jurnal malnutrisi pada pasien dengan stroke akut

27
Journal Reading MALNUTRISI PADA PASIEN DENGAN STROKE AKUT Oleh : Marhamah Hasnul 0910312138 Ami Tri Nursasmi 0910312126 Khairunnisa Usman 07923087 Preseptor: Prof. DR. dr. H. Darwin Amir, Sp. S (K) dr. Syarif Indra, Sp.S BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF 1

Upload: drmarhu

Post on 25-Nov-2015

434 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Malnutrisi pada pasien stroke

TRANSCRIPT

Journal Reading

MALNUTRISI PADA PASIEN DENGAN STROKE AKUT

Oleh :Marhamah Hasnul0910312138Ami Tri Nursasmi0910312126Khairunnisa Usman07923087

Preseptor:Prof. DR. dr. H. Darwin Amir, Sp. S (K)dr. Syarif Indra, Sp.S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALASPADANG2014

MALNUTRISI PADA PASIEN DENGAN STROKE AKUT

Stroke adalah suatu peristiwa yang berpotensi menimbulkan kecacatan jangka panjang. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan stroke, dan disfagia berkontribusi terhadap risiko malnutrisi. Selama fase akut dan pemulihan pada pasien stroke, intervensi gizi khusus melalui upaya tim multidisiplin dapat meningkatkan pemulihan fungsi neurokognitif. Identifikasi dini dan pengelolaan malnutrisi dengan modifikasi diet atau strategi terapi khusus untuk memastikan asupan gizi yang memadai haruslah mendapat perhatian lebih, karena status gizi buruk dapat memperburuk kerusakan otak dan berkontribusi pada prognosis yang buruk. Tujuan utama dari intervensi gizi merupakan pencegahan atau pengobatan komplikasi akibat defisit energi - protein. Tulisan ini membahas tentang evaluasi dan pengelolaan malnutrisi dan penggunaan alat bantu nutrisi khusus pada pasien dengan stroke. Hal ini ditekankan pada pemberian makan melalui selang enteral dan pemberian makan secara oral serta strategi untuk menghentikan penggunaan selang makan.

1. PendahuluanStroke adalah penyebab utama ketiga kematian di negara maju setelah penyakit jantung koroner dan kanker [1]. Pada tahun 2008, prevalensi stroke di AS diperkirakan 7.000.000 pasien dengan rata-rata satu pasien meninggal karena stroke setiap 4 menit [1]. Di negara-negara Eropa, kejadian stroke bervariasi antara 100 sampai 700 kejadian per 100.000 penduduk [2]. Insiden stroke diperkirakan akan meningkat dalam 5-10 tahun ke depan sebesar 12% pada populasi umum dan 20% pada penduduk berpenghasilan rendah [3]. Angka kematian dalam 30 hari pertama dan pada 1 tahun setelah stroke masing-masingnya adalah 20% dan 30%. Sebagian besar (65-85%) stroke di negara Barat adalah stroke iskemik sedangkan stroke hemoragik yang angka kejadiannya lebih rendah lebih sering menyebabkan kelumpuhan [4]. Diantara sepertiga dan setengah dari pasien dengan stroke hemoragik tidak bertahan dan hanya 10-20% dari mereka mendapatkan kembali fungsi fungsional tubuhnya [5].Meskipun dengan manajemen akut yang optimal, lebih dari 30% dari penderita stroke mengalami kecacatan berat setelah stroke dan 20% akan memerlukan perawatan institusional selama 3 bulan [1]. Kecacatan jangka panjang merupakan komplikasi pasca yang paling sering terjadi dengan 50% diantaranya mengalami hemiparesis dan 30% tidak mampu berjalan tanpa bantuan, sehingga menimbulkan beban sosial ekonomi yang sangat besar [1, 2]. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan stroke akut dan selama masa rehabilitasi. Malnutrisi berhubungan dengan kondisi pasien yang buruk [6, 7]. Dalam hal ini, kami meninjau prevalensi, konsekuensi, and tatalaksana malnutrisi pada pasien dengan stroke.

2. Definisi MalnutrisiIstilah "malnutrisi" merupakan komplikasi yang penting untuk dicegah pada pasien stroke akut dan digunakan untuk menggambarkan sejumlah besar gangguan gizi. Hal ini ditandai dengan ketidakseimbangan yang lama antara asupan dan kebutuhan dari energi dan protein, dengan kebutuhan metabolisme yang melebihi asupan gizi [8, 9], sehingga menyebabkan ketidakcukupan komposisi dan fungsional tubuh [10].

