studi tingkat bahaya erosi pada area sabuk hijau …
TRANSCRIPT
“Tugas Akhir”
STUDI TINGKAT BAHAYA EROSI PADA AREA SABUK
HIJAU KAYUARA BENDUNGAN BILI – BILI
KABUPATEN GOWA
Oleh :
MUH SUARPAN M A N S U R 105 81 961 09 105 81 1O71 09
JURUSAN SIPIL PENGAIRAN
FAKULTAS TEKNIK
UNVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga sehingga penulis dapat smenyelesaikan penyusunan
Makalah Ujian Komprehensif ini dengan baik.
Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi dalam rangka menyelesaikan Program Studi pada Jurusan Sipil
dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Adapun judul tugas akhir kami adalah:“ STUDI TINGKAT BAHAYA EROSI
PADA AREA SABUK HIJAU KAYUARA BENDUNGAN BILI – BILI
KABUPATEN GOWA”
Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis mendapatkan banyak
masukan yang berguna dari berbagai pihak sehingga tugas akhir ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu dengan segala ketulusan serta keikhlasan
hati, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:
1. Bapak Hamzah Al Imran, S.T., M.T. sebagai Dekan Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Makassar.
2. Bapak Muh. Syafaat S. Kuba, S.T. sebagai Ketua Jurusan Sipil
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Lawalenna samang, M.Sc, M.eng selaku
pembimbing I dan bapak Ma’rufah, SP., MP. selaku pembimbing II,
iv
yang telah meluangkan banyak waktu, memberingan bimbingan dan
pengarahan sehingga terwujudnya tugas akhir ini.
4. Bapak dan Ibu dosen serta staf pegawai pada Fakultas Teknik atas
segala waktunya telah mendidik dan melayani kami selama mengikuti
proses belajar mengajar di Universitas Muhammadiyah Makassar.
5. Ayahanda dan ibunda tercinta yang senantiasa memberikan limpahan
kasih sayang, doa, serta pengorbanan kepada penulis.
6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Teknik, terkhusus Saudaraku
Angkatan 2009 dengan rasa persaudaran yang tinggi banyak
membantu dan memberi dukungan dalam menyelesaikan tugas akhir
ini.
Pada akhir penulisan tugas Akhir ini, penulis menyadari bahwa
tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis meminta saran
dan kritik sehingga laporan tugas akhir ini dapat menjadi lebih baik dan
menambah pengetahuan kami dalam menulis laporan selanjutnya.
Semoga laporan tugas akhir ini dapat berguna bagi penulis khususnya
dan untuk pembaca pada umumnya.
Wassalamu`alaikum, Wr. Wb.
Makassar, Juni 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI .......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... vii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………..... viii
DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN .................................................. .. ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 3
C. Batasan Masalah ....................................................................... 3
D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
E. Manfaat Penelitian ..................................................................... 4
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 6
A. Aspek Teknis Hidroklimatologi ................................................... 6
B. Peran Strategis Area Sabuk Hijau…………………………………. 12
C. Prinsip dan Mekanisme Erosi Permukaan…………………….…. 14
D. Erosivitas dan Erodibilitas vs Pengolahan Lahan ....................... 24
E. Toleransi Erosi Lahan Hijau………………………………………… 33
F. Penilaian Tingkat Bahaya Erosi ……...…………..………..……… 34
vi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 36
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 36
B. Pengambilan Data dan Sampel .................................................. 37
C. Rancangan Penelitian……………………………………………… 37
D. Metode Analisa Data .................................................................. 42
E. Bagan Alur Penelitian ................................................................. 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 46
A. Kondisi Lokasi Penelitian .......................................……………… 46
B. Penilaian Erosivitas dan Erodibilitas Serta Tata Lahan ............... 48
C. Laju Erosi Potensial Zona Sabuk Hijau ....................................... 57
D. Besaran Erosi Toleransi Lahan………………….………………… 60
E. Nilai Tingkat Bahaya Erosi ……..………………………………….. 61
BAB V PENUTUP ................................................................................. 65
A. Kesimpulan…………………………………………………………..…65
B. Saran………………………………………………………………….…66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Daur Hidrologi 9
2. erosi percik (splash erosion) 15
3. Erosi Lembar (sheet erosion) 16
4. erosi alur (rill erosion) 16
5. Erosi Parit (gully erosion) 17
6. Skema proses terjadinya Erosi Tanah 21
7. peta gambar sabuk hijau kayuara bendungan bili –bili 36
8. Flow Chart Penelitian/ Bagan Alur Penelitian 45
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Faktor K dari Depertemen kehutanan RI 29
2. Penilaian struktur tanah 30
3. Kode permeabilitas tanah 30
4. Nilai M persentase ukuran partikel 30
5. Faktor Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng 31
6. Nilai CP untuk berbagai faktor penggunaan lahan 32
7. Faktor kedalaman beberapa sub order tanah 33
8. nilai kedalaman efektif akar berdasarkan kelas lereng 34
9. Kriteria tingkat bahaya erosi (TBE) 35
10. Nilai erosivitas hujan pada sabuk hijau kayuara 49
11. nilai erodibilias (K) pada masing – m masing lokasi 51
12. Nilai faktor kemiringan lereng pada masing – masing lokasi 56
13. nilai tutupan lahan dan konservasi tanah 57
14. Laju erosi petensial pada Area sabuk hijau kayuara 59
15. Erosi yang dapat di toleransi (TSL) 61
16. Tingkat bahaya erosi (TBE) 63
ix
DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN
Notasi Defenisi dan Keterangan
A Jumlah tanah yang tererosi (ton/ha/tahun)
R Erosivitas (rain fall factor)
K Faktor erodibilitas tanah
LS Panjang dan kemiringan lereng
CP Tindakan konservasi tanah
TBE Tingkat bahaya erosi
M persentase pasir sangat halus dan debu
O persentase bahan organik
S kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi
P kelas permebilitas tanah
RD kedalaman perakaran efektif
S Kemiringan lereng (%)
TSL laju erosi yang masih dapat ditoleransi (mm/th)
DE kedalaman akar efektif (mm)
Fd faktor kedalaman
T umur guna sumberdaya tanah (tahun)
BD berat jenis (gr/cm2)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya Waduk atau bendungan berfungsi sebagai
penampung air dan tanah hanyut akibat erosi yang berasal dari daerah
diatasnya untuk mengamankan daerah dibawahnya dari banjir dan erosi.
Suatu waduk penampung atau waduk konservasi dapat menahan air
kelebihan pada masa-masa aliran air tinggi untuk digunakan selama
masa-masa kekeringan (Sukartaatmadja, 2004). Waduk dan bendungan
juga bermanfaat sebagai konservasi air. Namun demikian, terkait dengan
ancaman keberlanjutan fungsi waduk, sumber sedimen pada umumnya
diakibatkan oleh tingginya tingkat erosi yang terjadi di hulu. Penyebab
utama pengurangan kapasitas tampungan bendungan-bendungan di
Indonesia adalah tingginya laju sedimentasi (Azdan et all, 2008).
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
(2008) disebutkan pula beberapa waduk yang mengalami tingkat
sedimentasi tinggi yaitu Sengguruh dan Karangkates di DAS Kalibrantas
Hulu, Waduk Wonogiri di DAS Bengawan Solo, Waduk Mrica di DAS
Serayu, Waduk Saguling dan Cirata di DAS Citarum Tengah, termasuk
Waduk Bili-Bili di DAS Jeneberang Kabupaten Gowa Sulawesi selatan.
1
2
Waduk Bili-Bili yang merupakan salah satu waduk terbesar di
Propinsi Sulawesi Selatan terletak di bagian tengah DAS Jeneberang
mulai diresmikan penggunaannya pada tahun 1999. Waduk ini merupakan
waduk serbaguna yang dibangun dengan tujuan untuk pengendalian
banjir, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit
listrik tenaga air. Waduk serbaguna Bili-Bili yang dibangun dengan
maksud untuk pengendalian daya rusak, mengoptimalkan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya air yang ada pada bagian hulu DAS
Jeneberang. Namun, dalam perkembangan terakhir terjadi penurunan
pemanfaatan fungsi layanan waduk akibat laju erosi menuju bendungan
Bil–bili terus meningkat. Jumlah erosi yang tertampung di bendungan
setiap tahun mencapai 30 ton/ha. Sementara daya tampungnya hanya 18
ton/ha dalam setahunnya. (BPDAS Jeneberang, 2010).
Salah satu upaya pemerintah setempat dalam menekan angka laju
erosi yang menuju bendungan Bili–bili yaitu membuat sabuk hijau
(Arboretum) di sekitar bantaran bendungan Bili–bili. Dimana di dalam
sabuk hijau terdapat beberapa koleksi tanaman seperti mangga, jati, kopi,
pisang, nangka dan lain – lain.
Sebagai dasar dari penelitian ini bahwa di daerah sabuk hijau
(Arboretum) ini belum adanya nilai koefisien tingkat laju erosi yang terjadi.
Dalam hal ini nilai koefisien tingkat laju erosi dapat di gunakan sebagai
indikator yang menunjukkan bahwa sabuk sabuk hijau (Arboretum) efektif
atau tidaknya dalam menekan tingkat laju erosi yang terjadi. Sehingga
3
untuk mengetahui nilai koefisien tingkat laju erosi pada Area sabuk hijau
terutama pada daerah yang bervegetasi dan memiliki kemiringan lereng
yang berbeda. Maka di lakukan perhitungan laju erosi dengan
mengunakan metode gabungan antara metode pengukuran langsung di
lapangan dan pegolahan data dengan metode USLE.
Untuk itu berdasarkan uraian di atas perlu di adakan penelitian
tengtang “ Studi Tingkat Dan Bahaya Erosi Pada Area Sabuk Hijau
Kayuara Bendungan Bili – bili Kabupaten Gowa” untuk dijadikan tugas
akhir pada program studi Sipil Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas
Muhammadiyah Makassar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana erosivitas dan erodibilitas serta pengolahan lahan pada
Area sabuk hijau kayuara bendungan Bili – bili ?
2. Bagaimana laju erosi dan tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi
pada Area sabuk hijau kayuara bendungan Bili – bili ?
C. Batasan Masalah
Penelitian ini memiliki batasan – batasan masalah sebagai berikut:
1. Hanya ingin mengetahui erosivitas dan erodibilitas serta pengolahan
lahan pada Area sabuk hijau bendungan Bili – bili.
2. Hanya menghitung laju erosi dan tingkat bahaya erosi (TBE) yang
terjadi pada sabuk hijau bendungan Bili – bili.
4
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui erosivitas dan erodibilitas serta pengolahan lahan pada
Area sabuk hijau bendungan Bili – bili.
2. Mengetahui laju erosi dan tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi
pada Area sabuk hijau bendungan Bili – bili.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1. Dapat dijadikan acuan penelitian selanjutnya dalam mengidentifikasi
tanah yang memiliki tingkat laju erosi pada sabuk hijau Kayuara
bendungan Bili – bili.
2. Dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam konservasi tanah
pada pemanfaatan lahan tanaman yang berada dalam sabuk hijau
Kayuara bendungan Bili – bili.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan tugas akhir ini terdiri dari lima bab, dimana masing-
masing bab membahas masalah tersendiri, selanjutnya sistematika
laporan ini sebagai berikut:
5
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II TINJUAN PUSTAKA
Menguraikan tinjauan mengenai permasalahan yang akan menjadi
bahan penelitian dalam penulisan tugas akhir pada suatu wilayah tertentu.
Dimana dalam hal ini mencakup teori-teori beserta formula yang berkaitan
langsung dengan penelitian yang akan dilakukan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Merupakan gambaran umum mengenai lokasi penelitian, peralatan
penelitian serta metode penelitian yang akan digunakan.
BAB IV ANALISA HASIL dan PEMBAHASAN
Membahas tentang hasil dari penelitian yang telah di lakukan baik
hasil penelitian lapangan maupun uji lab dan menganalisa tingkat bahaya
erosi dan laju erosi dengan menggunakan rumus USLE dan menghitung
erosi yang dapat ditoleransi dengan menggunakan rumus empiris
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya dan
saran yang berhubungan dengan permasalahan ini
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspek Teknis Hidroklimatologi
a. Pengertian Hidrologi
Hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang air dalam
segala bentuknya (cairan, gas, maupun padat) di dalam dan di atas
permukaan tanah. Termasuk di dalamnya adalah penyebaran, daur dan
perilakunya, sifat-sifat fisik dan kimianya, serta hubunganya dengan
unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri. (C.Asdak, 1983). Ilmu hidrologi
dibagi menjadi dua yaitu, hidrologi pemeliharaan (menyangkut data
operasional dan peralatan teknisnya) dan hidrologi terapan (menyangkut
analisis hidrologi).
