jurnal psik- morbiditas neuropsikiatrik pada epilepsi fokal
TRANSCRIPT
Morbiditas Neuropsikiatrik Pada Epilepsi Fokal
Latar Belakang
Penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi naiknya tingkat
prevalensi gangguan psikiatrik pada orang yang mempunyai epilepsi
fokal yang refrakter terhadap pengobatan, khususnya epilepsi
lobus temporalis. Banyak penelitian telah dilakukan sebelum
adanya VEM (video electroencephalogram monitoring) dan MRI
(magnetic resonance imaging).
Tujuan
Untuk menyelidiki karakteristik mana pada sindrom epilepsi fokal
yang berkaitan dengan adanya depressi atau psikosis.
Methods
319 orang yang mempunyai epilepsi fokal yang diterima untuk VEM
dipantau selama periode 11 tahun. Riwayat seumur-hidup tentang
depressi dan psikosis, letak epilepsi, lateralitas dan tipe lesi
ditentukan berdasar penilaian klinis, VEM dan scan MRI.
Hasil
Terdapat kaitan yang signifikan antara prevalensi gejala depresi
dan epilepsi fokal non-lesional. Tidak ada perbedaan signifikan
dalam prevalensi gangguan neuropsikiatrik antara kelompok yang
mempunyai epilepsi lobus temporalis dan kelompok yang mempunyai
epilepsi lobus ekstra-temporalis.
Kesimpulan
Temuan ini sangat berbeda dengan temuan sebelumnya pada cohort
yang lebih kecil. Kaitan antara epilepsi fokal non-lesional dan
depressi mungkin disebabkan oleh effect dari lebih luasnya daerah
epileptogenik.
1
Penelitian yang berpengaruh oleh Gibbs, Slater & Beard and
Flor-Henry tentang psikosis epilepsi yang seperti-schizofrenia
telah menjadi dasar untuk pandangan modern bahwa epilepsi lobus
temporalis dan penyakit psikiatrik adalah berkaitan erat.
Hubungan ini diselidiki terutama sebelum adanya VEM dan MRI untuk
karakterisasi fokus kejang, dan tipe kejang dan identifikasi lesi
yang mendasari. Sebagai contoh, 66% dari penelitian yang
diidentifikasi dalam lima tinjauan besar tentang psikosis
epilepsi yang seperti-schizophrenia, dipublikasikan sebelum tahun
1986.
Tidak ada konsistensi pada temuan-temuan dari penelitian-
penelitian, ini mencerminkan perbedaan metodologi dan perubahan
klasifikasi diagnosis dalam neurologi dan psikiatri. Penelitian
berbeda-beda dalam metoda yang digunakan untuk klasifikasi
penyakit dan untuk menentukan kasus. Sebagian besar penelitian
adalah cross-sectional dan retrospektif. Ukuran sampel biasanya
kurang dari 100 orang. Hanya beberapa penelitian yang mempunyai
diagnosis psikiatrik akurat yang berdasar pada wawancara pasien
yang setengah-terstruktur. Banyak yang secara umum menyebut
‘psikopatologi’ atau menggunakan skala peringkat. Heterogenitas
kategori diagnosis tersebut mempersulit pembandingan.
Pada umumnya dapat diterima bahwa orang yang mempunyai
epilepsi fokal memperlihatkan lebih tingginya tingkat psikopato-
logi dibandingkan dengan orang yang mempunyai epilepsi umum, grup
kontrol neurologis, orang yang mempunyai gangguan kronis non-
neurologis dan populasi umum. Tingkat prevalensi yang dilaporkan
untuk penyakit mental pada mereka yang mempunyai epilepsi fokal
yang refrakter pengobatan adalah 44 - 88%. Depresi dan psikosis
merupakan dua masalah yang paling banyak diselidiki dan merupakan
gangguan psikiatrik yang relevan secara klinis pada orang yang
mempunyai epilepsi fokal. Juga ada bukti yang lebih mutakhir
bahwa hubungan antara depresi, psikosis dan kejang mungkin lebih
kompleks dari pada yang dibayangkan sebelumnya. Depresi adalah
berkaitan dengan berkembangnya kejang yang terjadi lebih akhir.
2
Adanya riwayat keluarga tentang epilepsi adalah berkaitan dengan
berkembangnya epilepsi maupun gangguan psikotik.
Disebabkan oleh kurangnya riset baru, maka pandangan kami
tentang hubungan antara psikopatologi dan epilepsi adalah
tergantung kepada literatur yang kurang dapat diperbandingkan.
