pengertian jual beli, syarat dan hukum jual beli

51
KATA PENGANTAR Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT dengan ramaht-Nya dan inayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pengertian Jual Beli, Syarat dan Hukum Jual Beli”. Makalah ini dibuat dengan maksud yakni memperoleh keridhoan Allah semata, akhir kata saya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan sekaligus bermanfaat untuk menambah pengetahuan sehubungan dengan jual beli. i

Upload: ikhsanu

Post on 25-Jun-2015

8.660 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pengertian Jual Beli, Syarat dan Hukum Jual BeliAllah ST menjadikan manusia, masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan.Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia suka mementingkan diri sendiri

TRANSCRIPT

Page 1: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT dengan

ramaht-Nya dan inayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan

judul “Pengertian Jual Beli, Syarat dan Hukum Jual Beli”.

Makalah ini dibuat dengan maksud yakni memperoleh keridhoan

Allah semata, akhir kata saya penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi kita semua dan sekaligus bermanfaat untuk menambah

pengetahuan sehubungan dengan jual beli.

i

Page 2: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................1

B. Tujuan.............................................................................................1

BAB II DEFENISI, LANDASAN DAN RUKUN JUAL BELI.............2

A. Pengertian Jual Beli........................................................................2

B. Landasan Syara’..............................................................................3

C. Rukun dan Pelaksanaan Jual Beli...................................................5

BAB III SYARAT JUAL-BELI...............................................................7

1. Menurut Ulama Hanafiyah..............................................................7

2. Madzab Maliki..............................................................................11

3. Madzhab Syafi’i............................................................................12

4. Madzhab Hambali.........................................................................14

BAB IV HUKUM (KETETAPAN) BAI’ BESERTA PEMBAHASAN BARANG DAN HARGA........................................................................17

1. Hukum (Ketetapan) Akad.............................................................17

2. Tsuman (Harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)................................17

3. Hukum dan Sifat Jual Beli............................................................22

4. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam............................................24

5. Macam-Macam Jual Beli..............................................................31

BAB V SAH ATAU TIDAK NYA JUAL BELI ANAK DI BAWAH UMUR......................................................................................................33

ii

Page 3: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

iii

Page 4: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah ST menjadikan manusia, masing-masing saling membutuhkan

satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar-menukar keperluan

dalam segala urusan.

Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan

subur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi sifat

loba dan tamak tetap ada pada manusia suka mementingkan diri sendiri.

B. Tujuan

Adapun tujuan mempelajari tentang jual beli adalah:

1. Agar mahasiswa bisa mengetahui aturan-aturan jual beli.

2. Agar mahasiswa bisa mengetahui jual beli yang sah dan tidak sah.

1

Page 5: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

BAB II

DEFENISI, LANDASAN DAN RUKUN JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli

Menurut etimologi, jual beli diartikan

Artinya:

“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)”

Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.

Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 29

dinyatakan:

Artinya:

“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”

(QS. Fathir: 29)

Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat

dalam mendefenisikannya, antara lain:

a. Menurut ulama Hanafiyah

“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus orang

dibolehkan)”.

2

Page 6: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’

Artinya:

“Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.

c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni

Artinya:

Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan mulik”.

B. Landasan Syara’

Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ yakni:

a. Al-Qur’an diantaranya

Artinya:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.

(QS. Al-Baqarah:275)

Artinya:

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”

(QS. AL-Baqarah:282)

Artinya:

“Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka”.

(QS. An-Nisa:29)

b. As-Sunah, di antaranya:

3

Page 7: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Artinya:

“Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau

menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli

yang babrur”.

(HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)

Maksud mabrur dalam hadis di atas adalah jual-beli yang terhindar

dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.

Artinya:

“Jual beli harus dipastikan harus saling meridai.”

(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah)

c. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperolehkan dengan alasan

bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa

bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain

yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

C. Rukun dan Pelaksanaan Jual Beli

Dalam menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulama terjadi

perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab

dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan

ucapan maupun perbuatan.