3. Angka Kejadian MalnutrisiPrevalensi malnutrisi setelah stroke yang dilaporkan sangat bervariasi[11]. Diperkirakan sekitar seperlima dari pasien dengan stroke akut mengalami malnutrisi pada saat masuk rumah sakit [11]. Dalam sebuah penelitian kecil pada pasien geriatri dengan stroke berat, 56,3% pasien mengalami malnutrisi dengan lama rawatan lebih dari 3 minggu. Di sisi lain, pada pasien pasca stroke yang berada di sebuah rumah sakit, prevalensi malnutrisi mrncapai 61% [12]. Dalam 18 penelitian sistematis terbaru, frekuensi malnutrisi berkisar antara 6,1 hingga 62% [9]. Perbedaan pada waktu penilaian, jenis stroke (iskemik dibandingkan hemoragik), kondisi medis komorbid, dan komplikasi stroke dapat berkontribusi dalam besarnya variabilitas ini [8, 9]. Namun, sebagian besar dari variasi ini juga dapat dikaitkan dengan perbedaan metode penilaian gizi [8, 9]. Prevalensi malnutrisi meningkat dengan peningkatan lama rawat inap dan dengan penurunan perbaikan fungsional selama rehabilitasi [8, 13]. Dalam penelitian pada 104 pasien dengan stroke akut, kekurangan energi protein (KEP) terjadi pada 16,3% pasien saat masuk rumah sakit, dan angka ini meningkat menjadi 26,4% pada hari ke 7 dan 35% pada hari ke 14 rawatan rumah sakit [8].

4. Faktor risiko MalnutrisiPada saat masuk rumah sakit, adanya penyakit kronis, polifarmasi, kesulitan makan, dan cacat fungsional berhubungan dengan peningkatan risiko malnutrisi, terutama pada pasien usia lanjut [14]. Diabetes mellitus dan riwayat stroke meningkatkan risiko kekurangan gizi pada saat masuk rumah sakit masing-masingnya sebesar 58 dan 71% [8, 12]. Sebaliknya, lokasi atau jenis stroke, paresis yang dominan pada lengan, status sosial ekonomi, dan pendidikan tidak berhubungan secara signifikan dengan malnutrisi [8, 12]. Menariknya, defisiensi mikronutrien seperti vitamin B, vitamin D, antioksidan (A, C, dan E), dan seng [2, 11] berkontribusi dalam perubahan pembuluh darah di otak dan meningkatkan risiko stroke serta gangguan kognitif pada usia tua (Tabel 1). Namun, bagaimana faktor-faktor ini saling terkait masih sulit dipahami [11].Disfagia merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya malnutrisi pada pasien yang menderita stroke. Dalam penelitian prospektif pada 49 pasien stroke menunjukkan bahwa disfagia dan penggunaan selang makan merupakan prediktor kuat terjadinya malnutrisi saat masuk rumah sakit [12, 15]. Malnutrisi akan semakin memburuk akibat disfagia jika asupan gizi secara substansial berkurang dari kebutuhan pada setiap hari dan minggunya.Tabel 1 Mikronutrien dan mekanisme kekurangannya dalam menyebabkan perubahan serebrovaskular dan meningkatkan risiko strokeMikronutrienMekanisme

Asam folatKofaktor pada metabolisme homosisteinHiperhomosisteinemia (berpotensi aterogenik)

Vitamin B(i) B6 dan B12: kofaktor pada metabolisme homosistein(ii) Berpotensi sebagai antioksidan(i) Hiperhomosisteinemia (berpotensi aterogenik)(ii) Stress oksidatif

Vitamin D(i) Mengontrol kadar parathormon(ii) Supresi ambilan kolesterol oleh makrofag dan pembentukan sel busa(iii) Meningkatkan ukuran partikel lipoprotein densitas tinggi(i) Hiperparatiroid sekunder: resistensi insulin dan disfungsi sel pankreas Diabetes mellitus tipe 2 aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron hipertensi stimulasi inflamasi sistemik dan vaskular atherogenesis(ii) atherogenesis

Vitamin A, C, dan EantioksidanStress oksdatif

Seng(i) aktivasi sintesis protein otak(ii) mengontrol pembentukan sinaps baru(iii) kofaktor superoxide dismutase(i) gangguan neurokognitif(ii) gangguan neurotransmisi(iii) stress oksidatif

