jurnal demokrasi & ham vol. 5, no. 1, 2005 · pdf fileternyata kemudian gagal deng an...

120
Daftar Isi Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 CATATAN REDAKSI: Pemikiran Pemimpin Bangsa ........................................................ 3 ANALISIS Anhar Gonggong Soekarno dan Demokrasi Indonesia: Sebuah Pencarian (Presiden RI 1945 - 1965) ................................. 6 Yudi Latif Mengenang Rezim Pembangunan Represif: Gambaran Politik Ekonomi Orde Baru ......................................... 29 M. Dawam Rahardjo Pemikiran Habibie tentang Pembangunan ..................................... 54 TELAAH Junarto Imam Prakoso Memahami Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Bung Hatta (Wakil Presiden RI 1945 – 1956, Perdana Menteri RIS 1948 – 1950) ............................................. 68 Teguh Apriliyanto – Tata Mustasya Sjahrir dan Sosialisme Indonesia (Perdana Menteri, 14 November 1945 – 26 Juni 1947) .................. 80 Teguh Apriliyanto Mohammad Natsir: Islam, Kebangsaan, dan Demokrasi (Perdana Menteri NKRI, 6 September 1950 – 27 April 1951) ........ 91 Dodi Priambodo Wilopo, Menciptakan Agenda Otonomi Daerah dan RAPBN Pertama (Perdana Menteri, 1 April 1952 – 3 Juni 1953) ................ 103 Dodi Priambodo Ali Sastroamidjojo, Tokoh dalam Kebangkitan Solidaritas Negara Asia - Afrika (30 Juli 1953- 24 Juli 1955 dan 24 Maret 1956 - 14 Maret 1957) .................................................. 107 Tata Mustasya Djuanda, Teknokrat-Negarawan (Perdana Menteri, 9 April 1957—10 Juli 1959 dan Menteri Pertama, 10 Juli 1959—7 November 1963) ..................... 113

Upload: vuongkhanh

Post on 06-Feb-2018

267 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

Daftar IsiJurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005

CATATAN REDAKSI:Pemikiran Pemimpin Bangsa ........................................................ 3

ANALISIS

Anhar GonggongSoekarno dan Demokrasi Indonesia:Sebuah Pencarian (Presiden RI 1945 - 1965) ................................. 6

Yudi LatifMengenang Rezim Pembangunan Represif:Gambaran Politik Ekonomi Orde Baru ......................................... 29

M. Dawam RahardjoPemikiran Habibie tentang Pembangunan ..................................... 54

TELAAH

Junarto Imam PrakosoMemahami Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Bung Hatta(Wakil Presiden RI 1945 – 1956,Perdana Menteri RIS 1948 – 1950) ............................................. 68

Teguh Apriliyanto – Tata MustasyaSjahrir dan Sosialisme Indonesia(Perdana Menteri, 14 November 1945 – 26 Juni 1947) .................. 80

Teguh ApriliyantoMohammad Natsir: Islam, Kebangsaan, dan Demokrasi(Perdana Menteri NKRI, 6 September 1950 – 27 April 1951) ........ 91

Dodi PriambodoWilopo, Menciptakan Agenda Otonomi Daerah dan RAPBNPertama (Perdana Menteri, 1 April 1952 – 3 Juni 1953) ................ 103

Dodi PriambodoAli Sastroamidjojo, Tokoh dalam Kebangkitan SolidaritasNegara Asia - Afrika (30 Juli 1953- 24 Juli 1955 dan24 Maret 1956 - 14 Maret 1957) .................................................. 107

Tata MustasyaDjuanda, Teknokrat-Negarawan(Perdana Menteri, 9 April 1957—10 Juli 1959 danMenteri Pertama, 10 Juli 1959—7 November 1963) ..................... 113

Page 2: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

JURNAL DEMOKRASI & HAM

Terbit sejak 20 Mei 2000ISSN: 1441-4631

Penanggung Jawab Redaksi:A. Watik Pratiknya

Dewan Redaksi:Muladi (Ketua)Indria Samego

Dewi Fortuna AnwarUmar Juoro

Andrinof A. ChaniagoAde Armando

Pimpinan Redaksi:Andi Makmur Makka

Redaktur Pelaksana:Irman G. Lanti

Redaktur:Taftazani

Sekretaris:Fitri Indah Kuwaratiwi

Produksi:Ghazali H. Moesa

Usaha:Fetty FajriatiAchmad Amal

Layout dan DesainM. Ilyas Thaha

Alamat Penerbit dan Redaksi:Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 - Indonesia

Telp.: (021) 7817211, Fax: (021)7817212Website: http://www.habibiecenter.or.id

E-mail: [email protected]

Page 3: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

Catatan Redaksi

Pada edisi ini,kami berusaha menghimpun pemikiran beberapatokoh pemimpin nasional Indonesia , khususnya gagasan dan pemikiranmereka mengenai politik dan ekonomi. Paling tidak, apa yang pernahmereka harapkan dan angan-angankan mengenai Indonesia pada masaitu dan masa depan bangsa ini. Pemikiran tersebut, ada yang ditulis dandiungkapkan langsung oleh para tokoh tersebut berdasarkan beberapasumber yang kami peroleh, namun ada juga berupa analisis oleh pakaryang kami undang untuk menulis pada edisi ini. Pemikiran Soehartomisalnya, tidak pernah diungkapkan secara tertulis, tetapi penulismemetakan dan menilai karakteristik kebijakan-kebijakan yang khasdilaksanakan selama kurun waktu pemerintahannya.

Pada umumnya, tokoh yang sempat diturunkan dalam edisi“Pemikiran Ekonomi Politik Pemimpin Bangsa”, ini ditulis berdasarkankonsepsi, pemikiran dan kebijakan yang pernah mereka terapkan padamasa pemerintahan mereka. Beberapa di antara pemikiran itu menjadibahan perdebatan yang ramai pada masanya. Beberapa konsepsi danpemikiran tokoh ini, menjadi mozaik pemikiran kebangsaan yangmenentukan arah perjalanan bangsa dan negara kita.

Pemikiran dan gagasan para tokoh ini, ketika berhadapan denganrealitas sosial dan budaya bangsa, ada yang gagal dan ditinggalkan,tetapi ada pula yang berlanjut atau dijadikan sintesa pada pemikiran-pemikiran baru sesudahnya. Soekarno yang sudah mengembangkanpemikiran anti liberalisme ala Barat sejak masa perjuangan kemerdekaan,ternyata kemudian gagal dengan eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yanghendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya.Tetapi Soekarno telah tampil ke depan dan diakui karena landasanpemikirannya tentang nasionalisme dan bagaimana mempersatukan In-donesia. Hal ini, bukan hal mudah bagi sebuah bangsa yang baru danbesar,bangsa yang memiliki keragaman budaya, kepercayaan, khasmasyarakat yang multietnik seperti Indonesia. Bung Hatta mempunyaiandil bukan saja sebagai tokoh pergerakan menuntut Indonesia merdekabersama Soekarno dan kawan-kawannya. Hatta sejak awal republik initelah turut menciptakan fondasi negara demokrasi. Bahkan dalam praktikketatanegaraan, Hatta telah melakukan terobosan konstitusi, bukan saja

PEMIKIRAN PEMIMPIN BPEMIKIRAN PEMIMPIN BPEMIKIRAN PEMIMPIN BPEMIKIRAN PEMIMPIN BPEMIKIRAN PEMIMPIN BANANANANANGSGSGSGSGSAAAAA

Page 4: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

4 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

mengenai apa yang tertulis dan dirumuskan dalam pasal-pasal UUDl945, melainkan juga aspirasi nilai-nilai dan norma-norma kehidupanbernegara dan berbangsa yang dicita-citakan.

Soeharto pemimpin pemerintahan yang terlama berkuasa sejak In-donesia merdeka, telah mengembangkan bentuk pemerintahan yangsangat efektif, kestabilan keamanan dan tanpa riak-riak politik. Tetapiselama pemerintahannya, ia telah membalikkan arah cita-cita “modernstate”, seperti yang telah digagas oleh para tokoh pendiri bangsa ini,para pendahulunya.

Tidak terbilang gagasan dan pemikiran kepala pemerintahan sepertiSjahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soekiman Wirosandjojo, Moh.Natsir, Djuanda, merespon krisis ekonomi dan politik dan permasalahannegara lainnya yang baru berdiri ketika itu. Begitu pula ketika Wilopo,Ali Sastroamidjojo, Burhanuddin Harahap tampil sebagai kepalapemerintahan. Sesudah itu, ada pemikiran Sumitro Djojohadikusumotentang ekonomi, B.J. Habibie mengenai demokrasi, teknologi, industridan perlunya daya saing bagi bangsa ini, Abdurahman Wahid mengenaigagasan pluralisme, pemikiran Widjojo Nitisastro dan kawan-kawanyang pernah mewarnai kebijakan ekonomi pasca Soekarno selamaberpuluh tahun. Pemikiran mereka, bisa diuji dan salah atau telahbersintesa dengan pemikiran lain, semuanya telah menjadi sumber mataair dan inspirasi yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Tidak dipungkiri,ada pemikiran dan gagasan itu yang hanya berupa “coba dan salah”,tetapi semuanya tetap akan tercatat dalam sejarah dan akan menjadipelajaran yang berguna bagi generasi pelanjut mereka kemudian.

Bagaimanapun, pemikiran tokoh ini memiliki banyak persamaan,satu sama lain berkesinambungan dan menuju pada satu “platform”.Pemikiran dan angan-angan sejak awal untuk mempersatukan Indone-sia dari berbagai etnik, cita-cita untuk menjadikan Indonesia menjadi“modern state“ sebuah negara berkeadilan, demokratis, menghargaikebebasan dan hak asasi manusia, serta menciptakan kesejahteraan bagiseluruh rakyat. Semuanya telah menjadi cita-cita mulia dan luhur bagikelanjutan sebuah negara bangsa yang telah dibangun dan dipertahankaneksistensinya dengan pengorbanan jiwa raga. Demikianlah bangsa In-donesia memang telah dilanda berbagai bencana alam, tetapi bencanaterbesar yang akan melanda Indonesia, jikalau bangsa ini sudahkehilangan gagasan, kehilangan elan menciptakan pikiran-pikiran baru.

Sayangnya dalam edisi ini, tidak semua pemikiran pemimpin bangsa

Page 5: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

5Catatan Redaksi

tersebut dapat kami hadirkan, bahkan beberapa tokoh yang dihadirkantidak kami tampilkan dalam sebuah analisis yang khusus, tetapi hanyaberupa telaah dari bahan yang telah dipublikasikan. Mudah-mudahanpada edisi mendatang, kami dapat menghadirkannya lebih lengkap. (mm)

* * ** * ** * ** * ** * *

Page 6: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

6 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005analisis

1. Pendahuluan : Posisi Soekarno di dalam PeriodePergerakan Nasional

Ir. Soekarno memang fenomenal1 dalam sejarah Indonesia modern.Ia tampil sebagai tokoh dan pemimpin pada bagian kedua dari periodePergerakan Nasional. Jika bagian pertama dari Pergerakan Nasionaldiawali dengan dibentuknya organisasi Boedi Oetomo 1908 oleh sejumlahwarga terdidik-tercerahkan di negeri jajahan Nederlandsch-Indie dandiakhiri dengan pemberontakan PKI pada 1926/1927, maka bagian keduaperiode Pergerakan Nasional diawali dengan terbentuknya PNI pada 1927oleh Ir. Soekarno dan kawan-kawan.

Ketika Ir. Soekarno tampil sebagai pendiri dan pemimpin utamaPartai Nasional Indonesia (PNI), situasi Pergerakan Nasional sepertimendapatkan suasana baru, dalam arti sikap dan cara bergerak partaiyang bersifat radikal di mata penguasa Pemerintahan Belanda diNederlandsch-Indie. Ia menamakan partainya dengan menggunakankata nasional dan Indonesia. Ia menunjukkan landasan ideologinyayaitu nasionalisme dan Indonesia menunjukkan kehendaknya mengganti

SOEKARNSOEKARNSOEKARNSOEKARNSOEKARNO DO DO DO DO DAN DEMOKRASIAN DEMOKRASIAN DEMOKRASIAN DEMOKRASIAN DEMOKRASIINDONESIA:INDONESIA:INDONESIA:INDONESIA:INDONESIA:SEBUSEBUSEBUSEBUSEBUAH PENAH PENAH PENAH PENAH PENCCCCCARIANARIANARIANARIANARIAN(PRESIDEN RI 1(PRESIDEN RI 1(PRESIDEN RI 1(PRESIDEN RI 1(PRESIDEN RI 19999945 – 145 – 145 – 145 – 145 – 1965)965)965)965)965)

Anhar Gonggong

1 Pernyataan tentang fenomenalnya Soekarno (Bung Karno) sebagai tokoh dan pemimpindalam sejarah perjuangan bangsa-negara Indonesia, juga telah dinyatakan dan ditunjukkanoleh pemimpin grup Kompas- Gramedia, Dr. Jacob Oetama ketika memperingati “100 tahunusia Bung Karno”. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Jacob Oetama, “100 Tahun BungKarno, Berdialog dengan Sejarah”, dalam St. Sularto, Editor, Dialog dengan Sejarah SoekarnoSeratus Tahun, Kompas, Jakarta, 2001, hal 3-10.

Page 7: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

7Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

nama negerinya dari Nederlandsch-Indie ke atau menjadi Indonesia.Lahirnya Pergerakan Nasional di negeri-negeri jajahan ketika

memasuki abad ke-20 tampak merupakan salah satu pertanda sejarahyang amat penting. Dan untuk negeri kita—yang sejak awal abad ke-17sudah terjajah, yaitu ketika VOC dibentuk oleh pedagang Belanda, danberlanjut sampai abad ke-18, 19 dan pertengahan abad ke-20—juga sangatpenting; karena dalam periode Pergerakan Nasional itu, para wargaterdidik-tercerahkan menggunakan strategi baru yang sering saya sebutdengan strategi otak. Sedangkan pelbagai perlawanan yang dilakukanpada abad-abad sebelumnya yang sering saya sebut dengan strategi ototdilakukan dengan perlawanan fisik, perang dan bersifat “sporadis”.

Kedua bentuk dan cara perlawanan itu memang perlu dipahamiuntuk mendapatkan penjelasan yang membedakan situasi penghadapankita terhadap kaum kolonial Belanda dalam periode-periode itu. Tidakdapat disangkal bahwa ketika Belanda datang ke “Nusantara” denganpertanda historisnya yaitu “loji” dagang VOC, reaksi warga kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara—yang jumlahnya ratusan—beragam.Tetapi, dalam perjalanannya kemudian, reaksi yang tampil adalah reaksi“penolakan” akan kehendak monopoli VOC terhadap jalur-jalurperdagangan. Dengan penolakan itu, VOC sebagai lembaga dagang padaakhirnya menggunakan kekuatan politik-militer untuk melakukan perangpenaklukan terhadap kerajaan-kerajaan tradisional yang menentangkehendak monopolinya. Dengan demikian, untuk pelbagai kasus, tidakdapat dihindari terjadinya perang dengan VOC dan kemudian berlanjutsampai ketika pemerintah Belanda di Nederlandsch-Indiemempertahankan kekuasaan pemerintahan kolonialnya. Perangperlawanan itu tentu menggunakan kekuatan fisik dengan pelbagai jenissenjata yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Dalam rangkaian perangperlawanan itu, dalam catatan sejarah kita telah terjadi pelbagai perangperlawanan, seperti Perang Goa/Makassar, Perang Pattimura, PerangBatak, Perang Paderi, Perang Banjar, Perang Diponegoro/Perang Jawa,Perang Aceh, Perang Bone dan lain-lain. Tentu saja semua perang itutelah menguras kekuatan kedua belah pihak dan berlangsung tahunanbahkan puluhan tahun. Tetapi semua perang perlawanan anak-anaknegeri Nusantara dan atau Nederlandsch-Indie yang dilakukan secarafisik, dengan strategi otot itu, mengalami kekalahan yang memedihkan,tragis.

Ketika memasuki (awal) abad ke-20, tampillah sejumlah warga anak

Page 8: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

8 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

negeri jajahan Nederlandsch-Indie mengambil inisiatif untuk melakukancara baru perlawanan mereka. Mereka ini terdiri dari warga muda tetapidengan latar pendidikan yang mereka peroleh dari lembaga-lembagapendidikan model Belanda-Barat. Sebagai warga terdidik, merekamemiliki kesadaran baru untuk mengubah nasibnya, tidak hanya secaraindividual, melainkan terutama juga untuk mengubah nasib sesama anaknegeri jajahan secara keseluruhan. Hal inilah yang menunjukkankenyataan diri mereka sebagai anak negeri yang tidak sekedar terdidikmelainkan sekaligus tercerahkan.

Untuk mencapai tujuan gerakan perjuangan mereka, selama periodePergerakan Nasional dengan strategi otak, senjata yang mereka gunakanbukanlah senjata-senjata fisik dan peperangan, melainkan dengan senjataotak, senjata rasional. Senjata itu berinti pada empat hal, yaitu pertama,organisasi, yang kedua, media massa, yang ketiga, ideologi dan keempat,dialog. Hal yang pertama terlihat setelah terbentuknya Boedi Oetomosebagai organisasi “pertama”2, kemudian menyusullah pelbagaiorganisasi yang dibentuk oleh pelbagai pihak dengan nama dan tujuanpembentukannya masing-masing.3 Dengan demikian, organisasi dalamperiode Pergerakan Nasional dengan strategi baru itu merupakan senjataperlawanan untuk membebaskan warganya dari kekuatan penjajahanBelanda. Yang kedua, media massa tampil sebagai salah satu senjatautama perlawanan. Karena itu, hampir semua organisasi, terutama partai-partai politik, menerbitkan surat kabar, brosur dan juga diterbitkannyabuku oleh beberapa tokoh-pemimpin ketika itu. Media massa—walaupunusia hidup media cetak ini terkadang sangat singkat dengan oplaag yangsedikit dan terbatas—mempunyai posisi yang sangat penting karenamedia cetak sebagai alat perjuangan merupakan alat sosialisasi ide-ide

2 Ada sementara pihak yang mempersoalkan tentang posisi Boedi Oetomo sebagai organisasipertama yang dibentuk pada 1908. Mereka ini beranggapan bahwa Sarekat Dagang Islamlebih dahulu dibentuk yaitu pada 1905. Tentu saja masing-masing pihak mempunyaiargumennya sendiri-sendiri yang dianggap paling tepat. Tetapi dari sisi pemerintah Republik,tanggal kelahiran-pembentukan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 telah diakui sebagai harinasional yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

3 Untuk mengetahui nama-nama, tanggal pembentukan dan tujuan dari pelbagai organisasiyang dimaksud, lihat buku “Kelasik” yang ditulis oleh A.K. Pringgodigdo dengan judulSejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1986, passim. Walaupun bukuini sangat kronologis dengan uraian lebih bersifat “mencatat”, namun buku ini sangat berhargasebagai salah satu dokumentasi yang cukup lengkap untuk periode Pergerakan Nasional,1908-1942. Paling tidak untuk mengetahui nama-nama organisasi ketika itu. Juga untukPergerakan Nasional di Nederlandsch-Indie ada baiknya membaca buku J. Th. PetrusBlumberger, De Nationalistische Bewegung In Nederlandsch-Indie, Foris PublicationsDordreecht-Holland/Providence-USA, 1987, passim.

Page 9: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

9Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

perjuangan untuk disampaikan dan disebarkan ke tengah-tengahmasyarakat. Media massa juga merupakan alat pendidikan politik yangsangat penting untuk organisasi-organisasi politik bagi anggota-anggotanya dan masyarakat pada umumnya.4 Hal yang ketiga adalahideologi yang memiliki arti penting untuk membangun visi dari organisasipolitik dengan tujuan-tujuan perjuangan yang hendak mereka capai.Terakhir dialog, dialog adalah senjata yang sangat penting baik tertulismaupun lisan; dan dialog ini tidak hanya antara sesama warga anaknegeri jajahan, melainkan juga dengan pemerintah kolonial, baik secaralangsung maupun tidak langsung. Dialog tertulis dilakukan melaluitulisan-tulisan di surat kabar, brosur, pamflet, dan lain sebagainya. Sedangdialog lisan dilakukan dalam rapat dan kongres partai-partai, atau diantara pemuda-pelajar dan mahasiswa di asrama-asrama atau rumahsewaan tempat tinggal bersama mereka.

Dalam periode Pergerakan Nasional/strategi otak itulah Ir. Soekarnotampil, tidak sekedar sebagai tokoh “pinggiran” melainkan sebagai“tokoh sentral” sejak 1926/1927 sampai 1967. Yang menarik pada diripemimpin generasi Pergerakan Nasional/strategi otak ini ialah merekabukan sekedar penggerak melainkan juga sekaligus sebagai pemikir.5

Mereka menjadi penggerak melalui organisasi-organisasi politik yangmereka bentuk—dalam kasus Ir. Soekarno, ia membentuk PNI danmenjadi Ketua Partindo setelah keluar dari penjara pada tahun 1930-an—dan menjadi pemikir melalui tulisan-tulisan mereka yang disebarkandi pelbagai media massa cetak yang mereka terbitkan. Peninggalanpemikiran-pemikiran mereka sampai sekarang masih dapat kita milikidan pelajari melalui penerbitan yang telah dilakukan. Dalam hal Ir.Soekarno, untuk menyebut salah satu yang terpenting, kumpulantulisannya masih dapat kita peroleh dalam buku Dibawah BenderaRevolusi. Ketika akan membentuk organisasi politiknya yang diawalidengan membentuk studie club di Bandung dan juga mendirikan JongIndonesia yang kemudian diganti dengan Pemuda Indonesia, yaitu PNI,maka ia telah menulis “pemikiran awalnya” yang menunjukkan sikapnyatentang posisi-posisi dari kekuatan-kekuatan ideologis yang berkembangketika itu, tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di Asia. Tulisan itu

4 Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan dan peranan media massa dalamperiode Pergerakan Nasional, lihat Abdurrachman Suryomihardjo, dkk, Beberapa SegiPerkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002, passim.

5 Tentang posisi para pemimpin pergerakan sebagai penggerak sekaligus pemikir ini, lihatAnhar Gonggong, “Pemikir sekaligus Penggerak”, di dalam Basis, 1972.

Page 10: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

10 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.6 Tulisan yang dibuatpada 1926 ini selesai ketika ia berusia 25 tahun, menunjukkan kepadapembaca bahwa ia memang sangat kuat mendukung kekuatan-kekuatananti penjajah-imperialis; tetapi kekuatan-kekuatan itu harusmempersatukan diri sebagai satu kekuatan untuk menghadapi kekuasaanpemerintah kolonial. Ia menghendaki agar para pendukung kekuatan-kekuatan golongan nasionalisme, kekuatan Islamisme dan kekuatanMarxisme dapat mempersatukan diri untuk menentang kolonialisme.

Pada 1927 bersama rekan-rekan setujuannya, Ir. Soekarnomendirikan Perserikatan—kemudian menjadi Partai—Nasional Indo-nesia (PNI). Ketika ia mendirikan PNI itu, memang tampak ada situasi“resah” dalam dirinya dan warga jajahan pada umumnya yangmengalami “rasa sakit” akibat pemberontakan PKI pada 1926/1927 diBanten/sekitar Jakarta dan Silungkang, Sumatera Barat. Perlawanan fisikPartai Komunis Indonesia dengan menggunakan senjata, kekuatan fisikitu merupakan tindakan menyimpang dari pola umum yang terjadi dalamperiode Pergerakan Nasional/strategi otak. Perlawanan fisik PKI iniberlangsung singkat dan dapat ditumpas oleh kekuatan senjata pemerintahkolonial. Dengan pemberontakan PKI itu, posisi Partai Sarekat Islamjuga mengalami tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Apalagipemerintah kolonial mengetahui pasti kaitan antara Partai Sarekat Is-lam dengan PKI, sehingga kecurigaan pemerintah kolonial sangat besar.Melihat keadaan yang rumit dan sulit itu, Ir. Soekarno dan kawan-kawantampil dan memecah situasi traumatis masyarakat Nederlandsch-Indiedengan membentuk organisasi politik dengan nama PNI. Dan kejutanpun terjadi; ternyata PNI-Soekarno mendapat sambutan antusias dariwarga negeri jajahan ini. Dalam jangka waktu singkat, PNI-Soekarnomendapat pengikut yang cukup besar. Ia dielu-elukan bagaikan seorang“Ratu Adil” yang datang untuk menyelamatkan warga dan negerinya.

Dibentuknya PNI oleh Ir. Soekarno di lain pihak sangat menakutkanpemerintah kolonial, karena dibandingkan dengan partai-partai/organisasi politik lainnya, ternyata PNI mengambil sikap radikal denganjalan non-kooperasi. Ia melakukan pidato-pidato yang mampumenggerakkan massa pengikutnya. Karena sikap radikal dan non-kooperasinya itu, para pengurus PNI di wilayah Nederlandsch-Indiemendapat pengawasan yang sangat ketat. Soekarno dan pengurus PNI

6 Untuk keterangan selanjutnya, lihat “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme di dalamDi Bawah Bendera Revolusi, hal. 1-24.

Page 11: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

11Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

lainnya menjadi incaran untuk “dijebak” dalam persoalan yangmemungkinkannya untuk ditangkap. Dan memang pada akhirnya Iaditangkap dengan tuduhan mengganggu ketentraman umum danmerencanakan pemberontakan. Ia dihadapkan ke penyidik kolonialbersama rekan-rekannya seperti Maskum, Gatot Mangkupraja dan lain-lain. Pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial di Bandungdapat dikatakan ”memberikan pelajaran” sejarah imperialisme/kolonialisme kepada para penguasa kolonial waktu itu. Setelahditerbitkan, pidato pembelaannya itu berjudul : Indonesia Menggugat.Dari isi pidato pembelaan itu, menunjukkan kepada kita betapa Ir.Soekarno mempunyai pengetahuan yang luas dan kemampuanpembacaan yang sangat tinggi. Walaupun pendidikan formalnya adalahinsinyur, namun pengetahuannya di bidang politik, ekonomi, sosial dansejarah sangat luas dan mendalam.7

Dari keterangan di atas, tampak kepada kita bahwa dalam periodePergerakan Nasional/strategi otak dalam usaha merebut kemerdekaan,sejak awal keterjunannya ke arena juang, pada bagian kedua periodePergerakan Nasional, posisi Soekarno adalah fenomenal dan sentral. Iatampil dengan sikap yang membuat pemerintah kolonial Belanda “sangatketakutan”, tetapi sekaligus juga membuat sesama kaum pergerakan danwarga anak jajahan mendapat nafas baru untuk melangkah ke depan.Ir. Soekarno—dalam pandangan mitologi timur—bagaikan seorang“Ratu Adil” yang datang untuk menyelamatkan dunia yang sedangkacau. Rakyat negeri terjajah memang telah amat lama menunggu untukmendapatkan seorang pemimpin yang dapat membebaskan mereka dariawan kekacauan.

2. Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran SoekarnoPeriode Pergerakan Nasional/strategi otak juga merupakan periode

pemikiran tidak hanya untuk merumuskan diri sebagai bangsa baru yangsatu-bersatu, melainkan juga adalah periode pemikiran ideologi untuksebuah bangsa-negara merdeka kelak. Karena itu, para pemimpin wargaanak jajahan Nederlandsch-Indie berusaha untuk: pertama, berjuanguntuk merdeka, kedua, sebelum usaha pertama tercapai, maka terlebihdahulu warga anak jajahan Nederlandsch-Indie merumuskan dirimenjadi satu bangsa yang satu-bersatu. Hal ini harus dilakukan karenafaktanya anak negeri jajahan Nederlandsch-Indie memiliki kenyataan

7 Silakan baca Indonesia Menggugat, Gunung Agung, Jakarta, 2001, passim.

Page 12: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

12 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

diri yang tidak satu-bersatu, melainkan terdiri dari pelbagai etnis yangmendiami sekian banyak pulau-pulau. Dan dalam sekian banyak pulauitu bertegak pula sekian banyak kerajaan-kerajaan tradisional “yangpengaturan hidup layaknya sebuah negara” dengan sistem pengaturannyamasing-masing. Mereka yang tampil sebagai warga terdidik-tercerahkanitu adalah warga kepulauan-kepulauan dan/atau kerajaan-kerajaantradisional tertentu yang tetap bertegak dan memerintah dirinya sendiri,walaupun mungkin mereka telah ditaklukkan oleh VOC atau olehpemerintah kolonial Belanda. Dengan kenyataan diri seperti itu, kalaumereka hendak melanjutkan kehidupan bersama mereka, maka terlebihdahulu mereka harus mencari rumusan baru dan kemudian disepakatibersama sebagai rumusan diri sebagai sebuah bangsa baru.

Sejalan dengan kehendak mereka untuk merdeka dari pemerintahanjajahan Nederlandsch-Indie, mereka pun mencari suatu sistempemerintahan baru, tidak seperti sistem kolonial yang otoriter-diktatorialdan juga menolak sistem pemerintahan feodal sebagaimana yangdijalankan oleh kerajaan-kerajaan tradisional. Karena itu, usaha yangketiga, para pemimpin Pergerakan Nasional termasuk Ir. Soekarno,berusaha mencari suatu sistem pengaturan pemerintahan dalam negaramerdeka yang berbentuk Republik. Sejalan dengan itu, pada umumnyapara pemimpin Pergerakan Nasional menghendaki, yang keempat,(pemerintahan) demokratis. Demokrasi tampak diterima oleh semuapihak sebagai sistem pemerintahan yang tepat untuk sebuah bangsa-negarabaru yang berbentuk Republik. Cita-cita untuk menjadi bangsa-negarayang bertegak di atas prinsip-prinsip demokrasi itu, telah dinyatakan olehpemimpin Sarekat Islam dalam pidato pembukaan Kongres CentralSarekat Islam pada 1916 di Bandung. Tokoh utama Sarekat Islam,Tjokroaminoto menyatakan—ketika itu ia menuntut Self leestuur,pemerintahan sendiri untuk Bumiputra—bahwa demokrasi adalah sesuaidengan Islam dan karena itu dalam Selfleestuur untuk bumiputera itu,demokrasi yang paling tepat.8

Dalam kaitan dengan Ir. Soekarno sebagai pemimpin PergerakanNasional yang utama, ia pun telah menulis dan merumuskan demokrasiuntuk Indonesia. Untuk itu, pada 1930-an, ia telah menulis sebuah artikelyang berjudul: Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi. Untuk

8 Untuk keterangan lebih lanjut tentang Cokroaminoto dan pikiran-pikirannya, lihatAnhar Gonggong, Riwayat Hidup H.O.S. Tjokroaminoto, Departemen Pendidikan danKebudayaan, Jakarta, 1985, passim.

Page 13: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

13Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

memahami apa yang dimaksudkannya dengan demokrasi, iamenyatakan:

“Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah pemerintahan rakyat.Cara pemerintahan itu memberi hak kepada semua rakyat untuk ikutmemerintah.

Cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua partai-partainasionalis di Indonesia. tetapi dalam mencita-citakan paham dan carapemerintahan demokrasi itu kaum Marhaen 9 tokh harus berhati-hati.Artinya : jangan meniru sahaja “demokrasi-demokrasi” yang kinidipraktekkan di dunia luaran”.10

Dari kutipan di atas, tampak bahwa walaupun ia setuju denganpemerintahan yang dibangun secara demokratis, namun ia mengingatkanrakyat Indonesia (=Nederlandsch-Indie) terutama kaum Marhaen, agar“berhati-hati jangan meniru demokrasi-demokrasi luaran”. Untukmemberikan dasar dari anjurannya itu, Soekarno kemudianmenerangkan pertumbuhan demokrasi luaran itu—yangdimaksudkannya ialah demokrasi yang berkembang di Eropa Barat. Iamenolak demokrasi itu, karena ternyata kaum kapitalis-borjuis menindaskaum miskin, kaum proletar. Kaum proletar memiliki parlemen, tetapimereka diusir dari pabrik-pabrik tempatnya bekerja.11 Tentang ini iaberkata :

“Sekali lagi : Inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu?”“Bukan,—ini bukan demokrasi yang harus kita tiru, bukan

demokrasi untuk kita kaum Marhaen Indonesia! Sebab “demokrasi”yang begitu hanyalah demokrasi parlemen sahaja, yakni hanya demokrasipolitik sahaja. Demokrasi ekonomi tidak ada”.12

Karena ketidakpercayaannya akan demokrasi parlementer/

9 Kaum Marhaen merupakan rumusan dari Ir. Soekarno, juga pada tahun 1930-an.Menurutnya, kata, istilah Marhaen diambilnya dari nama seorang petani ketika ia berjalan-jalan di luar Priangan. Ia berdialog dengan petani itu yang ternyata bernama : Marhaen.Setelah percakapannya dengan petani itu, maka lahirlah idenya untuk menunjukkan adanyaperbedaan kehidupan antara rakyat miskin Indonesia dengan kaum proletar menurut pahamkomunis. Menurut Soekarno, kaum proletar tidak memiliki apa-apa, hanya memiliki tenaga.Sebaliknya, kaum miskin di Indonesia dengan contoh Pak Marhaen itu, mempunyai hartabenda milik pribadi, seperti tanah garapan, rumah gubuk, seekor kerbau dan lain sebagainya.Tetapi penghasilan dari harta benda yang mereka miliki itu, tidak cukup untuk membiayaihidup diri dan keluarganya. Dari fakta-fakta yang kemudian dianalisanya dan dibandingkannyadengan konsep proletar dari Marxisme, maka Soekarno pun merumuskan ide konseptualnyasendiri; dan konsep buah rumusan pikirannya itu kemudian dipopulerkannya dengan nama :Marhaenisme.

10 Untuk ini, lihat Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 171.11 Ibid., hal. 173.12 Ibid.

Page 14: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

14 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

“demokrasi luaran”, Soekarno mencari rumusan sendiri tentangdemokrasi yang tidak hanya menyangkut demokrasi politik, melainkanjuga mencakup demokrasi ekonomi yang diterjemahkannya dalam istilahdemokrasi masyarakat. Apakah yang dimaksud Ir. Soekarno denganistilah itu? Kita simak keterangannya sendiri, yaitu :

“…Demokrasi masyarakat, sosio-demokrasi adalah timbul karenasosio nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang terdiridengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidakingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapikepentingan masyarakat sosio-demokrasi bukanlah demokrasi alaRevolusi Prancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, alaNederland, ala Jerman, dll.—tetapi ia adalah demokrasi sejati yangmemberi keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri DANkeberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik DANdemokrasi ekonomi.”13

Pikiran Soekarno tentang demokrasi tidak dapat dipisahkan daripikirannya tentang nasionalisme. Bahkan pikirannya tentang demokrasi,dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari pikirannya tentangnasionalisme. Sehubungan dengan itu, Soekarno menciptakan istilahbaru yang berkaitan dengan nasionalisme—sebagaimana halnya dengandemokrasi—yakni sosio-nasionalisme, Nasionalisme Masyarakat”. Yangdimaksudkannya ialah :

“Nasionalisme Masyarakat adalah nasionalisme yang timbulnyatidak karena “rasa” sahaja, tidak karena “gevoel” sahaja, tidak karena“lyrick” sahaja,—tetapi karena keadaan-keadaan yang nyata di dalammasyarakat. Nasionalisme masyarakat,—sosio-nasionalisme—bukannasionalisme “ngelamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”,bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi ialah nasionalisme yangdengan dua-dua kakinya berdiri di dalam masyarakat.

Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaikikeadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kinipincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yangtertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara.”14

Dengan keterangan seperti di atas, Ir. Soekarno pun mengaitkansosio-nasionalisme itu dengan paham yang lebih dahulu pernah

13 Dibawah Bendera Revolusi…, hal. 175.14 Ibid.

Page 15: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

15Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

dirumuskannya, yaitu Marhaenisme. Tentang hal ini ia berkata :“Oleh karenanya, maka sosio-nasionalisme adalah Nasionalisme

Marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabkepincangan masyarakat itu. Jadi sosio-nasionalisme adalahnasionalisme politik DAN ekonomi—suatu nasionalisme yangbermaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesannegeri DAN keberesan rejeki”.15

Kalau kita memperhatikan buah-buah pikiran Soekarno danpemimpin Pergerakan Nasional lainnya seperti Mohammad Hatta16, makapada 1930-an, tema sentral yang dikembangkan dan disosialisasikanmelalui tulisan-tulisan mereka selain nasionalisme adalah tentangpersatuan walau tidak jarang terlihat adanya perbedaan pendapat yangtajam diantara mereka.

Ketika itu, sebenarnya para pemimpin Pergerakan Nasional denganstrategi otak memang mencari rumusan-rumusan yang bertentangandengan yang dianut pemerintah kolonial dan atau sistem yang diterapkandi negeri-negeri jajahannya. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengandemokrasi, persatuan, ideologi terutama tentang Marxisme, Komunismedan Sosialisme, adalah paham-paham yang sangat menarik. Perihaldemokrasi, Ir. Soekarno sejak semula sudah menolak DemokrasiParlementer yang menurutnya adalah alat kaum borjuis-kapitalis untukmempertahankan kekuasaannya dan menindas kaum miskin.17 Tetapipenolakan sistem demokrasi “Barat” yang sering juga disebut sebagaidemokrasi import oleh Soekarno, juga tidak sepenuhnya diterima olehMohammad Hatta. Kita simak salah satu bagian dari tulisannya, “Dasar-dasar demokrasi yang terdapat dalam pergaulan hidup asli di Indonesiakita pakai sebagai sendi-sendi politik kita. Akan tetapi kita insaf akanpertukaran zaman, insaf bahwa dasar-dasar yang ada dahulu itu tidakmencukupi sekarang untuk menyusun Indonesia merdeka yang berdasardemokrasi. Sebab itu asas-asas asli itu harus dicocokkan dengan pergaulanhidup sekarang, harus dibawa ke atas tingkat yang lebih tinggi. Pendeknya,diluaskan lingkarannya dan dilanjutkan tujuannya!”18

15 Ibid.16 Untuk tulisan-tulisan Mohammad Hatta pada tahun 1930-an itu, dapat kita baca-pelajari

buku Kumpulan Karangan (jilid I), Bulan Bintang, Jakarta, 1976, passim.17 Hal ini sangat jelas di dalam pidato pembelaannya di depan Pengadilan Kolonial di

Bandung, yaitu yang kini dikenal dengan judul Indonesia Menggugat. Juga nada seperti itudapat kita jumpai di dalam tulisannya yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka, yang telahditerbitkan sebagai buku oleh Gunung Agung, Jakarta, 2001.

18 Mohammad Hatta, op.cit., hal. 124.

Page 16: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

16 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Dalam periode Pergerakan Nasional, para warga terdidik-tercerahkanyang tampil sebagai pemimpin-pemimpin bangsanya, berhasilmerumuskan pelbagai hal sebagai identitas diri untuk menjadi bangsa-negara merdeka. Mereka merumuskan diri sebagai satu bangsa, bangsabaru dengan nama Indonesia, dan jika kelak merdeka maka bentuknegaranya adalah Republik dan pemerintahannya akan ditata di atasdasar prinsip-prinsip demokrasi.

