kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Aceh sebagai bagian wilayah Indonesia termasuk daerah yang luas
lautnya, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian nelayan. Di Propinsi
Aceh, hasil tangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh musim dan kondisi alam.
Misalnya, pada musim panen raya banyak hasil perikanan tidak termanfaatkan, tetapi
pada musim paceklik hasilnya sangat minim dan harganya menjadi melambung. Pada
sisi lain waktu panen raya ini, sering terjadi bersamaan pada banyak daerah di Aceh,
sehingga terjadilah penumpukan hasil-hasil ikan di berbagai daerah sentra pruduksi.
Hal ini menyebabkan tangkapan nelayan tidak layak jual, yang akhirnya pendapatan
mereka menurun.
Hasil tangkapan ikan dapat bertahan lama bila dilakukan proses pengawetan. Salah
satu proses pengawetan yang umum digunakan adalah proses pengawetan fisis yaitu
dengan cara pengeringan [1]. Salah satu ikan kering yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat di Aceh adalah ikan teri, ikan teri merupakan ikan kering yang proses
pembuatan dengan menggunakan sistem pengering tradisional yaitu dengan
menjemur langsung. Proses pengeringan dengan menjemur langsung sering
terkendala karena faktor cuaca dan faktor hasil produk yang tidak higienis karena
terkontaminasi dengan udara disekitar lokasi penjemuran. Sistim pengering
mengunakan energi matahari secara tradisional dengan cara penjemuran di alam
terbuka di bawah sinar mataharidimana bahan dihamparkan di lantai semen, atau
anyaman bambu, atau tikar telah lama dipergunakan. Saat ini pengering
memanfaatkan solar dengan menggunakan kolektor terus dikembangkan.
Sistim pengeringan mengunakan energi matahari secara tradisional yaitu
dengan cara penjemuran di alam terbuka di bawah sinar matahari dimana bahan
dihamparkan di lantai semen, atau anyaman bambu, atau tikar telah lama
dipergunakan. Saat ini pengering memanfaatkan panas matahari dengan
menggunakan kolektor terus dikembangkan. Kelebihan alat ini adalah bahan yang
dikeringkan ketika hujan dan malam tiba tidak perlu dipindahkan.
Selain pengeringan dengan sistem tersebut diatas, pengeringan dapat
dilakukan dengan bantuan alat pengering mekanis. Pengeringan secara mekanik
menggunakan peralatan dan sumber energi dengan bantuan energi minyak, gas atau
bahan bakar lainnya. Kelebihan alat ini diantaranya dapat dioperasikan tanpa
hambatan iklim, kualitas pengeringan dapat terkontrol, hemat tenaga kerja, dan waktu
pengeringan dapat diatur. Namun disamping kelebihan alat pengering ini juga
mempunyai kelemahan-kelemahan. Diantaranya, dengan mengunakan energi bahan
bakar diyakini objek pengeringan yang bersentuhan langsung dengan gas asap
pembakaran sering terpolusi bau gas asap, karena bahan bakar yang tidak habis
terbakar (pembakaran kurang sempurna), dengan bahan bakar juga akan mahal
kemudian energi panas pembakaran tidak efektif jika dimanfaatkan pada ruang
terbuka karena akan menyebar keluar dari daerah pemanasan yang diinginkan, dan
temperatur ruang pengering sering tidak seragam, sehingga jika ketidak seragaman
temperatur fuida pengering yang mengalir melalui ruang/lemari pengering tersebut
tidak teratasi, maka hasil pengering akan menurun kualitasnya yang diakibatkan oleh
tidak meratanya suhu pengering yang diterima setiap produk yang dikeringkan [3].
Penggunaan udara panas semangkin meningkat untuk mengeringkan produk-
produk perikanan dan juga pertanian. Banyak institusi maupun perorangan telah
melakukan studi pengeringan untuk hasil-hasil perikanan dan pertanian. Akan tetapi
kajian ini lebih memfokuskan pada bidang perikanan.
Atas dasar permasalahan tersebut di atas, diperlukan pengkajian suatu model
teknologi tepat guna yang akan digunakan setelah pasca panen perikanan. Pengkajian
lebih lanjut terhadap karakteristik distribusi temperatur dan pola aliran fluida
pengering pada peralatan pengering untuk mendapatkan sistim dan peralatan
pengering yang optimal dengan menggunakan energi bahan bakar dan temperatur
yang lebih merata di dalam tiap-tiap rak yang terdapat pada ruang pengering. Dalam
artian teknologi relatif murah, mudah dibuat, mudah dioperasikan dan dapat
digunakan untuk berbagai macam bahan pengeringan.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, dalam rangka penyelesaian studi pada
Program Studi Magister Teknik Mesin Unsyiah, maka akan dilakukan penelitian
dengan Judul : Kajian Sistem Kolektor Panas Matahari Untuk Pengering.
1.2 Perumusan Masalah
Penggunaan pengering tradisional masih terbatas dengan keadaan cuaca dan
waktu pengeringan, serta kondisi udara dilingkungan dapat membuat pengeringan
ikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengeringan yaitu faktor yang
berhubungan dengan peralatan yang mengatur distribusi udara pengering, dan faktor
lain adalah yang berhubungan dengan karakteristik bahan yang dikeringkan. Faktor-
faktor yang masuk golongan pertama adalah distribusi temperatur, pola aliran, dan
kecepatan volumetrik aliran udara pengering, serta kelembaban udara yang berada
dalam ruang pengeringan. Batasan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian
ini adalah laju aliran dengan dimensi kolektor.
Dalam menjawab permasalahan tersebut di atas, maka dibuat suatu sistem
peralatan pengering yang mampu memberikan panas yang baik bagi alat pengering
dengan mendesain kolektor penyimpan panas dengan variasi aliran panas berbeda-
beda. Pengering terdiri atas empat bagian utama yaitu ruang pembakaran, saluran
udara panas, ruang pengeringan, dan cerobong dan untuk menganalisis sistem
tersebut digunakan konsep kesetimbangan perpindahan massa dan panas (heat and
mass transfer).
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui karakteristik perpindahan
panas dan pola aliran fluida pada Ruang Sistem Pengering hasil perikanan dengan
Solar dan Bahan Bakar. Dengan diketahuinya karakteristik perpindahan panas dan
pola aliran fluida maka akan diperoleh kerja alat yang optimum.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Terciptanya suatu alat pengering praktis yang efisien dan dapat digunakan untuk
mengeringkan ikan.
2. Mendapatkan desain kolektor yang baik untuk effesiensi waktu pengeringan
3. Menghasilkan produk yang dikeringkan sesuai standar pasar.
4. Memberikan kontribusi dalam pengembangan sistem teknologi pasca panen
untuk hasil perikanan, yang akhirnya mampu meningkatkan penghasilan disektor
tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini akan bertambahnya teknologi dan peralatan pengering
yang sesuai dengan potensi yang ada di Aceh dengan harapan alat pengering ini
dapat:
1. Peralatan pengering ini dapat dimanfaatkan oleh nelayan maupun pengusaha
yang bergerak dibidang hasil-hasil perikanan dalam menanggulangi permasalahan
pada pengolahan produk-produk perikanan untuk memenuhi permintaan pasar
domistik maupun komuditi eksport.
2. Mempopulerkan dan mengaplikasikan hasil penelitian (rekayasa) alat pengering
yang optimal dan efisisen.
3. Memberikan kemudahan dalam membuat peralatan pengering yang menggunakan
bahan yang ramah lingkungan serta pengering yang tidak begitu tergantung
dengan perubahan cuaca.