Bahkan pada pasien tanpa disfagia, asupan gizi yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang lama, terutama protein , juga meningkatkan risiko untuk terjadinya malnutrisi [15-17]. Selain disfagia, faktor yang berkontribusi terhadap asupan gizi yang buruk termasuk berkurangnya tingkat kesadaran, kebersihan mulut yang buruk, depresi, mobilitas yang kurang, dan kelemahan lengan atau wajah [13]. Depresi pasca stroke dapat mengurangi nafsu makan dan mempengaruhi pemulihan aktivitas kehidupan sehari-hari . Pasien stroke sering diberikan obat antidepresan dan pencegah xerostomia, efek dari pengobatan ini harus dipantau agar tidak terjadi kesulitan makan [8,18]. Diperkirakan, 10 hari tirah baring pada orang dewasa tua yang sehat dapat menurunkan sintesis protein otot sebesar 30 % dan mengurangi massa otot tungkai sebesar 6 % yang mengakibatkan penurunan kekuatan otot sebesar 16 % [ 1 ] . Kurangnya mobilitas atau ketidakaktifan tubuh dapat mengganggu sensitivitas terhadap insulin, yang mempengaruhi metabolisme energi yang menggunakan glukosa dan menurunkan stimulasi anabolik yang menginduksi insulin. Pasien dengan hemiplegia kemungkinan tidak dapat mempertahankan kepala atau tubuh dalam posisi tegak dan mungkin harus makan dengan menggunakan tangan yang tidak dominan.Pasien dengan stroke akut juga sering mengalami kelelahan yang mengakibatkan kesulitan makan. Pasien dapat berhenti makan sebelum kenyang, karena pasien butuh istirahat atau bahkan tertidur. Jika pasien makan dan minum terlalu sedikit dapat memperburuk kelelahan serta mengakibatkan malnutrisi [19]. Kesulitan melihat, berbicara, dan bahasa menghambat komunikasi pasien akan kebutuhan makan. Defisit kognitif juga membatasi kemampuan pasien untuk melakukan kegiatan yang diperlukan untuk makan sehingga meningkatkan risiko malnutrisi [8]. Pentingnya keparahan stroke dalam menentukan risiko malnutrisi didapatkan bahwa pasien dengan stroke hemoragik secara signifikan lebih mungkin mengalami malnutrisi dibandingkan dengan stroke iskemik [12]. Pada akhirnya, perempuan lebih rentan mengalami malnutrisi dibandingkan laki-laki karena mereka makan lebih sedikit dan menderita stroke pada usia yang lebih tua. Oleh karena itu, skrining malnutrisi pada perempuan harus lebih diperhatikan dan penatalaksanaan malnutrisi dilakukan dengan segera [19].Selain disfagia dan asupan gizi yang tidak adekuat, kebutuhan metabolisme yang meningkat selama pemulihan juga meningkatkan risiko malnutrisi [11, 20]. Selain itu, usia tua, status ekonomi atau perawatan yang kurang, tidak ada rehabilitasi tahap awal, adanya keganasan, dan riwayat alkoholisme berat dapat berkontribusi pada terjadinya malnutrisi dan dehidrasi [8, 18]. Malnutrisi yang telah ada sebelumnya juga dapat meningkatkan risiko untuk memburuknya status gizi [15]. Khususnya, hampir 90% dari pasien stroke yang usianya lebih dari 65 tahun, akibat terjadinya stroke akut dapat menyebabkan adanya tambahan masalah gizi [21].

