bab v jual beli a. pengertian dan dasar hukum jual beli

29
1 BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai' yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira' (beli). Dengan demikian, kata al-bai' berarti jual beli. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dike- mukakan ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama, yaitu tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang dibenarkan. Definisi lain dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi`iyah, dan Hanabilah bahwa jual beli dimaknai sebagai saling menukar barang dalam bentuk pemindahan hak milik dan kepemilikan. Dari definisi tersebut di atas dapat dikatakan hal yang terkandung dalam jual beli adalah adanya pertukaran antara barang dengan barang lainnya serta adanya pemindahan hak (posession) dan kepemilikan (ownership) kepada pihak lain. Meski terdapat perbedaan antara para fuqaha, maal (barang) pada umumnya diartikan sebagai barang atau materi dan manfaat atau nilai dari sesuatu yang dapat diukur. Oleh karenanya manfaat dari suatu benda juga dapat diperjualbelikan. Jual beli mempunyai landasan hukum yang kuat dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah saw. Terdapat sejumlah ayat al-Qur'an yang berbicara tentang jual beli, di antaranya dalam surat al-Baqarah, 2:275: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”, dan surat an Nisa /4 : 29. ... kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di antara kamu . . .

Upload: others

Post on 19-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

1

BAB V

JUAL BELI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai' yang berarti menjual,

mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai'

dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya,

yakni kata asy-syira' (beli). Dengan demikian, kata al-bai' berarti jual beli.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dike-

mukakan ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing

definisi adalah sama, yaitu tukar menukar barang dengan cara tertentu atau

tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang

dibenarkan. Definisi lain dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi`iyah, dan

Hanabilah bahwa jual beli dimaknai sebagai saling menukar barang

dalam bentuk pemindahan hak milik dan kepemilikan.

Dari definisi tersebut di atas dapat dikatakan hal yang terkandung

dalam jual beli adalah adanya pertukaran antara barang dengan barang

lainnya serta adanya pemindahan hak (posession) dan kepemilikan

(ownership) kepada pihak lain.

Meski terdapat perbedaan antara para fuqaha, maal (barang) pada

umumnya diartikan sebagai barang atau materi dan manfaat atau nilai

dari sesuatu yang dapat diukur. Oleh karenanya manfaat dari suatu

benda juga dapat diperjualbelikan.

Jual beli mempunyai landasan hukum yang kuat dalam al-Qur'an

dan sunnah Rasulullah saw. Terdapat sejumlah ayat al-Qur'an yang

berbicara tentang jual beli, di antaranya dalam surat al-Baqarah, 2:275:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”, dan surat an Nisa

/4 : 29. “... kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di

antara kamu . . .”

Page 2: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

2

Dasar hukum jual beli juga terdapat dalam sunnah Rasulullah saw.

antara lain:

Rasulullah saw. ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi)

apa yang paling balk. Rasulullah ketika itu menjawab: Usaha tangan manusia

sendiri dan setiap jual beli yang diberkati. (HR al-Bazzar dan al-Hakim).

”Pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan

para Nabi, para siddiqin, dan para syuhada'.” (HR. Turmudzi)

B. Rukun dan Syarat Jual Beli

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun jual beli. Menurut

ulama Hanafiyah, Rukun jual beli hanya ijab dan qabul. Berarti menurut

mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan kedua

belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Indikasi yang

menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi,

dapat tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling

memberikan barang dan harga barang.

Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun jual beli terdiri dari:

1. Orang yang berakad. Syarat bagi orang yang melakukan akad adalah

berakal, baligh, atas kehendak sendiri, dan tidak pemboros. Oleh

karena itu, baik laki-laki maupun perempuan selama terpenuhi syarat

tersebut, ia berhak melakukan jual beli tanpa ada seorangpun yang

boleh menghalanginya, termasuk wali maupun suaminya.

2. Lafaz ijab dan qabul (sighat), Dalam ijab dan qabul tidak ada keharusan

untuk menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya

ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan

bentuk kata-kata itu sendiri. Yang diperlukan adalah saling rela yang

direalisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain

yang dapat menunjukkan keridhoan dan berdasarkan makna

pemilikan. Syarat yang terkait dengan ijab qabul : 1). orang yang

Page 3: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

3

mengucapkannya telah baligh dan berakal, 2). Qabul sesuai dengan

ijab. 3). Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.

3. Obyek jual beli, yang terdiri dari barang yang diperjualbelikan, dan

harga barang. Barang yang diperjualbelikan disyaratkan suci

(bersihnya barang), dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.

Oleh sebab itu, bangkai, khamar, dan benda-benda haram lainnya,

tidak sah menjadi obyek jual beli, karena benda-benda tersebut tidak

bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syara`. Selanjutnya,

barang tersebut milik seseorang yang melakukan akad, dapat

diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah

disepakati bersama ketika akad berlangsung.

4. Nilai tukar (harga barang) hendaknya merupakan harga yang

disepakati kedua belah pihak. Harus jelas jumlahnya, dapat

diserahkan pada waktu akad (transaksi) sekalipun secara hukum

(seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit). Apabila barang itu

dibayar kemudian (berhutang), maka harus jelas waktu

pembayarannya. Apabila jual beli itu dilakukan secara barter atau

saling mempertukarkan barang (al-muqayadhah), maka barang yang

dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara` seperti

babi dan khamar, karena kedua jenis benda itu tidak bernilai dalam

pandangan syara`.

C. Bentuk-bentuk Jual Beli

Ulama hanafiyah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya

menjadi tiga bentuk, yaitu: 1) Jual beli yang sahih, 2) Jual beli yang batal, 3)

Jual beli fasid.

Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sahih apabila jual beli

itu disyari'atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan

milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli yang batal

apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli

Page 4: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

4

itu pada dasar dan sifatnya tidak disyari'atkan. Jual beli fasid adalah jual

beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara, tetapi ada sifat-

sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya.

Ada beberapa hal yang membedakan jual beli fasid dengan jual beli

yang batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang

yang dijual belikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan

benda-benda haram (khamar, babi, dan darah). Apabila kerusakan pada

jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual

beli itu dinamakan fasid.

Berbeda dengan ulama Hanafiyah, jumhur ulama tidak

membedakan antara jual beli yang fasid dengan jual beli yang batal.

Menurut mereka jual beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang sahih dan

jual beli yang batal. Apabila rukun dan syarat jual beli terpenuhi, maka

jual beli itu sah. Sebaliknya, apabila salah satu rukun atau syarat jual beli

itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.

Adapun jenis jual beli yang batal adalah:

1. Jual beli sesuatu yang tidak ada (bai’u al-ma’dum). Para ulama

fiqh sepakat mengatakan jual beli seperti ini tidak sah/batal.

2. Menjual barang yang tidak dapat diserahkan pada pembeli (bai’ ma’juz

al-taslim). Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh dan temasuk

ke dalam kategori bai' al-garar.

Termasuk ke dalam kategori bai’ ma’juz al-aslim ini adalah jual beli

utang (bai’ al-dain). Yang dimaksud utang adalah harga suatu barang

yang harus dibayar, pengganti pinjaman, upah/sewa suatu manfaat,

diyat (sanksi pidana), denda orang yang merusak, khulu’ (tebusan), dan

obyek salam. Jual beli utang ada kalanya berbentuk menjual utang

kepada pihak yang berutang (debitur/madin) atau kepada pihak lain

(bukan debitur, ghairu madin). Di samping itu, ada kalanya jual beli

utang dilakukan secara langsung (cash/fi al-hal) atau dengan cara

ditangguhkan (muajjal). Jual beli utang dengan cara ditangguhkan

Page 5: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

5

(muajjal) adalah jual beli yang dikenal dengan istilah bai’ al-kali’ bi al-

kali’ (menjual piutang dengan piutang). Jual beli seperti ini dilarang oleh

syari’at Islam. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari

Rafi’ Ibn Khudaij, bahwasanya Rasulullah SAW melarang menjual

piutang dengan piutang (bai’ al-kali’ bi al-kali’).

Adapun jual beli piutang (bai’ al dayn) secara langsung (cash), para

ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama selain mazhab Dhahiriyah

membolehkan jual beli piutang kepada debitur atau menghibahkan

kepadanya (sale of debt to debitor). Sedangkan jual beli piutang kepada

selain debitur (sale of debt to third party) dengan cara tunai (cash, naqdan)

mayoritas ulama melarangnya kecuali ulama dari mazhab Maliki

membolehkannya dengan syarat terbebaskan dari terjadinya spekulasi

(gharar), riba, dan ancaman bahaya-bahaya lainnya.

Keabsahan jual beli piutang secara langsung kepada debitur

menurut mayoritas ulama di atas, boleh jadi karena jual beli jenis ini

hanyalah bentuk lain dari pengalihan hutang kepada bentuk jual beli

dengan merubah akad (novasi). Di samping itu, kekhawatiran debitur

tidakmampu menyerahkan atau membayar hutangnya tidak sebesar

kalau piutang itu dijual kepada selain debitur.

Hasil keputusan/Fatwa Lembaga Fiqh Islam OKI No. 110 tahun

1998 tampaknya memperkuat pendapat mayoritas ulama di atas, yaitu:

“bahwa sesungguhnya tidak diperbolehkan menjual piutang yang akan

dibayar kemudian kepada selain debitur dengan harga tunai, baik dibayar

dengan sejenisnya atau dengan yang bukan sejenisnya karena membawa

kepada praktek riba. Demikian pula halnya tidak dibolehkan menjual piutang

dengan pembayaran kemudian baik pembayaran dilakukan dengan sejenisnya,

karena termasuk menjual al-kali’ bi al-kali’ (menjual piutang dengan

piutang) yang dilarang dalam syari’at Islam. Hal ini dilarang baik piutang

dalam bentuk pinjaman uang atau dalam bentuk jual beli tidak secara tunai.”

Page 6: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

6

Dari beberapa pendapat di atas, pendapat yang relevan untuk

diterapkan adalah bahwa Jual Beli Piutang diperbolehkan bila

dilakukan secara langsung kepada debitur. Ini diperbolehkan karena

akan terhindarkan dari unsur riba, ketidak jelasan (gharar) dan tindak

spekulasi (maisir). Dalam praktek di dunia perbankan konvensional bai

al-dain bi al-dain dikenal dengan nama jual beli surat berharga di bursa

efek, obligasi dan lain-lain.

3. Jual beli benda-benda yang dikategorikan najis (Bai’u an Najas). Semua benda

yang termasuk najis dan tidak bernilai menurut syari’at tidak boleh

diperjualbelikan.

4. Jual beli ‘arabun/’urbun adalah menjual suatu barang dengan lebih dulu

membayar panjar kepada pihak penjual (sebelum benda yang dibeli

diterima), dengan ketentuan jika jual beli jadi dilaksanakan, uang

panjar itu dihitung sebagai bagian dari harga, dan jika pihak pembeli

mengundurkan diri maka uang panjar itu menjadi milik pihak penjual.

Jumhur ulama berpendapat jual beli dengan panjar seperti ini tidak

sah, berdasarkan hadits Rasulullah SAW tentang pelarangannya,

dalam jual beli ini juga terdapat unsur gharar (ketidak pastian) dan

berbahaya, serta masuk kategori memakan harta orang lain tanpa

pengganti.