Adapun rukun jual-beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:

a. Ba’i (penjual)

b. Mustari (pembeli)

4

Page 8: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

c. Shighat (ijab dan qabul)

d. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)

5

Page 9: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

BAB III

SYARAT JUAL-BELI

Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad

(in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat

lujum.

Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk

menghindari pertentangan diantara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang

sedang akad, menghindari jual-beli gharar (terdapat unsur penipuan), dan lain-

lain.

Jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal.

Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid.

Jika tidak memenuhi syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh,

bahkan menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak

memenuhi syarat ljum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk

menetapkan maupun membatalkan.

Diantara uma afiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual-

beli. Dibawah ini akan dibahas sekilas pendapat setiap madzhab tentang

persyaratan jual beli tersebut.

1. Menurut Ulama Hanafiyah

Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama Hanabilah berkaitan dengan

syarat jual-beli adalah:

a. Syarat Terjadinya Akad (In’iqad)

Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini

tidak terpenuhi, jual beli batal. Tentang syarat ini, ulama Hanafiyah

menetapkan empat syarat, yaitu berikut ini.

1) Syarat Aqid (orang yang akad)

Aqid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Berakal dan Mumayyiz

7

Page 10: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh.

Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal

secara umum terbagi tiga:

Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah

Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah

talak oleh anak kecil

Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemadaratan,

yaitu aktivitas yang boleh dilakukan, tetapi atas seizin wali

b) Aqih harus berbilang, sehingga tidaklah sah akad dilakukan

seorang diri. Minimal dilakukan dua orang, yaitu pihak yang

menjual dan membeli.

2) Syarat dalam Akad

Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul.

Namun demikian, dalam ijab qabul terdapat tiga syarat berikut ini.

a) Ahli Akad

Menurut ulama Hanafiyah, seorang anak yang berakal dan

mumayyiz (berumur tujuh tahun, tetapi belum baligh) dapat

menjadi ahli akad. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat

bahwa akad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya. Adapun

menurut ulama Syafi’iyah, anak mumayyiz yang belum baligh

tidak dibolehkan melakukan akad sebab ia belum dpaat menjaga

agama dan hartanya (masih bodoh).

Allah SWt berfirman

Artinya:

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum

sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)

yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”.

(QS. An-Nisa’:5)

8

Page 11: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang disebut

orang-orang yag belum sempurna akalnya pada ayat di atas adalah

anak yatim yang masih kecil atau orang dewasa yang tidak mampu

mengurus hartanya.

b) Qabul harus sesuai dengan ijab

c) Ijab dan qabul harus bersatu, yakni berhubungan antara ijab dan

qabul qalaupun tempatnya tidak bersatu.

3) Tempat Akad

Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.

4) Ma’qud ‘alaih (objek akad)

Ma’qud ‘alaih harus memenuhi empat syarat:

a) Ma’qud ‘alaih harus ada, tidak boleh akad atas barang-barang yang

tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang

belum tampak, atau jual beli anak hewan yang masih dalam

kandungan. Secara umum dalil yang digunakan sebagaimana

diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah

SAW melarang jual beli yang belum tampak hasilnya.

b) Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin

dimanfaatkan dan disimpan.

c) Benda tersebut milik sendiri.

d) Dapat diserahkan.

b. Syarat Pelaksanaan Akas (Nafadz)

1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad

2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain

Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang sewaan atau

barang gadai, sebab barang tersebut bukan miliknya sendiri, kecuali

kalau diizinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang

ditangguhkan (mauquf).

9

Page 12: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Berdasarkan nafadz dan waqaf (penangguhan), jual beli terbagi

dua:

a) Jual beli nafidz

Jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah memenuhi

syarat dan rukun jual beli sehingga jual beli tersebut dikategorikan

sah.

b) Jual beli mauquf

Jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi

syarat dan rukun nafadz, yakni bukan milik dan tidak kuasa untuk

melakukan kada, seperti jual beli fudhul (jual beli bukan milik

orang lain tanpa ada izin). Namun demikian, jika pemiliknya

mengizinkan jual beli fudhul dipandang sah. Sebaliknya, jika

pemilik tidak mengizinkan dipandang batal.