Secara umum analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis
awal dalam perancangan bangunan-bangunan hidraulik, baik dalam
perancangan, pelaksanaan dan pengoperasiannya. Pengertian yang
terkandung di dalamnya adalah bahwa informasi dan besaran - besaran
yang terkandung dalam analisis hidrologi merupakan masukan penting
bagi analisis selanjutnya. Di dalam hidrologi, salah satu aspek analisis
yang diharapkan dihasilkan untuk menunjang perancangan bangunan-
bangunan hidraulik adalah penetapan besaran-besaran rancangan, baik
hujan, banjir maupun unsur-unsur hidrologi lainnya, oleh karena itu
6
7
pemahaman mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam analisis
hidrologi harus benar-benar dipahami.
b. Siklus Hidrologi
Matahari merupakan sumber tenaga bagi alam. Dengan adanya
tenaga tersebut, maka seluruh permukaan bumi akan mengalami
penguapan, baik dari muka tanah, permukaan pepohonan (transpiration)
dan permukaan air (evaporation).
Sebagai akibat dari penguapan, maka terbentuk awan yang
apabila keadaan klimatologi memungkinkan, awan dapat terbawa ke darat
dan dapat terbentuk menjadi awan pembawa hujan (rain could). Hujan
baru akan terjadi bila berat butir-butir air hujan tersebut telah lebih besar
dari gaya tekan udara ke atas. Dalam keadaan klimatologis tertentu, maka
air hujan yang terus melayang tersebut dapat teruapkan kembali menjadi
awan. Air hujan yang sampai ke permukaan tanah disebut hujan, dan
dapat diukur. Hujan yang terjadi tersebut sebagian juga akan tertahan
oleh mahkota dan dedaunan pada pepohonan dan bangunan-bangunan
yang selanjutnya ada yang diuapkan kembali. Bagian air ini tidak dapat
diukur dan merupakan bagian air yang hilang (interception).
Air yang jatuh ke permukaan tanah terpisah menjadi dua bagian,
yaitu bagian yang mengalir di permukaan yang selanjutnya menjadi aliran
limpasan (overland flow), yang selanjutnya dapat menjadi limpasan (run-
off), yang seterusnya merupakan aliran sungai menuju ke laut. Aliran
limpasan sebelum mencapai saluran dan sungai, mengalir dan tertahan di
8
permukaan tanah dalam cekungan-cekungan, dan sampai jumlah tertentu
merupakan bagian air yang hilang karena proses infiltrasi, yang disebut
sebagai tampungan-cekungan (depression storage).
Bagian lainnya masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi.
Tergantung dari struktur geologinya, dapat terjadi aliran mendatar yang
disebut aliran antara (interflow). Bagian air ini juga mencapai sungai dan
atau ke laut. Bagian lain dari air yang terinfiltrasi dapat diteruskan sebagai
air perkolasi yang mencapai akuifer. Air ini selanjutnya juga mengalir
sebagai aliran air tanah menuju ke sungai atau laut.
Dalam daur hidrologi, energi matahari menyebabkan terjadinya
proses evaporasi di laut atau badan-badan air lainnya. Uap air tersebut
akan terbawa oleh angin melintasin daratan yang bergunung maupun
datar. Dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian uap air
tersebut akan turun menjadi hujan.
Air hujan yang mencapai permukaan tanah sebagian akan masuk
ke dalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke
dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan
permukaan tanah, untuk kemudian mengalir ke permukaan yang lebih
rendah untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di
dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk
kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup
jenuh maka air hujan yang masuk ke dalam tanah akan bergerak secara
lateral (horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi
9
ke permukaan tanah dan akhirnya mengalir ke sungai. Sedangkan air
hujan yang masuk ke dalam tanah akan bergerak vertikal ke tanah yang
lebih dalam menjadi bagian dari tanah (gound water). Air tanah tersebut
terutama pada musim kemarau akan mengalir pelan-pelan ke sungai,
danau atau penampungan air alamiah lainnya.
c. Siklus Air di Bumi
Air menguap ke udara dari permukaan tanah, tanaman dan laut,
berubah menjadi awan setelah mengalami beberapa proses dan
kemudian jatuh sebagai hujan / salju ke permukaan laut atau daratan,
sebelum tiba di Bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian
tiba di permukaan Bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke bumi
mencapai permukaan tanah, sebagian akan tertahan oleh tumbuh –
tumbuhan dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh /
mengalir melalui dahan – dahan ke permukaan tanah.
Gambar 1: Daur Hidrologi Sumber: Asdak, C, 1995: 9
d. Distribusi Curah Hujan dalam Laju Erosi
Curah hujan yang diperlukan untuk perhitungan laju erosi pada
suatu Daerah adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang
10
bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini
disebut curah hujan wilayah/ daerah dan dinyatakan dalam mm.
(Sosrodarsono, 2003: 27)
1. Analisis curah hujan rencana
a) Metode Rata-rata Aljabar
Cara perhitungan curah hujan daerah dari pengamatan curah
hujan di beberapa titik adalah salah satu dari beberpa metode.yaitu
metode Metode Rata-rata aljabar. Menurut Joesron (1987: V-1), “Metode
Rata-rata aljabar dipakai pada daerah yang datar dan mempunyai banyak
stasiun curah hujan, dengan anggapan bahwa di daerah tersebut sifat
curah hujannya adalah uniform”. Cara perhitungan metode Rata-rata
aljabar menurut Sosrodarsono (2003: 27) sebagai berikut.
𝐑 =𝟏
𝒏(𝐑𝟏 + 𝐑𝟐+. .…+ 𝐑𝐧)………………………………..….(1)
dimana :
R = curah hujan rata-rata (mm)
n = jumlah stasiun hujan
R1,R2,.R3 =besarnya curah hujan pada masing-masing stasiun hujan (mm)
b) Metode Thiessen
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Tentukan stasiun penakar curah hujan yang berpengaruh pada daerah
pengaliran,
2. Tarik garis hubungan dari stasiun penakar hujan / pos hujan tersebut,
3. Tarik garis sumbunya secara tegak lurus dari tiap-tiap garis hubung
tersebut,
11
4. Hitung luas DAS pada wilayah yang dipengaruhi oleh stasiun penakar
curah hujan tersebut.
Cara poligon Thiessen ini dipakai apabila daerah pengaruh dan
curah hujan rata-rata tiap stasiun berbeda-beda, Dimana rumus yang
digunakan untuk menghitung curah hujannya adalah sebagai berikut :
R=𝑨𝟏𝑹𝟏+𝑨𝟐𝑹𝟐+⋯+ 𝑨𝒏𝑹𝒏
𝑨𝟏+𝑨𝟐+⋯+𝑨𝒏 …………………………………………………………..(2)
dimana :
R1,…,Rn = Curah hujan di tiap stasiun pengukuran (mm)
A1,…,An = Luas bagian daerah yang mewakili tiap stasiun
pengukuran(km2)
R = Besarnya curah hujan rata-rata Daerah Aliran Sungai (DAS)
(mm)
Setelah luas pengaruh pada tiap-tiap stasiun didapat, koefisien Thiessen
dapat dihitung :
Ci = 𝑨𝒊
𝑨 × 𝟏𝟎𝟎 % ………………………………………………………………(3)
dimana :
Ci = Koefisien Thiessen
A = Luas total Daerah Aliran Sungai (km2)
Ai = Luas bagian daerah di tiap stasiun pengamatan (km2)
12
B. Peran Strategis Area Sabuk Hijau
Area sabuk hijau merupakan kebun koleksi tanaman pohon atau
kayu-kayuan (biasanya tanaman hutan) yang bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan salah satunya dalam ilmu teknik sipil. Manfaat lain yang
dapat diperoleh dari Area sabuk hijau adalah sebagai pengatur tata
air, pengendali erosi, pembentukan iklim mikro serta sebagai obyek
wisata/rekreasi alam. Istilah Area sabuk hijau sendiri pertama kali
digunakanoleh John Claudius Loudon padatahun 1833, walaupun
sebenarnya sudah ada konsepnya terlebih dahulu (Wikipedia, 2013). Area
sabuk hijau adalah semacam kebun botani yang yang ditanami berbagai
jenis tumbuhan untuk keperluan koleksi, penelitian, dan konservasi (di luar
habitat). Selain untuk penelitian, kebun botani dapat berfungsi sebagai
sarana wisata dan pendidikan bagi pengunjung (Wikipedia, 2013).
Untuk kegiatan penelitian, tumbuhan koleksi di dalam kebun botani
dipelihara dan diberi keterangan nama dan beberapa informasi lainnya
yang berguna bagi pengunjung. Dua tambahan penting bagi suatu kebun
botani adalah perpustakaan dan herbarium. Identifikasi/klasifikasi adalah
hal yang umum dilakukan di kebun botani. Kebun botani dapat pula
memiliki bangunan khusus untuk menumbuhkan koleksi yang tidak dapat
hidup pada iklim alami tempat itu atau memerlukan perawatan khusus.
Bangunan khusus ini dapat berupa rumah kaca atau klimatron dan iklim
buatan dapat dibuat di dalamnya (Wikipedia, 2013).
13
Untuk kegiatan konservasi, Area sabuk hijau merupakan koleksi
botani yang khusus diisi dengan jenis pepohonan, sehingga arboretum
dapat berfungsi sebagai kebun plasma nutfah pepohonan. Pada
umumnya Area sabuk hijau menampung semua jenis tanaman tahunan
(buah-buahan, industri, dan perkebunan), baik yang langka maupun yang
telah dibudidayakan. Penanaman pohon dalam kebun arboretum biasanya
disesuaikan dengan keadaan di alam, tanpa menganut system budidaya,
tanpa memperhatikan jarak tanaman atau arahnya. Namun tata letaknya
masih memperhatikan arah sinar matahari. dengan cara di atas, terkesan
arboretum tersebut sebagai hutan buatan (Komisi nasional Plasma Nutfah,
2002).
Sedangkan untuk kegiatan wisata, Area sabuk hijau merupakan
tempat wisata ilmiah yang lebih berorientasi kepada pendidikan bagi
pengunjungnya. Aspek inilah yang membedakan Area sabuk hijau dengan
obyek wisata umum lainnya. Lilis Sukartini (2012), menyatakan bahwa
konsep dasar perencanaan Area sabuk hijau dikenal sebagai upaya
meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap tumbuh-tumbuhan,
terutama pohon-pohonan melalui kegiatan yang bersifat kreatif.
14
C. Prinsip dan Mekanisme Erosi Permukaan
a. Pengertian Erosi
Erosi didefenisikan sebagai suatu peristiwa hilang atau terkikisnya
tanah atau bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat ketempat lain,
baik disebabkan oleh pergerakan air , angin dan/atau es.
Erosi juga dapat didefenisikan sebagai peristiwa pengikisan
padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi
angin, air atau es, karakteristik hujan, creep pada tanah dan material lain
di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup misal hewan yang
membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi. Erosi tidak sama dengan
pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses penghancuran
mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan
keduanya.
Erosi sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali,
namun dikebanyakan tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas
manusia dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan,
kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan, kegiatan
konstruksi/pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan
pembangunan jalan. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman
pertanian biasanya mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah
dengan vegetasi alaminya. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian
meningkatkan erosi, karena struktur akar tanaman hutan yang kuat
mengikat tanah digantikan dengan struktur akar tanaman pertanian yang
15
lebih lemah. Bagaimanapun, praktek tata guna lahan yang maju dapat
membatasi erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building, praktek
konservasi ladang dan penanaman pohon.
b. Jenis-Jenis Erosi
Berdasarkan tenaga pengikis, erosi dibedakan menjadi empat,
antara lain :
(1). Ablasi (Pengikisan oleh air)
Umum terjadi di wilayah iklim tropik (yang curah hujan sangat
tinggi).
Bentuk-bentuk Ablasi antara lain :
a).Erosi Percik (splash erosion)
Erosi ini berupa percikan partikel-partikel tanah halus yang
disebabkan oleh tetes hujan pada tanah dalam keadaan basah. Tanda-
tanda nyata adanya erosi percik pada musim hujan dapat dilihat pada
permukaan daun yang terdapat pada partikel tanah, adanya batuan kerikil
diatas lapisan tanah. Jadi, jenis erosi ini dapat diamati pada waktu musim
hujan.
Gamabar 1 : erosi percik (splash erosion)
16
b). Erosi Lembar (sheet erosion)
Erosi ini memecah partikel tanah pada lapisan tanah yang hampir
seragam, sehingga erosi ini menghasilkan kenampakan yang seragam.
Intensitas dan lamanya hujan melebihi kapasitas infiltrasi. Oleh karena itu,
laju erosi permukaan dipengaruhi oleh kecepatan dan turbulensi aliran.
Gambar 2: Erosi lembar (sheet erosion)
c). Erosi Alur (rill erosion)
Erosi ini menghasilkan alur-alur yang mempunyai kedalaman yang
kurang dari 30 cm dan lebar kurang dari 50 cm. Sering terjadi pada tanah-
tanah yang baru saja diolah.
Gambar 3: erosi alur (rill erosion)
17
d). Erosi Parit (gully erosion)
Erosi ini menghasilkan alur-alur yang mempunyai kedalaman lebih
dari 30 cm dan lebar lebih dari 50 cm.