Secara parsial, ini mungkin penyebab dari terus tidak adanya
konsensus tentang kaitan spesifik antara epilepsi lobus
temporalis dan gangguan psikiatrik, psikosis atau depresi. Issue
yang masih belum terpecahkan meliputi apakah orang yang mempunyai
epilepsi lobus temporalis mempunyai risiko lebih tingi untuk
mengembangkan gangguan psikiatrik dibandingkan orang yang
mempunyai epilepsi fokal bentuk lain, dan apakah lateralitas
fokal atau adanya lesi akan mempengaruhi psikopatologi. Telah
dikedepankan bahwa masalah ini tidak akan terpecahkan sampai data
dari serial besar dari orang-orang yang dikategorisasi dengan
baik dapat dikumpulkan dan diteliti. Penelitian ini berupaya
membahas kembali tentang tidak adanya kaitan historis ini dengan
cara menyelidiki suatu serial besar partisipan yang mempunyai
epilepsi fokal yang mempunyai semiologi epilepsi yang telah
didefinisikan dengan baik dengan menggunakan VEM, MRI dan
penilaian rinci terhadap riwayat psikiatrik.
METODA
Kriteria Inklusi
Grup penelitian terdiri dari semua orang yang diperiksa secara
konsekutif pada unit VEM di Rumah Sakit Melbourne antara tahun
1993 sampai 2004 yang memperoleh diagnosis epilepsi fokal dan
penilaian neuropsikiatrik klinis. Orang diterima oleh VEM
terutama disebabkan oleh kejang yang terus terjadi kendatipun
diberikan terapi obat antiepilepsi. Tujuan penerimaan oleh unit
VEM tersebut adalah untuk mendapatkan pemahaman diagnosis yag
lebih komprehensif tentang kondisi mereka, termasuk aspek
neuropsikiatrik, dan agar dapat dengan lebih baik menetapkan opsi
terapi yang sesuai yang mungkin melibatkan pertimbangan tentang
apakah intervensi bedah layak dilakukan.
3
Semua orang (n = 482) yang diterima selama periode
penelitian dengan diagnosis epilepsi fokal pada saat pemulangan,
ditinjau-ulang dengan memeriksa catatan medis mereka, surat
pemulangan dan diskusi dengan ahli epilepsi yang merawatnya.
Persetujuan etis untuk audit retrospektif terhadap arsip pasien
ini telah diperoleh dari komite etika dan riset manusia Rumah
Sakit Melbourne. Limapuluh-empat orang dikeluarkan karena tidak
cukup bukti untuk epilepsi fokal. Dari 428 orang yang dikonfir-
masi mempunyai epilepsi fokal, 319 orang telah menjalani
penilaian neuropsikiatrik klinis pada saat penilaian epilepsi
mereka. Informasi tentang data demografik masing-masing orang,
diagnosis neuropsikiatrik, klasifikasi epilepsi, lateralitas
kejang dan hasil MRI dikumpulkan.
Penilaian neurologis dan klasifikasi tipe epilepsi fokal
Pada semua pasien rawat inap evaluasi epilepsi yang
komprehensif terdiri dari riwayat klinis lengkap, VEM kontinyu
selama 1 – 3 minggu untuk lokasi kejang dan scan otak protokol
epilepsi dengan MRI 1,5 T, yang meliputi kejang volumetric yang
diperoleh secara coronal pada seluruh otak. Apabila diindikasikan
secara klinis, maka pemeriksaan SPECT (single photon emission
computed tomography) dan FDG-PET (fluorodeoxyglucose positron
emission tomography) juga dilaksanakan untuk mengklarifikasi
fokus epilepsi. Tidak ada perubahan dalam prosedur MRI dan pada
scanner yang digunakan selama masa penelitian ini. Diagnosis
neurologis konsensus, yang diinformasikan oleh sistim klasifikasi
dari International League Against Epilepsi, ditentukan pada
pertemuan mingguan untuk tinjauan klinis epilepsi yang dihadiri
oleh tiga ahli epilepsi, ahli neuropsikiatri, ahli neuropsiko-
logi, rekan ahli epilepsi, teknisi EEG dan ahli neuroradiologi.
Epilepsi fokal dibagi menjadi epilepsi lobus temporalis dan
epilepsi lobus ekstra-temporalis. Kelompok yang mempunyai
epilepsi lobus temporalis diklasifikasikan lebih lanjut menjadi
tiga subkelompok diagnostik sebagai berikut: epilepsi lobus
temporalis mesial, yang mempunyai sclerosis temporalis mesial
4
pada MRI dan fokus ipsilateral pada VEM; epilepsi lobus
temporalis non-lesional, yang tidak mempunyai bukti imaging
tentang patologi tetapi ada lokalisasi yang jelas pada temporal
pada VEM; dan epilepsi lobus temporalis lesional apabila terdapat
lesi epileptogenik pada lobus temporalis pada MRI (selain dari
sclerosis temporalis mesial, yaitu ‘lesi jaringan asing’) dan
adanya fokus ipsilateral pada VEM. Kelompok epilepsi lobus
ekstra-temporalis dibagi menjadi kelompok yang mempunyai dan yang
tidak mempunyai lesi epileptogenik pada MRI. Lateralitas epilepsi
ditentukan oleh kesesuaian antara hasil EEG iktal, inter-iktal
dan patologi apapun yang terlihat pada MRI dan, apabila tersedia,
PET dan/atau SPECT.