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menghukumi jual beli

fudhul.

c. Syarat Sah Akad

Syarat ini terbagi atas dua yaitu umum dan khusus:

1. Syarat umum

Adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli

yang telah ditetapkan syara’. Diantaranya adalah syarat-syarat yang

telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar kecacatan jual beli yaitu

ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu (tauqit),

penipuan (gharar), kemadaratan, dan persyaratan yang merusak

lainnya.

2. Syarat Khusus

Adalah syarat-syarat yang hanya ada pasa barang-barang tertentu. Jual

beli ini harus memenuhi persyaratan berikut:

a) Barang yang diperjual belikan harus dapat dipegang yaitu pada jual

beli benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan akan

rusak atau hilang.

10

Page 13: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

b) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.

c) Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah, yaitu pad ajual

beli yang bendanya ada di tempat.

d) Terpenuhi syarat penerimaan.

e) Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli

yang memakai ukuran atau timbangan.

f) Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya.

Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih berada di

tangan penjual.

d. Syarat Lujum (kemestian)

Syarat ini hanya ada satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau

terbebas dari khiyat (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang

akad dan akan menyebabkan batalnya akad.

2. Madzab Maliki

Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang

berkenaan dengan aqih (orang yang akad), shighat, dan ma’qud ‘alaih

(barang) berjumlah 11 syarat.

a. Syarat Aqih

Adalah penjual atau pembeli. Dalam hal ini terdapat tiga syarat, ditambah

satu bagi penjual:

1) Penjual dan pembeli harus mumayyiz

2) Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil

3) Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual beli berdasarkan paksaan

adalah tidak sah

4) Penjual harus sadar dan dewasa

Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi aqid kecuali

dalam membeli hamba yang muslim dan membeli mushaf. Begitu pula

dipandang sahih jual beli orang yang buta.

11

Page 14: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

b. Syarat dalam Shighat

1) Tempat akad harus bersatu

2) Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah

Di antara ijab dan qabul tidak boleh ada pemisahan yang

mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid secara adat.

c. Syarat Harga dan yang Dihargai

1) Bukan barang yang larang syara’

2) Harus suci, maka dibolehkan menjual khamr, dan lain-lain

3) Bermanfaat menurut pandangan syara’

4) Dapat diketahui oleh kedua orang yang akad

5) Dapat diserahkan

3. Madzhab Syafi’i

Ulama Syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan

aqih, shighat dan ma’qud alaih. Persyaratan tersebut adalah:

a. Syarat Aqid

1. Dewasa atau Sadar

Aqih harus baligh dan berakal, menyadari dan mampu

memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, akad anak

mumayyiz dipandang belum sah.

2. Tidak dipaksa atau tanpa hak

3. Islam

Dipandang tidak sah, orang kafir yang membeli kitab Al-

Qur’an atau kitab-kitab yang berkaitan dengan agama seperti hadis,

kitab-kitab fiqih, dan juga membeli hamba yang muslim. Hal itu

didasarkan antara lain pada firman Allah SWT:

Artinya:

12

Page 15: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk

menghina orang mukmin”.

(QS. An-Nisa’: 141)

4. Pembeli bukan musuh

Umat Islam dilarang menjual barang, khususnya senjata,

kepada musuh yang akan digunakan untuk memerangi dan

menghancurkan kaum muslimin.

b. Syarat Shighat

1) Berhadap-hadapan

Pembeli atau penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada

orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai

denganorang yang dituju. Dengan demikian tidak sah berkata, “Saya

menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada

Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.

2) Ditunjukan pada seluruh badan yang akal

Tidak sah mengatakan, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau

tangan kamu”.

3) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab

Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak

bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab, kecuali jika

diwakilkan.

4) Harus menyebutkan barang atau harga

5) Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)

6) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna

Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan

qabul, jual beli yang dilakukannya batal.

7) Ijab qabul tidak terpisah

Anatara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu

lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.

8) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain

13

Page 16: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

9) Tidak berubah lafazh

Lafazh ijab tidak boleh berubah, seperti perkataan, “Saya jual dengan

lima ribu, kemudian berkata lagi, “Saya menjualnya dengan sepuluh

ribu, padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang

pertama dan belum ada qabul.