3. Disamping itu juga dengan sempurnanya dan efisien sistim pengering yang
dipunyai oleh para exportir Indonesia yang bergerak pada bidang hasil-hasil
perikanan akan memperoleh nilai tambah dan meningkatnya kemampuan bersaing
dari produk-produk Indonesia di pasar perdagangan internasional
4. Dengan studi ini dimaksudkan, terciptanya sistim dan peralatan pengering yang
sesuai dengan keadaan daerah khususnya di Aceh, agar permasalahan
pengeringan perikanan bisa diatasi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan
Prinsip dasar proses pengeringan adalah terjadinya pengurangan kadar air atau
penguapan kadar air oleh udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara
sekeliling dan bahan yang dikeringkan. Penguapan ini terjadi dikarenakan kandungan
air di udara mempunyai kelembaman yang cukup rendah [7].
Pada saat proses pengeringan, akan berlangsung beberapa proses, yaitu:
- Proses perpindahan massa, proses perpindahan massa uap air atau pengalihan
kelembaban dari permukaan bahan ke sekeliling udara.
- Proses perpindahan panas, akibat penambahan (perpidahan) energi panas
terjadilah proses penguapan air dari dalam bahan ke permukaan bahan atau proses
perubahan fasa cair menjadi fasa uap.
Kedua proses tersebut diatas dilakukan dengan cara menurunkan kelembaban
relatif udara dengan mengalirkan udara panas disekeliling bahan sehingga tekanan
uap air bahan lebih besar dari tekanan uap air di udara sekeliling bahan yang di
keringkan. Perbedaan tekanan ini menyebabkan terjadinya aliran uap air dari bahan
ke udara luar. Untuk meningkatkan perbedaan tekanan udara antara permukaan
bahan dengan udara sekelilingnya dapat dilakukan dengan memanaskan udara yang
dihembuskan ke bahan. Makin panas udara yang dihembuskan mengeliling bahan,
maka banyak pula uap air yang dapat di ditarik oleh udara panas pengering [2].
Energi panas yang berasal dari hasil pembakaran menyebabkan naiknya
temperatur ruang pembakaran. Karena adanya perbedaan temperatur antara ruang
pembakaran dengan lemari pengering, maka terjadi perpindahan panas konveksi
alamiah di dalam alat pengering. Udara panas didalam lemari pengering mempunyai
densitas yang lebih kecil dari udara panas di ruang pembakaran sehingga terjadi aliran
udara [6].
Cara perpindahan panas konveksi erat kaitannya dengan gerakan atau aliran
fluida. Salah satu segi analisa yang paling penting adalah mengetahui apakah aliran
fluida tersebut laminar atau turbulen. Dalam aliran laminar, aliran dari garis aliran
(streamline) bergerak dalam lapisan-lapisan, dengan masing-masing partikel fluida
mengikuti lintasan yang lancar serta malar (kontiniu). Partikel fluida tersebut tetap
pada urutan yang teratur tanpa saling mendahului. Sebagai kebalikan dari gerakan
laminar, gerakan partikel fluida dalam aliran turbulen berbentuk zig-zag dan tidak
teratur. Kedua jenis aliran ini memberikan pengaruh yang besar terhadap perpindahan
panas konveksi.
Bila suatu fluida mengalir secara laminar sepanjang suatu permukaan yang
mempunyai suhu berbeda dengan suhu fluida, maka perpindahan panas terjadi dengan
konduksi molekular dalam fluida maupun bidang antara (interface) fluida dan
permukaan. Sebaliknya dalam aliran turbulen, mekanisme konduksi diubah dan
dibantu oleh banyak sekali pusaran-pusaran (eddies) yang membawa gumpalan-
gumpalan fluida melintasi garis aliran. Partikel-partikel ini berperan sebagai
pembawa energi dan memindahkan energi dengan cara bercampur dengan partikel
fluida tersebut. Karena itu, kenaikan laju pencampuran (atau turbulensi) akan juga
menaikkan laju perpindahan panas dengan cara konveksi [11].
Pengaruh aliaran laminar dan turbulen telah diselidiki dalam konveksi
alamiah, aliran laminar terjadi bila (104 < Ra < 109), transisi dari aliran laminar ke
turbulen terjadi pada (Ra ~ 109) dan aliran turbulen terjadi bila (109 < Ra < 1012),
bergantung pada sistem geometrik [12] dan [13].
Karakteristik perpindahan panas alamiah dapat dinyatakan dengan
menggunakan Angka Rayleigh dan Angka Nusselt [14].
Untuk menganalisa distribusi temperatur dan laju perpindahan panas pada
Peralatan pengeringan, diperlukan neraca energi disamping analisis dinamika fluida
dan analisis lapisan batas yang terjadi. Setelah kita melakukan neraca energi terhadap
sistem aliran itu, dan kita tentukan pengaruh aliran itu terhadap beda temperatur
dalam fluida maka distribusi temperatur dan laju perpindahan panas dari permukaan
yang dipanaskan ke fluida yang ada diatasnya dapat diketahui [15].
Keseimbangan energi panas dapat di lihat dari rumusan berikut :
Qudout=mud C p dT=Qin=mair Lhair (2-1)
Perpindahan panas konveksi dinyatakan dalam bentuk :
Qkonveksi = hc. A. dT (2-2)
Pada sistem konveksi bebas dikenal suatu variabel tak berdimensi baru yang
sangat penting dalam penyelesaian semua persoalan konveksi alami, yaitu angka
Grashof Gr yang peranannya sama dengan peranan angka Reynolds dalam sistem
konveksi paksa, didefenisikan sebagai perbandingan antara gaya apung dengan gaya
viskositas di dalam sistem aliran konveksi alami [15] ;
Grf =
g . β (T w+T ∞) L3
v2 (2-3)
Dimana koefisien muai volume β untuk gas ideal, β = 1/T.
Koefisien perpindahan panas konveksi bebas rata-rata untuk berbagai situasi
dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi :
Nuf =
hc . k
L = C (Grf Prf )m (2-4)
dimana subskrip f menunjukkan bahwa semua sifat-sifat fisik harus dievaluasi pada
suhu film,
T f=T∞+Tw
2 (2-5)
Produk perkalian antara angka grashof dan angka Prandtl disebut angka Rayleigh :
Ra = Gr . Pr (2-6)
2.2 Konveksi Bebas dan Aliran Fluida Pada Plat Miring
Orientasi kemiringan pelat apakah permukaannya menghadap atas atau
kebawah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bilangan nusselt. Untuk
membuat perbedaan ini Fuji dan Imura [15] memberikan tanda sudut θ seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.1 sebagai berikut :
a. Sudut θ adalah negatif jika permukaan panas menghadap keatas.
b. Sudut θ adalah positif jika permukaan panas menghadap kebawah.
Menurut Fuji dan Imura untuk plat miring dengan permukaan panas
menghadap kebawah pada jangkauan + θ < 80 oC ; 105 < Gr.Pr < 10 11 bentuk
korelasinya adalah :
Nu = 0.56 (GrL.Pr cos θ)1/4 (2-7)
Gambar 2.1 Konsep positif dan negatif pada plat miring
(Sumber : Raldi A. Kastoer)
Untuk plat dengan kemiringan kecil (88 o < θ < 90 o) dan permukaan panas
menghadap ke bawah maka persamaannya :
Nu = 0,58 (GrL.Pr)1/5 (2-8)
Untuk Plat miring dengan permukaan panas menghadap keatas dalam
jangkauan GrL.Pr < 1011 ; GrL > Grc ; dan -15 o < θ < -75 o bentuk korelasinya adalah
Nu = 0.145 [(GrL.Pr)1/3 – (Grc.Pr)1/3] + 0,56 (Grc.Pr cos θ)1/4 (2-9)
Untuk plat miring, panas (atau dingin) relatif terhadap temperatur fluida, plat
sejajar dengan vektor gravitasi, dan gaya apung yang terjadi menyebabkan gerakan
fluida ke atas atau ke bawah. Bagaimanapun, jika platnya membentuk sudut terhadap
gravitasi, gaya apung mempunyai komponen normal terhadap permukaan plat.
