jurnal anestesi

Upload: aprintha

Post on 08-Oct-2015

97 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Ilmu anestesi

TRANSCRIPT

PRINSIP-PRINSIP TERAPI CAIRANDita Aditianingsih dan Yohanes W.H. George

Terapi cairan merupakan suatu konsep dasar dalam manajemen perioperatif dan pasien sakit kritis untuk mempertahankan volume intravaskular dan perfusi organ. Beberapa bukti mengenai barrier vaskular dan perannya pada kebocoran vaskular telah membuat suatu konsep baru untuk pemberian cairan. Pilihan cairan yang digunakan seharusnya didasarkan pada komposisi cairan dan patofisiologi penyebabnya. Menghindari terjadinya baik hipo maupun hipervolemia merupakan suatu hal yang penting ketika memperbaiki kegagalan sirkulasi. Pada praktik sehari-hari, penaksiran ambang batas individual untuk mengoptimalkan preload jantung dan menghindari terjadinya hipovolemia atau mencegah terjadinya kelebihan cairan masih menjadi suatu tantangan. Manajemen cairan bebas versus terbatas telah dibahas oleh bukti-bukti terbaru dan tampaknya pendekatan idealnya adalah goal-directed fluid therapy (GDT).PendahuluanTerapi cairan adalah konsep utama dalam manajemen perioperatif dan pasien sakit kritis. Beberapa aspek mempengaruhi keuntungan dan efek samping dari pemberian cairan. Beberapa keterangan mengenai barrier vaskular, hubungan fisiologis dan peran terapi cairan dalam kebocoran vaskular telah membuat konsep baru untuk pemberian cairan intravaskular. Bertentangan dengan hukum Starling mengenai pertukaran cairan, telah disebutkan bahwa glikokaliks endotel mungkin memainkan peran yang sangat penting dalam fungsinya sebangai barrier vaskular.Biasanya cairan kristaloid dalam volume yang besar diberikan pada pasien yang menjalani pembedahan besar, berdasarkan anggapan akan adanya dehidrasi preoperatif dan penaksiran yang terlalu tinggi terhadap kehilangan cairan karena adanya ruang ketiga. The Surviving Sepsis Campaign merekomendasikan goal-directed fluid therapy (GDT) kasus hipoperfusi yang persisten dalam kurun waktu 6 jam. Penggantian cairan yang tidak adekuat pada kasus hipovolemia dapat menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output/CO) dan penurunan pengantaran oksigen (oxygen delivery/DO2) ke jaringan yang menyebabkan terjadinya disfungsi organ. Bgaimanapun juga, pemberian cairan yang berlebihan dan keseimbangan cairan positif dapat menyebabkan bermacam-macam komplikasi dan peningkatan risiko mortalitas. Beberapa penelitian telah membandingkan pemberian cairan restriktif dengan pemberian cairan secara bebas untuk manajemen volume dan mencoba untuk menemukan hubungan antara fungsi fisiologis barrier vaskular dan jenis cairan yang diberikan (kristaloid atau koloid). Bagaimanapun juga, hasil dari beberapa penelitian ini bertentangan. Penelitian terbaru telah berfokus pada penggunaan pemantauan hemodinamik lebih lanjut dan mengusulkan konsep rasional pada GDT untuk memperbaiki hasilnya pada pasien sakit kritis dan pasien yang menjalani pembedahan risiko tinggi.Review singkat ini merupakan ringkasan mengenai fisiologi yang berkaitan dengan distribusi cairan tubuh, peran barrier vaskular endotel dan efek bermacam-macam larutan intravena. Tujuan terapeutik akan lebih ditekankan, bersamaan dengan evaluasi kritis mengenai parameter hemodinamik sebagai panduan terapi cairan dan rekomendasi untuk para klinisi/dokter.

Dasar-dasar fisiologis dan patofisiologisTubuh manusia terdiri dari 60% air, kira-kira sekitar 2/3 berlokasi di ruang intraselular dan 1/3 berlokasi di ruang ekstraselular. Ruang ekstraselular terdiri dari ruang interstitial, plasma darah dan sejumlah kecil cairan trans-selular yang disekresikan (contoh: cairan intraokular, serebrosipinal dan gastrointestinal). Endotel kapiler dapat ditembus secara bebas oleh air, elektrolit, nutrisi dan glukosa tetapi tidak dapat ditembus oleh molekul yang besar seperti protein dan koloid yang terbatas pada ruang intravaskular. Terapi cairan intravena bertarget pada volume cairan intravaskular (intravascular fluid volume/IVFV) , volume cairan ekstraselular (extracellular fluid volume/ECFV) atau keduanya. Komposisi dan penggunaan yang berbeda