3. Soekarno : Pergumulan di Tengah DemokrasiParlementer Indonesia Merdeka

Ketika Soekarno-Hatta—atas nama bangsa Indonesia—telahmenyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka usaha untukmewujudkan cita-cita kemerdekaan, tampak mengalami “tumpukanmasalah yang menghempang”. Yang pertama, keangkuhan imperialis-kolonialis Belanda yang tidak bersedia menerima pernyataankemerdekaan bangsa Indonesia yang sekaligus menegakkan negaraRepublik Indonesia. Tampak bangsa kolonialis Belanda “ngotot” untuktidak bersedia menerima bangsa jajahan – wilayah koloninya merdekadan lepas dari tangan kekuasaannya. Baginya, wilayah ini tetap“miliknya” yang bernama Nederlandsch-Indie dan karenanya tidakberhak merdeka. Dengan sikap pemerintah dan bangsa Belanda yangseperti itu, memaksa bangsa-negara Indonesia untuk mempertahankankemerdekaannya. Dengan itu pemerintah kolonial Belanda—yangdidukung oleh sesama bangsa kolonial yang tergabung dalam golonganSekutu dan memenangkan Perang Dunia II—sekaligus juga memaksakanperang kolonialnya terhadap bangsa Indonesia. Perang itu berlangsungsekitar empat tahun, 1945-1949.

Perang itu disertai pula dengan langkah-langkah perundingan-diplomatik, yang melibatkan beberapa bangsa, seperti Amerika Serikat,Inggris, Australia dan juga organisasi dunia PBB. Salah satu langkahperundingan-diplomatik yang pada akhirnya menghasilkan ataumengakhiri Perang Kolonialis Belanda di Indonesia adalah KonferensiMeja Bundar (KMB) yang ditandatangani bersama pada 27 Desember1949. Namun, di balik hasil yang dicapai melalui KMB itu, yang berupapengakuan kedaulatan terhadap Republik Indonesia—tetapi pengakuankedaulatan itu bukan kepada Negara Republik Indonesia yang berbentukkesatuan (NKRI), melainkan pengakuan terhadap Republik IndonesiaSerikat (RIS). Dengan demikian, ketentuan dalam KMB itu justru

Page 17: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

17Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

meninggalkan “bom waktu” dalam arti akan meninggalkan pertentangansetelah kekuasaan Belanda meninggalkan Republik Indonesia. Dalamketentuan KMB itu, paling tidak terdapat dua permasalahan yang akanmelahirkan pertentangan baik dengan pemerintah dan bangsa Belanda,maupun pertentangan di antara bangsa Indonesia sendiri. Keduapermasalahan itu ialah diubahnya bentuk negara dari negara kesatuanmenjadi negara serikat atau federal; yang kedua, tertundanya Irian Barat(=sekarang Propinsi Papua dan Papua Barat) menjadi (bagian) dariwilayah negara Republik Indonesia.

Hal yang pertama, RIS yang “hanya” berusia delapan bulan, dariakhir Desember 1949 sampai 16 Agustus 1950, telah melahirkanketerbelahan pendapat dan kekuatan di antara bangsa Indonesia.Walaupun Ir. Soekarno disumpah sebagai Presiden RIS, namun tidakdapat meredakan pertentangan di antara kedua belah pihak, yaitu yangpro negara federal (RIS) dan yang pro negara kesatuan. Pertentangan diantara keduanya sangat keras, bahkan melahirkan provokasi-provokasidan tindakan militer seperti yang terjadi dengan Peristiwa Kapten AndiAzis. Tetapi setelah melalui langkah-langkah perundingan di antarapihak-pihak yang bertentangan, melalui mosi Natsir di DPR, akhirnyabentuk negara federal (RIS) diganti kembali dengan bentuk negarakesatuan. Dengan demikian, sejak 17 Agustus 1950, Republik Indonesiakembali berbentuk negara kesatuan (NKRI).

Namun, hal yang kedua, permasalahan Irian Barat, tidak mudahuntuk diselesaikan. Pemerintah Belanda berdalih terus-menerus, sehinggausaha mengembalikan daerah Irian Barat untuk menjadi bagian darinegara Indonesia setiap kali mengalami kegagalan. Lagi-lagi pemerintahBelanda menunjukkan keangkuhan kolonialnya dengan dukungansekutunya, terutama yang juga kolonialistik, seperti Inggris, Australia,dan Eropa Barat lainnya. Amerika Serikat di bawah Presiden-PresidenEisenhower dan Nixon juga memberikan dukungan untuk tidakmelepaskan Irian Barat sebagai wilayah jajahannya. Tetapi kemudiankebijakan Presiden Kennedy membuka peluang bagi kemungkinandikembalikannya Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia.Perubahan sikap Amerika Serikat itu tidak hanya karena Kennedy adalahseorang presiden yang memahami Presiden Soekarno dan Indonesia,melainkan juga terutama karena keadaan mondial dalam situasi PerangDingin setelah Perang Dunia II. Ketika itu pengaruh komunis di bawahUni Sovyet dan RRC sedang berkembang memasuki dunia politik negara-

Page 18: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

18 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

negara berkembang bekas jajahan bangsa asing.“AS telah ditantang secara serius di Indonesia oleh blok komunis

untuk pertama kalinya sejak bangsa itu dibebaskan dari dominasi kolonialBelanda….Hampir satu tahun yang lalu, Uni Sovyet rupanya mencapaikesimpulan bahwa ia tidak dapat membiarkan Partai Komunis terbesardi Asia di luar Tiongkok dihancurkan. Pada kira-kira waktu PresidenEisenhower menolak mengunjungi Indonesia, Kruscher datang, dan iamenyuguhkan tawaran-tawaran yang praktis tidak terbatas untuk bantuanekonomi dan militer kepada orang-orang Indonesia yang relatif masihkurang berpengalaman dalam dunia politik”.19

Dari kutipan di atas, nampak bahwa berkembangnya Partai KomunisIndonesia (PKI) di Indonesia merupakan faktor penyebab perubahansikap Amerika Serikat yang mendorongnya untuk segera mengambilperanan penting bagi diplomasi pengembalian daerah Irian Barat kedalam wilayah Republik Indonesia. Adanya situasi Perang Dingin antarablok Barat dan blok Timur juga memberi pengaruh yang lebih luas dalamsituasi politik di Indonesia.

Setelah pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh Belandamelalui KMB, sistem kehidupan bangsa Indonesia didasari olehDemokrasi Liberal-Parlementer. Sejak 1950 sampai 1958, UUD yangberlaku ialah UUD-Sementara (UUDS) 1950 yang memberikan peluanguntuk menganut sistem Demokrasi Parlementer. Ketika itu Ir. Soekarnodiangkat sebagai Presiden Konstitusional dengan posisi “hanya” sebagaiKepala Negara. Ia tidak memiliki kekuasaan menjalankan pemerintahannegara karena Kabinet dipimpin oleh Perdana Menteri yang ditunjukPresiden berdasar perimbangan kekuatan partai dalam parlemen. Artinya,partai yang memiliki anggota terbanyak dalam Parlemen berhak (terlebihdahulu) untuk ditunjuk sebagai formateur (pembentuk) Kabinet. Sejalandengan itu, dikenallah istilah (Kabinet) Koalisi dan partai-partai oposisi.Adanya dua kekuatan dalam sistem Demokrasi Parlementer,memungkinkan terjadinya gonta-ganti Kabinet dan dapat pula berarti“ketidakstabilan” jalannya pemerintahan negara.

Terjadinya ketidakstabilan politik-pemerintahan juga semakinbertambah karena situasi internal dari Angkatan Perang, khususnyaAngkatan Darat. Juga adanya “ketidaksenangan” Angkatan Darat

19 Untuk keterangan ini, lihat Paul F. Gardner, 50 Tahun Hubungan Amerika Serikat-Indonesia (terjemahan dari “Shared Hopes Separate Fears Fifty Years of US-Indonesia Rela-tions”), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, hal. 346.

Page 19: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

19Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

terhadap partai politik, baik yang memerintah maupun yang beroposisi.Hal-hal itu kemudian menyebabkan terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952.Kemudian peristiwa-peristiwa yang mengguncangkan seperti itu terjadisusul menyusul. Pemberontakan DI/TII di pelbagai daerah seperti JawaBarat, Aceh, Sulawesi (Selatan) dan Kalimantan Selatan memberikanpengaruh terhadap pelaksanaan demokrasi liberal-parlementer. Belumlagi persoalan-persoalan rumit itu selesai, pertentangan antara PresidenSoekarno dengan Wakil Presiden Hatta tampak “tidak terdamaikan”dan berujung dengan pengunduran diri Mohammad Hatta darikedudukannya sebagai Wakil Presiden. Selanjutnya, isuketidakseimbangan pembangunan ekonomi antara pulau Jawa danwilayah-wilayah di luar pulau Jawa makin berkembang. Isu ini dilapisipula oleh pertentangan internal Angkatan Darat yang kemudianmelahirkan Gerakan Permesta pada 2 Maret 1957 di Makassar olehPanglima Tr VII, Letkol Vence Sumual. Gerakan ini kemudian disusuloleh Gerakan Republik Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diSumatera (Barat). Keterlibatan beberapa tokoh Partai Masyumi danPartai Sosialis Indonesia (PSI) dalam gerakan PRRI/Permesta itu,menyebabkan kedua partai itu “dibubarkan” dan dinyatakan sebagaipartai-partai terlarang.

Kabinet gonta-ganti karena “ulah” partai-partai politik yangmempunyai “kekuasaan” di parlemen. Karena itu, Presiden Soekarnotampak tidak senang dengan tingkah laku politik partai-partai politikyang dianggapnya (ber)dagang sapi untuk membagi porsi kekuasaandalam kabinet. Sehubungan dengan itu, pada satu saat, ia berniatmembubarkan partai-partai itu—sebagaimana yang dikatakannyasendiri—ia gagal dengan niatnya itu, karena kepalanya terbentur padatembok yang tebal. Kehendaknya membubarkan partai-partai itu, karenaia beranggapan perbuatan partai-partai itu sudah membahayakan negara.

Pada 1955, “puncak” dari pelaksanaan demokrasi dalam periodedemokrasi liberal-parlementer, diadakanlah Pemilu “yang pertama” sejakkita merdeka. Tentu saja pelaksanaan Pemilu ketika itu dianggap sebagaihal yang merupakan salah satu solusi terbaik, terpenting dalammenghadapi persoalan-persoalan pemerintahan dan kenegaraan. Tetapitampilnya empat partai yang mendapat suara mayoritas dari rakyat—PNI, Masyumi, NU dan PKI—tampak tidak mengubah situasi secaramendasar. Gonta-gantinya kabinet tetap saja terjadi. Demikian pulaBadan Konstituante yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu

Page 20: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

20 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

waktu itu, tampak tidak berhasil menyelesaikan tugasnya membuat UUDbaru sebagai pengganti UUD Sementara 1950. Ketika Badan Konstituantedibuka bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 1956,Presiden Soekarno memberikan pidato yang cukup panjang berjudulRes Publica, yang meminta kepada anggota badan pembuat undang-undang dasar agar menyusun sebuah UUD yang benar-benar sesuaikehendak rakyat. Dalam pidatonya itu, ia menyampaikan pandanganyang menarik, yaitu yang membedakan posisi Parlemen denganKonstituante. Ia berkata :

“Sekali lagi, Konstituante bukan parlemen. Parlemen biasanyaadalah tempat adu suara; Konstituante adalah badan untukbermusyawarah merumuskan suatu hal yang sudah terang, yaitu sifatdan sikap hidup negara yang telah jadi pegangan batin bangsa dalamperjalanannya dalam sejarah”. 20

Selanjutnya ia menyebutkan bahwa Parlemen biasanya menjadigelanggang antithese; Konstituante adalah badan untuk ber-synthese.21

Setelah melihat perkembangan yang terjadi selama sekitar enamtahun, 1950–1956, Presiden Soekarno menentukan sikap politiknyadalam menghadapi perkembangan yang dilahirkan sistem DemokrasiLiberal-Parlementer itu. Ia melangkah dengan Konsepsi Presiden. Ideini disampaikannya dalam pidato radio pada pukul 20.05, 21 Februari1957. Dalam pidato itu Presiden secara terbuka mencela sistem DemokrasiParlementer yang disebutnya sebagai Demokrasi Barat, demokrasiimpor.22 Penolakan dan celaannya terhadap Demokrasi Parlementer-Baratitu, dikatakan dalam kalimat-kalimat berikut :

“Sejak kita menamakan gerakan nasional, lebih-lebih lagi sesudahmemproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, memangkita selalu gandrung kepada demokrasi dan ingin menyelenggarakandemokrasi itu, oleh karena memang demokrasi itulah yang menjadi apipembakar hati kita, api pewahyu daripada segenap tindakan kita. Tetapimenurut keyakinan kita sebagai hasil pengalaman yang 11 tahun ini,demokrasi yang kita ambil, demokrasi yang kita pakai adalah demokrasiyang tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia, yaitu apa yang kita

20 Untuk keterangan ini, lihat Wawan Tunggul Alam, Bung Karno Milik Rakyat Indonesia(Kumpulan Pidato), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 19.

21 Ibid.22 Istilah ini telah digunakannya juga ketika ia mengajukan idenya tentang Sosio-

Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi pada tahun 1930-an. Istilah itu juga merupakan istilah“ejekan” untuk menolak Demokrasi Parlementer, ketika mereka “mencari” demokrasi “asli”Indonesia.

Page 21: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

21Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

namakan Demokrasi Barat, namakanlah ini demokrasi parlementer.Tetapi tegas bagi saya demokrasi yang kita pakai 11 tahun ini adalahsatu demokrasi Indonesia.

Di dalam demokrasi Barat itu, Saudara-saudara, demokrasi pra-demokrasi Indonesia, bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa kitasendiri, maka kita mengalami segenap ekses-ekses daripada sekedarmemakai barang impor. Segenap ekses-ekses daripada penyelenggaraandemokrasi yang bukan demokrasi yang sesuai dengan kepribadian kitasendiri.

Di dalam demokrasi Barat itu, Saudara-saudara, demokrasiparlementer ala Barat, maka adalah begrip yang dinamakan begrip oposisiinilah, Saudara-saudara yang telah membuat kita 11 tahun lamanyamenderita.

Oleh karena begrip oposisi ini kita maknakan dan kita artikandengan jalan yang tidak cocok dengan jiwa Indonesia.”23

Konsepsi Presiden ini sangat penting posisi dan artinya ketikaPresiden sudah tidak dapat lagi melihat perkembangan yang terjadi danyang dianggapnya telah membahayakan kehidupan negara. KonsepsiPresiden itulah yang dikembangkan bersama para pendukungnya,termasuk Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat, untukmenjalankan format politik yang dirumuskannya sendiri. Dengan ituPresiden akan tampil tidak hanya sebagai Presiden Konstitusional, tetapijuga sebagai Kepala Pemerintahan, bahkan “penguasa tunggal”, sebagaiPemimpin Besar Revolusi dan Presiden Seumur Hidup!

4. Demokrasi Terpimpin : Rumusan dan ImplementasiTampak antara 1956–1957, Presiden Seokarno melakukan langkah-

langkah politik “yang menyerang” sistem demokrasi liberal-parlementer.Langkah-langkah itu tampak pula mulai mendapat dukungan daripelbagai pihak, termasuk dari pimpinan Angkatan Darat. Dan tentu partaiyang dibentuknya dalam periode Pergerakan Nasional, PNI, memberikandukungannya pula. Bahkan dalam tubuh PNI telah dilakukan usahameretakkan hubungan PNI dan Presiden Soekarno, yang nampak selamaini “renggang”.24

23 Wawan Tunggul Alam (penghimpun/penyunting), Bung Karno—(Kumpulan Pidato)—op.cit., hal. 36.

24 Untuk keterangan lebih lanjut, lihat sebuah brosur kecil, semacam buku saku, Pulihkan!Marhaenisme yang dikeluarkan oleh Badan Pelaksana Koreksi Konsolidasi Partai NasionalIndonesia 1958, passim.

Page 22: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

22 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Konsepsi Presiden berinti pada dua hal, yaitu pembentukan KabinetGotong Royong dan pembentukan satu Dewan Nasional.25 Denganberpegang pada idenya itu, Presiden Soekarno melakukan penjajakanpendapat terhadap kekuatan-kekuatan politik dengan mengundang partai-partai politik. Presiden menanyakan sikap mereka terhadap KonsepsiPresiden yang disampaikannya pada beberapa waktu lalu. Tentu sajaada partai yang mendukung Konsepsi Presiden seperti PNI dan PKI.Tetapi ada juga partai-partai yang secara tegas menolaknya sepertiMasyumi, PSI dan Partai Katolik.

Untuk mewujudkan Konsepsi Presiden, Presiden bersamapendukungnya melangkah lebih lanjut: pertama, merumuskan sebuahdemokrasi “baru” yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dan yang kedua,kembali ke UUD 1945. Tampak usaha merumuskan dan memberlakukanDemokrasi Terpimpin berjalan dengan cepat. Setelah Presiden dan DewanMenteri melakukan pertemuan-pertemuannya, Dewan Menterimenerima Demokrasi Terpimpin dalam rangka memberlakukan kembaliUUD 1945. Keterangan pemerintah yang disampaikan Perdana MenteriDjuanda, antara lain, sebagai berikut :

“Mengenai masalah Demokrasi Terpimpin itu telah diadakanpembahasan oleh Dewan Menteri pada tanggal 7 Nopember 1958 diCipanas, serta tiga kali pertukaran fikiran secara terbuka antara Presidendan Dewan Menteri pada tanggal 5 Desember 1958, tanggal 15 Januari1959 dan tanggal 26 januari 1959, berturut-turut di Bogor, di Jakartadan di Bogor lagi.

Kemudian pada tanggal 19 Februari 1959 oleh Dewan Menteridiambil mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangkakembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan putusan DewanMenteri itu disetujui sepenuhnya oleh Kepala Negara.” 26

Selanjutnya, Perdana Menteri memberikan pula apa yang dimaksuddengan Demokrasi Terpimpin itu. Dikatakannya,

“Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi. Demokrasi terpimpin itubukanlah diktator. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soalkenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik,ekonomi, dan sosial”.27

Dalam sumber lain yang ditulis Soepardo dkk yang dimaksudkan

25 Ibid.26 Mendjelang Dua Tahun Kabinet Karya 9 April 1957 – 9 April 1959 (penerbitan Chusus

46), Kementrian Penerangan RI, hal. 16.27 Ibid., hal. 17

Page 23: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

23Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

sebagai buku pelajaran Civics, kita dapatkan pengertian demokrasi yangdikaitkan dengan istilah terpimpin. Dikatakan bahwa, “DemokrasiTerpimpin itu adalah demokrasi dengan pengakuan adanya pimpinan.Bukanlah terpimpin untuk menghilangkan demokrasi, akan tetapiterpimpin untuk melawan sifat-sifat liberalnya dari para demokrasi.Tujuan utama adalah menyingkirkan perusak-perusak demokrasi yangberdalih demokrasi yang dengan demikian berbuat anarki danpengacauan. Atas nama demokrasi harus dihormati hak-hak demokrasidari para rakyat, sesuai dengan sumber pengertian demokrasi yangterdapat pada sila keempat dari Pancasila “Kedaulatan Rakyat”.28

Tentang arti pemimpin, buku civics itu menyatakan: “Terpimpin”,merupakan pendirian yang tegas dan sikap hidup yang nyata, yakni:memberikan pimpinan kepada rakyat dan melawan musuh-musuh rakyatbersama rakyat. Dalam bidang ekonomi, pimpinan ini lebih jelas lagimempunyai sasaran dan perlindungannya. Temanya adalah sama, sepertipenjelasan mengenai demokrasi, tetapi sasarannya lebih konkrit. Ekonomiterpimpin adalah ekonomi gotong-royong yang menjamin kemakmuranrakyat serta melenyapkan sisa-sisa sistem feodalisme dan imperialismedengan penghisapan-penghisapannya. Ekonomi gotong-royong atauekonomi sosialis a la Indonesia, adalah ekonomi kemakmuran bersamayang anti feodalisme dan imperialisme. Pimpinan dalam taraf pertamaadalah untuk menumbangkan rezim-rezim kapitalisme, dimulai darikapitalis-kapitalis monopoli dan selanjutnya sehingga pada akhirnyakapitalisme dalam prinsipnya dapat ditiadakan. Tarif selanjutnya adalahbimbingan usaha bersama rakyat dalam bidang-bidang produktif-konsumtif yang dipimpin oleh pemerintah”.29

Ketika Konsepsi Presiden diberitahukan kepada masyarakat luasmelalui RRI pada 21 Februari 1957, malam hari, sebenarnya itudilakukan oleh Presiden untuk memberitahukan kepada masyarakat luas,bahwa ia akan melangkah dalam bidang politik, dan itu akanmenyebabkan perubahan mendasar, paling tidak membuka peluangbaginya untuk mengambil peranan yang lebih langsung dan menentukanyang akan dilakukannya melalui Konsepsi Presiden dan DemokrasiTerpimpin. Ide Demokrasi Terpimpin, sebenarnya sudah dikemukakanPresiden ketika memberikan pidato pembukaan Badan Konstituante pada10 November 1956. Seperti dapat dibaca, Presiden menggunakan

28 Supardo dkk , Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 84.29 Ibid.

Page 24: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

24 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

kesempatan itu untuk menunjukkan tidak cocoknya demokrasi liberal-parlementer bagi Indonesia. Karena itu ia menyarankan untukmenggunakan Demokrasi Terpimpin. Tentang hal ini ia menyatakanbahwa, “Maka atas pertimbangan-pertimbangan itulah, saya persoonlijkmerasa perlu golongan yang lemah mendapat perlindungan daripadagolongan yang kuat, atau dengan lain kata: pemakaian demokrasi olehgolongan yang kuat harus dibatasi. Ini berarti, bahwa demokrasi kitauntuk sementara haruslah demokrasi yang menjaga jangan ada eksploitasioleh satu golongan terhadap golongan yang lain. Ini berarti bahwademokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi terbimbing,demokrasi terpimpin, geleide democratie, yang dus tidak berdiri di atasfaham-fahamnya liberalisme”. 30

Dengan penerimaan Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpinoleh Dewan Menteri pada 19 Februari 1959, persoalan yang dihadapiadalah persoalan UUD yang akan diberlakukan. Memang dikatakanoleh Perdana Menteri Djuanda bahwa penerimaan Demokrasi Terpimpinsebagai langkah untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Tetapipermasalahan yang dihadapi ialah cara memberlakukan kembali UUD1945. Apakah dengan mengajukan usul kepada Badan Konstituanteuntuk menerima dan menetapkan, mengesahkan UUD tersebut sebagaiUUD Negara yang definitif; atau cara lain, yang mungkin bersifat tidakkonstitusional, yaitu Dekrit Presiden.

Pada 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato pada sidang plenoBadan Konstituante dengan judul Res Publica Sekali Lagi Res Publica;dalam pidato itulah ia menganjurkan agar Badan Konstituante bersediakembali ke UUD 1945.

“Berkenaan dengan anjuran “kembali kepada Undang-UndangDasar 1945” itu, maka saya sampaikan kepada Konstituante naskah resmiUndang-Undang Dasar 1945 itu, yang terdiri dari pembukaan, batangtubuh yang berisi 37 pasal, 4 aturan peralihan, dan 2 aturan tambahan”.31

Yang menarik dalam tanggapan Badan Konstituante terhadapanjuran Presiden itu, ialah terjadinya pertentangan antara dua kekuatandalam Badan itu, yaitu kekuatan ideologi Pancasila dan kekuatanideologi Islam. Keduanya tampak tidak bergeser dalam mempertahankanposisi ideologi mereka, yaitu untuk berusaha tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Pertentangan kedua kekuatan itu tidak dapat dicairkan

30 Lihat Wawan Tunggul Alam, Bung Karno … (Kumpulan Pidato), op.cit., hal 16.31 Ibid., hal. 77.

Page 25: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

25Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

oleh pernyataan Presiden yang menyatakan …”yang saya setujuisepenuhnya itu”. Jalan terakhir yang ditempuh Badan Konstituante ialahvoting, pemungutan suara. Tetapi ternyata tidak juga berhasil. Akhirnyajalan terakhir yang ditempuh, yaitu Dekrit Presiden. Tetapi sebelumDekrit Presiden dilakukan, tampak adanya “kesepakatan” politik antarakekuatan-kekuatan politik, khususnya antara Presiden, Islam yangdiwakili NU dan TNI/Angkatan Darat. Kesepakatan itu menyangkutpada tempat dari Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden. Dan berdasaratas konsensus kekuatan-kekuatan itu, dalam konsiderans yang berbentukkeyakinan Presiden bahwa Piagam Jakarta merupakan satu kesatuandengan Undang-Undang Dasar 1945, disebutkanlah posisi PiagamJakarta tersebut. Karena itu menggunakan Dekrit Presiden untuk kembalike Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada masalah. Demikianlah, pada5 Juli 1959, Dekrit Presiden pun diumumkan di depan Istana NegaraJakarta.

Sejak itu, kita pun memasuki periode Demokrasi Terpimpin. Secaraberangsur, tetapi dengan langkah politik yang cukup cepat, PresidenSoekarno—dengan mendapat dukungan kuat dari Pimpinan AngkatanPerang TNI-Angkatan Darat dan PKI—melakukan langkah-langkahperubahan. Sejalan dengan itu, momentum peringatan hari Kemerdekaanke-14, 1959, digunakan untuk membuat landasan konseptual bagiimplementasi sistem pemerintahan dan demokrasi yang dikehendaki.Pidato Presiden pada 17 Agustus 1959 yang diberi judul: PenemuanKembali Revolusi Kita, menjadi bahan utama yang kemudiandikembang-rumuskan menjadi ideologi politik dalam periode DemokrasiTerpimpin, 1959 – 1965. Pidato itu kemudian dirumuskan oleh DPAdan dijadikan sebagai Manifesto Politik.

Periode Demokrasi Terpimpin yang dapat disebut singkat dan“hanya” untuk satu periode jabatan kepresidenan, memang merupakanperiode Soekarno dalam era kemerdekaan bangsa-negara Indonesia.Periode ini ditandai dengan tampilnya tiga kekuatan politik utama, yaituPresiden Soekarno, TNI-Angkatan Darat dan PKI. Dalam periode ini,Soekarno tampak hendak memformulasikan kembali ide-idenya yangpernah ditulisnya pada periode Pergerakan Nasional, 1926 dan 1930-an.Ide dasar NASAKOM sebenarnya telah ditulisnya pada 1926 denganjudul: Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.

Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dengan UUD 1945 sebagaiUndang-undang Dasar Negara, lembaga-lembaga negara pun ditata

Page 26: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

26 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

kembali. DPA, DPR-Gotong Royong, MPR-Sementara, Front Nasionaldibentuk. Posisi Soekarno makin bergeser menjadi “amat kuat dansentral”. Ia pun mendapatkan gelar-gelar kebesaran dan “sanjungan”seperti Pemimpin Besar Revolusi. Ketika itu, pelbagai kelompok daninstansi “seakan” berlomba memberikannya “gelar yang serba agung”.

Untuk menyebarkan pemahaman tentang UUD 1945, Pancasila,NASAKOM, Manipol USDEK, dibentuklah Panitia Pembina JiwaRevolusi yang diketuai Dr. H. Roeslan Abdul Gani. Dari sanalahdilakukan indoktrinasi Manipol-USDEK. Roeslan Abdulgani banyakmemberikan ceramah tentang Manipol-USDEK, NASAKOM dan“ajaran-ajaran” Bung Karno.32

Tetapi dalam perkembangannya kemudian, ternyata percaturanpolitik antara kekuatan-kekuatan politik berkembang menjadi konflikdengan “berlindung” pada wibawa dan kekuasaan Presiden. Karenaitu, sistem Demokrasi Terpimpin pada akhirnya menjadi sistem yangbertumpu pada Presiden bahkan pada diri Soekarno pribadi. Persaingandi antara kekuatan-kekuatan politik, termasuk di antara kekuatan-kekuatan pendukung Presiden Soekarno sendiri, makin tajam danmelebar. PKI dengan menggunakan istilah jor-joran manipolismelakukan ofensif revolusionernya untuk menggayang lawan-lawanyang disebutnya sebagai Kabir, Kapitalis Birokrat. Pimpinan AngkatanDarat, ketika itu Menteri Panglimanya, Letjen. Ahmad Yani, tampakberusaha mengimbangi ofensif revolusioner PKI. Ia menolak langkahpolitik PKI yang mengusulkan diadakannya Angkatan ke-5 yaitumempersenjatai kaum buruh.

5. Penutup : Tragedi Sebuah PencarianSetelah Demokrasi Terpimpin dijalankan, Mohammad Hatta

menulis artikel bersambung di Panji Masyarakat, 1960, dengan judulDemokrasi Kita. Inti artikel ini memberikan kritik tajam terhadapKonsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin. Tentu saja artikel ini sangattidak menyenangkan Presiden dan para pendukungnya. Karena itu,majalah yang dipimpin oleh ulama-politikus Hamka itu akhirnyadilarang terbit.

Yang menarik ialah pengakuan Mohammad Hatta terhadap maksudbaik “rekan seperjuangannya” yang bahkan dalam situasi krisis pernah

32 Ketika itu, bahan yang digunakan untuk peserta indoktrinasi, antara lain : Tujuh BahanPokok Indoktrinasi (TUBAPI) dan juga Roeslan Abdul Gani, Sosialisme Indonesia :Perkembangan Cita-citanya dan Ketegasannya, Prapanca, Jakarta, 1962, passim.

Page 27: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

27Anhar Gonggong, Soekarno dan Demokrasi

disebut sebagai dwitunggal, ketika ia akan menjalankan Konsepsi Presidendan Demokrasi Terpimpin yang dirumuskannya itu. Tentang ini iaberkata:

“Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta tanah airnya dan inginmelihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidakdapat disangkal. Dan itulah barangkali motif yang terutama baginyauntuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawabsepenuhnya pada dirinya. Cuma berhubung dengan tabiatnya danpembawaannya dalam segala ciptaannya ia memandang garis besarnyasaja. Hal-hal yang mengenai detail, yang mungkin menyangkut danmenentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannya. Sebab itu iasering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya”.33

Apa yang dikatakan Mohammad Hatta itu tentu saja berdasarpengalamannya sebagai kawan seperjuangan Presiden Soekarno. Danyang berkembang kemudian—setelah Demokrasi Terpimpin berlaku danPresiden Soekarno memegang kekuasaan penuh sebagai Kepala Negaradan sekaligus juga sebagai Kepala Pemerintahan—usaha Soekarnomencapai tujuannya menampakkan kegagalan. Sebagai efeksampingnya,—dan di sinilah nampak tragedi itu—Presiden tidak dapatmenghindari penyalahgunaan sistem yang dirumuskan dandijalankannya. Sejalan dengan itu, “ramalan” Mohammad Hatta dalamDemokrasi Kita yang menyatakan bahwa demokrasi ciptaan Soekarnohanya akan seumur dengannya, tampaknya benar !

Demokrasi “asli”—yang disebutnya dengan nama: DemokrasiTerpimpin—ternyata tidak dapat mewujudkan tatanan kehidupanbersama di dalam Indonesia merdeka. Keinginannya merumuskan serbaasli, demokrasi “asli”, kepribadian Indonesia—bahkan anti musik “ngak-ngik ala Barat—seperti yang didambakannya, tidak dapat dilanjutkannya.

Kejatuhannya dari posisi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi akibatperistiwa G 30 S/PKI, menunjukkan bukti dari “ramalan” MohammadHatta. Orde Baru di bawah Presiden Jenderal Soeharto menggantiDemokrasi Terpimpin dengan Demokrasi Pancasila. Dengan itu, sebuahpencarian telah berakhir dengan tragedi, telah tercatat di dalam sejarahbangsa-negara kita. Apa pun penilaian kita terhadap Soekarno,kegagalannya dalam mewujudkan demokrasi rumusannya tentu sajasangat menyedihkan. Tetapi itu tidak akan membuat kita berhentimencatat karya-karya “besarnya” untuk bangsa-negaranya; karena harus

33 Lihat Panji Masyarakat, 1960.

Page 28: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

28 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

diakui dengan jujur sebagian ide dan karyanya, masih kita gunakanuntuk melanjutkan kehidupan bersama sebagai bangsa-negara. UUD ’45(yang “asli”) dan Pancasila adalah buah-buah pikirannya yangdipersembahkan kepada bangsa-negaranya untuk menata kehidupanbersama sebagai bangsa-negara yang merdeka dan demokratis!

* * ** * ** * ** * ** * *

Page 29: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

29Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunananalisis

Jatuhnya rezim Soekarno pada tahun 1966 disusul denganmunculnya kekuatan baru bernama orde baru. Walaupun status resmiSoekarno pada waktu itu masih sebagai Presiden Republik Indonesiasampai dengan tanggal 17 Oktober 1967, namun kekuatannya mulaijatuh setelah Gerakan 30 September 1965 (Gestapu). Landasan untukrezim orde baru ditandai dengan ditetapkannya ‘mandat’ kontroversialpada 11 Maret 1966 oleh Soekarno yang mempercayakan Letnan JendralSoeharto, Panglima TNI sejak tahun 1965, untuk mengkoordinasikekuatan pemerintahan.1 ‘Mandat’ tersebut dikenal sebagai Surat PerintahSebelas Maret (Supersemar). Soeharto mengambil alih kekuatan politiknasional setelah munculnya demonstrasi mahasiswa anti-Soekarno dananti-komunis yang didukung oleh TNI di ibukota dan beberapa kotalainnya. Pada tanggal 12 Maret 1967 Majelis PermusyawaratanSementara (MPRS) menunjuk Soeharto untuk menjabat sementarasebagai Presiden Indonesia.

Untuk memastikan bahwa akan adanya era baru, rezim baru inimembuka kembali kesempatan publik berbicara walaupun denganbatasan-batasan tertentu. Semua kelompok, individu dan publikasi yangdicekal pada masa demokrasi terpimpin mulai bermunculan kembali.Sementara itu, orang-orang yang vokal pada masa ore lama dicekal.

Munculnya Orbe Baru menandai tumbuhnya generasi ketigaintelijensi Indonesia (terdiri dari tokoh-tokoh yang sebagian besar lahirpada tahun 1910-an dan 1920-an). Anggota dari generasi ini tumbuh

MENGENANG REZIMMENGENANG REZIMMENGENANG REZIMMENGENANG REZIMMENGENANG REZIMPEMBPEMBPEMBPEMBPEMBANANANANANGUNGUNGUNGUNGUNAN REPRESIFAN REPRESIFAN REPRESIFAN REPRESIFAN REPRESIFGAMBGAMBGAMBGAMBGAMBARAN POLITIK EKARAN POLITIK EKARAN POLITIK EKARAN POLITIK EKARAN POLITIK EKONONONONONOMIOMIOMIOMIOMIORDE BARUORDE BARUORDE BARUORDE BARUORDE BARU

Yudi Latif

1 Hingga saat ini tidak jelas apakah ‘mandat’ tersebut ditetapkan atas inisiatif Soekarnosendiri atau karena desakan dari Soeharto

Page 30: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

30 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

pada masa penjajahan Jepang dan kurang mendapat ekspos terhadappendidikan dan pelatihan barat, akan tetapi sangat diilhami denganmental militer dan nasionalis. Rezim yang baru ini banyak didominasioleh intelijen militer yang memiliki keengganan terhadap perselisihanpolitik sipil yang tidak patriotis.

Para cendekiawan dari PSI dan komunitas Kristen menjadi sekutuutama militer dalam pembentukan Orde Baru. Mereka memiliki peranyang sangat menentukan karena kualifikasi pendidikan mereka danpengaruh yang sangat kuat dari PSI diantara pimpinan TNI. Apalagi,para pendukung politik PSI dan komunitas Kristen tidak terlalu berarti,dan para cendekiawan dari kelompok ini dipandang sebagai ancamanterhadap ambisi TNI untuk menguasai perpolitikan Indonesia.

Dengan didominasinya pemerintahan oleh intelijen militer, makatidak ada ruang lagi untuk PKI.2 Sementara itu, kekhawatiran rezimbaru atas ancaman politik dari partai dengan jumlah konstituen yangbesar mengakibatkan munculnya kebijakan-kebijakan untuk menghalangiPNI dan menolak rehabilitasi Masjumi. Ketidakikutsertaan tiga kekuatanpolitik besar pada masa orde baru menandai awal era politik orde baru.

Dalam menghadapi krisis ekonomi yang diwariskan oleh orde lama,orde baru menyimpulkan bahwa mobilisasi massa politik dan perselisihanpolitik sipil pada masa orde lama telah mengesampingkan masalah-masalah ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pemulihan ekonomidiperlukan untuk merubah perhatian masyarakat dari politik ke ekonomidengan cara merubah cara pandang nasional dari ‘politik sebagaipanglima’ pada masa orde lama menjadi ‘ekonomi sebagai panglima’.

Sebagai upaya untuk menekankan pentingnya pertumbuhanekonomi dan modernisasi, rezim baru mencoba untuk menghidupkankembali hubungan-hubungan dengan kapitalis dunia dan organisasimultinasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia,dimana Indonesia telah mengundurkan diri dari keanggotaan pada bulanAgustus 1965 sebagai bentuk kampanye anti-imperialisme dan kapitalismeSoekarno. Pembangunan ekonomi membutuhkan dana, akan tetapinegara dalam keadaan bangkrut. Rezim orde baru tidak memiliki pilihankecuali untuk mencari pinjaman dari luar dan investasi. Untuk menjaminmasuknya dana dari luar negeri dan suksesnya pembangunan ekonomi,stabilitas politik sangat diutamakan.

Hal ini memberikan justifikasi kepada rezim baru untuk

2 PKI secara fisik dan legal dihapuskan

Page 31: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

31Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

meninggalkan semua halangan politik untuk modernisasi.‘Pembangunan’ ditetapkan sebagai ortodoks baru yang ditandai dengandiresmikannya kabinet Soeharto yang pertama sebagai presiden (Juni1968 – Maret 1973),3 yang disebut sebagai ‘Kabinet Pembangunan I’.Bersamaan dengan ideologi teknokrat, stabilitas politik menjadi objektifpolitik utama yang didasari oleh doktrin ‘Dualisme Militer’, yangmelegitimasi peran militer pada urusan-urusan non-militer. Dengan for-mula ‘pembangunan’ dan ‘stabilitas’ ini, maka Orde Baru mendaur ulangpeninggalan masa kolonial yang mengangkat prinsip ‘kemadjoean’ danketentraman, dan mengubahnya menjadi apa yang oleh Feith (1980)disebut sebagai rezim ‘pembangunan represif ’.

Tulisan ini merupakan tinjauan dari bangkitnya, serta perkembangandan jatuhnya Orde Baru sebagai rezim pembangunan-represif, denganmenggunakan sumber-sumber teoritis mengenai Orde Baru.