10) Bersesuaian anatar ijab dan qabul secara sempurna

11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu

Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan

dengan akad.

12) Tidak dikaitkan dengan waktu

c. Syarat Ma’qud ‘Alaih (Barang)

1) Suci

2) Bermanfaat

3) Dapat diserahkan

4) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain

5) Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad

4. Madzhab Hambali

Menurut ulama Hanabilah, persyaratan jual beli terdiri atas 11 syarat,

baik dalam aqih, shighat dan ma’qud ‘alaih.

a. Syarat Aqid

1) Dewasa

Aqid harus dewasa (baliqh dan berakal), kecuali pada jual beli barang-

barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan

mengandung unsur kemaslahatan.

2) Ada Kerinduan

Masing-masing aqid harus saling meridai, yaitu tidak ada unsur

paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh mereka yang memiliki otoritas

untuk memaksa, seperti hakim atau penguasa.

14

Page 17: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Ulama Hanabilah menghukumi makruh bagi orang yang menjual

barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan

harga di luar harga lazim.

b. Syarat Shighat

1) Berdasa di tempat yang sama

2) Tidak terpisah

Antara ijab dan wabul tidak terdapat pemisah yang menggambarkan

adanya penolakan

3) Tidak dikaitkan dengan sesuatu

Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak berhubungan

dengan akad.

c. Syarat Ma’qud ‘Alaih

1) Harus berupa harta

Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut

pandangan syarat. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya

dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa, misalnya membeli khamar

sebab tidak ada lagi air lainnya. Dibolehkan pula membeli burung

karena suaranya bagus.

Ulama Hanabilah mengharamkan jual beli Al-Qur’an baik

untuk orang muslim maupun kafir sebab Al-Qur’an wajib diagungkan,

sedangkan menjualnya berarti tidak mengagungkannya.

Begitu pula mereka me;arang jual beli barang-barang mainan

dan barang-barang yang tidak bermanfaat lainnya.

2) Milik penjual secara sempurna

Dipandang tidak sah jual beli fudhul, yakni menjual barang tanpa

seizin pemiliknya.

3) Barang dapat diiserahkan ketika akad

15

Page 18: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

4) Barang diketahui oleh penjual dan pembeli

Ma’qud ‘alaih harus jelas dan diketahui kedua pihak yang

melangsungkan akad. Namun demikian, dianggap sah jual beli orang

yang buta

5) Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad

6) Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah

Barang, harga, dan aqid harus terhindar dari unsur-unsur yang

menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah, seperti riba.

16

Page 19: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

BAB IV

HUKUM (KETETAPAN) BAI’ BESERTA

PEMBAHASAN BARANG DAN HARGA

1. Hukum (Ketetapan) Akad

Hukum akad adalah tujuan dari aqad. Dalam jual beli, ketetapan akad

adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga atau

uang sebagai milik penjual.

Secara mutlak hukum aqad dibagi 3 bagian:

a. Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram, sunah,

makruh, dan mubah.

b. Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yang sah,

luzum, dan tidak luzum, seperti pernyataan, “Akad yang sesuai dengan

rukun dan syaratnya disebut sahih lazim.”

c. Dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara’, seperti wasiat yang

memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik bagi

orang yang diberi wasiat maupun bagi orang atau benda yang diwasiatkan

Hukum atau ketetapan yang dimaksud pada pembahasan akad jual beli

ini, yakni menetapkan barang milik pembeli dan menetapkan uang milik

penjual.

2. Tsuman (Harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)

a. Pengertian Harga dan Mabi’

Secara umum, mabi’ adalah (perkara

yang menjadi tentu dengan ditentukan). Sedangkan pengertian harga

secara umum, adalah (perkara yang tidak tentu

dengan ditentukan).

