5.1 Pemetaan

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemetaan adalah proses,

    cara, perbuatan membuat peta. Pengertian lain tentang pemetaan yaitu sebuah

    tahapan yang harus dilakukan dalam pembuatan peta. Langkah awal yang dilakukan

    dalam pembuatan data, dilanjutkan dengan pengolahan data, dan penyajian dalam

    bentuk peta (Juhadi dan Setyowati, 2001).

  • 4

    1.5.2 Tingkat Bahaya Erosi

    Menurut Kemenhut (2013), tingkat bahaya erosi adalah perhitungan

    dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu lahan (land unit) dan kedalaman

    tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Erosi adalah peristiwa pindahnya atau

    terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh

    media alami (Arsyad 2010).

    1.5.3 Metode

    Menurut Rosady Ruslan (2003:24) metode adalah aktivitas ilmiah yang

    masih berkenaan pada suatu cara kerja yang tersusun (sistematis) di tujukan agar

    dapat memahami suatu subjek atau objek pada sebuah penelitian, sebagai salah satu

    cara untuk menemukan jawaban yang bisa di pertanggung jawabkan ilmiah serta

    keabsahannya.

    1.5.4 Rusle

    RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation) adalah model erosi yang

    dirancang untuk memprediksi erosi tahunan rata-rata dalam kurun waktu yang

    panjang terbawa oleh air limpasan dari kemiringan lereng lahan tertentu dalam

    sistem penanaman dan pengelolaan tertentu dan juga dari luas area. RUSLE

    merupakan revisi atau penyempurnaan dari metode sebelumnya yaitu USLE.

    RUSLE telah digunakan dalam memprediksi besarnya erosi di padang rumput

    (rangelands) dan lahan non pertanian seperti lahan untuk bangunan (Renard et al.,

    1997). Sebelum RUSLE, Wischmeier dan Smith (1978) merumuskan suatu model

    yang bernama USLE (Universal Soil Loss Equation), USLE merupakan model erosi

    yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi tanah dalam jangka waktu

    panjang dari suatu area pertanian dengan sistem penanaman dan pengelolaan

    tertentu.

  • 5

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1 Pemetaan

    2.1.1 Pengertian Peta dan Pemetaan

    Peta adalah penyajian grafis dari seluruh atau sebagian muka bumi pada

    suatu skala dan sistem proyeksi tertentu. Peta menampilkan unsur-unsur di muka

    bumi dengan cara memilih, menseleksi atau generalisasi sesuai dengan maksud dan

    tujuan dari pembuatan peta. Pemetaan adalah suatu proses yang melalui beberapa

    tahapan kerja (pengumpulan data, pengolahan data, dan penyajian data) untuk

    menghasilkan produk akhir peta (Soendjojo dkk., 2012).

    2.1.2 Proses Pemetaan

    Proses pemetaan adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk

    mendapatkan suatu produk peta. Menurut Permanasari (2007) mengemukakan tiga

    tahapan, yaitu:

    2.1.2.1 Tahap Pengumpulan data

    Langkah awal dimulai dari pengumpulan data. Data merupakan suatu

    bahan yang diperlukan dalam proses pemetaan. Keberadaan data sangat penting,

    dengan adanya data seseorang dapat melakukan analisis dan evaluasi tentang data

    wilayah tertentu. Data yang dipetakan dapat berasal dari data primer maupun

    sekunder. Data yang dipetakan adalah data yang bersifat spasial, yaitu data tersebut

    terdistribusi atau tersebar secara keruangan pada wilayah tertentu. Data yang telah

    dikumpulkan kemudian dikelompokkan menurut jenisya seperti kelompok data

    kualitatif atau kuantitatif. Pemahaman akan sifat data penting untuk menentukan

    simbolisasi atau penentuan bentuk simbol, sehingga simbol tersebut akan mudah

    dibaca dan dipahami.

    2.1.2.2 Tahap Penyajian Data

    Tahap ini merupakan upaya menggambarkan data dalam bentuk simbol,

    agar data tersebut menjadi menarik, mudah dibaca dan dipahami oleh pengguna.

    Penyajian data pada sebuah peta harus dirancang secara baik dan benar agar tujuan

  • 6

    pemetaan tercapai. Penyajian data meliputi tata letak peta, sistem koordinat, serta

    informasi tepi peta.

    2.1.2.3 Tahap Penggunaan Peta

    Tahap penggunaan peta merupakan tahap penting karena menentukan

    keberhasilan pembuatan peta. Peta yang dirancang dengan baik akan dapat dibaca

    dengan mudah. Peta merupakan alat untuk melakukan komunikasi, sehingga pada

    peta harus terjalin interaksi antar pembuat peta (map maker) dengan pengguna peta

    (map users). Pembuat peta harus dapat merancang peta sedemikian rupa sehingga

    peta mudah dibaca, diinterpretasi dan dianalisis oleh pengguna peta. Pengguna

    harus mampu membaca peta dan memperoleh gambaran informasi sebenarnya

    dilapangan.

    2.1.3 Peta Digital

    Peta digital merupakan bentuk peta dalam format digital atau softcopy.

    Peta digital merupakan hasil suatu proses digitasi dari peta kertas (hardcopy) atau

    proses pemetaan digital. Pemetaan digital merupakan proses akuisisi data dengan

    menggunakan perangkat pengukuran dan perekaman digital yang mengubah objek

    nyata ke dalam format gambar virtual. Fungsi utama nya adalah memproduksi peta

    yang menggambarkan kondisi dan lokasi suatu wilayah dengan akurasi yang tinggi

    dengan waktu yang relatif singkat (Soendjojo dkk., 2012).

    2.2 Tingkat Bahaya Erosi

    2.2.1 Pengertian Tingkat Bahaya Erosi

    Menurut Kemenhut (2013), tingkat bahaya erosi adalah perhitungan

    dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu lahan (land unit) dan kedalaman

    tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Analisis tingkat bahaya erosi digunakan

    untuk mengetahui besarnya laju erosi pada suatu kawasan atau DAS. Perhitungan

    tingkat bahaya erosi dapat menggunakan beberapa model yang telah ada, contohnya

    seperti USLE. Faktor-faktor penyebab erosi akan mempengaruhi besarnya erosi

    yang terjadi.

  • 7

    Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-

    bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad 2010).

    Perkembangan model perhitungan untuk prediksi erosi telah dimulai sekitar 76

    tahun yang lalu ketika Austin Zingg mempublikasikan sebuah hubungan antara

    erosi tanah (yang disebabkan air) dengan panjang dan kemiringan lereng, tidak

    lama kemudian diikuti oleh persamaan/rumus yang dirumuskan oleh Dwight Smith

    yang memperluas persamaan tersebut dengan memasukkan praktik konservasi

    (Laflen et al., 2013).

    Pengukuran erosi pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun

    1915 oleh Dinas Kehutanan AS di Utah (Forsling, 1931) dan oleh Ray W. McClure,

    seorang mahasiswa sarjana jurusan tanah di Universitas Missouri (Miller, 1946).

    Ilmu empiris pertama yang dikembangkan untuk prediksi erosi adalah USLE. Zingg

    pada tahun 1940 mengemukakan rumus untuk perhitungan erosi, diikuti selanjutnya

    oleh Smith (1941), Browning (1947), Musgrave (1947), Wischmeier and Smith

    (1965), Wischmeier and Smith (1978). Rumus USLE banyak dipakai dalam

    pengembangan perhitungan model erosi seperti RUSLE, EPIC, AGNPS, SLEMSA,

    MUSLE, SOILOSS (Laflen et al., 2013).