Gambar 4 : Erosi Parit (ully erosion )
(2). Deflasi atau Korasi
Proses pengikisan batuan atau tanah yang dilakukan oleh angin
disebut Deflasi atau Korasi. Erosi oleh tenaga angin banyak terjadi di
daerah gurun atau kering. Bentuk-bentuk lahan yang dapat diamati akibat
erosi angin antara lain batu jamur. Contohnya adalah dapat membentuk
Mushroom Rock. Berdasarkan teori, adanya gurun pasir karena proses
pelapukan mekanis. Proses ini dimulai ketika suhu siang hari yang terik
memanasi batuan gurun sampai diatas 80 derajat celcius sehingga batuan
itu memuai. Selama beribu-ribu tahun, angin gurun mengeruk batuan yang
hancur dan mengangkut butiran- butiran pasir halus. Lama-lama pasir itu
menumpuk menjadi bukit pasir yang halus.
(3).Eksarasi (glasiasi)
Erosi oleh gletser dan sering disebut erosi glasial, yaitu erosi yang
terjadi akibat pengikisan massa es yang bergerak menuruni lereng dan
dapat terjadi di pegunungan tinggi yang tertutup salju, misalnya di
18
Pegunungan Alpen, Pegunungan Himalaya, dan Pegunungan Rocky. Ciri
khas bentuk lahannya adalah adanya alur-alur lembah yang arahnya
relatif sejajar. Erosi ini yang berlangsung lama dapat membuat lembah-
lembah yang dalam dengan bentuk seperti huruf U. Endapan erosi oleh
gletser disebut dengan MORAINE.
(4).Abrasi
Erosi berdampak juga pada perubahan muka Bumi. Abrasi (erosi di
pantai) yaitu erosi oleh air laut atau ombak yang dibantu dengan adanya
batu-batu kerikil dibawa pecahan ombak akan mengikis daerah sekitar
pantai dan kekuatan pengikisan sebanding dengan besarnya gelombang.
Kejadian seperti ini pernah terjadi di Jayapura, abrasi di sepanjang pantai
di Pulau Biak mencapai 75 m dari garis pantai. Sejumlah karang dan
pulau rusak bahkan tenggelam akibat pengikisan. Pulau-pulau yang
tenggelam tersebut sebelumnya merupakan objek wisata yang sangat
indah di pulau Biak. Jadi, proses abrasi dan erosi oleh tenaga gelombang
atau air laut yaitu:
a. Abrasi menghasilakan cekungan yang panjang pada garis pantai.
b. Kemudian, cekungan tererosi lebih lanjut menjadi gua.
c. Erosi lebih lanjut oleh gelombang menyebabkan runtuhnya atap gua ke
laut dan terbentuklah cliff (dinding terjal).
d. Erosi yang terus-menerus, menyebabkan cliff runtuh. Pada periode
waktu yang panjang, proses ini berlangsung terus-menerus
menyebabkan terbentuknya platform di kaki cliff.
19
Beberapa bentuk lahan akibat erosi oleh tenaga gelombang antara
lain, sebagai berikut :
1. Cliff, yaitu pantai yang berdinding curam sampai tegak.
2. Relung,yaitu cekungan-cekungan yang terdapat pada dinding cliff.
3. Dataran abrasi, yaitu hamparan wilayah yang datar akibat abrasi dan
dapat terlihat dengan jelas pada saat pasang surut.
(5). Erosi karena Gravitasi
Erosi karena gravitasi terjadi dalam bentuk gerakan tanah atau
tanah longsor, yaitu gerakan massa tanah dan atau batuan menuruni
lereng karena gaya gravitasi bumi. Gerakan tanah dapat terjadi dalam
bentuk, antara lain: rayapan tanah, tanah longsor, atau jatuhan.
(6). Erosi oleh Organisme
Erosi ini terjadi karena aktifitas organisme yang melakukan
pemboran, penggerusan atau penghancuran terhadap batuan. Erosi ini
disebut juga bioerosion.
Ada 2 macam erosi, yaitu:
(1). Normal/ Geological erosion, yaitu:
Erosi yang berlangsung secara alamiah, terjadi secara normal
dilapangan melalui tahap- tahap:
a) Pemecahan agregat- agregat tanah kedalam partikel- partikel tanah
yaitu butiran- butiran tanah yang kecil.
b) Pemindahan partikel- partikel tanah dengan penghanyutan ataupun
karena kekuatan angin.
20
c) Pengendapan partikel-partikel tanah yang terpindahkan atau terangkut
tadi ditempat-tempat yang lebih rendah atau didasar- dasar sungai.
Erosi secara alamiah dapat dikatakan tidak menimbulkan musibah
yang hebat bagi kehidupan manusia atau keseimbangan lingkungan dan
kemungkinan kerugianpun hanya kecil saja, ini dikarenakan banyaknya
partikel- partikel tanah yang dipindahkan atau terangkut seimbang dengan
banyaknya tanah yang terbentuk ditempat- tempat yang lebih rendah itu.
(2).Accelerated erosion, yaitu:
Dimana proses- proses terjadinya erosi tersebut yang dipercepat
akibat tindakan- tindakan dan atau perbuatan- perbuatan itu sendiri yang
bersifat negatif ataupun telah melakukan kesalahan dalam pengelolaan
tanah dalam pelaksanaan pertanian. Jadi dalam hal ini manusia
membantu mempercepat terjadinya erosi tersebut. Jenis erosi ini banyak
sekali menimbulkan petaka, karena memang lingkungannya telah
mengalami kerusakan- kerusakan, menimbulkan kerugian besar seperti
banjir, kekeringan ataupun turunnya produktifitas tanah.
c. Proses Terjadinya Erosi
Proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan :
1). pengelupasan (detachment),
2). pengangkutan (transportation), dan
3). pengendapan (sedimentation) ( Asdak, 2010)
Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu :
21
a). penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi
tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh
air yang tergenang, dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir tanah
oleh percikan hujan, dan
b). penghancuran struktur tanah diikuti pengangkutan butir-butir tanah
tersebut oleh air yang mengalir dipermukaan tanah. Secara skematis
proses terjadinya erosi diperlihatkan pada gambar 1
Gambar 6: Skema proses terjadinya Erosi Tanah (Arsyad, 1989)
Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan
tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan
mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air hujan yang mengalir
diatas permukaan tanah tergantung pada hubungan antara jumlah dan
intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas
penyimpanan air tanah. Kekuatan perusak air yang mengalir diatas
22
permukaan tanah akan semakin besar dengan semakin curam dan makin
panjang lereng permukaan tanah.
Tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas permukaan tanah dapat
memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan
perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan daya dispersi dan angkut aliran
air di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang
diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya akan
menentukan apakah tanah itu akan menjadi baik dan produktif atau
menjadi rusak (Arsad, 1989).
d. Faktor-Faktor Pemicu Erosi
Banyaknya erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk
besarnya dan intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu,
begitu pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi
termasuk tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya,
kemiringan lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi
lahan,makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan oleh
manusia.
Umumnya, dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area
dengan curah hujan tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin
atau badai tentunya lebih terkena erosi. sedimen yang tinggi kandungan
pasir atau silt, terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih
mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan pecah.
porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada
23
kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam
tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang
terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. Sedimen
yang mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi
daripada pasir atau silt. Dampak sodium dalam atmosfir terhadap
erodibilitas lempung juga sebaiknya diperhatikan
Faktor yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe
tutupan lahan. pada hutan yang tak terjamah, mineral tanah dilindungi
oleh lapisan humus dan lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi
tanah dengan meredam dampak tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta
serasah di dasar hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan.
Biasanya, hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja
yang akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila
Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat
peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. kebakaran yang
parah dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti
dengan hujan lebat. dalam hal kegiatan konstruksi atau pembangunan
jalan, ketika lapisan sampah / humus dihilangkan atau dipadatkan, derajad
kerentanan tanah terhadap erosi meningkat tinggi.
Pada dasarnya erosi dipengaruhi oleh tiga faktor utama, ketiga
kelompok tersebut meliputi :
1. Energi : hujan, air limpasan, angin, kemiringan dan panjang lereng.
24
2. Ketahanan : erodibilitas tanah (ditentukan oleh sifat fisik dan kimia
tanah).
3. Proteksi : penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada
atau tidaknya tindakan konservasi.
Jalan secara khusus memungkinkan terjadinya peningkatan
derajat erosi, karena selain menghilangkan tutupan lahan, jalan dapat
secara signifikan mengubah pola drainase, apalagi jika sebuah
embankment dibuat untuk menyokong jalan. Jalan yang memiliki banyak
batuan dan hydrologically invisible ( dapat menangkap air secepat
mungkin dari jalan, dengan meniru pola drainase alami) memiliki peluang
besar untuk tidak menyebabkan pertambahan erosi.
D. Erosivitas dan Erodibilitas vs Pengolahan Lahan
Salah satu persamaan yang pertama kali dikembangkan untuk
mempelajari erosi lahan adalah yang disebut persamaan Musgrave, yang
selanjutnya berkembang terus menjadi persamaan yang disebut Universal
Soil Loss Equation (USLE). USLE memungkinkan perencana memprediksi
laju erosi rata-rata lahan tertentu pada suatu kemiringan dengan pola
hujan tertentu untuk setiap macam-macam jenis tanah dan penerapan
pengelolaan lahan (tindakan konservasi lahan). USLE dirancang untuk
memprediksi erosi jangka panjang. Persaman tersebut dapat juga
memprediksi erosi pada lahanlahan (Listriyana, 2006). Model penduga
erosi USLE (universal soil loss equation) merupakan model empiris yang
25
dikembangkan di Pusat Data Aliran Permukaan dan Erosi Nasional, Dinas
Penelitian Pertanian, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA)
bekerja sama dengan Universitas Purdue pada tahun 1954 (Kurnia (1997)
cit Hidayat (2003)). Model tersebut dikembangkan berdasarkan hasil
penelitian erosi pada petak kecil (Wischmeier plot) dalam jangka panjang
yang dikumpulkan dari 49 lokasi penelitian. Berdasarkan data dan
informasi yang diperoleh dibuat model penduga erosi dengan
menggunakan data curah hujan, tanah, topografi dan pengelolaan lahan
(Hidayat, 2003).
Dalam penghitungan bahaya erosi sangat dipengaruhi oleh faktor
curah hujan, panjang lereng, kemiringan lereng, tanah, serta penutupan
lahan berikut tindakan pengelolaannya. Faktor utama penyebab erosi
yaitu curah hujan dan adanya aliran permukaan. Dengan faktor-faktor
tersebut, maka besar erosi dapat ditentukan dengan rumus Universal Soil
Loss Equation (USLE) yang dikembangkan Wischmeier dan Smith (1978),
cit. Listriyana (2006).
A = R X K X LS X CP…………….………………………………………..(4)
Dimana :
A = Erosi tanah tahunan (ton/ha)
R = Faktor Erosivitas (rain fall faktor)
K = Faktor Erodibilitas tanah
LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng
CP = Faktor Tutupan Lahan dan Konservasi Tanah
26
Rumus ini diperoleh dan dikembangkan dari kenyataan bahwa
erosi adalah fungsi erosivitas dan erodibilitas. Rumus diatas dikenal
dengan Persamaan Umum Kehilangan Tanah atau dalam bahasa Inggris,
Universal Soil- Loss Equation (USLE). Dalam menggunakan rumus ini di
satu wilayah di mana curah hujan dan jenis tanahnya relatif sama
sedangkan yang beragam adalah faktor-faktor panjang lereng,
kemiringan, serta pengelolaan lahan dan tanaman (L, S, P dan C).
Sedangkan R (erosivitas hujan) dan erodibilitas (K) relatif sama.
Implikasinya adalah bahwa pengendalian erosi dapat dilakukan melalui
pengendalian faktor L, sebagian S, P dan C. pengendalian faktor faktor itu
digabungkan ke dalam dua macam pengelolaan yakni pengelolaan lahan
dan pengelolaan tanaman. Rumus USLE tidak bisa digunakan untuk
menduga erosi tanah dari suatu lembah, sebab faktor-faktor tersebut di
atas tidak cocok untuk erosi parit dan/atau erosi bantaran sungai. Rumus
ini juga tidak dapat dengan tepat menghitung erosi satu kali kejadian
(Rahim, 2000).
Model penduga erosi USLE juga telah secara luas digunakan di
Indonesia. Disamping digunakan sebagai model penduga erosi wilayah,
model tersebut juga digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan
pemilihan teknik konservasi tanah dan air yang akan diterapkan, walaupun
ketepatan penggunaan model tersebut dalam memprediksi erosi wilayah
masih diragukan (Kurnia (1997), cit Hidayat (2003)). Hal ini disebabkan
27
karena model USLE hanya dapat memprediksi rata-rata kehilangan tanah
dari erosi lembar dan erosi alur, tidak mampu memprediksi pengendapan
sedimen pada suatu landscape dan tidak menghitung hasil sedimen dari
erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai (Wischmeier (1976), cit Hidayat
(2003)).
Berdasarkan hasil pembandingan besaran erosi hasil pengukuran
pada petak erosi standar (Wischmeier plot) dan erosi hasil pendugaan
diketahui bahwa model USLE memberikan dugaan yang lebih tinggi untuk
tanah dengan laju erosi rendah, dan erosi dugaan yang lebih rendah untuk
tanah dengan laju erosi tinggi. Dengan kata lain kekurang-akuratan hasil
pendugaan erosi pada skala plot, mencerminkan hasil dugaan model ini
pada skala wilayah akan mempunyai keakuratan yang kurang baik.