Tujuh orang yang mempunyai epilepsi lobus ekstra-temporalis
dikeluarkan karena tidak adanya data MRI. Ini menyisakan 312
partisipan dalam penelitian. Lateralitas tidak dapat dipastikan
pada delapan orang pada VEM dan oleh karena itu ini dikeluarkan
dari analisis tentang lateralitas.
Penilaian Neuropsikiatrik
Semua orang yang mempunyai epilepsi fokal yang diterima untuk VEM
secara rutin dirujuk untuk penilaian neuropsikiatri. Tetapi,
disebabkan oleh keterbatasan waktu dan tidak adanya ahli
neuropsikiatri maka tidak semuanya dinilai. Kelompok yang dinilai
lebih mungkin mempunyai epilepsi lobus temporalis (X2 = 7,7, P
<0,05) dibandingkan diagnosis lain apapaun tetapi tidak berbeda
secara signifikan dengan kelompok yang tidak dinilai dalam hal
umur, gender, lateralitas letak fokus atau apakah mereka kemudian
menjalani bedah saraf.
Tujuan penilaian adalah untuk mengidentifikasi morbiditas
psikiatrik yang relevan secara klinis yang mungkin berpengaruh
terhadap terapi atau menjadi perancu terhadap gambaran neurolo-
gik. Ini dilaksanakan pada saat penilaian neurologik oleh seorang
ahli neuropsikiatri senior yang mewawancarai partisipan dan
mencari riwayat sebagai verifikasi apabila layak. Sebagian kecil
dilakukan oleh ahli neuropsikiatri lain yang secara langsung
5
diawasi senior, termasuk D.V. dan S.J.A. Penilaian neuropsikia-
trik, termasuk formulasi neuropsikiatrik dan diagnosis
diinformasikan berdasar kriteria diagnostik DSM-IV, ini adalah
lengkap dan didokumentasikan secara rinci pada saat penilaian.
Penilaian tersebut diselesaikan dan didokumentasikan sebelum
pertemuan untuk tinjauan klinis dimana diagnosis epilepsi
ditegakkan.
Semua penilaian neuropsikiatrik dikumpulkan setelah periode
penelitian dan ditinjau-ulang oleh ahli neuropsikiatrik kedua
dengan menggunakan suatu pro forma standard untuk mencatat
informasi. Tinjauan pada penilaian ini difokuskan pada
identifikasi riwayat masa lampau atau masa kini tentang depressi
dan riwayat masa lampau atau masa kini tentang psikosis, termasuk
psikosis post-iktal dan psikosis inter-iktal tetapi tidak
termasuk psikosis iktal yang berkaitan secara temporer dengan
terjadinya kejang. Fenomena psikiatri kecil lainnya yang terjadi
secara peri-iktal tidak diikut-sertakan.
Sebelas dari penilaian neuropsikiatrik ditinjau-ulang oleh
seorang klinikus ketiga dengan menggunakan kriteria yang sama,
dengan kesesuaian 88% dalam diagnosis ini. Sepuluh penilaian
neuropsikiatrik diperiksa-ulang pada 12 bulan setelah arsip
pertama ditinjau-ulang oleh ahli neuropsikiatrik kedua dengan
kesesuaian diagnostik 100%.
Analisis Statistik
Kami melaksanakan analisis berikut ini untuk memastikan hubungan
antara diagnosis psikiatrik dan kelompok epilepsi:
(a) prevalensi gangguan psikiatrik (depresif, gejala psikosis
dan lainnya) didalam total kelompok dan didalam sub-
kelompok epilepsi.
(b) Uji kaitan (chi-squared test) antara diagnosis psikiatrik
dan sub-kelompok epilepsi; analisis ini membandingkan
diagnosis psikiatrik untuk:
(i) epilepsi lobus temporalis lawan epilepsi lobus
ekstra temporalis.
6
(ii) epilepsi fokal non-lesional (epilepsi lobus
temporalis dan ekstratemporalis keduanya tanpa
lesi) lawan epilepsi fokal lesional (sclerosis
temporal mesial dan epilepsi lobus temporalis
maupun ekstratemporalis lesional).