Dengan adanya pengurangan gaya apung yang paralel terhadap plat, juga
terjadi penurunan kecepatan fluida sepanjang plat, dan bisa diperkirakan bahwa juga
terjadi penurunan pada perpindahan panas konveksi. Tetapi penurunan itu terjadi
apakah perpindahan panasnya berasal dari atas atau bawah permukaan dari plat.
2.3 Konveksi Bebas dan Aliran Fluida Pada Plat Vertikal
Ketika suatu plat rata vertikal dipanaskan maka akan terbentuklah suatu
lapisan batas konveksi bebas, Profil kecepatan pada lapisan batas ini tidak seperti
profil kecepatan pada lapisan batas konveksi paksa [15]. Pada gambar 2.3 dapat
dilihat profil kecepatan pada lapisan batas ini, dimana pada dinding, kecepatan adalah
nol, karena terdapat kondisi tanpa gelincir (no-slip); kecepatan itu bertambah terus
sampai mencapai nilai maksimum, dan kemudian menurun lagi hingga nol pada tepi
lapisan batas. Perkembangan awal lapisan batas adalah laminar, tetapi suatu jarak
tertentu dari tepi depan, bergantung pada sifat-sifat fluida dan beda suhu antara
dinding dan lingkungan, terbentuklah pusaran-pusaran ke lapisan batas turbulen pun
mulailah terjadi. Selanjutnya, pada jarak lebih jauh pada plat itu lapisan batas menjadi
turbulen sepenuhnya.
Tw
T∞
v
0
x
x
g
Tw
T∞
L
x
y ue=0
T
u
Mc. Adams [16] mengkorelasikan nilai Nusselt rata-rata dengan bentuk :
Nu=h .Lk
=C (GrL . Pr )n
(2-10)
Konstanta C ditentukan pada tabel 2.1. Sifat-sifat fisik dievaluasi pada suhu
film Tf. Untuk perkalian antara bilangan Grashof dengan bilangan Prandtl disebut
dengan bilangan Rayleigh (Ra) yaitu :
RaL = GrL.Pr =
g . β (T w−T∞ )L3
v . α (2-11)
Gambar 2.3 Konveksi Alamiah pada Pelat Vertikal.
Churchill dan Chu [16] menyarankan bentuk korelasi dengan dua persamaan
untuk konveksi bebas pada plat vertikal. Untuk daerah Laminer pada jangkauan 10 -1
< RaL < 109 dan sesuai untuk semua angka Prandtl bentuknya adalah :
Nu = 0.68 +
0 ,67 RaL1/4
[1+(0 , 492 /Pr9 /16 ]4/9
(2-12)
T (Profil temperature)
u (Profil kecepatan)
Tabel 2.1 Konstanta C dan n untuk persamaan 9
Geometri GrL.Pr C n
Bidang dan Silinder
Vertikal
104 - 109
109 - 1013
109 - 1013
0,59
0,021
0,10
¼2/5
1/3
(Sumber : J.P Holman)
Sedangkan untuk daerah turbulen yang berlaku pada jangkauan 10-1 < RaL <
1012 bentuknya adalah :
Nu 1/2 = 0.825 +
0 , 387 RaL1/6
[1+(0 , 492 /Pr9 /16 ]8 /27
(2-13)
Sifat-sifat fisik fluida pada kedua persamaan diatas dievaluasi pada suhu film.
2.4 Konveksi Bebas dan Aliran Fluida Pada Saluran Vertikal
Elenbaas [17], telah mempelajari secara ekstensif untuk plat-plat vertikal
simetris dan asimetris yang dipanasi dengan kondisi permukaan yang isothermal.
Untuk plat isothermal, dia mendapatkan hubungan semi empiris berikut :
Nus =
124
Ra s( SL ){1−exp[−35
Ras( S /L ) ]}3/ 4
(2-14)
dimana angka rata-rata untuk Nusselt dan Rayleigh didefenisikan :
Nus =
( q / AT s−T∞ ) S
k (2-15)
dan
Ra s =
g . β (T s−T ∞ )S3
v . α (2-16)
Gambar 2.4 menunjukkan dua buah saluran yang berbeda, yaitu saluran
dengan jarak lebar dan saluran dengan jarak sempit. Plat dimodelkan isothermal (Tw)
dan T∞ sebagai diluar saluran. Plat diasumsikan lebih panas (Tw > T∞) dan fluida
bergerak naik melalui awal saluran [3].
Saluran memiliki dua skala panjang, Tinggi plat (H) dan jarak antara plat (L).
Ketika lapisan batas thermal melapisi setiap plat (δT) lebih tipis dari jarak antar plat,
laju perpindahan panas dari setiap plat ke fluida dapat dihitung dengan persamaan (2-
12 dan (2-13) diatas. Namun untuk saluran lebar yang dilambangkan dengan δT < L
ditunjukkan dengan
LH
>RaH
−1/4atau
LH
>RaL−1
(2-17)
Untuk saluran yang lebih sempit, pada gambar 2.4 menunjukkan profil
kecepatan bergabung menjadi sebuah profil yang mirip dengan Aliran
HagenPoiseuille [13]. Meskipun Temperatur fluida masuk adalah T∞, Saluran sempit
dan cukup panjang, temperatur fluida T (x,y) hampir sama temperatur plat Tw .
Keadaan ini bisa dikataan dengan :
Tw – T(x,y) < Tw - T∞ (2-18)
Dalam aliran laminar, kecepatan vertikal dan laju aliran massa adalah bebas
didalam saluran. Total laju perpindahan panas didalam saluran yang dibentuk oleh
dua dinding plat adalah :
q = m Cp (Tw - T∞) =
ρgβc p( ΔT )2 L3
12 v (2-19)
Tw
H
T∞L
ProfilKecepatan V(x)
0
Tw
x
y
Gambar 2.4 Saluran Vertikal dengan plat isothermal
(Sumber : Adrian Bejan)
2.5 Kurva Proses Pengeringan/Pengasapan
Jika sejumlah bahan dikeringkan pada tingkat udara tertentu dan
kandungan air dicatat setiap selang waktu tertentu, maka akan didapat kurva seperti
diperlihatkan pada gambar 2-5.
Dari kurva pengeringan dapat dilihat bahwa selama proses pengeringan terdapat
tiga periode pengeringan yang berlainan yaitu :
- Daerah [A – B], merupakan periode laju permukaan dimana penguapan air pada
permukaan bahan masuk pada kesetimbangan termodinamik dengan udara.
- Daerah [B – C], merupakan periode laju konstan, dimana penguapan air hanya
terjadi pada permukaan bahan dan bersifat seperti pada penguapan permukaan air
bebas. Saat kejadian ini jumlah air dari bahan yang naik ke lapisan atas oleh aksi-
aksi kapiler sama banyaknya dengan air yang hilang karena penguapan pada
permukaan bahan.
T∞
Saluran Lebar Saluran Sempit
- Daerah [C – E] , merupakan periode laju jatuh dimana penguapan air bahan
berbeda dengan penguapan air bebas. Daerah ini terbagi atas daerah [C – D]
dimana penguapan air terjadi pada seluruh permukaan yang merupakan periode
laju jatuh pertama dan daerah [D – E] dimana penguapan hanya terjadi pada
sebagian permukaan bahan karena laju difusi air dari dalam bahan
kepermukaannya sangat lambat. Daerah ini merupakan periode laju jatuh kedua.