Disamping itu, model USLE tidak menggambarkan proses-proses penting
dalam proses hidrologi (Risse et al.(1993), cit Hidayat(2003)).
a. Faktor Erosivitas Hujan (R)
Faktor Erosivitas (R) hujan adalah tenaga pendorong (driving
force) yang menyebabkan terkelupas dan terangkutnya partikel-partikel
tanah ketempat yang lebih rendah. Oleh beberapa ahli dicoba untuk
memakai data hujan yang umumnya tersedia, karena untuk mendapatkan
nilai R terlebih dahulu diperlukan data curah hujan bulanan, jumlah hari
hujan, dan hujan maksimum. Perhitungan nilai erosivitas hujan dilakukan
dengan menggunakan data curah hujan 10 tahun dan data tersebut diolah
dengan menggunakan persamaan Bols (1978).
28
R = 6,119 x (Rain)1,21 x (Days)-0,47 x (Max p)0,53 .....................................(5)
Dimana ;
R = indeks erosivitas rata-rata bulanan
Rain = curah hujan rata-rata bulanan (cm)
Days = jumlah hari hujan rata-rata perbulan
Maxp = curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan
bersangkutan (cm)
b. Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas Tanah adalah tingkat kepekaan suatu jenis tanah
terhadap erosi. Kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas) tanah
didefinisikan oleh Hudson (1978) sebagai mudah tidaknya suatu tanah
tererosi. Secara lebih spesifik, Young et al. dalam veiche (2002)
mendefinisikan erodibilitas tanah sebagai mudah tidaknya tanah untuk
dihancurkan oleh kekuatan jatuhnya butir-butir hujan atau oleh kekuatan
aliran permukaan. Sementara Wischmeier dan Mannering (1969)
menyatakan bahwa erodibilitas alami tanah merupakan sifat kompleks
yang tergantung pada laju infiltrasi tanah dan kapasitas tanah untuk
bertahan terhadap penghancuran agregat (detachment) serta
pengangkutan oleh hujan dan aliran permukaan.
Faktor erodibilitas tanah yang diperoleh dari hasil percobaan
sifatnya sangat spesifik lokasi. Konsekuensinya, untuk mendapatkan
faktor erodibilitas tanah, banyak sekali percobaan yang harus dilakukan,
sehingga banyak menghabiskan banyak biaya dan waktu, juga akan
29
diperlukan banyak sekali plot-plot percobaan. Suatu pendekatan yang
lebih sederhana dilakukan adalah dengan menggunakan model prediksi,
dengan input data dan sifat-sifat tanah yang mudah diukur, dan
mempunyai koresi kuat dengan erodibilitas tanah. Nilai K dapat dilihat dari
tabel 3 untuk beberapa jenis tanah di Indonesia yang dikeluarkan oleh
dinas RLKT, Departemen Kehutanan RI
Tabel 1 faktor K dari Depertemen Kehutanan RI
Jenis Tanah Faktor erodibilitas (K)
Lotosol coklat kemerahan dan litosol Latosol kuning kemerahan dan litosol Latosol mediteran dan litosol Latosol kuning kemerahan Granusol Aluvial Regusol
0,43 0,36 0,46 0,56 0,20 0,47 0,47
(Sumber : Hardyatmo, 2006)
Kepekaan erosi tanah ini sangat dipengaruhi oleh tekstur,
kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah.
Nilai erodibilitas tanah dihitung dengan menggunakan rumus Weschmeier
dan smith (1978).
K = { 2,713 x 10-4 (12 – OM) M1,14 + 3,25 (S – 2) + 2,5 – (𝐏−𝟑)
𝟏𝟎𝟎……..…..(6)
Dimana:
M = persentase pasir sangat halus dan debu (diameter 0,05 – 0.1 dan
0,02 – 0,05mm) x (100-persentase tanah liat).
O = persentase bahan organik
S = kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi tanah
30
P = klas permebilitas tanah
Tabel 2 Penilaian struktur tanah
Kelas Struktur Tanah Nilai
Granuler sangat halus < (1 mm) Granuler halus (1-2 mm) Granuler sedang - kasar (2-10 mm) Gumpal, kubus, pipih atau masif
1 2 3 4
(Sumber : Suripin,2004)
Tabel 3 Kode Permeabilitas tanah
Klas Permeabilitas Cm/jam Nilai
Sangat Lambat Lambat Sedang sampai lambat (moderate to slow) Sedang (moderat) Sedang sampai cepat (moderate to rapid) Cepat (rapid)
<0,5 0,5-2,0 2,0-6,3
6,3-12,7
12,7-25,4
>25,4
6 5 4
3 2
1
(Sumber : Suripin ,2004)
Tabel 4 Nilai M persentase ukuran partikel (% Debu + % Pasir Sangat
Halus) x (100-% Liat) Untuk beberapa kelas tekstur tanah.
Kelas Tekstur Tanah Nilai M Kelas Tekstur Tanah Nilai M
Liat berat Liat sedang Liat berpasir Liat ringan Lempung liat berpasir Liat berdebu Lempung berliat
210 750 1213 1685 2160 2830 1830
Pasir Lempung berpasir Lempung liat berdebu Pasir berlempung Lempung Lempung berdebu Debu
3035 3245 3770 4005 4390 6330 8245
(Sumber : Suripin 2004)
31
c. Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS)
Nilai indeks panjang dan kemiringan lereng yang digunakan dalam
penelitian ini adalah indeks yang dikembangkan oleh Arsyad (1978).
Panjang dan kemiringan lereng mempengaruhi erosi secara fisik. Lereng
yang terjal lebih mudah memindahkan tanah dari tempat yang tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Nilai indeks panjang dan kemiringan lereng
dapat dilihat di Tabel 5
Tabel 5 Faktor Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng
NO Klas berdasarka
kemiringan lereng
(%)
Indeks LS
1 0 – 8 0,4
2 8-15 1,4
3 15-25 3,1
4 25-45 6,8
5 ≥45 9,5
[Sumber: Modifikasi Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng, Arsyad (2010:440)]
d . Faktor Tutupan Lahan (C) dan Konservasi Tanah (P)
Faktor C ditunjukan sebagai angka perbandingan yang
berhubungan dengan tanah hilang tahunan pada areal yang bervegetasi
dengan areal yang sama, jika suatu areal kosong dan ditanami secara
teratur, maka niilai faktor C berkisar antara 0,001 pada hutan tak
terganggu hingga 1,0 pada tanah kosong yang tidak ditanami. penentuan
Indeks tutupan lahan ini ditentukan dari peta tutupan lahan (landcover)
32
dan keterangan tutupan lahan pada peta sebagai satuan lahan ataupun
data yang langsung diperoleh dari lapangan.
Faktor konservasi tanah (P) merupakan tindakan pengawetan yang
meliputi usaha-usaha untuk mengurangi erosi tanah yaitu secara mekanis
maupun biologis / vegetasi. Nilai P ditentukan berdasarkan tabel indeks
konservasi tanah yang dilakukan. Pada kondisi tidak ada usaha
pengendalian erosi, diberikan nilai P sama dengan 1 dan kurang dari 1
untuk penggunaan lahan dengan penangan secara mekanis (Segel dan
Putuhena, 2005 dalam Hasibuan. R, 2009). Indeks penutupan lahan (C)
dan Indeks pengolahan lahan atau tindakan konservasi tanah (P) dapat
digabung menjadi faktor CP. Tabel di bawah ini menunjukkan Nilai CP
untuk berbagai faktor penggunaan lahan.
Tabel 6 Nilai CP untuk berbagai faktor penggunaan lahan
No Jenis Tata
Guna Lahan
CP
1 Belukar Rawa 0.01
2 Rawa 0.01
3 Semak/Belukar 0.30
4 Pertanian Lahan Kering Campur 0.19
5 Pertanian Lahan Kering 0.28
6 Perkebunan 0,50
7 Pemukiman 0.95
8 Hutan Lahan Kering Sekunder 0,01
9 Hutan Mangrove Sekunder 0.01
10 Hutan Rawa Sekunder 0.01
11 Hutan Tanaman 0.05
12 Sawah 0,01
13 Tambak 0.001
14 Tanah Terbuka 0.95
Sumber: Asdak.C, 1995
33
E. Toleransi Erosi Lahan Hijau
Besarnya laju erosi yang masih dapat ditoleransi dapat
diperkirakan dengan menggunakan rumus berikut ini
TSL = 𝐃𝐄𝐱𝐟𝐝
𝐓 + BD…………………………………………….…..(7)
Dimana :
TSL = laju erosi yang masih dapat ditoleransi (mm/th)
DE = kedalaman akar efektif (mm)
Fd = faktor kedalaman
T = umur guna sumberdaya tanah (tahun)
BD = berat jenis (gr/cm2)
Tabel 7 Faktor kedalaman beberapa Sub-order tanah
NO USDA Faktor Kedalaman Tanah 1 Tropepts 0.1 2 Udolls 0.1
3 Ustolls 0.1
4 Humox 0.1
5 Arents 0.1
6 Fluvents 0.1
7 Orthents 0.1
8 Psamments 0.1
9 Andepts 0.1
10 Hummods 0.1
11 Humults 0.1
12 Uderts 0.1
13 Ustearts 0.1 14 Aqualfs 0.9 15 Udalfs 0.9
16 Ustalfs 0.9 17 Aquents 0.9
(Sumber : Hummer, 1981 dalam Irwan Sukri Banuwa 2013) lanjutan tabel 7 hal 34
34
Tabel 8 nilai kedalaman efektif akar berdasarkan kelas lereng
NO Pengunaan lahan Kelas Lereng (%) Kedalaman efektif akar (mm)
1
HUTAN
8 – 15
15 – 25
25 – 40
≤ 300
300 – 600
300 – 600
2
KEBUN
8 – 15
15 – 25
25 – 40
300 – 600
300 – 600
300 – 600
Sumber : skripsi ino maret jauhari,2010
F. Penilaian Tingkat bahaya erosi (TBE)
Tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah
maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit
lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak
mengalami perubahan. Jumlah maksimum tanah hilang ini agar
produktivitas lahan tetap lestari, pada dasarnya harus lebih kecil atau
sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan
tanah. Akan tetapi untuk daerah-daerah yang digunakan untuk usaha
pertanian, terutama daerah berlereng, jumlah tanah hilang selalu lebih
besar dari tanah yang terbentuk. Karena itu untuk menentukan besarnya
erosi yang diperbolehkan kemudian dikembangkan batasan-batasan
seperti jangka waktu kelestarian tanah (resource life, kedalaman minimum
tanah yang diperbolehkan, dan sebagainya (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007).
35
Tingkat erosi pada dasarnya dapat ditentukan dari perhitungan
nisbah antara laju erosi tanah potensial (A) dengan laju erosi yang masih
dapat ditoleransikan (TSL) atau secara persamaan matematis dapat ditulis
sebagai berikut (Hammer, 1981):
TBE = 𝐀 𝐭𝐨𝐧/𝐡𝐚/𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧
TSL ton /ha /tahun …………..……………………………..(8)
Dimana:
A = laju erosi potensial
TSL = toleransi erosi
Prakiraan besarnya laju erosi potensial dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan USLE, sedangkan besarnya laju erosi yang
masih dapat ditoleransi dapat diprakirakan dengan menggunakan rumus
empiris.
Untuk menentukan tingkat bahaya erosi yang terjadi di Area sabuk
hijau kayuara berdasarkan metode Tingkat Erosi Finney dan Morgan
(Finney & Morgan, 1984 dalam Prawijiwuri, 2011)
Tabel 9 Kriteria tingkat bahaya erosi (TBE)
Erosi Tanah (Ton/ha/th)
Tingkat bahaya Erosi
(TBE)
< 15
15 - 60
60 - 180
180 - 480
> 480
Sangat ringan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
(Sumber : Finney & Morgan, 1984 dalam Prawijiwuri, 2011)
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini rencananya di Area sabuk hijau kayuara
Bendungan Bili-Bili secara administratif berada di Kecamatan Parangloe
Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini akan di
laksanakan pada bulan juli 2014 sampai bulan Agustus 2014.
Gambar 6 : peta gambar Sabuk Hijau kayuara bendungan Bili – bili
36
37
B. Pengambilan Data dan Sampel
Data yang dikumpulkan meliputi :
1. Data Sekunder :peta topografi, peta lereng, dan peta Area sabuk
hijau
2. Data Primer :penentuan wilayah dengan mengunakan GPS,
penentuaan titik koordinat, pengambilan sampel tanah, dan data
curah hujan
C. Rancangan Penelitian
1. Peralatan Survei
Peralatan yang digunakan untuk obsservasi lapagan diantaranya:
GPS, skop, meteran, ring sampel, kantong plastik untuk sampel tanah,
camera, dan alat tulis.
2. Jenis Pengujian
Jenis pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengujian observasi lapangan dan pengujian sampel di laboratorium.
a) Pengujian Observasi Lapangan
1. Pengambilan sampel tanah dengan mengunakan ring sampel untuk
pengujian sampel di laboratorium.