Kepustakaan Teoritis tentang Negara Orde BaruAda beberapa pandangan mengenai sifat Orde Baru pada

perkembangannya antara tahun 1970-an dan 1980-an. Dalam menilaiOrde Baru sebagai rezim yang menutup diri dari kesadaran masyarakatdan tidak banyak memberikan ruang untuk kebijakan ‘give and take’ ataukepekaan terhadap kebutuhan masyarakat, beberapa pakar, seperti BenedictAnderson, telah menggambarkannya sebagai rezim yang kuat, monolitikdan bermanfaat, atau disebut ‘state-for-its-own-sake’ (Andrson 1972).4

Setelah mempelajari bahwa negara ini memiliki kelas-kelas yang tertindas,kepentingan-kepentingan kelompok dan oposisi melalui terbentuknyasistem monopoli representasional yang non-kompetitif dengan adanyakategori-kategori fungsional, maka pakar lain seperti Dwight Y. Kingmenyebutnya sebagai ‘state corporatism’ (1977). Melihat adanya golonganyang tidak cakap dan adanya hubungan patron yang memanfaatkankepentingan institusi, beberapa pakar, seperti Karl D. Jacksonmenjelaskannya sebagai ‘kebijakan birokrasi’ yang lemah dan

3 Pada Bulan Maret 1968, Soeharto ditunjuk sepenuhnya sebagai presiden oleh MPRS,dan bukan oleh anggota MPR yang baru dilantik, karena pemilihan umum ditunda sampaidengan pertengahan 1971.

4 Pandangan lainnya: Penjelasan Geertz tentang negara Indonesia (pada tahun 1950andan 1960an) sebagai negara manque, laporan Emmrson tentang berkembangnya kekuatanbirokrasi di Indonesia, penjelasan Feith tentang rezim pembangunan represif, diskusi Liddletentang institusionalisasi Orde Baru dan otonim relatif pelaku politik, dan laporan Mackie’sdan MacIntyre’s tentang berkembangnya negara otonomi. Rangkuman mengenai teori-teoriini dijelaskan oleh Jim Schiller (1996: 1-27).

Page 32: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

32 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

dimanfaatkan oleh golongan-golongan (Jackson & Pye 1978). Melihatbahwa negara telah dipersonalisasi karena kendali politik dan sumber-sumber ekonomi berada di tangan Presiden Soeharto dan lingkunganmiliternya, dan kekuatan penguasa bergantung pada kemampuannya untukmendapatkan loyalitas bagian-bagian penting elit politik – beberapa pakar,seperti Harold Crouch menyebutnya sebagai negara ‘patrimonial’ (Crouch1979). Dengan menggunakan kriteria bahwa modernisasi atas biaya negarayang diikuti oleh sifat otoriter yang digambarkan oleh ketergantungannegara pada bentuk perintah dari akumulasi kapital internasional danpembagian buruh berkaitan dengan peran militer dalam politik andpembangunan ekonomi, beberapa pakar seperti Mochtar Mas’oedmenjelaskannya sebagai negara ‘birokrasi-otoriter’ seperti yangdigambarkan di Amerika Latin oleh Guillermo O’ Donnel (Mas’oed 1983).

Beragamnya teori tentang sifat Orde Baru menggambarkanperbedaan pandangan para pakar dan peneliti. Perbedaan perspektif inijuga menandai perbedaan trend politik ketika penelitian tersebutdilakukan. Jika digabungkan, maka pandangan-pandangan ini salingmelengkapi satu sama lain, seperti yang digambarkan dibawah ini.

Modernisasi dan PenindasanKeterbukaan kesempatan publik pada awal Orde Baru

memberikan kesempatan pada beberapa media yang pada awalnyadicekal pada masa demokrasi terpimpin untuk kembali beredar.5

Beberapa harian yang telah terbit pada rezim Soekarno, sepertiKompas (berdiri tahun 1965) dan Sinar Harapan (berdiri tahun1962) menjadi lebih pent ing.6 Media baru juga mulaibermunculan, seperti surat kabar milik militer yang lebih umumsetelah tahun 1965.7

Dalam keterbukaan publik, kenangan tentang pengkhianatan

5 Harian Merdeka (berdiri tahun 1945), harian tertua yang dicekal pada bulan Februari1965, dan kembali beredar pada 2 Juni 1966. Diikuti oleh munculnya kembali harianIndonesia Raya (berdiri tahun 1949) yang dipimpin Mochtar Lubis pada tahun 1968 danPedoman (berdiri tahun 1944) milik Rosihan Anwar, dan Abadi (berdiri tahun 1951) milikMasjumi.

6 Beberapa media yang bertahan pada masa Orde Lama dan melanjutkan publikasinyadibawah rezim baru adalah Duta Masyarakat (berdiri tahun 1953) milik NU, Kompas (berdiritahun 1965), dan Sinar Harapan (berdiri tahun 1962). Kompas, sebuah surat kabar denganafiliasi masyarakat Katolik, mulai berkembang menjadi surat kabar independen dengan beritaterbaik. Sinar Harapan, sebuah surat kabar dengan afiliasi masyarakat Protestan juga mengalamiperkembangan.

7 Surat kabar Harian KAMI, yang merupakan suara gerakan mahasiswa, merupakan suratkabar baru yang dipimpin oleh Nono Anwar Makarim bersama tokoh-tokoh sastra seperti

Page 33: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

33Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

intelektual/inteligensia (intellectual betrayal) atau pelacuran intelektual/inteligensia (intellectual prostitution) pada masa demokrasi terpimpinmulai muncul sebagai artikel di media massa. Antara April dan Agustus1966, Kompas mempublikasikan beberapa artikel mengenai isu ini, danbersandingan dengan artikel-artikel tentang doktrin-doktrin Soekarno.8

Kemudian antara tanggal 14 sampai dengan 23 April 1969, IndonesiaRaya menerbitkan serangkaian artikel tentang “Tjontoh-TjontohPelatjuran Intelektuil di Zaman Resim Soekarno” yang ditulis olehseseorang dengan nama samaran Wira.9 Artikel-artikel ini mengkritikcendekiawan yang telah menciptakan kebohongan dalam ilmupengetahuan untuk mendukung Manipol-USDEK dan ortodoks-ortodoks resmi lainnya,10 sementara itu juga memuji mereka yang telahsecara berani menjaga integritas intelektual mereka dengan resikoapapun.11 Ironisnya, menurut artikel-artikel tersebut, banyak dari merekayang telah melakukan pelacuran terhadap integritas intelektual merekadi masa lalu pada masa Orde Baru memiliki jabatan yang strategissebagai teknokrat.12

Taufiq Ismail, Arief Budiman dan Gunawan Mohamad sebagai editor. Kemudian munculmajalah Tempo dengan Gunawan Mohamad sebagai pemimpin redaksi pada tahun 1971 danberkembang menjadi majalah mingguan pertama di Indonesia. Setelah tahun 1965 jugamuncul surat kabar militer seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha dan juga surat kabarterbitan Golkar, Suara Karya.

8 Beberapa artikel yang diterbitkan Kompas antara lain “Berachirlah kini zamanPengchianatan Kaum Intellektuil Indonesia” (diterbitkan pada 27 April 1966) dan “JulienBenda dan Pengchianatan Kaum Intelektuil” (diterbitkan pada 12 Mei ) oleh S. Tasrif; “ApakahSebabnya Kaum Intelektuil Indonesia tak Terkalahkan?” (diterbitkan pada 31 Mei) dan“Apakah benar Kaum Intelektuil Indonesia tak Terkalahkan?” (diterbitkan pada 27 Juni) olehWiratmo Soekito ; “Antara Kemerdekaan Intelektuil dan Instruksi Partai” (diterbitkan 20Agustus) oleh Soe Hok Gie, dan “Tugas Tjendikiawan: Mengisi Kemerdekaan” (diterbitkan9 – 12 Juli) oleh M.T. Zen.

9 Berdasarkan informasi dari Maskun Iskandar (mantan jurnalis Indonesia Raya) padatanggal 2 Agustus 2001, Wira merupakan nama samaran jurnalis IndonesiaRaya, DjafarHusein Assegaf (saat ini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi harian Media Indonesia)

10 Nama-nama yang secara langsung diserang oleh artikel-artikel Prof. Sadli (tentangkritikannya mengenai modal asing), Prof. Ismail (tentang kritikannya mengenai Trias Politica),Barli Halim (yang telah memberikan label ‘pemikir buku panduan’ bagi mereka yang tidakmendukung ‘identitas nasional’), Emil Salim (karena penggunaan jargon-jargon yang seringdigunakan oleh Soekarno dalam tulisannya), dan Prof. R. M. Sutjipto Wirjosuparto (untukinterpretasinya tentang sejarah berdasarkan doktrin-doktrin Manipol-USDEK)

11 Beberapa cendekiawan yang dipuji oleh artikel-artikel ini adalah Prof. Bahder Djohan,Dr. Mochtar Kusumaatmadja, dan Dr. Bagowi atas keberanian mereka untuk mengatakan‘tidak’ kepada kekuatan yang berkuasa, walaupun harus dibayar dengan hilangnya jabatanresmi mereka.

12 Artikel—artikel Wira memberikan contoh mengenai tendensi ini. Diantaranya adalahProf. Sadli yang merupakan salah satu figur utama yang anti terhadap investasi asing padamasa rezim Soekarno, yang kemudian menjadi Ketua Umum Komite Investasi Asing OrdeBaru.

Page 34: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

34 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Artikel-artikel ini kemudian memicu polemik antara cendekiawanyang ‘tertuduh’ dan partisipan-partisipan lainnya.13 Walaupun memilikipandangan berbeda, mereka semua memiliki kekhawatiran yang samamengenai kewajiban intelektual dan inteligensia: untuk berbicara jujuruntuk kekuatan. Pada kenyataannya, mereka yang ‘diam’ (bekerja sama)dengan pemegang kekuasan pada masa lalu — karena kemampuannyamengatur sumber daya politik dan ekonomi – mendapatkan keuntungandari perubahan rezim ini. Kabinet interim Soeharto, Kabinet Amperayang Disempurnakan (11 Oktober 1967 - 6 Juni 1968)14 menggambarkantendensi ini. Kabinet ini terdiri dari orang-orang yang mendukung‘demokrasi terpimpin’ yang didominasi oleh wakil-wakil dari inteligensiamiliter.15

Istilah “intelektuil” dan “inteligensia” menjadi semakindikesampingkan karena sering dihubungankan dengan “pengkhianatanintelektuil”. Sebagai gantinya muncul kata ‘cendikiawan’ dari bahasasanskrit.16 Berkaitan dengan ‘kewajiban intelektuil’ istilah cendekiawanmulai banyak digunakan dalam wacana intelektuil. Pada bulan Maret1966, Kesatuan Aksi Sardjana Indonesia (KASI) cabang Bandungmeluncurkan jurnalnya, Tjendikiawan Berdjuang. Selanjutnya, OrdeBaru mengembangkan proyek untuk mengganti kata-kata asing denganBahasa Indonesia yang disempurnakan, dan istilah ‘cendekiawan’semakin sering digunakan dikalangan publik.

13 Prof. Sadli menulis artikel balasan di dalam Indonesia Raya pada tanggal 21 April 1969,disusul dengan artikel-artikel dengan nada yang hampir sama oleh Prof. Ismail Suny yangditerbitkan di Kompas (22 April) dan di Indonesia Raya (23 April). Polemik di dalamIndonesia Raya juga melibatkan J. Soedradjad Djiwandono, “Beberapa Tjatatan TentangPersoalan Pelatjuran Intelektuil” (diterbitkan 24 April), L.E. Hakim, “Pelatjuran Intelektuildi Zaman Resim Soekarno; Sebuah Tanggapan” (diterbitkan 25 April), dan M-Zen Rahman,“Sebuah Tanggapan tentang Pelatjuran Intelektuil di Zaman Resim Soekarno” (diterbitkan 26April).

14 Ampera adalah slogan Soekarno yang sangat terkenal yang merupakan singkatan dariAmanat Penderitaan Rakyat. Kabinet Ampera yang pertama (Juli 1966 – Oktober 1967)dipimpin oleh Soekarno.

15 Perbandingan militer dalam kabinet ini adalah 9 dari 23 menteri. Delapan menteriberasal dari kalangan teknokrat sipil, dimana 3 diantaranya adalah dari komunitas Kristiani(DRs Frans Seda sebagai Menteri Keuangan) Prof. G. A Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan,dan Dr A.M. Tambunan SH sebagai Menteri Sosial. Tokoh politik dan jurnalis menempati 4posisi menteri (Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Koordinator Ekonomi danKeuangan, Sanusi Hardjadinata sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Adam Maliksebagai Menteri Luar Negeri, dan B.M. Diah sebagai Menteri Penerangan). Pada titik inihanya tinggal 2 perwakilan dari komunitas tradisional Muslim (K.H. Idham Chalid sebagaiMenteri Kesejahteraan Sosial, dan K.H. Mohamad Dachlan sebagai Menteri Agama).Sementara itu cendekiawan-cendekiawan dari Masjumi yang telah menjadi rekanan utamamiliter dalam memberantas PKI dan rezim Soekarno tidak terwakilkan dalam kabinet.

16 Untuk Etimologi dan Genealogi istilah tersebut, lihat Bab I.

Page 35: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

35Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

Dengan tanggung jawab intelektual, para cendekiawan dan mediamassa menyiapkan agenda intelektual baru sebagai proyek sejarah barubagi bangsa. Mereka mulai mempopulerkan istilah ‘modernisasi’bersamaan dengan istilah ‘pembangunan’. Para pakar dan jurnalisbekerja sama dalam wacana ini. Pada tanggal 6 Mei 1966, KAMI danKAPPI bekerja sama dengan fakultas ekonomi UI (FE-UI) mengadakansimposium dengan judul Kebangkitan Semangat 1966: MendjeladjahTracee Baru. Simposium ini mengkritik prinsip Soekarno mengenai‘politik sebagai panglima’ karena gagal menghadapi masalah-masalahsosio-ekonomi bangsa. Kemudian, dari bulan Juli sampai denganDesember 1966 jurnalis Indonesian ternama, Rosihan Anwar, menulisserangkaian artikel mengenai modernisasi di harian Kompas17 yangmemicu publikasi-publikasi tentang isu yang sama. Wacana tentangkeinginan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitaspolitik memberikan alasan kepada elit militer untuk memainkan perananpenting dalam politik. Dengan demikian tema-tema intelektual tersebutmendapatkan dukungan yang kuat dari perwira militer.

Keyakinan militer tentang pentingnya agenda ‘ekonomi sebagaipanglima’ mendapatkan justifikasi dari para akademisi. Pada tahun-tahun terakhir rezim Soekarno, sekelompok pengamat ekonomi dari UI,termasuk diantaranya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, M Sadli, EmilSalim dan Subroto, telah memberikan pengertian tentang ekonomi diSekolah Tentara dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Salah satuperwira senior yang menghadiri Seskoad selama delapan bulan adalahJendral Soeharto. Dari sekolah inilah Soeharto mempelajari pengetahuandasar tentang ekonomi. (Sadli, 1993:39). Ketika rezim Soekarno mulairuntuh, para pengamat ekonomi tersebut mulai mengkritik kebijakanekonomi Soekarno secara terbuka dan mempublikasikan pemikiranmereka dalam sebuah buku pada bulan November 1965. Menanggapikritik ini, pada tanggal 25-31 Agustus 1966, TNI-AD mengadakan semi-nar yang memberikan kesempatan kepada profesor-profesor ekonomitersebut untuk menjelaskan teori-teori ekonomi mereka, yang kemudianberubah menjadi cetak-biru ekonomi untuk Orde Baru. Dengandemikian, ‘pembangunan’ dan ‘stabilitas’ menjadi wacana yang dominandi kalangan publik.

17 Artikel-artikel Anwar di Kompas antara lain “Tanggung Djawab Kita Dalam Modernisasi”(4 –5 Juli), “Inteligensia & Modernisasi” (12 Agustus), “Modernisasi & Agama” (14 Septem-ber), “Modernisasi & Nilai” (30 November), “Modernisasi & Pendidikan” (8 Desember).

Page 36: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

36 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Mulai dari bulan September 1966, Soeharto (yang sekarang menjabatsebagai Jendral), dalam kewenangannya sebagai ketua presidium untuksegala kepentingan praktis pemerintah menunjuk ‘Tim Ahli dalam BidangEkonomi dan Keuangan’. Tim tersebut beranggotakan lima pakarekonomi dari UI yang disebutkan diatas dan dikoordinasikan oleh (alm)Mayor Jendral Sudjono Humardani.18 Tim ini memiliki peran yangmenentukan dalam merumuskan ortodoks ekonomi Orde Baru denganditandai oleh munculnya para teknokrat ekonomi. Sebagian besar darimereka adalah pakar ekonomi PSI dari UI yang kemudian disebut ‘Ma-fia Berkely’, karena sebagian dari mereka, termasuk pemimpinnya ProfesorWidjojo Nitisastro, mendapatkan gelar S2-nya di University of Califor-nia di Berkeley. Para pendukung mafia ini adalah rekanan Kristen,termasuk Frans Seda, Radius Prawiro dan J.B. Sumarlin.

Keunggulan para teknokrat ekonomi ini adalah mereka tidak bisadiasingkan dari lingkungan yang kondusif. Kebijakan ekonomi yangmereka rumuskan dapat diimplementasikan atas dukungan dan keyakinanSoeharto, terjaminnya stabilitas politik, dan dukungan yang kuat dariorganisasi multinasional, termasuk Inter-Governmental Group on Indo-nesia (IGGI – sebuah konsorsium pendanaan internasional yang diketuaioleh Belanda yang berdiri pada tahun 1967), Dana Moneter Internasional(IMF) dan Bank Dunia, ditambah dengan keuntungan-keuntungan yangdidapat dari penjualan minyak dunia tahun 1973 – 81.

Dengan adanya gabungan pengelolaan ekonomi yang efektif,lingkungan yang mendukung serta stabilitas politik, pembangunanekonomi Indonesia menjadi sebuah cerita yang sukses. Pada akhir tahun1960an telah tercapai stabilitas harga dan perekonomian Indonesia mulaimerasakan pertumbuhan yang sangat cepat dan bertahan selama tigadekade. Antara 1965 – 1996 Pendapatan Nasional Kotor (GNP) Indo-nesia bertambah secara teratur dengan rata-rata bertumbuhan per tahun6,7%.19 Pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada masa

18 Tugas pertama tim ini adalah untuk menciptakan Program untuk Stabilisasi danRehabilitasi, yang ditetapkan dalam peraturan MPRS No. 23. Berdasarkan peraturan ini,panduan untuk perbaikan ekonomi Indonesia dimulai pada tanggal 3 Oktober, ‘terutama padakebijakan mengenai keseimbangan budget, balance of payments, rehabilitasi infrastrukturfisik, produksi pangan dan perkembangan pertanian’ (Thee 2002:196).

19 Pada awal 1990an, GDP riil telah bertambah melebihi 450 persen, dan GNP per kapitahampir mencapai $1,000. Produksi beras bertambah hampir dua kali lipat, dan produksisebagian besar bahan pangan juga mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan industri yang pesatmerubah Indonesia dari negara yang secara ekonomi sangat tergantung pada pertanian padapertengahan 1960an menjadi negara dimana sektor industri memberikan pemasukan lebihbanyak terhadap GDP dibandingan dengan pertanian pada pertengahan 1990an.

Page 37: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

37Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

ini merubah Indonesia dari negara yang disebut ‘keranjang’ ekonomiyang lebih miskin dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, menjadisalah satu negara Ekonomi Industri Baru (Newly Industrilising Economy– NIE). Pada tahun 1993 dalam laporannya mengenai ‘East AsianMiracle’, Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai salah satu negaraAsia dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. (Hill & Mackie 1994:xix; Thee 2002:196-8).

Seiring dengan perkembangan ekonomi, struktur sosial di Indone-sia mengalami perubahan yang dramatis. Keberhasilan program KeluargaBerencana telah berhasil menurunkan pertumbuhan populasi dari rata-rata 2,4% antara tahun 1965-1980 menjadi 1,8% pada tahun 1980 –1996 (Bank Dunia 1998: 43). Tingkat kemiskinan berkurang dari 70%pada tahun 1960-an menjadi 27% pada pertengahan tahun 1990an.Perbandingan penduduk yang tinggal di daerah perkotaan bertambahdari 17% pada tahun 1971 menjadi 31% pada tahun 1990. Pembagianlapangan kerja antara tingkat profesional, managerial, dankeadministrasian bertambah dari 5,7% pada tahun 1971 menjadi 8,8%pada tahun 1990 (Hull & Jones 1994: 123-78). Pada awal tahun 1980anpertumbuhan ekonomi yang telah tercapai juga memberikan kesempatanuntuk bertambahnya kapital di bidang swasta. Banyak bermunculanperusahaan swasta besar, yang sebagian besar adalah milik warga Indo-nesia keturunan Cina dan juga orang pribumi yang kaya raya, yangmemiliki hubungan politik tingkat tinggi (Hill & Mackie 1994: xxv).Seluruh keberhasilan sosial dan ekonomi ini tidak terlepas daripengorbanan. Salah satu pengorbanan yang paling besar adalahkebebasan politik. Dengan ekonomi sebagai panglima, peran politikdipersempit hanya untuk menjaga stabilitas nasional.

Untuk memperkuat landasan sosial politiknya di awal masa OrdeBaru, Soeharto merekrut cendekiawan sipil yang memiliki popularitastinggi. Dua figur yang sangat penting adalah Sri SultanHamengkubuwono IX (Sultan Yogyakarta yang mempunyai pengaruhbesar di Jawa Tengah), dan Adam Malik (tokoh pemuda pemuda padamasa revolusi yang memiliki reputasi yang baik dalam diplomasi danhubungan internasional). Hamengkubuwono IX menjadi MenteriKoordinasi Ekonomi dan Industri (1966-1973) dan selanjutnya menjadiWakil Presiden pertama untuk Soeharto (1973-1978). Adam Malikmenjadi Menteri Politik dan Luar Negeri (1966-1978) dan kemudianmenggantikan Hamengkubuwono sebagai Wakil Presiden (1978-1983).

Page 38: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

38 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Untuk menjamin stabilitas nasional untuk kepentingan modernisasiekonomi, militer berperan sebagai perantara kekuatan politik Orde Baru20

yang didukung oleh teknokrat-teknokrat sipil. Di pusat pemerintahan,Presiden Soeharto mengambil alih sumber-sumber utama politik danekonomi. Guna menjamin kesetiaan tokoh-tokoh utama dalam elitpolitik, Soeharto memilih beberapa kelompok perwira TNI-AD yangsepaham dengannya, dan telah bekerja bersamanya di penempatan-penempatan sebelumnya, untuk memainkan peranan penting dalamkeputusan-keputusan kebijaksanaan.21 Walaupun lingkungan ini terdiridari hubungan-hubungan tertentu, dan juga kepentingan-kepentinganserta persaingan-persaingan,22 namun anggota dari lingkungan ini bersatudibawah Presiden.

20 Di dalam kabinet interim Soeharto, yaitu Kabinet Ampera yang Disempurnakan (11Oktober 1967 – 6 Juni 1968), militer menempati 8 dari 23 posisi menteri, yang merupakanperbandingan yang besar dibandingkan dengan perwakilan dari kelompok politik lainnya.Pengaruh menteri sipil juga dibatasi dengan diangkatnya perwira militer pada jabatan-jabatantinggi di tingkat sipil. Seperti dikemukakan oleh Harold Crouch (1978: 242); Dari dua puluhdepartemen yang menyangkut masalah sipil pada tahun 1966, perwira TNI-AD menjabatsebagai sekretaris jendral dalam sepuluh departemen, sementara satu anggota TNI-AL di salahsatu departemen. ‘Dari ke 64 direktur dan jendral yang ditunjuk pada saat yang bersamaan, 15merupakan perwira militer dan delapan lainnya dari ketiga divisi lainnya.’ Dominasi perwiramiliter di dalam pemerintahan pusat diikuti di tingkat administrasi lokal. Pada awal tahun1966, 12 dari 24 gubernur propinsi merupakan perwira militer. Setelah pemilu tahun 1971,perwira militer menempati 22 dari 24 kantor gubernur (Crouch 1978: 244). Di dalamKabinet Pembangunan IV (1983-88) Soeharto, dari 37 kementrian, 14 memiliki latar belakangmiliter. Pada saat yang bersamaan, separuh dari jabatan di tingkat sub-kabinet, seperti sekretarisjendral, direktur jendral, dan inspektur jendral dijabat oleh perwira tingkat kedua, dan tigaperempat dari 27 kantor gubernur dan sebagian kecil kepala kabupaten dijabat oleh militer(Liddle 1996b: 19).

21 Pada awalnya, Letjen. Panggabean (b. 1922, seorang Protestan), dan Mayjen BasukiRachmat (Jawa-abangan) memainkan pengaruh yang besar dalam keputusan-keputusan politik.Selain itu, Mayjen Ibnu Sutowo, Brigjen Suhardiaman (keduanya Jawa-abangan), dan BrigjenAchmad Tirtosudiro (mantan ketua HMI), mendukung Soeharto untuk mengambil alih minyakdan ekspor komoditas utama Indoonesia, perusahaan perdagangan raksasa PT. Berdikari, danBadan Urusan Logistik (Bulog) yang baru saja diresmikan.

22 Adanya kelompok ini tidak hanya menimbulkan kecemburuan di kalangan di luarkelompok tersebut, tetapi juga menimbulkan konflik internal. Pada tahap awal munculketegangan antara Alamsjah dan Ali Murtopo serta Sudjono Humardhani. Murtopo (Jawa-Katolik) dan Humardhani (Jawa-abangan) memilih untuk bergabung dengan kelompok Kristendan cendekiawan sekuler, sementara Alamsjah (keturunan keluarga santri) berusaha membelakepentingan-kepentingan Islam, walaupun dia sendiri adalah anti-Islamisme. Soeharto berusahauntuk menjaga keseimbangan kekuatan diantara pengikutnya. Dengan dipilihnya Murtopodan Humardhani sebagai tokoh utama ASPRI, maka Alamsjah diberi tugas baru sebagai ketuaSekretaris Negara. Pada akhirnya, axis Murtopo-Humardhani memenangkan persaingankarena Alamsjah diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Belanda. Keunggulan Murtopodiperolehnya dari kemampuannya menangani kantor-kantor intelijen, sementara keunggulanHumardhani diperolehnya dari pengaruhnya pada sumber-sumber finansial, termasuk tugasnyauntuk menemukan dan mengembangkan sumber-sumber pendapatan untuk rezim baru.

Page 39: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

39Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

Salah satu komponen penting dari struktur patrinalisasi Soehartoadalah pembentukan kelompok staf pribadi (Spri) yang dipimpin olehMayjen Alamsjah Prawiranegara.23 Guna menanggapi kritik publik yangsemakin berkembang, maka Spri dibubarkan pada tahun 1968. Sebagaigantinya, Soeharto kembali membentuk ‘dapur kabinet’ yang lebih kecilyang disebut ASPRI, Asisten Pribadi, yang mengangkat Ali Murtopodan Sudjono Humardhani sebagai tokoh-tokoh utama (Crouch 1978:243-4; Mas’oed 1983: 31). Kelompok inteligensia ASPRI di dalamkelompok Murtopo membentuk aliansi antara perwira di Operasi Khusus(Opsus) yang dipimpin oleh Murtopo sendiri,24 dengan BadanKoordinasi Intelijen Nasional (Bakin)25 dan Komando OperasiKeamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).26 Kelompok yang terakhirmerupakan institusi keamanan paling opresif pada rezim ini, karena seringmencampuri kegiatan-kegiatan setiap organisasi dan menahan orang ataskeinginannya dengan tuduhan subversi. Poros ASPRI dan eselon atasOpsus, Bakin dan Kopkamtib memiliki struktur patron vertikal yang

23 Anggota kelompok ini terdiri dari tokoh dari bidang tertentu seperti, keuangan, politik,intelligentsia, kesejahteraan sosial, dan masalah-masalah non-militer. Pada waktupembentukannya pada bulan Agustus 1966, Spri terdiri dari 6 anggota perwira TNI yangdidukung oleh dua kelompok pakar sipil. Kedua kelompok ini bertanggung jawab untukmemberikan saran di bidang kebijakan ekonomi dan politik. Tim ekonomi terdiri dari limaanggota ‘Mafia Berkeley’ (Widjojo Nitisastro, Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Subroto)ditambah anggota PSI sekaligus pelaku ekonomi Sumitro Djojohadikusumo. Tim politikterdiri dari Sarbini Sumawinata (tokoh PSI), Fuad Hassan (simpatisan PSI), Deliar Noer(mantan ketua MI), dan beberapa anggota lainnya. Pada tahun 1968 anggota Spri menjadi 12orang dan digambarkan sebagai kabinet dapur rahasia. Keduabelas anggota tersebut adalahAlamsjah Prawiranegara (kordinator), Sudjono Humardhani (ekonomi), Ali Murtopo(intelligensia luar negeri), Yoga Sugama (intelligensia dalam negeri), Surjo (keuangan), AbdulKadir (kesejahteraan sosial), Slamet Danudirdjo (pembangunan ekonomi), Nawawi Alif (me-dia massa), Sudharmono (umum), Sunarso (politik), Isman (gerakan massa), Jusuf Singadikane(proyek nasional).

24 Dari tahun 1968 Murtopo mengembangkan aparat Opsus (Operasi Khusus) yang telahada, dengan memperlihatkan kemampuannya dalam merekrut jaringan intelligensia sipil in-formal.

25 Berdiri pada tahun 1967, pemimpin pertama Bakin adalah Jendral Sudirgo, dengan AliMurtopo sebagai wakil ketua. Pada tahun 1968 Sudirgo digantikan oleh Mayjen YogaSugama yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok Murtopo.

26 Pada awalnya dipimpin oleh Soeharto dari tahun 1965 dengan tujuan melacak pendukungPKI. Dalam operasinya, Kopkamtib dibantu oleh Bakin. Pada tahun 1969 kepemimpinanKopkamtib diberikan kepada wakil komandan TNI yang baru dilantik, Jendral Panggabean(Batak-Kristen). Dibawah kepemimpinannya, Kopkamtib menjadi kendali politik utamarezim tersebut yang melibatkan komandan TNI dari berbagai tingkatan militer untuk mengambiltindakan terhadap ancaman keamanan. Pada tahun 1973, Kopkamtib dipimpin oleh KomandanTNI Jendral Sumitro (abangan), tapi dibubarkan dengan adanya Malari pada tahun 1974.Kemudian Soeharto memimpin sendiri Kopkamtib, bersama dengan Laksamana Sudomo(Jawa-Protestan) sebagai kepala staf. Dibawah kepemimpinan Sugama, Kopkamtib menjadiinstitusi oppresif yang paling ditakuti pada rezim tersebut karena seringnya mencampurikegiatan-kegiatan organisasi lain dan menahan banyak orang atas tuduhan subversi.

Page 40: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

40 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

memainkan peran penting dalam membentuk arsitek politik Orde Baru.Kebijakan-kebijakan pada masa Orde Baru bersifat tekno-birokratik,

dibandingkan dengan proses tawar menawar antar partai-partai politikdan kelompok-kelompok kepentingan yang membutuhkan waktu yanglama. Hal ini dimungkinkan oleh adanya pembebanan pemerintah padamekanisme dan infrastruktur politik. Sebelum pemilihan umum padabulan Juli 1971, peraturan-peraturan dan infrastruktur politik untukmengamankan rezim tersebut telah dipersiapkan. Pada tanggal 22Nopember 1969, DPR-GR menyetujui undang-undang tentang pemilihanumum, komposisi DPR, legalisasi hak-hak Presiden Soeharto tentangpemilihan legislatif dan alokasi 100 dari 450 tempat di DPR untukanggota TNI.

Pemerintah juga berusaha untuk membekukan terciptanya partai-partai politik melalui kebijakan-kebijakan yang mampu mengintervensiagar dapat mengasingkan pemimpin-pemimpin berpengaruh danmengamankan posisi kepemimpinan dalam partai-partai.27 Selain itu,sebelum pemilihan umum pemerintah juga mempersiapkan ‘kendaraanemas’ sebagai kendaraan politik mencapai kemenangan pada pemilu yangdiberi nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber-Golkar) dankemudian diganti menjadi hanya Golongan Karya (Golkar) pada tanggal17 Agustus 1971.28

Murtopo ‘membajak’ Sekber-Golkar yang lama dan memberinyamisi baru. Dia kemudian merekrut sebuah komite bernama Bapilu-BadanPemilihan Umum-yang terdiri dari cendekiawan dari kalangan Katolik,Jawa-abangan, dan jaringan sosialis sekuler, yang dapat menjadi embrioorgan intelektual Golkar.29 Komite tersebut menemukan beberapa strategi

27 Pemerintah berusaha untuk membuat perubahan dalam kepemimpinan PNI denganmemilih Hadisubeno, teman lama Soeharto ketika ditempatkan di Diponegoro, untuk menjadiketua partai tersebut. Sementara itu pemerintah menolak permintaan warga Muslim untukmembuat perubahan pada partai Masjumi, walaupun pemerintah juga mempromosikanpendirian partai Islam baru, Parmusi.

28 Rencana Soeharto untuk Golkar adalah untuk mencarikan tempat khusus dalam politikIndonesia untuk kelompok fungsional dengan kemampuan untuk menstabilisasikan sistempolitik melawan dominasi partai. Keberadaan Sekber Golkar sejak tahun 1964, yang telahmemiliki 92 wakil dalam DPR-GR, mengilhami Soeharto untuk merubah badan kerjasamamiliter-sipil ini menjadi sebuah struktur partai negara tantap politisi-politisi partai. Mandatuntuk merealisasikan ambisi ini dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, dipercayakankepada asisten-asistennya Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani.

29 Menurut Kenneth Ward (1974: 35-6), ada tiga kelompok cendekiawan disekitar AliMurtopo yang memainkan peran penting dalam mendirikan Golkar. Yang pertama adalahkelompok Katolik (Tanah Abang) yang terdiri dari Lim Bian Kie (Jusuf Wanandi), Lim BianKoen (Sofjan Wanandi), Harry Tjan Silalahi dan Moerdopo. Yang kedua adalah kelompokabangan (Gadjah Mada) yang terdiri dari Sumiskun, Sulistyo, Sugiharto, Soekarno, dan

Page 41: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

41Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

untuk meruntuhkan dukungan elektoral partai-partai dan mendukungGolkar.30 Dengan cara-cara ini dan dengan cara penghitungan suarayang tidak jujur,31 Golkar memenangkan pemilu tahun 197132 danmenjadi satu-satunya mayoritas berkuasa selama tiga dekade.

Untuk mengalihkan perhatian masyarakat dan partai-partai darikeinginan ideo-politik dalam proyek modernisasi Orde Baru,keikutsertaan dalam politik dibatasi dan masyarakat, termasuk yangterpelajar, juga di depolitisasikan. Pada bulan Januari 1973, kesembilanpartai ditekan untuk bergabung menjadi dua partai yang programatis.33

Suroso. Yang ketiga adalah kelompok sosialis (Bandung), yang terdiri dari Rachman Tollengdan Midian Sirait. Semua kelompok ini memiliki dasar yang sama mengenai antipati terhadappartai-partai politik besar dan kebangkitan Islam dan preferensi mereka atas peran utamamiliter dalam proyek modernisasi.

30 R.E. Elson (2001: 187) mencatat strategi-strategi Bapilu sebagai berikut: ‘Pertama,upaya akan diutamakan untuk membentuk ideologi berdasarkan pada tema-tema non-ideologis:pembangunan, stabilitas, ketertiban, persatuan….Kedua, Golkar akan menggunakan aksesnyake pemerintahan untuk mendapatkan posisi dengan menciptakan aparat yang dapat menyalurkanpatronalisasi….Ketiga, menggunakan akses terhadap kekuatan politik untuk memanfaatkannyademi kepentingannya.’

31 Sponsor pemerintah dan militer Golkar memudahkan cara untuk memobilisasi sumber-sumber politik. Menteri Dalam Negeri, Letjen Amir Machmud (tangan kanan Soehartodibalik Supersemar), menentukan bahwa departemennya, walaupun dengan adanyaKokarmendagri, akan menjadi tulang punggung Golkar. Dia memperkenalkan regulasi padatahun 1969 dan tahun 1970 yang mencegah wakil-wakil Golkar di perwakilan daerah dariafiliasi partai lain, dan tidak mengizinkan anggota militer dan pegawai sipil DepartemenPertahanan, baik hakim dan jaksa dari keanggotaan partai. Dalam menghadapi pemilu,pegawai negeri ditekan untuk menandatangani pernyataan ‘loyalitas tunggal’ kepada pemerintah,yang menunjukkan dukungan untuk Golkar. Pada saat yang sama, para menteri dan ketuaKomisi Logistik Pemilihan Umum, Ali Murtopo, menaruh beban berat kepada pejabatpemerintahan daerah untuk mengamankan “quota” pemilih untuk dimobilisasikan kepadaGolkar di wilayahnya masing-masing. Identifikasi Golkar baik di kalangan militer danpemerintah juga memfasilitasi sumbangan dana pemilu. Dengan berlimpahnya sumbangandana untuk pemilu, maka Golkar banyak membiayai perjalanan keluar negeri dan jugamembiayai pesantren sebagai usaha untuk mendapatkan pengaruh para kyai. Pengaturansecara institusional untuk memobilisasi para kyai dilakukan pada bulan Januari 1971 melaluipembangunan kembali Gerakan Untuk Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) dibawahpimpinan Sudjono Humardhani. Tekanan militer terhadap para pemilih juga terlihat, terutamadi pedesaan dan juga dalam menekan mantan anggota PKI untuk memilih Golkar.

32 Pada pemilu tahun 1971, Golkar mendapatkan 62,80 persen suara dan 236 kursi, jauhdiatas jumlah suara dan kursi yang terkumpul dari sembilan partai lainnya (PNI, NU, Parmusi,PSII, Parkindo, Partai Katholik, Perti, Murba dan IPKI). PNI dan Parmusi (yang mewarisiMasjumi), dua partai yang unggul dengan pendapatan suara 22,3 dan 20,9 persen pada pemilutahun 1955, mengalami penurunan drastis dengan hanya mendapat 6,9 dan 5,4 persen suara.Satu-satunya partai yang mampu bertahan menghadapi Golkar adalah NU. Jumlah suaranyabertambah dari 18,4 persen pada pemilu tahun 1955 menjadi 18,7 persen pada pemilu tahun1971.

33 Keempat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) bergabung menjadi Partai PersatuanPembangunan (PP), yang mewakili dimensi spiritual dari pembangunan. Kelima partai non-Islam (PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katholik) bersatu menjadi Partai DemokrasiIndonesia (PDI), yang mewakili dimensi nasional dari pembangunan. Dalam tahap awal,

Page 42: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

42 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Penggabungan partai-partai tersebut mengurangi arena untuk konfliktetapi menambah ketegangan dan konflik internal antar partai. Elemen-elemen di dalam partai saling bersaing untuk mempromosikankandidatnya masing-masing untuk dapat terpilih menjadi wakil partaidi dalam parlemen. Pada akhirnya kedua partai gabungan tersebutmenjadi lemah karena bertumbuhnya divisi-divisi intra-partai. Setelahpemilu tahun 1971, pemerintah memperkenalkan konsep ‘masamengambang’ yang melarang masyarakat di tingkat akar untukberpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan partai. Dengan menggunakanOpsus, Kopkamtib, Bakin dan komando struktural TNI untuk meng-intervensi dalam masalah-masalah politik sipil, konsep inidiaktualisasikan sebagai upaya melarang kegiatan-kegiatan di desa-desadan untuk memobilisasi warga desa untuk memilih Golkar.