Menurut Winarno [18] kandungan kadar air suatu bahan dapat ditentukan
dengan dua cara, yaitu berdasarkan bahan basah (wet basis) dan berdasarkan bahan
kering (dry basis). Kadar air kering adalah jumlah air yang diuapkan per berat bahan
setelah pengeringan/pengasapan. Jumlah air yang diuapkan adalah berat bahan
sebelum pengeringan/pengasapan dikurangi berat bahan setelah pengeringan/
pengasapan atau dapat ditulis sebagai berikut :
MCdb=a−b
bx 100
% (2-20)
Sedangkan kadar air basah (wet basis) dinyatakan sebagai jumlah air yang
diuapkan per berat bahan sebelum pengeringan/pengasapan atau,
MCwb=a−b
ax 100
% (2-21)
M %
A
B
C
D
MΘ E
0
1 2
3
Hum
idity ratio
Temperature
Saturated air
Heating
Drying
Periode pengeringan, t (jam)
Gambar 2.5 Kurva Periode pengeringan.
2.6 Proses pengeringan/Pengasapan pada Diagram Psikometrik
Pada proses pengeringan/pengasapan harus diketahui sifat-sifat udara yang
diperlukan oleh proses ini agar dapat diperoleh hasil yang optimum. Proses
pengeringan pada diagram psikometrik dapat dilihat seperti dalam gambar 2.6.
Proses 1 – 2 adalah pemanasan udara secara sensibel pada tekanan uap atau
kelembaban absolut konstan dan kelembaban relatif dari udara masuk turun ketika
memasuki lapisan bahan. Sedangkan proses 2-3 adalah pengeringan bahan dimana
udara menyerap air dari bahan pada enthalpi konstan dan perbandingan
kelembabannya naik.
Dari kadar air dalam bahan mula-mula dan kadar air yang diharapkan, massa
air yang harus dikeluarkan dapat diketahui. Massa udara yang diperlukan untuk
menyerap air dalam bahan adalah massa air di bagi dengan perbandingan kelembaban
(kg udara / kg udara kering) yang dapat diperoleh dari diagram psikometrik tersebut.
Gambar 2.6 Proses pengeringan/pengasapan pada diagram psikometrik.
Tidak Meratanya Temperatur pada Ruang PengeringPrototipe Peralatan PengeringDengan Energi Panas
Peralatan pendukungTermokopelTermometerAnimometerTimbangan digital
Variabel penelitian- Kolektor- Udara keluar- Udara masuk
Hasil yang diinginkankarakteristik perpindahan panasProfil temperaturePola aliranGrafik Penurunan berat bahan uji
2.7 Kerangka Konsep
Gambar 2.5 Kerangka Konsep
2.8 Kolektor
2.8.1 Pengertian Kolektor
Kolektor surya dapat didefinisikan sebagai sistem perpindahan panas yang
menghasilkan energi panas dengan memanfaatkan radiasi sinar matahari sebagai
sumber energi utama. Ketika cahaya matahari menimpa absorber pada kolektor surya,
sebagian cahaya akan dipantulkan kembali ke lingkungan, sedangkan sebagian
besarnya akan diserap dan dikonversi menjadi energi panas, lalu panas tersebut
dipindahkan kepada fluida yang bersirkulasi di dalam kolektor surya untuk kemudian
dimanfaatkan guna berbagai aplikasi.
Kolektor surya yang pada umumnya memiliki komponen-komponen utama,
yaitu : [Duffie John A., dan William A. Beckman, 1991]
1. Cover, berfungsi untuk mengurangi rugi panas secara konveksi menuju
lingkungan
2. Absorber, berfungsi untuk menyerap panas dari radiasi cahaya matahari.
3. Kanal, berfungsi sebagai saluran transmisi fluida kerja
4. Isolator, berfungsi meminimalisasi kehilangan panas secara konduksi dari
absorber menuju lingkungan
5. Frame, berfungsi sebagai struktur pembentuk dan penahan beban kolektor
2.8.2 Klasifikasi Kolektor Surya
Terdapat tiga jenis kolektor surya yang diklasifikasikan ke dalam Solar
Thermal Collector System dan juga memiliki korelasi dengan pengklasifikasian
kolektor surya berdasarkan dimensi dan geometri dari receiver yang dimilikinya.
1) Flat-Plate Collectors
Kolektor surya merupakan sebuah alat yang digunakan untuk memanaskan fluida
kerja yang mengalir kedalamnya dengan mengkonversikan energy radiasi matahari
menjadi panas. Fluida yang dipanaskan berupa cairan minyak , oli, dan udara kolektor
surya plat datar mempunyai temperatur keluaran dibawah 95°C. dalam aplikasinya
kolektor plat datar digunakan untuk memanaskan udara dan air. (Goswami, 1999).
Keuntungan utama dari sebuah kolektor surya plat datar adalah bahwa memanfaatkan
kedua komponen radiasi matahari yaitu melalui sorotan langsung dan sebaran, tidak
memerlukan tracking matahari dan juga karena desainnya yang sederhana, hanya
sedikit memerlukan perawatan dan biaya pembuatan yang murah. Pada umumnya
kolektor jenis ini digunakan untuk memanaskan ruangan dalam rumah,
pengkondisian udara, dan proses-proses pemanasan dalam industri. (Duffie, 1991)
Tipe ini dirancang untuk aplikasi yang membutuhkan energi panas pada temperatur di
bawah 100°C. Spesifikasi tipe ini dapat dilihat dari absorber-nya yang berupa plat
datar yang terbuat dari material dengan konduktivitas termal tinggi, dan dilapisi
dengan cat berwarna hitam. Kolektor pelat datar memanfaatkan radiasi matahari
langsung dan terpencar ( beam dan diffuse ), tidak membutuhkan pelacak matahari,
dan hanya membutuhkan sedikit perawatan. Aplikasi umum kolektor tipe ini antara
lain digunakan untuk pemanas air, pemanas gedung, pengkondisian udara, dan proses
panas industri. Komponen penunjang yang terdapat pada kolektor pelat datar antara
lain, transparent cover, absorber, insulasi, dan kerangka.
Gambar 2.6. Penampang melintang kolektor surya pelat datar sederhana
2) Concentrating Collectors
Jenis ini dirancang untuk aplikasi yang membutuhkan energi panas pada temperature
antara 100° – 400°C. Kolektor surya jenis ini mampu memfokuskan energi radiasi
cahaya matahari pada suatu receiver, sehingga dapat meningkatkan kuantitas energi
panas yang diserap oleh absorber. Spesifikasi jenis ini dapat dikenali dari adanya
komponen konsentrator yang terbuat dari material dengan transmisivitas tinggi.
Berdasarkan komponen absorber-nya jenis ini dikelompokan menjadi dua jenis yaitu
Line Focus dan Point Focus.
Gambar 2 .6 Konsentrator
Agar cahaya matahari selalu dapat difokuskan terhadap tabung absorber, concentrator harus dirotasi. Pergerakan ini disebut dengan tracking. Temperatur fluida melebihi 4000C dapat dicapai pada sistem kolektor ini seperti terlihat pada gambar diatas.
3) Evacuated Tube Collectors
Jenis ini dirancang untuk menghasilkan energi panas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan dua jenis kolektor surya sebelumnya. Keistimewaannya terletak pada efisiensi
transfer panasnya yang tinggi tetapi faktor kehilangan panasnya yang relatif rendah.
Hal ini dikarenakan fluida yang terjebak diantara absorber dan cover-nya
dikondisikan dalam keadaan vakum, sehingga mampu meminimalisasi kehilangan
panas yang terjadi secara konveksi dari permukaan luar absorber menuju lingkungan.
