bab ii tinjauan umum tetang perjanjian jual beli … ii.pdfkebendaan. dalam hal perjanjian jual beli...

25
BAB II TINJAUAN UMUM TETANG PERJANJIAN JUAL BELI ANGSURAN, WANPRESTASI, SERTA LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1. Perjanjian Jual Beli Angsuran 2.1.1. Pengertian Perjanjian Sebelum membahas pengertian jual beli secara angsuran, ada baiknya mengetahui pengertian perjanjian secara umum terlebih dahulu. Perjanjian adalah hal yang lazim dalam kehidupan masyarakat. Hampir semua orang pernah melakukan perjanjian baik dalam bentuk yang formal maupun dalam bentuk yang sederhana sekalipun. Namun kadang-kadang apa yang menjadi pengertian dari perjanjian itu sendiri kurang dipahami secara benar, terlebih perjanjian dalam pengertian yuridis. Mengenai pengertian perjanjian pada umumnya, ada berbagai macam pendapat di kalangan para ahli hukum, dimana masing-masing menggunakan pengertian yang berbeda-beda. Adanya perbedaan pengertian tersebut perlu pula diketahui agar tidak terjadi kesalahpahaman didalam penafsirannya. Perbedaan pendapat dikalangan para ahli hukum adalah wajar karena adanya perbedaan latar belakang pola berpikir ataupun pandangan hidup yang dianutnya. Menurut Subekti, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” 1 Menurut Purwahid Patrik, Perjanjian merupakan perbuatan hukum, perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dimana untuk terjadinya atau 1 Subekti II, op.cit., h.1

Upload: hoangdan

Post on 09-Aug-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM TETANG PERJANJIAN JUAL BELI ANGSURAN,

WANPRESTASI, SERTA LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

2.1. Perjanjian Jual Beli Angsuran

2.1.1. Pengertian Perjanjian

Sebelum membahas pengertian jual beli secara angsuran, ada baiknya

mengetahui pengertian perjanjian secara umum terlebih dahulu. Perjanjian adalah

hal yang lazim dalam kehidupan masyarakat. Hampir semua orang pernah

melakukan perjanjian baik dalam bentuk yang formal maupun dalam bentuk yang

sederhana sekalipun. Namun kadang-kadang apa yang menjadi pengertian dari

perjanjian itu sendiri kurang dipahami secara benar, terlebih perjanjian dalam

pengertian yuridis. Mengenai pengertian perjanjian pada umumnya, ada berbagai

macam pendapat di kalangan para ahli hukum, dimana masing-masing

menggunakan pengertian yang berbeda-beda. Adanya perbedaan pengertian

tersebut perlu pula diketahui agar tidak terjadi kesalahpahaman didalam

penafsirannya. Perbedaan pendapat dikalangan para ahli hukum adalah wajar

karena adanya perbedaan latar belakang pola berpikir ataupun pandangan hidup

yang dianutnya.

Menurut Subekti, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang

berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.”1

Menurut Purwahid Patrik, Perjanjian merupakan perbuatan hukum,

perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dimana untuk terjadinya atau

1 Subekti II, op.cit., h.1

lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh

perbuatan orang atau orang-orang itu.2

Dalam pasal 1313 KUHPerdata bahwa suatu “persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu

orang atau lebih.” Dari definisi perjanjian tersebut, maka hukum perjanjian yang

didalamnya termasuk perjanjian jual beli masuk bagian hukum perdata,

merupakan sendi yang sangat penting oleh karena di dalam hukum perdata banyak

mengandung peraturan hukum yang berdasarkan janji seseorang.

Adapun bentuk-bentuk dari perjanjian, antara lain:

a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban

pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

b. Perjanjian obligator adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak

lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi

mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada

pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan dan harus diikuti dengan

perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).

c. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang

menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang

membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut

kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian

2 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, CV. Mandar Maju, Bandung,

h.47

kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian

jual belinya disebutkan juga perjanjian jual beli sementara.

d. Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak

telah tercapai persesuaian kehendak untuk menngadakan perikatan.

Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan

mengikat.3

2.1.2. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli

“Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sahnya suatu

perjanjian yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. Mengenai suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.”4

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan satu persatu mengenai keempat

syarat untuk sahnya suatu perjanjian jual beli, yaitu sebagai berikut:

ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Yang dimaksud adalah bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus

sepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang

diadakan itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

3 Mariam Darus Badrulzaman et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h.66 4 Subekti II, op.cit., h.17

Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan demikian

persetujuan disini sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.