2. Pengukuran tingkat kemiringan lereng dengan mengunakan alat
clinometers. Adapun langkah – langkah dalam penentuan nilai tingkat
kemiringan lereng dengan alat clinometers:
38
a. Pertama – tama kami ambil posisi di bagian bawah permukaan lahan
miring yang akan diukur
b. kemudian mengarahkan klinometer ke pucuk pohon/tanaman yang
tingginya sesuai dengan tinggi badan kami yang terdapat di bagian atas
permukaan lahan yang diukur
c. Setelah itu pembacaan nilai kemiringan klinometer dalam bentuk
persen
d. kami ulangi pekerjaan ini paling sedikit dua kali untuk mendapatkan
nilai rata-ratanya
b) Pengujian Sampel Di Laboratorium
1. Permebilitas
Langkah – langkah untuk mendapatkan hasil permebilitas:
a. Persiapan bahan dan alat
b. Melapisi dinding pipa dan sekeliling lingkaran dasar pipa yang nantinya
ditempatkan specimen dengan Vaselin. Fungsi Vaselin tersebut untuk
memperkecil gesekan langsung dengan dinding pada waktu piping
terjadi.
c. Memasukkan specimen tiap lapisan di padatkan sampai mencapai
ketinggian dengan 15 cm, sesuai hasil uji test permeabilitas. Setelah itu
pada bagian paling atas specimen sekeliling lingkaran pipa dilapisi
Vaselin.
d. Mengalirkan air water supply yang sudah terisi penuh dengan debit
kecil, dengan membuka kran tanpa mengubah bukaan kran. Tandon air
39
berfungsi sebagai water supply, yaitu air dari tandon dihubungkan ke
alat uji permeabilitas, arah aliran air dari bawah ke atas, dalam hal ini
debit yang masuk lewat kran tidak konstan karena elevasi air pada
tandon berubah-ubah seiring dengan mengalirnya air ke alat tersebut.
e. Ketika air sudah melewati specimen pada bagian paling atas dan keluar
melewati lubang outflow, air yang keluar tersebut ditampung dengan
gelas ukur selama waktu tertentu, dalam penelitian ini waktu tertentu
tersebut selama 20 detik.
f. Apabila terjadi perubahan tinggi specimen, maka waktu pengukuran
diperpendek dan hasil bias di dapatkan.
2. C – Organik
a. Menimbang sampel tanah sebanayak 0.1 gram dan masukkan kedalam
labu erlenmayer.
b. Menambahkan 10 Ml K2Cr2O7 1 N sambil di kocok.
c. Menambahkan H2SO4 pekat 4 Ml, lalu di putar pada alas selama 1
menit dan mendiamkan 20 – 30 Menit
d. Menambahkan 40 Ml air suling dan 2 Ml H3PO4 85 % , 0.2 gram NaF,
dan 6 tetes indikator Difenilalanin.
e. Mentitrasi segera dengan 0.5 N Fe2SO4 1 N.
f. Mengulang cara kerja dari 1-5 pada waktu yang sama untuk
mendapatkan angka C - Organik
40
3. Berat Jenis (BD)
a. Cuci piknometer dengan air suling dan keringkan. Timbang piknometer
dan tutupnya dengan ketelitian 0,01 gram ( W1 ).
b. Masukkan benda uji kedalam piknometer dan timbang bersama
tutupnya dengan ketelitian 0,01 gram ( W2 ).
c. Tambahkan air suling sehingga piknometer terisi dua pertiga. Untuk
bahan yang mengandung lempung diamkan benda uji terendam selama
paling sedikit 24 jam.
d. Didihkan isi piknometer dengan hati – hati selama minimal 10 menit,
dan miringkan botol – botol sekali –sekali untuk mempercepat
pengeluaran udara yang tersekap.
e. saat mempergunakan pompa vacum tekanan udara didalam
piknometer atau botol ukur tidak boleh dibawah 100 mm Hg. Kemudian
isilah piknometer dengan air suling dan biarkan piknometer beserta
isinya untuk mencapai suhu konstrat didalam bejana air atau dalam
kamar. Sesudah suhu konstrat tambahkan air suling seperlunya sampai
tanda batas atau sampai jenuh.Tutuplah piknometer, keringkan bagian
luarnya dan timbang dengan ketelitian 0,01 gram ( W3 ). Ukur suhu dari
isi piknometer dengan ketelitian 1ºC.
f. Bila isi piknometer belum diketahui maka tentukan isinya sebagai
berikut. Kosongkan piknometer dan bersihkan. Isi piknometer dengan
air suling yang suhunya sama dengan suhu pada c dengan ketelitian
41
1ºC dan pasang tutupnya. Keringkan bagian luarnya dan timbang
dengan ketelitian 0,01 gram dan dikoreksi terhadap suhu, ( W4 ).
g. Pemeriksaan dilakukan ganda ( duplo ) dengan sampel benda uji
lain.Setelah proses tes berat jenis tanah selesai, berikutnya kita
menghitung berat jenis tanah dengan rumus sebagai berikut
Gs = ( W2 – W1 ) / ( ( w4 – w1 ) – ( W3 – W2 ) )
Gs = Berat jenis tanah
W1 = berat piknometer ( gram ).
W2 = berat piknometer dan bahan kering ( gram ).
W3 = berat piknometer, bahan dan air ( gram ).
W4 = berat piknometer dan air ( gram ).
Apabila hasil kedua pemeriksaan berbeda lebih dari 0,03
pemeriksaan harus diulang. setelah selesai melakukan percobaan yang
benar, dan mengulang – ngulang lagi ,langkah terakhir adalah
menentukan rata – rata hasil percobaan tersebut.
Dalam teknis survei pertama – tama melakukan persiapan.
Persiapan dimaksudkan untuk mengumpulkan data-data pendahuluan
seperti peta tanah, peta Area sabuk hijau dan peta topografi yang
menggambarkan kelerengan Sabuk hijau. Kemudian dipersiapkan alat-
alat yang akan dipergunakan pada pengamatan lapangan. Setelah itu
penentuan titik lokasi pengambilan sampel tanah dan pengambilan
sampel tanah dengan mengunakan ring sampel.
42
D. Metode Analisi Data
1. Analisis Data Curah Hujan
Data curah hujan di dapatkan kemudian di analisis dengan
metode aljabar untuk mendapatkan rata rata curah hujan rata-rata
bulanan, jumlah hari hujan rata-rata perbulan, curah hujan maksimum
selama 24 jam dalam bulan bersangkutan dari tiga stasiun curah hujan
(Stasiun Bili - bili DAM SITE, Stasiun Allukeke, Stasiun Songkolo)
untuk mendapatka nilai erosivitas. Erosivitas merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi laju erosi.
2. Parameter – parameter yang digunakan:
a. Erosivitas hujan (R)
b. Erodibilitas Tanah (K)
c. Panjang Lereng dan kemiringan Lereng (LS)
d. Faktor Tutupan Lahan dan Konservasi Tanah (CP)
3. Analisis Erosi
Untuk mengetahui nilai laju erosi pada Area sabuk hijau, maka
terlebih dahulu mengumpulkan data – data yang diperlukan untuk
melakukan perhitungan dalam menentukan besarnya laju erosi. Dalam
tugas akhir ini, langkah – langkah yang dikerjakan antara lain: mulai,
dengan berkonsultasi dengan dosen pembimbing mengenai materi dan
data – data yang dikumpulkan. Setelah materi ditentukan, selanjutnya
mengumpulkan data – data yang diperlukan. Data tersebut meliputi: data
43
hujan, jenis tanah, peta topografi dan peta tata guna lahan. Data tersebut
kemudian dimasukkan kerumus USLE.
Adapun persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation) yang
digunakan untuk menghitung besarnya laju erosi :
A = R x K x LS x CP
Dimana :
A = Erosi tanah tahunan (ton/ha)
R = Faktor Erosivitas (rain fall factor) MJ mm ha-1 hr-1 yr-1
K = Faktor Erodibilitas tanah (ton ha hr MJ-1 mm-1 ha-1)
LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng
CP = Faktor Tutupan Lahan dan Konservasi Tanah
4. Analisis Erosi Toleransi Lahan
Adapun persamaan yang di gunakan untuk menganalisis erosi
toleransi lahan yaitu :
TSL = 𝐃𝐄𝐱𝐟𝐝
𝐓 + BD
Dimana :
TSL = laju erosi yang masih dapat ditoleransi (mm/th)
DE = kedalaman akar efektif (mm)
Fd = faktor kedalaman
T = umur guna sumberdaya tanah (tahun)
BD = berat jenis (gr/cm2)
44
5. Analisis Tingkat Bahaya Erosi
Adapun persamaan yang di gunakan untuk menganalisis tingkat
bahaya erosi yaitu :
TBE = 𝐀 𝐭𝐨𝐧/𝐡𝐚/𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧
𝐓𝐒𝐋 𝐭𝐨𝐧/𝐡𝐚/𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧
Dimana:
A = laju erosi potensial
TSL = toleransi erosi
45
E. Flow Chart Penelitian/ Bagan Alur Penelitian
Penentuan Lokasi
Pengambilan Sampel
Pengumpulan Data
Selesai
Mulai
Data Sekunder :
Peta topografpi
Peta lereng
Peta area
arboretum
Peta pengunaan
lahan
data curah hujan
Data Primer :
Pengambilan sampel
tanah
penentuan wilayah
dengan mengunakan
GPS
penentuaan titik
koordinat
kemiringan lereng
Analisis Hidrologi
Perhitungan tingkat bahaya
erosi (TBE)
Perhitungan laju erosi potensial dengan
metode USLE
Uji Laboratorium
Perhitungan erosi yang dapat
di toleransi (TSL)
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi lokasi penelitian
a. Letak Administrasi dan Batas Geografis
Lokasi penelitian merupakan kawasan Sabuk hijau kayuara
salapang yang terletak di kecamatan Parangloe, kabupaten Gowa. Secara
geografis terletak pada posisi sebagai berikut: (1) Pengambilan sampel
pertama dilakukan pada penggunaan lahan mangga dan jati yang terletak
pada titik koordinat S 150 14’ 27,71” dan E 1190 36’ 07,50” dengan
ketinggian 124 m dpl. (2) Pengambilan sampel ke dua dilakukan pada
penggunaan lahan rambutan,nangka dan kopi yang terletak pada titik
koordinat S 150 14’ 27,05” dan E 1190 36’ 09,65” dengan ketinggian 122
m dpl. (3) Pengambilan sampel ke tiga dilakukan pada penggunaan lahan
jati dan akasia yang terletak pada titik koordinat S 050 14’ 09,29,36” dan E
1190 36’ 9,17” dengan ketinggian 118 m dpl.
Lokasi penelitian memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Belapunranga
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Borisallo
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Manuju
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Bontoparang
46
47
b. Vegetasi dan penggunaan lahan
Lokasi penelitian ini merupakan kawasan Arboretum kayuara
salapang yang ditanami berbagai jenis tumbuhan untuk keperluan
koleksi,penelitian, dan konservasi.
Vegatasi utama pada titik pengambilan sampel pertama seperti
mangga (Mangifera Indica) dan jati (Tectona Grandis L.F) dimana jarak
kerapatan tanaman 1 meter, vegatasi utama pada titik pengambilan
sampel kedua seperti rambutan (Niphelium lappaceum L) dan nangka ()
dimana jarak kerapatan tanaman 2,5 meter, vegatasi utama pada titik
pengambilan sampel ketiga seperti jati (Tectona Grandis L.F) dan akasia
(Acacia Mangium a.k.a) sedangkan tanaman sisipan seperti Kopi (Coffea
sp) tanaman paku seperti pakis
c. Topografi
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Lapangan diperoleh
bahwa lereng lokasi penelitian menghadap ke arah Selatan dengan
kondisi topografi bergelombang, serta terdapat bebatuan dengan berbagai
ukuran. Hasil pengukuran kemiringan lereng pada lahan titik 1, titik 2 dan
titik 3 menunjukkan kemiringan lereng masing-masing 24,57%, 27,33%,
dan 32,24%.
d. Curah Hujan
Wilayah Indonesia pada umumnya adalah beriklim tropis dengan
mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Musim penghujan biasanya mulai pada akhir Oktober sampai dengan Juni
48
dan musim kemarau dimulai pada bulan Juli sampai awal Oktober. Curah
hujan yang terjadi umumnya mempunyai intensitas curah hujan tahunan
rata-rata yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 61.17 – 444.00 mm/tahun
dengan jumlah hari hujan rata tahunan dalam satu tahun berkisar antara
6.33 – 27.17 hari/tahun.
B. Penilaian Erosivitas dan Erodibilitas Serta Tata Lahan
a). nilai faktor erosivitas (R)
Berdasarkan Faktor iklim yang paling mempengaruhi erosi adalah
hujan (Arsyad, 2010). Curah hujan merupakan faktor iklim yang sangat
berpengaruh terhadap terjadinya erosi. Arsyad (2010) juga menyatakan
bahwa besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan
kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran
permukaan serta tingkat kerusakan erosi yang terjadi.
Dalam menentukan nilai erosivitas hujan diperlukan data curah
hujan yang diperoleh dari Dinas PSDA Provinsi Sulawesi selatan selama
10 tahun terakhir (2004 -2013) pada 3 stasiun curah hujan yang berbeda
(metode aljabar) kemudian dihitung dengan menggunakan rumus Bols.