    2.2.2 Jenis-jenis Erosi

    Erosi tanah dapat terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap pelepasan partikel

    tunggal dari massa tanah dan tahap pengangkutan oleh media yang erosif seperti

    aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup

    untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan

    (Suripin 2001:30).

    Pelepasan partikel dapat terjadi akibat percikan air hujan dimana percikan

    air hujan jatuh mengenai tanah menyebabkan tanah berpindah dari tempatnya, tanah

    yang terus berpindah karena percikan air hujan terbawa oleh aliran air diatas

    permukaan tanah menuju sungai. Sungai akan membawa partikel-partikel tanah

    yang hanyut dan terendapkan pada sungai yang relatif datar dan berlanjut hingga

    ujung daerah aliran sungai. Hardiyatmo (2012:369-376) mengungkapkan bentuk-

    bentuk erosi akibat air hujan sebagai berikut.

  • 8

    2.2.2.1 Erosi Percikan

    Erosi percikan adalah erosi hasil dari percikan atau benturan air hujan

    secara langsung pada partikel tanah dalam keadaan basah. Besarnya curah hujan,

    intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan penyebaran hujan ke

    permukaan tanah, kecepatan aliran permukaan serta kerusakan erosi yang

    ditimbulkannya. Tidak semua air hujan mengakibatkan erosi, tapi bergantung pada

    intensitasnya. Jika intensitas hujan lebih besar dari 100 (seratus) mm/jam, maka

    umumnya akan menimbulkan erosi.

    Walaupun intensitas hujan besar, namun jika berlangsungnya tidak terlalu

    lama, sehingga tidak mengakibatkan aliran permukaan, maka hujan tidak berakibat

    erosi. Kecepatan jatuh butiran hujan ditentukan oleh gravitasi, tahanan udara dan

    angin. Kekuatan tumbukan tetes hujan, mengakibatkan pecahnya tanah menjadi

    butiran-butiran lebih kecil. Butiran tanah yang lebih kecil ini akan terangkat dan

    hanyut oleh run-off (aliran limpasan), sedangkan sebagian mengikuti infiltrasi air

    yang cenderung akan menutup pori-pori tanah, sehingga infiltrasi air ke tanah lebih

    dalam menjadi terhambat.

    2.2.2.2 Erosi Lembar

    Erosi lembaran (sheet erosion) adalah erosi akibat terlepasnya tanah dari

    lereng dengan tebal lapisan yang tipis. Erosi tidak tampak oleh mata, karena secara

    umum hanya kecil saja terjadi perubahan bentuk permukaan tanah. Pengangkutan

    atau pemindahan tanah terjadi merata pada seluruh permukaan tanah. Awal

    kejadian erosi dapat diamati bila terjadi penurunan produksi tanaman. Selain itu,

    daun-daunan mengalami perubahan warna. Pada bagian puncak dan tengah lereng

    daun-daunan agak pucat dibandingkan dengan daun-daunan yang di kaki lereng.

    Hal ini karena bahan-bahan organik dan unsur hara di bagian atas dan

    tengah lereng telah banyak hanyut atau hilang dibandingkan dengan kaki lereng

    yang relatif masih utuh. Pencucian lereng adalah bentuk dari erosi lembaran.

    Pencucian lereng terjadi ketika lapisan permukaan tanah yang bertekstur kasar

    mengering dan kehilangan kohesi nampaknya (apparent cohesion), yaitu saat hujan

  • 9

    mengerosi tanah tanpa menyebabkan terbentuknya parit-parit atau selokan akibat

    erosi.

    2.2.2.3 Erosi Alur

    Erosi alur (rills erosion) adalah erosi akibat pengikisan tanah oleh aliran

    air yang membentuk parit atau saluran kecil, di mana pada bagian tersebut telah

    terjadi konsentrasi aliran air hujan di permukaan tanah. Aliran air menyebabkan

    pengikisan tanah, lama-kelamaan membentuk alur-alur dangkal pada permukaan

    tanah yang arahnya dari atas memanjang ke bawah. Erosi alur ini banyak terjadi

    bila manusia melakukan pengolahan tanah dan melakukan penanaman yang searah

    dengan kemiringan lahan. Untuk mengurangi erosi alur, maka dapat dilakukan

    dengan mengolah tanah dan cara penanaman yang sejajar garis kontur atau

    menyilang arah kemiringan lahan.

    2.2.2.4 Erosi Parit

    Erosi parit (gully erosion) adalah kelanjutan dari erosi alur yaitu terjadi

    bila alur-alur menjadi semakin lebar dan dalam yang membentuk parit dengan

    kedalaman yang dapat mencapai 1 sampai 2,5 meter atau lebih. Parit-parit

    cenderung berbentuk menyerupai huruf V dan U, di mana aliran limpasan dengan

    volume besar terkonsentrasi dan mengalir ke bawah lereng terjal pada tanah yang

    mudah tererosi. Bila tanah tahan terhadap erosi, maka alurnya berbentuk V, bila

    tidak tahan erosi (tanah-tanah tak berkohesi) berbentuk U. Erosi parit tidak selalu

    terbentuk dari erosi alur, contohnya pada bagian outlet drainase (box culvert) yang

    tidak dilindungi pasangan batu/beton sering terbentuk erosi-erosi parit.

    2.2.2.5 Erosi Sungai

    Erosi sungai/saluran (stream/channel erosion) adalah erosi yang terjadi

    akibat dari terkikisnya permukaan tanggul sungai dan gerusan sedimen di sepanjang

    dasar saluran. Erosi ini dipengaruhi oleh variabel hidrologi/hidrolik yang

    mempengaruhi sistem sungai. Menurut Supirin (2001:38) menyimpulkan erosi

    tebing sungai adalah erosi yang terjadi akibat pengikisan tebing oleh air yang

    mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan arus air sungai yang kuat

  • 10

    terutama pada tikungan-tinkungan. Erosi tebing akan lebih hebat jika tumbuhan

    penutup tebing telah rusak atau pengolahan lahan terlalu dekat dengan tebing.

    2.2.3 Erosi yang Diperbolehkan

    Erosi adalah hal yang tidak dapat dihindari karena merupakan proses

    alamiah yang terjadi, tetapi erosi dapat diperlambat dengan pengolahan tanah yang

    baik dengan begitu erosi dapat diusahakan dibawah atau tidak melebihi batas

    toleransi maksimum kehilangan tanah atau (soil loss tolerance). Soil loss tolerance

    yaitu besarnya erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah (Suripin

    2001). Besarnya erosi tanah yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransi

    berdasarkan kondisi tanah menurut (SCS-USDA) sebagai berikut.