Ulama Hanabilah dan sebagian ulama Hanafiyah membolehkan

’urbun dengan syarat adanya batasan waktu tunggu untuk

melangsungkan atau tidak melanjutkan jual beli tersebut. Adapun

dasar kebolehan ‘bai arabun adalah hadits yang diriwayatkan oleh Zaid

ibn Aslam bahwasanya “Rasulullah ditanya tentang panjar dalam jual beli

dan beliau membolehkannya,” dan juga sebuah riwayat yang

menceritakan bahwa Nafi’ Ibn Abdul Harits membelikan untuk Umar

sebuah rumah tahanan dari Sofyan Ibn Umayyah dengan harga 4000

dirham. Jika Umar setuju maka jual beli dilangsungkan, dan jika tidak

setuju, Sofyan mendapatkan 400 dirham “.

Page 7: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

7

Menurut Wahbah Zuhaili kedua hadits yang dipakai para

ulama, baik yang membolehkan ataupun yang melarang sama-sama

lemah (dhaif). Oleh karena itu menurutnya, hukum bai ‘arabun boleh

atas dasar ‘urf, hal ini mengingat bai’ urbun ini sulit dihindari dalam

transaksi modern terutama sebagai sarana untuk menjalin ikatan

antara pihak-pihak yang bertransaksi sebelum transaksi itu disepakati

secara penuh, sehingga sebagai kompensasi bagi penjual yang

menunggu dalam waktu tertentu, maka diberikan kepadanya uang

panjar.

Pendapat Wahbah Zuhaili ini diperkuat oleh hasil

keputusan/Fatwa Lembaga Pengkajian Fiqh Islam OKI No. 72 tahun

1993,yang menetapkan bahwa diperbolehkan jual beli dengan panjar

dengan syarat jarak waktu untuk menyatakan jadi atau tidaknya

dijelaskan secara pasti dan uang muka itu dihitung sebagai bagian dari

harga, serta uang muka itu menjadi hak penjual bila mana pembeli

mundur dari pembelian.

Adapun pendapat yang terpilih adalah bahwa diperbolehkan bai’

Urbun karena sulit dihindari (hajiyyat) dengan syarat jarak waktu

untuk menyatakan jadi atau tidaknya dijelaskan secara pasti dan uang

muka itu dihitung sebagai bagian dari harga, serta uang muka itu

menjadi hak penjual bila mana pembeli mundur dari pembelian.

5. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak

boleh dimiliki seseorang atau merupakan hak bersama umat manusia

(kepemilikan kolektif), dan tidak boleh diperjualbelikan.

Sedangkan yang masuk kategori Jual Beli Yang Fasid adalah:

1. Jual beli al-majhul (benda atau barangnya secara global tidak

diketahui) atau ke-majhulan-nya bersifat total. Akan tetapi, jika

ke-majhul-annya (ketidakjelasannya) itu sedikit, jual belinya sah,

karena hal itu tidak akan membawa kepada perselisihan. Ulama

Hanafiyah mengatakan bahwa sebagai tolok ukur untuk unsur

Page 8: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

8

majhul itu diserahkan sepenuhnya kepada 'urf (kebiasaan yang

berlaku bagi pedagang dan pembeli).

2. Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat.

3. Menjual barang yang gaib (tidak ada) atau tidak dapat diserahkan saat jual beli

berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli. Ulama Malikiyah

membolehkannya, apabila sifat-sifatnya disebutkan dengan syarat sifat-

sifatnya tidak akan berubah sampai barang diserahkan.

4. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jumhur ulama mengatakan

bahwa jual beli orang buta adalah sah apabila orang buta itu memiliki

hak khiyar dan kemampuan meraba atau mengindera.

5. Jual beli dengan harga yang diharamkan.

6. Jual beli nasi’ah yaitu jual beli dengan pembayaran tangguh kemudian

dibeli kembali dengan tunai. Jual beli seperti ini dikatakan fasid karena

menyerupai dan mengarah kepada riba. Akan tetapi, madzhab

Hanafiyah mengatakan apabila unsur yang membuat jual beli ini rusak

dapat dihilangkan, maka hukumnya sah. Menurut sebagian ulama

Malikiyah hal ini dinamakan bai’ al ajal karena selalu memuat

penangguhan. Sebagian lain menamakannya bai’ al ‘inah. Ini pada

hakekatnya satu macam jual beli tangguh yang dimaksudkan untuk

ber-hilah dari riba, karenanya akad seperti ini tidak sah.

7. Jual beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan pembuatan khamar,

apabila penjual anggur itu mengetahui bahwa pembeli itu adalah pro-

dusen khamar.

8. Menggabungkan dua syarat dalam satu penjualan (al bai’atan fi bai’atin atau

asy syarthaani fi bai’in wahidin). Hal ini sesuai dengan hadist nabi dari

Abdullah bin Umar yang berbunyi :

“Nabi saw. bersabda: Tidak halal melakukan transaksi utang piutang dan

penjualan dalam waktu bersamaan, tidak halal mengabungkan dua syarat

dalam satu penjualan, tidak halal mengambil keuntungan terhadap barang

yang tidak berada dalam tanggungannya dan tidak halal menjual barang yang

Page 9: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

9

belum engkau miliki’. (H.R Ahmad, Abu Daud, An Nasa’I dan At

Turmudzy)

Contohnya adalah seseorang menjual sebuah barang pada pembeli

dengan syarat pembeli tidak boleh menjualnya kepada orang tertentu,

atau pembeli tidak boleh mewakafkan atau menghibahkannya. Ulama

Syafi'iyah dan Hanabilah menyatakan jual beli bersyarat di atas adalah

batal. Sedangkan Imam Malik menyatakan jual beli bersyarat di atas

adalah sah, apabila pembeli diberi hak khiyar (pilihan). Jual beli seperti

ini tidak dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip dasar kontrak

berupa kebebasan (hurriyyah) bagi salah satu pihak yang melakukan

transaksi.

9. Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari

satuannya.

10. Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna

matangnya untuk dipanen.

D. Beberapa Bentuk Khusus Jual Beli

Para ahli fiqh membagi model jual beli menjadi beberapa macam.

Dari segi obyek pertukarannya (badalain) apakah berupa barang (ain) atau

berupa uang (dain), jual beli dibagi menjadi empat macam: pertama, jual

beli barter (al-muqayadhah), yaitu jual beli yang obyek pertukarannya

barang (ain) dengan barang (ain), seperti jual beli pakaian dengan beras.

Kedua, jual beli mutlak, yaitu jual beli yang umumnya dipraktikkan saat

ini, di mana obyek pertukarannya antara barang (ain) dengan harga/uang

(dain). Ketiga, jual beli mata uang (al-sharf), yaitu jual beli yang obyek

pertukarannya uang (dain) dengan uang (dain), seperti rupiah dengan

rupiah atau rupiah dengan dolar. Keempat, jual beli pesanan (al-salam),

yaitu jual beli yang obyek pertukarannya sebenarnya adalah barang (ain)

dengan harga/uang (dain), tetapi karena barang yang menjadi obyek

pertukaran tidak ada di tempat akad dan baru akan ada di kemudian

Page 10: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

10

waktu maka wujudnya tidak lagi dinilai sebagai ain (barang) tetapi

sebagai dain. Jual beli salam memiliki variasi lain yang sering dikenal

dengan jual beli istishna’, yaitu jual beli sesuatu yang akan dibuat.

Dari segi harga jual (tsaman) yang dikenakan kepada pembeli, jual

beli juga dibagi menjadi empat. Pertama, Jual beli Murabahah (al-

murabahah), yaitu jual beli dengan menarik keuntungan tertentu dari

harga beli barang semula, dimana pihak pembeli mengetahui besar

keuntungan yang diambilnya. Kedua, jual beli tauliyah, yaitu jual beli

dengan tidak menarik keuntungan dari harga beli barang semula, dimana

pihak pembeli mengetahui besar modal pembelian barang tersebut.

Ketiga, jual beli al-wadhii’ah, yaitu jual beli dengan harga jual lebih rendah

dari harga beli barang semula, dimana pihak pembeli mengetahui besar

modal pembelian barang tersebut. Keempat, jual beli al-musawamah, yaitu

jual beli dengan harga jual sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak,

di mana pihak penjual biasanya menyembunyikan besar modal

pembelian barang tersebut. Inilah bentuk jual beli pada umumnya yang

berlaku di masyarakat.

Berdasarkan pembagian jual beli di atas, berikut akan dibahas

beberapa bentuk jual beli yang telah disebutkan, yang pada saat ini

populer dipraktikan di masyarakat, yaitu antara lain jual beli salam, jual

beli istishna’, jual beli sharf, dan jual beli murabahah.

1. Jual Beli Murabahah

Jual beli murabahah adalah jual beli barang seharga modal

pembelian/kulakan ditambah keuntungan yang disepakati.

Misalnya, sesorang membeli barang kemudian menjualnya kembali

dengan keuntungan tertentu. Berapa besar keuntungan tersebut dapat

dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase

dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%.

Page 11: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

11

Murabahah adalah satu jenis jual beli yang dibenarkan oleh syariah

dan merupakan implementasi muamalat tijariyah (interaksi bisnis). Adapun

dasar hukum kebolehan jual beli murabahah adalah sebagai berikut:

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275 “Dan Allah telah menghalalkan

jual beli dan mengharamkan riba “ dan surat An-Nisa’ ayat 29 “Hai orang –

orang yang beriman janganlah kalian memakan harta sesamamu dengan jalan

yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela

diantara kamu “.

Di samping itu beberapa hadis nabi juga mendukung keabsahan

murabahah, yaitu hadis riwayat Aisyah r. a. Bahwa ketika Rasululah SAW

ingin hijrah, Abu Bakar ra membeli dua ekor unta, kemudian Rasulullah SAW

berkata “serahkan salah satunya untukku (dengan harga yang sepadan/tauliyah)?

Abu Bakar menjawab “ya dia untukmu tanpa sesuatu apapun” Kemudian

rasulullah mengatakan ”Kalau tanpa harga jual (tsaman), maka tidak jadi saya

ambil” (HR. Bukhari dan Ahmad).

Ketentuan yang harus dipenuhi dalam jual beli murabahah

meliputi hal-hal berikut:

1). Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah

dimiliki/hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya

bahwa keuntungan dan resiko barang tersebut ada pada penjual

sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang

sah.

2). Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga

pembelian/kulakan) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan

dalam jual beli (capital outlay) pada suatu komoditi, semuanya harus

diketahui oleh pembeli saat akad; dan ini merupakan salah satu syarat

sah murabahah.

3). Ada informasi yang jelas tentang keuntungan baik nominal maupun

persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat

sah murabahah.

Page 12: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

12

4). Dalam sistem murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada

pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang,

tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan, karena

pengawasan barang merupakan kewajiban penjual disamping untuk

menjaga kepercayaan.

5). Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah,

jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (antara

pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli

murabahah), karena murabahah adalah jual beli dengan harga

pertama disertai tambahan keuntungan.

6). Apabila penjual hendak mewakilkan kepada pembeli untuk membeli

barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan

setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

7). Penjual dibolehkan meminta pembeli untuk membayar uang muka

saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.

8). Apabila pembeli menolak barang, maka biaya riil penjual harus

dibayar dari uang muka.

