jual beli dalam perbankan syariah

23
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah saw. Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti murabahah, salam dan istishna’. Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa semata. B. RUMUSAN MASALAH 1

Upload: reimabustami

Post on 03-Jul-2015

785 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima

simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah

perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah

telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah saw.

Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana,

penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta kegiatan-kegiatan lainnya.

Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang

(transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu

bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk

pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti murabahah, salam dan istishna’.

Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan

menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab. 

Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah

benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya

rekayasa semata.

B. RUMUSAN MASALAH

- Bagaimana Prinsip-prinsip Dasar Perbankan Syariah dalam Jual Beli!

C. TUJUAN PEMBAHASAN

Untuk dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, dengan menelusuri secara

singkat praktek-praktek perbankan yang dilakukan oleh umat muslim sepanjang sejarah

1

Page 2: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

BAB II

PEMBAHASAN

A. JUAL BELI (Sale and Purchase).

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka

dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi

sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan

kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan

seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam

koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini

menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.

Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli

yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli,

bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh

karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.

Jual beli memiliki beberapa persyaratan yang harus seluruhnya dipenuhi agar akad jual

belinya menjadi sah. Di antara syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak

yang terlibat, yakni kompetensi dalam melakukan aktivitas. Ada yang berkaitan dengan barang

yang dijual belikan, yakni mengetahui jenis barang jualan dan mengetahui harganya, serta

keberadaan barang tersebut yang harus suci, bermanfaat dan bisa diserah-terimakan, serta

merupakan milik si penjual ketika terjadi akad, kemudian tidak ada pembatasan waktu.

Jual beli borongan juga diperbolehkan, yakni jual beli barang yang biasa ditakar, ditimbang

atau dihitung secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi, namun sesuai dengan

beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan Malikiyah.

Namun menjual komoditi riba fadhal (enam jenis) dengan yang sejenisnya dengan cara

borongan tidak diperbolehkan, karena adanya syarat kesamaan ukuran atau takaran dalam barter

barang komoditi riba fadhal. Sementara kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal itu adalah:

Ketidaktahuan akan kesamaan sama hukumnya dengan mengetahui ketidaksamaan.

Sebab-sebab dilarangnya jual beli ada dua macam: sebab-sebab perjanjiannya dan yang

bukan dari perjanjiannya.

2

Page 3: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

Sebab-sebab karena perjanjian di antaranya ada yang ber-kaitan dengan substansi

perjanjiannya, seperti tidak terpenuhinya syarat adanya barang yang dijual belikan atau adanya

nilai barang tersebut, atau hak kepemilikan penjual terhadap barang itu. Ada juga yang berkaitan

dengan komitmen akadnya, karena mengan-dung riba atau manipulasi.

Sementara sebab-sebab yang bukan dari akad jual beli yang dilakukan di antaranya adalah

kembali kepada bentuk mempersulit orang lain, mengganggu atau melakukan penipuan. Adapun

yang menjadi bahasan jual beli dalam perbankan Syariah adalah sebaga berikut:

1. Jual Beli Murabahah

Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung

lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek

keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan

syari’at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka. 1

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( �ُح� (الِر�ْب yang berarti

kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah

jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang

dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan

keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus

ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan

mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan

kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu

diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil.

Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama,

sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah, bahkan Ibnu Hubairoh menyampaikan ijma’ dalam

hal itu demikian juga al-Kaasaani.

Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual

beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli

Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada

3

Page 4: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

yang berlaku dimasa lalu. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi

islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?

Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:

1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar

pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang

dibayarkan bank secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon

untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal

transaksi).

2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian

barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk

membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat

untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan

nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.

3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan,

karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan

karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga

keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan

tempo yang lebih tinggi.

4. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai

pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak

membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya

janji memberi dimuka.

Pernyataan para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli ini

Permasalahan jual beli murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer

dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian

pernyataan mereka:

Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu

barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia

membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan

4

Page 5: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan

bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang

tersebut’. Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai dan

saya akan memberika keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada yang

pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang

disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau

tempo. Jual beli pertamam diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua.

Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan

ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua

hal:

1. Berjual beli sebelum penjual memilikinya.

2.  Berada dalam spekulasi (Mukhathorah).

Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-’Inah adalah

jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada

padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh

kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari

kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang

menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk

mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas.

Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan

pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan.

Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual

beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat

al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-

Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam

jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu

penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya.

5

Page 6: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

- Hukum Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu al-

Mulzaam)

Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat

ada dua:

1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hukumnya

adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena

tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau

penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak

menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang

dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya.

Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan

kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya.

2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan

diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-’Inah sebagaimana

disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh

Bakr Abu Zaid.

- Hukum Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat

Untuk mengetahui hukum ini maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan

langsung dengannya.

1) Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini

Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang

terpenting adalah:

1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.

a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat

yang jelas.

b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian

barang tersebut.

6

Page 7: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.

3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.

4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.

a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.

b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.

c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.

d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.

5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).

6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.

7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.

a. Penentuan harga barang.

b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.

c. Penentuan nisbat keuntungan (profit).

d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.

e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil

secara bebas dari kitab al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam

buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ Murabahah sebagai

berikut:

2) Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini.

7

Page 8: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:

1. Ada tiga pihak yang terkait yaitu:

a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.

b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.

c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon

atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi yaitu:

a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.

b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3. Ada tiga janji yaitu:

a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.

b.  Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.

c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga

keuangan.

Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad berganda

(al-’Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji  dan ada tiga pihak. Setelah

meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi

dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu

waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh

satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu

janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.

Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi

dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: kirimkan untuk saya

barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian.

Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun

akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah

ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini

adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban

yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang

8

Page 9: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas

hukumnya berbeda.

3) Hukumnya

Dalam kasus seperti ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:

a. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut

masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang belum

dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut

diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu

menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

b. Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena

hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempu dengan

adanya barang penghalal diantara keduanya.

c. Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits

yang berbunyi:

�َم َّل َوَس َعْن� �ْن� ْي �َعَت ْي ْب ِف�ي �َعٍة� ْي �ِه� ْب ْي �ِه� َعَّل َس�وُل� َصَّل�ى الَّل َر �ِه� َهى الَّل َنRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual

beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149)

Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi)

setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli.

4) Ketentuan diperbolehkannya

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli

murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga

hal:

1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan

ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.

2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari

dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi

tanggung jawab lembaga keuangan.

9

Page 10: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada

lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.

2. Jual Beli Salam

Meski tidak berbeda substansinya, rumusan definisi Salam yang diberikan oleh para

fuqaha berbeda-beda. Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang

yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya jelas dengan

pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”. Fuqaha

Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah disepakati untuk

membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dahulu,

sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli dikemudian hari”. Sedangkan Fuqaha

Malikiyah mendefinisikannya dengan: “Jual-beli yang modalnya dibayar terlebih dahulu,

sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati”.

Jadi Salam adalah jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi

yang telah ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang tersebut

selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya dilakukan pada

suatu saat yang disepakati di kemudian hari. Dengan demikian dalam transaksi Salam, pembeli

pemesan memiliki piutang barang terhadap penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang

barang kepada pembeli.

- Dasar Hukum.

Dasar hukum Salam adalah firman Allah:

”Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secar atunai untuk

waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah (2) : 282)

Berkenaan dengan ayat ini Ibn Abbas berkata; “Saya bersaksi bahwa Salaf (Salam) yang

dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-

Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.1

1. M.Syaf’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 108

10

Page 11: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

Dasar hukum lainnya adalah hadis yang berkaitan dengan tradisi penduduk Madinah yang

didapati oleh Rasulullah pada awal hijrah beliau ke sana, yaitu tradisi akad Salaf (Salam) dalam

buah-buahan untuk jangka waktu satu tahun atau dua tahun. Beliau bersabda;

“Barangsiapa melakukan jual beli Salaf (Salam) pada kurma, hendaknya ia melakukannya

dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waku yang diketahui”.

(HR. al-sittah)

Pada hadits lainnya Rasulullah bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat

keberkatan: jual-beli secara tanggung, muqarradah (nama lain mudharabah), dan mencampur

gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah)

Dari sudut Usul Fiqh, akad Salam ini dipandang menyalahi kaidah umum dalam jual-beli,

yaitu bahwa barang dan harga harus ada pada saat akad. Sedangkan pada akad Salam barang

yang dijual tidak ada. Atas dasar itu, Salam dipandang menyalahi qiyas.

Namun karena ada nash, maka qiyas ditinggalkan. Di dalam Ushul Fiqih, berpaling dari

kaidah umum kepada nas disebut Istihsan bi al-nash. Demikian menurut pandangan fuqaha

Hanafiyah dan Malikiyah yang menjadikan Istihsan sebagai slah satu metode istinbat

hukumnya.2

- Rukun dan Syarat

Menurut fuqaha Hanafiyah, rukun Salam itu hanya ijab dan qabul. Sedangkan menurut

fuqaha lainnya, rukun Salam itu ada empat, yaitu:

1. Pihak-pihak yang berakad, yaitu muslam (pembeli/pemesan) dan muslam ilayhi

(penjual/pemasok).