dari cairan intravena seharusnya ditentukan oleh ruang cairan yang menjadi sasaran dan seharusnya tidak ada perbedaan pada keadaan intraoperatif, perioperatif, post-operatif maupun perawatan intensif. Penggantian volume bertujuan untuk menggantikan penurunan IVFV dan untuk mengkoreksi hipovolemia guna mempertahankan hemodinamika dan tanda-tanda vital. Hal ini dicapai dengan larutan fisiologis yang mengandung komponen osmotik koloid yang juga merupakan iso-onkotik dan isotonik. Penggantian cairan bertujuan untuk mengimbangi berbagai kehilangan cairan yang akan datang maupun kehilangan cairan yang sudah ada sebelumnya karena adanya kehilangan cairan melalui ginjal, usus dan kulit. Hal ini dapat dicapai dengan larutan fisiologis yang semua komponennya aktif secara osmotik dan juga merupakan isotonik. Penggantian elektrolit atau osmoterapi bertujuan untuk menggantikan volume cairan tubuh total fisiologis (volume cairan intraselular (intracellular fluid volume/ICFV) ditambah ECFV) ketika hilangnya cairan melalui ginjal, usus dan kulit telah mengubah komposisi dan/atau volume baik salah satu maupun kedua ruang cairan (ICFV dan/atau ECFV).Perpindahan cairan antara ruang intravaskular dan ruang ekstravaskular melintasi barrier endotel vaskular dan perpindahan ini diklasifikasikan sebagai perpindahan fisiologis dan patologis. Perpindahan cairan fisiologis terjadi secara berkesinambungan melalui suatu barrier endotel vaskular yang intak/utuh. Cairan diredistribusikan secara lambat di antara ruang interstitial dan intraselular dan kembali ke ruang intravaskular melalui sistem limfa. Perpindahan cairan fisiologis tidak menyebabkan edem interstitial tapi kehilangan cairan dapat menyebabkan dehidrasi. Perpindahan cairan patologis terjadi ketika barrier endotel vaskular rusak. Jenis perpindahan ini menyebabkan akumulasi cairan sehingga terjadi edem interstitial dan dapat menyebakan hipovolemia akut apabila terjadi kehilangan cairan yang sangat banyak.Ernest Starling mendeskripsikan pergerakan cairan sebagai suatu keseimbangan dari tekanan osmotik koloid dan tekanan hidrostatik antara ruang intravaskular dan interstitial. Komponen cairan pada ruang intravaskular utamanya ditarik ke dalam karena adanya tekanan osmotik koloid yang dihasilkan oleh kadar protein plasma. Tekanan ini melawan tekanan hidrostatik intravaskular yang tinggi yang mempunyai kecenderungan untuk mendorong cairan keluar dari pembuluh darah menuju interstitial. Hukum ini menyebutkan bahwa baik tekanan osmotik koloid maupun tekanan hidrostatik interstitial jauh lebih rendah daripada tekanan intravaskular dan akibat dari tekanan ini adalah kebocoran kecil cairan dan protein dari pembuluh darah menuju interstitial; yang dikembalikan menuju pembuluh darah secara berkseinambungan melalui sistem limfa. Hukum klasik ini menyebutkan bahwa lapisan sel endotel sendiri bertanggung jawab atas fungsi barrier vaskular. Bertentangan dengan hukum Starling, telah disebutkan bahwa glikokaliks endotel mungkin berperan sebagai filter molekul utama, menghasilkan suatu gradien onkotik efektif pada tingkat mikrostruktur endotel, dengan konsentrasi gradien protein intravaskular-interstitial yang tidak berperan banyak. Konsep barrier ganda inilah yang menyebutkan bahwa garis utama lapisan glikokaliks endotel dan sel-sel endotel yang terdiri dari lapisan permukaan endotel-lah yang mempertahankan barrier vaskular. Lapisan-lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 0,4-1,2 m dan berfungsi dalam keseimbangan dinamis pada sekitar 800-1000 ml plasma yang bersirkulasi dan tidak bersirkulasi pada manusia. Suatu kadar normal albumin plasma diperlukan untuk fungsi yang optimal. Lapisan permukaan endotel/lapisan glikokaliks merupakan permukaan kontak pertama antara darah dan jaringan. Selain perannya sebagai barrier vaskular, lapisan ini juga terlibat dalam proses-proses seperti inflamasi, hemostasis, koagulasi dan regulasi vasomotor. Apabila rusak, glikokaliks kehilangan banyak kemampuannya sebagai barrier dan menyebakan terjadinya agregasi platelet, adhesi leukosit dan peningkatan permeabilitas transendotel, yang menyebabkan edem interstitial.