Gambar 2.7. Evacuated Receiver
2.8 Pengeringan Ikan
Pengeringan ikan adalah pengawetan dengan cara penguapan air dari ikan,
sehingga terciptanya suasana yang tidak memungkinkan bakteri pembusuk dan jamur
untuk tumbuh serta kegiata enzymatuc (ilyas, 1973). Batas kada air ikan secar umu
diperlukan kira-kira 30 % atau setidak-tidaknya 40% supaya perkembangan jasad-
jasad bekteri pembusuk dan jamur dapat terhenti (moeljanto. 1992)
Proses pengeringan ikan teri terkadang dapat mengalami reaksi pengcloktan
non encymatis yang dapat menurunkan gizi. didalm rekasi maillard (pengcoklatan
non-enzymatis) terbentuk pigmen coklat (melanoidin) dan umumnya terjadi pada
bahan makanan yang mengalami pemanasan seperti peneringan. reaksi ini tergantung
pada air yaitu sebagai pelarut dan sebagai suatu prosuk dari reaksi (sutardi dan
tranggono, 1990)
Gambar 2.6 Pengeringan ikan teri tradisional di pesisir AcehSumber : antara
2.9 Ikan Teri
Ikan teri atau ikan bilis (anchovy) adalah sekelompok ikan laut kecil, anggota
keluarga engraulidae. Nama ini mencakup berbagai ikan dengan warna tubuh perak
kehijauan atau kebiruan. Dan memiliki garis anatomi longitudinal dari dasar caudal
fin (ekor).
Gambar 2.6 Ikan teri yang ditangkap oleh nelayanSumber : google image
walaupun anggota Eraulidaei ada yang memiliki panjang maksimum 23 cm,
nama ikan teri biasanya diberikan bagi ikan dengan panjang maksimum 5 cm.
Moncongnya tumpul dengan gigi yang kecil dan tajam pada kedua-dua rahangnya.
Mangsa utama ikan teri ialah plankton dan juga ikan yang baru aja menetas
mereka tersebar dan dapat ditemukan di beberapa daerah di seluruh lautan di dunia,
tetapi terkonsentrasi di perairan beriklim sedang, dan mereka jarang atau tidak ada di
air yang sangat dingin atau laut yang sangat hangat . Mereka umumnya sangat cocok
(fleksibel) terhadap beragam suhu dan salinitas. (kadar ke asinan laut). Dapat juga
ditemukan di perairan dangkal, air payau, di muara dan teluk.
Untuk ikan teri yang dikeringkan, harus sesuai dengan standar mutu yang
telah ditetapkan untuk kebutuhan pasar, standar perdagangan untuk menentukan mutu
ikan teri kering terdapat pada Tabel 2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1 standar mutu ikan teri
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Laboraterium Thermal dan
Fluida Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, baik
perencanaan alat, pembuatan, pengambilan data maupun pengolahan data.
Sedangkan waktu penelitian ini, dimulai dari penulisan usulan thesis, seminar
usulan, pengambilan data, pengolahan data, serta sampai sidang akhir menghabiskan
waktu sekitar 9 (sembilan) bulan terhitung sejak dari persetujuan yang diberikan oleh
komisi pembimbing.
3.2 Bahan
a. Ikan Teri
Pada penelitian ini bahan yang akan dilakukan pengujian adalah ikan dengan
jenis ikan teri. Ikan teri ini banyak terdapat pada daerah pesisir Aceh.
Gambar 3.1 sampel ikan teri yang akan dikeringkan
Untuk sampel ikan teri yang akan dikeringkan adalah sebanyak 20 kilogram,
dengan panjang rata-rata 8 – 12 cm.
3.3 Peralatan
Peralatan untuk pengujian diperlihatkan pada gambar 3.1. Konstruksi
Peralatan ini dibuat dengan dua material utama yaitu kayu dan besi hollow, kaca
abosorber asphalt, absorber granit, dan absorber pasir besi. Alat ini terdiri atas empat
bagian utama yaitu ruang pembakaran, kolektor, saluran udara panas, ruang
pengeringan dan cerobong.
Gambar 3.1. Skema rancangan bangunan pengering energi surya dan biomassa
Peralatan untuk pengujian diperlihatkan pada gambar 3.2. Konstruksi
Peralatan ini dibuat dengan dua material utama yaitu kayu dan kaca. Alat ini terdiri
atas empat bagian utama yaitu ruang pembakaran, kolektor, saluran udara panas,
ruang pengeringan, atap dan cerobong.
Gambar 3.4. Desain Peralatan Penegering IkanSumber : Hasil Perancangan.
Seperti tampak pada gambar 3.4 peralatan pengujian terbagi dalam lima bagian utama yaitu :
1. Ruang Pembakaran
Ruangan pembakaran (dapur) seperti diperlihat pada Gambar 3.5, bagian atas
berukuran 100 x 100 cm2, bagian bawah berukuran 100 x 100 cm2 dan tinggi totalnya
20 cm. Pada bagian bawah dibuat lubang laluan udara pembakaran berukuran 100 x
100 x 10 cm3. Seluruh bagian atas ditutup dengan pelat seng 2 mm dengan tujuan
untuk mempertahankan panas didalam sekaligus menghindari terjadinya kecelakaan
seperti kebakaran. Ruang pembakaran dibuat dengan ukuran yang lebih besar dari
ruang pengasapan ini bertujuan agar proses pembakaran dapat berlangsung dalam
ruang yang cukup oksigen.
Gambar 3.5 Desain Ruang pembakaran.
Pada bagian depan, belakang, kiri dan kanan ruang pembakaran dibuat pintu
yang dapat dibuka tutup, pintu ini berfungsi untuk memasukkan bahan bakar dan
untuk mensuplai udara sebanyak-banyaknya jika sewaktu-waktu temperatur didalam
ruang pengasapan terlalu tinggi. Pada keempat sisi pintu diberi sekat karet untuk
mencegah kebocoran panas dari ruang pembakaran.
2. Pengarah awal
Pengarah awal dibuat berbentuk V dengan sudut 30o seperti diperlihat pada
Gambar 3.6, berfungsi untuk meningkatkan keseragaman distribusi panasdan
kecepatan alirannya, membuat aliran udara panas menjadi turbulen, serta
mengarahkan aliran udara panas dari ruang pembakaran sebelum masuk ke dalam
ruang pengering. Bagian ini di letakan di atas ruang pembakaran, dibuat dari pelat
seng 2 mm, dan dalam dua bentuk. Bentuk pertama tanpa dilubangi dan bentuk yang
kedua dilubangi dengan diameter 2 cm dan berjarak 4 cm antara tiap lubang.
Gambar 3.6 Desain pengarah awal aliran.
3. Saluran Aliran Udara Panas dan Pengarah kecepatan
Saluran aliran udara panas ini berfungsi sebagai penyeragam temperatur yang
terdiri dari saluran udara panas dan pengarah aliran udara panas ke lemari, seperti
terlihat pada gambar 3.4. Saluran udara panas terletak pada bagian samping dan
tengah lemari. Saluran udara panas berukuran 5 x 95 x 95 cm yang berfungsi untuk
mengalirkan udara panas kedalam lemari pengeringan. Di bagian dalam dinding
saluran udara dibuat lubang berukuran 2 x 95 cm yang berfungsi sebagai lubang
pendistribusian udara panas masuk ke dalam lemari pengering. Pada bagian atas
lubang masuk udara dipasang Pengarah kecepatan berbentuk spin berukuran 5 x 95
cm yang terbuat dari pelat seng 2 mm berfungsi untuk mengarahkan dan
menyeragamkan kecepatan aliran udara panas yang masuk dari ruang pembakaran
sehingga didapat temperatur yang seragam ditiap rak. Jumlah pengarah disetiap
saluran udara pemanas adalah 8 buah yang jarak pemasangan 10 cm disepanjang
saluran.