Persetujuan kehendak sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela

pihak-pihak, tidak ada paksaaan sama sekali dari pihak manapun. Biasanya ada pihak-

pihak, yang mengadakan perundingan atau negosiasi, yaitu pihak yang satu

memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syaratnya.

Sebaliknya pihak yang lain menyatakan kehendaknya itu, sehingga tercapailah

persetujuan yang mantap. Kadang-kadang kehendak itu dapat dinyatakan secara tegas dan

kadang-kadang ada pula secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang

dikehendaki pihak lain itu.

ad.2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada

umumnya, setiap orang yang sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau

sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun dan sehat pikirannya dikatakan cakap

melakukan perbuatan hukum. Menurut ketentuan pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai

orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang

belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampunan, dan orang perempuan dalam

hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Selain kecakapan ada lagi yang disebut dengan kewenangan melakukan perbuatan

hukum, kewenangan membuat perjanjian. Dikatakan ada kewenangan apabila ia

mendapat kasus dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal

ini membuat perjanjian, dan dikatakan tidak ada kewenangan apabila tidak mendapat

kuasa untuk itu.

Akibat hukum ketidakcakapan atau ketidakwenangan membuat perjanjian ialah

bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim.

Jika pembatalannya itu tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka

perjanjian tetap berlaku bagi pihak-pihak.

ad.3. Mengenai suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan suatu pokok perjanjian, merupakan prestasi yang

perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian dan merupakan obyek perjanjian. Apa yang

diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan

asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus sudah tertentu atau dapat

ditentukan gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika

timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Apabila prestasi itu kabur, sehingga

perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat

tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum.

ad.4. Suatu sebab yang halal

Kata Causa berasal dari bahasa Latin artinya sebab. Sebab adalah suatu yang

menyebabkan orang membuat perjanjian, dan yang mendorong orang membuat

perjanjian. Namun bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-Undang dengan sebab yang

halal. Sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak

diperdulikan oleh Undang-Undang. Yang diperhatikan oleh hukum atau Undang-Undang

hanyalah tindakan orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksudkan dengan sebab atau

causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.

Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai

orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Tidak dipenuhinya

salah satu syarat tersebut dapat berakibat hukum dapat dibatalkannya perjanjian.

Sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai

perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Tidak

dipenuhinya salah satu syarat obyektif dapat menimbulkan akibat hukum batalnya

perjanjian. Akibat hukum perjanjian yang sah menurut Pasal 1338 KUHPerdata

adalah:

1. Berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak artinya pihak-pihak

harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati Undang-Undang. Jika

ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, dianggap sama dengan

melanggar Undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi

hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat

hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.

2. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak artinya perjanjian yang telah

dibuat secara sah mengikat pihak-pihak. Perjanjian tersebut tidak boleh

ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik

kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lain.

Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut Undang-

Undang, perjanjuan dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.

3. Pelaksanaan dengan itikad baik artinya pelaksanaan itu harus berjalan

dengan mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan.

Pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan

itulah yang dipandang adil.

2.1.3. Azas-azas Perjanjian

Seseorang akan melakukan suatu perjanjian di samping harus

mengindahkan ketentuan-ketentuan yang ada, pada pihak lain juga harus

memperhatikan azas-azas yang ada dalam hukum perjanjian. Azas-azas tersebut

antara lain :

1. Azas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting dalam

hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,

pancaran hak asasi manusia. Azas kebebasan berkontrak (Freedom of Making

Contact) mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa

saja walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Azas kebebasan

berkontrak dibatasi oleh tiga hal,yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak

bertentangan dengan kessilaan, dan tidak bertentangan dengan kepentingan

umum. Dari adanya ketentuan umum tentang sahnya suatu perjanjian dapat

disimpulkan bahwa pembuat Undang-Undang pada asasnya memang mengakui

kemungkinan adanya perjanjian-perjanjian yang lain dari yang sudah di sebutkan

dalam perjanjian khusus dan ini membuktikan berlakunya asas kebebasan

berkontrak.5

2. Azas Konsensualisme

Azas Konsensualisme berarti perjanjian itu terjadi atau ada sejak saat

tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Dengan kata lain bahwa perjanjian

itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat

antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.

Hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas

Konsensualisme. Kata ini berasal dari bahasa Latin, yaitu Consensus yang berarti

5 J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Penerbit Alumni,

Bandung, h.36

sepakat. Asas Konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian

diisyaratkan adanya kesepakatan dan ini memang sudah semestinya. Suatu

perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau

bersepakat mengenai sesuatu hal.

Arti dari “Asas Konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian dan

perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya

kesepakatan.” Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat

mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.6 Dari

pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata mengatakan bahwa semua persetujuan yang

dibentuk menurut Undang-Undang mempunyai kekuatan seperti Undang-undang

bagi para pihak, dengan kata lain bahwa suatu persetujuan pada hakekatnya sudah

dianggap terjadi dengan adanya persetujuan belaka (konsensus) dari kedua belah

pihak.7

3. Azas kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan

kepercayaan diantara kedua pihak bahwa satu sama lain bukan memegang

janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa ada

kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

Dengan kepercayaan tersebut, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk

keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang.

6 Subekti II, op.cit., h. 15 7Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-azas Hukum Perjanjian, Penerbit Mandar Maju,

Bandung, (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II), h. 164

4. Azas Kekuatan Mengikat

Azas kekuatan mengikat atau sering juga di sebut sebagai azas pacta sun

servanda dapat di sebutkan dari bunyi pasal 1338 ayat 1 KHUPerdata sebagai

berikut: "Semua persetujuan yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-

Undang bagi mereka yang membuatnya."

Konsekuensi dari azas ini bahwa sejak dipenuhinya syarat sahnya

perjanjian, maka sejak itu pula perjanjian mengikat bagi para pihak. Mengikat

Sebagai Undang-Undang berarti perlanggaran terhadap perjanjian tersebut

berakibat hukum sama dengan melanggar Undang-Undang. Maksud dari azas ini

adalah memberikan kapastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian

tersebut.

5. Azas persamaan Hukum

Azas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada

perbedaan walaupun ada yaitu seperti perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,

kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masin-masing pihak dalam mebuat perjanjian

wajib melihat adanya persamaan tersebut dan juga mengharuskan kedua belah

pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

6. Azas Keseimbangan

Azas ini menghendaki agar kedua pihak dapat memenuhi dan melaksanakan

perjanjian yang disepakatinya. Azas ini merupakan kelanjutan dari azas

persamaan. Berdasarkan azas keseimbangan, kedudukan kreditur yang kuat

diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga

kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

7. Azas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian

hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sebagai Undang-

Undang bagi para pihak.

8. Azas Moral

Azas ini terlihat dalam perikatan wajar, diana suatu perbuatan sukarela dari

seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari

pihak lain. Para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada

kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nurani.

9. Azas Kepatutan

Azas ini dituangkan dalam pasal 139 KHUPerdata. Azas kepatutan ini

berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, melalui azas ini ukuran

tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

10.Azas Kebiasaan

Azas ini diatur dalam pasal 1449 Jo. 1347 KHUPerdata yang dipandang

sebagai bagian dari perjanjian. Suati perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-

hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dana

kebiasaan yang lazim diikuti.8

2.1.4. Pengertian Perjanjian Jual Beli Angsuran

Salah satu perbuatan hukum yang sering dilakukan di dalam kehidupan

bermasyarakat adalah jual beli. Interaksi antar manusia untuk memenuhi

8 Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit., h. 83

kebutuhan hidupnya dapat diperoleh dari berbagai cara, antara lain melalui

transaksi jual beli.

Kedudukan perjanjian jual beli dalam KUHPerdata telah diatur dalam buku

III tentang Perikatan. Buku III tersebut mengatur tentang perjanjian baik secara

umum maupun secara khusus.

“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain

untuk membayar harga yang telah dijanjikan”, demikianlah rumusan Pasal 1457

KUHPerdata.9 Berdasarkan pada rumusan yang diberikan, dapat dilihat bahwa

jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau

perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk

penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh

pembeli kepada penjual.

Jual beli tersebut juga ditegaskan dalam pasal 1458 KUHPerdata yang

menyatakan: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak,

seketika setelahnya orang-orang ini telah mencapai sepakat tentang kebendaan

tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun

harganya belum dibayar.” Sehingga perjanjian diangap sah ketika sudah terjadi

kata sepakat, walaupun belum terjadi peralihan uang dan barang. Hal tersebut

mengartikan bahwa jual beli memiliki sifat konsensualisme.