    Tabel 1. Erosi yang diperbolehkan

    Kondisi Tanah

    Laju

    Erosi

    (kg/m2/th)

    Sumber

    Skala makro (misal DAS) 0,2 Morgan (1980)

    Skala meso (misal lahan pertanian):

    Tanah berlempung tebal dan subur (Mid-

    West, USA) 0,6-1,1

    Wischmeier &

    Smith (1978)

    Tanah dangkal yang mudah tererosi

    0,2-0,5

    Hudson (1971)

    Smith &

    Stamey (1965)

    Tanah yang mempunyai kedalaman:

    0-25 cm 0,2

    Arnoldus

    (1977)

    25-50 cm 0,2-0,5

    50-100 cm 0,5-0,7

    100-150 cm 0,7-0,9

    >150 cm 1,1

    Morgan (1980) Tanah tropika yang sangat mudah tererosi 2,5

    Skala mikro (misal daerah terbangun) 2,5

    Tanah dangkal diatas batuan 0,112

    Thomson,

    1957;

    Suwardjo, dkk

    1975

    Tanah dalam diatas batuan 0,224

    Tanah lapisan dalam padat diatas batuan

    lunak 0,448

    Tanah dengan permeabilitas lambat diatas

    batuan lunak 1,121

    Tanah yang permeabel diatas batuan lunak 1,341

    Sumber: Suripin 2001

  • 11

    2.3 Metode RUSLE

    2.3.1 Pengertian RUSLE

    Secara keseluruhan USLE merupakan model yang sangat luas dipakai oleh

    departemen kehutanan AS dan banyak negara lainnya, penelitian yang dimulai dari

    sekitar tahun 1970 telah menghasilkan sebuah pengembangan teknologi dari USLE,

    yaitu RUSLE. USLE dikembangkan oleh W. H. Wischmeier, D. D. Smith, dan

    beberapa orang lainnya yaitu Departemen Pertanian AS (USDA), Agricultural

    Research Service (ARS), Soil Conservation Service (SCS), dan Universitas Purdue

    di akhir tahun 1950. Penelitian ini dimulai di Midwest pada tahun 1960.

    Pada tahun 1965, Agriculture Handbook 282 telah diterbitkan, yang mana

    menjadi bahan acuan untuk penelitian menggunakan metode USLE, sampai

    akhirnya direvisi pada tahun 1978 dengan judul Agriculture Handbook 537. Pada

    satu dekade setelah publikasi dari Handbook 537, para peneliti telah

    mengembangkan USLE secara signifikan. Tahun 1987 ARS, SCS dan beberapa

    peneliti lainnya memulai sebuah penelitian dari pengembangan USLE yaitu

    RUSLE. RUSLE mengalami penyempurnaan faktor, akan tetapi masih berdasar

    dari metode USLE (Renard et al., 1991).

    RUSLE adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi kehilangan

    tanah tahunan rata-rata dalam kurun waktu yang lama terbawa oleh air limpasan

    dari kemiringan lereng lahan tertentu dalam sistem penanaman dan pengelolaan

    tertentu dan juga dari luas area. Penggunaan yang tersebar luas telah membuktikan

    kegunaan dan validitas rusle untuk tujuan erosi. Ini juga berlaku untuk kondisi

    nonpertanian seperti situs konstruksi/bangunan (USDA 1997).

    Rumus metode rusle adalah sebagai berikut.

    A = R x K x LS x C x P

    R = Erosivitas Hujan

    K = Erodibilitas Tanah

    LS = Kemiringan dan Panjang Lereng

  • 12

    C = Pengelolaan Tanaman

    P = Tindakan Konservasi

    2.3.2 Faktor Erosivitas Hujan

    Presipitasi adalah peristiwa klimatik yang bersifat alamiah yaitu

    perubahan bentuk dari uap air di atmosfer menjadi curah hujan sebagai akibat

    proses kondensasi. Presipitasi merupakan faktor utama yang mengatur proses siklus

    hidrologi di suatu DAS (Asdak, 2010). Faktor erosi hujan menggabungkan

    komponen energi dan intensitas hujan ke dalam satu angka. Faktor R menyatakan

    faktor fisik hujan yang dapat menyebabkan timbulnya proses erosi (disebut

    erosivitas hujan). Erosivitas hujan tahunan yang dapat dihitung dari data curah

    hujan yang diperoleh dari pengukur hujan (Hardiyatmo, 2012:382). Erosivitas

    hujan merupakan fungsi dari energi kinetik total hujan, dengan intensitas hujan

    maksimum selama 30 menit. Erosivitas hujan yang dirumuskan oleh Lenvain

    (1989) sebagai berikut.

    R = 2,21 (Rt)1,36

    Keterangan:

    R = Indeks erosivitas hujan

    Rt = Curah hujan tahunan (cm)

    Data presipitasi seringkali ditemukan data yang tidak tercacat atau kosong.

    Data yang kosong dapat disebabkan oleh alat penakar hujan tidak berfungsi pada

    periode waktu tertentu atau karena satu dan lain hal pos pengamat hujan ditutup

    untuk sementara waktu. Data yang kosong dapat dilengkapi dengan memanfaatkan

    data hujan dari stasiun lain yang berdekatan (Asdak, 2010). Beberapa metode yang

    dapat digunakan untuk mengisi data hujan yang kosong yaitu Normal Ratio

    Method, “Inversed Square Distance” dan rata – rata aljabar (Martha, 1983). Dalam

    penelitian ini pencarian data curah hujan yang kosong menggunakan Normal Ratio

    Method. Rumus metode Normal Ratio untuk mencari data curah hujan yang hilang

    sebagai berikut (Wei and McGuiness, 1973):

  • 13

    𝑝𝑥𝑁𝑥

    =1

    𝑛{

    𝑝1𝑁1

    +𝑝2𝑁2

    +𝑝3𝑁3

    … +𝑝𝑛𝑁𝑛

    }

    Keterangan:

    Px = Hujan yang hilang di stasiun x

    P1+P2…Pn = Data hujan di stasiun sekitarnya pada periode yang sama

    Nx = Hujan tahunan di stasiun x

    N1+N2+…Nn = Hujan tahunan di stasiun sekitar x

    N = jumlah stasiun hujan disekitar x

    Data hujan yang akan digunakan perlu di uji konsistensi datanya terlebih

    dahulu. Agar data hujan yang kita gunakan konsisten, perlu disesuaikan untuk

    menghilangkan perngaruh perubahan tempat alat ukur atau gangguan lainnya

    terhadap konsistensi data yang dihasilkan (Asdak, 2010). Dalam penelitian ini uji

    konsistensi data yang dipilih menggunakan analisis kurva massa ganda. Analisis

    kurva massa ganda dikembangkan oleh beberapa ahli, yaitu C. F. Merriam yang

    merupakan penyumbang pemikiran terbanyak dalam penyusunan kurva massa

    ganda, beliau merupakan pensiunan dari Pennsylvania Water & Power Co. W. B.

    Langbein dan beberapa peneliti lainnya mendeskripsikan secara jelas tentang

    analisis kurva massa ganda dengan beberapa revisi. Hasil karya tersebut telah

    digunakan oleh USGS (U.S. Geological Survey) sejak tahun 1948.

    Teori kurva massa ganda didasarkan pada fakta bahwa grafik akumulasi

    satu kuantitas terhadap akumulasi kuantitas lain selama periode yang sama akan

    ter-plot sebagai garis lurus selama data proporsional; kemiringan garis akan

    mewakili konstanta proporsionalitas antar jumlah (USGS, 1984). Analisis kurva

    massa ganda menguji konsistensi hasil-hasil pengukuran pada suatu stasiun dan

    membandingkan akumulasi hujan tahunan atau musimannya dengan nilai

    akumulasi rata - rata yang bersamaan untuk suatu kumpulan stasiun di sekitarnya.