Depolitisasi dunia akademis menjadi semakin terlihat pada akhir1970-an. Setelah serangkaian demonstrasi oleh mahasiswa pada tahun1974-1978 yang memprotes melawan penetrasi insvestor asing,keterlibatan warga Indonesia keturunan Tionghoa sebagai pemodaldan anggota pemerintah serta keterlibatan keluarga Soeharto dalamkegiatan-kegiatan bisnis, maka pada bulan Januari 1978 Kopkamtibmencekal semua dewan mahasiswa. Setelah itu, semua kegiatan politikmahasiswa dianggap sebagai ‘abnormal’. Untuk menormalisasikankehidupan akademik, tangan kanan Ali Murtopo di Center for Strate-gic International Studies (CSIS, berdiri tahun 1971),34 Daud Jusuf,

Partai Kristen (Parkindo dan Partai Katholik) sebenarnya termasuk dalam kelompok spiri-tual. Akan tetapi mereka menolak untuk masuk ke dalam kelompok tersebut dan memilihbergabung dengan kelompok ‘nasional’. Selain kedua kelompok tersebut terdapat Golkar,yang tidak pernah meng-klaim sebagai partai politik, tetapi merupakan wakil dimensi ‘fungsional’dalam pembangunan.

34 CSIS didirikan oleh cendekiawan-cendekiawan Cina-Katolik bekerja sama dengankalangan Katolik dan cendekiawan sekuler dibawah Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani.Sebagian besar dari cendekiawan-cendekiawan Cina-Katolik ini, termasuk kedua bersaudaraLim Bian Kie (Jusuf Wanandi) dan Lim Bian Koen (Sofjan Wanandi), adalah mantan aktivisPMKRI yang menurut Elson menunjukan ‘anti-komunisme dan oposisi keras terhadap ancamanmunculnya politik Islam dengan disiplin keras dan ide-ide korporatis yang telah ditanamkanoleh mentor mereka, pendeta Fr Jopie Beek’ (Elson, 2001: 146). Menurut AbdurrahmanWahid (1992), para pemimpin komunitas Katolik pada awal era Orde Baru sebenarnyaterbagi dalam menghadapi hubungan Katolik dengan negara dan komunitas Islam: beberapamendukung teori minus malum, dan yang lainnya mendukung mayos bonnum. Menurutpendukung minus malum yang pertama yang didukung oleh kelompok Ali Murtopo, dari duahal yang haram, yang lebih sedikit adalah yang lebih baik. Dengan demikian, dalam menghadapidilema untuk memilih ‘hijaunya’ militer atau ‘hijaunya’ Islam (‘hijau’ diidentifikasikan sebagaiwarna kedua kelompok tersebut), lebih baik memilih militer atas dasar lebih mudah untukdigunakan sebagai perangkat untuk memarginalisasi politik Islam. Menurut pendukung mayosbonum, komunitas Katolik seharusnya tidak mengadu militer dengan Islam, karena dampaknya

Page 43: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

43Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

terpilih sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru (1978-1983). Dibawah kebijakan represifnya, fora akademik dan organisasimanusia di depolitisasikan melalui sebuah kebijakan yang disebut‘normalisasi kehidupan kampus’. Maka, dengan bertambahnya jumlahmahasiswa, generasi kelima Indonesia (yang sebagian besar lahir padatahun 1950an/1960an) secara politik sangat lemah. Untuk generasiini fora akademik, organisasi mahasiswa, publikasi, diskusi kelompokdan kelompok-kelompok agama dikendalikan oleh aparat keamanan.

Sebuah usaha sistematik untuk mempertahankan hegemonipemerintah atas masyarakat dicanangkan melalui pembebanan ideologibangsa. Ideologi ‘abstrak’ Orde Baru adalah versi monolitik Pancasilasebagai satu-satunya ideologi politik yang sah, dan sementara ideologiyang kongkrit yang mendampingi kegiatan sosial sehari-hari danmembuat kebijakan adalah developmentalisme. Ideologi ini adalahideologi teknokratik yang mengidealkan nilai-nilai efisiensi, efektifitas,keselarasan, konsessus dan stabilitas sebagai prasyarat perkembanganekonomi. Mulai dari tahun 1978 rezim Orde Baru mulai melakukankampanye indoktrinasi massa dan interpretasi monolitik mengenaiPancasila melalui P4-Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.P4 tidak hanya diberikan di setiap tingkatan pendidikan danpemerintahan tapi juga ditekankan di banyak komunitas sosial. Selainitu, antara 1982/1983 rezim Orde Baru mengusulkan agar Pancasiladiproklamirkan sebagai azas tunggal partai politik dan semua organisasisosial politik.

Untuk menangkal oposisi, rezim Orde Baru melakukan kombinasikorporatisme -pemerintah35 dan cara-cara represif. Di sampingkorporatisasi partai-partai politik, pada akhir tahun 1971, pemerintahmulai menciptakan organisasi tunggal untuk melayani semua pegawaipemerintahan yang disebut Korpri (Korps Pegawai Negri). Pada bulan

akan merugikan kepentingan Katolik. Strategi alternatifnya adalah: siapa/apa saja yangmendatangkan keuntungan untuk kepentingan Katolik dianggap sebagai teman. Orang-orangyang mendukung strategi ini antara lain Chris Siner Key Timu, Eko TJokrodjojo, JacobOetama, Mangunwidjaja, John Titely, Einar Sitompul, Nababan, dan Frans Magnis Suseno.Akan tetapi strategi ini dibayangi oleh pengaruh hegemoni kelompok yang pertama. Sebagaiperbandingan, lihat Dhakidae (2003:615-6).

35 Istilah korporatisme dijelaskan oleh Philippe C Schmitter sebagai (1974: 93-4): ‘Sebuahsistem representasi kepentingan dimana unit-unit konstituen terbagi menjadi kategori-kategoritunggal, wajib, tidak bersaing, dan atas susunan hirarki dan fungsi yang berbeda, yang diberiizin oleh pemerintah dan juga diperbolehkan perwakilan monopoli dalam kategori-kategorinyamasing-masing sebagai ganti atas pengawasan terhadap pimpinan dan artikulasi tuntutan dandukungan.

Page 44: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

44 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Februari 1973 dibentuk FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) dibawah instruksi Menteri Tenaga Kerja sebagai organisasi serikat kerjatunggal untuk memenuhi kebutuhan semua buruh. Perkumpulan-perkumpulan yang sama mulai muncul di beberapa sektor sosial.36 Selainkorporatisme pemerintah, cara-cara represif juga diterapkan untukmenghambat kritik dan gerakan-gerakan resistansi. Hal ini dapat terlihatdalam pelanggaran kebebasan pers dan akademik, serta kebebasan untukberbicara, berkumpul dan melakukan demonstrasi. Selama masa OrdeBaru, ribuan orang ditahan, dan ratusan lainnya dijebloskan kedalampenjara baik yang disidang maupun yang tidak disidangkan. Lebih dari28 surat kabar dan majalah juga dicekal.37

Kemudian, rezim sengaja mengangkat politik bahasa guna menjagapenyesuaian ideologi, seperti yang dijelaskan oleh Evert Vedung:‘Manipulasi bahasa tejadi dalam konteks politik di semua negara, akantetapi diktator cenderung lebih sistematis dalam pelaksanaannya.’38

Wacana umum Indonesia diwarnai oleh bahasa ideologi. Bahasa-bahasayang ‘dihaluskan’ banyak digunakan sebagai mekansime pembelaanuntuk menyembunyikan tanggung jawab pemerintah atas kegagalannyadan tekanannya, sementara dysphemism digunakan sebagai mekanisme

36 Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia(HNSI) masing-masing didirikan pada bulan April 1973 dan Juli 1973. Pada bulan Juli 1975pemerintah memperkenalkan berdirinya badan perwakilan tunggal para ulama: MUI (MajelisUlama Indonesia). Di dalam fungsi yang berbeda juga ada Kadin (Kamar Dagang Indonesia)sebagai wakil badan usaha, PGRI (Persatuan Guru-Guru Republik Indonesia), KOWANI(Kongres Wanita Indonesia), KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) sebagai kelompokpemuda, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai wakil jurnalis, dsb.

37 Ada perbedaan yang mencolok antara dasar hukum untuk operasional pers dalamnegeri dan dalam pelaksanaannya. Walaupun Peraturan Pers Indonesia pada tahun 1966menyatakan bahwa ‘tidak akan ada sensor terhadap Pers Nasional’ (bab 2, pasal 4), dan‘kebebasan Pers dijamin sesuai dengan hak-hak dasar warganegara’ (pasal 5.1) dan ‘izinpublikasi tidak diperlukan’ (bab 4, pasal 8.2), namun pada kenyataannya dalam ‘masa transisi’(sampai pada akhir Orde Baru) ada dua izin yang harus dimiliki penerbit surat kabar: izinuntuk terbit dari Departemen Penerangan, dan izin untuk mencetak dari Kopkamtib/Laksus.Doktrin resmi menyatakan bahwa pers Indonesia harus ‘bebas tetapi bertanggung jawab’.Dibawah persepsi ‘tanggung jawab’ negara mendapat kesempatan untuk mengendalikan isidan bahasa media. Jurnalis dan kritikus bekerja dibawah ancaman sensor dan pencekalan,termasuk Mochtar Lubis dari Indonesia Raya. Sebagai akibat dari munculnya protes anti-pemerintahan oleh mahasiswa pada bulan Januari 1978, tujuh surat kabar Jakarta dan tujuhpublikasi mahasiswa dicekal. Pemerintah juga melakukan beberapa pencekalan dalam beberapadekade kedepan.

38 Dalam pidato Hari Kemerdekaan pada tahun 1973, Presiden Soeharto menyatakan:‘Bahasa yang baik dan benar mencerminkan cara pikir, tingkah laku dan perbuatan yang baikdan benar juga. Ketertiban ini merupakan kunci untuk kesuksesan pembangunan bangsa’(Dikutip dalam Hooker, 1995: 272). Yang dimaksud bahasa yang baik dan benar adalahbahasa yang menangguhkan maksud politik pemerintahan. Walaupun masyarakat menggunakanbahasa yang ‘benar’, tapi digunakan untuk mengkritik pemerintah, maka bahasa tersebutmerupakan bahasa yang ‘tidak benar’.

Page 45: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

45Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

ofensif untuk mengekang orang-orang yang tidak sepakat dengan caramendeskreditkan suara-suara kritis seperti terorisme ‘ekstrem kiri’ dan‘ekstrem kanan’.39

Setelah tidak adanya PKI, korban pertama rezim represif ini adalahpolitik Islam. ‘Ekstrem kanan’ menjadi kambing hitam untuk kekacauanpolitik di masa lampau. Untuk menandai tatanan politik yang baru,politik Islam termarginalisasi dari arena politik yang formal.

Rezim Orde Baru melanjutkan proyek ‘penyangkalan’ di dalamarena politik. Walaupun kelompok-kelompok Islam memberikandukungan kepada TNI dalam menjatuhkan Orde Lama, tindakan-tindakan Orde Baru selama dua dekade tidak mengizinkan keikutsertaanIslam pelaksanaan kekuatan pemerintah. Setelah mengkonsolidasikanpemerintah, rezim yang baru secara sistematik menetralisir Islam sebagailandasan untuk mobilisasi politik dan hukum dan menambah tingkatanbirokrasi pada Islam.40

Pergeseran dalam Kesempatan Struktur PolitikBertambahnya kepuasan Soeharto dengan hasil kerja ideologi dan

ekonominya selama tahun 1980 sejalan dengan berkurangnya pengaruhdari perantara-perantara politik lama dalam kebijakan Orde Baru.Menurut pengamatan Elson (2001: 244): ‘Sinar Ali Murtopo, setelahsekian lama bersuara, mulai meredup setelah serangan jantung padatahun 1978 (beliau meninggal pada tahun 1984), sementara itu pengaruhSudjono Humardani juga berkurang pada awal tahun 1980an denganbangkitnya birokrat-birokrat lain yang lebih profesional.’

Hal ini membawa jajaran politik baru dalam lingkungan strukturpatron Soeharto. Kepemimpinan Golkar pada masa Sudharmono (1983– 1988) mengambil alih pengaruh kelompok Murtopo yang mulaimenurun, karena Sudharmono lebih memilih mengakomodasikanaktifis-aktifis Islam.41 Dengan terpilihnya anak didik Murtopo, L.B.Murdani, sebagai panglima militer pada bulan Maret 1983 mampumenjaga lobby pengaruh non-Muslim. Pemberhentian Murdani sebagaiPanglima Angkatan Darat pada tahun 1988 menandai titik balik sikap

39 Untuk diskusi yang lebih lengkap tentang bahasa dan kekuatan dalam Orde Baru, lihatY. Latif dan I.S. Ibrahim (1996).

40 Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai usaha-usaha Orde Baru dalam penyakalanlandasan hukum Indonesia, lihat M. Cammack (1997).

41 Representasi dari kelompok Murtopo di Golkar, Jusuf Wanandi, dipindahkan dariposisi sebelumnya sebagai Sekretaris Perencanaan Organisasi dan Umum Golkar (1973-78),dan Wakil Bendahara (1978-83) menjadi kepala Departemen Luar Negeri di Golkar.

Page 46: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

46 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Soeharto dalam hubungan strategi dengan elit-elit militer. Presiden mulaimenerima pengangkatan perwira militer yang dekat dengan Islam yangbiasa disebut sebagai ‘tentara hijau’.

Awal yang baik dari organisasi-organisasi Islam terhadap sifatortodoks pemerintah mendorong rezim untuk mengakomodasi wakil-wakil Islam dalam kepemimpinan pemerintahan dan birokrasi OrderBaru. Antara tahun 1983-88, beberapa wakil-wakil dari cendekiawanMuslim mulai memainkan peranan penting dalam Dewan PimpinanPusat Golkar (DPP-Golkar). Kelompok cendekiawan Muslim ini antaralain adalah Akbar Tandjung (sebagai sekretaris jendral), K.H. Tarmudji,Ibrahim Hasan, Anang Adenansi, and Qudratullah (DPP-Golkar, 1994:165-68). Pada saat yang bersamaan, cendekiawan Muslim dalambirokrasi pemerintahan seperti Mar’ie Muhammad, Beddu Amang,Muslimin Nasution, Sajuti Hasibuan dan beberapa lainnya diangkat kejabatan dengan eselon yang lebih tinggi.

Pada saat ini, landasan sosial ekonomi cendekiawan Muslimberubah. Generasi keempat cendekiawan Muslim (yang terdiri dari or-ang-orang yang lahir tahun 1930an/1940an) mulai menantang dominasicendekiawan dalam sektor birokrasi ekonomi. Cendekiawan Muslimdalam birokrasi ini sering disebut sebagai neo-santri.

Kebijakan pemerintah tentang niat baik terhadap kepentingan Mus-lim sangat jelas dengan bertambahnya dukungan untuk kebudayaan Is-lam, yang ditandai dengan bertambahnya subsidi untuk mesjid-mesjiddan sekolah beragama.42 Selain subsidi dari pemerintah, PresidenSoeharto sendiri, dibawah Amal Bakti Muslim Pancasila, jugamensponsori pembangunan mesjid-mesjid dan kegiatan-kegiatandakwah. Pada tahun tahun 1970an dan 1980an Amal Bakti tersebuttelah mendirikan 400 mesjid dan menyediakan bantuan finansial kepada1000 da’i yang dikirim ke daerah terpencil dan zona-zona transmigrasi.43

Ketika pendekatan antara komunitas Muslim dan pemerintah mulaiberkembang, komposisi Kabinet Pembangunan V Soeharto (1988-1993)terdiri dari jumlah santri teknokrat yang sebelumnya belum pernah

42 Pada masa Kabinet Pembangunan III (1978-83), jumlah mesjid-mesjid yang disubsidiberjumlah 8.671, dan pada masa Kabinet Pembangunan IV (1983-88) bertambah menjadi12.390 (Departemen Penerangan 1983 & 1988). Pada masa Kabinet Pembangunan III,jumlah kelas (di sekolah beragama swasta) yang telah direnovasi dengan sponsor pemerintahadalah 26,280; pada masa Kabinet Pembangunan IV, jumlahnya bertambah menjadi 50.734(Departemen Penerangan 1983 & 1988).

43 Lihat Tempo (8 Desember 1990).

Page 47: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

47Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

tercapai.44 Dukungan pemerintah terhadap cendekiawan Muslim jugaditandai dengan penunjukan Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjiddan beberapa tokoh utama Muslim sebagai wakil Golkar di MPR.

Seiring dengan bertambahnya tokoh Muslim pada elitkepemimpinan, pemerintah kembali menunjukan niat baik terhadapkepentingan-kepentingan Muslim dalam bidang hukum dan kebudayaan.Sebuah Undang-Undang Pendidikan Nasional, yang mendukunginstruksi Islam di sekolah umum dan lebih menjamin keamanan sekolahagama swasta disahkan pada tahun 1989. Pada saat yang sama, ‘UndangUndang Peradilan Agama’ juga disahkan.45

Masa 1988-1993 merupakan tahapan lima tahun terakhir atasPembangunan Jangka Panjang (PJP I).46 Memasuki tahap kedua, wacanadan upacara resmi mulai mengangkat slogan ‘lepas-landas’, yangmerupakan tahapan berikutnya dalam pembangunan Indonesia yangmenakjubkan. Pada saat yang bersamaan, Indonesia mengalamiperubahan radikal dalam perekonomiannya. Sektor swasta dan industrimenjadi acuan ekonomi nasional. Pada tahun 1991, andil sektor industripada PDB mulai melewati bagian yang didapat dari pertanian, dan bank-bank swasta mulai memiliki jumlah deposit yang lebih besardibandingkan bank pemerintah (Thee 2002: 198-201)

Dengan kemajuan yang pesat di sektor industri, Presiden Soehartomenyadari bahwa perkembangan teknologi melalui perkembangankemampuan sumber daya manusia merupakan jalan terbaik agar Indo-nesia dapat ‘lepas landas’. Pada akhir November 1984, Soehartomengatakan: “Saya sangat menyadari betapa pentingnya untukmenguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk perkembangan negarakita di masa depan. Agar dapat lepas landas, di masa yang akan datangkita harus mencapai perkembangan yang lebih baik di bidang ilmupengetahuan dan teknologi” (Kompas, 29 Nopember 1984).47 Selain

44 Pada saat ini paling tidak ada 5 mantan aktivis HMI, Akbar Tandjung, Azwar Anas,Saadillah Mursjid, Nasrudin Sumintapura, dan Hasjrul Harahap, ditambah lagi santri teknokratyang memiliki hubungan kuat dengan organisasi-organisasi Islam besar seperti B.J. Habibie,Munawir Sjadzali, Bustanil Arifin, Saleh Afiff, dan Arifin M. Siregar.

45 Undang-undang ini memperkuat kedudukan legal dan institusional pengadilan Islamdengan menyediakan jaminan legal formal atas keamanan mereka dan menambah tingkatdukungan negara. Undang-undang ini juga memperkuat keberadaan pengadilan Islam denganpengadilan sipil dengan mengeliminasi sebuah peraturan dari abad ke 19 yang mengharuskankeputusan pengadilan Islam untuk diratifikasi oleh pengadilan sipil agar dapat ditetapkan.Untuk perspektif kritis atas Undang-undang ini, lihat Cammack (1997).

46 Lama masa Pembangunan Jangka Panjang adalah 25 tahun.47 Dikutip dari Elson (2001: 264)

Page 48: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

48 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

pertimbangan ekonomi, Soeharto juga sangat tertarik untuk menguasaiteknologi karena termotivasi untuk menunjukkan kesuksesannya dalammemimpin Indonesia kepada dunia. Dalam konteks ini, Soehartomempercayakan ambisinya kepada B.J. Habibie (ahli teknologi dari In-donesia dengan latar belakang sekolah di Jerman, Technische HochschuleAachen, dan juga Menteri Riset dan Teknologi [1978-1988].48

Dalam mendukung pembangunan teknologi, Habibiemengembangkan visi ekonomi baru yang secara radikal sangat berbedadengan yang telah ditetapkan oleh teknokrat-teknokrat ekonomi. Dalampandangannya, ketahanan pembangunan ekonomi Indonesia tidak dapatbertahan hanya dengan ‘keuntungan komparatif ’, berdasarkanberlebihnya sumber daya alam dan murahnya tenaga kerja. Akan tetapipembangunan ekonomi harus berdasarkan prinsip ‘keuntungankompetitif ’ yang berdasarkan nilai-nilai tambah dari teknologi danketersediaan tenaga kerja yang terampil dan teruji. Dalam konteks ini,ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) melalui pengembangan sumberdaya manusia (SDM) harus menjadi prioritas utama untukpembangunan Indonesia di masa depan. Dengan dukungan Soeharto,Habibie mengembangkan sebuah ‘kaisar’ industri-industri denganteknologi mutakhir mulai dari industri pesawat terbang, kapal laut, danbahkan senjata. Selain proyek-proyek ambisius ini, Iptek dan SDMmenjadi wacana dominan masyarakat umum pada akhir Order Baru.

Ketika rezim mulai lepas landas, prestasi pembangunan ekonomimulai menghasilkan dampak terbalik. Semakin bergantungnya Indone-sia kepada hutang asing dan komunitas global yang kapitalis membuatekonomi dan politik Indonesia semakin rentan terhadap pengaruh asingdan perubahan pada keadaan ekonomi internasional. Selain itu, ketikaharga minyak mulai turun setelah tahun 1982, pemerintah mulaimengembangkan ekonomi yang lebih efisien dan berorientasi kepadapasar. Hal ini diikuti dengan pergeseran dari state-dominated importsubstitution menjadi ekonomi yang berorientasi pada private-initiativeexport. Hal ini meniadakan kekuatan menawar pada sektor swasta. Sepetidikatakan oleh Hill dan Mackie (1994: xxv): ‘Hubungan internasional

48 Habibie sangat terkenal karena hubungan dekatnya dengan Soeharto. Hubungan Soehartodengan Habibie dikarenakan unsur pribadi, bukan saja mencerminkan peran Soeharto padamasa anak-anak di Makassar, tetapi juga karena sifat Habibie yang membuat dirinya disukaioleh Soeharto. Seperti dijelaskan Elson (2001:265): ‘Habibie, seperti halnya dengan Soeharto,adalah orang yang serba bisa. Soeharto mengaggumi keinginan Habibie untuk tidak melanjutkankarirnya di Jerman untuk mengabdi kepada negaranya. Mungkin karena Soeharto mengalahpada keinginan Habibie untuk mengakomodasi Soeharto.’

Page 49: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

49Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

konglomerat komersial swasta telah mengganggu balance of power antaraaparat negara dan pelaku-pelaku pihak swasta karena menguntungkanpihak-pihak swasta. Terlebih lagi, integrasi ekonomi nasional kepadakomunitas kapitalis global yang semakin dalam menjadi sebuahkatalisator untuk keterbukaan Indonesia terhadap nilai-nilai liberal dandemokratis Barat.

Pada awal tahun 1990-an , jumlah warga berpendidikan di perkotaandi kalangan menengah, yang berjumlah sekitar 15 juta jiwa, untukpertama kalinya dalam sejarah telah bersatu (Hill & Mackie 1994: xxv).Semakin bertambahnya jumlah masyarakat yang berpendidikanditambah dengan bertambahnya kalangan menengah di perkotaanmengakibatkan bertambahnya harapan dan kritik aspirasi. Ketika sirkulasielit di pusat struktur politik menjadi terhambat, kesempatan-kesempatanuntuk kelas menengah ini untuk memegang kekuatan politik menjadimendesak. Daftar panjang aspirasi kekuatan memberikan tekanan kepadaelit-elit politk dalam struktur politik, sehingga mengakibatkan perebutanpolitik internal antar kelompok dan golongan di dalam birokrasi danpemerintahan Order Baru.

Walaupun pertumbuhan ekonomi dapat terjaga dan jumlah rasiomurid ketiga sedikit, namun masalah ‘proletarianisasi cendekiawan’yang terjadi sebelumnya menjadi lebih parah. Penyebab utamanyaadalah ketidakcocokan antara persediaan (output institusi ketiga) danpermintaan (kesempatan kerja).49 Rasio murid ilmu sosial diantaramurid perguruan tinggi di dalam negeri sampai 1988-1990 adalah76,8%. Pada saat yang sama rasio lulusan ilmu sosial diantara jumlahyang tidak terserap oleh institusi ketiga lebih dari 60%.50 Kekhawatiranakan pengangguran lebih terasa bagi murid-murid dari universitasswasta yang tidak elit. Walaupun telah mengeluarkan biaya lebihdibandingkan murid-murid di universitas negeri, lulusan universitasswasta (non-elit) cenderung termarginalisasi dalam kesempatan kerja.Mereka lebih sadar akan politik, namun tidak didukung secara ekonomi.Cendekiawan proletarian ini merupakan bom waktu untuk kekacauanpolitik di masa depan.

49 Industri manufaktur ditandai oleh kehadiran dominan industri-industri bebas atau industridengan teknologi rendah. Industri semacam ini sangat bergantung pada tenaga buruh danmenyediakan kesempatan kerja yang terbatas untuk masyarakat dengan pendidikan yangtinggi. Pada saat yang sama, untuk lulusan ilmu sosial, penyerapan ke untuk kesempatan kerjamenjadi semakin sulit.

50 Untuk diskusi lebih lanjut masalah ini lihat Y. Latif (1994)

Page 50: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

50 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Sementara itu, ketika Orde Baru menjadi semakin hegemonik, represipolitik semakin dirasakan tidak hanya oleh kelompok Islam dankelompok kiri, tapi juga oleh bagian-bagian lain di negara. Sebagaiakibatnya, gerakan-gerakan anti-hegemoni mulai merebak di dalammasyarakat Indonesia. Selain kelompok Islam dan mahasiswa, gerakanoposisi juga ditunjukkan oleh LSM yang berorientasi kepada masyarakatmadani, dan aktifis kebudayaan dan kebudayaan serta jurnalisindependen. Oposisi juga datang dari kelompok-kelompok yang pernahmenjadi elit-elit politik yang telah dikeluarkan dari struktur politik for-mal.

Semua akibat dari pembangunan ini menjadi tekanan terhadappemerintah untuk memberikan konsesi lebih untuk permintaan danketerbukaan dalam masyarakat umum. Sejak akhir 1980-an, keterbukaanmenjadi wacana anti-hegemoni di tengah masyarakat umum. Padaperingatan Hari Kemerdekaan bulan Agustus 1990, Soehartomencetuskan ide kebebasan untuk berekspresi yang lebih luas, walaupundia melihatnya sebagai berkurangnya peran beliau dalam eksekutif.Walaupun demikian, retorika politik mematikan kritik danmembangkitkan reformasi substansi yang lebih (termasuk perombakanbesar pada dwi-fungsi TNI) dan juga menuntut agar Presiden turun darijabatannya pada akhir masa jabatannya (Elson 2001: 268).51

Keterbukaan memberikan dorongan untuk para cendekiawan danmedia massa untuk secara lebih terbuka lagi mengkritik pemerintah. Padaakhir 1980-an gerakan mahasiswa yang telah lama diredam mulaimuncul kembali meskipun terbatas. Tujuan utama mereka adalah padaisu-isu lokal dan sektoral seperti memprotes penyitaan lahan pertanianoleh pemerintah dan SDSB.

Walaupun banyak muncul gerakan-gerakan mahasiswa, rezimkeamanan yang represif masih utuh dan lengkap. Kebebasan jurnalismeuntuk mengkritik dan protes mahasiswa masih terbatas. Pada tanggal29 Juni 1987, surat kabar baru, Prioritas (berdiri tahun 1985) dicekalkarena beritanya yang ‘sinis, menyindir, dan tendendsius’. Pada bulanOktober 1990, pemerintah juga mencekal tabloid terkenal di Jakarta,Monitor, setelah mempublikasikan hasil polling pembaca tentang orangpaling populer yang menaruh Nabi Muhammad pada urutan kesebelas

51 Seperti yang dikatakan oleh Elson (2001: 268): ‘Tuntutan-tuntutan tersebut berasal daricendekiawan sipil senior seperti mantan menteri dan kerabat dekat Mashuri, tokoh GolkarMarzuki Darusman, serta purnawirawan militer seperti Sumitro, Sayidiman Suryohadiprojodan Nasution, dan petisi dari 50 kelompok dimana Nasution merupakan anggotanya.

Page 51: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

51Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

setelah Presiden Soeharto (pada urutan pertama), Presiden Iraq SaddamHussein, dan editor tabloid itu sendiri, Arswendo Atmowiloto. Represiterhadap pers ini memuncak pada tahun 1994, ketika tiga publikasiterkenal, Tempo, Editor dan Detik, dicekal setelah memberitakan rencanapemerintah untuk membeli kapal perang bekas milik Jerman denganjumlah uang yang eksesif. Sementara pada tanggal 5 Agustus 1989,enam aktivis mahasiswa dari ITB52 ditangkap dan dipenjara setelahmemprotes kunjungan Menteri Dalam Negeri saat itu, Jendral Rudini,ke kampus ITB. Setelah kejadian ini masih banyak lagi penahanan danpenculikan aktivis intelektual di tahun-tahun berikutnya.

Pada masa transisi antara represi dan keterbukaan ini, konflik-konflikfraksi diantara elit menjadi semakin menegangkan. Keadaan inilah padatahun 1990 yang memberikan kesempatan kepada ambisi komunitasMuslim untuk mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia(ICMI). ICMI berkembang menjadi satu-satunya organisasi Islam yangdiberikan status legal pada saat Orde Baru. Ditengah bangkitnya gerakan-gerakan oposisi, ICMI merupakan organisasi cendekiawan yang palingkontroversial dalam sejarah Indonesia. Organisasi ini menjadi debatpolitik dan perhatian media di ujung era Orde Baru. Kehadirannya ditengah masyarakat umum meningkatkan konflik internal diantara paraelit, yang memiliki kebaikan negatif untuk pemberdayaan tekanan-tekanan dari luar.

Dalam kenyataan, tidak ada hegemoni yang terlalu kuat yangmemanfaatkan seluruh sumber daya untuk resistansi. Di mana adakekuatan, ada resistansi. James C. Scott dalam Domination and theArts of Resistance: Hidden Transcripts (1990), menunjukan batas-batasoperasional dalam sebuah ideologi yang memimpin, dimana kelompok-kelompok dibawahnya dapat menembus ideologi yang bertahan. Menurutpandangan Scott, sebuah ideologi hegemoni cenderung menciptakankontradiksi yang dapat dikritik.

Krisis ekonomi yang muncul pada pertengahan 199753 menjadikatalisator untuk masyarakat untuk mempertanyakan legitimasi OrdeBaru dan mendambakan masa depan tanpa Soeharto. Sebelumnya

52 Keenam mahasiswa yang dipenjara adalah M. Fajrul Rahman, Moh. JumhurHidayat,Ammarsyah, Arnold Purba, Bambang L.S., dan Enin Supriyanto

53 Krisis ekonomi di Indonesia diperburuk dengan adanya krisis kepercayaan. DepresiasiThai bath pada bulan Juli 1997 juga mengakibatkan depresiasi mata uang di Filipina danMalaysia, investor dan penanam modal asing di Indonesia menjadi takut dan mengurangiekspos mereka di Indonesia. Efek bola salju ini kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomidi Indonesia yang sangat parah. (Thee 2002: 232).

Page 52: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

52 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Soeharto dapat melewati krisis dan menjadi semakin kuat. Akan tetapikrisis ekonomi kali ini sangat parah dan diperburuk dengan serangkaiankrisis non-ekonomi lainnya. Para elit juga menunjukkanketidakkompakan diantara mereka. Sementara itu, para oposisi mulaibergabung untuk tujuan yang sama, dan dukungan internasional,terutama dari institusi keuangan telah berkurang.54 Semua hal ini danfaktor-faktor lainnya muncul secara bersamaan dan menciptakan tekananyang besar sehingga Soeharto kehilangan dukungan. Akibatnya,Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998.

Rezim Soeharto telah berlalu, akan masih ada para pengikutnya.Hal terburuk tentang rezim korup ini bukanlah mengenai jumlah korbandan kerugian material, tapi menurut Abdul Karim Soroush (2000),praktik korupsi tersebut telah diwariskan kepada pemerintahan rezim-rezim berikutnya.

DAFTAR BACAANAnderson, B. R. O’G/ 1972, ‘The idea of power in Javanese Culture’ in

Culture and Politics in Indonesia, eds C. Holt et. al.,Cornell Uni-versity Press, Ithaca, pp. 1-70.

Crouch, H. 1979, ‘Partimonialism and military rule in Indonesia’, WorldPolitics, no. 31, pp. 571-8.

_________ 1988, The Army and Politics in Indonesia, Cornell Univer-sity Press, Ithaca.

DPP Golkar 1994, 30 Tahun Golkar, DPP Golkar, Jakarta.Elson, R. E. 2001, Soeharto: A Political Biography, Cambridge Univer-

sity Press, Cambridge.Feith, H. 1980, ‘Repressive-developmentalist regims in Asia: old strengths,

new vulnerabilities’, Prisma, no. 19, pp. 39-55.Hill, H & Mackie, J. 1994, ‘Introduction’ in Indonesia’s New Order: The

Dynamics Of Socio-Economic Transformation, ed H. Hill, Allen &Unwin, NSW, pp. xxii-xxxv.

Hull, T. H. & Jones, G. W. 1994, ‘Demographic perspectives’ in Indone-sia New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation,ed H. Hill, Allen & Unwin, NSW, 123-178.

54 Berkurangnya dukungan internasional terhadap Soeharto ditandai dengan penolakanIMF terhadap proposal currency board system (CBS) yang diajukan oleh Soeharto dan timekonominya. Untuk pembahasan lebih lanjut masalah ini, lihat Steve H. Hanke (Tempo, 11/05/2003).

Page 53: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

53Yudi Latif, Mengenang Rezim Pembangunan

Jackson, K. D. & L. W. Pye (eds.) 1978: Political Power and Communi-cation in Indonesia, University of California Press, Berkeley.

King, D. Y. 1977, ‘Authoritarian rule and state corporatism in Indone-sia’, paper Presented to the 1977 Annual Meeting, the AmericanPolitical Science Association, Washington D.C., September 1-4.

Mas’oed, M. 1983, The Indonesian Economy and Political Structureduring the Early New Order, 1966-1971, University Microfilms In-ternational, Ann Arbor, Michigan.

Sadli, M. 1993, ‘Recollections of my carreer’, Bulleting of IndonesianEconomic Studies, Vol. 29, no. 1, pp. 35-51.

Scott, J. C. 1990, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Tran-scripts, Yale University Press, New Haven.

Soroush, A. K. 2000, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Mizan,Bandung.

Thee, Kian Wie 2002, ‘The Soeharto era and after: stability, develop-ment and crisis, 1966-200’ in The Emergence of a National Economy:An Economic History of Indonesia, 1800-2000, eds H. Dict et.al.,Allen & Unwin, NSW, pp. 194-243.

Vedung, E. 1982, Political Reasoning, Sage Publications, California.

* * ** * ** * ** * ** * *

Page 54: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

54 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Kegagalan, baik pada strategi berdasarkan prinsip keuntungankomparatif maupun strategi pendalaman industri, dua konsep “polaindustrialisasi”, masing-masing berasal dari pemikiran Prof. WidjojoNitisastro dan Ir. Soehoed, yang telah dianut selama ini telah merangsangpencarian altenatif baru. Acuannya adalah masalah ketergantunganteknologi yang menjadi sumber kemacetan pembangunan dalam jangkapanjang. Dalam makalahnya yang berjudul “Pembangunan BerorientasiNilai Tambah” yang sebenamya telah dikemukakannya pada 1990,Habibie berujar:

Keberhasilan pembangunan negara-negara berkembang dalam tigadekade terakhir ternyata tidak menyurutkan ketergantungannya padanegara-negara maju. Lemahnya infrastruktur ilmu pengetahuan danteknologi serta rendahnya kapabilitas sumber daya manusia negara-negara tersebut dipandang sebagai penyebab utama rendahnya daya saingmereka di pasar global.1

Masalah ketergantungan teknologi yang menyebabkan negara-negara sedang berkembang makin tertinggal dalam perkembanganekonomi dan makin tergantung, sehingga makin merugikan negara-negara sedang berkembang dalam hubungannya dengan negara-negaramaju, mendorong Habibie untuk mencari alternatif ketiga.

Guna lebih memahami pemikiran alternatif yang ditawarkan olehHabibie barangkali ada manfaatnya kita menengok perkembangan

analisis

PEMIKIRAN HABIBIE TENTPEMIKIRAN HABIBIE TENTPEMIKIRAN HABIBIE TENTPEMIKIRAN HABIBIE TENTPEMIKIRAN HABIBIE TENTANANANANANGGGGGPEMBPEMBPEMBPEMBPEMBANANANANANGUNGUNGUNGUNGUNANANANANAN*)*)*)*)*)

M. Dawam Rahardjo.

*) Bagian dari orasi M. Dawam Rahardjo pada Ulang Tahun CIDES, 25 Januari 19971 A. Makmur Makka; Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan Bangsa: Menuju

Dimensi Baru Pembangunan Indonesia (Jakarta, CIDES, 1995), Klasifikasi gagasan dalamtulisan Ceramah B. J. Habibie (hal 41-84)

Page 55: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

55M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie

industri kita, khususnya dengan melihat kandungan teknologi. Masalahini telah diteliti oleh David Ray, yang pada 1995-an sedang menyusundisertasinya dan pernah pula menyajikan sebagian penemuannya dalamsuatu diskusi yang diselenggarakan oleh CIDES-BPPT pada 29 Septem-ber 1995.

Dalam penelitiannya itu Ray mengungkapkan bahwa industrialisasidi Indonesia lebih banyak didasarkan pada teknologi rendah dan padatkarya dalam sektor manufaktur seperti tekstil, pakaian jadi, sepatu, danproduk kayu. Sementara itu, katanya lagi:

Sejak dua dekade terakhir, banyak negara tetangga Indonesia yangsudah berkecimpung dalam industri yang lebih berorientasi padapengetahuan maju seperti komputer dan elektronik. Di pihak lain,pembangunan industri Indonesia telah (dan masih) didukung oleh modalfisik, bahan mentah dan melimpahnya tenaga kerja-tenaga kerja kurangterampil. Ini sesuai dengan teori ‘keunggulan komparatif ’ yangdikemukakan oleh ahli teori perdagangan Neo-Klasik.

Pandangan Ray yang ditulisnya di jurnal Prisma itu agaknya bisamewakili apa yang sedang dipikirkan Habibie.

Pembuktian tentang keterbelakangan teknologi Indonesia dilakukandengan mengukur secara komparatif dengan menggunakan “indekskomposisi teknologi” untuk barang-barang ekspor seperti yang telahdikembangkan oleh para peneliti di Centre for Economic Starategic Stud-ies (CESS), Universitas Melboume, Australia. Dengan membagi ekspornegara tertentu ke dalam 22 kategori industri utama menurut intensitaspengetahuan,maka ia dapat menarik nisbah litbang-produksi, yang diukurdengan menghitung rata-rata tingkat pengeluaran penelitian danpengembangan per unit produksi dalam kategori industri tersebut,berdasarkan kasus negara-negara industri maju kelompok OECD (Or-ganization of Economic Cooperation and Development). Hasilnya dapatdigambarkan pada tabel 1 dan 2.