Di dalam masyarakat, terdapat bentuk jual beli yang berkembang dengan

berbagai variasi, antara lain:

9 Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, 2004, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

h.7

a. jual beli dengan contoh (sale by sample);

b. jual beli dengan percobaan (koop op proef);

c. jual beli dengan hak membeli kembali (recht van wederinkoop);

d. jual beli dengan syarat tangguh dan lain-lain.10

Bentuk-bentuk jual beli tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat

sesuai dengan kebutuhan dari para pihak dalam perbuatan hukum jual beli. Salah

satu bentuk jual beli adalah jual beli dengan pembayaran angsuran. Jual beli

semacam ini merupakan variasi dari bentuk jual beli dengan syarat tangguh. Dan

pembahasan dalam skripsi ini difokuskan pada jual beli mobil bekas yang

pembayarannya dengan angsuran. Jual beli secara angsuran atau cicilan, dalam

bahasa Inggris disebut dengan Credit Sale atau dalam bahasa Belanda disebut

Koop en Verkoop of afbetaling. Bentuk jual beli semacam ini tidak dilakukan

seperti jual beli pada umumnya, karena cara pembayarannya tidak dilakukan

secara tunai.

Di negara Belanda yang merupakan dimana sistem hukum kita berasal,

lembaga jual beli secara angsuran ini telah diatur dalam ketentuan tersendiri.

Ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 1576 sampai 1576x BW Belanda.11

Pengertian jual beli secara angsuran dinyatakan sebagai berikut :

10 CST. Kansil dsn Christine S.T Kansil, 2000, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-

asas Hukum Perdata), cet. ke-III, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 237. 11 Suryodiningrat RM., 1980, Perikatan-perikatan yang Bersumber Perjanjian, Penerbit

Tarsito, Bandung, hal. 27

Koop en verkoop of Afbetaling is de koop en verkoop, waarbij partijen

overeen komen, dat de kooprijs wordt betaald in termijnen, waarvan twee of

meer verschijnen, nadat de verkochte zaak aan den koper is over gedragen,

al and niet in eigendom.

Terjemahan dalam bahasa Indonesianya adalah sebagai berikut :

Jual beli secara angsuran ialah jual beli dimana para pihak telah

bersepakat bahwa barang akan dibayar secara angsuran setelah barang

diserahkan oleh penjual kepada pembeli, baik dalam hak milik maupun

tidak.12

Bentuk jual beli dengan pembayaran angsuran tidak dikenal dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, munculnya lembaga ini disebabkan karena

adanya kebutuhan dalam praktek. Oleh karena itu, dasar hukum dari jual beli

secara angsuran adalah ketentuan-ketentuan hukum perikatan (Verbintenissen

Rechts). Jadi, para pihak yang melakukan perbuatan hukum jual beli dengan

pembayaran angsuran dapat membuat perjanjian atas dasar kesepakatan. Tujuan

dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk mengatur hak-hak dan kewajiban yang

harus dilakukan oleh masing-masing pihak, serta guna menghindari

kesalahpahaman. Perjanjian seperti ini dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Tapi,

guna keperluan pembuktian, sebaiknya apa yang diperjanjikan oleh para pihak

ditulis dalam suatu akta perjanjian.

Perjanjian jual beli angsuran ini termasuk dalam perjanjian tidak bernama

(In Nominat) karena perjanjian jual beli angsuran tidak diatur dalam KUHPerdata,

12 Ibid.

tetapi karena didasari atas adanya asas kebebasan berkontrak yang mana setiap

orang boleh membuat perjanjian dalam berbagai bentuknya baik yang sudah

diatur dalam KUHPerdata maupun yang belum ada aturannya dalam KUHPerdata

asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Ketertiban Umum dan

Kesusilaan.

2.2. Wanprestasi

2.2.1. Pengertian Wanprestasi

Dalam hukum perdata adanya atau kealpaan si berhutang yang wajib

melakukan sesuatu atau tidak memenuhi menepati kewajibannya yang telah

diperjanjikan lazim dikatakan sebagai wanprestasi. Dewasa ini wanprestasi lebih

dikenal dengan istilah ingkar janji. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda

(wanprestatie) yang artinya tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban yang telah

ditetapkan pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang

dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-

undang.

Dalam ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, Debitur dinyatakan lalai

dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari

perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap

lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Wanprestasi adalah suatu tindakan tidak memenuhi atau lalai melaksanakan

kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara

kreditur dan debitur.