Defenisi di atas, sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung

pada bentuk dan barang yang diperjual belikan. Adakalanya mabi’ tidak

17

Page 20: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

memerlukan penentuan. Sebaliknya harga memerlukan penentuan, seperti

penetapan uang muka.

b. Penentuan Mabi’ (Barang Jualan)

Penentuan mabi’ adalah penentuan barang yang akan dijual dari

barang-barang lainnya yang tidak akan dijual, jika penentuan tersebut

menolong atau menentukan akad, apabila mabi’ tidak ditentukan dalam

akad, penentuannya dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.

c. Perbedaan Harga, Nilai dan Utang

1. Harga

Harga hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam

akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dnegan nilai barang.

Biasanya, harga dijadikan penukar barang yang diridai oleh kedua

pihak yang akad.

2. Menilai Sesuatu

Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia.

3. Utang

Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam

urusan harta, yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam,

yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu

untuk orang lain, seperti merusak harta gashab, berutang, dan lain-lain.

d. Perbedaan Mani’ dan Harga

Kaidah umum tentang mani’ dan harga adalah segala sesuatu yang

dijadikan mabi’ adalah sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga dapat

menjadi mabi’.

Diantara perbedaan antara mabi’ dan tsaman adalah:

1. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah

mabi’

18

Page 21: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

2. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah

mabi’ dan penukarannya adalah harga.

e. Ketetapan Mabi’ dan Harga

Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan harga antara lain:

1) Mabi’ disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga

tidak disyaratkan demikian.

2) Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan

harga tidak disyaratkan demikian.

3) Tidak boleh mendahulukan harga pada jual beli pesanan, sebaliknya

mabi’ harus didahulukan.

4) Orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli, sedangkan

yang bertanggung jawab atas mabi’ adalah penjual.

5) Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid

dan akad tanpa menyebutkan mabi adalah batal.

6) Mabi’ rusak sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bila harga

rusak sebelum penyerahan, tidak batal.

7) Tidak boleh tasharruf atas barang yang belum diterimanya, tetapi

dibolehkan bagi penjual untuk tasharruf sebelum menerima.

f. Hukum atas mabi’ dan harga rusak serta harga yang tiada laku

1. Kerusakan barang

Tentang hukum barang yang rusak, baik seluruhnya, sebagian,

sebelum akad, dan setelah akad, terdapat beberapa ketentuan yaitu:

a) Jika barang rusak semuanya sebelum diterima pembeli

Mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, jual

beli batal

Mabi’ rusak oleh pembeli, akad tidak batal, dan pembeli harus

membayar

Mabi’ rusak oleh orang lain, jual-beli tidaklah batal, tetapi

pembeli harus khiyar antara membeli dan membatalkan

19

Page 22: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

b) Jika barang rusak semuanya setelah diterima pembeli

Mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual,

pembeli, atau orang lain, jual beli tidaklah batal sebab barang

telah keluar dari tanggungan penjual. Akan tetapi, jika yang

merusak orang lain, tanggung jawabnya diserahkan kepada

perusaknya.

Jika mabi’ rusak oleh penjual, ada dua sikap

1) Jika pembeli telah memegangnya, baik dengan seizin

penjual atau tidak, tetapi telah membayar harga, penjual

bertanggung jawab.

2) Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan

harga belym di serahkan, akad batal.

Ulama Syafi;iyah berpendapat bahwa setiap barang

merupakan tanggungan penjual sampai barang tersebut dipegang

pembeli.

c) Barang rusak sebagian sebelum diterima pembeli:

Ulama Hanadiyah berpendapat:

Jika rusak sebagian diakibatkan sendirinya, pembeli berhak

khiyar (memilih), boleh membeli atau tidak.

Jika rusak oleh penjual, pembeli berhak khiyar

Jika rusak oleh pembeli, jual beli tidaklah batal

d) Barang rusak sebagian setelah dipegang pembeli

Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya

taupun orang lain.

Jika disebabkan oleh pembeli, dilihat dari dua segi. Jika

dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang

yang dirusak oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas

seizinnya, jual beli batal atas barang yang dirusaknya.

20

Page 23: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

2. Kerusakan Harga

Harga rusak ditempat akad sebelum dipegang:

Jika harga berupa uang, akad tidak batal sebab dapat diganti

dengan yang lain.