Cairan untuk terapi volume: kristaloid atau koloidKristaloidKristaloid didistribusikan secara bebas melewati barrier endotel vaskular. Suatu paradigma menyatakan bahwa diperlukan jumlah kristaloid empat kali lebih banyak untuk dapat mengimbangi koloid dan beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang sebanding. Kristaloid isotonik atau hampir isotonik, seperti NS, RL, Ringer Asetat mempunyai fase distribusi selama 25-35 menit. Peningkatan volume plasma selama pemberian infus lebih besar daripada yang umumnya disarankan. Pemberian infus Ringer Asetat 2 liter selama 30 menit, 50 % berlokasi di plasma ketika akhir pemberian infus pada sukarelawan yan g normovolemik; penelitian lain telah melaporkan adanya suatu peningkatan volume plasma sekitar 65-70% setelah pemberian infus Ringer Asetat 1,1 liter selama 10 menit dan pemberian infus Ringer Asetat 2 liter selama 20 menit. Pada pasien yang menjalani pembiusan umum, lebih dari 60% Ringer Asetat berlokasi di plasma selama pemberian infus yang berkesinambungan. Pada sukarelawan wanita yang sehat, sebagian kecil larutan Ringer yang bertahan di plasma lebih banyak untuk tingkat pemberian yang lebih lambat dan menurun seiring waktu pemberian. Peningkatan volume plasma setelah 30 menit pemberian adalah 50-75%. Jangka waktu yang relatif panjang diperlukan untuk cairan kristaloid berdistribusi sehingga pemberian infus yang lambat lebih efektif daripada pemberian secara bolus.Efek dari berbagai jenis kristaloid telah diteliti pada sukarelawan yang sehat. Larutan RL menurunkan osmolalitas serum secara singkat, dan kembali ke tingkat awal setelah 1 jam. NS tidak mempengaruhi osmolalitas serum tetapi dapat menyebabkan asidosis metabolik. Albumin serum mengalami penurunan oleh karena dilusi tetapi setelah itu kembali ke nilai awal, yang mengindikasikan adanya redistribusi dalam ruang cairan. Penurunan tingkat albumin bertahan selama > 6 jam dengan NS tetapi kembali ke tingkat normal selama 1 jam dengan dekstrosa 5%. Hemoglobin juga mengalami penurunan oleh karena adanya dilusi; kadar air dari pemberian dekstrosa 5% diekskresi setelah 2 jam, tetapi NS memiliki efek yang lebih tahan lama dengan hanya 30% natrium dan air yang diekskresi setelah 6 jam. Peningkatan volume plasma, yang diperkirakan oleh karena adanya dilusi hemoglobin dan albumin, ternyata lebih berkelanjutan setelah pemberian NS (56% dari volume yang diberikan selama 6 jam) dibandingkan dengan larutan Hartmann (30%). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kalium, natrium, urea serum atau osmolalitas total, tapi NS menyebabkan penurunan bikarbonat dan hiperkloremia yang berkelanjutan selama >6 jam.Penggunaan NS dalam jumlah besar dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. 29% pasien dengan syok mengalami asidosis hiperkloremik dalam 24 jam pemberian infus NS >1 liter dalam 1 jam. Ada kecenderungan mengalami asidosis hiperkloremik apabila pasien mendapat NS dalam jumlah besar (paling sedikit 4 liter) pada tingkat pemberian yang tinggi. Pada intervensi jangka pendek, pembatasan pemberian NS dengan penggunaan koloid mempunyai efek hiperkloremik sedang dan hal ini relatif sementara pada pasien dengan fungsi organ yang normal. Sukarelawan yang sehat memerlukan waktu > 2 hari untuk mengekskresikan garam dan air dari 2 liter NS.Hasil yang lebih buruk ditemukan pada pasien sakit akut atau kritis dimana kemampuan mereka untuk mengekskresikan garam dan air terganggu. Penurunan yang signifikan pada insidensi gagal ginjal akut dan kebutuhan penggantian ginjal ditemukan ketika larutan hiperkloremik termasuk NS dihindari. Mekanisme toksisitas ginjal yang disebabkan oleh NS atau larutan hiperkloremik lain masih belum jelas tetapi tingkat klorida dapat menurunkan fungsi ginjal oleh karena adanya provokasi pada sistem tubuloglomerular. NS memperberat gagal ginjal akut yang dipicu oleh sepsis, namun hal ini telah dibuktikan dengan adanya penurunan fungsi, peningkatan kadar biomarker dan hasil pemeriksaan histologi.

KoloidKoloid merupakan cairan yang mengandung makromolekul melebihi 40 kDa dan koloid diklasifikasikan sebagai koloid alami (contoh: albumin) dan artifisial (contoh: kanji, dekstran dan gelatin). Koloid dilarutkan dalam salin atau larutan garam yang lebih seimbang. Gelatin koloid dengan berat molekul sedang sampai rendah dan albumin lebih mudah bocor ke ruang interstitial dibandingkan dengan HES, yang memiliki berat molekul lebih besar. HES bertahan di intravaskular lebih lama dan durasi retensi dalam sistem sirkulasi berbeda antara larutan koloid satu dengan lainnya.Koloid dipercaya dapat meningkatkan tekanan onkotik plasma. Oleh karena berat molekul yang lebih tinggi, koloid dapat berinteraksi dan menyerap ke lapisan glikokaliks dan membatasi filtrasi, ketika kristaloid menyeimbangkan secara cepat antara ruang intravaskular dan ruang interstitial. Pada barrier yang sehat dan intak, koloid dapat bertahan dalam ruang intravaskular selama lebih dari 16 jam, dibandingkan dengan kristaloid seperti RL dan NS yang hanya dapat bertahan selama 