(iii) Epilepsi fokal non-lesional (epilepsi lobus
temporalis dan ekstratemporalis) lawan sclerosis
temporal mesial dan epilepsi fokal dan epilepsi
fokal lesional lainnya (baik temporalis maupun
ekstra-temporalis)
(c) analisis regresi logistic yang menggunakan sub-kelompok
epilepsi sebagai variabel independen untuk meramalkan
odds dari diagnosis dilaksanakan untuk kelompok-kelompok:
(i) diagnosis psikiatrik apapun
(ii) depressi
(iii) psikosis
HASIL
Data demografik umum dan diagnosis sindrom epilepsi
Dari 312 partisipan yang memenuhi kriteria inklusi, 121
(39%) didiagnosis mempunyai epilepsi lobus temporalis mesial; 74
(24%) mempunyai epilepsi lobus temporalis non-lesional; 58 (19%)
mempunyai epilepsi lobus temporalis lesional; 42 (13%) mempunyai
epilepsi lobus ekstratemporalis dengan lesi; dan 17 (5%)
mempunyai epilepsi lobus temporalis tanpa lesi. Lateralisasi
fokus kejang adalah sisi-kiri pada 48%, sisi-kanan pada 42% dan
bilateral tidak tergantung fokus pada 7%. Fokus kejang tidak
dapat dilateralisasi pada 8 peserta (3%). Tidak ada perbedaan
signifikan antar kelompok dalam hal umur, gender, status
perkawinan, status pekerjaan atau lateralitas fokus.
Rincian klinis dan demografik dasar untuk masing-masing
sindrom epilepsi diberikan dalam Tabel 1. Lesi sclerosis temporal
non-mesial terdeteksi pada MRI pada 100 (32,1%) peserta dimana
epilepsi lesional dapat ditentukan. Sifat lesi ini adalah tumor,
benigna, maligna dan tumor neuroepitel disembrioplastik (n = 23),
7
ensefalomalasia (n = 26), cavernoma (n = 10), dysplasia dan
kelainan perkembangan lainnya (n = 29) dan lain-lain (n = 12)
termasuk kista dermoid dan epidermoid dan malformasi arteriovena.
Prevalensi Gangguan Psikiatrik apapun.
58% peserta didiagnosis mempunyai riwayat masa sekarang atau masa
lampau tentang gangguan psikiatrik, dan sejumlah orang memenuhi
kriteria untuk lebih dari satu gangguan. Sifat gangguan
psikiatrik tersebut adalah depresi pada 32,6%, psikosis pada 7,2%
dan gangguan psikiatrik lain pada 36,1%. Gangguan psikiatrik lain
termasuk kecemasan pada 6,9%, penyalah-gunaan obat atau
ketergantungan obat pada 3,1%, gangguan somatoform pada 4,7%,
gangguan personality pada 13,8%, lebih dari satu diagnosis
psikiatrik pada 4,7% dan gangguan lainnya pada 2,8%. Orang-orang
dalam kelompok ‘gangguan psikiatrik lain’ ini tersebar secara
merata diantara sub-sub kelompok epilepsi. Tingkat untuk depresi,
psikosis dan diagnosis psikiatrik lainnya tidak berbeda secara
signifikan antara pria dan wanita.
Tidak ada perbedaan signifikan dalam prevalensi gangguan
psikiatrik apapun antara kelompok yang mempunyai epilepsi lobus
temporalis (57%) lawan kelompok epilepsi lobus ekstratemporalis
(62,1%)(X2 = 0,58, P = 0,49). Orang yang mempunyai epilepsi non-
lesional (kelompok epilepsi lobus temporalis maupun ekstra-
temporalis) mempunyai prevalensi yang lebih tinggi secara
signifikan untuk gangguan psikiatrik (69,2%) dibandingkan orang
yang mempunyai epilepsi lesional (mesial, temporal, dan kelompok
epilepsi lobus ekstratemporalis) (52,9%) (X2 = 7,0, P = 0,008).
Apabila orang yang mempunyai lesi dibagi menjadi orang yang
mempunyai epilepsi lobus temporalis mesial (50,4%) dan lesi
sclerosis temporal non-mesial (kelompok epilepsi lobus temporalis
dan ekstratemporalis) (56%) dan kelompok-kelompok tersebut
dibandingkan secara individual dengan kelompok non-lesional,
keduanya mempunyai prevalensi lebih rendah untuk gangguan
psikiatrik dibandingkan kelompok yang mempunyai epilepsi fokal
8
non-lesional (kelompok epilepsi lobus temporalis dan ekstra
temporalis) (69,2%) (X2 = 7,7, P = 0,021).
Tidak ada kaitan statistik antara prevalensi diagnosis
psikiatrik dengan lateralitas fokus kejang (kanan 56,3%, kiri
61%, bilateral 54,5%) (X2 = 0,8, P = 0,7). Tidak ada perbedaan
signifikan dalam prevalensi gangguan psikiatrik apapun antara
pasien yang mempunyai epilepsi lobus temporalis (57%) lawan
epilepsi lobus ekstratemporalis (62,1%) (X2 = 0,58, P = 0,49).
Orang yang mempunyai epilepsi non-lesional (baik kelompok
epilepsi lobus temporalis maupun ekstratemporalis) mempunyai
prevalensi yang lebih tinggi secara signifikan untuk gangguan
psikiatrik (69,2%) dibanding orang yang mempunyai epilepsi
lesional (epilepsi lobus sclerosis temporal mesial, epilepsi
lobus temporal lesional, dan kelompok epilepsi lobus ekstra-
temporalis lesional; 52,9%) (X2 = 7,07, P = 0,008).