    Konsistensi catatan bagi masing-masing stasiun dasar harus diuji, dan yang tak

    konsisten harus disesuaikan (Linsley et al., 1986). Uji konsistensi data dimaksudkan

  • 14

    untuk mengetahui kebenaran data lapangan yang dapat dipengaruhi oleh faktor-

    faktor berikut ini (Kamiana, 2011):

    1) Spesifikasi alat penakar berganti

    2) Tempat alat ukur berpindah posisi

    3) Perubahan lingkungan disekitar alat penakar hujan

    Koefisien deterministik dapat menunjukkan seberapa jauh kesalahan

    dalam memperkirakan besarnya variabel terikat y yang dapat direduksi

    menggunakan informasi yang dimiliki variabel bebas x. Model regresi dikatakan

    sempurna apabila r2 = 1 (Asdak, 1995). Adapun koefisien deterministik antara

    variabel x dan y dapat dicari dengan persamaan :

    𝑟2 =[∑(𝑥𝑖𝑦𝑖) − {∑(𝑥𝑖) ∑(𝑦𝑖)}/𝑛]

    2

    [∑(𝑥𝑖)2 − {(∑ 𝑥𝑖)2/𝑛}][∑(𝑦𝑖)2

    − {(∑ 𝑦𝑖)2/𝑛}]

    Keterangan:

    i = data keberapa

    n = jumlah data

    Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan variabel x adalah jumlah

    kumulatif data hujan satu stasiun, sedangkan variabel y adalah jumlah kumulatif

    rata-rata data hujan semua stasiun. Data hujan stasiun dapat dikatakan konsisten

    apabila r2~1.

    2.3.3 Faktor Erodibilitas Tanah

    Kemudahan tererosi dinyatakan dalam istilah erodibilitas (erodibility).

    Beberapa tanah seperti lanau/lumpur lebih mudah tererosi dari yang lain.

    Umumnya, bertambahnya kandungan organik dan fraksi ukuran lempung dari

    tanah, maka erodibilitas akan berkurang. Erodibilitas juga bergantung pada: tekstur

    tanah, kadar air, angka pori, pertukaran ion-ion, pH, dan kekuatan komposisi atau

    ionik dari air yang menyebabkan erosi (Hardiyatmo, 2012).

  • 15

    Faktor erodibilitas tanah adalah indeks kuantitatif kerentanan tanah

    terhadap erosi air. Indeks erodibilitas tanah ini ditentukan untuk tiap satuan lahan.

    Indeks ini memerlukan data ukuran partikel tanah, persen bahan organik, struktur

    tanah, dan permeabilitas tanah. Data tersebut didapat dari hasil analisis

    laboratorium contoh-contoh tanah yang diambil di lapangan, atau dari data dalam

    laporan survei tanah yang dilampirkan pada peta tanah. Selain data yang diperoleh

    dari hasil kegiatan lapangan, nilai erodibilitas juga dapat didapatkan dari nomograf

    yang telah tersedia (Peraturan Menteri Kehutanan, 2009). Pada penelitian ini, saya

    menggunakan nomograf K dari (Lembaga Ekologi, 1979; Hardjiowigeno, 1987 dan

    Kironoto, 2000) sebagai berikut.

    Tabel 2. Nomograf erodibilitas tanah

    Jenis Tanah Nilai K

    Latosol merah 0,12

    Latosol merah kuning 0,26

    Latosol coklat 0,23

    Latosol 0,31

    Grumusol 0,21

    Aluvial * 0,47

    Regosol 0,16

    Hydromorf abu-abu 0,20

    Mediteran ** 0,21

    Sumber: Lembaga Ekologi (1979); Kironoto (2000)* dan Hardjiowigeno (1987)**

    2.3.3.1 Struktur Tanah

    Struktur merupakan kenampakan bentuk atau susunan partikel-partikel

    primer tanah (pasir, debu dan liat) hingga gabungan partikel-partikel primer yang

    disebut ped atau gumpalan yang membentuk agregat (bongkah). Struktur tanah

  • 16

    memiliki fungsi memodifikasi pengaruh tekstur terhadap kondisi drainase atau

    aerasi tanah, karena susunan antar agregat tanah menghasilkan ruang yang lebih

    besar ketimbang susunan antarpartikel primer (Hanafiah, 2005). Foth (1988)

    mengemukakan mengenai deskripsi tipe-tipe struktur tanah sebagai berikut.

    Tabel 3. Tipe struktur tanah

    Tipe Struktur Deskripsi Lokasi Horizon

    Granular Ped yang relatif tidak porous, kecil dan agak

    bulat: tidak untuk menggabungkan ped

    Horison A

    Remah Ped yang relatif porous, kecil dan agak bulat:

    tidak sesuai untuk menggabungkan ped.

    Horison A

    Lempeng

    Ped seperti piringan. Piringan-piringan saling

    tumpang tindih dan melelahkan.

    Horizon F, di

    hutan dan tanah

    liat padat

    horison Bt

    Balok

    Ped seperti balok yang diikat oleh ped

    lainnya yang sisi-sisi nya bersudut tajam dan

    membentuk tolakan ped. Ped sering patah

    menjadi ped berbentuk balok dengan ukuran

    lebih kecil.

    Horison Bt

    Balok agak

    persegi

    Ped seperti balok diikat oleh ped lainnya

    yang sisi-sisinya bulat agak persegi yang

    membentuk tolakan ped.

    Horison Bt

    Prisma

    Ped seperti pilar tanpa tutup yang melingkar.

    Ped prisma lainnya membentuk tolakan ped.

    Beberapa ped prisma pecah membentuk ped

    balok yang lebih kecil.

    Horison Bt

  • 17

    Columnar

    Ped seperti pilar dengan tutup yang

    melingkar diikat secara lateral oleh ped pilar

    lainnya yang membentuk tolakan ped.

    Horison Bt

    Sumber: Foth (1988)

    2.3.3.2 Tekstur Tanah

    Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah (separat)

    yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir

    (sand) berdiameter 2,00 – 0,20 mm, debu (silt) berdiameter 0,20 – 0,002 mm dan

    liat (clay) kurang dari 2 µm (Hanafiah, 2005).

    Tabel 4. Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah.

    Kelas tekstur tanah

    Proporsi (%) fraksi tanah

    Pasir Debu Liat

    Pasir (sandy) >85

  • 18

    Liat berdebu (silty-clay)

  • 19

    2.3.4 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng

    Erosi secara normal akan meningkat jika kecuraman kemiringan dan

    panjang kemiringan juga meningkat, ini sebagai hasil dari peningkatan kecepatan

    dan volume air aliran permukaan (surface runoff). Lebih lanjut, suatu tetesan air

    hujan di permukaan datar akan memercik secara acak ke segala jurusan, di

    permukaan yang lebih miring tetes hujan akan memercik lebih ke arah bawah

    (downslope) dibanding ke arah atas (upslope), hal itu lebih meningkatkan seperti

    tingkat erosi. (Morgan,2005:57)

    Awal mulanya perhitungan panjang dan kemiringan lereng dirumuskan

    oleh Wischmeier dan Smith (1978), kemudian Renard, et,al., (1997) melakukan

    pembaharuan mengenai nilai faktor LS untuk model rusle berdasarkan usle. Rumus

    LS disini diartikan sebagai fungsi antara nilai faktor panjang (L) dengan kemiringan

    lereng (S). Kemiringan lereng dibagi menjadi 2 (dua) kelas, yaitu < 9% dan ≥ 9%.

    Perhitungan faktor panjang dan kemiringan lereng adalah sebagai berikut.