Jika harga menggunakan barang yang dapat rusak dan tidak dapat

diganti waktu itu, emnurut ulama Hanadiyah, akadnya batal.

3. Harga Tidak Berlaku

Ulama Hanafiyah berpendapat, jika uang tidak berlaku sebelum

diserahkan kepada penjual, akad batal. Pembeli harus mengembalikan

barang kepada penjual atau menggantinya jika rusak.

Adapun menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua orang

sahabat Imam Hanafi), akad tidak batal, tetapi penjual berhak khiyar,

baik dengan membatalkan jual beli atau mengambil sesuatu yang

sesuai dengan nilai uang yang tidak berlaku tersebut.

g. Tasharruf atas mabi’ dan harga sebelum memegang

1. Tasharuff mabi’

Menurut ulama Hanafiyah, mabi’ yang dapat dipindahkan tidak boleh

di tasharruf kan sebelum diterima atau dipegang oleh pembeli, sebab

Rasulullah SAW, melarangnya sebagaimana dinyatakan dalam hadis

yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

2. Tasharruf harga sebelum dipegang

Dibilehkan tasharruf atas harga sebelum memegang sebab termasuk

utang. Begitu pula dibolehkan tasharruf atas urang-utang lainnya,

seperti mahar, upah, pengganti barang yang rusak dan lain-lain.

h. Penyerahan mabi’ dan harga

Penyerahan harga dari pembeli dan mabi’ (barang) dari penjualan harus

dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain, hal itu harus

21

Page 24: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain, hal itu merupakan

kewajiban kedua belah pihak yang melakukan akad.

i. Hak menahan mabi’ (al-habsu)

Telah disinggung bahwa pembeli diharuskan terlebih dahulu menyerahkan

harga. Hal itu menunjukkan bahwa ia memiliki hak untuk mengekang

barang sehingga ia membayar harganya, baik sebagian maupun

seluruhnya.

Syarat dibolehkannya mengekang mabi’ ada dua:

1) Salah satu pengganti dari jual beli harus berupa utang (seperti uang,

dinar, dan lain-lain).

2) Harga yang ditetapkan harus dibayar waktu itu, jika disepakati ada

penangguhan, gugurlah hak mengekang.

j. Penyerahan dan cara meyakinkan

Penyerahan atau pemegangan menurut ulama Hanadiyah adalah

penyerahan atau pembebas antara mabi’ dan pembeli sehingga tidak ada

lagi penghalang di antara keduanya. Pembeli dibolehkan tasharruf atas

barang yang tadinya milik penjual.

Pemegangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

1) Penyerahan atau pembebasan

2) Pembeli merusak barang yang ada di tangan penjual

3) Penitipan barang kepada pembeli atau meminjamannya

4) Pemetikan, yakni pembeli memetik buah pedagang

3. Hukum dan Sifat Jual Beli

Ditinjau dari hukum dan sfat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli

menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dikategorikan sah (sahih) dan jual

beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli sahih adalah jual beli yang

memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual

beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan

22

Page 25: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain,

menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun

ulama Hanadiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal dan

rusak.

Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama Hanafiyah

berpangkal pada jual beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan yara’

berdasarkan hadits:

Artinya:

“Barang siapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka

tertolak. Begitu pula barang siapa yang memasukkan suatu perbuatan kepada

agama kita, maka tertolak”.

(Muslim dari Siri Aisyah)

Berdasarkan hadis di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad atau

jual beli yang keluar dari ketentuan syara’ harus ditolak atau tidak dianggap,

baik dalam hal muamalat maupun ibadah.

Adapun menurut ulama Hanasiyah, dalam masalah muamalah

terkadang asa satu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’

sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad

seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang

batal saja dan ada pula yang rusak saja. Lebih jauh tentang penjelasan jual beli

sahih, fasad, dan batal adalah berikut ini.

Jual beli sahih adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun,

atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya,

seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.

Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat

pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli

23

Page 26: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga

menimbulkan pertentangan.

Adapun dalam maslaah ibadah, ulama Hanadiyah sepakat dengan

jumhur ulama bahwa batal dan fasad adalah sama.

4. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam

Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama,

sebagaimana disinggung di atas, tidak membedakan antara fasid dan batal.

Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, hukum jual beli terbagi dua, yaitu

jual beli sahih dan jual beli fasid, sedangkan menurut ulama Hanafiyah jual

beli terbagi tiga, jual beli sahih, fasid dan batal.

Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-

Juhalili meringkasnya sebagai berikut:

1) Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad)

Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila

dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber

tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual

belinya adalah berikut ini.

a. Jual beli orang gila

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah.

Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain.

b. Jual beli anak kecil

Ulama fiqih sepakat bahwa jual bali anak kecil (belum

mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang

ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi’iyah jual beli anak mumayyiz

yang belum baligh, tidak sah sebab tidak ada ahliah.

Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah

jual beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka

antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaa adalah

dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengalaman atas

firman Allah SWT.

24

Page 27: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Artinya:

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pendai

memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya”.

(QS. An-Nisa: 6)

c. Jual beli orang buta

Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur jika

barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun

menurut ulama Syafi’iyah jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia

tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.

d. Jual beli terpaksa

Menurut ualam Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa,

seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni

ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan

sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak

lazim, baginya ada khiyar. Adapun menurut ulama ada keridaan ketika

akad.

e. Jual beli fudhul

Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin

pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli

ditangguhkan sampai ada izin pemilik. Adapun menurut ulama

Hanabilah dan Syafi’iyah jual beli fudhul tidak sah.

f. Jual beli orang yang terhalang

Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan,

bangkrut, ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka

menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah,

Hanafiyah dan pendapat paling sahih di kalangan Hanabilah, harus

ditangguhkan. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut

25

Page 28: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tiodak dapat

dipegang.

g. Jual beli Malja

Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam

bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli

tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ualama

Hanabilah.

2) Terlarang Sebab Shighat

Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan

pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di

antara ijab dan qabul, berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu

pemisah.

Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak

sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan

oleh para ulama adalah berikut ini.

a. Jual beli mu’athah

Jual beli mu’athah adalah jual beli yang telah disepakati oleh

pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak

memakai ijab qabul. Jumhur ulama menyatakan sahih apabila ada ijab

dari salah satunya. Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat,

perbuatan, atau cara-cara lain yang menunjukkan keridhaan.

Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai shighat

dengan perbuatan atau isyarat.

b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan

Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau

utusan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan

dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad

tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ke tangan yang

dimaksud.

c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan

26

Page 29: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Disepakati kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan

khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu,

isyarat juga, menunjukkan apa yang ada dalam tai aqid. Apabila isyarat

tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad

tidak sah.

d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada

di tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in’iqad

(terjadinya akad).

e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul

Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan

tetapi, jika lebih baik, seperti meninggikan harga, menurut ulama

Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah

menganggapnya tidak sah.

f. Jual beli munjiz

Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau

ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli, dipandang fasid

menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.

3) Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)

Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat

pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan)

dan harga.

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud

alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat

diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan

dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’.

Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian

ulama, tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, diantaranya berikut ini.

a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidaka ada

27

Page 30: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau

dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.

b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan

Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada

di usara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.

c. Jual beli gharar

Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran.

Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah SAW bersabda:

Artinya:

“Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual beli seperti

itu termasuk gharar (menipu)”.

(HR. Ahmad)

Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, ghahar yang dilarang ada 10

(sepuluh) macam :

1) Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih

dalam kandungan induknya.

2) Tidak diketahui harga dan barang

3) Tidak diketahui sifat barang atau harga

4) Tidak diketahui ukuran barang dan harga

5) Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “Saya jual

kepadamu, jika Jaed datang”

6) Menghargakan dua kali pada satu barang

7) Menjual barang yang diharapkan selamat

8) Jual beli husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat

jatuh wajib membeli

9) Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-

melempari, seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang

lain pun melempar bajunya, maka jadilah jual-beli.