9). Apabila nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung

oleh penjual, maka penjual dapat meminta kembali sisa kerugiannya

kepada pembeli.

2. Jual beli Salam

Jual beli salam dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan

dengan jual beli pesanan. Secara terminologis, para ulama fiqh

mendefinisikannya dengan : “Menjual suatu barang yang penyerahannya

ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran

modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan di kemudian hari.

Jual beli salam diperbolehkan berdasarkan firman Allah dalam

surat Al-Baqarah, 2:282:

Page 13: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

13

“Wahai orang yang beriman! apabila kamu bermuamalah tidak secara

tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..”.

Ibnu Abbas sahabat rasulullah saw, menyatakan bahwa ayat ini

mengandung hukum jual beli pesanan yang ketentuan waktunya harus

jelas. Alasan lainnya adalah sabda rasulullah saw yang berbunyi.

“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan

takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang

diketahui. (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’I, at-Tirmizi, dan

Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

Sabda rasulullah saw ini muncul ketika beliau pertama kali hijrah ke

madinah, dimana penduduk Madinah telah melakukan jual beli pesanan

ini. Oleh Rasulullah saw jual beli seperti ini diakui asal jelas akadnya, jelas

ciri-ciri yang dipesan dan waktunya ditentukan.

Sebagaimana jual beli pada umumnya, jual beli salam hanya akan

sah bila dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya. Adapun rukun

jual beli salam yaitu; a. pembeli (Muslam), penjual (Muslam alaih), modal

atau uang (al-tsaman), barang (Muslam fihi), dan ucapan (shighat).

Sedangkan syarat jual beli salam adalah:

1. Pihak yang berakad salam, pembeli (Muslam), penjual (Muslam alaih),

disyaratkan harus (a) cakap hukum; (b) baligh; (c) berakal; dan (d)

sukarela.

2. Modal atau uang (al-tsaman), (a) hendaknya jelas harganya baik berupa

uang barang atau manfaat; (b) modal harus segera diserahkan pada

saat akad; (c) modal tidak boleh dalam bentuk utang, karena akan

mengakibatkan jual beli utang dengan utang; (d) modal tidak boleh

berupa pembebasan utang penjual, karena akan menimbulkan riba.

3. Barang (Muslam fihi). (a) Tidak termasuk barang yang diharamkan; (b)

barang harus jelas spesifikasinya (jenis, warna, sifat, dan lain-lain); (c)

jelas ukurannya (timbangan, panjang, kualitas dan kuantitas); (d)

barang harus berwujud sehingga dapat diakui sebagai hutan; (e)

Page 14: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

14

barang harus jelas waktu dan tempat penyerahannya; (f) pembeli tidak

boleh menjual barang sebelum menerimanya dan tidak boleh menukar

barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan; (g) barang

harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan

akibat kurangnya pengetahuan tentang macam-macam barang

tersebut, baik kualitas maupun kuantitas; (h) penjual tidak boleh

meminta tambahan harga jika ia menyerahkan barang dengan kualitas

yang lebih tinggi; (i) jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas

yang lebih rendah, dan pembeli rela memerimanya, maka ia tidak

boleh menuntut pengurangan harga (diskon); (j) penjual dapat

menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang telah disepakati

dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan,

dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga; (k) jika semua atau

sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau

kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia

memiliki dua pilihan: (1) membatalkan kontrak dan meminta kembali

uangnya; (2) menunggu sampai barang tersedia.

4. Shighat akad: (a) dilakukan dengan jelas dan disebutkan secara spesifik

dengan siapa berakad; (b) antara ijab qabul harus selaras baik dalam

spesifikasi barang maupun harga yang disepakati; (c) tidak

mengandung hal-hal yang bersifat menggantungkan keabsahan

transaksi pada kejadian yang akan datang.

Terdapat beberapa perbedaan antara jual beli salam dengan jual beli biasa

yang dikemukakan para ulama fiqh, diantaranya adalah :

a. Harga barang dalam jual beli salam tidak boleh dirubah dan harus

diserahkan seluruhnya waktu akad berlangsung. Berbeda dengan jual

beli biasa, pembeli boleh membayar barang yang ia beli dengan utang

penjual pada pembeli. Dalam artian, utang dianggap lunas dan barang

diambil oleh pembeli.

Page 15: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

15

b. Harga yang diberikan berbentuk uang tunai bukan berbentuk cek

mundur, karena uang tersebut merupakan modal untuk membantu

produsen, berbeda dengan jual beli biasa dimana harga yang

diserahkan boleh berbentuk cek mundur.

c. Pihak produsen tidak dibenarkan menyatakan bahwa uang pembeli

dibayar kemudian, karena jika ini terjadi, maka jual beli ini tidak lagi

bernama jual beli salam. Sedangkan dalam jual beli biasa produsen

boleh berbaik hati untuk menunda penerimaan harga barang ketika

barang telah selesai dan diserahkan.

d. Menurut ulama Hanafi, modal/harga boleh dijamin oleh seseorang

yang hadir waktu akad dan penjamin ini bertanggung jawab

membayar harga saat itu juga. Akan tetapi menurut Zufar ibn Huzail,

pakar fiqh Hanafi, harga itu tidak boleh dijamin oleh seseorang karena

adanya jaminan ini akan menunda pembayaran harga yang harus

dibayarkan tunai waktu akad. Dalam jual beli biasa persoalan harga

yang dijamin oleh seseorang atau dibayar dengan jaminan tidaklah

menjadi masalah asal keduanya sepakat.