Nilai Erosivitas Hujan pada Sabuk hijau Kayuara dapat dilihat pada Tabel
10. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh nilai erosivitas hujan bulanan
dalam setahun, selanjutnya dijumlahkan maka didapat nilai erosivitas
hujan (R) pada Sabuk hijau kayuara yang relatif rendah yaitu sebesar
91,44.
49
Tabel 10 Nilai erosivitas hujan pada Sabuk hijau kayuara
Bulan Rain (cm)
Days (hari)
Max (cm)
Erosivitas Hujan Bulanan
Nilai R
1 2,87 19,3 9,72 18,19
91,44
2 2,64 15,1 7,58 16,18
3 2,21 13,3 6,48 12,74
4 1,52 11,7 4,09 6,74
5 1,60 6 3,34 8,82
6 0,83 5,4 1,84 3,05
7 0,39 2 0,79 1,25
8 0,17 1 0,27 0,36
9 0,31 1 0,61 1,16
10 0,64 4,1 1,78 2,49
11 1,36 10,1 3,79 6,07
12 2,39 18,4 9,09 14,39
Sumber ; hasil perhitungan
Nilai erosivitas hujan ini merupakan salah satu faktor penyebab
erosi karena dapat menghasilkan energi kinetik terhadap tanah yang
mampu memecah agregat dan kemudian dapat dengan mudah terjadinya
aliran permukaan dengan melakukan penggerusan pada tanah yang
dilaluinya. Tetesan air hujan tersebut mengakibatkan terhempasnya
partikel tanah ke udara yang kemudian jatuh kembali ke permukaan bumi
akibat gravitasi bumi dan sebagian partikel halus menutup pori-pori tanah
sehingga menyebabkan porositas menurun. Selain itu air hujan dapat pula
melarutkan tanah seperti halnya debu dan liat yang sebagian dapat
menghasilkan aliran permukaan dan sebagian lagi masuk ke dalam tanah
yang bisa mengakibatkan tertutupnya pori-pori tanah. Pada lahan miring
partikel-partikel tanah sebagian besar tersebar ke arah bawah searah
50
lereng. Daya tumbuk air hujan dalam memecah agregat sebagian besar
tergantung dari kecepatan jatuhnya air hujan, diameter hujan dan
intensitas hujan. Dalam Suripin (2002) menyatakan bahwa terlemparnya
partikel tanah sangat tergantung pada kecepatan jatuh butir air hujan dan
kondisi permukaan tanah.
Tetesan air hujan juga mampu menimbulkan pembentukan lapisan
tanah keras pada lapisan permukaan yang menyebabkan kapasitas
infiltrasi tanah menurun dan aliran permukaan semakin besar. Aliran air di
permukaan mempunyai akibat yang penting. Lebih banyak air yang
mengalir di permukaan tanah maka lebih banyak tanah yang terkikis.
Menurut Hakim (1986) bahwa curah hujan yang jatuh ke permukaan
tanah mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk memecahkan
gumpalan-gumpalan tanah. Kekuatan menghancurkan tanah dari curah
hujan jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan mengangkut dari
aliran permukaan. Erosivitas hujan yang tinggi biasanya spesifik untuk
berbagai wilayah dan hampir tidak dapat berubah. Namun, pengaruh
erosivitas yang tinggi dapat dikurangi dengan jalan melemahkan energi
kinetik butiran hujan sebelum sampai di permukaan tanah, misalnya
dengan tanah penutup lahan.
b). Faktor erodibilitas (K)
Untuk nilai erodibilitas tanah (K) di butuhkan kandungan bahan
organik dan persentase pasir, debu dan liat serta seberapa besar
kemampuan tanah dapat meloloskan air maka dilakukan pengujian lab
51
dari sampel tanah yang telah diambil dilapangan, untuk jenis tanah pada
lokasi 1 memiliki penggunaan lahan hutan. Diperoleh data-data sebagai
berikut :
Diketahui :
M = 74.81
O = 0.0201
S = granuler halus (1 – 2 mm) = 2 (tabel 2)
P = 1.8 (cm/jam) (Hasil analisis laboratorium)
K = { 2.713 x 10-4 (12 – OM) M1,14 + 3.25 (S – 2) + 2.5 x(P−3)
100
K = 0.000271 (12 – 0.02 x 74.81)74.811,14 + 2.5 (2 – 2) + 2,5 x (1.8 – 3)
100
K = 0,000271 x 1437.17 x 2.51
K = 0,39
Jadi nilai erodibilitas tanah (K) pada lokasi 1 untuk penggunaan lahan
hutan adalah 0.39
Table 11 nilai erodibilias (K) pada masing – masing lokasi
Lokasi Tekstur Bahan Organic
Permeabilitas (cm/jam)
K %
Pasir %
Debu % liat
Kelas tekstur
1
25
50
25
Lempung berdebu
2.01
1,8
0.39
2
30
32
38
Lempung berliat
1,68
1,6 0,33
3
31
30
39
Lempung berliat
1,69
0,8
0,32
Sumber : Analisis laboratorium
Erodibilitas tanah atau kepekaan tanah terhadap erosi (nilai K)
merupakan salah satu faktor yang menentukan besarnya erosi yang
52
terjadi pada suatu lahan di samping faktor-faktor lainnya. Sebagaimana
hasil analisis laboratorium yang kami dapat bahwa pada lokasi pertama
nilai erodibilitas sebesar 0,39. Sedangkan pada lokasi kedua dan ketiga
nilai erodibilitas masing – masing sebesar 0,33 dan 0,32. Nilai erodibilitas
suatu lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tekstur tanah,
bahan organik, dan permeabilitas.
i. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dari partikel tanah,
seperti pasir, debu dan liat dalam suatu massa tanah. Tekstur tanah akan
sangat menentukan sifat-sifat tanah yang lain, seperti kecepatan infiltrasi
dan kemampuan pengikatan air oleh tanah yang dapat menentukan terjadi
tidaknya aliran permukaan. Dalam Harjadi dan Agtriariny (1997)
mengatakan bahwa tekstur berpengaruh pada erodibilitas tanah yaitu
dengan semakin kasarnya tekstur tanah, maka nilai K akan cenderung
semakin besar yang berarti bahwa semakin tinggi nilai K maka tanah
tersebut akan semakin peka atau mudah tererosi. Sebaliknya semakin
halus tekstur suatu tanah, nilai K akan semakin rendah yang berarti tanah
tersebut resisten terhadap erosi. Tanah bertekstur kasar mempunyai
kapasitas infiltrasi yang tinggi, sedangkan tanah yang bertekstur halus
mempunyai kapasitas infiltrasi kecil, sehingga dengan curah hujan yang
cukup rendah pun akan menimbulkan limpasan permukaan.
53
ii. Bahan Organik
Menurut Winarso (2005), bahan organik tanah didefinisikan sebagai
sisa-sisa tanaman dan hewan di dalam tanah pada berbagai pelapukan
dan terdiri dari baik masih hidup maupun mati. Banyaknya bahan organik
yang terdapat di dalam tanah akan menentukan tingkat kesuburan serta
kondisi fisik maupun kimiawi tanah.
Bahan organik tanah itu sendiri dapat mempengaruhi nilai K karena
terkait dengan fungsi bahan organik sebagai bahan perekat tanah dalam
pembentukan agregat tanah. Maka dapat di lihat dari tabel 14 di dapatkan
nilai bahan organik pada lokasi pertama sebesar 2,01, nilai bahan organik
pada lokasi kedua sebesar 1,68, nilai bahan organik pada lokasi ketiga
sebesar 1,69. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya erosi yang
mempunyai kemampuan menggerus bahan organik yang sebagian besar
berada di tubuh tanah bagian atas. Selain itu juga ditunjukkan oleh
adanya tekstur yang cukup kasar. Menurut Purwanto et al, (2003), adanya
erosi tanah yang disebabkan oleh penggerusan tanah lapisan permukaan
memperlihatkan bahwa semakin besar erosi maka kandungan bahan
organik tanah menjadi semakin rendah. Bennet (1955) dalam Suripin
(2002) menyatakan bahwa fungsi bahan organic dalam pencegahan
terjadinya erosi antara lain dapat memperbaiki aerasi tanah dan
mempertinggi kapasitas air tanah serta memperbaiki daerah perakaran.
Sedangkan Tjwan (1968) dalam Suripin (2002) menyatakan bahwa
peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah menaikkan
54
kemantapan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan
daya tahan air tanah. Selanjutnya Darmawijaya (1961) dalam Suripin
(2002) menyatakan bahwa peranan bahan organik dalam pengendalian
tata air tanah antara lain :
a. Memperbaiki peresapan air ke dalam tanah.
b. Mengurangi aliran permukaan.
c. Mengurangi perbedaan kandungan air dalam tanah dan sungai antara
musim hujan dan musim kemarau.
Menurut Subagyono et al. (2004) bahwa bahan organik di dalam
tanah berfungsi sebagai perekat (Cementing Agent) dalam pembentukan
dan pemantapan agregat tanah, sehingga agregat tanah tidak mudah
hancur karena pukulan butir air hujan. Agregat tanah yang hancur menjadi
butir tunggal dapat menyumbat pori-pori tanah, sehingga kapasitas
infiltrasi tanah menurun dan tanah peka terhadap erosi. Penyumbatan pori
tanah yang berakibat pada pengurangan total pori juga akan berdampak
pada kapasitas tanah menahan air. Bahan organic berperan sebagai
pengikat partikel atau agregat mikro dibuktikan dalam penelitian Whitbread
(1995) cit Subagyono et al. (2004) yang menunjukkan bahwa stabilitas
agregat berukuran besar (macroagregates) meningkat dengan
meningkatnya kandungan bahan organik dan hasil penelitian mengenai
pemanfaatan residu tanaman di Australia dilaporkan Felton et al. (1987) cit
Strong dan Lefroy (1995) cit Subagyono et al. (2004) bahwa dengan
mempertahankan residu tanaman di lahan mampu meningkatkan
55
simpanan air sebagai akibat berkurangnya aliran permukaan dan
meningkatnya laju infiltrasi.
iii. Permeabilitas
Permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk dilewati lengas
tanah. Pada tabel 14 di dapatkan nilai permeabilitas pada lokasi pertama
sebesar 1,8, nilai permeabilitas pada lokasi kedua sebesar 1,6, nilai
permeabilitas pada lokasi ketiga sebesar 0,8. Permeabilitas sangat
tergantung pada ukuran butir tanah (tekstur), bentuk dan diameter pori-
pori tanah, dan tebal selaput lengas. Semakin halus tekstur tanah maka
permeabilitasnya akan semakin lambat. Namun apabila semakin kasar
maka permeabilitasnya semakin cepat. Perlindungan tanah dengan
tanaman penutup tanah akan memelihara kestabilan agregat dan
porositas sehingga kapasitas infiltrasi dan juga permeabilitas akan
meningkat. Tanah yang mempunyai struktur mantap terhadap pengaruh
air, memiliki permeabilitas dan draenasi yang sempurna serta tidak mudah
didispersikan oleh air hujan. Permeabilitas tanah dapat menghilangkan
daya air untuk mengerosi permukaan tanah, sedangkan draenasi
mempengaruhi baik buruknya pertukaran udara.
c). Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS)
Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan maka nilai panjang
dan kemiringan lereng (LS) sesuai dengan kemiringan lereng lokasi
pertama dengan mengunakan Clinometer yaitu 24,57 % maka dapat di
tentukan nilai LS = 3,1, pada lokasi kedua 27,33 nilai LS = 6,8 dan pada
56
lokasi ketiga 32,24 nilai LS = 6,8 ( penentuan nilai LS berdasarkan
kemiringan lereng pada Tabel 5)
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
erosi,kelerengan merupakan faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi erosi dan walaupun faktor lainnya secara bersama-sama
mempengaruhi terjadinya erosi, namun tidak begitu kuat secara sendiri-
sendiri. Semakin miring suatu lahan maka tingkat erosi yang dihasilkan
semakin tinggi pula, dengan kata lain tanah akan mudah tererosi. Pada
lahan datar, percikan butir air hujan melemparkan partikel tanah ke udara
ke segala arah secara acak, pada lahan miring, partikel tanah lebih
banyak yang terlempar ke arah bawah daripada yang ke atas, yang
semakin besar dengan meningkatnya kemiringan lereng. Selain
memperbesar kecepatan aliran permukaan, kecuraman lereng yang
semakin besar juga mampu memperbesar energi angkut aliran permukaan
dan jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke bagian bawah lereng oleh
tumbukan butir-butir hujan semakin banyak.
d). Faktor Tutupan Lahan dan Konservasi Tanah (CP)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lapangan di peroleh
nilai (CP) = 0,05 (tabel 6) yang termasuk dalam kategori hutan tanaman.