30-60 menit. Jumlah koloid yangdiperlukan untuk mencapai suatu target hemodinamik lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kristaloid, sehingga volume intravaskular tetap meningkat lebih lama. Glikokaliks endotel biasanya rusak pada pasien yang cedera dan pasien sakit kritis sehingga pada pasien-pasien ini lebih sering terjadi kebocoran kapiler. Ketika larutan koloid berdifusi menuju interstitial, larutan ini menurunkan gradien tekanan onkotik di antara barrier kapiler dan berdampak pada ekstravasasi cairan lebih jauh. Dalam keadaan paling baik, koloid dapat mengembalikan volume intravaskular dalam hitungan menit atau jam tapi efeknya pada total air tubuh kumulatif dan berlangsung lama. Pasien sakit kritis cenderung menahan lebih banyak cairan dan memerlukan hitungan hari sampai minggu untuk mengekskresi cairan yang berlebih.Albumin merupakan molekul utama yang digunakan untuk memelihara tekanan osmotik intravaskular dan merupakan suatu koloid yang ideal untuk memperbaiki defisit protein intravaskular. Albumin manusia 4-5% pada larutan salin merupakan suatu koloid alami untuk resusitasi volume. Larutan ini diproduksi oleh fraksinasi darah dan dipanaskan untuk mencegah transmisi patogen yang dapat menyebabkan alergi dan reaksi imunologis. Penelitian The Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE) menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan signifikan pada tingkat mortalitas atau terjadinya gagal organ yang baru. Analisis tambahan pada beberapa subgrup menunjukkan bahwa pada pasien dengan cedera otak traumatik terdapat hubungan signifikan antara pemberian albumin dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada tahun ke-2 dan pada pasien dengan sepsis berat terdapat hubungan antara penurunan tingkat mortalitas pada hari ke-28 dan pemberian albumin, yang menunjukkan adanya keuntungan yang potensial dari resusitasi albumin. Pada tahun 2013, review Cochrane tidak menemukan adanya bukti bahwa resusitasi koloid (termasuk albumin) menurunkan risiko morbiditas atau mortalitas dibandingkan dengan resusitasi kristaloid pada pasien yang sakit kritis.Gelatin merupakan polipetida polidispers dari kolagen sapi yang terdegradasi. Berat molekul rata-rata gelatin adalah 30-35 kDa dan mempunyai kemampuan meningkatkan volume yang sebanding dan relatif aman dalam hal koagulasi dan integritas organ kecuali untuk fungsi ginjal. Pasien yang menjalani operasi aneurisma aorta yang diresusitasi dengan 4% gelatin memiliki kerusakan tubulus lebih jelas dengan tingkat urea serum dan kreatinin yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang diresusitasi dengan HES, dan perhatian mengenai risiko gagal ginjal akut yang berhubungan dengan penggunaan gelatin meningkat. Penggunaan gelatin belum diteliti dalam suatu uji acak terkendali berkualitas tinggi. Sehingga karena sedikitnya keuntungan dari segi klinis dan potensi nefrotoksisitasnya, penggunaan gelatin seharusnya dibatasi pada pasien dengan gangguan ginjal.HES merupakan derivat polimer artifisial yang diproduksi oleh substitusi hidroksietil amilopektin yang diperoleh dari sorgum, jagung atau kentang. Hidroksietilasi unit glukosa mecegah terjadinya degradasi hidrolisis oleh amilase non spesifik dan solubilitas air dalam darah. Koloid semi-sintesis ini tersedia dengan konsentrasi, berat molekul, substitusi molar, rasio C2/C6, pelarut dan profil farmakologis yang bervariasi. HES dengan berat molekul yang tinggi (>200 kDa) dan rasio substitusi molar > 0,5 (200/0,6) terkait dengan koagulopati oleh karena adanya penurunan faktor von Willebrand dan faktor VIII, yang menyebabkan penurunan adhesi platelet dan perubahan pada viskoelastisitas dan fibrinolisis. HES dengan berat molekul yang lebih tinggi dimetabolisme lebih lambat dan menyebabkan ekspansi intravaskular yang berkepanjangan, tapi dapat berakumulasi pada jaringan subkutan, hati dan ginjal. Penggunaan 10 % HES 200/0,5 pada pasien dengan sepsis dikaitkan dengan peningkatan insiden gagal ginjal akut dan kebutuhan penggantian ginjal. Koloid hiperonkotik memicu filtrasi glomerulus molekul hiperonkotik yang menyebabkan urin pekat dan stasis aliran tubulus yang menyebabkan lesi seperti nefrosis osmotik pada ginjal.HES terbaru memiliki berat molekul lebih rendah (130 kDa) dan rasio substitusi molar sekitar 0,38-0,45. Dosis HES 130/0,4 harian maksimum yang direkomendasikan adalah 33-50 ml kg -1. HES 130/0,4 telah ditunjukkan mampu mengurangi respon inflamasi ketika diberikan sebagai cairan resusitasi pada tikus percobaan yang mengalami syok septik dan syok hemoragik dengan cara menurunkan tingkat TNF alfa, interleukin dan stress oksidatif. Dua uji acak terkendali telah mengevaluasi keamanan HES untuk pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Peneliti melaporkan bahwa penggunaan HES 6% (130/0,42) dibandingkan dengan larutan Ringer Asetat, ternyata menyebabkan dengan peningkatan insiden gagal ginjal akut, peningkatan kebutuhan penggantian ginjal, peningkatan mortalitas pada hari ke 30dan peningkatan mortalitas signifikan pada