5. Malnutrisi sebagai Faktor Risiko Prognosis BurukBanyak bukti yang ditemukan bahwa malnutrisi dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada pasien dengan stroke iskemik dan stroke hemoragik [6, 12, 22]. Kekurangan energi protein (KEP) pada saat masuk rumah sakit mempengaruhi mekanisme cedera otak iskemik dan mengganggu pemulihan [7]. Kekurangan energi protein (KEP) dapat menyebabkan perubahan pada ekspresi gen terkait plastisitas yang berhubungan dengan mekanisme pemulihan setelah iskemik yang luas [7]. Kekurangan energi protein juga dapat menyebabkan perubahan pada protein terkait plastisitas hipokampus, yang menunjukkan bahwa KEP dapat menyebabkan kelainan pada struktur, fungsi, dan plastisitas dari serat hipokampus [17]. Setelah terjadinya iskemik yang luas, KEP mengintensifkan ekspresi protein trkB dan GAP-43 dalam hipokampus, yang memperlihatkan peningkatan respon stres dan hipereksitabilitas pada sirkuit hipokampus [17, 23].Pasien malnutrisi dengan stroke mengalami reaksi stress yang lebih tinggi, dimana meningkatkan terjadinya ulkus, infeksi pada saluran nafas dan saluran kemih, sehingga memperpanjang lama rawatan dan meningkatkan angka kematian [20]. Dalam suatu studi epidemiologi skala besar terbaru dari 21.884 pasien stroke yang dirawat, angka kematian setelah 5 tahun lebih tinggi pada kelompok dengan berat badan kurang [17]. Di antara 2.194 pasien pasca stroke yang diberikan percobaan Feed Or Ordinary Diet (FOOD), pasien dengan gizi kurang lebih sering mengalami pneumonia, infeksi, dan perdarahan gastrointestinal. Pasien kurang gizi juga memiliki angka kematian yang lebih tinggi dalam periode pemantauan rata-rata selama 196 hari [12].Nilai protein dan albumin serum yang rendah merupakan penanda suatu malnutrisi, yang berhubungan dengan gangguan status fungsional tubuh, prognosis yang buruk, dan angka kematian yang tinggi [12]. Namun, peran protein dan albumin serum sebagai marker malnutrisi masih kontroversial pada pasien stroke, karena sebagai penyakit kritis, dapat meningkatkan terjadinya inflamasi, sehingga meningkatkan pengeluaran energi dan meningkatkan katabolisme otot yang mengakibatkan penurunan tingkat sirkulasi protein. Oleh karena itu, nilai protein yang rendah pada pasien stroke masih diragukan antara keadaan malnutrisi atau peradangan [10]. Namun, pada pasien dengan stroke akut, konsentrasi albumin serum yang rendah dapat memprediksi angka kematian selama rawat inap dan kebutuhan untuk perawatan [12]. Pada pasien muda dengan stroke iskemik, prealbumin serum (transthyretin, PA) juga merupakan prediktor independen dari keadaan klinis [24].Nilai vitamin A, E, dan C serum sering turun pada pasien dengan stroke akut pada saat masuk rumah sakit dan semakin menurun selama rawatan [2]. Penuruan nilai ini memperlihatkan adanya malnutrisi atau merupakan akibat dari stres oksidatif yang meningkat selama stroke akut [25]. Rendahnya nilai vitamin berhubungan dengan infark serebral yang lebih luas, penurunan fungsional, dan angka kematian yang lebih tinggi [2].Dehidrasi dapat memperburuk proses iskemik dengan meningkatkan hematokrit dan viskositas darah serta menurunkan tekanan darah. Dehidrasi meningkatkan risiko serangan ulangan stroke dan pasien stroke dengan nilai osmolalitas plasma tinggi pada saat masuk rumah sakit, memiliki kelangsungan hidup yang kurang dari 3 bulan [15].