57
Tabel 12 Nilai Tutupan Lahan dan Konservasi Tanah (CP)
Lokasi CP
1 (Hutan produksi) 0,05
2 (Perkebunan) 0,50
3 (Hutan lindung)
0,05
Sumber : table 6 sesuai kondisi lokasi penelitian
Area sabuk hijau kayuara salapang merupakan daerah penelitian
terdiri dar 3 titik lokasi sampel penelitian yang mempunyai karakteristik
pengunaan lahan hutan dan lahan perkebunan. Pada lahan hutan jenis
tanaman berupa pohon jati, mangga, akasian dan pada lahan perkebunan
jenis tanaman berupa pohon pisang,nangka dan rambutan. Oleh karena
itu nilai penutup lahan dan nilai tindakan konservasi tanah berbeda, sesuai
dengan kondisi tanaman daerah sekitar lokasi penelitian. Semakin rapat
jarak tanam makan nilai penutup tanaman dan nilai tindakan konservasi
tanah semakin kecil, yang akan berpengaruh dengan besarnya laju erosi.
C. Laju Erosi Potensial Zona Sabuk Hijau
Perhitungan laju erosi dilakukan dengan menggunakan metode
USLE (Universal Soil Loss Equation). Yang di pengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu erosivitas (R), nilai erodibilitas (K), nilai panjang dan
kemiringan lereng (LS) dan faktor tindakan khusus konservasi tanah (CP).
Sehingga laju Erosi (A) dengan metode USLE (Universal Soil Loss
Equation) dapat di hitung dengan mengguanakan persamaan 4 :
58
Untuk menghitung nilai laju erosi potensial jenis penggunaan lahan
hutan.
Pada lokasi pertama (Hutan)
R = 91,44 (hasil perhitungan persamaan 5)
K = 0,39 (hasil perhitungan persamaan 6)
LS = 3,1 (tabel 12)
CP = 0.05 (tabel 13)
A= R × K × LS × CP
A = 91,44 × 0,39 × 3,1 x 0,05
A = 5,53 ton/ha/thn
Pada lokasi kedua (kebun)
R = 91,44 (hasil perhitungan persamaan 5)
K = 0,33 (hasil perhitungan persamaan 6)
LS = 6,8 (tabel 12)
CP = 0.5 (tabel 13)
A= R × K × LS × CP
A = 91,44 × 0,33 × 6,8 x 0,5
A = 102,59 ton/ha/thn
Pada lokasi ketiga (hutan)
R = 91,44 (hasil perhitungan persamaan 5)
K = 0,33 (hasil perhitungan persamaan 6)
LS = 6,8 (tabel 12)
CP = 0.05 (tabel 13)
59
A= R × K × LS × CP
A = 91,44 × 0,32 × 6,8 x 0,05
A = 9,95 ton/ha/thn
Tabel 13 Laju erosi petensial pada Area sabuk hijau kayuara
Lokasi Jenis
penggunaan lahan
R *)
K **)
LS ***)
CP ****)
A (ton/ha/thn)
1 Hutan produksi 91,44 0,39 3,1 0,05 5,53
2 Perkebunan 91,44 0,33 6,8 0,50 102,59
3 Hutan lindung 91,44 0,32 6,8 0,05 9,95
Sumber : hasil perhitungan
Untuk nilai laju erosi potensial pada lokasi hutan produksi yaitu
sebesar 5,53 ton/ha/thn, pada lokasi perkebunan yaitu sebesar 102,59
ton/ha/thn dan pada lokasi hutan lindung yaitu sebesar 9,95 ton/ha/thn
Pada lokasi Perkebunan laju erosi potensialnya tinggi disebabkan pada
penggunaan lahan kebun berada pada kemiringan terjal, komposisi jenis
tanaman yang berpengaruh terhadap faktor penutup lahan dan tindakan
konservasi lahan, serta struktur tajuk dan kerapatan jarak tanam yang luas
mengakibatkan pergerakan pada area tersebut sangat potesial untuk
terjadinya erosi , Sedangkan pada lokasi hutan produksi dan lokasi hutan
lindung tingkat laju erosi potensialnya relative rendah di banding dengan
lokasi Perkebunan karena pada lokasi tersebut mempunyai komposisi
tanaman dimana faktor penutup lahan dan tindakan konservasi lahan
sangat kecil meski secara kemiringan lereng tidak jauh berbeda dengan
Ket : *) dihitung dengan persamaan 5 ***) diambil dari tabel 12 **) dihitung dengan persamaan 6 ****) diambil dari tabel 13
60
lokasi perkebunan) dan struktur tajuk dan kerapatan tanamnya sangat
dekat sehingga air hujan tertahan pada daun-daunnya dan tidak langsung
jatuh ke tanah hanya dalam bentuk tetesan kecil yang jatuh ke permukaan
tanah mengakibatkan laju erosi relative ringan.
D. Besaran Erosi Toleransi Lahan
Untuk mengetahui nilai erosi yang dapat ditoleransi pada daerah
Area Arboretum Kayuara Salapang dapat dihitung menggunakan
persamaan 7:
Diketahui :
DE = 600 mm (tabel 8)
Fd = 1
T = 400 thn (untuk kepentingan pelestarian)
BD = 1,36 gr/cm3 (Analisis laboratorium)
TSL = DE x fd
T x BD
= 600 x 1
400 x 1,36
= 2,04 ton/ha/thn
Untuk perhitungan erosi yang dapat ditoleransikan (TSL) pada
lokasi kedua (Perkebunan) dan pada lokasi ketiga (hutan) dapat dilihat
tabel:
61
Tabel 14 Erosi yang dapat di toleransi (TSL)
Lokasi Jenis
penggunaan lahan
DE (mm)
Fd T BD
(gr/cm3) TSL
(ton/ha/thn)
1 Hutan produksi 600 1 400 1,36 2,04
2 Perkebunan 600 1 400 1,15 1,73
3 Hutan lindung 600 1 400 1,34 2,01 Sumber : analisis lapangan
Nilai kedalaman efektif tanah tidak berpengaruh terhadap erosi
yang dapat di toleransi karena tingkat perlakuannya sama. Namun nilai
berat jenis mempunyai pengaruh terhadap erosi yang dapat di toleransi.
Rata – rata nilai erosi yang dapat di toleransi berkisar 2,04 ton/ha/thn
untuk jenis penggunaan lahan hutan produksi (lokasi 1). Untuk lokasi jenis
penggunaan lahan perkebunan (lokasi 2) sebesar 1,73 ton/ha/thn. Untuk
lokasi jenis penggunaan lahan hutan lindung (lokasi 3) sebesar 2,01
ton/ha/thn. Pada area penggunaan lahan Hutan mempunyai nilai erosi
yang dapat di toleransi lebih tinggi dari penggunaan lahan perkebunan
karena nilai berat jenisnya relatif kecil sehingga agak peka terhadap laju
aliran permukaan.
E. Nilai Tingkat Bahaya Erosi
Dari hasil perhitungan laju erosi potensial dan erosi yang masih
dapat di toleransi dapat di ketahui seberapa besar tingkat bahaya erosi
yang terjadi di area arboretum kayuara dengan menggunakan persamaan
8 :
62
Pada lokasi pertama
Diketahui:
A = 5,53 ton/ha/tahun
TSL = 2,04 ton/ha/tahun
TBE = A ton / ha /tahun
TSL ton /ha /tahun
= 5,53 ton /ha /tahun
2,04 ton /ha /tahun
= 2,71 ton/ha/th
Pada lokasi kedua
Diketahui:
A = 102,59 ton/ha/tahun
TSL = 2,04 ton/ha/tahun
TBE = A ton /ha /tahun
TSL ton /ha /tahun
= 102,59 ton /ha /tahun
1,73 ton /ha /tahun
= 59,30 ton/ha/th
Pada lokasi ketiga
Diketahui:
A = 9,25 ton/ha/tahun
TSL = 2,01 ton/ha/tahun
TBE = A ton /ha /tahun
TSL ton /ha /tahun
63
= 9,25 ton /ha /tahun
2,01 ton /ha /tahun
= 4,60 ton/ha/th
Tingkat bahaya erosi pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga
masing – masing sebesar 2,71 ton/ha/th, 59,30 ton/ha/th dan 4,60
ton/ha/th dan pada loaksi pertama dan ketiga termasuk kriteria tingkat
bahaya erosi sangat ringan (< 15 ton/ha/thn) sedangkan pada lokasi
kedua termasuk kriteria bahaya erosi ringan (15 – 60 ton/ha/thn)
Table 15 Tingkat bahaya erosi (TBE)
Jenis penggunaan lahan A
(ton/ha/thn) TSL
(ton/ha/thn) TBE
(ton/ha/thn) Kriteria
Hutan produksi 5,55 2,04 2,71 Sangat ringan
Perkebunan 102,59 1,73 50,30 Sedang
Hutan lindung 9,25 2,01 4,60 Sangat ringan
Sumber : Hasil perhitungan
Berdasarkan dari hasil perhitungan pada tabel 16 dapat di ketahui
seberapa besar tingkat bahaya erosi ( TBE) yang terjadi di Area sabuk
hijau kayuara, rata-rata tingkat bahaya erosi (TBE) pada lokasi yang jenis
penggunaan lahan Hutan produksi (lokasi 1) yaitu berkisar 2,71 ton/ha/thn
dikategorikan sangat ringan ini disebabkan laju erosi potensial yang
dimiliki dengan sebesar 5,59 ton/ha/thn dengan nilai laju yang dapat
ditoleransikan 2,04 ton/ha/thn. Untuk lokasi yang jenis penggunaan lahan
Perkebunan (lokasi 2) yaitu berkisar 50,30 ton/ha/thn dikategorikan ringan
ini disebabkan laju erosi potensial yang dimiliki 102,59 ton/ha/thn dengan
nilai laju yang dapat ditoleransikan 1,73 ton/ha/thn. Dan untuk lokasi yang
jenis penggunaan lahan Hutan lindung (lokasi 3) yaitu berkisar 4,60
64
ton/ha/thn, dikategorikan sangat ringan ini disebabkan laju erosi potensial
yang dimiliki sebesar 9,25 ton/ha/thn dengan nilai laju yang dapat
ditoleransikan 2,01 ton/ha/thn. Tingkat bahaya erosi pada jenis
penggunaan lahan Hutan produksi (lokasi 1) dikategorikan sangat ringan
disebabkan jenis vegetasinya dan jarak tanamnya yang begitu rapat serta
faktor erodibilitasnya rendah sehingga menghambat laju aliran
permukaan, serta tingkat kelerengannya sedang. Untuk pengunaan lahan
Perkebunan (lokasi 2) dikategorikan ringan disebabkan berada pada
kemiringan lereng yang terjal dan tidak adanya tumbuhan bawah yang
dapat meredam lajunya air permukaan, faktor vegetasi dan jarak
tanamnya yang begitu renggang. Untuk penggunaan lahan Hutan lindung
(lokasi 3) dikategorikan sangat ringan disebabkan jenis vegetasinya dan
jarak tanamnya yang tak terlalu rapat serta faktor erodibilitasnya rendah
sehingga menghambat laju aliran permukaan, serta tingkat kelerengannya
curam.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil peninjauan bahwa faktor erosivitas yaitu sebesar
91,44 di mana setiap lokasi sama karna pada skala plot yang sama dan
faktor erodibilitas pada lokasi pertama (Hutan produksi) sebesar 0,39,
pada lokasi kedua (perkebunan) sebesar 0,33, pada lokasi ketiga
(Hutan lindung) sebesar 0,32 serta pada pengolahan lahan bisa di
dapatkan dari nilai konstanta yang sudah di tentukan berdasarkan jenis
vegetasinya dan penggunaan lahan, Laju erosi potensial untuk jenis
penggunaan lahan Hutan produksi memiliki laju erosi potensial sebesar
5,53 ton/ha/thn dan erosi yang dapat ditoleransi 2,04 ton/ha/thn, untuk
jenis penggunaan lahan Perkebunan memiliki laju erosi potensial
sebesar 102,59 ton/ha/thn dan erosi yang dapat ditoleransi 1,73
ton/ha/thn. Serta untuk jenis penggunaan lahan Hutan lindung memiliki
laju erosi potensial sebesar 9,25 ton/ha/thn dan erosi yang dapat
ditoleransi 2,01 ton/ha/thn.
2. Berdasarkan hasil perhitungan tingkat bahaya erosi (TBE) untuk jenis
penggunaan lahan Hutan produksi memiliki tingkat bahaya erosi
sebesar 2,71 ton/ha/thn termasuk sangat ringan, untuk jenis
penggunaan Perkebunan memiliki tingkat bahaya erosi sebesar 50,30
65
66
ton/ha/thn termasuk kriteria ringan. Dan untuk Jenis penggunaan lahan
Hutan lindung memiliki tingkat bahaya erosi sebesar 4,60 ton/ha/thn
termasuk kriteria sangat ringan.
B. Saran
Disarankan untuk penelitian lanjutan di fokuskan pada, efektivitas
konservasi teras batu pada area sabuk hijau dengan penambahan
konservasi sekat rumput.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F dan Widianto. 2004. Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. WorldAgroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Bogor. Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air.Edisi Kedua
CetakanKedua.Bogor: Institut Pertanian Bogor. hal.5-6, 52-56, 107-154, 354, 366-367, dan 375.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai .
Bandung: Gadjah Mada University Press. hal: 512. Azdan DM, Candra R, dan Samekto. 2008. Kritisnya Kondisi Bendungan di
Indonesia. Di dalam Seminar Komite Nasional Indonesia untuk Bendungan Besar (KNI-BB). Surabaya. 2-3 Juli 2008.