hari ke-90. Percobaan CHEST merupakan suatu uji acak terkendali yang melibatkan 7000 pasien dengan sepsis berat. Peneliti menemukan bahwa penggunaan HES 6% (130/0,4), dibandingkan dengan NS, menyebabkan insidensi gagal ginjal akut lebih rendah namun tidak menyebabkan adanya perbedaan signifikan pada tingkat mortalitas pada hari ke-90. Bagaimanapun juga, percobaan ini menemukan bahwa penggunaan HES menyebabkan adanya peningkatan output urin pada pasien dengan risiko rendah mengalami gagal ginjal akut, tetapi juga terkait dengan adanya peningkatan kreatinin serum pada pasien dengan risiko lebih tinggi mengalami gagal ginjal akut. Baik percobaan 6S maupun percobaan CHEST menemukan adanya peningkatan signifikan kebutuhan penggantian ginjal yang terkait dengan pemberian HES dan tidak ada perbedaan signifikan dalam target resusitasi hemodinamik jangka pendek antara HES dan kristaloid. Percobaan CHEST menemukan bahwa penggunaan HES menyebabkan penggunaan 30% lebih sedikit cairan, peningkatan tekanan vena sentral yang lebih cepat dan insidensi kasus baru syok yang lebih rendah. Rasio HES-kristaloid pada percobaan CHEST adalah 1:1,3 yang serupa dengan rasio albumin-salin pada penelitian SAFE. Hasil yang berbeda dari dua percobaan ini kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa pasien pada percobaan CHEST berada pada keadaan yang lebih baik ketika pasien pada percobaan 6S dalam keadaan lebih buruk dan telah diresusitasi secara adekuat sebelum dilakukan pendaftaran penelitian dan percobaan 6S didesain untuk menggunakan jumlah cairan yang sama dan tidak mengizinkan adanya penurunan volume resusitasi pada kedua lengan. The Pharmacovigilance Risk Assessment Committee of the European Medicines Agency menyimpulkan bahwa sampai bukti lebih jauh tersedia, HES tidak boleh digunakan pada pasien dengan sepsis, luka bakar atau sakit kritis karena adanya risiko gagal ginjal akut dan mortalitas. HES dikontraindikasikan penggunaannya pada pasien dengan koagulopati berat dan pasien dengan gangguan ginjal atau memerlukan penggantian ginjal dan penggunaan HES tidak boleh diteruskan apabila terdapat tanda-tanda pertama akan terjadinya koagulopati atau gagal ginjal akut. HES seharusnya hanya digunakan untuk penggantian volume secara cepat oleh karena kehilangan darah akut dengan dosis efektif paling rendah dalam jangka waktu paling pendek ketika kristaloid saja dipertimbangkan tidak dapat mencukupi. Penggunaan seharusnya dipandu dengan pemantauan hemodinamik secara berksinambungan dan pemberian infus seharusnya dihentikan segera setelah sasaran hemodinamik yang diinginkan telah dicapai.

Pemberian cairan secara bebas versus pemberian cairan restriktifUmumnya, pada keadaan perioperatif, larutan kristaloid dalam jumlah besar diberikan secara rutin untuk mencapai volume intravaskular yang adekuat. Pendekatan ini berdasarkan konsep bahwa pasien cenderung untuk menjadi hipovolemik sebelum operasi oleh karena puasa yang berkepanjangan, obat pencuci perut, pengeluaran keringat dan output urin. Pembiusan umum dan blok neuroaksial dapat menyebabkan hipotensi dan sering memacu untuk dilakukannya pemberian cairan secara bebas untuk mencapai sasaran hemodinamik. Hal ini seharusnya diatasi dengan agen vasoaktif. Pada pembedahan kecil, pergantian cairan perioperatif umumnya sedikit dan risiko disfungsi organ juga kecil. Puasa preoperatif menyebabkan kekurangan cairan dan pemberian kristaloid yang lebih bebas pada pasien sehat yang menjalani pembedahan dengan risiko sedang memiliki profil kesembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang menerima jumlah terbatas dari kristaloid yang sama. Konsep ruang ketiga pada pembedahan menyebabkan penggantian cairan yang agresif untuk kehilangan cairan yang tidak disadari. Sebagai hasilnya, banyak pasien post-operatif yang memiliki keseimbangan cairan positif dan peningkatan risiko komplikasi. Tidak ada data signifikan yang menunjang konsep ruang ketiga dan keseimbangan cairan positif menyebabkan hasil yang lebih buruk. Suatu review mengenai pasien yang menjalani pembedahan abdomen besar dan artroplasti lutut, tidak termasuk pasien risiko tinggi, membandingkan antara regimen cairan bebas dan restriktif dan menyimpulkan bahwa sulit untuk mendefinisikan protokol bebas atau restriktif pada praktik klinik karena beberapa penelitian bervariasi dalam hal desain, jenis cairan yang diberikan, cairan tambahan yang telah diberikan, variabel hasil, definisi periode intra dan post-operatif dan fakta bahwa regimen cairan restriktif pada satu penelitian bisa jadi merupakan suatu regimen cairan bebas pada penelitian lainnya. Pemberian cairan bebas pada pasien yang menjalani pembedahan besar menyebabkan peningkatan risiko penumonia, waktu yang lebih lambat untuk pergerakan usus dan peningkatan lama rawat inap dibandingkan dengan kelompok terapi cairan restriktif dan GDT. Pasien yang menjalani pembedahan risiko sedang sepertinya lebih diuntungkan jika diberikan terapi cairan terbatas atau konservatif. Pada sepsis, syok distributif dan edem merupakan suatu atribut