2. Barang yang dipesan (muslam fihi)

3. Modal atau uang

4. Sighat akad (ijab dan qabul)

Syarat sahnya akad salam adalah sebagai berikut:

1. Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.

2. Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, cirri-ciri, dan ukurannya.

1. Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gama Media Pratama, 200), h. 148

2. M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, h. 109

11

Page 12: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

3. Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika

berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di

tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui

mekanisme Salam, pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.3

4. Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang

dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.

- Salam Diperbankan Syariah

Di masyarakat ada anggapan bahwa jual-beli Salam itu tidak ada bedanya dengan jual-

beli Ijon. Dalam jual beli ijon, pembeli membayar lunas harga buah-buahan di pohon yang masih

belum saatnya dipanen karena belum matang (masih hijau). Ketika penen tiba, berapapun jumlah

buah yang ada di pohon adalah hak milik pembeli. Mungkin pembeli mendapatkan keuntungan

besar ketika buah yang dipanen lebih banyak dari yang diperkirakan.

Mungkin pula ia menderita kerugian ketika yang dipanen lebih sedikit dari yang diperkirakan.

Jadi di sini terdapat unsur ketidak jelasan (gharar) dalam hal jumlah barang yang diperjual

belikan. Demikian pula tidak ada kejelasan mengenai waktu penyerahannya.

Jual-beli Salam tidak sama dengan jual beli Ijon, karena dalam jual beli Salam kualitas

dan kuantitas barang serta waktu penyerahannya sudah ditentukan dan disepakati sebelumnya,

sehingga di dalamnya tidak ada unsur garar. Karena itu, bila panen buah-buahannya kurang,

penjual harus memenuhinya dari pohon yang lain. Tetapi bila lebih, maka kelebihannya itu

menjadi milik penjual.

Di perbankan Syariah, jual beli salam lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat

pertanian, barang-barang industri, dan kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memrlukan biaya

untuk memproduk barang-barang industri bisa mengajukan permohonan pembiayaan ke bank

syari’ah dengan skim jual-beli salam. Bank dalam hal ini berposisi sebagai pemesan (pembeli)

barang yang akan diproduksi oleh nasabah. Untuk itu bank membayar harganya secara kontan.

3. Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,

2004), h. 96

12

Page 13: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

Pada waktu yang ditentukan, nasabah menyerahkan barang peasanan tersebut kepada

bank. Berikutnya bank bisa menunjuk nasabah tersebut sebagai wakilnya untuk menjual barang

tersebut kepada pihak ketig secara tunai. Bank bisa juga menjual kembali barang itu kepada

nasabah yang memproduksinya itu secara tangguh (bisaman ajil) dengan mengambil keuntungan

tertentu.

Jadi setelah akad Salam tuntas dengan diserahkannya barang oleh nasabah (penjual)

kepada bank (pembeli), masih ada beberapa akad lain yang mengiringinya. Kalau bank kemudian

menunjuk nasabah tersebut sebagai wakil bank untuk menjual barang itu secara tunai kepada

pihak ketiga, maka yang terjadi adalah akad jual beli murabahah bisama ajil. Dengan beralihnya

kepemilikan barang itu kepada nasabah, sedangkan ia belum membayar sepeserpun kepada bank,

maka timbullah dayn (hutang). Selanjutnya, walaupun tidak wajib, biasanya diikuti dengan akad

rahn, dimana bank menahan barang jaminan, baik berupa barang yang sudah dibeli kembali oleh

nasabah itu tadi atau barang lain.4

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa bank tidak selalu mudah untuk menjual

kembali barang industri yang dibelinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada nasabah.

Untuk itu lalu dilakukanlah akad Salam parallel, yaitu dua akad salam yang dilakukan secara

simultan antara bank dan nasabah di satu pihak dan antara bank dan pemasok barang (supplier)

di pihak lain. Menurut Dewan Pengawas Syari’ah Rajbi Investemen Corporation, Salam paralel

ini diperkenankan dengan syarat pelaksanaan akad salam yang pertama.5

Di bank-bank Islam yang sudah mapan seperi di Sudan, Bahrain, dan negara-negara

Timur Tengah lainnya, transaksi dilakukan dengan system Salam Tunggal. Konsekuensinya,

bank harus memiliki inventory yang dikelole secara professional agar tidak mengalami kerugian.