    LS = L x S

    L = (l/22,1)m

    S = 10,8 sin α + 0,03 (untuk kemiringan lereng < 9%)

    S = 16,8 sin α – 0,5 (untuk kemiringan lereng ≥ 9%)

    Keterangan:

    LS = faktor panjang dan kemiringan lereng

    L = faktor panjang lereng

    l = panjang lereng (m)

    m = variabel panjang lereng

    S = faktor kemiringan lereng

    α = kemiringan lereng ( ° )

  • 20

    Kemajuan dunia pemetaan melahirkan teknologi baru dalam interpretasi

    panjang dan kemiringan lereng melalui data penginderaan jauh. Melalui citra

    tersebut peneliti mendapat kemudahan pada perolehan data topografi. Pengolahan

    data topografi untuk RUSLE didapatkan dari data DEM (Digital Evelation Model)

    menjadi nilai panjang dan kemiringan lereng. Erdogan (2006) telah mengembang

    suatu persamaan untuk mencari nilai LS dengan memanfaatkan data DEM pada

    SIG. Adapun persamaan itu adalah:

    𝐿𝑆 = (𝑋 ∗ 𝐶𝑍 22,13⁄ )0,4 ∗ (𝑠𝑖𝑛𝜃 0,0896⁄ )1,3

    Keterangan:

    LS = Faktor Lereng

    X = Akumulasi Aliran

    CZ = Ukuran pixel

    θ = Kemiringan lereng (%)

    Selain itu adapun rumus perhitungan untuk kemiringan dan panjang lereng

    yang dirumuskan oleh Moore dan Wilson (1992) sebagai berikut.

    𝐿𝑆 = (𝐴𝑠 22,13⁄ )𝑚 × (sin 𝛽 0,0896⁄ )𝑛

    As = Peta Aspect

    Sin β = Kemiringan Lereng (Degree)

    m = 0,4

    n = 1,3

  • 21

    2.3.5 Faktor Pengelolaan Tanaman

    Faktor C digunakan dalam Universal Soil Loss Equation (USLE) dan

    Revised USLE (RUSLE) untuk membandingkan pengaruh penanaman dan praktik

    pengelolaan terhadap laju erosi, dan merupakan faktor yang paling sering

    digunakan untuk membandingkan dampak relatif dari opsi-opsi pengelolaan

    tentang rencana konservasi. Faktor C menunjukkan bagaimana rencana konservasi

    akan mempengaruhi kehilangan tanah tahunan rata-rata dan bagaimana potensi

    kehilangan tanah akan didistribusikan dalam waktu selama kegiatan konstruksi,

    rotasi tanaman, atau skema pengelolaan lainnya (Renard et al., 1997).

    Faktor pengelolaan tanaman pada penelitian ini ditentukan berdasarkan

    peta penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan dibuat dengan data citra landsat,

    menggunakan metode supervised classification (klasifikasi terbimbing). Klasifikasi

    terbimbing yang dipilih dengan cara Maximum Likehood (Sharma et al., 2010).

    Tabel 5. Kelas Faktor Pengelolaan Tanaman

    Kelas Nilai C

    Badan Air 1,000

    Permukiman 0,002

    Pertanian 0,320

    Hutan 0,004

    Tanah Kosong 0,100

    Sumber: Sharma et al., (2010)

    2.3.6 Faktor Praktek Konservasi Lahan

    Praktek konservasi lahan juga dipertimbangkan dalam metode RUSLE

    dimana peran manusia dalam mencegah besarnya nilai erosi memiliki nilai. Nilai

    faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah adalah nisbah antara besarnya

    erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi

    pada lahan tanpa tindakan konservasi. Termasuk dalam tindakan konservasi tanah

  • 22

    adalah penanaman dalam strip, pengolahan tanah menurut kontur, guludan dan

    teras. Nilai dasar P adalah satu yang diberikan untuk lahan tanpa tindakan

    konservasi (Suripin, 2001). Faktor konservasi lahan dapat ditentukan nilainya

    dengan nilai slope atau kemiringan lereng (Sharma et al., 2010).

    Tabel 6. Nilai faktor konservasi lahan.

    Kemiringan Lereng (%) Nilai P

    0-2 0,5

    2-12 0,6

    12-16 0,7

    16-20 0,8

    20-25 0,9

    >25* 0,95

    Sumber: Sharma et al., (2010) ; Panagos et al., (2015)*

    2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)

    2.4.1 Pengertian Daerah Aliran Sungai

    Secara umum DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang

    dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun batas

    buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut

    memberi kontribusi aliran ke titik kontrol/outlet (Suripin, 2001). Menurut Asdak

    (2010), DAS memiliki suatu ekosistem yang terbagi menjadi tiga daerah, yaitu

    hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu dicirikan oleh beberapa hal: merupakan daerah

    konservasi, memiliki kerapatan drainase yang tinggi, daerah yang memiliki

    kemiringan lereng curam (lebih dari 15%), bukan daerah banjir, pengaturan

    pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya

    merupakan hutan.

  • 23

    Sedangkan daerah hilir dapat dicirikan sebagai berikut: merupakan daerah

    budidaya, kerapatan drainase lebih kecil, daerah yang memiliki kemiringan lereng

    kecil sampai dengan dibawah 8%, beberapa wilayah merupakan daerah banjir,

    pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi

    didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan

    bakau/gambut. Pada bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua

    karakteristik bagian DAS diatas.

    2.4.2 Siklus Hidrologi

    Siklus hidrologi adalah perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer

    kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti,

    dalam perjalanannya kembali ke laut, air tersebut akan tertahan sementara di sungai,

    danau/waduk, dan di dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dan

    makhluk hidup lainnya (Asdak, 2010).

    Gambar 2. Siklus Hidrologi (Asdak, 2010)

    Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim

    lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan

    tanah, di laut atau badan-badan air lainnya. Uap air sebagai hasil proses evaporasi

    akan terbawa oleh angin melintasi dataran yang bergunung maupun datar, dan

  • 24

    apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air tersebut akan

    terkondensasi dan turun sebagai air hujan. Sebelum mencapai permukaan tanah, air

    hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut

    akan tersimpan di permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan

    sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun

    (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (stemflow).

    Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah,

    melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan

    setelah berlangsungnya hujan (interception loss). Air hujan yang dapat mencapai

    permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration).

    Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara

    dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian

    mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk

    selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya

    kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah.

    Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup jenuh maka air hujan

    yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak secara lateral (horizontal) untuk

    selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface

    flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan yang masuk ke

    dalam tanah tersebut akan bergerak vertikal ke tanah yang lebih dalam dan menjadi

    bagian dari air tanah (groundwater). Air tanah tersebut, terutama pada musim

    kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau atau tempat penampungan

    air alamiah lainnya (baseflow).

    Tidak semua air infiltrasi (air tanah) mengalir ke sungai atau tampungan

    air lainnya, melainkan ada sebagian air infiltrasi yang tetap tinggal dalam lapisan

    tanah bagian atas (top soil) untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer melalui

    permukaan tanah (soil evaporation) dan melalui permukaan tajuk vegetasi

    (transpiration). Untuk membedakan proses intersepsi hujan dari proses transpirasi,

    dapat dilihat dari asal air yang diuapkan ke atmosfer. Apabila air yang diuapkan

  • 25

    oleh tajuk berasal dari hujan yang jatuh di atas tajuk tersebut, maka proses

    penguapannya disebut intersepsi.

    Apabila air yang diuapkan oleh tajuk berasal dari dalam tanah melalui

    mekanisme fisiologi tanaman, maka proses penguapannya disebut transpirasi.

    Dengan kata lain, intersepsi terjadi selama dan segera setelah berlangsungnya

    hujan. Sementara proses transpirasi berlangsung ketika tidak ada hujan. Gabungan

    kedua proses penguapan tersebut disebut evapotranspirasi. Besarnya angka

    evapotranspirasi umumnya ditentukan selama satu tahun, yaitu gabungan antara

    besarnya evaporasi musim hujan (intersepsi) dan musim kemarau (transpirasi).