Menurut Munir Fuady, yang dimaksud wanprestasi adalah tidak

dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan

oleh kontrak kepada pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak

yang bersangkutan.13

Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan

suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus

dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian, barangkali dalam bahasa Indonesia

dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan

pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.14

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat

macam:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.15

2.2.2. Jenis-jenis Wanprestasi

Dalam wanprestasi dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :

1. Wanprestasi total (total breachts) artinya pelaksanaan kontrak tidak

mungkin dilaksanakan. Yang dimaksud dengan kontrak yang tidak mungkin

dilaksanakan adalah pihak debitur sama sekali tidak bisa atau tidak mampu

melakukan prestasinya yang sudah di tanda tangani pada saat awal

perjanjian yang dibuat dengan pihak kreditur karena terjadi masalah

13 Munir Fuady, loc.cit. 14 Wirjono Projodikoro I, loc.cit. 15 Subekti II, op.cit., h. 45

financial yang terjadi pada pihak debitur, sehingga pihak debitur tidak bisa

melakukan prestasinya sama sekali, dikarenakan meninggal dunia, cacat

fisik total sehingga tidak bisa bekerja lagi seperti halnya buta, lumpuh total,

gangguan jiwa.

2. Wanprestasi partial (partial breachts) artinya pelaksanaan perjanjian masih

mungkin untuk dilaksanakan. Yang dimaksud dengan pelaksanaan

perjanjian masih mungkin untuk dilakukan adalah berhentinya kewajiban

debitur bersifat sementara dikarenakan debitur berhenti bekerja karena

sesuatu hal tapi tidak dalam kondisi cacat fisik total maka pihak kreditur

bisa memberikan tenggang waktu kepada debitur untuk memenuhi

prestasinya pada saat debitur sudah memiliki uang atau bekerja kembali

dengan perjanjian tenggang waktu yang sudah disepakati kedua belah pihak

dengan perjanjian baru yang tidak terlepas dengan perjanjian lama yang

mengakibatkan terjadinya kewajiban prestasi pada pihak debitur. Isi dari

perjanjian baru yang menyebutkan pihak debitur wajib memenuhi

kewajiban denda yang timbul akibat prestasi yang tidak bisa dilakukan

sesuai dengan perjanjian awal yang telah disepakati. Apabila dalam

tenggang waktu yang sudah diperjanjikan pihak debitur masih belum bisa

memenuhi prestasinya maka debitur awalnya dikatakan sebagai wanprestasi

partical breachts bisa berubah menjadi wanprestasi total breachts dan pihak

kreditur memiliki hak untuk menyita objek perjanjian.16

16 Salim H.S. op.cit., h. 98

2.2.3. Akibat Hukum Wanprestasi dalam Perjanjian Jual Beli

Akibat wanprestasi ini akan menimbulkan akibat hukum bagi debitur dan

kerugian bagi kreditur (pihak yang berpiutang), sehingga dapat ditagih atau

digugat melalui Pengadilan. Oleh karena itu undang-undang menganggap perlu

mengadakan penetapan bilamana debitur itu dalam keadaan wanprestasi. Dalam

kaitan dengan penetapan wanprestasi ini, pasal 1238 KUH Perdata menentukan

sebagai berikut:

“Si berhutang adalah lalai berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri yaitu

bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai karena lewatnya

waktu yang ditentukan.”

Oleh karena wanprestasi ini mempunyai akibat hukum yang penting bagi

debitur, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian ditentukan tenggang

pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Apabila tenggang waktu pelaksanaan

pemenuhan prestasi ditentukan berlaku ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata.

“Debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dan jika tidak

ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi, maka diperlukan

peringatan tertulis baik dalam bentuk surat perintah atau akta sejenis itu. Surat

perintah atau akta ini adalah sebagai somatie (peringatan) dan dapat dipergunakan

sebagai alat bukti wanprestasi debitur apabila kemudian timbul gugatan dimuka

pengadilan dari pihak kreditur.17

17 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut

Abdulkadir Muhammad I), h. 23

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah

hukuman atau sanksi hukum berikut ini:18

(1) Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh

kreditur (pasal 1243 KUHPerdata).

(2) Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut

pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266

KUHPerdata).

(3) Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur

sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2).

(4) Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau

pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).

(5) Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka

Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.