Tinggi1. Pesawat terbang (20,2%)2. Komputer (12,4%)3. Elektronik (10,8%)

Tabel 1

Rendah4. Barang kayu dan mebel (0,1%)5. Kertas dan percetakan (0,2%)6. Tekstil dan pakaian jadi (0,2%)

Page 56: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

56 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Nisbah Litbang ProduksiOleh CESS angka ekspor itu kemudian ditimbang dengan nisbah

tersebut di atas, kemudian dijumlahkan dan disusun kembali. Hasilnyaadalah apa yang disebut “indeks komposisi teknologi”. Gambaran tentangnegara-negara pengekspor manufaktur berdasarkan intensitas Iptek, dimana dapat ditemukan posisi Indonesia disajikan dalam tabel 2

Dalam tabel 3, angka indeks yang melebihi satu menunjukkan bahwaekspor negara yang bersangkutan dipusatkan pada industri yang memilikiintensitas litbang yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Tabel 3menggambarkan pergeseran komposisi teknologi produksi barang-barangimpor dari kandungan rendah ke kandungan tinggi. Pada 1993 angkatertinggi menunjuk pada Singapura (1,72) dan Malaysia (1,72), Jepang(1,30), Taiwan (1,19) dan Korea (1,07). Yang menimbulkan tanda tanyaadalah Jepang, yang angka indeksnya lebih rendah dari Singapura danbahkan Malaysia. Namun, jika kita melihat angka indeks tanpa komputerdan elektronik, maka Jepang menunjukkan angka yang tertinggi (0,83),jauh lebih tinggi dari Singapura, apalagi Malaysia. Ini menunjukkanbahwa kedua negara tersebut mencapai kemajuan sangat besar di bidangkomputer dan elektronik.

Sementara itu, Indonesia sendiri sebenarnya juga mengalamiperkembangan, seperti ditunjukkan dalam pergeseran angka kandunganIptek dari 0,19 pada 1970 menjadi 0,34 atau hanya 0,24 tanpa komputerdan elektronik. Tetapi dibandingkan dengan negara-negara lain pada1993, Indonesia menduduki posisi terendah, bahkan jauh lebih rendahdari Filipina di Asean dan juga Cina (0,58). Kondisi ini, yang

Tabe1 2Neraca Perdagangan Khusus 1983 -1995 (dalam juta US$)

Sumber. Biro Pusat Statistik, setelah diolah kembali.

Tahun

X

1983

1988

1993

1994

1995

Barang

Masuk

3219,7

9.262,0

22.944,0

25.702,1

29.328,2

%

-

37,5

29,5

12,0

14,1

Bahan Baku

Penolong

14.625,6

12.779,1

27.181,7

20.553,3

28.278,3

%

-

(2,5)

22,5

24,5

27,6

Surplus

(Defisit)

(11.405,9)

(3.517,1)

4.237,7

(5.148,8)

1.049,9

Page 57: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

57M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie

Tabel 3Indeks Komposisi Teknologi dan Ekspor Manufaktur

Sumber: Penaksiran CESS yang menggunakan data perdagangan PBB, dikutip danDavid Ray “Kemampuan Teknologi dan Ekonomi Indonesia” dalam Prisma nomor 9/1995,hlm. 88.

Negara

1. Indonesia

2. Malaysia

3. Korea Selatan

4. Taiwan

5. Singapore

6. Jepang

7. Cina

8. Filipina

9. Muangthai

Tahun1970

0,19

0,24

0,37

0,57

0,47

0,80

0,22

0,10

0,15

Tahun1993

0,34

1,72

1,07

1,19

1,79

1,30

0,58

0,95

0,92

Tahun 1993(Kecuali Komputer

dan Elektronik)

0,24

0,47

0,53

0,50

0.67

0,89

0,36

0,33

0,43

diungkapkan oleh CESS melalui tulisan Ray tersebut, tidak banyakdiketahui di Indonesia, termasuk oleh kalangan ekonom dan pengamatpembangunan, sehingga timbul reaksi dan kritik seolah-olah BPPT telahberjalan terlampau jauh dalam mengembangkan teknologi. Hal itulahagaknya yang mendorong Habibie untuk berkampanye tentang perlunyaIndonesia memperhatikan pengembangan lptek dan SDM, tidak sajalewat BPPT, tetapi juga melalui gerakan kemasyarakatan, khususnyalewat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).

Alternatif ketiga yang ditawarkan Habibie memberi jalan keluardengan konsep strategi lompatan ke muka (leap-forward). Asumsinyaadalah bahwa negara-negara sedang berkembang tidak bakal mampumengejar perkembangan teknologi, jika berkembang menurut garis linier.Untuk mengejarnya harus diciptakan garis perkembangan eksponensial,dengan melakukan apa yang disebut oleh Habibie accelerated evolutionatau evolusi yang dipercepat. Evolusi yang dipercepat tersebut tidak samadengan “lompatan katak” (leap frogging). Sebab lompatan katak bersifat

Page 58: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

58 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

acak dan tidak dapat diperkirakan. Sedangkan evolusi yang dipercepattidak acak karena gerakannya dikendalikan dan diperkirakan. Hal iniberarti mengurangi risiko dan biaya transformasi yang tinggi.

Dalam mengemukakan alternatifnya tersebut, Habibie memangmelontarkan kritik terhadap konsep strategi konvensional, khususnyayang mendasarkan diri pada prinsip keuntungan komparatif saja. Strategiini menurut Habibie hanya berpedoman pada tolok ukur pendapatannasional atau produksi nasional saja. Indikator itu sebenarnya tidakditolaknya, tetapi ia mengusulkan indikator lain yang lebih sempurna.Untuk bisa menilai kemampuan membangun suatu bangsa, iamenambahkan indikator lain dalam suatu kesatuan ekonomi makro.Yaitu, indikator “Produktivitas Prestasi Nasional” (PPN) dan indikator“Pertumbuhan Produktivitas Prestasi Nasional” (delta PPN). Indikatorsatu dalam dua (two in one) itu merupakan perpaduan dari produktivitastenaga kerja (labour productivity) dan produktivitas modal (capital pro-ductivity) dalam bentuk prasarana, sarana, dan mesin.

Menurut pendapat Habibie, PPN dan pertumbuhan PPN merupakanalternatif yang lebih tepat untuk menilai kemampuan membangun suatubangsa (makro) dan perusahaan (mikro) serta untuk memperkirakankinerjanya pada masa depan. Sebab, mungkin saja suatu bangsa memilikiPDB besar, tetapi PPN dan delta PPN-nya rendah. Dalam jangka panjangnegara ini akan dapat dilampaui perkembangannya oleh negara yangwalaupun mempunyai PDB kecil, tetapi PPN dan delta PPN nya tinggi.Dengan begitu, ia ingin menawarkan sebuah strategi alternatif yakni:

Suatu strategi pembangunan alternatif yang berorientasi padaoptimalisasi kemampuan sumber daya manusia dalam memanfaatkanteknologi dan aneka sumber daya yang tersedia. Dengan demikian,halitu diharapkan bisa menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan, dengannilai tambah yang tinggi, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkansebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Itulah rumusan pendapatnya tentang strategi pembangunan yangmengandalkan pertama-tama kepada mutu sumber daya manusia.Berdasarkan kemampuan sumber daya manusia itu dapat dioptimalkanpemanfaatan sumber daya-sumber daya lainnya yang tersedia.Persoalannya kemudian adalah bagaimana bisa menjalankan strategitersebut. Dalam kenyataannya mutu sumber daya manusia Indonesiamemang masih rendah. Oleh karena itu, Habibie sebenarnya mengajukanprasyarat, yakni kita, baik pemerintah maupun swasta harus bersedia

Page 59: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

59M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie

melakukan investasi di bidang sumber daya manusia ini. Hanya dengansumber daya manusia yang bermutu itulah SDM Indonesia bisamemanfaatkan teknologi dan sumber daya lainnya secara optimal.

Dengan mutu sumber daya manusia yang tinggi, dapat dilakukanoptimasi pembentukan nilai tambah (added value). Tetapi,menurutHabibie optimasi terhadap nilai tambah perlu dilengkapi dengan optimasibiaya tambah (added cost). Di sini sebenarnya terjadi titik temu antarapandangan Habibie dengan kelompok yang memegang prinsipkeuntungan komparatif, ketika Habibie menjelaskan bahwa BPIS yangdipimpinnya mampu bersaing dengan perusahaan asing MBB yangmempunyai perputaran sebesar US$ 10 hingga US$ 12 milyar, dengan60.000 pekerja, dibanding BPIS yang hanya memiliki omzet US$ 2,8milyar saja dengan pekerja 47.000 orang. Faktor yang membuat IPTNbisa kompetitif secara komparatif adalah kenyataan bahwa biaya pekerjaper orang hanya US$ 2.400 per tahun, dan biaya overhead sebesar US$6.000 per tahun, dibandingkan MBB yang harus menanggung biaya perpekerja sebesar US$ 200.000 per tahun dan biaya overhead sebesar US$200.000 per tahun. Dengan demikian, maka Habibie masih menganggaptenaga kerja sebagai faktor keuntungan komparatif Indonesia yangmembuat IPTN mampu bersaing di pasar global. Jadi tidak benar jugauntuk mengatakan, seperti dituduhkan para ekonom bahwa BPIS tidakdidasarkan para keunggulan komparatif dan tidak memperhatikanefisiensi.

Di lain pihak, Habibie sendiri juga mengakui bahwa perintisanindustri hulu berteknologi canggih dalam jangka waktu tertentu masihmembutuhkan satu dan lain bentuk proteksi dan subsidi. Di sampingitu, penelitian dan pengembangan sumber daya manusia jugamembutuhkan investasi pemerintah sebagai barang umum (publicgood).Di negara-negara maju seperti AS, Inggris atau Jerman Barat, biaya risetdan pendidikan ditanggung oleh pemerintah. Persoalannya adalah darimana dana itu diperoleh? Selama ini dana pemerintah diperoleh daripajak, terutama pajak perusahaan-perusahaan yang timbul danberkembang berdasarkan prinsip keuntungan komparatif. Hal inimengingatkan kita pada strategi yang dianut oleh Mao Ze Dong yangmelihat industri ringan dan industri kecil sebagai sumber dana yangbisa diakumulasi, demikian pula pendapat Sjafruddin yang melihat danaindustrialisasi dari sektor perkebunan yang berorientasi ekspor.

Dalam konteks Indonesia, Habibie menganjurkan untuk

Page 60: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

60 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

meninggalkan jenis-jenis industri yang tidak punya pijakan penguasaanteknologi yang kuat (foot loose industry) yang mudah berpindah dankeluar (easy to exit), ketika tidak lagi memiliki keuntungan komparatif(dalam pengertian yang lazim, foot loose industry adalah kebalikan dariresource-based industry yakni industri yang tidak berbasis pada sumberdaya alam setempat). Jika industri tersebut ditinggalkan, dari manadiperoleh pembiayaan untuk program pendalaman industri dan teknologiserta program transformasi industri dan teknologi? Dalam logika inilahProf. Sumitro mengoreksi pandangan Habibie dengan mengatakanbahwa industri yang berkembang berdasarkan prinsip keuntungankomparatif itu belum bisa atau untuk sebagian tidak bisa ditinggalkanbegitu saja. Karena itu, bagi Sumitro, prinsip keuntungan komparatifmaupun prinsip keunggulan kompetitif saling menunjang.

Dengan mengingat masih diperlukannya prinsip keuntungankomparatif-betapapun juga pemecahan terhadap masalah industrialisasiyang dalam jangka panjang bisa menimbulkan persoalan besar bagiperekonomian, dilihat dari indikator ekonomi fundamental- memaksakita untuk menerima strategi lompatan ke industri teknologi canggih.Masalahnya adalah, apakah pengembangan industri jenis ini tidak akanmelanggar kendala lain yang disebut Sumitro, yakni keharusan ekonominasional untuk menyediakan lapangan kerja bagi penduduk yangbertambah banyak?

Menurut Habibie, industri teknologi canggih seperti industri pesawatterbang dan dirgantara, sebenarnya mempunyai kaitan luas ke hilir.Perusahaan pesawat terbang, Boeing (AS) atau perusahaan mobil Toyota(Jepang) umpamanya, hanya melakukan perakitan terhadap komponen-komponen yang diproduksi oleh puluhan ribu perusahaan menengahdan kecil yang bersifat padat karya. Karena itu, masalahnya adalah apakahperusahaan yang bersangkutan bersedia untuk beroperasi dalam sistemkemitraan, sebagaimana yang telah terjadi di negara-negara industri majuitu. Karena itu maka Habibie sebenarnya juga mempertimbangkan aspekkesempatan kerja, seperti yang dipersoalkan oleh Sumitro.

Jika strategi transformasi industri dan teknologi bisa diterima,Habibie mengingatkan bahwa tranformasi di negara-negara sedangberkembang berbeda dengan transformasi evolusioner seperti yang terjadidi negara-negara maju. Pertama, transformasi industri di negara-negarasedang berkembang melalui evolusi yang dipercepat membutuhkan biayalebih besar dari biaya yang diperlukan negara-negara industri maju tatkala

Page 61: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

61M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie

dulu melakukan transformasi melalui proses evolusi. Kedua, di negara-negara sedang berkembang, proses transformasi memerlukan waktu atauharus dilakukan dalam waktu yang lebih singkat. Dan ketiga, jumlahorang yang terlibat dalam proses transformasi di negara-negara yangsedang berkembang lebih banyak dari di negara-negara industri maju,dan karena itu turut memperuwet persoalan.

Dalam proses transformasi itu dukungan pemerintah sangatdiperlukan. Dalam konteks sistem ekonomi Indonesia berdasar pasal 33DUD 1945 ayat 2, negara menguasai industri yang dipandang pentingbagi negara dan karena itu, negara ditetapkan untuk tampil dalam usahaperintisan. Antara lain, dengan menyediakan anggaran untuk penelitiandan pengembangan. Tetapi ada cara alternatif seperti yang dicontohkandi Jerman yang memberikan insentif kepada MBB dan Krup. Duaperusahaan itu mengalokasikan dana sebesar 5% dan 6% dari omzetnya,masing-masing untuk pendidikan dan riset, sehingga secara keseluruhanberjumlah 11% dari perputaran sales. Tetapi, pemerintahnya menyetujuiuntuk memotong pajak sebesar 89% sebagai insentif. Denganmembebankan anggaran pendidikan dan riset tersebut kepadaperusahaan, maka perusahaan dapat memperhitungkan sebagai ongkosproduksi yang akan turut mempengaruhi penentuan harga. Hal ini padagilirannya akan mendorong perusahaan untuk melakukan efisiensidengan menekan cost added-nya.

Habibie juga mengakui kenyataan bahwa sumber dana pemerintahitu makin terbatas. Karena itu, dalam industri berteknologi canggih pundiperlukan partisipasi swasta atau masyarakat dengan cara penjualansaham umpamanya. Agaknya, itulah salah satu faktor yangmendorongnya untuk melontarkan gagasan penurunan suku bunga yangsecara berturut-turut dilontarkannya di Manado, Bandung, dankemudian dijelaskannya kembali dalam suatu forum CIDES.2 Di siniBPIS juga harus bisa menempatkan diri sebagai perusahaan yangberkedudukan sama dengan perusahaan-perusahaan swasta.

Dalam hal ini, Habibie sudah berpikir lebih maju dengan tidaksemata-mata mengharapkan partisipasi modal pemerintah yang harusmelalui proses anggaran itu. Ia mulai berpikir untuk bisa memperolehdana kredit dari perbankan. Hanya saja, untuk industri strategisdiperlukan kredit dengan tingkat bunga rendah. Tuntutan ini lumrah,karena beberapa kalangan juga menginginkan suku bunga rendah,

2 Ibid, Op. Cit., hlm. 46.

Page 62: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

62 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

misalnya sektor perumahan rakyat, usaha kecil atau usaha pertanian. DiJepang, perusahaan besar justru memperoleh kredit yang bunganya lebihrendah dari perusahaan kecil. Untuk perusahaan kecil malahandikenakan suku bunga tinggi.

Seperti kita ketahui, walaupun imbauan tersebut beroleh sambutankalangan luas -hingga kinipun berbagai kalangan dunia usaha masihterus mengimbau diturunkannya suku bunga- tetapi karena Habibiemenyertakan alasan bagi usulnya itu, timbul reaksi yang mengatakanbahwa “teori” nya -yang lebih tepat adalah “hipotesis” -nya- tersebutberlawanan dengan logika ekonomi, tapi sebenarnya sejalan denganlogika bisnis.

Menurut hipotesis Habibie, penurunan suku bunga akanmempengaruhi penurunan tingkat inflasi. Sementara itu, menurut logika(ekonomi) yang lazim dipahami, bukan suku bunga yang menurunkaninflasi, melainkan sebaliknya, tingkat inflasi menentukan suku bunga,sebab penghitungan tingkat suku bunga pertama-tama didasarkan padatingkat inflasi. Jika tingkat inflasi 10%, maka tingkat bunga tidakmungkin lebih rendah, kecuali jika terdapat subsidi suku bunga dari BIatau pemilik dana, seperti BUMN. Pengaruh suku bunga terhadap inflasijuga diragukan mengingat biaya modal hanya merupakan 3%-5% sajadari biaya produksi.

Sebenarnya, pangsa biaya bunga terhadap biaya produksi tidakseragam antar sektor. Misalnya, dalam semen dan tekstil 12%-13% danpada beberapa industri bisa lebih dari 15%. Tetapi, yang perlu diingatadalah bahwa biaya bunga bisa mengurangi laba setelah dikurangi pajakdan bunga. Sebab, daya saing suatu perusahaan bisa dilihat dari tingkatEBIT (eammg before interest and tax). Dan biaya bunga bisa mencapai50% dari EBIT. Dalam hal ini perusahaan yang menghasilkan barangunggul (superior good) bisa membebankannya kepada konsumen.

Kalangan pengamat juga mendapat kesan bahwa Habibiemenghipotesiskan bahwa pengaruh penurunan bunga terhadap inflasitersebut terjadi dalam jangka pendek. Padahal, Habibie memikirkannyadalam jangka panjang, melalui metode zig-zag, atas inisiatif BI yangmempergunakan instrumen operasi pasamya untuk mempengaruhi tingkatsuku bunga bank komersial.

Sebenarnnya Habibie mengemukakan hipotesis bahwa dalam jangkapanjang mengikuti wawasan supply-side economics yang berpikiranjangka panjang, penurunan suku bunga akan bisa menurunkan tingkat

Page 63: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

63M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie

inflasi. Semula turunnya suku bunga akan merangsang dunia usahauntuk memperoleh kredit perbankan bagi perluasan usahanya.Meningkatnya kredit perbankan akan meningkatkan volume investasi.Menurut teori ekonomi yang lazim, tingkat pertumbuhan ekonomi -berdasarkan asumsi tentang tingkat ICOR (incremental capital outputratio), misalnya 3 atau 4 - akan dipengaruhi oleh tingkat pertambahaninvestasi. Jika investasi meningkat, maka pertumbuhan akan meningkatpula. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi berarti meningkatkan arusbarang. Arus barang yang meningkat inilah yang mendorong turunnyaharga. Kesimpulannya, turunnya suku bunga dalam jangka panjang,akan bisa menurunkan tingkat inflasi. Karena itu sebenarnya Habibiejuga mempergunakan logika ekonomi, tapi logika itu tidak diketahuioleh para ekonom yang berpikir jangka pendek.

Tetapi pengkritiknya berpendapat bahwa dalam jangka pendek,turunnya suku bunga akan berarti meningkatkan M2, dan selanjutnyaakan meningkatkan permintaan agregat. Sebelum arus barang bertambah,lebih besarnya permintaan agregat akan cenderung meningkatkan harga-harga umum (demand pull inflation). Di lain pihak, turunnya sukubunga tabungan akan mengurangi insentif menabung. Malahan,turunnya suku bunga tabungan akan mendorong perusahaan danmasyarakat untuk menarik dananya, guna dibelikan mata uang asingyang lebih kuat, dan uang tersebut bisa ditabung di luar negeri yangmemberikan tingkat bunga yang lebih baik. Ini akan berarti larinya devisake luar negeri.

Sementara itu, sebagian uang kredit itupun bisa langsungdipergunakan untuk membeli devisa guna keperluan impor. Akibatnya,impor akan meningkat dan memperburuk situasi neraca perdagangandan selanjutnya ikut mempengaruhi neraca berjalan yang kini sedangdalam keadaan defisit yang cenderung parah dari tahun ke tahun, danmungkin akan mencapai tingkat US$10 milyar pada anggaran 1997/1998.

Perbedaan hipotesis karena perbedaan wawasan ekonomi iniagaknya memang sulit dikompromikan. Terlepas dari itu, berbagaikalangan dunia usaha tetap menuntut turunnya suku bunga, denganalasan yang berbeda-beda. Tetapi, bank-bank pemerintah barumenurunkan suku bunga tabungan, tetapi enggan menurunkan sukubunga pinjaman. Sehingga, situasi ini justru memberi peluang spreadyang lebih besar pada sejumlah bank-bank pemerintah. Hal ini tentunya

Page 64: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

64 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

bertentangan dengan harapan Habibie, karena ia justru berharap bank-bank bisa menurunkan spread-nya sebagai dasar penurunan suku bungapinjaman.

Keberatan terhadap pemikiran Habibie sebenarnya tidak ditujukankepada gagasan suku bunga rendah itu sendiri. Kalangan produsen dandistributor tentu saja mendukung. Lebih-lebih yang merencanakan proyekjangka panjang dan skala besar. Tentu saja ada juga yang berpendapatbahwa suku bunga itu sendiri bukanlah masalah. Keberatan itu padaumumnya dapat dikategorikan menjadi beberapa pola pandangan.

Pandangan pertama mengatakan bahwa suku bunga bukanlahmasalah utama walaupun merupakan masalah juga. Yang lebih menjadimasalah adalah korupsi, kolusi, dan kebocoran. Seandainya suku bungabisa diturunkan, hal itu tidak akan memberi dampak yang berarti selamaada kebocoran yang besarnya lebih dari 30% itu. Korupsi dan pungutan-pungutan liar yang harus dibayar pengusaha akan menaikkan biayaproduksi yang berarti menurunkan efisiensi dan akhirnya jugamenghambat pertumbuhan ekonomi. Dengan perkataan lain, yangmenjadi masalah bukannya tingkat bunga yang tinggi, melainkanekonomi biaya tinggi secara keseluruhan. Pola pandangan seperti inidikemukakan oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo.

Pandangan kedua berpendapat bahwa sekalipun suku bunga yangterlalu tinggi itu diakui dan karena itu memang perlu diturunkan,namun hal itu tidak mungkin dilaksanakan saat ini. Alasannyabermacam-macam. Pertama, suku bunga tinggi itu saat ini diperlukanuntuk mendinginkan perekonomian yang menurut BI over-heated.Suku bunga tinggi justru mencegah, setidaknya membatasi, berbagaikalangan pengusaha untuk meminjam. Kredit di bidang propertiumpamanya, perlu dibatasi. Kedua, suku bunga tinggi diperlukan saatini untuk mencegah uang lari ke luar negeri, bahkan untuk menarikuang ke dalam negeri sehingga bisa memperkuat posisi neracapembayaran kita yang terancam oleh defisit neraca berjalan. Ketiga,suku bunga tidak mungkin diturunkan selama tingkat inflasi masihtinggi. Keempat, bank-bank sulit menurunkan tingkat suku bungakarena birokrasinya kurang efisien, karena biaya operasi yang tinggi,karena tingkat premium risiko yang tinggi sebagai upaya berjaga-jagaterhadap kemungkinan kredit macet, dan juga karena kredit macet yangtelah terjadi. Kelima, turunnya suku bunga dikhawatirkan memanaskansuku perekonomian dan memicu inflasi sebagai akibat meningkatnya

Page 65: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

65M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie

jumlah uang beredar dan permintaan agregat.Pandangan ketiga menolak gagasan Habibie, karena alasan teoritis

dari sudut pandang ekonomi. Pertama, tesis bahwa suku bunga akanmenurunkan inflasi dianggap tidak sesuai dengan teori ekonomi yanglazim, karena yang biasanya dimengerti adalah bahwa tingkat inflasimempengaruhi suku bunga. Kedua, cara menurunkan tingkat sukubunga secara zig zag dianggap berbahaya, karena menimbulkanketidakpastian yang bersumber dari kebijaksanaan suku bunga yang selaluberubah. Dan ketiga, anggapan bahwa Bank Indonesia bisa menentukansuku bunga ditolak, karena keterbatasan instrumen yang dikuasainya,dan sebaliknya kekuatan pasarlah yang dianggap lebih menentukan.

Pandangan Habibie memang lain dan tidak konvensional. Misalnya,tentang pandangan yang bertentangan dengan logika konvensional. Iaberpendapat bahwa berdasarkan pengalaman historis-empiris di berbagainegara maju, khususnya Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris, danJepang diperoleh rumus bahwa tingkat inflasi berkorelasi positif dengantingkat suku bunga. Seandainya tingkat suku bunga yang berlaku 14%umpamanya, maka tingkat inflasi adalah sebesar setengah dari tingkatsuku bunga ditambah suatu delta, misalnya dua atau tiga, berdasarkanpengalaman empiris.

Dalam hal tingkat suku bunga seperti di atas, maka tingkat inflasikira-kira adalah (0,5 x 14) + 3 = 10, yakni 10%. Sebaliknya, jika sekarangini diketahui bahwa tingkat inflasi adalah 7,4%, dan delta 3, maka sukubunga seharusnya adalah 2 (7,4 - 3) x % = 8,8%. Masalahnya adalah,apakah pengalaman negara-negara industri maju tersebut bisa berlakudi Indonesia? Para pengkritiknya akan mengatakan bahwa rumussemacam itu harus didasarkan pada pengalaman empiris Indonesia dannegara-negara serupa sebagai negara sedang berkembang.

Usulan Habibie itu bisa ditanggapi secara praktis dengan langkah-langkah konkret, umpamanya saja melalui kepeloporan bank-bankpemerintah dengan menurunkan suku bunga deposito dan tabungandengan harapan langkah tersebut diikuti oleh bank-bank swasta. Salahsatu dampak yang diharapkan oleh Habibie adalah bahwa bank-bankakan berusaha menurunkan suku bunga pinjaman dengan carameningkatkan efisiensi dan mengurangi tingkat laba bank. Demikianpula dengan turunnya suku bunga deposito, maka pemilik uang,khususnya perusahaan dan lembaga akan cenderung untuk memutarkanuangnya sendiri atau membeli saham di pasar modal. Habibie memang

Page 66: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

66 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

mempunyai tesis bahwa dengan turunnya suku bunga bank, pasar modalakan bisa lebih bergairah.

Untuk mencegah larinya modal ke luar negeri atau untuk menarikmodal ke Indonesia, instrumen insentif suku bunga tidak perlu dipakai.Pemerintah hendaknya lebih mengutamakan perbaikan iklim investasi,misalnya melakukan debirokratisasi dalam penanaman modal,mengurangi korupsi dan kolusi, menyediakan prasarana fisik danmengembangkan mutu sumber daya manusia.

PenutupSebagai kesimpulan dapat dikatakan di sini bahwa wawasan

pembangunan Habibie mencoba untuk memberi jalan keluar terhadapsalah satu persoalan pembangunan yang sangat mendasar, yakni disatupihak melepaskan diri dari ketergantungan teknologi kepada negara-negara industri maju, di lain pihak guna meningkatkan daya saingproduk-produk Indonesia. Jalan keluar itu adalah melakukan prosestransformasi industri dan teknologi, melalui evolusi yang dipercepat.Hanya saja perlu disadari konsekuensi biayanya, karena danapembangunan merupakan kendala yang nyata.

Selain itu, perlu diingat, tuntutan tentang perlunya diciptakankesempatan kerja dan kesempatan usaha yang lebih luas, mengingatmakin besamya jumlah angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaanyang mampu memberikan imbalan lebih tinggi. Di sini sering terkesanbahwa penggunaan teknologi lebih canggih cenderung untuk menghemattenaga kerja. Padahal, penggunaan teknologi lebih canggih dapat pulamenimbulkan konsekuensi timbulnya proses-proses lain yangmembutuhkan tenaga kerja. Hanya saja industri tersebut harus bersediauntuk mengalihkan sebagian proses-prosesnya kepada industri menengahdan kecil. Industri-industri tersebut diharapkan mampu menyerap tenagakerja yang lebih besar.

Mengingat kendala dana tersebut di atas, timbul pertanyaan, siapayang akan mendanai program transformasi dan pendalaman strukturindustri tersebut? Jawabnya, adalah industri-industri yang dewasa initelah berkembang berdasarkan prinsip keuntungan komparatif. Di satupihak, industri-industri tersebut mudah lepas, sebab tidak mengakar padakemampuan teknologi dan sumber daya manusia karena itu rawanterhadap perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik di dalammaupun di luar negeri. Lagi pula hal itu cenderung mengeksploitasi

Page 67: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

67M. Dawam Rahardjo, Pemikiran Habibie

tenaga buruh dan sumber daya alam sehingga menimbulkan kerawanansosial dan ancaman terhadap lingkungan hidup.

Tetapi di lain pihak industri tersebut dalam kenyataannya merupakansumber dana pemerintah melalui pajak dan sumber dana devisa. Industri-industri tersebut sebenarnya telah membiayai program pendalamanstruktur industri serta program transformasi industri dan teknologi,sebelum program tersebut mampu menghasilkan industri-industri yangmenciptakan nilai tambah yang tinggi dan mengurangi ketergantunganteknologi.

Banyak kalangan yang berpendapat bahwa industri padat karya danresource-based itu masih tetap dibutuhkan, walaupun dengan risiko cukuptinggi, seperti pernah dikatakan oleh Prof. Sumitro dan Prof. Subroto,karena industri-industri tersebut memiliki keuntungan komparatif. Dalamkenyataannya yang berlaku berdasarkan GBHN, bukan hanyaWidjojonomics, Habibienomics atau Mubyartonomics . Di bidangindustri, yang berlaku bukan hanya prinsip keuntungan komparatif dalammenentukan alokasi sumber daya dalam investasi, melainkan juga strategipendalaman industri dan strategi pencapaian keunggulan kompetitifdengan industri yang menghasilkan nilai tambah tinggi saja. Semuanyadiakomodasikan dalam GBHN yang membentuk apa yang disebutSoehartonomics.

Berbagai konsep strategi pembangunan ekonomi dan industrialisasitersebut di atas memang saling berkompetisi dan menimbulkan mekanismetrade-off. Semua itu perlu diuji dengan kriteria-kriteria keberhasilan dalamjangka pendek maupun panjang. Kriteria tersebut sering menampakkandiri sebagai kendala-kendala, misalnya tuntutan untuk meningkatkankesempatan kerja dan efisiensi perusahaan serta ekonomi nasional.Namun ketiga konsepsi pembangunan tersebut di atas bisa pula dipadukandemi untuk menjamin berlangsungnya pembangunan yangberkelanjutan, berkurangnya ketergantungan dan meningkatnyakemandirian teknologi, dan meningkatnya daya saing di pasar dunia,terutama dalam menghadapi era pasar bebas, memasuki abad ke-2l.

* * ** * ** * ** * ** * *

Page 68: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

68 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Realitas bangsa ter jajah menyebabkan Muhammad Hattamengorbankan kesenangan masa muda. Sesungguhnya kemapananekonomi keluarga dan kesempatan mengenyam perguruan tinggi diperantauan membuka jalan baginya menduduki jabatan-jabatanterpandang di Hindia Belanda. Akan tetapi, Hatta yang menyaksikaneksploitasi Belanda atas kekayaan alam Nusantara memutuskanmengabdikan diri dalam kegiatan politik. Pilihan ini jelas di luarkebiasaan muda-mudi di Eropa. Lazimnya muda-mudi Inggris, Perancis,dan Belanda memperguna belia mereka sepenuhnya — sebagaimanalayaknya muda-mudi kita sekarang.

Lingkungan memang membentuk figur Muhammad Hatta.Meskipun begitu, mustahil ia berjaya memandu revolusi bersama-samaSukarno dan Sutan Syahrir tanpa kecemerlangan yang melekat padadirinya. Pikiran-pikiran yang kritis, tajam, dan melampaui zamannyaia buahkan semenjak sekolah menengah dan semakin matang ketikakuliah.

MEMAHAMI PIKIRANMEMAHAMI PIKIRANMEMAHAMI PIKIRANMEMAHAMI PIKIRANMEMAHAMI PIKIRAN, UC, UC, UC, UC, UCAPAPAPAPAPANANANANAN,,,,,DDDDDAN AN AN AN AN TINDTINDTINDTINDTINDAKAN BUNAKAN BUNAKAN BUNAKAN BUNAKAN BUNG HAG HAG HAG HAG HATTTTTTTTTTAAAAA(WAKIL PRESIDEN RI 1(WAKIL PRESIDEN RI 1(WAKIL PRESIDEN RI 1(WAKIL PRESIDEN RI 1(WAKIL PRESIDEN RI 19999945 – 145 – 145 – 145 – 145 – 1956,956,956,956,956,PERDPERDPERDPERDPERDANANANANANA MENTERI RIS 1A MENTERI RIS 1A MENTERI RIS 1A MENTERI RIS 1A MENTERI RIS 19999948 – 148 – 148 – 148 – 148 – 1950)950)950)950)950)

Junarto Imam Prakoso

Telaah

Page 69: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

69Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan

Ia tidak saja mengkritik penjajahan secara konsisten, tapi jugamempunyai wawasan tentang Indonesia yang merdeka di masa depan.Padahal kala itu jangankan gagasan tentang kemerdekaan, penamaan“Indonesia” saja — sebagai terminologi baru yang menggantikan “HindiaBelanda” — kedengaran absurd, bahkan provokatif, terutama bagi parakolonialis. Bagi mereka, Hindia Belanda adalah realitas akhir yang harusditerima semua. Apalagi konsep “Indonesia” secara geografis sebenarnyamenunjuk wilayah yang lebih luas daripada Hindia Belanda. Diantaranya mencakup Singapura, Malaya, Filipina, dan Madagaskar.Boleh dibilang, menurut mereka, kedua istilah itu pada dasarnya tidaksinonim. Selain itu dalam pandangan mereka, gagasan “Indonesia”mengandung maksud pemisahan koloni dari Kerajaan Belanda. Disinilah para kolonialis menganggap istilah ‘Indonesia’ sebagai idepemberontakan, atau pengkhianatan. Tentu saja, itu lantaranbertentangan dengan kepentingan imperialisme mereka.

Akan tetapi, bagi Hatta, ‘Indonesia’ adalah realitas politik. Beberapatahun setelah dipakai secara formal oleh Perhimpunan Indonesia padatahun 1922, gagasan ‘Indonesia’ menjadi populer. Pergerakan-pergerakankebangsaan maupun surat-surat kabar lokal cenderung menggunakan‘Indonesia’ alih-alih ‘Hindia Belanda’ dalam kegiatan mereka. KongresPemuda yang melahirkan ‘Sumpah Pemuda’ terang-teranganmengidentifikasikan ‘Indonesia’ sebagai tanah air, bangsa, dan bahasa.Bahkan dalam pengamatan Hatta, gambaran tentang Indonesia merdeka“sudah tertanam dalam benak rakyat yang miskin dan buta hurufsekalipun.”

Hatta berargumen bahwa penamaan suatu negara tidak melulumerujuk pengertian-pengertian geografis ataupun etnologis, melainkanjuga kemauan suka rela penduduk yang mendiami suatu wilayahberdasarkan sebab yang logis, misalnya kesadaran kolektif akanketidakadilan dan kejahatan imperialisme negara asing. Kolonisasi danimperialisme atas kepulauan Nusantara dan eksploitasi sumber daya alamyang berlangsung ratusan tahun merupakan tambang emas yangberlimpah bagi Belanda untuk memakmurkan rakyat dan membanguninfraktruktur di negerinya secara modern dan megah. Sementara itupenduduk yang sesungguhnya pemilik kekayaan itu dibiarkan terjerembabdalam jurang kemiskinan dan kebodohan.

Dalam perhitungan Hatta, Belanda mengeruk keuntunganekonomi sampai miliaran florin dengan penguasaan tanah dan

Page 70: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

70 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

perbudakan modern: tenaga bumiputera berpendidikan rendah dipaksabekerja dengan upah semurah-murahnya, kalau perlu anak di bawahumur dipekerjakan. Penghasilan per kapita pribumi per tahun padatahun 1926 seperduaratus orang Belanda, tapi mereka diharuskanmembayar pajak dengan kadar yang sama. Tingkat buta hurufpenduduk Indonesia hanya 93 peratus. Anggaran pendidikan yangdikeluarkan pemerintah Hindia Belanda kepada puluhan juta pribumi32 sen per kepala sedangkan untuk ratusan ribu orang Eropa disediakan75 florin per orang atau lebih 200 kali lipatnya.

Demi melanggengkan penjajahan, Belanda tidak saja menerapkankebijakan pembodohan terhadap rakyat secara terang, tapi jugamemperlemah pergerakan kebangsaan. Belanda menanamkan sugestikepada rakyat bahwa “bumiputera tidak cakap memimpin, mengambilinisiatif, dan sudah sepantasnya bekerja di bawah kepemimpinanBelanda.” Kepada dunia, Belanda mempropagandakan bahwa “tidakada bangsa Indonesia, yang sebenarnya ada adalah Hindia Belanda terdiridari kumpulan suku bangsa yang beragam ras dan agama.”

Hatta sendiri tidak menafikan bahwa keberagaman suku Nusantaramerupakan tantangan bagi pencapaian Indonesia yang bersatu. Kulturagraris yang mempengaruhi cara berpikir beragam suku ini bisamenghambat pembentukan nasionalisme lantaran ia mengikat para petanisecara emosional dengan tanah garapan mereka, dengan kampungkelahiran mereka, sehingga menciptakan semangat kedaerahan. Disinilah Hatta menyerukan pemahaman akan cakrawala baru, yaitu bahwakeinginan bersatu dalam lingkaran komunitas kebangsaan adalah cita-cita politik yang menjadi propaganda perjuangan dan menggantikanlingkaran komunitas kedaerahan yang lebih sempit — tanpa melepaskanikatan adat masing-masing. Setiap etnis menanggalkan superioritaskedaerahan dan bersatu dalam kepemilikan tanah air yang sama, Indo-nesia, meskipun bukan berada di kampung halaman mereka.

Belanda yang melihat gairah kemerdekaan sebagai racun yangberbahaya menawarkan gagasan ‘persekutuan dengan Belanda denganpersamaan hak dan kewajiban.’ Namun begitu, Hatta berpendapat bahwatawaran itu pada dasarnya mengaburkan kenyataan tentang pertentangankepentingan dan ras yang biasa berlaku pada sistem kolonial. Oleh sebabitu bagi Hatta, kemerdekaan adalah satu-satunya jalan bagi pembebasansecara menyeluruh.