dari suatu kombinasi peningkatan permeabilitas kapiler dengan protein dan peningkatan tekanan hidrostatik transkapiler oleh karena adanya penurunan vasokonstriksi prekapiler. EGDT merupakan pendekatan bertahap yang memperbaiki tingkat mortalitas hari ke-30 pada pasien sepsis, menggunakan saturasi oksigen vena sentral (central venous oxygen saturation/ScvO2) >70% sebagai titik akhir tambahan beserta tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) optimal dan tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP). Satu lengan menerima terapi cairan 2 liter lebih banyak daripada lengan kontrol pada 6 jam pertama walaupun volume cairan keseluruhan pada 72 jam pertama sama pada kedua grup. Dalam suatu analisis, pasien dengan sepsis yang mendapat penunjang pada ginjal termasuk pembuangan cairan pada saat pendaftaran ternyata memiliki tingkat mortalitas lebih rendah dan durasi memakai ventilasi mekanis yang lebih singkat walaupun diberikan terapi cairan dalam jumlah sebanding. The Fluids and Catheter Treatment Trial menetapkan bahwa manajamen cairan konservatif 24 jam setelah penegakan akan adanya sindrom gagal nafas akut dapat memperbaiki fungsi sistem saraf sentral dan paru secara signifikan, mengurangi kebutuhan agen sedatif, mengurangi durasi pemakaian ventilasi mekanik dan mengurangi lamanya perawatan intensif. Bagaimanapun juga, penelitian ini menyebutkan bahwa manajemen cairan konservatif seharusnyadilaksanakan secara hati-hati selama fase resusitasi. Strategi manajemen cairan adekuat dini pada fase resusitasi dapat memberbaiki hipoksia jaringan global (yang dapat dilihat dengan adanya penurunan kadar laktat dan peningkatan ScvO2) dan menurunkan insidensi pemakaian ventilasi mekanik pada 72 jam pertama. Resusitasi cairan memperbaiki mikrosirkulasi dan mengatur biomarker tertentu pada fase awal sepsis tetapi tidak pada fase akhir sepsis. The Sepsis Occurrence in Acutely Ill Patients (SOAP) study dan Vasopressin and Septic Shock Trial (VASST) menyokong strategi manajemen cairan. Penelitian SOAP menunjukkan bahwa keseimbangan cairan positif dalam 72 jam ternyata menyebabkan keparahan dan mortalitas pada subgrup pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Walaupun terdapat adanya bias seperti indikasi, ketergantungan waktu, intervensi yang berulangi, risiko dan eksklusi pada pasien yang paling sakit dan paling tidak sakit, kebanyakan penelitian menemukan bahwa keseimbangan cairan positif merupakan suatu faktor risiko pada pasien sepsis. Pada pasien dengan syok septik dan sindrom gagal nafas, pemberian volume cairan intravena awal yang lebih tinggi yang diikuti dengan keseimbangan cairan negatif selama 2 hari berturut-turut dalam 7 hari pertama menghasilkan tingkat mortalitas yang lebih rendah. Bagaimanapun juga, daripada bergantung pada istilah bebas atau restriktif, lebih penting berfokus pada ketepatan volume dan waktu pemberian cairan untuk mengkoreksi hipovolemia dengan GDT.

Goal-directed volume therapySuatu ketidakseimbangan antara DO2 dan konsumsi oksigen (oxygen consumption/VO2) merupakan suatu hal yang umum ditemukan pada pasien yang menjalani pembedahan risiko tinggi dan pasien sakit kritis. Oksigen jaringan dapat ditentukan dengan DO2, dimana optimisasi konsumsi oksigen merupakan faktor utama untuk menyesuaikan kebutuhan metabolik. Resusitasi cairan telah dianggap sebagai langkah pertama dalam mengoptimalkan CO tetapi banyak penelitian melaporkan bahwa hanya sebesar 50% pasien yang memiliki keadaan hemodinamik tidak stabil yang berespon terhadap pemberian cairan. MAP, nadi dan diuresis diukur secara rutin namun tidak dapat menaksir ketidakstabilan hemodinamik atau menentukan penyebabnya secara akurat. Umumnya, pemberian cairan perioperatif, nilai CVP sebelumnya dan tekanan oklusi arteri pulmonal (pulmonary arterial occlusion pressure/PAOP) digunakan untuk memperkirakan tekanan atrium kiri seabagai preload ventrikel kiri. Tujuan dicapai dengan pemberian cairan dengan infus dan kombinasi agen inotropik. Shoemaker et al memperkenalkan konsep menargetkan nilai di atas normal pada CO dan DO2-VO2 menggunakan kateter arteri pulmonal pada pasien yang menjalani pembedahan tingkat tinggi dan hal ini terkait dengan hasil yang lebih baik pada pasien-pasien ini. Bagaimanapun juga, peningkatan mortalitas ditemukan pada pasien sakit kritis yang diperlakukan dengan nilai target di atas normal, oleh karena itu, ScvO2 dan rasio ekstraksi oksigen juga ditambahkan sebagai sasaran resusitasi. GDT awalnya menggunakan CVP, MAP dan ScvO2 sebagai parameter sasaran untuk resusitasi cairan awal pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Sayangnya, baik CVP maupun PAOP merupakan marker yang buruk untuk volume intravaskular karena adanya variasi non-linear pada mobilitas vaskular dan tidak berkorelasi dengan volume darah yang bersirkulasi. Suatu review yang sistematik memverifikasi bahwa CVP dan PAOP merupakan indikator yang buruk untuk preload dan keresponsifan volume terhadap perubahan pada volume sekuncup atau CO.Langkah utama pada strategi resusitasi