    2.4.3 Karakteristik Pola Aliran Sungai

    Daerah Aliran Sungai (DAS) tentunya memiliki karakteristik pola aliran

    yang bermacam-macam. Mengetahui karakteristik pola aliran sebuah DAS sangat

    bermanfaat terkait dengan langkah konservasi, menghitung laju erosi, hidrologi,

    dan lain sebagainya. Sungai pada DAS selalu bercabang-cabang membenuk suatu

    pola aliran tertentu, Djauhari Noor (2010:31-33) menyatakan beberapa pola aliran

    sungai sebagai berikut:

    2.4.3.1 Pola Aliran Dendritik

    Pola aliran dendritik adalah pola aliran yang cabang-cabang sungainya

    menyerupai struktur pohon. Pada umumnya pola aliran sungai dendritik dikontrol

    oleh litologi batuan yang homogen. Pola aliran dendritik dapat memiliki

    tekstur/kerapatan sungai yang dikontrol oleh jenis batuannya. Sebagai contoh

    sungai yang mengalir diatas batuan yang tidak/kurang resisten terhadap erosi akan

    membentuk tesktur sungai yang halus (rapat) sedangkan pada batuan yang resisten

    (seperti granit) akan membentuk tekstur kasar (renggang).

    2.4.3.2 Pola Aliran Radial

    Pola aliran radial adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar

    secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu, seperti puncak gunung api atau

    bukit intrusi. Pola aliran radial juga dijumpai pada bentuk-bentuk bentang alam

  • 26

    kubah (domes) dan lakolit. Pada bentang alam ini pola aliran sungainya

    kemungkinan akan merupakan kombinasi dari pola radial dan annular.

    2.4.3.3 Pola Aliran Rectangular

    Pola rectangular umumnya berkembang pada batuan yang resistensi

    terhadap erosinya mendekati seragam, namun dikontrol oleh kekar yang

    mempunyai dua arah denngan sudut saling tegak lurus. Kekar pada umumnya

    kurang resisten terhadap erosi sehingga memungkinkan air mengalir dan

    berkembang melalui kekar-kekar membentuk suatu pola pengaliran dengan

    saluran-salurannya lurus-lurus mengikuti sistem kekar. Pola aliran rectangular

    dijumpai di daerah yang wilayahnya terpatahkan.

    Sungai-sungainya mengikuti jalur yang kurang resisten dan terkonsentrasi

    di tempat-tempat dimana singkapan batuannya lunak. Cabang-cabang sungainya

    membentuk sudut tumpul dengan sungai utamanya. Dengan demikian dapat

    disimpulkan bahwa pola aliran rectangular adalah pola aliran sungai yang

    dikendalikan oleh struktur geologi, seperti struktur kekar (rekahan) dan sesar

    (patahan). Sungai rectangular dicirikan oleh saluran-saluran air yang mengikuti

    pola dari struktur kekar dan patahan.

    2.4.3.4 Pola Aliran Trellis

    Geometri dari pola aliran trellis adalah pola aliran yang menyerupai bentuk

    pagar yang umum dijumpai di perkebunan anggur. Pola aliran trellius dicirikan oleh

    sungai yang mengalir lurus disepanjang lembah dengan cabang-cabangnya berasal

    dari lereng yang curam dari kedua sisinya. Sungai utama dengan cabang-cabangnya

    membentuk sudut tegak lurus sehingga menyerupai bentuk pagar. Pola aliran trellis

    adalah pola aliran sungai yang berbentuk pagar (trellis) dan dikontrol oleh struktur

    geologi berupa perlipatan sinklin dan antiklin. Sungai trellis dicirikan oleh saluran-

    saluran air yang berpola sejajar, mengalir searah kemiringan lereng dan tegak lurus

    dengan saluran utamanya. Saluran utama berarah searah dengan sumbu lipatan.

  • 27

    2.4.3.5 Pola Aliran Sentripetal

    Pola aliran sentripetal merupakan pola aliran yang berlawanan dengan pola

    radial, dimana aliran sungainya mengalir ke suatu tempat yang berupa cekungan

    (depresi). Pola aliran sentripetal merupakan pola aliran yang umum dijumpai di

    bagian barat dan barat laut Amerika, mengingat sungai-sungai yang ada mengalir

    ke suatu cekungan, dimana pada musim basah cekungan menjadi danau dan

    mengering ketika musim kering. Dataran garam terbentuk ketika air danau

    mengering.

    2.4.3.6 Pola Aliran Annular

    Pola aliran annular adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar

    secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu dan ke arah hilir aliran kembali

    bersatu. Pola aliran annular biasanya dijumpai pada morfologi kubah atau intrusi

    lakolit.

    2.4.3.7 Pola Aliran Paralel (Pola Aliran Sejajar)

    Sistem pengaliran paralel adalah suatu sistem aliran yang terbentuk oleh

    lereng yang curam/terjal. Dikarenakan morfologi lereng yang terjal maka bentuk

    aliran-aliran sungainya akan berbentuk lurus-lurus mengikuti arah lereng dengan

    cabang-cabang sungainya yang sangat sedikit. Pola aliran paralel terbentuk pada

    morfologi lereng dengan kemiringan lereng yang seragam. Pola aliran paralel

    kadangkala mengindikasikan adanya suatu patahan besar yang memotong daerah

    yang batuan dasarnya terlipat dan kemiringan yang curam. Semua bentuk dari

    transisi dapat terjadi antara pola aliran trellis, dendritik, dan paralel.

  • 28

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1 Lokasi Penelitian

    DAS Garang adalah daerah aliran sungai yang berada di tiga wilayah

    administrasi yaitu Kabupaten Semarang, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal.

    DAS Garang terdiri dari empat bagian daerah aliran sungai, yaitu sub daerah aliran

    sungai Garang Hulu, Kreo, Kripik dan Hilir. DAS Garang Hulu secara administrasi

    berada di sepuluh kecamatan yang terdiri atas Kecamatan Ungaran Timur,

    Gunungpati, Limbangan, Bandungan, Banyumanik, Bergas, Boja, Gajahmungkur,

    Sumowono dan Ungaran Barat (Rosyada dkk., 2015).

    Berdasarkan peta topografi Jawa dan Madura skala 1:50.000, berupa

    lembar Semarang No.5021-1 dan lembar Ambarawa No.5021-1 AMS tahun 1964,

    sub daerah aliran sungai Garang Hulu secara astronomis terletak antara 110°22ʹ -

    110°28ʹ BT dan 07°00ʹ - 07°12ʹ LS serta ketinggian sub daerah aliran sungai Garang

    Hulu antara 342 meter hingga 2.050 meter di atas permukaan air laut, sub daerah

    aliran sungai Garang Hulu memiliki luasan mencapai 6.157,29 hektar atau 61,57

    km2 (Setyowati dkk., 2014).

    3.2 Alat dan Bahan

    Alat dan bahan yang dibutuhkan yang dibutuhkan:

    1. GPS Handheld

    2. Laptop

    3. Handphone / Kamera

    4. Program Arcgis 10.4

    5. Sekop

    3.3 Fokus Penelitian

    Fokus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui erosi yang terjadi di sub

    daerah aliran sungai garang hulu dengan menerapkan metode RUSLE.

    3.4 Variabel

    Variabel dalam penelitian ini yaitu, erosivitas tanah, erodibilitas tanah,

    panjang dan kemiringan lereng, pengelolaan vegetasi dan tindakan konservasi.

  • 29

    3.5 Sumber Data

    3.5.1 Sumber Data Primer

    Peta Jenis Tanah

    Data jenis tanah di uji kebenarannya secara kualitatif dengan survei

    lapangan.