Gambar 3.7 Saluran uadara panas dan Lemari Pengasapan.
Gambar 3.8 Saluran udara panas dan Lemari Pengeringan.
4. Ruang Pengering dan Rak
Ruang Pengering seperti terlihat pada gambar 3.7 adalah tempat untuk
mengeringkan ikan, yang memiliki dimensi 100 x 100 x 100 cm dan terbuat dari pelat
2 mm. Pada sisi kanan dan kiri bagian luarnya dipasang kaca yang memiliki
Keterangan Gambar :
1. Saluran tengah2. Saluran tepi3. Pengarahawalaliran
2
1
3
ketebalan 0.5 cm, yang bertujuan untuk supaya cahaya dari luar dapat masuk
sehingga proses pengeringan dapat terjadi. Sedangkan rak berfungsi untuk tempat
dudukan ikan yang akan dikeringkan, rak ini dibagi dua bagian, dimana tiap
bagiannya terdapat 7 rak yang masing-masing berukuran 92 x 40 x 3 cm dengan
jarak 10 cm tiap rak, yang terbuat dari kawat jaring.
5. Atap dan Cerobong
Pada bagian atas ruang pengering terdapat cerobong, berfungsi sebagai lubang
keluaran campuran udara panas dan uap hasil pengeringan yang memiliki dimensi
awal sama dengan dimensi ruang pengering 100 x 100 cm dan pada bagian atasnya
terdapat lubang yang diperkecil dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm. Bila sudut cerobong
dibuat sedemikian rupa dan dimensi bagian atasnya diperkecil, maka panas didalam
lemari pengering tidak terlalu cepat keluar dan aliran udara didalam lemari dapat
mengalir dengan baik. Dalam pembuatan peralatan cerobong ini meliputi 2 bagian
yaitu: pembuatan dinding miring dari cerobong dengan variasi sudut 15o, dan
pembuatan saluran pembuangan gas panas dengan diberikan penutup sedemikian rupa
agar terhindar dari bahan yang mungkin bisa masuk kedalam ruang pengering.Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.8, berikut ini.
Gambar. 3.9. Cerobong dan atap dengan sudut 15o.
6. Kolektor
Kolektor surya ini terdiri dari absorber dan lapisan kaca, gambar isometri
absorber dapat dilihat pada gambar 3.10.
Gambar. 3.9. Kolektor
3.3 Metode
Sebagai langkah awal untuk pengujian ini dilakukan persiapan peralatan dan
instrumen meliputi persiapan ruang bakar dan perlengkapannya, persiapan bahan
yang akan diuji pada uji sampel, pemasangan thermocouple dan termometer,
penyediaan timbangan dan stop watch.
Pengujian di lakukan dengan tanpa bahan uji untuk masing variasi sudut
cerobong yaitu 15o.. Pengujian dengan variasi sudut tersebut dilakukan dua perlakuan
dengan menggunakan pengarah awal tanpa berlubang dan dengan menggunakan
pengarah awal berlubang. Pengambilan data meliputi data distribusi temperatur dan
penurunan berat bahan uji pada pengujian sampel..
3.4 Variabel Yang Diamati
Variabel yang akan diamati adalah sebagai berikut :
1. Suhu udara masuk pada ruang bakar.
2. Suhu udara panas kolektor.
3. Suhupadapengarahkecepatan.
4. Suhu pada rak pengeringan .
5. Suhu di Absorber.
6. Berat sampel awal dan penurunan berat sampel.
3.5 Prosedur pengambilan data
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengukuran temperatur secara
eksperimental. Titik-titik pengukuran diperlihatkan seperti pada gambar 3.9.
Pengambilan data pertama adalah data distribusi temperatur dalam lemari pengering
tanpa beban uji untuk melihat Absorber mana yang terbaik antara tiga Absorber
tersebut. Selanjutnya lemari pengering diberi beban berupa bahan uji dan dilakukan
pengambilan data distribusi temperatur dan penurunan berat bahan uji.
Prosudur pengukuran temperatur tanpa sampel uji
Prosedur pengukuran temperatur tanpa sampel uji dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Peralatan ditempatkan di tempat terbuka, agar udara lembab hasil pengasapan
akan langsung keluar ke udara bebas.
2. Pengukuran temperatur dilakukan terhadap masing-masing absorber yaitu
dengan jenis Absorber pasir besi, Absorber Granit dan Absorber aspal.
Pengujian terhadap absorber tersebut dilakukan dua kali pengulangan dengan
menggunakan pengarah awal tanpa berlubang dan dengan menggunakan
pengarah awal berlubang. Setiap kali pengulangan dengan pengarah awal
tersebut, pengukuran temperatur dilakukan pada tiga temperatur referensi
yaitu pada temperatur referensi 85o C, 75o C, dan 65o C.
3. Untuk mengukur Temperatur digunakan Thermocouple Type K serta Display
Digital-Multimeter dan termometer, diletakkan pada titik-titik pengukuran.
4. Pembacaan suhu pada Thermocouple dan Thermometer dilakukan setiap 15
menit sekali.
Prosudur pengukuran dengan sampel uji
Prosedur pengukuran temperatur dengan sampel uji dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Peralatan pengeringan ditempatkan di tempat terbuka, agar udara lembab hasil
pengasapan akan langsung keluar ke udara bebas.
2. Pengujian dilakukan dengan melakukan pengeringan terhadap ikan bandeng
3. Ruang pengasapan diberi beban penuh sehingga bahan uji disusun memenuhi
seluruh rak.
4. Untuk mengukur suhu didalam ruang pengeringan/pengasapan, Thermocouple
Type K serta Display Digital-Multimeter dan termometer diletakkan pada
titik-titik pengukuran.
5. Bahan uji dimasukkan kedalam ruang pengasapan setelah suhu di dalam ruang
pengeringan/pengasapan benar-benar stabil, dan sebelum dimasukkan bahan
uji ditimbang terlebih dahulu Timbangan digital.
6. Pembacaan suhu pada Thermocouple dan Thermometer dilakukan setiap 30
menit sekali.
7. Pengukuran berat bahan uji juga dilakukan tiap 1 jam sekali, untuk
mengetahui punurunan kadar air dari bahan uji.
Mulai Penelusuran literatur & penyusunan proposal
Selesai
Pemeriksaan ketersediaan peralatan & bahan
Pembuatan prototipe alat uji
Pengujian
Pengolahan data hasil pengujian
Hasil dan kesimpulan
3.6 Pelaksanaan Penelitian
Gambar 3.10 Diagram alir pelaksanaan penelitian
Penjelasan diagram alir :
1. Pembuatan alat, Sebagai langkah awal untuk pengujian ini dilakukan
persiapan peralatan dan instrumen meliputi persiapan ruang bakar dan
perlengkapannya, persiapan bahan yang akan diuji pada uji sampel,
pemasangan thermocouple dan termometer, penyediaan timbangan dan stop
watch.
2. Pengujian di lakukan dengan tanpa bahan uji untuk masing-masing variasi,
dengan variasi aliran panas pada kolektor kolektor.
3. Pemilihan produk yang dikeringkan disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemudahan memperoleh bahan untuk uji pengeringan.
4. Rancang bangun peralatan sehingga bisa diambil data
5. Pengambilan data meliputi data distribusi temperatur dan penurunan berat
bahan uji pada pengujian sampel.
6. Rekomendasi material asorber terbaik untuk digunakan pada kolektor surya
pengering.