Analisis regresi logistic mengidentifikasi epilepsi lesional
lawan non-lesional sebagai satu-satunya variabel independen yang
berkaitan secara statistik dengan diagnosis penyakit psikiatrik
(P = 0,006) (Tabel 2). Suatu kontras yang membandingkan epilepsi
fokal lesional dengan epilepsi fokal non-lesional adalah
signifikan (P = 0,002). Odds pada diagnosis psikiatrik apapun
untuk orang yang mempunyai epilepsi fokal non-lesional adalah 2,4
kali dari odds untuk orang yang mempunyai epilepsi fokal
lesional. Tidak ada perbedaan statistik menurut apakah lesi
adalah sclerosis temporal mesial atau lesi lain, atau menurut
lateralitas fokus kejang.
Prevalensi Gejala Depresi
Hasil-hasil untuk gejala depresi dimasa lampau atau masa
sekarang adalah sama dengan hasil untuk diagnosis psikiatrik
apapun. Tidak ada perbedaan signifikan dalam prevalensi depresi
antara orang yang mempunyai epilepsi lobus temporalis (31,2%) dan
epilepsi lobus ekstratemporalis (37,9%) (X2 = 1,06, P = 0,3),
begitu juga antara orang yang mempunyai lateralitas sisi-kanan
(32,6%), sisi-kiri (33.1%) atau bilateral (31,8%) (X2 = 0,2, P =
9
0,99). Kelompok yang mempunyai epilepsi fokal non-lesional
memperlihatkan prevalensi yang lebih tinggi untuk depresi (41,6%)
dibandingkan kelompok yang mempunyai lesi pada MRI (kelompok
epilepsi lobus temporal mesial dan kelompok epilepsi lobus
ekstratemporalis) (28,5%) (X2 = 5,17; P = 0,03). Tidak ada
perbedaan signifikan dalam tingkat depresi antara orang yang
mempunyai sclerosis temporal mesial (26,4%) dan orang yang
mempunyai lesi fokal tipe lain di lobus temporalis (27,6%) (X2 =
0,026, P = 0,86).
Analisis regresi logistic yang mengkonfirmasi diagnosis
depresi diprediksi dengan paling baik pada epilepsi non-lesional
(P = 0,04) apabila letak awitan kejang, epilepsi lesional dan
lateralitas dimasukkan dalam model (Tabel 2). Ini dikonfirmasi
dengan memeriksa epilepsi lesional dibandingkan dengan epilepsi
non-lesional (P = 0,01). Odds diagnosis depresi untuk kelompok
yang mempunyai epilepsi fokal non-lesional adalah hampir dua kali
odds untuk kelompok yang mempunyai epilepsi fokal lesional (OR =
1,96, 95% CI 1,16 – 3,31). Diagnosis depresi tidak diramalkan
berdasarkan apakah fokusnya adalah temporalis atau ekstratempora-
lis (P = 0,5). Lebih lanjut, tidak ada perbedaan statistik antara
tingkat depresi pada kelompok yang mempunyai epilepsi lobus
temporalis mesial dibandingkan dengan lesi lainnya (P = 0,06).
Diagnosis depresi tidak diramalkan bersadar letak awitan kejang
atau lateralitas fokus.
Untuk menentukan apakah depresi adalah faktor yang paling
penting dalam kaitan antara epilepsi non-lesional dengan
‘diagnosis psikiatrik apapun’, maka analisis diulangi dengan
mengeluarkan semua orang yang mempunyai depresi. Analisis ini
tidak memperlihatkan hubungan apapun antar variabel independen
dan tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan untuk epilepsi
non-lesional. Ini menunjukkan bahwa kontributor utama untuk pola
yang dihasilkan oleh rangkaian analisis pertama (untuk ‘diagnosis
psikiatrik apapun’) adalah adanya riwayat gejala depresi.
Prevalensi Psikosis
10
Tidak ada hubungan signifikan antara variabel epilepsi manapun
dan riwayat gejala psikosis masa lalu atau sekarang. Analisis
yang membandingkan epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi
fokal non-lesional, sclerosis temporal mesial dengan lesi lainnya
dan epilepsi fokal non-lesional dan lateralitas fokus kejang
tidak mendapati kaitan pada analisis X2 univariate. Begitu juga,
regresi logistic tidak memperlihatkan kaitan yang signifikan
untuk variabel yang manapun (Tabel 3).