    Peta Tutupan Lahan

    Peta tutupan lahan hasil klasifikasi di uji kebenarannya dengan

    pengecekan langsung dilapangan.

    Data Curah Hujan

    Data curah hujan kurun waktu minimal 10 tahun diperoleh dari

    permohonan izin permintaan data ke instansi Balai Besar Wilayah Sungai

    Pemali Juana dan Open Data Jateng. Data hujan yang diminta yaitu data

    hujan tahunan yang tercatat pada stasiun hujan pada lingkup wilayah DAS

    garang.

    Citra Landsat 8

    Data citra satelit Landsat 8 diperoleh melalui website USGS (Badan

    Geologi Amerika Serikat).

    DEMNAS (DEM Nasional)

    Data DEM (Digital Elevation Model) diperoleh dari website Badan

    Informasi Geospasial (BIG). Data ini memiliki resolusi spasial sebesar 0,27

    arcsecond atau setara dengan 8,16 meter.

    SRTM (Shuttle Radar Topography Mission)

    Citra SRTM diperoleh dari website USGS, SRTM yang dipilih yaitu

    versi ketiga nya atau sering disebut SRTM V3, SRTM tersebut memiliki

    resolusi spasial 30 meter yang jauh lebih unggul dari citra SRTM

    sebelumnya yakni hanya 90 meter.

    3.5.2 Sumber Data Sekunder

    Peta Batas DAS

    Peta batas DAS diperoleh melalui permohonan izin permintaan data

    ke instansi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Pemali

  • 30

    Jratun. Peta batas DAS yang diminta yaitu mengenai infografis batas DAS

    garang.

    3.6 Metode Pengumpulan Data

    3.6.1 Observasi

    Observasi merupakan cara dan teknik pengumpulan data dengan

    melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau

    fenomena yang ada pada objek penelitian (Tika, 2005). Data yang diperoleh melalui

    metode observasi yaitu jenis tanah dan tutupan lahan. Data jenis tanah diteliti secara

    kualitatif menggunakan pedoman buku munsell dengan mencocokan karakteristik

    warna dan tekstur tanah. Penentuan titik sampel menggunakan teknik stratified

    random sampling berdasarkan peta satuan medan.

    Peta pengelolaan tanaman yang telah dibuat menggunakan klasifikasi

    terbimbing/terselia (supervised classification) perlu di cek tingkat akurasinya.

    Pengecekan pertama menggunakan ROI Separability atau indeks keterpisahan

    piksel, hal ini ditujukan untuk mengetahui seberapa baik sampel yang kita ambil.

    Pengecekan kedua dilakukan dengan pengambilan titik-titik yang disebar pada

    setiap jenis penggunaan lahan dengan metode stratified random sampling,

    kemudian titik-titik yang memiliki koordinat geografis tersebut di catat dan di cek

    kesesuaian lahannya di lapangan menggunakan alat GPS Hand Held. Hasil dari

    survei lapangan untuk menentukan nilai omisi dan komisi peta penggunaan lahan.

    3.6.2 Pengumpulan Data Sekunder

    Data sekunder adalah data yang diperoleh seorang peneliti tidak secara

    langsung dari subjek atau objek yang diteliti, tetapi melalui pihak lain seperti

    instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang terkait, perpustakaan, arsip

    perorangan, dan sebagainya (Tika, 2005). Pengumpulan data sekunder dalam

    penelitian ini yaitu terkait data curah hujan pada stasiun di wilayah DAS garang,

    peta batas DAS garang.

  • 31

    3.6.3 Pengumpulan Data dengan Penginderaan Jauh

    Data yang dapat diperoleh melalui penginderaan jauh yaitu data citra foto

    dan data digital atau numerik. Pengumpulan data secara manual dilakukan melalui

    foto udara, yakni dengan melakukan interpretasi secara visual. Sedangkan secara

    elektronik dapat dilakukan secara manual maupun numerik (Tika, 2005).

    Pengumpulan data dengan penginderaan jauh pada penelitian ini yaitu secara

    elektronik, yang berupa data citra landsat 8, SRTM dan DEMNAS. Data tersebut

    dapat diakses melalui lembaga geologi Amerika Serikat (USGS) untuk landsat 8

    dan SRTM, serta Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk DEMNAS.

    3.7 Analisis Data

    3.7.1 Faktor Erosivitas Hujan

    Data curah hujan yang telah disajikan dalam bentuk data tabel perlu

    dilakukan pengecekan tingkat akurasi data serta pengisian data curah hujan yang

    mungkin tidak tercatat. Data yang kosong dapat disebabkan oleh alat penakar hujan

    tidak berfungsi pada periode waktu tertentu atau karena satu dan lain hal pos

    pengamat hujan ditutup untuk sementara waktu. Data yang kosong dapat dilengkapi

    dengan memanfaatkan data hujan dari stasiun lain yang berdekatan (Asdak, 2010).

    Perbaikan data atau melengkapi data yang kosong dalam penelitian ini

    menggunakan Normal Ratio Method yang dirumuskan oleh Wei dan McGuiness

    pada tahun 1973. Selain itu, uji konsistensi data perlu dilakukan setelah data curah

    hujan keseluruhan telah diperbaiki jika terdapat data yang kosong. Penelitian ini

    menggunakan metode analisis kurva massa ganda untuk mengetahui tingkat

    keakuratan suatu data curah hujan.

    Analisis kurva massa ganda menguji konsistensi hasil-hasil pengukuran

    pada suatu stasiun dan membandingkan akumulasi hujan tahunan atau musimannya

    dengan nilai akumulasi rata - rata yang bersamaan untuk suatu kumpulan stasiun di

    sekitarnya. Konsistensi catatan bagi masing-masing stasiun dasar harus diuji, dan

    yang tak konsisten harus disesuaikan (Linsley et al., 1986). Pengolahan data curah

    hujan dilakukan dengan bantuan software Microsoft Excel dan hasilnya di export

    ke dalam format .csv.

  • 32

    Pembuatan peta rerata hujan kawasan pada penelitian ini menggunakan

    metode IDW (Inverse Distance Weighted). Metode IDW merupakan metode

    sederhana yang mempertimbangkan titik disekitarnya (NCGIA, 1997). Metode

    IDW dapat menginterpolasi data sesuai dengan jarak titik lokasi stasiun hujan,

    dimana jarak terdekat akan memiliki bobot yang lebih besar. Pemetaan data hujan

    menggunakan metode IDW dirasa sangat cocok, mengingat intensitas turunnya

    hujan pada suatu wilayah tidak selalu sama. Interpolasi IDW memanfaatkan data

    olahan yang telah berbentuk excel. Data tersebut dimasukkan kedalam software

    Arcgis 10.4 yang selanjutnya diolah menjadi peta curah hujan.

    3.7.2 Faktor Erodibilitas Tanah

    Peta erodibilitas tanah dihasilkan dari peta jenis tanah dan nomograf nilai

    erodibilitas tanah untuk beberapa jenis tanah. Nomograf memudahkan peneliti

    dalam mengolah data erodibilitas tanpa harus melakukan survei dan perhitungan

    rumit. Nomograf tidak selalu dalam angka yang tetap, ada yang memiliki rentang

    nilai misalnya dari 0 sampai 1, maka dari itu nomograf dapat ditentukan dari nilai

    rata-rata dari rentang atau interval nilai yang tersaji dalam bentuk tabel. Tetapi jika

    hanya ingin mengambil suatu nilai saja entah nilai minimum atau yang maksimum

    juga tidak disalahkan.