3. Jual Beli Istishna’

Musthafa Ahmad al-Zarqa` mendifinisikan istishna’ sebagai “akad

penjualan barang yang bersifat manufacture (barang hasil

olahan/kerajinan), dengan kewajiban bagi penjual untuk menghadirkan

barang tersebut, dengan materilnya berasal dari pihak penjual dengan

spesifikasi dan harga yang telah disepakati”. Sedangkan Menurut

Wahbah al-Zuhaily, Istishna’ adalah akad dengan pihak pengrajin untuk

mengerjakan suatu barang (pesanan) tertentu, di mana materi dan biaya

produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin.

Dari dua pengertian terakhir dapat diambil kesimpulan bahwa

istishna’` bukan hanya sekedar “janji” dan objek dalam kontrak ini adalah

sebuah properti untuk memenuhi kebutuhan yang dipesan oleh pembeli

Page 16: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

16

dengan barang (yang diperjualbelikan) tidak ada pada saat akad. Dalam

akad istishna’ hanya berlaku pada objek barang yang dapat dibuat

(melalui proses produksi) dan tidak berlaku pada barang seperti padi,

jagung, kapas, buah-buahan dan lain-lain, serta objek barang harus dapat

dispesifikasikan dengan jelas hal ini ditujukan untuk menghindari unsur

gharar (ketidakjelasan).

Dasar hukum istishna’ berdasarkan petunjuk dalam Al-Qur`an

pada surat al-Kahf (18) ayat 94, yang bercerita tentang Zulqarnain ketika

seseorang memesan kepadanya untuk dibuatkan benteng (penghalang)

antara mereka dengan orang-orang Ya`juj dan Ma`juj. ”Ya

Zulkarnain!sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu adalah orang-orang perusak

bumi, maka maukah engkau terima kami berikan upeti (Kharajan) dengan syarat

engkau adakan antara kami dan mereka itu suatu tembok (penghalang).”

Komentar terhadap ayat ini, Ibn Abbas berkata bahwa “Kharajan “berarti

sebuah upah/imbalan yang besar. Berdasarkan pendapat al-Ashgar, ayat

ini menggambarkan petunjuk yang ada dalam Al-Qur`an terhadap

legalitas istishna’. Pendapat ini berdasarkan pada sebuah prinsip bahwa:

“segala perintah atau larangan berasal dari seseorang yang

tercantum/terekam dalam Al-Qur`an adalah benar kecuali jika Al-Qur`an

dengan jelas melarangnya”. Adalah tidak mungkin Allah

menginformasikan sesuatu yang salah kepada kita tanpa menjelaskan

ketidak-legal-an dan ketidak-benarannya.

Keabsahan istishna’ didasarkan juga kepada As-Sunnah, bahwa

Nabi Muhammad pernah memesan kepada seorang pengrajin untuk

dibuatkan sebuah cincin. Hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak

sahabat diantaranya Umar ibn Khatab ra.

Namun, menurut Hanafiyah kebolehan istishna’ berdasarkan pada

istihsan dan bukan berdasarkan Qiyas atau kaidah umum yang berlaku

dalam jual beli.

Page 17: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

17

Menurut Abu Hanifah, bai` al-istishna’ pada dasarnya termasuk

akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai` secara

qiyas. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’

berdasarkan istihsan dan bukan berdasarkan qiyas dikarenakan alasan-

alasan berikut: pertama, masyarkat telah mempraktikkan bai` al-istishna’

secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali; kedua, di

dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas

berdasarkan ijma` ulama. Keberadaan bai` al-istishna’ didasarkan atas

kebutuhan masyarakat, dan bai` al-istishna’ sah sesuai dengan aturan

umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan

nash atau aturan syariah.

Menurut jumhur kebolehan istishna’ cukup dengan meng-qiyas-

kannya dengan bai` as-salam, maka secara umum dasar hukum yang

berlaku pada bai` as-salam juga berlaku pada bai` al-istishna’.

Rukun dalam istishna’ pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan

rukun yang ada pada jual beli biasa dan jual beli salam, adapun rukun jual

beli istishna’ adalah:

1. Pembeli/ pemesan (Mushtani`)

2. Penjual/pembuat barang/produsen (Shani`)

3. Modal/uang (al-tsaman)

4. Barang/jasa/spesifikasi barang yang akan dipesan (Mashnu`)

5. Sighot (ijab-qobul)

6. Harga barang

Sedangkan syarat-syarat jual beli istishna’ tidak berbeda jauh

dengan syarat jual beli salam dengan tambahan:

1. Hendaknya berang yang dipesan dijelaskan jenis, kadar, dan sifatnya.

2. Pemesanan itu termasuk hal sering dilakukan kebanyakan orang,

seperti pesanan perabot rumah tangga, sepatu, perlengkapan

kendaraan dan lain-lain.

Page 18: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

18

3. Produsen (Shanni`) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk

membuat/mengadakan barang yang dipesan.

4. Pembayaran dapat dilakukan kemudian hari (tidak diharuskan pada

saat kontrak atau akad) Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan

atau kerajinan (manufacturable) yang mana masyarakat lazim

memesannya, seperti sepatu, baju, mesin-mesin pabrik, dan lain-lain

5. Menurut pendapat Abu Hanifah, waktu penyerahan/pengadaan

produk tidak dibatasi (jika dibatasi menjadi akad salam). Tetapi dalam

aplikasi saat ini waktu penyerahan menjadi syarat yang wajib

dilakukan saat akad berlangsung, hal ini untuk menghindari

terjadinya konflik antara Mustani` dengan Sani.`

Walaupun jual beli istishna’ memiliki banyak kesamaan dengan

jual beli salam, tetapi para ahli fiqh tetap membedakan antara keduanya

dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Barang yang dipesan (al-mabi’) dalam jual beli salam bersifat al-dain

(sesuatu yang menjadi tangungan/dzimmah), sedangkan objek

istishna’ bersifat al-ain (sesuatu yang bisa ditentukan atau ditunjuk

wujud bendanya, seperti istishna’ alat-alat rumah tangga, sepatu, atau

bejana.