Ketika pemerintah kolonial mendirikan Volksraad, atau Dewan

Page 71: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

71Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan

Rakyat, sebagian penggiat pergerakan menganggap bahwa pendirian ituadalah salah satu langkah damai menuju kemerdekaan. Merekaberpendapat, kenyataannya Belandalah yang menguasai dan memerintahHindia Belanda. Oleh sebab itu hanya dari Belanda pulalah kemerdekaanIndonesia akan dapat diperoleh. Namun berprinsip lain, Hattamenganggap Volksraad sebagai dewan jajahan yang melegalisasikankolonisasi Belanda. Pada dasarnya Volksraad sendiri tidak lebih daripadadagelan dengan wewenang yang nihil karena kekuasaan politik yangsesungguhnya berada di tangan gubernur Hindia Belanda.

NONKOOPERATIFKetidakpercayaan akan adanya itikad baik pemerintah Hindia

Belanda membuat Hatta memutuskan bersikap nonkooperatif. Politiknonkooperatif diambil dengan pertimbangan bahwa cara ini bakalmenumbuhkan kepercayaan diri dan kesadaran politik di kalanganpenggiat. Politik nonkooperatif menolak bekerja sama, dalam arti tidakbersedia duduk dalam lembaga-lembaga politik bentukan pemerintahHindia Belanda. Ia ingin Indonesia mandiri dengan kekuatan sendiri.Sebab, menurutnya kekuasaan politik Belanda mustahil digantikan olehbumiputera karena itu sama saja dengan melikuidasi kekuasaan mereka.Lagipula badan-badan pemerintahan tidak bertanggung jawab kepadarakyat, melainkan sekedar membenarkan kebijakan pemerintah. Badanini dibentuk pemerintah kolonial sebagai politik tawar agar bumiputera“tidak menimbulkan keonaran.” Itulah sebab, bekerja sama denganpenjajah, bagi Hatta, adalah menipu diri sendiri karena terdapatpertentangan yang tajam antara penjajah dan terjajah yang sukardikompromikan.

Namun demikian, ketika masih menjadi mahasiswa di NegeriBelanda, Hatta pernah menganggap wajar tawaran partai kiri Belandauntuk menjadi wakil mereka di Tweede Karmer, parlemen negara itu.Tawaran ini sempat menjadi isu nasional dan Hatta mendapat sasarankritik dari para penggiat pergerakan Indonesia berhaluan nonkoorperatiflain. Sukarno, misalnya, menganggap Hatta tidak taat asas denganprinsipnya. Tapi Hatta berargumen bahwa duduk dalam parlemenBelanda Tweede Karmer bukanlah pengkhianatan terhadap asasperjuangan nonkooperatif lantaran kedudukan Tweede Karmer secarapolitik sejajar dengan pemerintahan Belanda. Suara mereka didengar,bisa menentang, bahkan bisa menjatuhkan pemerintahan. Di sini, kata

Page 72: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

72 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Hatta, bisa saja tokoh-tokoh Indonesia duduk dalam Tweede Karmerdan menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia yang menolakkolonialisme dan imperialisme Belanda. Tapi Hatta sendiri tak pernahbergabung dengan Tweede Karmer karena menganggap bahwa tempatnyayang paling layak adalah di tengah rakyat Indonesia.

STRATEGI HATTA PADA ERA JEPANGPemerintah Hindia Belanda sendiri akhirnya jatuh dan menyerah

tanpa syarat kepada Jepang pada tahun 1942. Jepang menyadari bahwaguna memobilisasi rakyat, mereka perlu mendapatkan dukungan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Oleh karena itu, Jepang meminta Soekarno,Hatta, dan Sjahrir bekerja sama. Kerja sama ini dikecam keras tokoh-tokoh muda pergerakan kala itu. Tan Malaka, umpamanya, menulis,“Lantaran sikap Hatta dan rekan-rekannya, beras, berlian, serdadu danwanita Indonesia, jatuh ke dalam cengkeraman imperialis Jepang.” 1

Meskipun demikian, pendapat lain menyebutkan bahwa pilihanHatta bekerja sama dengan Jepang hanyalah sebuah cara dan strategi.“Hatta dan Sjahrir bersahabat akrab dan memutuskan memakai strategi-strategi yang bersikap saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaanJepang. Hatta akan bekerjasama dengan pihak Jepang, berusahamengurangi kekerasan pemerintahan mereka, dan memanipulasiperkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa Indonesia.2

Pendapat itu terbukti kemudian, yaitu ketika Soekarno — yang tidaktertarik perbedaan teoritis antara fasisme dan dengan demokrasi sertamenganggap perang dunia saat itu sebagai pertarungan dua macamimperialisme — bergabung dengan Hatta, mendesak Jepang yang enggansupaya membentuk organisasi massa di bawah kepemimpinan mereka.3

Sejarah mencatat bahwa bekerjasama dengan Jepang adalah satu-satunya pilihan yang mungkin untuk mencapai kemerdekaan pada saatitu. Jepang cepat atau lambat akan kalah perang karena kekuatan militerdan ekonomi mereka takkan mampu menandingi Sekutu. Hikmahnyaadalah pada pendudukan Jepang pergerakan kemerdekaan dapatmengambil manfaat sebesar-besarnya. Di bawah kekuasaan Jepang iturakyat berkesempatan belajar mengorganisasikan diri, menumbuhkankebangsaan, dan belajar ketentaraan. “Penjepangan” memang berlakudi pelbagai bidang, tapi itu juga diikuti “pengindonesiaan.” Bendera

1. Harry A. Poeze, “Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik,” l999: 298.2. Ricklefs, M.C., ”Sejarah Indonesia Modern,” l992: 30.3. Rickles, M.C., ibid..

Page 73: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

73Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan

merah putih dikibarkan berdampingan dengan bendera matahari, begitujuga, bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dipakai secara formaldalam pemerintahan. Pada era pendudukan Jepang inilah pahamkebangsaan Indonesia terlembagakan secara massif.

Biaya sosialnya teramat-sangat mahal jika diukur dari materi dannyawa, namun strategi ini terbukti efektif. Aparat Hindia Belanda yangmemboncengi Sekutu dan hendak memulihkan kekuasaan di tanahjajahannya itu tersentak kaget karena tak ada bumiputera yangmenyambut mereka dengan sorak-sorai sebagai Sang Pembebassebagaimana Inggris ketika memasuki Burma. Belanda menemukankenyataan bahwa para pemimpin negeri yang lima tahun lalu dipandangtak bakal mampu mengorganisasikan pemerintahan secara efektif, ternyatadidengar inlander secara patuh. Kejutan lainnya adalah rakyat HindiaBelanda yang dahulu membungkuk di depan Tuan Putih mereka kiniberdiri tegak dengan balatentara yang siap melawan: Pembela TanahAir. Ini berkah tersembunyi penjajahan Jepang.

Pengakuan atas Indonesia tidak serta-merta didapat. Negara-negaraadikuasa pemenang perang hanya mengenali kekuasaan Belanda ataswilayah Hindia Belanda sebelum Jepang. Hatta percaya bahwapengakuan politik antarbangsa atas kemerdekaan haruslah didapatdengan menunjukkan eksistensi Indonesia yang bersatu secara teraturdan damai. Beberapa perundingan dengan Belanda merugikan jika dilihatdari luas wilayah Republik. Hatta sebagai pribadi mengkritik konsesi-konsesinya, tapi sebagai negarawan ia tidak menolak kesepakatan itusebagai program kabinetnya. Bagi Hatta, meskipun seandainya seluruhwilayah dikuasai Belanda, Republik tetap maujud jika menerimapengakuan Dewan Keamanan dan dunia internasional secara de jure.Kepercayaan bahwa kemenangan melalui jalur diplomasi ini akhirnyaberbuah justru karena kebodohan Belanda melanggar perundingan-perundingan yang sebenarnya menguntungkan mereka sendiri.Kemerdekaan Indonesia akhirnya diakui dunia pada tahun 1949 dalambentuk Republik Indonesia Serikat. Hatta juga menempuh jalurkonstitusional ketika tuntutan pembubaran negara serikat menggema dijalan-jalan.

MENOLAK DEMOKRASI TERPIMPINPasca kekuasaan Belanda adalah konsolidasi sosial-politik, di

antaranya mengukuhkan dasar-dasar pembentukan negara Indonesia

Page 74: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

74 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

yang demokratis. Dalam konteks ini Hatta berpendapat hendaknya In-donesia menganut demokrasi kolektif, bukan individualismesebagaimana Revolusi Perancis. Menurut Hatta, Revolusi Perancisberhasil dalam politik, yaitu persamaan hak-hak politik seperti memilihdan dipilih dalam dewan perwakilan rakyat. Akan tetapi, ia gagal atausama sekali mengabaikan demokrasi ekonomi. Kapitalisme pasca revolusiyang menggantikan feodalisme justru menggurita dan menginjakkelompok ekonomi lemah sehingga melenyapkan persaudaraan. Padastruktur kapitalisme yang baru ini mungkin saja terjadi seorang buruhhanya terjamin ketika ia kuat dan dapat bekerja, sedangkan jika sudahtua dan sakit-sakitan, ia ditelantarkan pengusaha. Dalam pandanganHatta, demokrasi politik an sich semacam ini tidak sesuai denganperjuangan Indonesia. Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi samasaja penjajahan, padahal cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasisosial, yaitu keadilan sosial yang meliputi segala milieu.

Sayangnya justru pada pasca pengakuan kedaulatan,mengemukalah sederetan persoalan dalam pelaksanaan demokrasipolitik-ekonomi. Setelah penyelenggaraan pemilihan umum 1955, In-donesia boleh dibilang menerapkan demokrasi parlemen yang —untuk konteks dalam negeri saat itu — lemah dan tak stabil secarapolitik. Hatta beranggapan bahwa seharusnya sistem pemerintahanyang dipakai adalah presidensiil, yang kuat, dan stabil lantaranpondasi politik Indonesia yang berada dalam periode transisionalbelum matang. Ia memberi contoh bahwa semenjak proklamasisampai perundingan Renville, Indonesia mejajaki pemerintahanparlementer, namun tidak stabil dan menuju perpecahan politiksehingga pada pasca perundingan Renville Indonesia memilihpresidensiil yang kuat. Menurutnya, konsepsi akan dominasidwitunggal Soekarno-Hatta kala itu bukanlah sekadar mitos yangdibuat-buat, melainkan realitas yang menuntut keberadaandwitunggal demi kepaduan politik.

Indonesia telah memasuki ultrademokrasi, demikian ia menyebutera liberal itu, keprematuran sistem membuat kabinet jatuh-bangun silihberganti, sedangkan program perbaikan ekonomi belum berjalan. Dalamkonteks ini Sukarno memandang bahwa demokrasi Barat yang sangatbebas itu mengancam revolusi nasional yang belum selesai, yaitu adilmakmur. Oleh karena itu dalam pandangan Sukarno, demokrasi yangsesungguhnya bagi Indonesia adalah demokrasi bergotong royong

Page 75: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

75Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan

sebagaimana karakter masyarakat Indonesia yang asli. Ia sendiri akanmemandu demokrasi yang ia sebut ‘Demokrasi Terpimpin’ itu. Dengankonsepsi ini, Sukarno membubarkan parlemen dan memilih anggotaparlemen menurut penafsiran sendiri dan menempatkan dirinya sebagaipemimpin yang sesungguhnya tidak lebih daripada peran seorangdiktaktor.

Hatta menolak pemahaman Sukarno bahwa “revolusi belum selesai.”Menurut Hatta, jika berjalan terlalu lama, revolusi akan menghancurkansendi-sendi kenegaraan dan dimanfaatkan oleh anasir-anasir gunamengambil keuntungan dari situasi itu. Revolusi berjalan sebentar saja,tapi konsolidasi yang revolusioner — yang ia artikan sebagai “teguhpendirian” — memang bisa berjalan puluhan tahun. Hatta menganjurkanpara pro-demokrasi agar bersabar, dan memberikan waktu yang layakatau ‘fair chance’ kepada Sukarno untuk mengejawantahkan fantasi-fantasinya itu. Hatta sendiri melihat kondisi yang lebih nyata seumpamainfrastruktur yang rusak, kebutuhan ekonomi rakyat yang belumtercukupi, inflasi yang meninggi, dan kemerosotan taraf hidup rakyat.Ukuran obyektif yang dipatok Hatta adalah sampai sejauh mana Sukarnomampu menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Tujuan Sukarno baik,kata Hatta, tapi langkah-langkah yang ia ambil kerap menjauhkannyadari tujuannya. Ia memperkirakan, sistem yang dibangun Sukarno tidakakan lebih panjang daripada usia Sukarno sendiri.

Hatta kemudian mengundurkan diri sebagai wakil presiden.Keputusan ini tidak mulus karena pelbagai kalangan berusahamencegahnya. Bahkan Soekarno pun tidak menghendaki Hatta memilihjalan ini. Ia meminta Rahmi Hatta mempengaruhi suaminya agarmembatalkan niatnya, tetapi Hatta tampaknya sudah berketetapan hatimenjadi rakyat biasa kembali. Meskipun begitu, setelah tidak beradadalam pemerintahan, Hatta tetap menganggap Soekarno sebagai kawanbaik.

Di tengah pesimisme, Hatta yakin demokrasi tidak lenyap di Indo-nesia lantaran kudeta Sukarno. Sebab, demokrasi adalah nilai asli dalammasyarakat Indonesia. Berbeda dengan tanah di Barat yang pada erafeodal dikuasai bangsawan, di Indonesia tanah adalah milik warga desa,sehingga kolektivisme — musyawarah — berkembang di desa. Orangtidak saja bergotong royong mendirikan infrakstruktur publik, melainkanjuga bersama-sama membangun kepemilikan privat seperti rumah,mengerjakan sawah. Kekuasaan raja, sultan, bangsawan boleh saja

Page 76: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

76 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

menindas, tapi kultur demokratis masyarakat desa tidak dapat lenyap.Hatta meyakini bahwa justru karena demokrasi hilang sementara, or-ang akan menyadari bahwa ia barang yang berharga. “Demokrasi bisatertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah mengalamicobaan pahit, ia akan muncul dengan penuh keinsafatan,” katanya.

Ramalan Hatta tentang kembalinya demokrasi ke Indonesia baruterbukti jauh setelah kejatuhan Sukarno. Demokrasi kembali denganredefinisi untuk konteks Indonesia kekinian, sebagai sintesis antaragagasan akan dominasi kekuasaan parlemen dengan dominasi kekuasaankepala pemerintahan. Namun demikian masih jauh dari cita-cita Hatta,demokrasi yang datang ini masih bersosok politik, sedangkan demokrasiekonomi sendiri masih jauh dalam wujudnya. Pada kekuasaan pascaSukarno, demokrasi tidak lebih baik dari sebelumnya: demokrasi politikdikebiri sedangkan ekonomi dikuasai para kroni. Lantaran ketidakadilanpolitik-ekonomi, pergolakan politik di daerah — separatisme — terjadidi beberapa wilayah di tanah air, mirip era 50-an ketika Hatta berkuasa.Jauh pula dari ekonomi kolektif yang diangan-angankan Hatta, kekayaanalam dikuasai ekonomi kapitalisme lokal dan internasional yangindividualis, angkuh, dan zalim, sedangkan rakyat sendiri mendapatkanbagian sedikit saja. Kekhawatiran Hatta bahwa demokrasi politik tanpademokrasi ekonomi sama saja dengan penindasan benar-benar menjadikenyataan.

PENGGAGAS PASAL 33 UNDANG-UNDANG DASAR1945.

Sebagai pemikir yang tajam dan berwawasan ke depan, Hatta tidakbisa dipisahkan dengan gagasan demokrasi ekonomi dan ekonomikerakyatan yang mendasari pasal-pasal penting dalam Undang-undangDasar 1945. Hatta mengakui bahwa gagasan-gagasan untukmenumbuhkan kekuatan ekonomi rakyat itu sudah ia utarakan dalampleidoi di depan pengadilan Den Haag, Belanda pada tanggal 9 Maretl928, khususnya pasal-pasal ekonomi yang menjadi peganganPerhimpunan Indonesia, yaitu:1. Memajukan koperasi pertanian dan bank-bank.2. Memajukan kerajinan nasional atas dasar koperasi.3. Penghapusan sistem pajak bumi.4. Penghapusan tanah partikulir dalam waktu dekat.5. Pengaturan kewajiban membayar pajak yang adil dengan

Page 77: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

77Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan

membebaskan petani-petani yang memiliki tanah yang kurang darisetengah bahu dari pembayaran pajak.4

Menurut Syahrir, lima pasal ini, jelas sekali adanya kehendakmenggerakkan kekuatan ekonomi rakyat dengan lembaga koperasisebagai badan usaha yang harus diutamakan. Bandingkanlah denganpasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dalam teks aslinya.

Ayat 1Perekonomian disusun sebagai usaha bersama beradasarkan atas

asas kekeluargaan.

Ayat 2Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara.

Ayat 3Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmurannegara.

Pemuda Hatta yang mempunyai gagasan atau pemikiran yangprogresif adalah pemuda Hatta yang juga turut menyusun Undang-undang Dasar l945. Klaim Bung Hatta bahwa dialah yang memasukkanpasal tersebut dalam undang-undang dasar tak terbantahkan.5 Sayangnya,idealisme Bung Hatta tidak pernah didukung sistem politik yangmendasari kebijakan ekonomi, baik pada pemerintahan Soekarnomaupun Soeharto.

HATTA SEBAGAI BAPAK KOPERASIHatta dikukuhkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia oleh Dewan

Koperasi Indonesia (Dekopin) di Bandung Juli l953. Gagasan koperasimemang dimasukkan Bung Hatta dalam pasal 33 UUD 45. Hatta tertarikpada koperasi setelah menyaksikan keberhasilan usaha ini di negara-negara Skandinavia yang ia kunjungi, khususnya Denmark pada tahunl930-an. Dengan demikian, Bung Hatta sebenarnya hanya meneruskan

4. Syahrir, “Ideologi Hatta Ideal, Tetapi Masih Relevankah,” Kompas, 9/8/02.5. Syahrir, ibid..

Page 78: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

78 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

tradisi pemikiran ekonomi sebelumnya. Walaupun Bung Hatta seringmengaitkan koperasi dengan nilai lembaga tradisional gotong-royong,ia mempersepsikan koperasi sebagai sebuah organisasi ekonomi modernyang berkembang di Eropa Barat. Oleh karena itu, ia pernah membedakanantara “koperasi sosial” yang berdasarkan gotong royong dengan“koperasi ekonomi” yang berdasarkan asas ekonomi pasar yang rasionaldan kompetatif. Bagi Bung Hatta, koperasi bukan lembaga yang antipasardan nonpasar dalam masyarakat tradisional. Dalam pandangannya,koperasi adalah lembaga self help; lapisan masyarakat lemah atau rakyatkecil bisa mengendalikan pasar melaluinya. Oleh sebab itu, koperasi harusbisa bekerja dalam sistem pasar dengan menerapkan sistem efisiensi.6

KONSEP KENEGARAAN HATTAAdnan Buyung Nasution dalam disertasinya yang berjudul “Aspirasi

Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atasKonstituante l956-l959,” menemukan sejumlah langkah yangmemperlihatkan keterlibatan Hatta dalam mendekatkan cita-cita menujunegara demokrasi konstitusional itu, yaitu mengeluarkan:(1) Maklumat X 16 Oktober l945 yang melepaskan penumpukan

kekuasaan MPR dan DPR di tangan presiden yang memgang kendalieksekutif, kelembagaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

(2) Manifesto Politik 1 November yang berisi asas-asas dasar negarayang telah disetujui Badan Pekerja KNIP.

(3) Maklumat 3 November l945 tentang seruan pembentukan partai-partai politik.

(4) Dekrit Pemerintah 14 November l945 tentang pembentukan KabinetParlementer.

(5) Janji melaksanakan pemilihan umum.

Hatta juga secara realistis telah melihat bahwa wilayah Indonesiaadalah eks-Hindia Belanda. Sementara itu sebagian pemimpin Indone-sia masih beromantika ke masa lalu ketika Nusantara berjaya. PandanganHatta yang realistis ini bertentangan dengan pandangan Soekarno danMuhammad Yamin yang bagi Hatta, sama saja dengan praktikimperialisme yang bertahun-tahun justru mereka tentang.

Paling tidak jejak pemikiran Hatta yang tertuang dalam Undang-undang Dasar l945 mencakup tiga hal. Pertama, dalam naskah

6. Dawan Rahardjo, ”Apa Kabar Koperasi Indonesia,” Kompas, 9 /8/02.

Page 79: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

79Junarto Imam Prakoso, Memahami Pikiran, Ucapan

Mukaddimah. Kedua, pada pasal-pasal yang menyangkut hak-hakwarganegara yang meliputi pasal 26, pasal 27, dan pasal 28. Ketiga,yang berkaitan dengan jaminan negara atas kesejahteraan rakyat(demokrasi ekonomi) yang meliputi pasal 33 dan 34. Keempat,kepiawaian Hatta mempengaruhi tokoh-tokoh Islam agar mencabut tujuhkata bersyarat dalam naskah Pembukaan Undang-undang Dasar l945yang semula berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islambagi pemeluk-pemeluknya,” menjadi kata “Ketuhanan Yang MahaEsa.”

Menurut Adnan Buyung Nasution, dalam hal ini Hatta memilikipertimbangan objektif dan subjektif . Pertimbangan objektifnya, beberapawilayah Indonesia yang bukan basis Islam tidak akan bersediamenggabungkan diri ke wilayah Indonesia. Sementara itu pertimbangansubjektifnya, penghayatan Hatta yang mendalam akan hakikat demokrasiselama ia tinggal di Eropa, yang menempatkan agama sebagai urusanpribadi yang terpisah dari campur tangan negara. Pencatuman kata syariatIslam juga menunjukkan sikap diskriminatif terhadap golongan minoritasyang bukan Muslim. Dalam “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasarl945 yang disusun Muhammad Yamin dan risalah “Sidang BPUPKIdan PPKI” terbitan Sekretariat Negara, terlihat pemikiran-pemikiran Hattayang rasional saat pembahasan mengenai Undang-Undang Dasar l945,khususnya mengenai kekuasaan yang harus dibatasi sejalan dengan konsepnegara demokrasi konstitusional.

Menurut Adnan, Hatta telah memberikan sumbangsih bagi eksistensinegara ini dengan pondasi negara demokrasi, dan juga praktikketatanegaraan. Hatta telah melakukan terobosan konstitusi, bukan sajamengenai apa yang tertulis dan dirumuskan dalam pasal-pasalnya,melainkan juga aspirasi nilai-nilai dan norma-norma kehidupanbernegara dan berbangsa yang dicita-citakan maupun yang dipraktikkandalam kehidupan nyata.7

* * ** * ** * ** * ** * *

7. Adnan Buyung Nasution, “Jejak Pemikiran Hatta dalam UUD l945,” Kompas, 9/8/02. s

Page 80: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

80 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Setelah Soekarno dan Hatta, tokoh nasional paling berpengaruhmenjelang dan selama masa pergolakan senjata untuk mempertahankankemerdekaan adalah Soetan Sjahrir. Berbeda dengan Soekarno dan Hattayang cenderung lebih memilih untuk bekerjasama dengan pemerintahanfasis-imperialis Jepang sebagai salah satu taktik untuk mencapaikemerdekaan Indonesia, Sjahrir sebaliknya lebih memilih taktik nonkooperasi dengan Negeri Matahari Terbit tersebut.

Pemerintahan Jepang, bagi Sjahrir, tidak lebih baik dari pemerintahankolonial-imperialis Belanda. Kritik pedas Sjahrir tersebut dengan jelasdapat dibaca pada surat-suratnya yang ditujukan kepada isterinya daritempat pengasingan di Bandanaira, Pulau Banda Maluku tertanggal 28Juni 1936.1

Dalam surat tersebut Sjahrir mengkritisi kehangatan hubungan antarapara pejuang nasional kemerdekaan yang telah termakan propaganda

SJSJSJSJSJAHRIR DAHRIR DAHRIR DAHRIR DAHRIR DANANANANANSOSIALISME INDONESIASOSIALISME INDONESIASOSIALISME INDONESIASOSIALISME INDONESIASOSIALISME INDONESIA(PERD(PERD(PERD(PERD(PERDANANANANANA MENTERI, 1A MENTERI, 1A MENTERI, 1A MENTERI, 1A MENTERI, 14 NO4 NO4 NO4 NO4 NOVEMBER 1VEMBER 1VEMBER 1VEMBER 1VEMBER 19999945 – 2645 – 2645 – 2645 – 2645 – 26JUNI 1JUNI 1JUNI 1JUNI 1JUNI 199999444447)7)7)7)7)

Teguh Apriliyanto – Tata Mustasya

Telaah

1 Ken’ichi Goto. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: YayasanObor Indonesia: 435 – 438.

Page 81: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

81Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme

Jepang. Negeri ini selalu menggembar-gemborkan selaku pemimpin Asiasekaligus siap membebaskan bangsa-bangsa Asia dari cengkeramanimperalisme Barat dalam satu komunitas Asia Timur Raya. Di sisi lain,di dalam surat itu, Sjahrir justru telah mencium adanya gejala benih-benih imperalisme-fasisme bangsa Jepang yang tidak kalah berbahayanyadibandingkan kolonialisme Belanda.

Kekaguman sejumlah tokoh nasional kepada Jepang memangmemiliki landasan objektif cukup kuat. Keberhasilan Jepang mengalahkanRusia dalam Perang Jepang – Rusia pada 1908 mampu membangkitkankepercayaan diri bangsa Asia lainnya. Mereka berpikir sesungguhnyatidak lebih inferior dibandingkan bangsa Barat. Secara ekonomi, Jepangjuga menunjukkan kemajuan mengesankan. Selaku ekonom, selaintertarik dengan ide Pan-Asia yang dipropagandakan Jepang, Bung Hattamisalnya, juga tertarik secara ilmiah untuk mempelajari perkembanganekonomi Jepang.

Bertolak belakang dengan sikap Hatta, Sjahrir justru melihat adanyabahaya ancaman Jepang semakin nyata terlebih-lebih setelah Jepangmengumumkan kebijakan nanshin (teori ekspansi ke selatan), setelahsebelumnya berhasil membentuk negara boneka di Manchuria, Korea,Formosa, dan mengumumkan Perang Jepang-Tiongkok.

Bagi Sjahrir yang begitu terpengaruh dengan nilai-nilai Barat baikdalam hal rasionalisme dan demokrasi, Jepang tidak lain adalah negaratotaliter di Asia Timur yang sangat menonjol sifat ultra-nasionalismenya.

Dalam konteks politik global, Sjahrir melihat adanya kecenderunganpertentangan antara totaliterisme dan demokrasi baik di Eropa yangdiwakili Jerman dan di Asia yang diperlihatkan Jepang. Karena itu,Sjahrir berpendapat, untuk melindungi demokrasi, kalau perlu Indone-sia untuk sementara waktu harus mengekang diri dalam menuntutkemerdekaan kepada Belanda yang ia nilai sebagai negara demokrasi,dan bersama-sama Belanda berdiri pada kaki yang sama melawanmusuh.

Posisi kritis Sjahrir terhadap Jepang tersebut, sangat penting bagiperjalanan kemerdekaan Indonesia ke depan. Setelah rakyat Indonesiayang diwakili atas nama Soekarno-Hatta memproklamasikankemerdekaan pada 17 Agustus 1945, mengakibatkan munculnyasejumlah pilihan-pilihan sulit bagi para tokoh nasional saat itu. Inidisebabkan karena adanya penentangan terhadap sejumlah tokoh yangsebelumnya dikenal melakukan kerjasama erat dengan Jepang.

Page 82: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

82 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Selain itu, ada faktor lain yang lebih menyulitkan bagi RepublikIndonesia yang baru lahir tersebut. Belanda dan para sekutu Baratnyatidak mengakui keberadaan RI. Hal ini semakin dipertegas dengankedatangan tentara Inggris untuk melucuti tentara Jepang yangselanjutnya diikuti tentara Belanda.

Karena Soekarno-Hatta yang sebelumnya dianggap telah melakukankerjasama dengan pemerintah Jepang, maka selanjutnya kekuasaanpemerintahan diserahterimakan ke Sjahrir yang konsisten melakukanperlawanan di bawah tanah pada masa fasis Jepang pada Oktober 1945.Sjahrir diangkat menjadi Perdana Menteri mulai November 1945 danterus bertahan sampai Juni 1947.

Bersama-sama dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sjahrirbahu membahu berjuang menyelamatkan nyawa RI yang masih ‘bayi’tersebut melalui serangkaian perjanjian alot dengan Belanda.2 Merekamendesak Belanda beserta para sekutu-sekutunya, terutama AmerikaSerikat, untuk konsisten dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, sebagainegara penegak semangat dan nilai-nilai demokrasi agar secara konsistenmengakui keberadaan kemerdekaan Republik Indonesia.

Di era genting seperti inilah, jiwa kenegarawanan Sjahrir tampak.Ia membuktikan dirinya tidak hanya sebagai salah satu tokoh nasionaltetapi sekaligus seorang demokrat karena telah mengijinkan terbentuknyapartai-partai politik baru. Kebijakan Sjahrir tersebut sekaligus mengakhirikeinginan aspirasi sebagian tokoh nasional, diantaranya Soekarno yanglebih condong untuk membentuk sebuah partai tunggal.

Gagasan Sjahrir tersebut selanjutnya dituangkan oleh parapemimpin pemerintahan waktu itu, dan dikenal dengan ‘ManifestoPolitik November 1945’. Keputusan politik ini selanjutnya disahkan olehBadan Pekerja Panitia Nasional Pusat atau Parlemen dan ditandatanganiWakil Presiden Mohammad Hatta sekaligus disiarkan pada lembaranberita negara pada 1 November 1945.3

Di dalam manifesto tersebut ditegaskan, Belanda secara moral tidakberhak untuk kembali ke Indonesia karena telah menyerahkan Indone-sia pada 9 Maret 1942 kepada Jepang tanpa perlawanan. Kondisi Indo-nesia di bawah pemerintahan Jepang justru tidak lebih baik danbertentangan dengan propaganda yang telah digembar-gemborkan Jepang

2 Herbert Feith dan Lance Castles. (edts.). Pemikiran Politik Indonesia. 1945 – 1965.Jakarta. LP3ES: 2.

3 Manifesto Politik November 1945. 1963. Illustration od the Indonesia Revolution.Jakarta. Departemen Penerangan.

Page 83: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

83Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme

sebelumnya. Rakyat jelata diperbudak dengan kerja paksa. Hasil bumidirampas dan kaum terpelajar dipaksa berdusta dan menipu di bawahgenggaman militerisme.

Semua kekejaman dan kekerasan penjajahan Jepang tersebut justrumembuat rakyat dan bangsa Indonesia belajar menghargai dirinya sendirisekaligus mempertajam kesadaran kebangsaan terhadap Jepang danbangsa lainnya. Karena itu di akhir manifesto ditegaskan bahwa bangsadan rakyat Belanda harus mempertimbangkan dua pilihan dengansungguh-sungguh.

Pertama, apakah bangsa dan rakyat Belanda mendukung ambisisebagian kecil kaum kapitalis dan penjajah yang pendiriannya lebihdidorong oleh kepentingannya sendiri. Jika posisi ini yang dipilih, makaBelanda harus siap-siap mengorbankan ribuan penduduknya dalamberikhtiar untuk kembali menaklukkan Indonesia yang telahmemproklamirkan kemerdekaannya.

Pilihan kedua, apakah bangsa Belanda menerima dan menyesuaikandiri dengan kenyataan sejarah berupa jalan damai sehingga kepentinganBelanda di Indonesia tetap terjaga sekaligus memungkinkan warganegara Belanda beserta keturunannya di Indonesia dapat hidup selamatdan terus mencari nafkah.

Sosialisme DemokratPemikiran kebangsaan Sjahrir memang lebih diwarnai ide-ide Barat.

Ini tidak mengherankan karena ia dan sejumlah tokoh nasionalis lainnyaadalah produk pendidikan Belanda. Ia pun sempat menjadi SekretarisJenderal Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda dimanaalumnusnya banyak menjadi tokoh-tokoh nasionalis dalam pergerakankemerdekaan Indonesia.

Bersama Hatta, Sjahrir akhirnya mendirikan Pendidikan NasionalIndonesia (PNI Baru) sekembali dari Belanda pada 1932. Organisasi inibertujuan untuk mencetak kader politik yang matang, mandiri dan dapatmeneruskan kegiatan nasionalis meskipun para pemimpinnyadisingkirkan dan diasingkan. Kekhawatiran Hatta dan Sjahrir punmenjadi kenyataan karena pada 1934 mereka ditangkap dan dibuangoleh Belanda ke Digul Irian Jaya sebelum dipindahkan ke Bandanairadi Pulau Banda Maluku. Keduanya baru dilepaskan beberapa saatmenjelang serbuan Jepang ke Indonesia.

Melalui PNI Baru inilah, baik Sjahrir dan Hatta meletakkan dasar-

Page 84: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

84 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

dasar ideologi sosialisme demokrat yang memang dapat diterima luaspada masa tersebut.4 Ideologi sosialisme demokrat Sjahrir dan parapengikutnya tersebut lebih dipengaruhi gagasan sosialisme demokrat yangberkembang di Eropa Barat. Faham ini berbeda dengan faham sosialislainnya, khususnya dari blok negara komunis karena faham sosialismeSjahrir juga memberi ruang kepada kebebasan individu, keterbukaanterhadap arus intelektual dunia, modernitas dan penolakan terhadapobscruantisme, chauvinisme, dan ‘kultus individu’. Tidak mengherankanjika sebagian analis politik mengklasifikasikan faham sosialisme Sjahrirsebagai sosialisme liberal. Namun kata liberal di Indonesia waktu itukurang diterima luas karena biasanya dikaitkan dengan fahamkapitalisme.

Tidak heran jika setelah kemerdekaan pun Sjahrir terus mengusungfaham sosialisme dan mendirikan Partai Sosialis bersama AmirSjarifuddin yang condong ke arah komunisme. Selama kurun waktu1945 – 1947, Partai Sosialis menjadi salah satu partai terkuat di Indone-sia. Keduanya memiliki “platform” sama yaitu berjuang melawan fahamotoriter peninggalan kolonial Jepang sekaligus mencegah kembalinyaBelanda.

Adapun sosialisme kerakyatan yang diperjuangkan PSI adalahsosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, denganmengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia dan orangseorang sekaligus penghargaan pada pribadi orang seorang di dalampikiran serta di dalam pelaksanaan sosialisme.

Sosialisme, menurut PSI, tidak lain daripada penyempurnaan dansegala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaankemanusiaan yang sebenarnya karena dapat menghasilkan kebajikandan keindahan nilai-nilai kemanusiaan. Penafsiran PSI tersebut yangmenafsirkan kemanusiaan dari sudut kepentingan individu perseorangansebagai hal utama bukannya aspek kolektivitas, jika dikaji lebih lanjutmerupakan penyempalan dari inti ajaran Marx dan Engels. Sebab, jikadikaji lebih mendalam, penghormatan atas nilai-nilai individualsesungguhnya mirip dengan nilai-nilai individualisme yang dianut Barat.

Gagasan Sjahrir tentang sosialisme kerakyatan dan dalam kaitannyadengan maraknya semangat nasionalisme di antara bangsa-bangsa didunia pada dekade 1950-an, ia tuangkan dalam pidato di Konferensi

4 Herbert Feith dan Lance Castles. (edts.). Pemikiran Politik Indonesia. 1945 – 1965.Jakarta. LP3ES: 227.

Page 85: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

85Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme

Sosialis Asia Pertama di Rangoon Burma pada Januari 1953. Padakesempatan ini, ia juga menguraikan bagaimana menempatkan nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme dalam tata pergaulan bangsa-bangsadi dunia (internasionalisme).5

Pada awal pidato, Sjahrir menguraikan munculnya gejala semangatkebangsaan di seluruh sudut dunia tidak kecuali di Eropa Barat yangterpecah-pecah menjadi puluhan negara setelah melewati berbagaipeperangan. Sjahrir melihat di antara bangsa-bangsa di Eropa Baratadanya kecenderungan untuk bergerak ke arah satu komunitas bersama.Kendati antar mereka saling berperang tetapi Eropa sesungguhnyamewarisi satu kebudayaan yang relatif sama.

Semangat kebangsaan di Eropa Barat ini berbeda dengan semangatkebangsaan di negara-negara Asia dan Afrika yang masih terjajah.Nasionalisme di kawasan ini memiliki sifat berbeda karena negara-negaradi kawasan ini justru baru memimpikan eksistensi sebuah bangsa yangmerdeka. Menurut Sjahrir, nasionalisme di negara-negara terjajah adalahsebuah perjuangan melawan nasionalisme yang agresif, ekspansif, danimperialistis, yang memperlakukan negara-negara terbelakang sebagaimangsa, barang rampasan, yang harus dimiliki, atau paling tidak dibagi-bagi antar mereka.

Nasionalisme negara terjajah, tandas Sjahrir, adalah perjuanganmenghapus politik bermuka dua negara-negara Barat sekaligus menuntutdiperlakukannya norma-norma demokrasi yang dipergunakan Barat jugadipergunakan terhadap nasionalisme rakyat negara-negara terjajah.

Bagi rakyat negara terbelakang dan terjajah, Sjahrir berpendapatbahwa nasionalisme menduduki posisi begitu mulia karena dapat menjadisumber kehidupan sekaligus sumber kekuatan baru karena menghasilkanenergi dan kepercayaan diri yang luar biasa besar sehingga mereka dapatmenciptakan sebuah kehidupan yang lebih baik sekaligus mengejarketertinggalan dari negara-negara maju.

Tetapi bagi negara-negara yang telah mengenyam kemerdekaan, jikatidak pandai-pandai mengendalikan diri, nasionalisme justru dapatmenjelma menjadi keangkuhan patologis dan bahkan bisa bergerak kearah ekstrim ultra nasionalisme seperti ditunjukkan oleh Hitler.

Oleh karena itu, Sjahrir menegaskan perlunya penyesuaian nilai-nilai nasionalisme agar dapat disesuaikan dengan kepentingan

5 Sutan Sjahrir. 1953. Nasionalisme dan Internasionalisme. Konferensi Sosialis Asia Pertama.Rangoon Burma.

Page 86: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

86 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

kemanusiaan, perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran bersama. Jikahal ini gagal dilakukan, Sjahrir memperingatkan bahwa nasionalismeakan mudah tergelincir menjadi kekuatan konservatif reaksioner penuhintoleransi dan pemujaan diri berlebihan.

Berlawanan dengan aspek nasionalisme, di sisi kutup lainnya, Sjahrirmelihat adanya aspek internasional yang justru menjadi faktor yang lebihrasional dan dapat dikembangkan untuk kepentingan umat manusiayang lebih hakiki. Sjahrir lalu mengemukakan bahwa konsepinternasionalisme Marx dan Engels sesungguhnya dapat menjadi salahsatu jalan keluar.