Bols, P . L. 1978. The iso-erodent map of Java and Madura. Belgian technical
Assistance Project ATA 105, Soil Research Institute, Bogor,Indonesia, 39 pp.
Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Diha, G. B. Hong,H. A. Bailey. 1986. Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung
Harjadi, B. dan S. Agtriariny. 1997. Erodibilitas Lahan Dan Toleransi Erosi PadaBerbagai Variasi Tekstur Tanah. Buletin Pengelolaan DAS No. III, 2 hal 19-28. Hidayat,Y.2003.Model Penduga Erosi. Tumoutou. net/ 6_sem2_023yayat_ hidayat. htm-99k. Diambil 9 Juni 2007. Jauhari Maret,I.2010.prediksi laju erosi di SUB – SUB Das Lengkese,hulu
Das Jeneberang,UNHAS Kartasapoetra, A.G, dkk. 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
Prawijiwuri, G. 2011. Model Erosion Hazard Untuk Pengelolaan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisokan Provinsi Jawa Barat. Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. Semarang. http://eprints.undip.ac.id/31493/1/tesis.pdf. Diakses tgl 22 oktober 2014.
Rachman, A., A. Abdurachman, U. Haryati, S. Sukmana. 1990. Hasil Hijauan
Legum, Panen Tanaman Pangan dan Pembentukan Teras Dalam SistemPertanaman Lorong. Risalah Pembahasan Hasil Pertanian Lahan Kering danKonservasi Tanah, Salatiga.
Risse, L. M., Nearing, M. A., Zhang, X. C., 1995. Variability in Green-Ampt
effective hydraulicconductivity under fallow conditions. Journal of Hydrology 169, 1-24.
Sukartaatmadja S. 2004. Perencanaan dan Pelaksanaan Teknis Bangunan
Pencegah Erosi. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Suripin, 2010, Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Penerbit Andi
Yogyakarta, Yogyakarta. Vadari, dkk. 2006. Model Prediksi Erosi : Prinsip, Keunggulan, dan
Keterbatasan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. hal.31-65. Wischmeier, W.H., dan D.D. Smith, 1978, Predicting Rainfall Erosion
losses: a guide to conservation planning. USDA Agriculture Handbook No. 537.
Williams, M. R., Fisher, T. R., Melack, J. M., 1997. Solute dynamics in soil water andgroundwater in a central Amazon catchment undergoing deforestation. Biogeochemistry38, 303-335.
Wikipedia, (2008), “Erosi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Erosi, diakses 10 mei
2014 jam 13.00
Lampiran 2 Dokumentasi Lapangan
Gambar 1 : Dokumentasi pengambilan sampel tanah pada lokasi pertama
Gambar 2 : Dokumentasi pengambilan sampel tanah pada lokasi ke dua
Gambar 3 : Dokumentasi pengambilan sampel tanah pada lokasi ke tiga
Gambar 4 : Dokumentasi pengambilan sampel tanah dengan menggunakan
ring sampel
Gambar 5. Clinometer (alat untuk pengukur kemiringan)
LAMPIRAN 1 : Data curah hujan tahun 2004 – 2013 dan analisis laboratorium
Stasiun Bili - bili DAM SITE (2004 – 2013)
TAHUN Bulan JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
2004
Jumlah hari hujan
24 20 19 15 6 3 2 0 2 8 18 25
Hujan max
83 113 44 61 22 15 2 0 5 32 40 129
Rata - rata 30 17 13 11 5 6 2 0 4 6 13 39
2005
Jumlah hari hujan
16 19 21 11 10 2 2 0 2 3 8 16
Hujan max
55 47 89 60 37 15 10 0 8 3 35 46
Rata - rata 16 21 20 15 10 10 7 0 5 2 17 13
2006
Jumlah hari hujan
15 13 15 11 6 2 3 0 0 11 15 16
Hujan max
54 39 61 26 32 15 11 0 0 41 46 77
Rata - rata 14 9 18 7 22 13 7 0 0 12 14 14
2007
Jumlah hari hujan
25 12 11 11 5 5 1 1 0 1 5 18
Hujan max
125 32 42 27 10 20 1 1 0 1 32 82
Rata - rata 21 13 16 10 5 8 1 1 0 1 11 16
2008
Jumlah hari hujan
14 17 8 14 5 10 0 2 1 8 8 28
Hujan max
25 63 86 28 23 27 0 20 4 26 43 80
Rata - rata 12 15 15 10 7 7 13 4 8 13 21
2009
Jumlah hari hujan
22 17 8 14 5 10 0 2 1 8 8 21
Hujan max
494 63 86 28 23 27 0 20 4 26 43 106
Rata - rata 37 15 15 10 7 7 0 13 4 8 13 25
2010
Jumlah hari hujan
23 13 8 15 9 1 3 0 3 2 8 25
Hujan max
101 64 32 42 32 12 40 0 8 9 41 78
Rata - rata 32 19 12 12 10 12 15 0 5 5 10 20
2011
Jumlah hari hujan
24 12 13 18 5 13 1 0 1 11 22 27
Hujan max
138 127 53 74 11 41 1 0 1 98 43 91
Rata - rata 29 62 17 13 5 9 1 0 1 16 13 31
2012
Jumlah hari hujan
14 13 16 14 5 1 1 0 1 9 13 17
Hujan max
66 48 44 34 54 2 3 0 1 15 69 287
Rata - rata 23 16 13 12 18 2 3 0 1 7 16 30
2013
Jumlah hari hujan
17 13 15 14 5 5 5 0 2 4 14 13
Hujan max
30 27 17 33 38 48 16 0 4 30 30 84
Rata - rata 11 11 5 9 17 11 4 0 4 11 14 13
Sumber : DINAS PSDA PROVINSI SULAWESI SELATAN
Stasiun ALLUKEKE (2004 – 2013)
TAHUN Bulan JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
2004
Jumlah hari hujan
21 15 22 10 8 2 0 0 0 0 5 19
Hujan max
90 82 93 34 34 5 0 0 0 0 6 85
Rata - rata 25 41 33 20 21 4 0 0 0 0 4 33
2005
Jumlah hari hujan
13 5 11 12 3 0 0 0 0 0 10 23
Hujan max
71 88 99 39 10 0 0 0 0 0 92 108
Rata - rata 28 33 29 19 8 0 0 0 0 0 20 23
2006
Jumlah hari hujan
17 14 10 8 3 6 0 0 0 0 2 11
Hujan max
142 68 100 75 65 75 0 0 0 0 25 125
Rata - rata 33 27 33 31 26 25 0 0 0 0 22 35
2007
Jumlah hari hujan
16 12 9 12 0 0 0 0 0 1 15 28
Hujan max
103 110 21 35 0 0 0 0 0 3 26 120
Rata - rata 31 39 13 19 0 0 0 0 0 3 10 29
2008
Jumlah hari hujan
21 27 20 10 5 7 4 0 0 5 20 17
Hujan max
74 100 73 53 34 20 4 0 0 48 113 175
Rata - rata 20 32 22 23 20 8 3 0 0 17 38 41
2009
Jumlah hari hujan
20 23 24 19 5 0 0 0 0 2 15 21
Hujan max
116 88 80 64 75 0 0 0 0 10 90 57
Rata - rata 39 24 23 29 55 0 0 0 0 8 32 25
2010
Jumlah hari hujan
27 14 12 16 16 10 9 10 5 9 22 23
Hujan max
92 97 88 35 46 35 20 20 80 56 66 80
Rata - rata 33 31 36 16 23 16 10 10 38 15 25 20
2011
Jumlah hari hujan
23 13 13 14 7 5 0 0 0 0 0 0
Hujan max
86 85 81 58 50 9 0 0 0 0 0 0
Rata - rata 30 39 27 16 15 5 0 0 0 0 0 0
2012
Jumlah hari hujan
20 19 20 15 13 6 2 0 3 2 7 17
Hujan max
9 5 17 10 5 4 3 0 3 1 5 4
Rata - rata 3 2 3 3 2 2 2 0 2 1 2 2
2013
Jumlah hari hujan
25 20 14 10 15 12 9 7 1 19 0 0
Hujan max
25 25 25 25 44 25 25 7 2 3 0 0
Rata - rata 22 18 14 16 17 16 13 3 2 2 0 0
Sumber : DINAS PSDA PROVINSI SULAWESI SELATAN
Stasiun SONGKOLO (2004 – 2013)
TAHUN Bulan JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
2004
Jumlah hari hujan
18 17 9 8 5 1 0 0 0 0 2 12
Hujan max
84 91 88 52 30 2 0 0 0 0 2 65
Rata - rata 37 31 38 13 19 2 0 0 0 0 2 28
2005
Jumlah hari hujan
12 6 7 11 1 3 0 0 0 0 8 18
Hujan max
68 70 63 30 8 9 0 0 0 0 56 100
Rata - rata 29 22 17 16 8 7 0 0 0 0 22 27
2006
Jumlah hari hujan
11 12 10 2 4 0 0 0 0 0 2 10
Hujan max
100 97 90 28 30 0 0 0 0 0 4 96
Rata - rata 45 37 34 16 14 0 0 0 0 0 3 24
2007
Jumlah hari hujan
15 14 8 9 0 0 0 0 0 1 13 25
Hujan max
105 100 9 21 0 0 0 0 0 2 25 108
Rata - rata 34 27 5 8 0 0 0 0 0 2 9 26
2008
Jumlah hari hujan
19 15 10 3 3 2 2 0 0 5 12 18
Hujan max
57 129 102 21 11 21 5 0 0 47 40 97
Rata - rata 18 42 40 10 6 16 4 0 0 22 17 35
2009
Jumlah hari hujan
27 19 9 5 0 0 1 0 0 0 0 20
Hujan max
88 60 27 2 0 0 30 0 0 0 0 118
Rata - rata 42 28 9 1 0 0 30 0 0 0 0 37
2010
Jumlah hari hujan
21 14 10 12 13 6 5 8 6 4 22 24
Hujan max
95 57 93 60 44 50 14 6 62 43 93 64
Rata - rata 45 17 40 29 20 27 6 4 25 18 28 17
2011
Jumlah hari hujan 12 13 19 19 3 0 0 0 0 8 18 24
Hujan max
160 92 112 50 175 0 0 0 0 33 26 85
Rata - rata 64 41 47 21 95 0 0 0 0 22 18 31
2012
Jumlah hari hujan
23 18 16 9 7 6 0 0 0 2 3 17
Hujan max
98 106 80 50 35 21 0 0 0 8 16 79
Rata - rata 31 23 28 18 13 9 0 0 0 7 11 28
2013
Jumlah hari hujan
24 15 13 9 7 15 11 1 0 0 8 20
Hujan max
83 100 50 72 23 55 52 8 0 0 30 100
Rata - rata 28 40 29 22 11 26 11 8 0 0 12 33
Sumber : DINAS PSDA PROVINSI SULAWESI SELATAN
Jumlah hari hujan rata-rata perbulan (DAYS)
Bulan Stasiun
jan
feb
mar
apr
may
jun
jul
aug
sep
oct
nov
dec
Bili – bili DAM SITE 19,4 14,9 13,4 13,7 6,1 5,2 1,8 0,5 1,3 6,5 11,9 20,6
ALLUKEKE 20,3 16,2 15,5 12,6 7,5 4,8 2,4 1,7 0,9 3,8 9,6 15,9
SONGKOLO 18,2 14,3 11,1 8,7 4,3 3,3 1,9 0,9 0,6 2 8,8 18,8
Rata - rata 19,3 15,1 13,3 11,7 6 5,4 2 1 1 4,1 10,1 18,4
Sumber : hasil perhitungan
curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan bersangkutan (MAXP)(mm)
Bulan Stasiun
jan
feb
mar
apr
may
jun
jul
aug
sep
oct
nov
dec
Bili – bili DAM SITE 117,1 62,3 55,4 41,3 28,2 22,2 8,4 4,1 3,5 28,1 42,2 106
ALLUKEKE 80,8 74,8 67,7 42,8 36,3 17,3 5,2 2,7 8,5 12,1 42,3 75,4
SONGKOLO 93,8 90,2 71,4 38,6 35,6 15,8 10,1 1,4 6,2 13,3 29,2 91,2
Rata - rata 90,23 75,76 64,83 40,90 33,36 18,43 7,90 2,73 6,06 17,83 37,90 90,86
Sumber : hasil perhitungan
Jumlah hari hujan rata-rata perbulan (DAYS)(mm)
Bulan Stasiun
jan
feb
mar
apr
may
jun
jul
aug
sep
oct
nov
dec
Bili – bili DAM SITE 22,5 19,8 14,4 10,9 10,6 8,5 4 2,7 2,8 7,6 13,4 22,2
ALLUKEKE 26,4 28,6 23,3 19,2 18,7 7,6 2,8 1,3 4,2 4,6 15,3 20,8
SONGKOLO 37,3 30,8 28,7 15,4 18,6 8,7 5,1 1,2 2,5 7,1 12,2 28,6
Rata - rata 28,73 26,40 22,13 15,67 15,96 8,26 3,97 1,73 3,17 6,43 13,63 23,87
Sumber : hasil perhitungan
Lampiran 3 : Peta lokasi penelitian