Bank juga harus menyediakan gudang tempat penyimpanan (Warehouse) barang, baik milik

sendiri maupun menyewa dari pihak lain. Jadi bank dalam hal ini bertindak sebagai pedagang

yang terjun langsung dalam persaingan bisnis komoditi.

Sedangkan di negara-negara yang masih memegang paradigma bank sebagai

intermediary institution di mana bank tidak malakukan transaksi perdagangan secara langsung,

maka mekanisme yang memungkinkan adalah salam paralel.

5. M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah…, h.110

13

Page 14: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

Artinya bank melakukan transaksi salam dengan produsen (Salam pertama) jika bank

sudah memiliki nasabah sebagai calon pembeli (Salam kedua). Bank dalam hal ini tidak perlu

mengoperasikan gudang karena pengiriman barang bisa dilakukan langsung dari produsen

kepada pembeli. Dalam prakteknya, bisa saja taransaksi antara bank dengan calon pembeli

(pemesan) terjadi lebih dahulu (Salam pertama) kemudian bank mencari produsen untuk

memenuhi pesanan tersebut (Salam kedua).

3. Jual Beli Istishna

Menurut jumhur fuqaha, jual-beli Istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu

yang belum ada pada saat akad sedang berlangsung (bay’ al-ma’dum). Tetapi menurut fuqaha

Hanafiyah, ada 2 perbedaan penting antara Salam dan Istisna’, yaitu:

a. Cara pembayaran dalam Salam harus dilakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam

istisna’ dapat dilakukan pada saat akad berlansung, bisa diangsur atau bisa di kemudian hari.

b. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula. Sedangkan istisna’ menjadi

pengikat unutk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen

yang tidak bertanggung jawab.6

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia mendefinisikan Istisna’

sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam

tanggungan atau jual-beli suatu barang yang baru akan dibuat oleh pembuat barang.12 Dalam

istisna’, bahan baku dan pekerjaan pengggarapannya menjadi beban kewajiban pembuat barang.

Jika bahan baku disediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi akad Ijarah.

1) Tim mengemukakan beberapa syarat yang harus diketahui dengan jelas karena ia merupakan

barang jualan.

2) Barang yang dipesan adalah barang yang biasa berlaku pada hubungan antar manusia seperti,

bejana, alas kaki, barang-barang pengangkutan, dan lain-lain.

3) Tidak boleh ada jangka waktu. Jika ada jangka waktu ditetapkan untuk penyerahan barang,

maka kontrak itu berubah menjadi salam, sehingga syarat-syarat salam, seperti pembayaran

pada waktu akad berlangsung, harus dipenuhi.7

6. M. Syafi’I, Bank Syariah…, h. 114

14

Page 15: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan

global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat untuk

menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat guna merealisasikan tujuan pembangunan

nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam

perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam

(Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip

tersebut adalah prinsip syariah yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan,

keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam

pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah yang disebut Perbankan Syariah.

(Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah; Paragraf 1)

Bank Syariah mempunyai fungsi utama sebagai lembaga intermediari (intermediary

institution) yaitu menghimpun dana yang (sementara) tidak dipergunakan untuk kemudian

menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan untuk

memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan Defisit Unit, yaitu pihak-pihak yang

membutuhkan dana dalam kegiatan usaha. Bank Syariah mengambil keuntungan dari apa yang

disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin,

serta bagi hasil (loss and profit sharing). Bank Syariah menggunakan prinsip jual beli (al-Bai’)

untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan. Secara umum prinsip jual beli dalam perbankan syariah

dibagi menjadi tiga akad utama, yaitu, Bai’ al-Murabahah, Bai’ al-Istishna’, dan Bai’ al-Salam.

Pembiayaan Murabahah merupakan transaksi jual beli atas komoditas tertentu antara

pihak nasabah atau klien sebagai pembeli dengan Bank Syariah yang bertindak sebagai penjual

dengan imbalan berupa profit margin yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Harga jual

dari bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan dalam presentase tertentu bagi

Bank Syariah. Kepemilikan barang akan berpindah kepada nasabah segera setelah akad jual beli

ditandatangani dan nasabah akan membayar barang tersebut dengan angsuran tetap yang

besarnya sesuai kesepakatan sampai dengan jatuh tempo pembiayaan yang dilakukan baik untuk

kegiatan produktif maupun yang bersifat konsumtif.

15

Page 16: Jual Beli Dalam Perbankan Syariah

DAFTAR KEPUSTAKAAN

M.Syaf’I Antonio, 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press.

Nasrun Haroen, 2003. Fiqih Muamalah, Jakarta: Gama Media Pratama.

Adiwarman A. Karim, 2004. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Rajagrafindo

Persada.

16