cairan adalah penaksiran mengenai CO dan preload. Kurva Frank-Starling digunakan untuk menentukan hubungan antara preload ventrikel dan volume sekuncup pada individu pasien, dan mengacu pada parameter volume statis seperti preload jantung dan parameter dinamis untuk memperkirakan keresponsifan preload pada pasien. Parameter dapat dievaluasi dengan baik menggunakan metode pemantauan, berkisar dari teknik termodilusi klasik menggunakan kateter arteri pulmonal dan dilusi transpulmonal sampai analisis kontur nadi non-kalibrasi yang tidak invasif pada sinyal tekanan arteri dan Doppler esofagus. Parameter statis seperti volume akhir-diastolik global (global end-diastolic volume/GEDV) dan volume darah intratorasik (intrathoracic blood volume/ITBV) dapat ditentukan dengan teknik termodilusi transpulmonal. Parameter ini tidak dibatasi oleh pernafasan spontan dan terbukti dapat menjadi indikator yang baik untuk preload jantung. Parameter dinamis seperti variasi tekanan nadi (pulse pressure variation/PPV), variasi volume sekuncup (stroke volume variation/SVV) dan indeks variabilitas nadi (pulse variability index/PVI) berasal dari interaksi antara jantung dan paru selama ventilasi mekanik. PPV arteri merupakan suatu variasi pada tekanan nadi arteri selama ventilasi tekanan positif dan SVV merupakan suatu variasi pada volume sekuncup selama ventilasi tekanan positif, keduanya dikalkulasikan menggunakan analisis kontur nadi di area terdapatnya gelombang nadi atau menggunakan Doppler esofagus. PPV dan SVV menggunakan besarnya perubahan pernafasan pada tekanan nadi arteri dan indeks volume sekuncup sebagai indikator dari preload dan merupakan prediktoryang dapat diandalkan untuk keresponsifan preload. PVI dikalkulasi secara berkesinambungan oleh suatu alat non-invasif yang mengukur perubahan pada indeks perfusi (rasio dari aliran darah yang non-pulsatil dan pulsatil yang melewati kapiler perifer ) selama siklus pernafasan. Perbedaan pada PPV, SVV sebesar 10-13% dan PVI sebesar 15% merupakan suatu prediksi yang baik akan adanya keresponsifan preload. SVV, PPV, dan PVI tidak dapat dipakai apabila terdapat adanya nafas spontan, aritmia jantung, prosedur pembukaan dada, volume tidal 5%, hal ini dapat memprediksi adanya keresponsifan preload. Uji angkat tungkai pasif dapat dilaksanakan pada pasien dengan nafas spontan dengan cara mengangkat kaki untuk mengevaluasi apakah perpindahan darah dari ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral dapat meningkatkan preload jantung kiri dan meningkatkan CO sebesar 10% untuk dapat menaksir keresponsifan preload.Efek samping dari kelebihan cairan diungkapkan terutama pada paru. Paru menerima CO maksimum dan sangat terpajan akan kaskade inflamasi. Sehingga paru dapat menjadi suatu tilikan klinis dari perbaikan mikrosirkulasi dinamis dan pemantauan bedside untuk mendeteksi adanya edem paru dengan cairan paru ekstravaskular (extravascular lung water/EVLW) yang dilaksanakan dengan cara termodilusi transpulmonal menjadi penting. EVLW dapat memperkirakan luasnya kebocoran kapiler dan kelebihan cairan. Selama pemberian infus, pasien dengan preload yang responsif lebih mungkin mengalami peningkatan CO yang besar dan speningkatan EVLW yang sedikit. Apabila terdapat sedikit peningkatan atau tidak terdapat peningkatan pada volume sekuncup atau terdapat peningkatan yang besar pada EVLW, maka pasien tidak responsif terhadap cairan. Pada pembedahan jantung, algoritme GDT yang menggunakan GEDV, SVV dan EVLW dapat mengurangi kebutuhan agen vasoaktif, pemakaian ventilasi mekanik dan lamanya perawatan intensif dibandingkan dengan algoritme GDT yang menggunakan MAP, CVP dan PAOP. Pasien sakit kritis yang menerima ventilasi mekanik menunjukkan korelasi signifikan antara peningkatan EVLW dan keseimbangan cairan positif dan disfungsi organ dan hasil yang buruk. Kadar EVLW yang lebih tinggi (> 7-10 ml kg-1) ditemukan pada pasien yang tidak dapat bertahan hidup dan hal ini merupakan suatu faktor risiko independen untuk mortalitas pada hari ke-28. EVLW merupakan suatu pemandu yang baik untuk manajemen cairan dan dapat menjadi prediktor yang baik pada pasien sakit kritis.Tiga jenis syok (hipovolemik, obstruktif dan kardiogenik) terkait dengan adanya penurunan CO, oleh karena itu kondisi ini memiliki efek positif pada hasil keseluruhan setelah normalisasi CO. Sementara itu, pada kasus dengan syok distributif (contoh: syok septik), adanya perfusi jaringan yang tidak adekuat dan disfungsi sel tetap bertahan pada kondisi CO yang normal atau bahkan yang meningkat. Kerusakan ini tejadi karena adanya perubahan dan aliran mikrosirkulasi dan mempunyai karakteristik adanya disoksia regional yang persisten yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar laktat, peningkatan P(cv-a)CO2 (selisih antara PaCO2 arteri dan PvCO2 vena sentral) dan kadar ScvO2 yang tinggi. Laktat merupakan suatu produk metabolisme anaerob ketika jaringan mengalami hipoperfusi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat adanya kadar laktat yang rendah pada pasien dengan