2. Dalam akad salam harus dibatasi jangka waktunya, seperti sebulan

atau lebih dari itu. Ketentuan ini menurut Hanafiyah tidak berlaku

pada akad istishna’. Akan tetapi kedua murid Abu Hanifah: Abu

Yusuf dan al-Syaibani berpendapat istishna’ sah baik ditentukan

waktunya maupun tidak.

3. Akad salam bersifat mengikat (lazim), tidak boleh dibatalkan kecuali

atas kesepakatan kedua belah pihak, sedang akad istishna’ tidak

bersifat mengikat. Demikian ini menurut Hanafiyah. Sedangkan

menurut jumhur akad salam dan istishna’ sama-sama bersifat

mengikat.

Page 19: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

19

4. Ra’su mal (harga pokok) dalam akad salam harus dibayarkan secara

kontan dalam majelis akad. Dalam istishna’ harga pokok cukup

dibayarkan pada saat akad berupa uang muka, sebagian dari harga

seperti setengah atau sepertiganya, demikian pendapat madzhab

Hanabilah.

4. Jual Beli Mata uang (Sharf).

Arti harfiah dari sharf adalah penambahan, penukaran,

penghindaran, pemalingan atau transaksi jual beli. Menurut Wahbah al

Zuhaili, Al sharf secara bahasa berarti Al ziyadah (tambahan). Sedangkan

menurut istilah Al Sharf adalah:

“Jual beli uang dengan uang, baik yang sejenis atau berbeda jenis” maksudnya

adalah jual beli emas dengan emas, atau perak dengan perak, atau emas

dengan perak, baik fungsinya sebagai perhiasan (masughan) maupun

sebagai uang/alat tukar (naqdan).

Atas dasar pengertian di atas, sharf merupakan akad jual beli mata

uang baik dengan sesama mata uang yang sejenis (misalnya rupiah

dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan

dollar atau sebaliknya).

Dasar hukum keabsahan melakukan jual beli uang (sharf) terdapat

dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma,

Firman Allah, QS. al-Baqarah [2]: 275: “ "…Dan Allah telah

menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."

Juga terdapat pada beberapa hadis Nabi sebagai berikut:

“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,

sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan

syarat harus)sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah

sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” HR. Muslim, Abu Daud, Tirmizi,

Nasa'i, dan Ibn Majah)

“(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”

Page 20: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

20

(HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad). “Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak

tunai).” (HR. Muslim)

Di samping itu, para ulama sepakat (ijma') bahwa akad al-sharf

disyari'at-kan dengan syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, tidak untuk

spekulasi (untung-untungan), kedua, ada kebutuhan transaksi atau untuk

berjaga-jaga (simpanan), ketiga, apabila transaksi dilakukan terhadap mata

uang sejenis maka nilainya harus sama (al-tamatsul) dan secara tunai (at-

taqabudh) sebelum kedua belah pihak (penjual dan pembeli) berpisah serta

tidak ada khiyar syarat, keempat, apabila berlainan jenis maka harus

dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi

dilakukan dan secara tunai.

Dalam praktiknya, ada berbagai macam bentuk jual beli mata uang

terutama jual beli valuta asing. Akan tetapi tidak semua bentuk yang ada

tersebut diperbolehkan menurut hukum Islam. Adapun bentuk-bentuk

jual beli mata uang sekaligus kedudukan hukumnya adalah sebagai

berikut:

Pertama, Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan

valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau

paling lambat penyelesaiannya dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya

adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap

sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan

transaksi internasional.

Kedua, Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan

valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan

untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu

tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah

harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di

kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum

Page 21: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

21

tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk

forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

Ketiga, Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau

penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan

pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward.

Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Keempat, Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak

dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus

dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu

atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur

maisir (spekulasi).

E. Aplikasi Akad Jual Beli di Lembaga Keuangan Syari’ah

Lembaga keuangan syariah baik bank maupun non-bank harus

memiliki produk yang berfareasi sebagaimana halnya produk yang ada di

bank konvensional, sehingga masyarakat memiliki pilihan yang beragam

ketika bertransaksi di lembaga keuangan syariah. Akan tetapi produk

yang beragam tersebut harus diimbangi dengan kepatuhan terhadap

prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh syari’ah Islam. Fatwa DSN-

MUI adalah satu diantara rujukan utama dalam memenuhi kepatuhan

tersebut. Berdasarkan fatwa DSN-MUI produk-produk lembaga keuangan

keuangan untuk memenuhi kepatuhannya terhadap prinsip syari’ah

dapat menggunakan akad jual beli, seperti murabahah, salam, istishna

dan sharf.

1. Akad Murabahah di Perbankan Syariah

Murabahah adalah akad penyediaan barang berdasarkan prinsip

jual beli, dimana bank membelikan kebutuhan barang nasabah

(investasi/modal kerja) dan bank menjual kembali kepada nasabah

ditambah dengan keuntungan yang disepakati.

Page 22: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

22

Praktek murabahah di bank syari’ah memerhatikan ketentuan

sebagai berikut:

a. Ketentuan umum murabahah dalam bank syari’ah

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas

riba

2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang

yang telah disepakati kualifikasinya

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank

sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan

pembelian, misalnya jika pembelian dailakukan secara hutang

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)

dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam

kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang

kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut

pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad

tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan

nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli

barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan

setelah barang, secara prinsip menjadi ilik bank.

b. Ketentuan Murabahah bagi Nasabah

1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang

atau asset kepada bank

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih

dahulu asset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.