3.7. Pelaksanaan Penelitian
Secara garis besar pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan berurutan dan
sistematis. Pelaksanaan penelitian dimulai dari penelusuran literatur dan penyusunan
proposal penelitian, pemeriksaan ketersediaan peralatan, pembuatan prototipe alat uji,
pengujian peralatan dan dengan menggunakan sampel uji. Semua hasil pengujian
akan diolah dan didapat kesimpulan yang berupa jawaban dari tujuan penelitian.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada diagram alir pelaksanaan penelitian, gambar 3.8
halaman berikut ini.
Prosedur pengukuran yang dilakukan mencakup cara pengoperasian peralatan,
pengukuran temperatur dan pengukuran penurunan berat sampel uji pada pengujian
dengan sampel uji.
3.5. Teknik Pengukuran, Pengolahan dan Analisa Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengukuran temperatur secara
eksperimental. Titik-titik pengukuran pada kolektor diperlihatkan seperti pada
gambar 3.9. tiap kolektor diletakan asorber berbeda, yaitu aspal, batu kali yang dicat
hitam dan pasir besi.
Titik PengukuranPanas masuk Ke pengering
Gambar 3.9 titik-titik pengukuran pada kolektor
Pengambilan data pertama adalah data distribusi temperatur dalam lemari
pengering tanpa beban uji untuk melihat bagaimana sistem distribusi panas pada
ruangan pengering dan kolektor mana yang sangat baik mengantar panas ke dalam
ruang pengering setelah kolektor-kolektor tersebut diberi absorber berbeda-beda.
Selanjutnya lemari pengering diberi beban berupa bahan uji dan dilakukan
pengambilan data distribusi temperatur dan penurunan berat bahan uji.
Gambar 3.9 Titik-titik pengukuran pada ruang pengering
3.6. Prosedur pengukuran temperatur tanpa sampel uji
Prosedur pengukuran temperatur tanpa sampel uji dapat diuraikan sebagai berikut:
5. Peralatan ditempatkan di tempat terbuka, agar udara lembab hasil pengasapan
akan langsung keluar ke udara bebas.
Titik pengukuran
Kolektor
Keterangan gambar :
Titik pengukuran pada ruang pengering
6. Pengukuran temperatur dilakukan terhadap masing-masing absorber yaitu
dengan jenis Absorber pasir besi, Absorber batu kali yang dicat hitam dan
Absorber aspal kemudian mengukur temperatur sepanjang kolektor untuk
mengetahui panjang kolektor yang paling baik. Pengujian terhadap
absorber/kolektor tersebut dilakukan dua kali pengulangan. Pengukuran
temperatur dilakukan pada tiga temperatur referensi yaitu pada temperatur
referensi 85o C, 75o C, dan 65o C.
7. Untuk mengukur Temperatur digunakan Thermocouple Type K serta Display
Digital-Multimeter dan termometer, diletakkan pada titik-titik pengukuran.
8. Pembacaan suhu pada Thermocouple dan Thermometer dilakukan setiap 15
menit sekali.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Temperatur luar ruangan
Kondisi lingkungan di kawasan Darussalam setelah dilakukan pengukuran temperatur lingkungan adalah sebagai berikut :
a. Temperatur udara luar : 33 ° c ( 91,4° F)
b. Kelembaban relatif rata-rata : 75 %
c. Temperatur bola basah : 29 ° C (84.2 °F)
d. Temperatur Pengembunan : 27.6 ° C
e. Enthalpy : 94,8 KJ/kg
f. Ratio Kelembaban : 0.0240 kg/kg
4.2 Pengujian Kolektor
Pengujian unjuk kerja peralatan pengering didasarkan pada kadar air,variasi
material absorber dan efisiensi. Analisa kadar air dimaksudkan untuk menentukan
penyusutan ikan teri dan batasminimal pengeringan ikan. Selanjutnyavariasi fan
diarahkan untuk menentukan Kecepatan optimum pengeringan ikan teri. Pengeringan
teri secara mendadak akan mempengaruhi permukaan ikan teri. Dan pengujian
efisiensi difokuskan pada tingkat keekonomisan peralatan pengeringterhadap bahan
bakar dan lamanya waktu pengeringan.
4.3 Pengukuran temperature kolektor
1. Kolektor dengan penghabat zig-zag
Pengukuran temperatur pada kolektor penghambat zigzag dengan ketebalan
lapisan absorber adalah 10 cm, titik-titik pengukuran diukur dengan alat thermometer
digital, titik pengukuran dapat dilihat pada gambar 4.1 :
Titik PengukuranPanas masuk Ke pengering
Gambar 4.1 titik-titik pengukuran pada kolektor
Hasil dari pengukuran temperatur untuk kolektor dengan penghambat zig-zag
terdapat pada tabel 4.1 seperti berikut ini :
Tabel 4.1. Hasil pengukuran temperatur pada kolektor penghambat zig-zag
No.
Titik pengukuranTemperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB (º C)
10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
1 Titik pertama 33 33 34 34 32 33 32
2 Titik Kedua 38 40 43 44 46 48 50
3 Titik Ketiga 46 52 52 57 59 62 65
4 Titik Keempat 56 60 68 73 77.5 83 88.5
Untuk melihat kenaikan temperatur pada kolektor penghambat panas zig-zag dapat dilihat pada gambar 4.2 seperti berikut ini :
10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00Temperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB
0102030405060708090
100
Titik pertamaTitik KeduaTitik KetigaTitik Keempat
Gambar 4.2 hubungan kenaikan temperatur dengan waktu
Titik pengukuran
2. Kolektor dengan penghabat diagonal
Untuk pengujian kolektor ke 2 digunakan penghambat diagonal untuk
mengurangi kecepatan aliran fluida, titik-titik pengukuran kolektor dengan
penghambat diagonal terdapat pada gambar 4.3 seperti berikut ini :
Gambar 4.3 titik pengukuran kolektor dengan penghambat diagonal
Hasil dari pengukuran temperatur untuk pada kolektor dengan penghambat
diagonal terdapat pada tabel 4.2 seperti berikut ini :
Tabel 4.2. Hasil pengukuran temperatur pada absorber batu kali yang dicat
No. Titik pengukuranTemperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB
10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
1 Titik pertama 30 33 34 36.33 38.33 40.33 42.33
2 Titik Kedua 34 36 38 40 42 44 46
3 Titik Ketiga 40 44 47.5 51.33 55.08 58.83 62.58
4 Titik Keempat 44 43 45 45 45.5 46 46.5
Untuk melihat kenaikan temperatur pada absorber batu kali yang dicat dapat dilihat pada gambar 4.4 seperti berikut ini :
Titik pengukuran
10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00Temperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB
0102030405060708090
100
Titik pertamaTitik KeduaTitik KetigaTitik Keempat
Gambar 4.4 hubungan kenaikan temperature dengan waktu
3. Kolektor tanpa penghambat
Untuk pengujian kolektor ke 3 tidak menggunakan penghambat untuk
mengurangi kecepatan aliran fluida, titik-titik pengukuran kolektor dengan
penghambat diagonal terdapat pada gambar 4.5 seperti berikut ini :
Gambar 4.5 titik pengukuran kolektor tanpa penghambat
Hasil dari pengukuran temperatur pada kolektor tanpa penghambat terdapat
pada tabel 4.3 seperti berikut ini :
Titik pengukuran
Tabel 4.3. Hasil pengukuran temperatur pada kolektor tanpa penghambat