Menurut Sjahrir sosialisme Marx dan Engels sesungguhnyamenggambarkan sebuah internasionalisme tanpa negara karenamenggambarkan adanya sebuah barisan bersama dari kelas-kelas buruhdan proletar yang telah melintasi batas negara untuk melawan kelaskapitalis yang juga telah menyatu di seluruh negara sekaligus telahmelintas batas. Internasionalisme Marx dan Engels, bagi Sjahrir, dapatterwujud melalui sebuah revolusi dunia sehingga dapat menghasilkansebuah pemerintahan dunia, yaitu berupa pemerintahan diktator duniadari kaum proletar.

Sjahrir lalu mengkritik sistem komunisme ala Uni Soviet. MenurutSjahrir, di awal revolusi di Uni Soviet yaitu ketika masih dipimpin Lenin,negeri tersebut masih mengarahkan energinya untuk mencapai sebuahinternasionalisme Marx dan Engels di atas. Prinsip Lenin ini jugadipegang Trotzky. Namun, setelah Stalin menancapkan kekuasaannya,Sjahrir tidak lagi melihat cahaya internasionalisme yang ia impi-impikanitu bersinar lagi dari bumi Soviet.

Di tangan Stalin, Sjahrir melihat adanya dominasi bangsa dannegara Rusia terhadap gerakan sosialisme dunia. Internasionalisme Marxdan Engels telah berubah wujud menjadi nasionalisme Rusia yangmemaksa kaum buruh dan gerakan-gerakan nasional di negara-negarajajahan dan terbelakang, untuk dipaksa tunduk pada nasionalisme Rusia.

Karena itu, Sjahrir berpendapat persoalan internasionalisme padadekade 1950-an adalah bagaimana dapat menciptakan sebuah kerjasamayang harmonis antar bangsa berdasarkan pengakuan akan eksistensimasing-masing negara tersebut.

Sjahrir, Demokrat SejatiDari sekian banyak ciri pemikiran dan tindakan yang dapat

Page 87: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

87Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme

menggambarkan Soetan Sjahrir, “demokrat sejati” mungkin merupakandeskripsi yang paling tepat. Penamaan-penamaan ideologi baginya hanyamerupakan instrumen untuk mewujudkan demokrasi yang sejati. Tidakmengejutkan bahwa Sjahrir sering mengkritisi -bahkan dengan sangatkeras- praktik “demokrasi”, “nasionalisme”, dan “sosialisme” yangsebenarnya merupakan ciri aliran politik Sjahrir dan partai politik yangdipimpinnya, Partai Sosialis dan kemudian Partai Sosialis Indonesia(PSI).

Sjahrir, misalnya, mengecam dengan keras praktik demokrasi yangambigu oleh negara-negara Eropa Barat. Menurutnya, negara-negaraEropa Barat menganut demokrasi dan nasionalisme yang moderat didalam negeri tetapi mempraktikkan nasionalisme yang agresif, militan,dan tiranik di negara-negara jajahannya. Sebaliknya, Sjahrir sangatmendukung nasionalisme dalam rakyat terjajah yang memperjuangkaneksistensi nasional yang merdeka. Nasionalisme pada rakyat terjajah,menurutnya, merupakan perjuangan melawan nasionalisme yangbermuka dua dari negara-negara demokrasi Barat untuk menuntut hakpenentuan nasib sendiri serta membebaskan diri dari penindasan daneksploitasi.6

Nasionalisme, bagi Sjahrir, harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan terhadap perdamaian, kemajuan, dankemakmuran. Jika hal tersebut gagal diwujudkan, nasionalisme telahmenjadi faktor yang merugikan, dan konservatif.

Di sisi lain, Sjahrir sangat tidak setuju dengan Marxisme ortodoks.Implementasi ideologi ini dalam bentuk internasionalisme-proletar yangdipelopori Rusia dinilai sebagai suatu etiket yang menyesatkan darinasionalisme Rusia. Lebih jauh lagi, hal tersebut merupakan usaha untukmembuat kaum buruh dan gerakan-gerakan nasional di negara-negarajajahan dan terbelakang untuk tunduk kepada nasionalisme Rusia.

Demokrasi, nasionalisme, internasionalisme, dan sosialismemerupakan hal yang positif dalam pandangan Sjahrir selama hal tersebutdapat memperjuangkan kemerdekaan, ekspresi, dan penentuan nasibsendiri terutama pada rakyat di negara-negara yang tertinggal. Demokrasidan nasionalisme yang menonjolkan egotisme seperti yang dipraktikkannegara-negara Eropa Barat -alih-alih memberikan manfaat bagikemerdekaan dan persamaan umat manusia- malah bersifat destruktif.

6 Herbert Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945—1965, (Jakarta:LP3ES, 1988), hlm. 235.

Page 88: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

88 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Sama halnya dengan internasionalisme yang menafikan keberadaannegara-negara sebagai suatu realitas dan ekspresi kepribadian sertaindividualitas rakyat di negara-negara tersebut.

Pemikiran Sjahrir juga menjangkau bagaimana seharusnyahubungan antar negara-negara terjadi yang masih relevan hingga saatini. Menurutnya, suatu bangsa tidak mungkin memaksakan kehendaknyakepada bangsa lain. Dalam hubungannya dengan nasionalisme, Sjahrirmenyatakan bahwa nasionalisme harus membuat manusia sadar akanperlunya kerjasama internasional untuk kepentingan mereka sendiri.Nasionalisme juga harus mencegah bentrokan kehendak dan ketegangan-ketegangan antar negara-negara.

Hal tersebut dipraktikkan Sjahrir sebagai perdana menteri. Diamenegaskan bahwa tidak ada kemungkinan kompromi dalam hal hakmenentukan nasib sendiri (self-determination). Namun ditegaskan, diatidak akan mengganggu kepentingan Belanda di Indonesia selamakepentingan Belanda tersebut tidak bertentangan dengan kepentinganumum.7

Sjahrir juga tegas dalam menyikapi nasionalisme yang berlebihandari rakyat Indonesia. Dia memberikan instruksi kepada Menteri DalamNegeri dan Menteri Kehakiman, seperti dikutip majalah Pantja Raja, 15April 1946 sebagai berikut:

Kedua kementrian itu harus mengambil tindakan-tindakan yangtepat terhadap perbuatan yang tak senonoh terhadap warga negara bangsaasing yang bersahabat dengan kita. Jika seorang Tionghoa atau bangsalain berbuat salah, ia diperlakukan menurut hukum. Perbuatan disertaidengan pelanggaran hukum pidana, seperti perampokan, pencurian, ataupemerasan dengan memakai nama negara dan bangsa harus dihukumseberat-beratnya.8

Sjahrir menekankan peran penting Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) untuk berkembang menjadi organisasi dunia yang bertugasmengawasi pergaulan hidup yang teratur dan damai di antara bangsa-bangsa dan negara-negara. Dalam jangka panjang, menurutnya, PBBdapat mengemban tugas yang lebih positif, seperti menghilangkanpenyebab-penyebab ketidakpuasan di antara bangsa-bangsa.

Sjahrir menyoroti peran-peran masa depan PBB dalammenyelesaikan ketidaksamaan dan ketidakadilan distribusi produksi

7 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, Kronik RevolusiIndonesia, Jilid II (1946), (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 41.

8 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, op.cit, hlm. 159.

Page 89: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

89Teguh - Tata, Sjahrir dan Sosialisme

dunia. Selain itu, organisasi internasional seperti PBB harus dapatberperan dalam mengatasi penghisapan suatu bangsa oleh bangsa yanglain dan peningkatan taraf kehidupan negara-negara tertinggal ke arahyang lebih baik. Tujuan akhirnya adalah keadilan dan keamanan diantara bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia.9

Dalam permasalahan ekonomi, Sjahrir melihat adanyaketergantungan yang kuat antara satu negara dengan negara yang lain.Perdagangan luar negeri, seperti antara negara industri maju dengannegara berkembang agraris, merupakan suatu kebutuhan bagi negara-negara tersebut. Hubungan antara negara maju dengan negara tertinggaljuga penting dilakukan untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologisehingga negara-negara tersebut -terutama negara-negara bekas jajahan-dapat mengejar ketertinggalannya.

Hubungan ekonomi antarnegera, menurut Sjahrir, harus dilakukandalam posisi yang setara dan saling menguntungkan. Dia menekankanpentingnya mencapai kemerdekaan ekonomi setelah berhasilmewujudkan kemerdekaan politik bagi suatu negara.

Sjahrir merealisasikan pemikirannya tersebut ketika dia menjabatsebagai perdana menteri antara 14 November 1945 sampai dengan Juni1947. Salah satunya adalah kebijakan bantuan padi sebanyak 500.000ton untuk membantu pemerintah dan rakyat India mengatasi bahayakelaparan. Bantuan tersebut merupakan realisasi perjanjian yangditandatangani oleh Sjahrir dan wakil pemerintah India K.L Punjabipada tanggal 18 Mei 1946. Perjanjian tersebut merupakan barter di manaIndia membayar padi tersebut dengan alat tenun, alat-alat pertanian,dan ban mobil.10

Barter tersebut merealisasikan beberapa pemikiran politik danekonomi Sjahrir. Pertama, ker jasama perdagangan yang salingmenguntungkan antar negara. Kedua, kerjasama dan saling membantudi antara negara-negara untuk mengatasi berbagai permasalahan,termasuk permasalahan ekonomi. Ketiga, sebagai bagian dari perjuanganmempertahankan kemerdekaan untuk membantah propaganda Belandayang menyatakan sedang terjadi bahaya kelaparan di Indonesia.Keempat, barter tersebut merupakan pengakuan resmi pertama dari duniainternasional bagi Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.11

9 Herbert Feith dan Lance Castles (ed), op.cit,, hlm. 239—240.10 —, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949, (Jakarta: Tira Pustaka, 1983), hlm. 108.11 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, op.cit, hlm. 330.

Page 90: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

90 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Sjahrir dengan tegas menolak autarki dalam bentuk negara-negarayang menutup perekonomiannya terhadap dunia luar. Baginya, haltersebut tidak hanya akan menghilangkan kemungkinan kerjasama antarnegara yang saling menguntungkan, tetapi juga akan menimbulkanretaliasi atau tindakan balasan yang menciptakan ketegangan-keteganganlebih lanjut. Dalam kaitannya dengan nasionalisme yang menonjolkanegotisme pada negara-negara Eropa Barat, Sjahrir melihat kebutuhanmendesak terhadap berdirinya serikat negara-negara Eropa -yang saatini sudah terwujud dalam bentuk Uni Eropa- terhalang oleh nasionalismeyang sempit tersebut.

Malangnya, Sjahrir yang memperjuangkan demokrasi justru tidak“diuntungkan” oleh demokrasi itu sendiri. Partai Sosialis, yangdipimpinnya bersama dengan Amir Sjarifuddin, memang merupakanpartai yang kuat antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1947. Padasaat partai tersebut mengalami perpecahan dan disusul denganpembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berhaluan komunisoleh Amir dan kelompoknya pada 28 Juni 1948, Sjahrir beserta kawan-kawan terdekatnya mendirikan PSI.

PSI ternyata gagal mendapatkan simpati yang luas dari masyarakat.Partai ini bersifat elitis dan hanya mampu terlibat dalam debat-debatyang bersifat intelektual. Puncaknya adalah kegagalan PSI untukmemperoleh suara yang signifikan pada Pemilihan Umum (Pemilu)Pertama pada tahun 1955. Pada tahun 1960, Presiden Soekarnomembubarkan PSI. Sjahrir sendiri ditangkap dan dipenjarakan daritahun 1962 sampai dengan tahun 1966. Setelah dibebaskan, Sjahrirpergi ke Zurich, Swiss untuk berobat dan meninggal di sana pada tahunitu juga.

* * ** * ** * ** * ** * *

Page 91: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

91Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi

Menyelami pemikiran Natsir baik soal kebangsaan, Islam, maupundemokrasi tidak bisa dilepaskan dari sepak terjangnya di dalam gerakanuntuk mencapai kemerdekaan maupun langkah-langkah politik ketikaia memimpin Partai Masyumi. Natsir memang sosok yang lengkap.Pemikiran besar Natsir yang orisinil, segar dan kreatif tidak hanyaberhenti dalam bentuk wacana debat untuk konsumsi elite intelektualtetapi langsung ia aplikasikan dalam politik praktis kebangsaan dankemasyarakatan. Tidak mengherankan jika sampai detik ini, rasanyatidak ada satu tokoh Islam pun di Indonesia yang mampu menggantikanposisi Natsir tersebut.

Berpijak atas kondisi objektif tersebut, maka jika ingin mengkajipemikiran Natsir, tidaklah lengkap tanpa melihat perjalanan sejarah hidupnegarawan kelahiran Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat pada 1908ini.

MOHAMMAD NAMOHAMMAD NAMOHAMMAD NAMOHAMMAD NAMOHAMMAD NATTTTTSIR: ISLSIR: ISLSIR: ISLSIR: ISLSIR: ISLAM,AM,AM,AM,AM,KEBKEBKEBKEBKEBANANANANANGSGSGSGSGSAANAANAANAANAAN, D, D, D, D, DAN DEMOKRASIAN DEMOKRASIAN DEMOKRASIAN DEMOKRASIAN DEMOKRASI(PERD(PERD(PERD(PERD(PERDANANANANANA MENTERI NKRI, 6 SEPTEMBER 1A MENTERI NKRI, 6 SEPTEMBER 1A MENTERI NKRI, 6 SEPTEMBER 1A MENTERI NKRI, 6 SEPTEMBER 1A MENTERI NKRI, 6 SEPTEMBER 1950 –950 –950 –950 –950 –222227 APRIL 17 APRIL 17 APRIL 17 APRIL 17 APRIL 195959595951)1)1)1)1)

Teguh Apriliyanto

Telaah

Page 92: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

92 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Tentang Islam dan KebangsaanBerdiri tegaknya negara kesatuan RI tidak bisa dilepaskan dari peran

umat Islam yang komposisinya mencapai lebih dari 88 persen pendudukIndonesia. Serangkaian pemberontakan yang telah dikobarkan melawanBelanda selama berabad-abad adalah membawa bendera Islam. Ituseperti tampak pada perjuangan Teuku Cik Di Tiro di Aceh, SultanHasanudin di Sulawesi Selatan, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengahmaupun Imam Bonjol di Sumatera Barat. Memasuki abad ke-20,organisasi massa yang mampu mendapat pengikut secara massif adalahSarekat Islam yang didirikan oleh Haji Oemar Said Tjokroaminotopada 1912.

Sayangnya pengaruh organisasi ini di arena politik meredup padadekade 1920-an. Sebaliknya organisasi Islam yang berjuang untuk tujuansosial kemasyarakatan justru berkembang pesat melalui Muhammadiyah(1912) yang berjuang untuk pembaharuan dan pemurnian Islam danNahdlatul Ulama (NU) pada 1926 yang didirikan oleh ulama ortodoksdari pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu juga berdiriPersis yang dipimpin A. Hassan di Bandung, Perti dan Al Washliyah diSumatera. Organisasi-organisasi tersebut di jaman Jepang bersatumembentuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yangakhirnya berubah menjadi partai politik pada 7 November 1945.

Setelah Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945,melalui perdebatan dan musyawarah akhirnya disepakati Pancasilasebagai dasar negara, bukannya Islam. Kendati demikian, organisasi-organisasi Islam, paling tidak sampai 1959 terus berusaha mengusungprinsip-prinsip Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Namun, diantara mereka tidak ada kesepakatan apakah perjuanganpenegakkan prinsip-prinsip Islam akan diformalkan dalam bentuk negaraIslam atau melakukan perjuangan melalui pembuatan produk perundang-undangan yang lebih aspiratif sesuai prinsip-prinsip Islam di Parlemen.

Sekelompok kecil umat Islam memilih gerakan bersenjata untukmendirikan sebuah ‘negara Islam’ seperti dilakukan S.M. Kartosuwirjomelalui gerakan Darul Islam di Jawa Barat maupun pemberontakanTeungku Daud Beureueh di Aceh pada 1953.

Sebagian besar kelompok umat Islam lainnya memilih cara-caraperjuangan melalui jalur konstitusional. Di sinilah peran dan posisi Natsirbegitu menonjol dan semakin menguasai Masyumi. Kondisi ini rupanyatidak memuaskan sejumlah kalangan di lingkungan NU sehingga mereka

Page 93: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

93Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi

memilih keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU pada 1952.Suara umat Islam tak terelakkan terpecah pada Pemilu demokratispertama pada 1955. Baik Masyumi (20,9 persen) dan NU (18,4 persen)muncul sebagai empat besar partai pemenang pemilu selain PNI (22,3persen) dan PKI (16,4 persen). Namun, secara keseluruhan perolehansuara umat Islam masih belum menggembirakan karena kendati semuasuara parpol Islam digabungkan, ternyata masih belum cukup mencapaimayoritas.

Dalam perkembangannya, Masyumi dan NU mengambil peranberbeda. NU lebih condong bekerjasama sama dengan unsur-unsurnasionalis seperti PNI. Demokrasi Terpimpin Soekarno termasuk tentangNasakom (Nasionalisme-Agama-Komunis). Sedangkan Masyumidengan tokoh utamanya Natsir memilih bersikap kritis terhadap konsepSoekarno tersebut.

Islam, bagi Natsir, adalah pedoman hidup. Kendati punyakesempatan meraih gelar Mister, setelah menamatkan pendidikansetingkat SLTP di jaman Belanda, ia lebih memilih belajar menjadipendidik sekaligus aktif di dalam organisasi Islam pimpinan ulama besarA. Hassan di Bandung pada 1932 –1945. Ia pun aktif di dalam kepanduanNationale Islamitsche Padvindrij dan organisasi kepemudaan JongIslamieten Bond (JIB). Tidak heran jika setiap gerak langkah politikNatsir selalu dibingkai nilai-nilai religiositas begitu kuat, khususnya nilai-nilai Islam.

Selaku Ketua Umum Partai Masyumi dan langsung memimpinFraksi Masyumi di Parlemen, Natsir dengan lantang mengingatkanbahaya sekularisme dalam Sidang Konstituante pada 12 November 1957.Sekularisme, menurut Natsir, adalah cara hidup yang mengandungpaham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Karenaitu sekularisme tidak mengenal konsep akherat, Tuhan dan sejenisnya.Kalaupun ada yang mengakui keberadaan Tuhan, lanjut Natsir, penganutsekulerisme tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa denganTuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari maupundalam bentuk hubungan jiwa melalui do’a atau ibadah lainnya.

Penganut sekularisme, papar Natsir juga memiliki banyak ukuranuntuk menilai sesuatu hal. Ia memberikan satu contoh sederhana tentangfenomena hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa sebuahikatan perkawinan. Bagi penganut faham sekularisme, urai Natsir, adakelompok yang berpendapat hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena

Page 94: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

94 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

melanggar susila tetapi di sisi lain ada pihak yang berpendapat kondisitersebut dapat dimengerti. Negara, tegas Natsir, harus mampu menentukansikap tegas dalam situasi pertentangan seperti ini.

Kondisi yang penuh kontradiksi seperti di atas, bagi Natsir, tidakakan menjadi persoalan membingungkan jika posisi negara jelasberlandaskan nilai-nilai agama. Manusia, urai Natsir, membutuhkansuatu pegangan hidup yang asasnya tidak mudah berubah. Jika tidak,maka manusia tersebut akan begitu rapuh mengalami goncangan rohani.

Adapun hal paling berbahaya akibat pengaruh faham sekularisme,menurut Natsir, adalah menurunkan sumber-sumber nilai hidup manusiadari taraf ke-Tuhanan menjadi taraf kemasyarakatan semata. Inidisebabkan karena nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjungtinggi sebagai hasil ciptaan Tuhan tetapi semata-mata hanya sebagai alatkarena semuanya adalah hasil produk konstruksi akal manusia. Bagipengagum faham sekularisme, tandas Natsir, agama dan faham akanwujud Tuhan adalah relatif, yakni boleh berganti-ganti menurut ciptaanmanusia. ‘’Begini boleh. Begitu juga boleh,” tandasnya.

Pandangan Natsir soal Islam dan Kebangsaan tersebut sesuai dengandasar-dasar pendirian Partai Masyumi. Ketika menyampaikan pidatohari jadi Masyumi ke-11 pada 7 November 1956 Natsir mengungkapkanMasyumi didirikan di tengah-tengah peperangan menentang tentarakolonial Belanda yang ingin kembali menancapkan penjajahan ke In-donesia. Masyumi, jelasnya, didirikan oleh hasrat para ulama dari seluruhIndonesia yang berkumpul di Yogyakarta pada 7 November 1945 untukmewujudkan cita-cita umat Muhammad yang telah ditanamkanbenihnya sejak berabad-abad di Nusantara.

Natsir menjelaskan ada lima cita-cita luhur yang ingin diperjuangkanMasyumi. 1

Pertama, menegakkan kemerdekaan jiwa tiap orang perseorangandari kemusyrikan, takhyul dan rasa takut kepada Allah atau dengankata lain menegakkan kalimatul tauhid.

Kedua, membebaskan manusia dari penindasan dan pemerasanmanusia, dan golongan oleh golongan lainnya dalam bentuk apapun.

Ketiga, membebaskan manusia dari tindakan kemelaratan,kemiskinan, dan kefakiran sebagai sumber kekufuran.

Keempat, membebaskan manusia dari sifat ta’ashub (chauvinisme)sebagai pangkal segala macam nafsu dan angkara murka antara bangsa

1 Pidato Natsir pada Hari Jadi Partai Masyumi ke-11 pada 7 November 1946

Page 95: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

95Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi

dengan bangsa, ataupun ta’shub dalam lapangan keagamaan dankepercayaan.

Terakhir, menegakkan sebuah kehidupan masyarakat berdasarkanmusyawarah dengan menghargai nilai-nilai kemanusiaan atas dasarhidup dan memberi hidup, bukan semata-mata atas dasar siapa kuat,siapa di atas dan siapa lemah, siapa mati.

Kendati di dalam lapangan politik antara Masyumi dan NU kerapberseberangan jalan, namun esensi pemikiran Natsir atas pentingnya peranagama dalam bernegara sesungguhnya juga menjadi dasar perjuanganNU. Hanya saja pernyataan NU tentang hal ini lebih bersifat tradisionaldan skolastik.2

Tentang Toleransi BeragamaKendati posisi Natsir atas negara kesatuan RI begitu jelas, namun

masih banyak pihak yang mencurigainya sebagai penganut Islam gariskeras yang begitu bernafsu memaksakan prinsip-prinsip Islam dalamhidup berbangsa dan bernegara. Natsir pun memahami keraguan sebagianpihak tersebut. Di dalam sidang-sidang Parlemen, kelompok Kristenmasih merasa belum adanya cukup jaminan kemerdekaan beragama diIndonesia kendati prinsip-prinsip tersebut secara jelas telah tertuangdalam konstitusi, misalnya dalam Undang-Undang Dasar SementaraRI pasal 18 yang tetap dijadikan materi pembicaraan sidangKonstituante.3

Di dalam pasal 18 UUDS 1950 jelas tercantum bahwa: ‘’ Setiaporang berhak atas kebebasan agama, keinsafan batin dan pikiran.”

Namun, kalangan non Islam atau Islam-phobia menanggapi halini secara kritis. Keraguan tersebut berakhir setelah Natsir selaku ketuaFraksi Masyumi Parlemen mengadakan rapat khusus untukmenghilangkan keraguan tersebut.

Posisi Natsir jelas. Ia menegaskan cita-cita kemerdekaan beragamayang diajarkan Islam merupakan cara untuk memecahkan persoalanmendasar yang dihadapi bangsa ini, yaitu tetap menjaga keragamanhidup di dalam lingkungan negara RI yang terdiri atas penduduk denganberbagai macam agama. Adapun sejumlah argumentasi yang diajukanNatsir dapat diuraikan sebagai berikut.

2 Hebert Faith dan Lance Castles (Edts). 1988. Pemikiran Indonesia 1945 –1965. Jakarta:LP3ES.

3 M. Natsir. 1957. Keragaman Hidup Antar Agama. Majalah Hikmah. Jakarta: PustakaPendis : 225 – 229.

Page 96: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

96 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Tujuan tauhid, urai Natsir, pada hakekatnya adalah sebuah revolusirohani untuk membebaskan manusia dari kungkungan dan tekanan jiwadalam arti yang seluas-luasnya. Keimanan tauhid kepada Tuhan tersebutdiperoleh melalui jalan bersih dari segala macam paksaan.

Karena keimanan seseorang terhadap Islam adalah karunia Ilahi,Natsir berpendapat hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui ajarandan didikan yang baik melalui kegiatan dakwah dan panggilan yangbijaksana serta diskusi (mujadalah) yang sopan dan teratur. ‘’Orang Is-lam hanya disuruh memanggil, sekali lagi memanggil! Memanggildengan cara yang bersih dari sifat paksa,” urai Natsir.

Di dalam tataran praktis kehidupan sehari-hari, jika ditemui adanyaperbedaan yang tidak dapat dipertemukan baik tentang faham, amal,agama, dan sebagainya; Natsir mengatakan seorang muslim tidak bisapasif berpangku tangan. Seorang muslim sebaliknya diwajibkan untukberinisiatif menjernihkan kehidupan antar beragama dengan memanggilorang-orang berlainan agama.

Dalam menghadapi perbedaan pandangan antar agama tersebut,Natsir juga berpesan agar umat Islam tidak mudah melampiaskan hawanafsu melainkan harus tetap sabar untuk tetap menegakkan kejernihanhidup antar agama. Seorang muslim, paparnya, harus terus memancarkansikap tasamuh dan toleransi dalam menghadapi agama lain.

Dari sejumlah uraian Natsir di atas, jelaslah bahwa bentuk toleransiyang diajarkan Islam dalam kehidupan antar agama bukanlah toleransipasif melainkan toleransi aktif. Aktif dalam menghargai danmenghormati keyakinan orang lain sekaligus aktif untuk mencari titikpersamaan antara bermacam-macam perbedaan.

Dengan demikian, kemerdekaan beragama bagi seorang muslim,menurut Natsir adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilaijiwanya sendiri Bahkan bila kemerdekaan agama terancam atau tertindaswalau bukan orang Islam, seorang muslim wajib melindungikemerdekaan agama agar mereka dapat menyembah Tuhan menurutagama mereka masing-masing.

Tentang DemokrasiHal lain yang patut dicatat dari Natsir adalah komitmennya atas

penegakkan demokrasi di Indonesia. Untuk keteguhan sikapnya tersebut,ia harus berhadapan frontal dengan Soekarno sehingga mendekam dipenjara Batu Jawa Timur sebagai tahanan politik pada 1961 – 1966,

Page 97: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

97Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi

menyusul kegagalan gerakan pemberontakan PRRI (PemerintahanRevolusioner Republik Indonesia) dimana ia menjadi salah satupimpinan. Natsir ditahan setelah pembubaran Partai Masyumi pada 17Agustus 1956 hanya melalui pidato Presiden Soekarno pada 19 Agustus1959.

Di era perjuangan kemerdekaan sampai Demokrasi Terpimpin,sebagai sebuah ideologi, pemikiran Islam di Indonesia memang lebihdidominasi oleh gagasan pembaruan yang dicerminkan melalui jalanpemikiran Natsir. Kendati dasar-dasar keIslaman Natsir diperoleh melaluipembelajaran dari ulama fundamentalis A. Hassan, namun dalamperkembangannya pemikiran Natsir mengembara melintasi konsep fahamliberal dan sosialisme barat. Di sinilah kekuatan Natsir karena dapatmenuangkan pemikiran kemajuan, stabilitas, toleransi dan bahkandemokratisasi.

Khusus dalam hal stabilitas dan pembangunan ekonomi, pemikiranNatsir lebih condong dengan garis pemikiran kalangan sosialis demokrat.Ini tidak mengherankan karena kedekatan Natsir dengan tokoh Masyumilainnya, yaitu Syafrudin Prawiranegara yang memang ahli di bidangekonomi. Selaku think tank pemikiran sektor ekonomi, pemikiranSyafrudin memang dekat dengan pemikiran kalangan sosialis demokratseperti Sutan Sjahrir, Sumitro Djojohadikusumo dan Mohammad Hatta.

Sejak 1949, bangsa Indonesia memasuki babak baru setelah Belandamenghentikan klaim kepemilikan Hindia Belanda kecuali Irian Jayamelalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada Agustus dan No-vember 1949. Belanda mendukung pembentukan Republik IndonesiaSerikat yang merupakan Federasi 15 negara boneka Belanda plusRepublik Indonesia yang memiliki kekuasan lebih besar.

Namun, umur RIS tidak panjang. Sebagai Ketua Fraksi Masyumidi Parlemen, Natsir aktif melakukan lobi ke berbagai negara bagian untukmembubarkan diri dan bergabung dengan RI dengan ibukota diYogyakarta. Setelah yakin mendapat dukungan cukup significant, Natsirakhirnya melempar mosi dalam sidang Parlemen RIS pada 3 April 1950yang terkenal dengan sebutan ‘Mosi Integral Natsir’. Ia meminta seluruhnegara bagian kembali dengan Negara Kesatuan RI.

Presiden Soekarno sangat terkesan dengan upaya Natsir ini danmengangkatnya menjadi Perdana Menteri pertama NKRI pada 6 Sep-tember 1950. Situasi ini sekaligus menandai berlakunya masapemerintahan Demokrasi Parlementer sampai delapan tahun kemudian.

Page 98: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

98 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Namun usia Kabinet Natsir tidak berumur panjang dan jatuh pada 27April 1951. Kegagalan Kabinet Natsir ini lebih disebabkan karena tidakmengikutsertakan kekuatan PNI.

Sebelum Pemilu 1955, seluruh anggota Parlemen diangkat. Kendatidemikian posisi Parlemen sangat kuat. Kabinet pun tidak terelakkan jatuhjika tidak mampu menggalang dukungan mayoritas Parlemen. Tidakheran jika posisi partai sangat kuat sedangkan posisi Angkatan Bersenjatadan Presiden Soekarno relatif lemah. Pada masa inilah hak dankebebasan warga negara jarang dilanggar.

Menajamnya konflik antar partai dan golongan baik disebabkankarena perebutan sumber daya maupun perbedaan ideologi membuatkohesitas bangsa meregang, jauh lebih longgar dibandingkan erapergolakan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan pada periode1945 – 1949. Natsir pun menangkap perubahan fenomena ini danmenyampaikan kritik pedas dalam pidato Hari Kemerdekaan pada 1951.4

Setelah dua tahun bangsa Indonesia mengenyam kedaulatan penuh,Natsir justru melihat fenomena memprihatinkan di tengah masyarakat.Berikut petikan kerisauan Natsir:

‘’Masyarakat, apabila dilihat wajah mukanya, tidaklah terlalu berseri-seri. Seolah-olah nikmat Kemerdekaan yang telah dimilikinya ini, sedikitsekali faedahnya. Tidak seimbang nampaknya laba yang diperolehdengan sambutan yang memperoleh!

Dahulu mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnyaterbakar, atau anaknya tewas dalam medan pertempuran. Kini, merekamuram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu Negara yangmerdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh danberatus tahun yang lampau.”

Mengapa keadaan berubah? Natsir menguraikan kondisi tersebuttidak dapat dijelaskan dengan satu alasan tetapi harus dianalisaberdasarkan perubahan perkembangan perilaku sejumlah anasirmasyarakat saat itu. Jika dahulu ada sejumlah pihak yang berjuang untukmasyarakat, saat itu Natsir justru melihat pihak-pihak tersebut berharapmendapatkan imbalan dari masyarakat. ‘’Semua orang menghitungpengorbanannya dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan ke mukaapa yang telah dikorbankannya itu,” katanya.

4 M. Natsir. 1957. Kelesuan dan Pamer Kemegahan yang Semu. Capita Selecta II. Jakarta:Pustaka Pendi.

Page 99: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

99Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi

Natsir melanjutkan:‘’Sekarang timbul penyakit bachil. Bachil keringat. Bachil waktu

dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Or-ang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnyasendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna,dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untukmemperbaikinya.

Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisanminyak. Programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”

Natsir tidak sendirian. Rakyat pun kecewa menghadapi perubahansosial yang justru bertambah buruk. Sistem Demokrasi Parlementerbeserta partai-partai selaku pilar utama bangunan menjadi sasarankebencian. Persaingan antar partai semakin meruncing menjelang Pemilu1955, yang bahkan mendorong ke arah tahap mengancam keutuhanbangsa akibat menajamnya perbedaan, misalnya tentang ideologi apakahtetap Pancasila atau Islam.

Di tengah kegalauan bangsa, Presiden Soekarno tampil ke depandan menawarkan konsep Demokrasi Terpimpin. Jika Natsir melihat akarpersoalan lebih disebabkan persoalan lemahnya mental, moral, dan etika,Soekarno mendekatinya dari sudut sistem. Partai-partai sebagai biangkerok konflik bahkan harus dikubur dalam-dalam dan disatukan menjadisatu sistem yang ia namakan Demokrasi Terpimpin di bawah kendalinya.

Mencium adanya aroma bahaya kediktatoran, Natsir pun tanparagu-ragu melancarkan kritik terbuka atas konsep Demokrasi TerpimpinSoekarno ini. Dua pekan setelah seruan Presiden, pada peringatan HariKelahiran Partai Masyumi pada 7 November 1956, kritik terbuka itupun ia kemukakan.5

Dalam pidatonya Natsir mengakui ada sejumlah keberhasilan telahdicapai bangsa Indonesia sampai pertengahan dekade 1950-an. Melaluiperjuangan bersenjata, bangsa Indonesia mampu menyelamatkankeberadaan RI pada saat-saat yang genting dan berbahaya. Selain itubangsa Indonesia berhasil menggelar Pemilu 1955 sehingga menghasilkanlembaga Parlemen hasil pilihan rakyat sebagai perlengkapan negara yangsangat diperlukan untuk sebuah negara demokratis.

Namun, di sisi lain, Natsir melihat perkembangan masyarakat justrusemakin keluar dari standar moral dan etika. Natsir menyimpulkan ada

5 M. Natsir. 1956. Memulihkan Kepercayaan terhadap Demokrasi. Harian Abadi. Jakarta

Page 100: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

100 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

tiga hal yang menjadi penyebab situasi tersebut. Pertama, akibatmelunturnya idealisme sehingga menghasilkan merajalelanya nafsuamarah dan nafsu-nafsu materi rendah dan kasar dalam bermacam-macam bentuknya.

Kedua, semakin kaburnya batas antara sesuatu yang patut dan tidakpatut. Antara sesuatu yang halal dan yang haram dan pelanggaran-pelanggaran batas dilakukan dengan cara yang sangat sinis.

Terakhir, Natsir melihat semakin kaburnya nilai-nilai keadilan yangzakelijk dan objectief untuk memutuskan persoalan dalam menempatkantenaga-tenaga, sehingga yang hitam dijadikan putih dan yang putihdihitamkan menurut keadaan dan keinginan penguasa sewaktu-waktu.Kondisi ini, menurut Natsir, akhirnya menempatkan bangsa Indonesiatidak lagi mampu menempatkan: the right men in the right place sehinggamengakibatkan krisis sosial, yang untuk kondisi sekarang kerapdijargonkan sebagai praktik Korupsi – Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Menghadapi situasi yang semakin melenceng dari nilai-nilai idealtersebut, Natsir memperingatkan perlu mendapatkan respon yang nyata.Jika tidak, lanjutnya, masyarakat akan tidak puas dan berubah menjadiputus asa. Jika kondisi ini terjadi maka mereka akan mencari jalan keluardengan berbagai cara. Sebagian ada yang menyerah kepada keadaandan berkeluh kesah sambil menunggu kedatangan ‘Sang Ratu Adil”.Sebagian sisanya ada yang ingin merombak sistem dan dasar-dasarkenegaraan (Demokrasi Parlementer – Penulis) dengan semacam ‘RatuAdil Modern’, yang serba kuasa dan diharapkan dapat menyelesaikansemua persoalan dalam waktu singkat. Walaupun dalam pidato tersebutNatsir tidak menyebut Presiden Soekarno, namun yang ia sindir sebagai‘Ratu Adil Modern’ di sini jelas-jelas adalah konsep Demokrasi TerpimpinSoekarno tersebut.

Lebih rinci Natsir mengatakan sebagai berikut:“Timbul satu teori bahwa yang menjadi sebab semua kesulitan-

kesulitan tersebut adalah banyaknya partai-partai. Dan jikalau hendakmemperbaiki keadaan maka sumber kesulitan itu harus dibasmi lebihdahulu. Dan untuk menggantikan partai-partai itu, dengan sendirinyaberdirilah ‘pemerintahan diktator’, baik oleh seseorang atau satu partaitunggal.”

Natsir dengan tegas menolak pandangan di atas. Pertama, sesuaiideologi dan kaidah Islam yang ia pegang dengan konsisten, sistemdiktator sangat jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tidak

Page 101: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

101Teguh, Moh. Natsir: Islam, Kebangsaan dan Demokrasi

hanya itu, Natsir dengan cerdas mengemukakan argumentasi bahwabangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan bahasa, dapatmengikatkan diri menjadi satu bangsa bukan disebabkan oleh rasa takutkepada kekuasaan kasar yang mengancam mereka, akan tetapi justrurasa menghargai, rasa hormat, dan rasa cinta kepada penguasa yangbersama-sama mereka ikut mendirikan bangsa dan memperhatikankeperluan mereka (rakyat) secara lahir dan batin.

Natsir pun bertanya:‘’…Tegasnya: apabila demokrasi di Indonesia yang sumber

kekuatannya terdiri daripada kerelaan kecintaan rakyat kepadapemerintah sampai dikubur, dan tugasnya digantikan oleh satu diktatoryang kekuatannya bersumber kepada paksaan, maka timbul pertanyaan:akan mampukah diktator yang tunggal itu mampu mengumpulkan alatkekerasan berupa bayonet dan bedil sebagai sumber kekuatannya untukmemaksakan keinginannya kepada 80 juta umat manusia yang bertebaranpada ribuan pulau-pulau besar dan kecil dan mempunyai alam pikiransendiri-sendiri, dalam bermacam-macam tingkat kecerdasan, tradisi, danadat istiadat?”

Natsir sadar demokrasi memang satu sistem yang sulit. Namun jikabangsa Indonesia telah yakin bahwa demokrasi adalah satu-satunyasistem yang dapat memelihara NKRI maka tugas tiap demokrat adalahmembuktikan kepada masyarakat dengan hasil karya nyata bahwademokrasi juga dapat bertindak tegas dan tepat untuk menyelesaikanberbagai persoalan negara. Natsir pun mengutip pendapat kolega dekatnyaSjafruddin Prawiranegara yang mengatakan:

‘’…Apabila para pemimpin rakyat pada satu saat tidak sanggup lagibekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya: apabila kedudukan ataukursi sudah menjadi tujuan bukan lagi menjadi alat, maka yang akanmengancam negara kita ialah, bahwa demokrasi tenggelam dalam koalisi,dan kemudian koalisi dimakan anarki, dan anarki diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata atau golongan yang menguasai golongan-golongan bersenjata itu….”