pemberian GDT post-operasi. GDT yang dipandu dengan pemantauan ketat kadar laktat telah menunjukkan bahwa regimen cairan restriktif pada pasien yang menjalani pembedahan gastrointestinal elektif besar dapat menyebabkan adanya insufisiensi cairan dan perfusi jaringan yang rendah pada lebih dari 28% pasien. Pemantauan ketat kadar laktat serum dan klirens laktat untuk memandu pemberian cairan mungkin dapat memperbaiki deteksi awal adanya hipoperfusi dan mengevaluasi respon pasien terhadap terapi cairan. P(cv-a)CO2 merupakan suatu parameter gas darah yang terkait dengan aliran darah. PaCO2 arteri tergantung pada pertukaran gas paru tapi PvCO2 tergantung pada kemampuan aliran atau curah jantung untuk mengeluarkan karbondioksida dari jaringan. Oleh karena itu, peningkatan P(cv-a)CO2 mungkin dapat membantu deteksi awal adanya hipoperfusi dan dapat memandu pemberian cairan.Pada pasien sepsis, gangguan mikrosirkulasi dan hipoksia jaringan tetap bertahan walaupun dengan adanya optimalisasi hemodinamik sistemik, seperti CO yang normal atau meningkat, aliran darah yang normal atau pengantaran oksigen yang normal. Perubahan mikrosirkulasi merupakan faktor risiko yang penting pada populasi ini. Dalam suatu penelitian pada pasien dengan syok septik ditemukan adanya penurunan perfusi mikrosirkulasi, dan perbaikan respon aliran mikrosirkulasi terhadap cairan dapat menjadi sasaran yang baik untuk terapi cairan. Menargetkan mikrosirkulasi dalam resusitasi cairan dengan observasi bedside langsung menggunakan spektroskopi inframerah, spektral polarisasi orthogonal dan pencitraan dapat mengevaluasi dan memandu GDT pada tingkat mikrosirkulasi dan membuat resusitasi menjadi lebih optimal.

KesimpulanPilihan dan waktu pemberian berbagai macam cairan dan jumlahnya seharusnya didasarkan pada komposisi cairan dan patofisiologi penyebabnya. Strategi manajemen cairan konservatif adekuat awal dan akhir menggunakan parameter makro dan mikrosirkulasi sebagai target resusitasi dan bertujuan untuk menyesuaikan kebutuhan oksigen selama terjadinya stress dan respon inflamasi sistemik dan menghindari komplikasi lebih jauh. Intervensi terapeutik seharusnya dilakukan secara dini untuk mengembalikan keseimbangan cairan dan mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan. Hal ini dapat dicapai dengan mengoptimalkan target hemodinamik makrosirkulasi seperti target tekanan statis (seperti MAP, CVP dan PAOP), target volumetrik (CO, SV, GEDV dan ITBV), target parameter dinamis (seperti PPV, SVV dan PVI) dan target fungsi organ (seperti EVLW) dengan perbaikan pada target mikrosirkulasi (laktat, ScvO2 dan and P(cv-a)CO2) dan aliran mikrosirkulasi. Ketika dilaksanakan secara dini selama atau sesudah pembedahan atau setelah pengenalan terjadinya syok pada pasien yang pantas dan menggunakan sasaranyang dapat ditentukan, GDT telah terbukti dapat memperbaiki hasil pada pasien yang menjalani pembedahan risiko tinggi dan pasien sakit kritis.

Poin-poin praktis Konsep barrier-ganda yang baru dan pergerakan cairan pada glikokaliks endotel menunjukkan bahwa degradasi glikokaliks mungkin dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dan edem interstitial. Larutan dengan kadar klorida yang tinggi seharusnya dihindari pada resusitasi dengan volume yang besar karena dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik hiperkloremik dan nefrotoksisitas. Disarankan untuk menggunakan larutan dengan elektrolit yang seimbang untuk penggantian volume. Larutan HES seharusnya tidak dipakai pada pasien sakit kritis dengan risiko tinggi mengalami gagal ginjal akut dan koagulopati, dan seharusnya hanya digunakan untuk mengatasi hipovolemia karena adanya kehilangan darah akut dengan dosis efektif terendah dalam periode waktu yang tersingkat ketika kristaloid saja dipertimbangkan tidak dapat mencukupi. Baik hipo maupun hipervolemia memiliki efek samping pada keadaan pasien. GDT yang berdasarkan patofisiologi penyebab yang dipandu dengan parameter volumetrik (seperti GEDV dan ITBV), parameter dinamis (seperti PPV, SVV, PVI, uji angkat tungkai pasif dan uji oklusi akhir pernafasan) dan sasaran fungsi organ (seperti EVLW) merepresentasikan suatu pendekatan makrosirkulasi yang ideal Observasi bedside menggunakan spektroskopi, spektral polarisasi ortogonal dan pencitraan dapat memandu GDT pada tingkat mikrosirkulasi dan menghasilkan resusitasi yang lebih optimal.Agenda penelitian Percobaan berkualitas tinggi di masa yang akan datang diperlukan untuk menentukan apakah koloid, kristaloid atau kombinasi keduanya dapat membuat hasil yang lebih baik, khususnya pada beberapa kondisi klinis tertentu. Uji acak terkendali prospektif yang lebih jauh diperlukan untuk mengevaluasi apakah strategi konservatif akhir dapat memperbaiki hasil dan mengevaluasi waktu yang optimal untuk implementasi khususnya pada pasien sakit kritis. Percobaan multisentral yang besar diperlukan untuk membandingkan bermacam-macam protokol GDT perioperatif dalam hal morbiditas dan mortalitas perioperatif di antara pasien-pasien dalam semua tingkat risiko.