No. Titik pengukuranTemperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB
10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
1 Titik pertama 30 33 34 36.33 38.33 40.33 42.33
2 Titik Kedua 34 36 38 40 42 44 46
3 Titik Ketiga 40 44 47.5 49 52.75 55.8 58.85
4 Titik Keempat 42 46 49 50 53.5 56.2 58.9
Untuk melihat kenaikan temperatur pada absorber pasir besi dapat dilihat pada gambar 4.4 seperti berikut ini :
10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00Temperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB
0
10
20
30
40
50
60
70
Titik pertamaTitik KeduaTitik KetigaTitik Keempat
Gambar 4.6 hubungan kenaikan temperatur dengan waktu
4.4 Pengukuran temperatur pada ruang pengering
Pengukuran temperatur untuk ruang pengering yaitu terdiri dari 5 rak sebelah
kanan dan 5 rak sebelah kiri, untuk rak pertama dimulai dari bagian yang paling
bawah diletakan alat pengukur termperatur yang langsung bersentuhan dengan
bagian rak, untuk mengetahui hasil pengukuran temperatur pada bagian ruang
pengering dengan variasi absorber berbeda posisi alat pengukur dapat dilihat pada
gambar 4.5 seperti berikut ini :
Gambar 4.5 Titik-titik pengukuran pada ruang pengering
Hasil pengukuran temperature sesuai dengan variasi absorber seperti berikut
ini :
1. Kolektor dengan penghambat zigzag
Kolektor penghambat zigzag, temperatur yang masuk ke ruang pengering
kosong terpadat pada Tabel 4.4. seperti berikut ini :
Tabel 4.4 Hasil pengukuran temperatur pada ruang pengering
Tempat Pengeringan
Temperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB ( ° C)10:0
011:00 12:0
013:00 14:00 15:00 16:00
Rak pertama 47 51 54 72 77.5 83 88.5
Rak kedua 42 47 48 51.7 55 58 61Rak Ketiga 37 43 42 31 32 32 33Rak Keempat 32 39 36 40 42 44 46Rak Kelima 27 35 30 33.7 35.2 36.7 38.2
Keterangan gambar :
Titik pengukuran pada ruang pengering
2. Kolektor dengan penghambat diagonal
Kolektor penghambat diagonal, temperatur yang masuk ke ruang pengering
kosong terpadat pada Tabel 4.5. seperti berikut ini :
Tabel 4.5 Hasil pengukuran temperatur pada ruang pengering
Tempat Pengeringan
Temperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB ( ° C)
10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
Rak pertama 44 43 45 45 45.5 46 46.5Rak kedua 42 45 45 47 48.5 50 51.5
Rak Ketiga 36 41 43 47 50.5 54 57.5
Rak Keempat 32 39 36 40 42 44 46
Rak Kelima 24 27 30 33 36 39 42
3. Kolektor Tanpa Penghambat
Kolektor tanpa penghambat, temperatur yang masuk keruang pengering
kosong terpadat pada Tabel 4.5. seperti berikut ini :
Tabel 4.5 Hasil pengukuran temperatur pada ruang pengering
Tempat Pengeringan
Temperatur pukul 10 .00 - 16.00 WIB ( ° C)
10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
Rak pertama 44 43 45 45 45.5 46 46.5
Rak kedua 42 45 45 47 48.5 50 51.5
Rak Ketiga 33 36 38 41 43 46 48
Rak Keempat 32 39 36 40 42 44 46
Rak Kelima 30 27 26 27 28 30 34
4.5 Pengeringan Ikan
Setelah dilakukan pengukuran ruang pengering dalam keadan konsong,
selanjutnya pengukuran temperatur ruang pengering dengan menggunakan bahan uji
yaitu ikan teri dengan jumlah bahan sebanyak 20 kg.
Proses pengeringan dimana temperatur udara yang melewati kotak pemanas
merupakan udara panas dan selanjutnya masuk ke ruang pengering untuk
mengeringkan ikan pada rak ikan. Apabila temperatur ruang pengering mencapai
suhu yang ditetapkan, Proses pengeringan yang dilakukan ialah untuk mengurangi
persentase kadar air ikan teri dari 78% ikan teri basah menjadi 40% ikan teri kering.
Kapasitas percobaan yang dilakukan adalah 1 kg ikan teri basah, temperatur
pengeringan 55 °C selama 35 menit dan berat akhir setelah ditimbang dengan neraca
berat adalah 0,5 kg.
Karena digunakan 3 variasi arbsober berbeda maka jumlah waktu pengeringan
juga ikut berbeda, untuk mengetahui perbedaan waktu pengeringan dengan jumlah
kadar air yang berkurang akibat pengeringan, terdapat pada Tabel 4.6. Maka
hubungan kadar air dari ikan teri yang dikeringkan dengan waktu pengeringan dapat
dilihat pada tabel 4.6 seperti berikut ini :
Tabel 4.6 Hubungan waktu pengeringan dengan
kadar air variasi absorber
Kandungan Kadar Air Ikan Teri (%)
Aspal Batu kali yang dicat Pasir Besi
Waktu (menit)
Waktu (menit)
Waktu (menit)
0 200 350 48010 300 400 50015 400 480 55020 450 500 60025 500 577 68030 550 600 73035 600 670 80040 650 700 890
45 700 790 92050 750 850 100065 800 920 101070 900 1100 120075 140080
Kurva pengeringan ikan teri dan kehilangan kadar air pada masa pengeringan
dapat dilihat pada gambar 4.6 seperti berikut ini :
0100
200300
400500
600700
800900
10001100
12001300
14000
20
40
60
80
100
120
zig-zag
Diagonal
Tanpa penghambat
Gambar 4.6 kurva pengeringan ikan teri dengan variasi kolektor
4.6 Hasil pengeringan
Proses pengeringan yang dilakukan ialah untuk mengurangi persentase kadar air
ikan teri dari 78% ikan teri basah menjadi 50% ikan teri kering. Kapasitas percobaan yang
dilakukan adalah 1 kg ikan teri basah, temperatur pengeringan 55 – 70 ° selama 45 menit
dan berat akhir setelah ditimbang dengan neraca berat adalah 0,5 kg. kemampuan
pengering dengan absorber aspal yang terbaik untuk mengeringkan 20 kg ikan teri dengan
waktu 700 menit (11 jam) mencapai kadar air 40 %. Hasil ikan teri kering yang kadar airnya
mencapai 40 % terlihat pada gambar 4.7. sampel ikan teri ini telah diukuran dengan alat
pengukur kadar air digital.
Gambar 4.7 Sampel ikan teri yang sudah dikeringkan.
Gambar 4.8 Sampel ikan teri yang sudah dikeringkan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari hasil analisa dan perhitungan-perhitungan yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa dengan kondisi parameter-parameter seperti pada rekapitulasi
diatas, Maka dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Penghambat pada kolektor sangat mempengaruhi semakin lambat laju aliran
panas semakin banyak panas yang terserap oleh panas dalam kolektor.
2. Kolektor yang baik untuk mengeringkan ikan adalah kolektor dengan penghambat
zig-zag.
3. Untuk mengeringkan 20 kg ikan teri dibutuhkan waktu 700 menit atau sekitar 11
jam.
4. Jika terjadi perubahan cuaca, maka pengering didesain dapat menggunakan
pemanas lain seperti kompor dan lampu.
5. Hasil yang ikan yang dikeringkan mencapai kadar 40 % dan lebih higienis karena
tidak terkena udara luar saat pengeringan.
2. Saran
Adapun saran yang disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Aspal sebagai absorber masih dalam katagori barang mahal diharapkan
pada penelitian berikutnya mampu mencari material absorber yang murah
dan mudah ditemukan dilingkungan.
2. Penggunaan kompor minyak dapat memberikan CO2 pada ikan teri,
ditakutkan tidak baik untuk konsumsi.