28

Page 31: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

10) Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib

membelinya.

d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis

Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis,

seperti khamar. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang

yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan,

seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah

membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan

ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.

e. Jual beli air

Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur

atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur

ulama madzhab empat. Sebaiknya ulama Zhahiriyah melarang secara

mutlak. Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah, yakni

yang semua manusia boleh memanfaatkannya.

f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)

Menurut ulama Hanafiyah, jual beli ini adalah fasid, sedangkan

menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan di

antara manusia.

g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (gaib), tidak dapat

dilihat

Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan

tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi pembeli berhak khiyar

ketika melihatnya. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak

sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebut sifat-

sifatnya dan mensyaratkan 5 (lima) macam:

1) Harus jauh sekali tempatnya

2) Tidak boleh dekat sekali tempatnya

3) Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran

4) Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh

29

Page 32: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

5) Penjual tidak boleh memberikan syarat

h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang

Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat

dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap

dibolehkan. Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak.

Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah

melarang atas makanan yang diukur.

i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan

Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah

ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama

Hanafiyah dan batal menurut Jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan

atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.

4) Terlarang Sebab Syara’

Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan

dan rukunya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang

diperselisihkan di antara para ulama, diantaranya berikut ini.

a. Jual beli riba

Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah,

tetapi menurut jumhur ulama.

b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan

Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad atas

nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada

nash yang jelas dari hadis ukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW

mengharamkan jual beli khamar, bangkai, anjing dan patung.

c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang

Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang

dituju sehingga orang yang mencegatnya akan mendapatkan

keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh

tahrim. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh

30

Page 33: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu

termasuk fasid.

d. Jual beli waktu azan Jum’at

Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at.

Menurut ulama Hanafiyah pada waktu azan pertama, sedangkan

menurut ulama lainnya, azan ketika khatib sudah berada di mimbar.

Ulama Hanafiyah menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama

Syafi’iyah menghukumi sahih haram. Tidak jadi pendapat yang

masyhur di kalangan ulama Malikiyah, dan tidak sah menurut ulama

Hanabilah.

e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamar

Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zahirnya sahih, tetapi

makruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah

batal.

f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil

Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih

dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk

membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga lebih tinggi.

g. Jual beli memakai syarat

Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, “Saya

akan membeli baju ini dengan sayarat bagian yang rusak dijahit dulu”.

Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika

bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat

bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut

ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah

satu yang akad.

5. Macam-Macam Jual Beli

Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat

macam:

a. Jual beli saham (pesanan)

31

Page 34: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

Jual beli saham adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan

cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar

belakangan.

b. Jual beli muwayadhah (barter)

Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan

barang, seperti menukar baju dengan sepatu.

c. Jual beli muthlaq

Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah

disepakati sebagai alat pertukaran, seperti sepatu.

d. Jual beli alat penukar dengan laat penukar

Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang

biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti

uang perak dengan uang emas.

Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian:

1) Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah)

2) Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dnegan harga aslinya

(at-tauliyah)

3) Jual beli rugi (al-khasarah)

4) Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi

kedua orang yang akad saling meridai, jual beli seperti inilah yang

berkembang sekarang

32

Page 35: Pengertian Jual Beli, Syarat Dan Hukum Jual Beli

BAB V

SAH ATAU TIDAK NYA JUAL BELI ANAK DI BAWAH UMUR

Ada beberapa pendapat mengatakan salah satunya, penjualan anak belum

sampai umur, belum berakal penuh, tidak sah penjualannya. Dari pada itu Abu

Hanifah mensyaratkan sahnya penjualan dengan terlebih dahulu ada izin dari para

wali dan dengan diizinkan oleh para wali di benarkan penjualan itu.

Kalau menurut saya penjualan itu sah di lakukan, apabila kedua belah

pihak sudah dewasa atau baliqh, berakal mempunyai kemampuan, kemampuan

atas kemauannya sendiri dan dia bisa memelihara hartanya.

Seandainya penjualan atau tukar menukar barang sesama anak kecil dan

mereka merasa tidak ada yang dirugikan menurut saya penjualan itu sah-sah saja,

karena dia jual beli sesama anak kecil dan para wali mereka tidak melarang.

Contohnya jual beli sesana anak kecil

Si A menjual sebuah kelereng kepada si B dan si B membelinya.

33