    3.7.3 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng

    Penentuan panjang dan kemiringan lereng pada penelitian ini berbasis

    pada digital elevation model yang memungkinkan untuk mendapatkan informasi

    panjang dan kemiringan lereng melalui pemrosesan data citra untuk memudahkan

    penelitian. DEM yang digunakan berupa data SRTM V3 (Shuttle Radar

    Topography Mission) dengan resolusi atau tingkat kedetailan mencapai 30 meter.

    Data SRTM tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng (radian) dan arah

    lereng (aspect) menggunakan Acrgis 10.4. Pengolahan data SRTM perlu dilakukan

    proses filling, yaitu untuk membuat aliran air secara kontinyu bermuara ke sungai,

    tidak terjebak di cekungan atau sumur.

  • 33

    3.7.4 Faktor Pengelolaan Tanaman

    Faktor pengelolaan tanaman pada penelitian ini ditentukan berdasarkan

    peta penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan dibuat dengan data citra landsat,

    menggunakan metode supervised classification (klasifikasi terbimbing). Klasifikasi

    terbimbing yang dipilih dengan cara maximum likehood (Sharma et al., 2010).

    Sebelum data digunakan, terlebih dahulu harus dikoreksi geometrik dan

    radiometrik. Koreksi geometrik berfungsi untuk memperbaiki kesalahan lokasi

    geografis, sedangkan radiometrik untuk memperbaiki kesalahan warna pantulan

    permukaan bumi. Koreksi data citra tersebut menggunakan software ENVI.

    Penentuan kelas faktor pengelolaan tanaman yang terdiri atas, badan air,

    permukiman/lahan terbangun, pertanian, hutan dan tanah kosong menggunakan

    metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan algoritma

    maximum likehood. Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan pengambilan sampel

    pada piksel yang dianggap mewakili suatu objek, semakin akurat sampel yang

    dipilih maka akan semakin mendekati benar.

    Metode uji akurasi perlu diterapkan untuk mengetahui seberapa akurat

    peta yang dihasilkan, dalam penelitian ini untuk uji akurasi menggunakan metode

    yang disampaikan oleh Liliesand et al. (2008), dengan mempertimbangkan akurasi

    dari kedua sisi, yaitu dari sisi pembuat peta (producer’s accuracy) dan sisi

    pengguna peta (user’s accuracy).

    Akurasi penghasil atau pembuat diperoleh dari hasil bagi jumlah piksel

    yang terklasifikasi secara benar untuk setiap kategori dengan jumlah piksel pada

    tiap training set. Akurasi menurut pengguna dihitung dengan cara membagi jumlah

    piksel yang terklasifikasi secara benar di tiap kategori dengan jumlah keseluruhan

    piksel yang diklasifikasi pada kategori tersebut. Perbedaan pada kedua sisi tersebut

    disebut omisi (untuk pembuat peta) dan komisi (untuk pengguna peta). Pengecekan

    titik piksel yang ada pada penelitian ini dengan cara survei lapangan.

  • 34

    Tabel 7. Contoh producer’s accuracy dan user’s accuracy

    Kelas

    Producer’s Accuracy User’s Accuracy

    Akurasi Omisi

    Kesalahan Akurasi Komisi Kesalahan

    A 70/73 =

    96% 4%

    70/88 =

    80%

    20%

    B 55/60 =

    92% 8%

    55/58 =

    95%

    5%

    C 99/103 =

    96% 4%

    99/117 =

    85%

    15%

    D 37/59 =

    63% 37%

    37/41 =

    90%

    10%

    E 121/130 =

    93% 7%

    121/121 =

    100%

    0%

    Sumber: Liliesand et al., 2008

    3.7.5 Faktor Praktek Konservasi Lahan

    Metode penentuan konservasi lahan pada penelitian ini berbasis dari data

    kemiringan lereng (slope). Peta kemiringan lereng dibuat dengan sumber data

    DEMNAS dengan dilakukan pengelompokan menjadi beberapa kelas, yaitu 0-2 %,

    2-12 %, 12-16%, 16-20%, dan 20-25% (Sharma et al., 2010).

    3.7.6 Indeks Bahaya Erosi

    Erosi tidak bisa dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol,

    khususnya untuk lahan-lahan pertanian. Tindakan yang dilakukan adalah dengan

    mengusahakan supaya erosi yang terjadi masih dibawah ambang batas yang

    maksimum (soil loss tolerance), yaitu besarnya erosi yang tidak melebihi laju

    pembentukan tanah (Suripin, 2001). Perkiraan erosi tahunan rata-rata dan

    kedalaman tanah dipertimbangkan untuk menentukan tingkat bahaya erosi untuk

    setiap satuan lahan. Dari data hasil perkiraan erosi tahunan RUSLE dan kedalaman

    tanah maka dapat diperoleh tingkat bahaya erosi (Peraturan Menteri Kehutanan

  • 35

    2009). Klasifikasi tingkat bahaya erosi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai

    berikut.

    Tabel 8. Tingkat bahaya erosi

    Tebal Solum Tanah

    (CM)

    Erosi (Ton/Ha/Tahun)

    < 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 >480

    Dalam (>90) SR R S B SB

    Sedang (60-90) R S B SB SB

    Dangkal (30-60) S B SB SB SB

    Sangat Dangkal (

  • 36

    𝑇 =𝐷𝐸

    𝐺𝑇× 𝐵𝐷 × 10

    Keterangan :

    T = Erosi yang diperbolehkan (EDP) (ton/ha/tahun)

    DE = Kedalaman ekivalen (kedalaman efektif x faktor kedalaman tanah) (mm)

    BD = Bulk Density (gr/cm3)

    GT = Umur Guna Tanah (300 Tahun)

    𝐼𝐵𝐸 =𝐴

    𝑇

    Keterangan :

    IBE = Indeks bahaya erosi

    A = Nilai erosi pada satuan medan

    T = Erosi yang diperbolehkan

  • 37

    3.8 Diagram Alir

    HIDROLOGI TOPOGRAFI TUTUPAN

    VEGETASI TANAH AKTIVITAS

    MANUSIA

    EROSI

    PEMETAAN METODE

    RUSLE

    PENGAMBIL

    AN DAN

    PENGOLAH

    AN DATA

    UJI

    KUALITAS

    DATA

    PETA INDEKS

    BAHAYA EROSI

    PETA LAJU EROSI

  • 38

    BAB IV

    HASIL PEMETAAN DAN PEMBAHASAN

    4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian

    4.1.1 Letak dan Luas Wilayah

    DAS Garang Hulu terletak di tiga kabupaten/kota yaitu Kota Semarang,

    Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Kendal. Daerah tertinggi pada sub DAS

    Garang Hulu yaitu puncak Gunung Ungaran yang memiliki ketinggian 2050 mdpl,

    termasuk ke dalam Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal dan Desa

    Lempuyang, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang. Sub DAS Garang Hulu

    berbatasan dengan sub DAS Kreyo, Kripik, dan Kanal Barat yang masih berada

    dalam satu kelompok DAS. Secara astronomis sub DAS Garang Hulu berada pada

    110°22ʹ - 110°28ʹ BT dan 07°00ʹ - 07°12ʹ LS.

    Luas wilayah sub DAS Garang Hulu seluas 8.424,23 hektar yang terbagi

    kedalam beberapa kecamatan yaitu, Kecamatan Ungaran Timur, Gunungpati,

    Limbangan, Bandungan, Banyumanik, Bergas, Boja, Gajahmungkur, Sumowono

    dan Ungaran Barat.