D I S K U S I
Kekuatan penelitian ini terletak pada kombinasi klasifikasi
sindrom epilepsi modern dan diagnosis psikiatrik yang relevan
secara klinik pada suatu cohort konsekutif besar yang terdiri
dari orang-orang yang mempunyai epilepsi fokal yang refrakter
pengobatan. Ada tiga temuan penting pada penelitian ini yang
berkaitan dengan prevalensi diagnosis psikiatrik pada berbagai
subtype epilepsi fokal, yaitu effek dari apakah itu adalah
epilepsi lesional atau non-lesional, dan effek dari apakah itu di
sisi-kanan, sisi-kiri atau bilateral.
Pertama, prevalensi gangguan psikiatrik tidak berbeda antara
orang yang mempunyai epilepsi lobus temporalis dan epilepsi lobus
ekstra-temporalis. Lebih lanjut, orang yang mempunyai epilepsi
lobus temporalis medial tidak memperlihatkan tingkat diagnosis
psikiatrik yang lebih tinggi ketika dibandingkan dengan orang
yang mempunyai epilepsi lobus temporalis lain (yaitu epilepsi
lobus temporalis non-lesional) atau epilepsi lobus ekstra-
temporalis. Temuan ini selaras dengan sejumlah penelitian selama
bertahun-tahun yang tidak berhasil mengkonfirmasi pendapat umum
bahwa ada kaitan spesifik antara epilepsi lobus temporalis dan
psikopatologi tetapi sangat berbeda dengan praktek klinik yang
telah diterima secara umum. Kedua, orang yang diidentifikasi
tidak mempunyai lesi pada MRI adalah lebih mungkin mempunyai
riwayat depresi masa sekarang atau seumur hidup. Temuan ini tidak
tergantung pada apakah fokus kejangnya temporalis atau
11
ekstratemporalis. Ketiga, diagnosis psikiatrik adalah tidak
berkaitan dengan apakah letak fokus epilepsi di sisi-kanan, sisi-
kiri atau bilateral.
Penelitian yang telah mengidentifikasi lebih tingginya
tingkat prevalensi psikopatologi pada epilepsi lobus temporalis
biasanya tidak menggunakan MRI dan VEM untuk diagnosis epilepsi
dan mempunyai jumlah partisipan yang lebih sedikit dibandingkan
penelitian kami.
Kami tidak dapat mengkonfirmasi temuan Quiske et al yang
mendapati skor depresi yang lebih tinggi secara signifikan pada
BDI (Beck Depression Inventory) pada orang yang mempunyai sclero-
sis temporal mesial dibandingkan dengan orang yang mempunyai lesi
di regio neokortikal temporal lainnya. Artikel mereka tidak
menyertakan orang yang mempunyai epilepsi lobus ekstratemporalis
dan epilepsi fokal non-lesional, yang membandingkan orang yang
mempunyai epilepsi lobus temporalis dan sclerosis temporal mesial
dengan orang yang mempunyai epilepsi lobus temporalis dan lesi
neokortikal. Tetapi ketika kami melakukan analisis yang serupa
terhadap cohort kami, yaitu epilepsi lobus temporalis mesial
lawan epilepsi lobus temporalis lesional, kami tidak mendapati
perbedaan statistik pada tingkat gangguan psikiatrik. Ada
sejumlah perbedaan dalam penelitian itu yang mungkin menjadi
penyebab ketidak-sesuaian ini. Ukuran sampel kami lebih besar
(yaitu 179 orang, diantaranya 121 mempunyai epilepsi lobus
temporalis mesial dan 58 orang mempunyai epilepsi lobus
temporalis lesional) dibandingkan ukuran penelitian sebelumnya
(yaitu 60 orang, diantaranya 43 mempunyai sclerosis temporal
mesial dan 16 mempunyai lesi temporal neokortikal), menyebabkan
adanya kemungkinan terjadinya error tipe II. Karena data kami
dikumpulkan secara prospektif untuk tujuan klinis maka kami tidak
mempunyai skor BDI. Walaupun penilaian klinis mungkin lebih
akurat pada populasi ini dari pada suatu BDI, tetapi ini bukanlah
penilaian yang setara. Juga, disebabkan keterbatasan pada
pengumpulan data maka kami mempunyai lesi ‘jaringan asing’
neokortikal didalam kelompok epilepsi lobus temporalis lesional
12
kami. Ini dapat mengaburkan suatu perbedaan nyata yang tergantung
pada letak didalam lobus temporalis bukannya sifat patologi.
Disamping itu, kelompok sclerosis temporal mesial dalam
penelitian Quiske mempunyai awitan kejang lebih dini dan durasi
penyakit lebih panjang dari pada kelompok lesi neokortikal
mereka. Jika sclerosis temporal mesial dan epilepsi fokal lainnya
adalah kondisi yang progresif, maka progresi psikiatrik mungkin
dapat menjelaskan meningkatnya insidensi depressi pada kelompok
sclerosis temporal mesial ini. Sayangnya kami tidak dapat menguji
kaitan tersebut pada cohort kami, disebabkan tidak tersedianya
data yang dapat diandalkan tentang awitan epilepsi.