2.3. Lembaga Pembiayaan Konsumen Secara Umum

2.3.1. Pengertian Lembaga Pembiayaan

Istilah lembaga pembiayaan merupakan padanan dari istilah bahasa Inggris

financing institution. Lembaga pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih

menekankan pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam penyediaan dana atau barang

modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.19

Melalui

lembaga pembiayaan dimaksud para pelaku bisnis bisa mendapatkan dana atau

modal yang dibutuhkan. Keberadaan lembaga pembiayaan ini sangat penting,

18 Ibid., h. 204 19 Sunaryo, op.cit, h. 1

karena fungsinya hampir mirip sama dengan bank. Dalam prakteknya sekarang ini

lembaga pembiayaan banyak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis ketika

membutuhkan dana atau barang modal untuk kepentingan perusahaan.

Lembaga pembiayaan (financing institution) adalah badan usaha yang

melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang

modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.20

Lembaga

pembiayaan merupakan alternatif pembiayaan di luar perbankan yang lebih dapat

disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat bisnis. Dalam hal ini antara

nasabah dan lembaga-lembaga pembiayaan terkait hubungan kontraktual, yang

mana ditunjukan oleh adanya kontrak atau perjanjian yang ditandatangani oleh

nasabah dan lembaga pembiayaan tersebut. dalam kontrak termuat hak dan

kewajiban dari masing-masing pihak, berikut sanksi bagi siapa saja yang

melakukan wanprestasi. Hal inilah yang perlu diketahui oleh siapa saja yang

hendak memanfaatkan jasa yang diberikan oleh lembaga-lembaga pembiayaan

tersebut.

Pada saat ini lembaga pembiayaan secara hukum diatur dalam Peraturan

Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Peraturan Presiden

ini mencabut berlakunya Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang

Lembaga Pembiayaan. Namun demikian semua peraturan perundang-undangan

yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden dimaksud

dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan

dalam Peraturan Presiden ini. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun

20 Ibid.

2009 tentang Lembaga Pembiayaan disebutkan lembaga pembiayaan adalah

badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana

atau barang modal.

Lembaga pembiayaan konsumen dalam kegiatannya diatur dan diawasi oleh

sebuah lembaga keuangan yang disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas

dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan,dan penyidikan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini berdasarkan Pasal 1 ayat (1). Menurut pasal 6 OJK

melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Peransuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuanngan Lainnya.

Berdasarkan pengertian lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud diatas,

maka dalam lembaga pembiayaan terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Badan Usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan

untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha

lembaga pembiayaan.

b. Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas

dengan cara membiayai pihak-pihak atau sektor usaha yang

dibutuhkan.

c. Penyediaan dana, yaitu perbuatan penyediaan uang untuk suatu

keperluan.

d. Barang Modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu

atau barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan

sebagainya.

e. Tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking), artinya

tidak mengambil uang secara langsung baik dalam bentuk giro,

deposito, tabungan dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk

dipakai sebagai jaminan hutang kepada bank yang menjadi

krediturnya.

f. Masyarakat, yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu

tempat, yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap

sama.21

2.3.2. Jenis-jenis Lembaga Pembiayaan

Adapun jenis-jenis kegiatan usaha lembaga pembiayaan meliputi, yaitu:

a. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah badan usaha yang melakukan

kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik

secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun

sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan

digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu

tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

21 Ibid., h.2

b. Anjak Piutang (Factoring), adalah badan usaha yang melakukan

kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka

pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.

c. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance), yaitu badan usaha yang

melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan

kebutuhan konsumen, dengan sistim pembayaran angsuran atau

berkala oleh konsumen.

d. Usaha Kartu Kredit (Credit Card), yaitu badan usaha yang melakukan

kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan jasa menggunakan

kartu kredit.22

2.3.3. Pengertian Lembaga Pembiayaan Konsumen

Dalam hukum pembiayaan di Indoensia kita jumpai bermacam-macam

bentuk lembaga pembiayaan, salah satunya adalah lembaga pembiayaan

konsumen. Pembiayaan konsumen dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah

consumer finance. Yang dimaksud dengan pembiayaan konsumen, adalah

kegiatan pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan untuk

pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem angsuran atau

kredit, yang bertujuan untuk membantu perorangan ataupun perusahaan dalam

pemenuhan kebutuhan dan permodalan mereka, khususnya untuk pembelian

kendaraan bermotor seperti mobil. Salah satu bentuk alternatif baru untuk

memenuhi kekurangan modal yang dengan terbentuknya lembaga baru yaitu

22 Khotibul Umam, 2010, Hukum Lembaga Pembiayaan, Penerbit Pustaka Yustisia,

Yogyakarta, h. 5

lembaga pembiayaan konsumen, yang menawarkan bentuk baru terhadap

pemberian dana atau pembiayaan. Perusahaan yang memberikan pembiayaan di

atas disebut perusahaan pembiayaan konsumen atau consumer finance company.