Page 23: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

23

3. Bank kemudian menawarkan asset tersebut kepada nasabah dan

nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang

telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat;

kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk

membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal

pemesanan.

5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil

bank harus dibayar dari uang muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung

oleh bak, bak dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada

nasabah.

7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternative dari

uang muka, maka.

a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia

tinggal membayar sisa harga.

b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank

maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bak akibat

pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah

wajib melunasi kekurangannya.

c. Jaminan dalam Murabahah

1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan

pesanannya.

2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang

dapat dipegang.

d. Utang dalam Murabahah

1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi

murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang

dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika

nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau

Page 24: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

24

kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya

kepada bank.

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran

berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.

3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah

tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia

tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta

kerugian itu diperhitungkan.

4. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas

riba

e. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda

penyelesaian utangnya.

2. Jika nasabah menunda nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika

salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah

tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

f. Bangkrut dalam Murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan

utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup

kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

g. Skema Murabahah di Perbankan Syari’ah

Page 25: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

25

1. Nasabah dan bank melakukan negosiasi untuk pembelian mobil.

2. Bank membeli mobil ke show room secara tunai.

3. Bank menjual mobil kepada nasabah secara cicil dengan

memberitahukan harga pokok dan marginnya.

4. Nasabah membayar kepada bank secara cicil dalam jangka waktu

tertentu sesuai kesepakatan.

2. Akad Salam di Perbankan Syari’ah

Akad salam adalah akad pembelian suatu hasil produksi (komoditi) untuk

pengiriman yang ditangguhkan dengan pembayaran segera sesuai dengan

persyaratan tertentu atau penjualan suatu komoditi untuk pengiriman

yang ditangguhkan dengan pembayaran segera/di muka.

Praktek salam di bank syari’ah memerhatikan ketentuan sebagai

berikut:

a. Ketentuan Pembayaran Uang Cash

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,

barang atau manfaat.

2. Dilakukan saat kontrak disepakati (in advance)

3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan hutang)

b. Ketentuan Barang

1. Harus Jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai hutang

2. Penyerahan dilakukan kemudian

3. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan

kesepakatan.

4. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut

diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli

5. Tidak boleh menukar barang, kecualai dengan barang sejenis sesuai

kesepakatan.

Page 26: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

26

c. Penyerahan Barang Sebelum Atau Tepat Waktu

1. Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dgn kualitas &

kuantitas yang disepakati.

2. Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi,

penjual tidak boleh meminta tambahan harga

3. Jika penjual menyerahkan barang dgn kualitas lebih rendah, dan

pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta

pengurangan harga (diskon).

4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang

disepakati dengan syarat : kualitas dan jumlah barang sesuai dengan

kesekapatan dan tidak boleh menuntut tambahan harga.

5. Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu

penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela

menerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:

a. Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang

b. Menunggu sampai barang tersedia

d. Perselisihan

Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka

persoalannya diselesaikan melalui pengadilan Agama sesuai dengan UU

No 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para

pihak dapat juga memilih BASYARNAS dalam penyelesaian

sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakatyi sejak awal,

maka tertutup lah peranan PA.

Page 27: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

27

e. Skema Salam di Perbankan Syari’ah

3. Istishna’ di Perbankan Syari’ah

Istishna adalah suatu kontrak jual beli antara pembeli (mustasni’)

dan penjual (shani’) di mana pembeli memesan barang (mashnu’) dengan

kriteria yang jelas dan harganya dapat diserahkan secara bertahap.

Praktek istishna di bank syari’ah memerhatikan ketentuan sebagai

berikut:

a. Ketentuan tentang Pembayaran

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa

uang, barang, atau manfaat.

2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang (ibra’)

b. Ketentuan tentang Barang

1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.

2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.

3. Penyerahannya dilakukan kemudian.

4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan

berdasarkan kesepakatan.

Page 28: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

28

5. Pembeli (pembeli, mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum

menerimanya.

6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai

kesepakatan.

7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan

kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk

melanjutkan atau membatalkan akad.

c. Ketentuan Lain:

1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,

hukumnya mengikat.

2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di

atas berlaku pula pada jual beli istishna’.

3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika

terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Agama setelah

tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Namun para

pihak dapat memilih Badan Arbitrasi Syari’ah

d. Skema Istishna’ di Perbankan Syari’ah

Page 29: BAB V JUAL BELI A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

29

1. A memesan 1000 pakaian seragam Pemda, kpd B (bank Islam),

dengan pembayaran cicilan i.e 2 kali bayar , maka terjadilah akad

istisna’ pertama Dalam akad itu A menyerahkan sebagian harga

sebagai DP

2. B (Bank Islam) memesan pembuatan 1000 pakaian seragam kpd

Tukang jahit, Maka terjadilah akad istishna’ kedua Dalam akad itu

B juga menyerahkan DP kepada C .

3. Setelah pakiaan selesai dibuat, C menyerahkannya kpd A.

4. Sharf (jual beli valuta asing) di Perbankan syari'ah

Sharf adalah jual beli atau pertukaran antara mata uang suatu

negara dengan mata uang negara lainnya. Misalnya antara Rupiah dengan

Dollar Amerika, Yen Jepang dengan Euro dan sebagainya.

Dunia perbankan termasuk bank syariah sebagai lembaga

keuangan yang menfasilitasi perdagangan internasional (ekspor-impor)

tidak dapat terhindar dari keterlibatan di pasar valuta asing (foreign

exchange). Hukum transaksi yang dilakukan oleh sebagian bank syariah

dalam muamalah jual beli valuta asing tidak dapat dilepaskan dari

ketentuan syariah mengenai Sharf. Bentuk transaksi internasional

pertukaran valuta asing yang biasa dilakukan bank syariah harus

naqdan/spot.