Natsir yakin bahwa sistem demokrasi di Indonesia memiliki obatpenawar yang cukup untuk memberantas penyakit-penyakit yang telahia kemukakan. Sistem demokrasi di Indonesia, analisa Natsir, akansanggup mengatasi kesulitan-kesulitan apabila partai-partai itubersungguh-sungguh menempatkan petugas yang tepat pada tempat yangsemestinya. Masyarakat Indonesia, bagi Natsir, mempunyai cukup

Page 102: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

102 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

pribadi-pribadi yang bertebaran di partai-partai maupun di luar partai.Apabila mereka disusun menurut tempat sewajarnya, mereka dapatmenghasilkan usaha-usaha besar yang akan mampu memulihkanharapan ideal rakyat. Pandangan Natsir masih banyak yang aktual sampaisekarang dan pada detik ini.

* * ** * ** * ** * ** * *

Page 103: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

103Dodi, W i l o p o, Menciptakan Agenda Otonomi Daerah

Wilopo adalah salah satu perdana menteri dari Partai NasionalIndonesia (PNI) yang memimpin kabinet Indonesia di era demokrasiparlementer antara tahun 1952 sampai dengan 1953. Presiden Soekarnomenunjuk Wilopo pada tanggal 19 Maret 1952 sebagai formatur untukmembentuk kabinet yang kuat dengan dukungan parlemen yang cukupbesar, dan pada tanggal 1 April 1952 Presiden Soekarno mengumumkansusunan Kabinet pimpinan Perdana Menteri Wilopo, berdasarkanKeputusan Presiden RI No. 85 Tahun 1952.1

Wilopo memiliki beberapa program yang dibentuk oleh kabinetnya.Dalam bidang organisasi negara, salah satu program Wilopo adalahuntuk melaksanakan pemilihan umum untuk Konstituante dan Dewan-dewan Daerah. Wilopo juga menciptakan program untuk menyelesaikanpenyelenggaraan dan mengisi Otonomi Daerah, serta menyederhanakan

WILWILWILWILWILOPO, MENOPO, MENOPO, MENOPO, MENOPO, MENCIPTCIPTCIPTCIPTCIPTAKANAKANAKANAKANAKANAGENDAGENDAGENDAGENDAGENDA OTA OTA OTA OTA OTONONONONONOMI DAERAH DOMI DAERAH DOMI DAERAH DOMI DAERAH DOMI DAERAH DANANANANANRAPBN PERRAPBN PERRAPBN PERRAPBN PERRAPBN PERTTTTTAMAAMAAMAAMAAMA(PERD(PERD(PERD(PERD(PERDANANANANANA MENTERI, 1 APRIL 1A MENTERI, 1 APRIL 1A MENTERI, 1 APRIL 1A MENTERI, 1 APRIL 1A MENTERI, 1 APRIL 1952 – 3 JUNI 1952 – 3 JUNI 1952 – 3 JUNI 1952 – 3 JUNI 1952 – 3 JUNI 1953)953)953)953)953)

Dodi Priambodo

Telaah

1 Wilopo, Zaman Pemerintahan Partai-partai dan Kelemahan-kelemahannya, Jakarta:Yayasan Idayu, 1978.

Page 104: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

104 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

organisasi Pemerintah Pusat. Program lainnya adalah memajukantingkat penghidupan rakyat dengan mempertinggi produksi nasional,terutama bahan makanan rakyat. Di bidang keamanan, program kabinetWilopo adalah menjalankan segala sesuatu untuk mengatasi masalahkeamanan dengan kebijaksanaan sebagai negara hukum danmenyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara sertamengembangkan tenaga masyarakat untuk menjamin keamanan danketentraman.2

Agenda lain Wilopo adalah melengkapi perundang-undanganperburuhan untuk meninggikan derajat kaum buruh guna menjaminproses produksi nasional, dan juga mempercepat usaha-usaha perbaikanuntuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran. Wilopo berhasilmenyusun Undang-Undang Pemilu yang pertama berdasarkan UUDS1950, yang kemudian disahkan Parlemen pada tanggal 4 April 1953sebagai Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Namun salah satu halyang perlu dicatat tentang Wilopo adalah usulnya dalam mengajukanRancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) untuk pertamakalinya dalam sejarah Republik Indonesia untuk tahun 1952 – 1953.Dalam RAPBN yang berhasil disusun itu, digariskan kebijaksanaan untuksecara teratur menekan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.3

Kabinet Wilopo juga banyak menitikberatkan fokus pada program-program di bidang hubungan luar negeri, dengan mengisi politik luarnegeri yang bebas yang sesuai dengan kewajiban negara Indonesia dalamkekeluargaan bangsa-bangsa dan dengan kepentingan nasional menujuperdamaian dunia. Program di bidang luar negeri lainnya adalahmenyelesaikan penyelenggaraan perhubungan Indonesia-Nederland atasdasar unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan per janjianinternasional biasa yang menghilangkan hasil-hasil Konferensi MejaBundar (KMB) yang merugikan rakyat dan negara serta meneruskanperjuangan memasukkan Irian Barat dalam wilayah Indonesiasecepatnya.

Wilopo dan kabinetnya berhasil menyelesaikan masalah-masalahluar negeri yang semasa Kabinet Sukiman (1951-1952) mengundangkontroversi, seperti perjanjian perdamaian dengan Jepang danpersetujuan Cochran-Subardjo mengenai Mutual Security Act (MSA).Di bawah kepemimpinan Sukiman pada periode 1951 – 1952, Menteri

2 P.N.H Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003.3 Ibid

Page 105: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

105Dodi, W i l o p o, Menciptakan Agenda Otonomi Daerah

Luar Negeri Subardjo menyatakan kesediaan Indonesia untuk menerimabantuan yang disampaikan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochranberdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA, tanpasepengetahuan Kabinet. Akibatnya, Menlu Subardjo diinstruksikanuntuk mendapatkan persetujuan Duta Besar Amerika Serikat untukmenghapuskan syarat-syarat penerimaan bantuan yang dapatmembahayakan pelaksanaan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif.Wilopo dan kabinetnya akhirnya dapat menyelesaikan masalah inidengan merubah bantuan yang diberikan dalam rangka MSA menjadibantuan teknis dan ekonomis melalui Technical Cooperation Adminis-tration (TCA) yang syarat-syaratnya tidak seperti pasal-pasal dalam MSA.

Meskipun berhasil menyelesaikan masalah-masalah luar negeri,terdapat beberapa masalah dalam negeri yang tidak dapat ditangani olehWilopo. Salah satunya adalah masalah yang menyangkut AngkatanPerang, yang kemudian menggoyahkan Kabinet Wilopo. Permasalahanini diawali oleh perdebatan di Parlemen mengenai pro dan kontraterhadap kebijaksanaan Menteri Pertahanan dan Pimpinan AngkatanDarat. Beberapa anggota parlemen menyarankan agar diadakanreorganisasi dan dibentuk Undang-Undang Pokok Pertahanan untukmengatur lebih lanjut kedudukan hukum dari tiap anggota AngkatanPerang. Akibat perdebatan antara anggota parlemen ini, ribuan massaberdemonstrasi di Istana Merdeka dan gedung Parlemen di Jakarta padatanggal 17 Oktober 1952 dengan semangat untuk menuntut pembubaranparlemen yang tidak representatif dan menuntut diadakan pemilihanumum. Peristiwa ini dikenal sebagai “Peristiwa 17 Oktober”. Parapimpinan Angkatan Darat dan para panglima Teritorium jugamenghadap Presiden untuk meminta hal yang sama, namun PresidenSoekarno menolak untuk membubarkan Parlemen dan membentukParlemen baru.4

Masalah dalam negeri lainnya yang dihadapi oleh Wilopo adalahperistiwa Tanjung Morawa, yang pada intinya merupakan perbedaansikap politik antara Masyumi dan PNI terhadap cara penyelesaianperistiwa Tanjung Morawa yang berhubungan dengan posisi modal asingdi Indonesia. Pemerintah menginginkan agar hak-hak perusahaan-perusahaan asing atas tanah di Sumatera Timur yang oleh PemerintahKolonial sebelum Perang Dunia II disewakan kepada Perkumpulan

4 A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba I, Jakarta: PT. GunungAgung, 1983.

Page 106: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

106 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

Perkebunan Deli dikembalikan kepada yang berhak. Namun rencanapemerintah ini ditentang oleh para petani yang menggarap tanah tersebut.Ketika dibahas dalam Parlemen, masalah ini mengakibatkan perbedaansikap politik antara PNI dan Masyumi, dua partai utama yangmendukung Kabinet Wilopo. PNI mendesak Masyumi untukmembubarkan Kabinet, karena PNI menolak cara-cara pemerintah dalammenyelesaikan Peristiwa Tanjung Morawa. Atas sikap PNI ini, Masyumiberanggapan kabinet tidak mempunyai dukungan yang cukup lagi untukmelanjutkan tugasnya. Akhirnya, pada tanggal 3 Juni 1953 PerdanaMenteri Wilopo menyerahkan mandatnya kembali kepada PresidenSoekarno, dan sejak saat itu pula Kabinet Wilopo demisioner, berdasarkanKeputusan Presiden RI No. 99 Tahun 1953.5

* * ** * ** * ** * ** * *

5 P.N.H Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003

Page 107: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

107Dodi, Ali Sastroamidjojo, Merintis Pembangunan Berencana

ALI SALI SALI SALI SALI SASASASASASTRTRTRTRTROOOOOAMIDAMIDAMIDAMIDAMIDJOJO,JOJO,JOJO,JOJO,JOJO,TOKTOKTOKTOKTOKOH DOH DOH DOH DOH DALALALALALAM KEBAM KEBAM KEBAM KEBAM KEBANANANANANGKITGKITGKITGKITGKITANANANANANSOLIDSOLIDSOLIDSOLIDSOLIDARITARITARITARITARITAS NEGAS NEGAS NEGAS NEGAS NEGARAARAARAARAARAASIA - AFRIKAASIA - AFRIKAASIA - AFRIKAASIA - AFRIKAASIA - AFRIKA(30 JULI 1(30 JULI 1(30 JULI 1(30 JULI 1(30 JULI 1953- 2953- 2953- 2953- 2953- 24 JULI 14 JULI 14 JULI 14 JULI 14 JULI 1955 D955 D955 D955 D955 DAN 2AN 2AN 2AN 2AN 24 MARET4 MARET4 MARET4 MARET4 MARET11111956- 1956- 1956- 1956- 1956- 14 MARET 14 MARET 14 MARET 14 MARET 14 MARET 195959595957)7)7)7)7)

Dodi Priambodo

Telaah

Setelah Kabinet Wilopo demisioner, Presiden Soekarno padatanggal 20 Juli 1953 menunjuk pemimpin Partai Indonesia Raya (PIR),Mr. Wongsonegoro, sebagai formatur kabinet. Pada tanggal 30 Juli1953, Presiden akhirnya mengumumkan kabinet baru yang dibentukWongsonegoro, yang menunjuk Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagaiperdana menteri. Ali Sastroamidjojo merupakan satu-satunya perdanamenteri di era demokrasi parlementer yang memimpin kabinet selama 2periode, yaitu pada tahun 1953-1955 dan tahun 1956-1957. Kabinetkedua Ali Sastroamidjojo ini merupakan Kabinet yang paling mewakilirakyat, karena didukung lebih dari 60% Parlemen hasil Pemilihan Umum1955.

Di masa kepemimpinannya dalam periode pertama, Alimenetapkan beberapa agenda. Untuk urusan keamanan dalam negeri,Ali bertekad untuk memperbaharui politik dengan mengembalikankeamanan sehingga memungkinkan tindakan-tindakan yang tegasserta membangkitkan tenaga rakyat. Ali juga ingin menyempurnakan

Page 108: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

108 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

hubungan antara alat-alat kekuasaan Negara. Sama halnya denganWilopo, Ali juga ingin segera melaksanakan pemilihan umum untukKonstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam organisasiNegara, Ali beserta kabinetnya juga memiliki program untukmemperbaharui politik desentralisasi dengan menyempurnakanperundang-undangannya dan mengusahakan pembentukan daerahotonom sampai ke tingkat yang paling bawah. Selain itu juga didalam agenda juga ditetapkan penyusunan aparatur pemerintah yangefisien serta pembagian tenaga yang rasionil dengan mengusahakanperbaikan taraf penghidupan pegawai, serta memberantas korupsi danbirokrasi.

Untuk bidang kemakmuran dan keuangan, Ali menitikberatkanpolitik pembangunan kepada segala usaha untuk kepentingan rakyatjelata, dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dan kaumpenganggur terlantar dalam lapangan pembangunan. Selain itu jugamemperbaiki pengawasan atas pemakaian uang Negara. Program lainnyaadalah mempercepat terbentuknya perundang-undangan nasional,terutama di bidang keamanan, kemakmuran, keuangan dankewarganegaraan. Ali juga mengusahakan penyelesaian segalaperselisihan politik yang tidak dapat diselesaikan dalam Kabinet denganmenyerahkan keputusannya kepada Parlemen.

Di bidang Politik Luar Negeri, Ali memiliki program yang hampirsama dengan program yang dilaksanakan oleh Wilopo, yaitumenjalankan politik luar negeri yang bebas dan yang menujuperdamaian dunia, serta merubah hubungan Indonesia-Belanda atasdasar Unie-Statuut menjadi hubungan internasional biasa. Selain ituAli juga ingin mempercepat peninjauan kembali perjanjian KMB danmenghapuskan perjanjian-perjanjian yang merugikan negara. Sesuaidengan programnya yang pertama, Kabinet Ali mengajukanrancangan undang-undang tentang pembatalan perjanjian KMBsecara unilateral pada bulan April 1956 kepada Parlemen. Rancanganundang-undang tersebut disetujui oleh parlemen pada tanggal 21 April1956. Pembatalan perjanjian-perjanjian KMB secara unilateral ini tidaksaja menghapuskan Uni Indoensia-Belanda, tetapi semua hubunganantara Indonesia dan Belanda atas dasar perjanjian KMB. Hubunganantara Indonesia dengan Belanda selanjutnya menjadi hubungan biasaantara Negara yang berdaulat berdasarkan hukum internasional.

Ali juga berhasil melaksanakan politik luar negeri bebas aktif melalui

Page 109: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

109Dodi, Ali Sastroamidjojo, Merintis Pembangunan Berencana

tindakan-tindakan nyata, seperti menjadi salah satu pemrakarsa dan tuanrumah Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada tanggal 18 – 24 April1955 yang diikuti 29 negara Asia dan Afrika. Dalam konferensi ini,Indonesia tampil aktif dalam meredakan perang dingin dan memperkuatper juangan bangsa-bangsa Asia-Afrika melawan kolonialisme.Konferensi ini menghasilkan Dasasila Bandung, yang merupakanjawaban terhadap imperialisme dalam segala manifestasinya. AliSastroamidjojo juga terus memperjuangkan penyelesaian masalah IrianBarat. Kabinet Ali melihat masalah Irian Barat sebagai masalahkolonialisme yang harus dipecahkan di forum internasional, dan sebagaitahap awal, resolusi mengenai Irian Barat diterima sesuai dengan tujuananti-kolonialisme dari Konferensi Asia-Afrika.

Dalam kepemimpinannya, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojodihadapkan oleh aksi teror dan pengacauan-pengacauan di beberapawilayah Indonesia, antara lain di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, danKalimantan Selatan. Pemberontakan juga terjadi di Aceh, yang diawalidengan “proklamasi” Daud Beureuh, yang merupakan mantan GubernurMiliter Daerah Istimewa Aceh sewaktu Agresi Militer Belanda Pertama.Pada tanggal 20 September 1953, Daud menyatakan bahwa Acehmerupakan bagian “Negara Islam Indonesia” dibawah Kartosuwirjo.Dalam menghadapi agresi dan pemberontakan ini, Perdana Menteri AliSastroamidjojo mengambil tindakan tegas dengan melancarkan operasi-operasi militer, dan satu demi satu kota-kota yang dikuasai pemberontakpun berhasil direbut kembali.1

Ali juga menghadapi masalah yang sama dengan Wilopo mengenaipertentangan di dalam tubuh Angkatan Darat, yang merupakankelanjutan daripada “Peristiwa 17 Oktober”. Akibat peristiwa ini, TNIterpecah menjadi golongan “pro 17 Oktober” dan golongan “anti-17Oktober”. Untuk mengakhiri pertentangan di dalam tubuh AngkatanDarat ini, maka para pimpinan TNI mengadakan pertemuan diYogyakarta pada tanggal 17 Pebruari 1955, yang menghasilkan “PiagamKeutuhan Angkatan Darat”. Piagam tersebut menghasilkan pernyataanbahwa “Peristiwa 17 Oktober” dinyatakan sudah tidak ada lagi danoleh karenanya minta kepada Pemerintah untuk secara resmi menyatakandemikian pula. Selain itu, piagam tersebut juga menuntut supayaPemerintah memberikan batas-batas yang jelas mengenai pengaruh-pengaruh politik yang dapat memasuki tentara. Ditegaskan pula dalam

1 30 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1995

Page 110: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

110 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

piagam tersebut agar politik pengangkatan di dalam ketentaraandidasarkan hanya atas keahlian.2

Namum permasalahan di tubuh Angkatan Darat kembali munculdengan adanya pertentangan antara TNI dan Pemerintah tentangpengangkatan KSAD. Permasalahan ini kemudian membuat NUmendesak agar Kabinet menyerahkan mandatnya kepada Presiden.Akhirnya, di depan sidang Parlemen tanggal 23 Juli 1955, PerdanaMenteri Ali Sastroamidjojo mengatakan bahwa Pemerintah akanmengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden sebagai akibatgagalnya permusyawaratan untuk menyelesaikan persoalan AngkatanDarat dengan Pemerintah, karena penolakan oleh Angkatan Darat ataskonsepsi penyelesaian dari Pemerintah. Pada tanggal 24 Juli 1955, Alisecara resmi menyerahkan mandatnya kembali kepada Wakil Presiden,dan Kabinetnya dinyatakan demisioner berdasarkan Keputusan PresidenRI No. 122 Tahun 1955.3

Setelah Kabinet Boerhanudin Harahap (1955 – 1956) demisioner,Presiden Soekarno mengadakan hearing dengan PNI, NU, Masjumi,PKI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, PSI, Perti dan IPKI, danmemutuskan untuk menunjuk Ali Sastroamidjojo sebagai formaturkabinet baru. Dengan dibantu mantan perdana menteri Wilopo, AliSastroamidjojo akhirnya berhasil membentuk kabinet baru, yangmerupakan gabungan kabinet lamanya dengan kabinet BoerhanudinHarahap. Kabinet Ali yang kedua ini dilantik Presiden Soekarno padatanggal 24 Maret 1956.

Dalam kepemimpinannya sebagai perdana menteri untuk kalikeduanya ini, Ali menetapkan beberapa program yang merupakankelanjutan dari program-program kabinet pertamanya. Salahsatunya adalah menyelesaikan pembatalan seluruh per janjianKMB secara unilateral, baik formil maupun materil. Ali jugaingin meneruskan perjuangan untuk mewujudkan kekuasaan defacto Republik Indonesia atas Irian Barat bersandarkan kekuatanrakyat dan kekuatan-kekuatan anti -kolonial isme di duniainternasional. Di bidang politik luar negeri, selain menjalankanpolitik luar negeri yang bebas dan aktif, Ali juga meneruskankerjasama dengan Negara-negara Asia-Afrika dan melaksanakankeputusan-keputusan Konferensi Asia-Afrika pertama di Bandung.

2 P.N.H Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia, Jakarta: Djambatan, 20033 Ibid

Page 111: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

111Dodi, Ali Sastroamidjojo, Merintis Pembangunan Berencana

Salah satu program dalam negeri Perdana Menteri AliSastroamidjojo adalah memulihkan keamanan dalam negeri yangdikacaukan oleh kelompok-kelompok yang memberontak terhadapNegara dengan nama apapun juga mereka menamakan dirinya. PerdanaMenteri Ali Sastroamidjojo juga terus berupaya menyempurnakankoordinasi antara alat-alat negara terutama dalam tindakan-tindakanpemulihan keamanan. Program pertahanan dan keamanan PerdanaMenteri Ali Sastroamidjojo meliputi: melancarkan tercapainya stabilisasikekuasaan Negara; mengadakan kewajiban milisi bagi semuawarganegara menurut syarat-syarat yang ditentukan dengan undang-undang; dan memperbaiki nilai-nilai teknis daripada Angkatan PerangRepublik Indonesia.4

Agenda lain Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo adalahmelaksanakan pembentukan daerah-daerah otonom yang dilakukanmenurut faktor-faktor nyata sosial, ekonomis dan kebudayaan, denganmemberi jaminan kepada daerah otonom dari tiap-tiap tingkatan berupajaminan minimum perlengkapan aparatur dan keuangan. Hal inidikukuhkan dengan menetapkan undang-undang perimbangan keuanganantara Pusat dan Daerah, yang dapat memenuhi kepentingan daerahotonom dengan mengingat perkembangannya. Program ini kemudiandilanjutkan dengan mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan RakyatDaerah dan menyusun aparatur Pemerintah yang efisien serta pembagiantenaga yang rasionil dengan mengusahakan perbaikan penghidupanpegawai. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo juga melanjutkan programdari kabinet pertamanya, yaitu memberantas korupsi secara obyektif.

Di bidang ekonomi dan keuangan Perdana Menteri AliSastroamidjojo menetapkan beberapa program, diantaranya memulaipembangunan secara teratur dan menurut rencana berjangka waktu 5 tahunyang ditetapkan dengan undang-undang dengan menitikberatkan padadasar kepentingan rakyat; mewujudkan pergantian ekonomi kolonialmenjadi ekonomi nasional bersandarkan kepentingan rakyat jelata, denganmengutamakan kebutuhan-kebutuhan primernya; mengembangkankooperasi dan memajukan transmigrasi. Agenda ekonomi lainnya adalahmenyehatkan keuangan Negara sehingga tercapai imbangan anggaranbelanja yang baik dan memberikan kemungkinan untuk melanjutkanpembangunan. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo juga mengutamakan

4 Kabinet Ali-Roem-Idham Program dan Pelaksanaan, Jakarta: Kementrian PeneranganRI, 1956

Page 112: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

112 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

penambahan sumber keuangan baru guna menyempurnakan keuanganNegara, serta memperbaiki pengawasan atas pemakaian uang Negara danmelakukan perkreditan pemerintah yang tepat dan lancar untuk melindungiusaha ekonomi nasional terhadap persaingan asing. Untuk mendukungkegiatan ekonomi, pemerintahan Ali Sastroamidjojo juga berusaha dalammemajukan berdirinya industri nasional supaya Indonesia dapat menjaminkebutuhannya sendiri, dan melindungi industri nasional terhadappersaingan asing.5

Walaupun Kabinet Ali Sastroamidjojo ini merupakan kabinet yangdinyatakan mewakili rakyat, namun kabinet ini terlalu lemah untukmenangani masalah-masalah yang dihadapinya, seperti tantangan-tantangan yang ekstra-parlementer dari Dewan-dewan Daerah yangdipimpin oleh beberapa kelompok tentara di Sumatera dan di Indone-sia Timur. Keadaan ini diperburuk dengan bubarnya koalisi Kabinet,setelah Masjumi, Perti, IPKI dan PSII menarik menteri-menterinyadari Kabinet karena tidak setuju dengan “Konsepsi Presiden” yangterdiri dari dua bagian. Pertama, pembentukan sistem pemerintahanbaru, yakni Kabinet Gotong Royong, yang akan memasukkan semuapartai yang diwakili di DPR. Kedua, pembentukan Dewan Nasionalyang terdiri dari wakil-wakil golongan fungsional dan dipimpin olehPresiden Soekarno. Menurut Presiden Soekarno, selama ini Indonesiamempertahankan sistem pemerintahan yang salah, yakni DemokrasiParlementer Barat, yang tidak cocok dengan jiwa dan kepribadianbangsa Indonesia. Menurutnya, konsep oposisi ini telah membuatIndonesia menderita, dan perlu dibentuk kabinet gotong royong yangtidak mentolerir oposisi.

Mundurnya menteri-menteri dari Masjumi, Perti, IPKI dan PSIImemaksa Kabinet Ali Sastroamidjojo untuk meletakkan jabatan. PerdanaMenteri Ali Sastroamidjojo pun menyerahkan kembali mandatnya kepadaPresiden Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957, dan kabinetnya dinyatakandemisioner berdasarkan Keputusan Presiden RI No 42 Tahun 1957.6 Denganjatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo kedua ini, maka berakhir pula sistemDemokrasi Parlementer di Indonesia, dan mulai beralih kearah “DemokrasiTerpimpin” sesuai dengan Konsepsi Presiden.

* * ** * ** * ** * ** * *5 P.N.H Simanjuntak, Kabinet-kabinet Republik Indonesia, Jakarta: Djambatan, 20036 Ibid

Page 113: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

113Tata, Djuanda, Teknokrat - Negarawan

DJUDJUDJUDJUDJUANDANDANDANDANDAAAAA, TEKN, TEKN, TEKN, TEKN, TEKNOKRAOKRAOKRAOKRAOKRATTTTT-----NEGNEGNEGNEGNEGARAARAARAARAARAWWWWWANANANANAN(PERD(PERD(PERD(PERD(PERDANANANANANA MENTERI, 9 APRIL 1A MENTERI, 9 APRIL 1A MENTERI, 9 APRIL 1A MENTERI, 9 APRIL 1A MENTERI, 9 APRIL 195959595957—17—17—17—17—10 JULI0 JULI0 JULI0 JULI0 JULI11111959 D959 D959 D959 D959 DAN MENTERI PERAN MENTERI PERAN MENTERI PERAN MENTERI PERAN MENTERI PERTTTTTAMAAMAAMAAMAAMA, 1, 1, 1, 1, 10 JULI 10 JULI 10 JULI 10 JULI 10 JULI 1959—959—959—959—959—7 NO7 NO7 NO7 NO7 NOVEMBER 1VEMBER 1VEMBER 1VEMBER 1VEMBER 1963)963)963)963)963)

Tata Mustasya

Telaah

Herbert Feith dalam bukunya “Kemunduran DemokrasiKonstitusional di Indonesia” -dengan memakai pendekatan ideal type-membagi pemimpin nasional menjadi dua golongan, yaitu solidaritymakers dan problem solvers atau administrators. Soekarno adalah contohyang paling otentik dari golongan solidarity makers, sedangkan Hattadan Djuanda Kartawidjaja merupakan contoh dari golongan problemsolvers.1

Penjelasan Hasjim Djalal mengenai tiga tiang utama kesatuan negaradan bangsa Indonesia membantu menjelaskan pengkategorian di atas.Tiga tiang utama tersebut adalah kesatuan kejiwaan yang dinyatakandalam Sumpah Pemuda 1928, kesatuan kenegaraan dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hattapada tanggal 17 Agustus 1945, dan kesatuan kewilayahan yang

1 Awaloedin Djamin (ed), Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator,dan Teknokrat Utama (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hlm. xv. Hal tersebut disampaikanoleh Taufik Abdullah dalam kata pengantar.

Page 114: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

114 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

diumumkan melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.2

Jika kesatuan kejiwaan dan kesatuan kenegaraan memiliki bobotpenggalangan solidaritas yang kuat, Deklarasi Djuanda merupakanpemecahan masalah agar Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 17Agustus 1945 memiliki manfaat yang riil bagi pembangunan dankesejahteraan bangsa Indonesia.

Sosok Djuanda yang menonjol sebagai pemimpin “pemecahmasalah” sepertinya memperlihatkan perannya sebagai teknokrat daripadasebagai politisi. Peran tersebut semakin terlihat mengingat Djuanda tidakmasuk ke dalam partai politik manapun. Praktis Djuanda hanya pernahterlibat secara organisatoris dalam Paguyuban Pasundan danMuhammadiyah. Walaupun demikian, dari 22 kali pergantian kabinetantara tahun 1945 sampai dengan tahun 1963, Djuanda masuk ke dalam14 kabinet.

Sebagai teknokrat, Djuanda sangat memperhatikan pengadaanberbagai infrastruktur dasar yang sangat berguna bagi pelaksanaanpembangunan. Di tengah-tengah pergolakan revolusi untukmempertahankan kemerdekaan, Djuanda -sebagai menteri perhubungan-memprakarsai berdirinya perusahaan penerbangan Garuda, AkademiPenerbangan di Curug, Akademi Pelayaran di Jakarta, serta membangunsistem angkutan darat (kereta api maupun angkutan bermotor). Saranaangkutan yang hancur akibat Perang Dunia II dan revolusi fisikdirehabilitasi.

Djuanda juga memprakarsai rehabilitasi perkebunan, pembangunanpabrik semen di Gresik, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) diJatiluhur. Pendirian Pabrik Baja Krakatau juga didorong olehnyawalaupun berbagai asumsinya banyak yang salah.3 Lebih jauh lagi,Djuanda juga membidani kelahiran Lembaga Administrasi Negara(LAN).

Terkait dengan peran Djuanda tersebut, Bintoro Tjokroamidjojosecara eksplisit menyatakan dua legacies dari Djuanda. Pertama, perannyasebagai penggagas dan pemimpin perencanaan pembangunan nasionaldengan suatu kerangka makro yang pertama. Kedua, perannya sebagaipeletak dasar-dasar administrasi negara Republik Indonesia.4

2 Ibid., hlm. 345.3 Ibid., hlm. 258. Hal tersebut disampaikan oleh M. Sadli.4 Ibid., hlm. 211.

Page 115: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

115Tata, Djuanda, Teknokrat - Negarawan

Visi pembangunan ekonomi Djuanda diungkapkan oleh Emil Salim.Menurutnya, Djuanda memprakarsai pembangunan Indonesia yangberangkat dari pembangunan desa dengan menggunakan prinsip com-munity development. Dalam prinsip ini, pembangunan berasal daribawah. Masyarakat desa bergerak sendiri mengupayakan sendiri hal-halyang dirasakan perlu oleh mereka.

Pola pendekatan pembangunan masyarakat desa yang diusulkanoleh Djuanda berbeda dengan pendekatan serupa yang diaplikasikanpada tahun 1980-an. Pendekatan Djuanda lebih holistik, mencakupsemua segi kehidupan masyarakat desa, tidak bersifat sektoral, dandiartikulasikan oleh masyarakat desa itu sendiri. Dalam kaitannyadengan hal tersebut, Djuanda memandang perlu kajian-kajianmengenai dinamika internal masyarakat desa. Misalnya, apakahterdapat mekanisme masyarakat desa untuk mengidentifikasi danmengartikulasikan kebutuhannya tersebut. 5

Sebagai teknokrat dan perencana ekonomi, Djuanda tidak sepakatdengan perombakan yang radikal dalam bidang ekonomi, sepertinasionalisasi perusahaan-perusahaan yang masih dipimpin oleh orang-orang Belanda secara radikal. Sebaliknya, dia mendorong perencanaanekonomi yang detil dan terarah. Djuanda –dalam hal ini- merupakanseorang yang praktis-pragmatis.

Ketika menjabat Menteri Kemakmuran, Djuandamengemukakan pandangannya mengenai masalah nasionalisasi danmodal asing di Indonesia, ...Tentang transfer laba perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia, kita ikuti peraturaninternasional yang lazim. Kita tidak memberi prioritas kepadasiapapun juga. Segala transfer harus tunduk kepada peraturan-peraturan kita selama keadaan devisa kita mengizinkan. Peraturan-peraturan itu t idak berbeda dengan peraturan-peraturaninternasional. Tentang nasionalisasi, yang harus didahulukanadalah nasionalisasi perhubungan yang vital.6

Di sisi lain, dia tetap melandaskan kebijakan ekonomi kepadakepentingan nasional Indonesia. Djuanda menyatakan kepada pers:

PBB menganjurkan perdagangan internasional yang bebas dariperubahan-perubahan. Politik kita terhadap penetrasi modal asing ialah

5 Ibid., hlm. 264—265.6 Ibid., hlm. 101—102.

Page 116: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

116 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

kita menjaga jangan sampai kepentingan-kepentingan Indonesia terdesakoleh kepentingan-kepentingan asing. Untuk itu, diadakan peraturan-peraturan yang memberi tuntunan dan perlindungan supaya kita bisamembangun ekonomi nasional.7

Perencanaan yang dibuat Biro Perancang Negara (BPN) pimpinanDjuanda antara tahun 1954 sampai dengan tahun 1956 secara cermatmemasukkan variabel-variabel pembentukan modal, pertumbuhanekonomi, marginal capital output ratio, dan pertumbuhan ekonomi kedalam penjelasannya. Di sisi lain, perencanaan tersebut tetap memasukkanprinsip-prinsip dasar ekonomi. Di sana ditekankan kebutuhan terhadappenyempurnaan cara-cara produksi agar lebih efisien sehingga kebutuhanterhadap peralatan modal relatif tidak terlalu besar.

Mengenai pinjaman luar negeri, perencanaan tersebut menjelaskanfungsi pinjaman untuk mengurangi tekanan ekonomi dan membantuterlaksananya Rencana Pembangunan Lima Tahun. Walaupun demikian,ditegaskan bahwa tidak mendasarkan diri atas bantuan dan pinjamanluar negeri merupakan hal yang positif. Bantuan dan pinjaman luarnegeri harus diposisikan sebagai pelengkap atau suplemen dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri.8

Kenyataannya, perencanaan tersebut tidak pernah benar-benardiimplementasikan. Hal ini disebabkan adanya komplikasi politik danmemuncaknya sentimen nasionalisme. Pada tahun 1957 dan 1958,perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi. Setelahnya, semangat-semangat sosialis yang radikal semakin berpengaruh dan perencanaan-perencanaan yang serba teknokratis cenderung tidak laku dalam suasanaseperti itu.

Walaupun demikian, Biro Perancang Negara telah menjadi cikalbakal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di masapemerintahan Soeharto dan lahirnya teknokrat-teknokrat ekonomi yangsangat berpengaruh, seperti Widjojo Nitisastro dan M. Sadli. Dalamhal ini, terdapat kritik terhadap generasi teknokrat setelah Djuanda tersebutkarena menerapkan kebijakan pembangunan “penetesan ke bawah”(trickle-down effect) yang merupakan kebalikan strategi bottom-up de-velopment yang diterapkan Djuanda.

Berlainan dengan citra teknokrat yang sering diasosiasikan dengan

7 Ibid., hlm. 101.8 Ibid., hlm. 260—261.

Page 117: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

117Tata, Djuanda, Teknokrat - Negarawan

perencana yang hanya peduli dengan hal-hal teknis, Djuanda jugamemiliki rasa kebangsaan dan jiwa negarawan yang kuat yang tercermindari pemikiran, sikap-sikap politik, dan kebijakan-kebijakannya ketikamenjabat perdana menteri, menteri pertama, dan menteri. DeklarasiDjuanda tahun 1957 merupakan salah satu contoh. Lebih jauh lagi,Djuanda -ketika menjabat perdana menteri merangkap menteripertahanan- berhasil memadamkan berbagai pemberontakan dan gerakanseparatisme, seperti PRRI, Permesta, DI/TII, pemberontakan DaudBeureuh dan pembentukan berbagai dewan di daerah-daerah. Djuandaternyata dapat mengambil keputusan tegas untuk menumpas berbagaipemberontakan secara militer walaupun ekonomi dan keuangan negarasedang berada dalam posisi yang sulit.

Pemikiran politik Djuanda yang memperlihatkan sifat negarawannyajelas terlihat ketika dia menggagas Musyawarah Nasional (Munas) padatanggal 10—14 September 1957 untuk menyelesaikan berbagai konflikpolitik yang mengancam integrasi bangsa. Dalam posisinya sebagaiperdana menteri, Djuanda berperan sebagai fasilitator untuk menyatukankembali Dwitunggal Soekarno-Hatta.

Posisi Djuanda yang tidak terafiliasi dengan partai politik merupakankekuatan sekaligus kelemahannya. Dalam kondisi politik di mana tidakada partai yang dominan dan kabinet merupakan koalisi beberapa partai,peran Djuanda menjadi sangat menentukan. Ketika Soewirjo –sebagaiformatur kabinet- tidak mampu membentuk kabinet pada tahun 1957karena komplikasi politik partai, Presiden Soekarno mengangkatDjuanda sebagai perdana menteri dan membentuk zaken kabinet extraparlementer, yang tidak mengandalkan dukungan partai-partai politik.

Di sisi lain, Djuanda sebagai orang non partai terlihat terlalupragmatis dalam menyikapi berbagai masalah penting. Dia, misalnya,berada pada posisi menteri pertama pada kabinet presidensil yangdipimpin Presiden Soekarno mulai tahun 1959 -yang perannya miripdengan perdana menteri pada kabinet parlementer- meskipun Soekarnotelah menunjukkan sikap yang otoriter, antara lain dengan penerapandemokrasi terpimpin. Pada saat yang sama, Hatta, Sjahrir, dan tokoh-tokoh Masyumi telah mengambil sikap politik menentang Soekarno secaraterbuka. Walaupun demikian, banyak pihak yang melihat peran pentingDjuanda dalam kabinet pada waktu itu sebagai penyeimbang. Roossenodan Roeslan Abdulgani berpendapat, meninggalnya Djuanda pada tahun

Page 118: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

118 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005

1963 telah memperkuat pengaruh Partai Komunis Indonesia kepadaSoekarno.9 Sebelumnya, Djuanda banyak mempengaruhi kebijakan-kebijakan Soekarno dengan masukan-masukan yang dinilai jernih dantidak partisan.

* * ** * ** * ** * ** * *

9 Ibid., hlm. xii dan 273.

Page 119: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

BIODATA PENULIS

Anhar Gonggong; Pensiunan PNS; mantan Deputi MenteriKebudayaan dan Pariwisata. Pengajar Pengantar Ilmu Politik dan SejarahEkonomi di Fakultas Ilmu Administrasi, Unika Atma Jaya, Jakarta;juga mengajar Agama dan Nasionalisme di Pascasarjana Fakultas IlmuPengetahuan Budaya, Universitas Indonesia dan pengajar SejarahPergerakan Nasional dan Sejarah Kontemporer (Indonesia) di JurusanSejarah Universitas Negeri Jakarta.

Yudi Latif; Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia danDirektur Eksekutif Reform Institute, Jakarta.

M. Dawam Rahardjo; Tokoh Muhammadiyah dan juga pengamatekonomi, guru besar bidang ekonomi pembangunan di UniversitasMuhammadiyah Malang.

Dodi Priambodo Joebihakto, Menyelesaikan pendidikan S-1Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jayabaya, JurusanHubungan Internasional pada tahun 2001. Saat ini bekerja sebagaipeneliti di The Habibie Center.

Junarto Imam Prakoso; Analis Media pada Media Watch andCunsumer Center -- The Habibie Center, juga mengelola jurnal penelitianilmu komunikasi thesis pada almamaternya di Fakultas Ilmu SOsialdan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Tata Mustasya, Menyelesaikan pendidikan S-1 dari DepartemenEkonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2001.Saat ini bekerja sebagai peneliti ekonomi di The Indonesian Institute:Center for Public Policy Research. Sebelumnya, Tata merupakan penelitidi The Habibie Center. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di HarianKompas, The Jakarta Post, dan Media Indonesia.

Page 120: Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 1, 2005 · PDF fileternyata kemudian gagal deng an eksprimen “Demokrasi Terpimpin” yang hendak dipraktikannya selama enam tahun akhir masa kekuasannya

120 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 1, 2005