Dalam Pasal 6 peraturan menteri keuangan nomor 84/PMK.012/2006

tentang perusahaan pembiayaan disebutkan bahwa kegiatan pembiayaan

konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang

berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.

Kebutuhan konsumen antara lain meliputi :

a. Pembiayaan kendaraan bermotor;

b. Pembiayaan alat-alat rumah tangga;

c. Pembiayaan barang-barang elektronik;

d. Pembiayaan perumahan.23

Dalam transaksi pembiayaan konsumen ada tiga pihak yang terlibat, yaitu:

1. Pihak Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Pemberi dana Pembiayaan atau

Kreditor)

2. Pihak Konsumen (Penerima dana pembiayaan atau Debitor)

3. Pihak Supplier (Penjual atau Penyedia Barang)24

Hubungan antara pihak-pihak yang dimaksud, yaitu sebagai beritkut:

1. Hubungan Pihak Kreditor dengan Konsumen

Hubungan pihak kreditor dengan konsumen adalah hubungan kontraktual,

yakni (Consumer Finance Agreement). Dalam kontrak ini, pihak pemberi

23 Ibid., h.37 24 Chidir Muhammad, loc.cit.

kontrak pembiayaan konsumen biaya sebagai kreditor dan pihak penerima

biaya (konsumen) sebagai pihak debitur. Pihak pemberi biaya

berkewajiban utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian

sesuatu barang konsumsi, sedangkan pihak penerima biaya (konsumen)

berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan

kepada pihak pemberi biaya, dimana sudah tercantum pada pasal 4 dalam

Syarat-syarat Perjanjian PT. Adira Finance yang menyatakan bahwa

debitur wajib membayar angsuran, biaya-biaya ataupun denda yang wajib

dibayar (jika ada) secara tepat waktu dan penuh sesuai dengan perjanjian

ini. Jadi, hubungan kontraktual antara pihak pemberi biaya dengan pihak

konsumen adalah sejenis perjanjian kredit, sehingga ketentuan tentang

perjanjian kredit berlaku. Dengan demikian, sebagai konsekuensi yuridis

dari perjanjian kredit tersebut, maka setelah seluruh kontrak di

tandatangani dan dana sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh

supplier kepada konsumen, maka barang yang bersangkutan sudah

langsung menjadi milik konsumen, walaupun kemudian biasanya barang

tersebut dijadikan jaminan hutang melalui perjanjian fidusia.

2. Hubungan Pihak Konsumen dengan Supplier

Antara pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu hubungan

jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, di mana pihak supplier selaku

penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku pembeli, dengan

syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu pihak pemberi

biaya. Ini berarti bahwa apabila karena alasan apa pun pihak pemberi

biaya tidak dapat menyediakan dananya, maka jual beli antara pihak

supplier dengan pihak konsumen sebagai pembeli akan batal. Karena

adanya perjanjian jual beli ini, maka seluruh ketentuan tentang jual beli

yang relevan berlaku. Sebagai contoh tentang adanya kewajiban

“menanggung” dari pihak penjual, kewajiban purna jual (garansi) dan

sebagainya.

3. Hubungan Penyedia Dana dengan Supplier

Antara pihak penyedia dana dengan supplier tidak ada hubungan khusus,

kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga yang disyaratkan, yakni

disyaratkan untuk menyediakan dana untuk digunakan dalam perjanjian

jual beli antara pihak supplier dengan pihak konsumen. Oleh karena itu,

jika pihak penyedia dana wanprestasi dalam menyediakan dananya,

sementara kontrak jual beli maupun kontrak pembiayaan konsumen telah

selesai dilakukan, jual beli bersyarat antara pihak supplier dengan

konsumen akan batal, sementara konsumen dapat menggugat pihak

pemberi dana karena wanprestasi tersebut.25

25 Khotibul Umam, op.cit., h. 37