Kaitan antara depresi dan epilepsi non-lesional, tanpa
memandang apakah seseorang mempunyai epilepsi lobus temporalis
atau ekstra-temporalis, adalah suatu temuan baru yang sebelumnya
tidak dilaporkan. Psikosis, bukan depresi, biasanya berkaitan
dengan adanya atau tidak adanya lesi. Telah diterima secara umum
berdasar penelitian neuropatologi bahwa lesi jaringan asing
mungkin mempunyai tingkat psikosis yang lebih tinggi dari pada
sclerosis temporal mesial dan bahwa lesi yang berawal pada
perinatal mungkin sangat relevan. Walaupun tidak ada penelitian
yang membahas peran epilepsi lesional lawan epilepsi non-lesional
dalam depresi, tetapi ada beberapa alasan kuat untuk melakukan-
nya. Pertama, pendekatan tersebut akan mengklasifikasi partisipan
menurut sifat patologi epileptogenik yang mendasari. Kedua,
Roberts et al tidak menyelidiki hubungan antara kelompok yang
mempunyai dan yang tidak mempunyai lesi dan depresi. Kegagalan
penelitian sebelumnya untuk menyelidiki apakah ada kaitan antara
mempunyai epilepsi lesional atau non-lesional dan psikopatologi
adalah dapat dimengerti mengingat bahwa sebagian besar penelitian
telah mencoba memahami psikopatologi dengan menyelidiki letak
fokus kejang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sifat
kelainan patologis yang mendasari mungkin lebih penting dari pada
lokasinya. Kami tidak mendapati kaitan antara letak fokus dan
prevalensi penyakit psikiatrik.
13
Walaupun penelitian yang sekarang ini mengidentifikasi
hubungan antara prevalensi depresi dan epilepsi fokal non-
lesional, tetapi basis neurobiologis temuan ini masih spekulatif.
Kelompok non-lesional mungkin merupakan orang yang mempunyai
perubahan ringan tetapi luas atau lesi yang tidak terdeteksi pada
MRI (yang disebabkan oleh keterbatasan resolusi). Mendukung usul
bahwa orang-orang ini mempunyai patologi yang lebih luas adalah
hipometabolisme PET yang tersebar lebih luas yang terlihat pada
orang yang mempunyai epilepsi lobus temporalis tanpa lesi MRI
dibandingkan dengan orang yang mempunyai sclerosis temporal
mesial. Lebih lanjut, literatur menunjukkan bahwa gangguan
fungsional yang lebih ekstensif adalah berkaitan dengan adanya
gangguan psikiatrik. Orang yang mempunyai epilepsi dan disertai
depresi dan psikosis, dibandingkan dengan orang yang tanpa
komorbiditas psikiatrik, mempunyai perubahan imaging fungsional
yang lebih ekstensif di regio serebral misalnya lobus frontal.
Walaupun lesi fokal mungkin mengakibatkan interupsi total
terhadap koneksi sel saraf pada tempat lesi, patologi yang luas
dapat mengakibatkan gangguan yang lebih luas pada jalur fronto-
limbik. Jika orang yang mempunyai epilepsi non-lesional mempunyai
gangguan fungsional yang lebih ekstensif dari pada orang yang
mempunyai epilepsi fokal lesional, ini mungkin menyebabkan
naiknya tingkat depresi. Jika dikonfirmasi, temuan ini akan
mempunyai implikasi yang potensial terhadap tatalaksana dan
rehabilitasi orang-orang ini.
Kami tidak mengidentifikasi kaitan apapun yang signifikan
antar sub-kelompok epilepsi dan prevalensi psikosis, kami juga
tidak mereplikasi temuan yang dilaporkan sebelumnya tentang
naiknya tingkat psikosis pada orang yang mempunyai lesi walaupun
menyelidiki kesamaan jumlah peserta. Haruslah diakui bahwa
kecilnya jumlah peserta pada semua penelitian menyebabkan
kesimpulan dalam konteks ini sulit dibuat.
Kekuatan
14
Kekuatan penelitian ini berkaitan dengan penggunaan VEM dan MRI
untuk menentukan tipe epilepsi fokal, besarnya ukuran sampel
diseluruh sub-tipe epilepsi fokal, dan dimasukkannya orang-orang
yang mempunyai epilepsi fokal non-lesional. Penggunaan penilaian
neuropsikiatrik klinis untuk mengidentifikasi morbiditas psikia-
trik dapat dianggap sebagai keterbatasan penelitian dibandingkan
dengan penelitian yang menggunakan alat diagnosis standar.