6. Penilaian Status GiziPenentuan status gizi pasien bukan hal yang mudah karena tidak ada definisi malnutrisi atau standar baku yang diterima secara universal untuk penentuan status gizi [8]. Selain itu, akibat metabolik non-nutrisional pada pasien stroke dapat memperlihatkan tanda-tanda malnutrisi dan menghambat deteksi malnutrisi yang sebenarnya [9]. Indikator malnutrisi meliputi kadar albumin serum, prealbumin, transferin, jumlah limfosit total, berat badan, indeks massa tubuh, ketebalan kulit triceps dan lingkar lengan atas [8]. Kekurangan pada pengukuran ketebalan kulit trisep adalah kurang sensitif dan adanya variabilitas pada dan antara pemeriksa. Berat badan, indeks massa tubuh, dan lingkar lengan atas juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sedangkan jumlah limfosit, kadar albumin, prealbumin, dan transferin serum dapat dipengaruhi oleh adanya peradangan. Dokter harus menyadari kekuatan dan keterbatasan masing-masing marker yang digunakan untuk menilai malnutrisi, dan mungkin lebih baik untuk menggunakan kombinasi marker bukan hanya satu penilaian [9].Penilaian awal status gizi akan sangat membantu dalam menentukan perencanaan gizi yang sesuai, dan penilaian yang berulang dapat membantu dalam menentukan perubahan terhadap perencanaan gizi [26].Riwayat gizi yaitu asupan makanan dan berat badan sebelumnya merupakan bagian penting dari penilaian gizi. Jika fungsi kognitif membatasi kemampuan pasien untuk memberikan informasi gizi yang akurat, para ahli gizi harus mencari informasi dari anggota keluarga [8].7. Tatalaksana MalnutrisiPenelitian pada hewan dan manusia menunjukkan adanya supresi sintesis protein dan terjadinya serangan stres oksidatif pada otak setelah stroke akut [2]. Perawatan nutrisi tampaknya memiliki efek menguntungkan pada mekanisme plastisitas yang penting untuk pemulihan setelah iskemia otak [17]. Intervensi gizi juga dapat meningkatkan efektivitas pemulihan stroke melalui pengaruh positif pada fungsi fisik dan mental [27]. Dikarenakan hilangnya massa otot dan lemak pada pasien stroke, strategi gizi harus menyediakan suplemen gizi yang adekuat untuk mencegah rawatan yang lama, fungsional yang buruk, dan kematian [2].Penentuan pemberian makan pada pasien stroke akut harus dilakukan dengan cepat setelah masuk rumah sakit . Jika fungsi saluran cerna baik dan tidak ada kontra indikasi lainnya, pemberian makanan secara enteral adalah metode pemberian makan yang lebih baik [8]. Fungsi menelan juga harus dinilai, idealnya oleh ahli gangguan bicara dan berbahasa [8] . Dalam hal ini, kebanyakan dokter menggunakan berbagai item termasuk puding, cairan tipis dan tebal, makanan ringan dan makanan yang membutuhkan pengunyahan . Volume awal biasanya berkisar antara 5 sampai 10 mL dan, jika berhasil, bolus yang lebih besar dengan karakteristik zat yang mengalir dapat diberikan. Respon pasien pada setiap item dapat dijadikan panduan untuk ditingkatkan menjadi volume yang lebih besar. Pemantauan observasional dalam mengevaluasi aktivitas menelan tidak boleh dianggap remeh karena toleransi selektif makanan lunak dan cairan merupakan penentu kebutuhan untuk penggunaan selang NGT [28]. Pada pasien disfagia, lama penggunaan pendukung nutrisi bergantung pada keparahan disfagia (Tabel 2).Tabel 2 Indikasi penggunaan alat bantu nutrisi enteral pada pasien strokeIndikasi penggunaan alat bantu nutrisi enteral pada pasien stroke

DisfagiaAsupan gizi yang tidak adekuat akibat:(i) Penurunan kesadaran(ii) Depresi(iii) Oral hygiene yang buruk(iv) Xerostomia(v) Berkurangnya mobilitas(vi) Kelemahan lengan dan wajah(vii) Kelelahan(viii) Gangguan penglihatan, berbicara dan berbahasa(ix) Defisit kognitifPeningkatan kebutuhan metabolik

Berat badan pasca stroke dan komposisi tubuh dapat berubah, sehingga harus diukur secara teratur selama pemulihan. Intervensi gizi harus ditargetkan untuk menghindari penurunan berat badan dan dilakukan dengan menyesuaikan diet dengan kemampuan menelan [29, 30]. Protokol pemberian makan dijelaskan dalam pedoman praktek klinis dan menjadi bagian dari standar perawatan [31, 32]. Konsultasi dengan ahli gizi klinis juga penting untuk penilaian gizi dan untuk pengembangan rencana pemantauan [26]. Usia, obesitas, tingkat keparahan stroke, adanya infeksi dan penyakit penyerta, obat-obatan, mobilitas, dan tingkat aktivitas mempengaruhi kebutuhan kalori, sehingga membutuhkan penilaian berulang oleh ahli gizi. Kalorimetri langsung adalah standar baku untuk menentukan kebutuhan kalori, namun sering tidak tersedia. Saat ini, tidak ada rumus untuk menghitung kebutuhan gizi yang telah telah divalidasi pada populasi stroke [8]. Menariknya, kebijaksanaan konvensional bahwa pasien stroke yang awalnya hipermetabolik telah ditantang selama dekade terakhir. Pengeluaran energi total (TEE) berdasarkan kalorimetri langsung adalah rendah selama 5 hari pertama pada pasien dengan stroke yang dirawat di unit perawatan intensif [26]. Selain itu, kebutuhan kalori dapat menurun selama perawatan karena berkurangnya mobilitas [8]. Secara keseluruhan, asupan gizi yang direkomendasikan untuk pasien stabil, yang berada dalam fase stroke subakut dan memiliki fungsi ginjal normal adalah: asupan protein harian> 1 g / kg untuk mencapai rasio karbohidrat / protein