Tetapi, penilaian neuropsikiatrik klinis dalam pelayanan kami
adalah lebih lengkap dan lebih mungkin dapat mendeteksi gejala
atipikal. Formulasi neuropsikiatrik lengkap biasanya diterima
sebagai standar emas untuk diagnosis psikiatrik. Mengingat bahwa
tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi diagnosis
psikiatrik yang relevan secara klinis dalam suatu cohort besar
yang terdiri dari rang-orang yang mempunyai epilepsi fokal, maka
tersedianya penilaian klinis oleh seorang ahli neuropsikiatri
yang berpengalaman selama periode 11 tahun adalah unik dalam
literatur, ditinjau dari jumlah orang yang dinilai, dalamnya
penilaian klinis dan kontinyuitas penilaian. Wawancara klinis
oleh klinikus yang berpengalaman mungkin merupakan alat diagnosis
yang lebih valid pada populasi ini mengingat sifat atipikal
gambaran psikiatrik dan defisiensi kriteria diagnostik DSM.
Keterbatasan
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu
keterbatasan yang selalu melekat pada penelitian retrospektif
terhadap populasi klinik. Pertama, walaupun meneliti suatu cohort
besar, tetapi jumlah peserta pada beberapa sub-kelompok, khusus-
nya sub-kelompok psikosis, adalah relatif kecil. Keterbatasan
seperti ini tidak unik pada penelitian kami. Sebagian besar
penelitian yang menyelidiki psikosis dari epilepsi mempunyai
jumlah-jumlah yang kira-kira sama.
Kedua, disain retrospektif tidak memungkinkan penilaian
standard terhadap variabel yang sebelumnya berkaitan dengan
komorbiditas psikiatrik misalnya effek obat anti epilepsi, durasi
15
penyakit, adanya kejang febris atau frekuensinya dan kejang
cluster.
Ketiga, ada elemen bias seleksi yang tidak dapat dihindari
dalam serial kami. Semua pasien dirujuk ke senter perawatan
tertier karena epilepsi fokal yang refrakter pengobatan dan oleh
karena itu hanya dapat dilihat sebagai mewakili mereka yang
mempunyai penyakit kronis. Disamping itu, walaupun semua pasien
yang diterima adalah rujukan, tidak semuanya diperiksa oleh ahli
neuropsikiatri. Walaupun tinjauan kami terhadap arsip medis
menunjukkan bahwa tidak adanya ahli neuropsikiatri adalah
penyebab tidak adanya penilaian, tetapi masih ada kemungkinan
bahwa pasien yang dianggap oleh perujuk sebagai mempunyai penya-
kit psikiatrik mungkin rujukannya telah diutamakan. Disamping
itu, partisipan yang diterima karena epilepsi lobus temporalis
untuk pembedahan mungkin juga telah diutamakan rujukannya. Demi
memperhatikan masalah ini maka kami melaksanakan analisis gaya
sensitif (atau bertujuan merawat) yang mencakup semua orang dalam
cohort tersebut dan mengasumsikan bahwa pasien yang tidak dipe-
riksa tidak mempunyai diagnosis psikiatrik. Pasien yang mempunyai
epilepsi lobus temporalis dan epilepsi lobus ekstratemporalis
kemudian dibandingkan lagi untuk diagnosis psikiatrik dan sekali
lagi tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam tingkat
penyakit psikiatrik (X2 = 0,582, P = 0,446). Oleh karena itu kami
menyimpulkan bahwa sedikit ketidak-seimbangan penilaian ini tidak
menyembunyikan perbedaan nyata antar kelompok-kelompok ini dalam
tingkat penyakit psikiatrik. Yang penting, penilaian neuro-
psikiatrik dilaksanakan sebelum pertemuan tinjauan klinis
epilepsi dimana sindrom epilepsi partisipan diklasifikasikan dan
dengan demikian diformulasikan tanpa mengetahui diagnosis
epilepsi fokal formal.
Penggunaan VEM dan MRI untuk mengidentifikasi tipe epilepsi
fokal pada sejumlah besar orang telah memungkinkan kami
mengevaluasi-ulang terhadap banyak kaitan yang dilaporkan
sebelumnya antara gangguan psikiatrik dan epilepsi fokal.
Penelitian ini tidak mengkonfirmasi adnya kaitan antara depresi
16
dan gender pria, lateralitas sisi-kiri atau sclerosis temporal
mesial. Kami tidak menemukan kaitan apapun antara prevalensi
psikosis atau gangguan personality dan subtype epilepsi fokal.
Temuan baru pada penelitian ini adalah naiknya tingkat
depresi pada epilepsi fokal non-lesional, yang tidak tergantung
kepada lobus fokus kejang. Kami mempunyai hipotesis bahwa kaitan
ini adalah berhubungan dengan adanya proses patogenik epilepto-
genik dasar yang lebih luas pada orang-orang ini. Klarifikasi
lebih jauh tentang issue ini akan mempunyai implikasi klinis yang
signifikan untuk orang yang mempunyai epilepsi fokal dan mungkin
dapat mempengaruhi pemahaman kita tentang neurobiology yang
mendasari penyakit psikiatrik penting misalnya psikosis dan
depresi.
#######
17