jpp leo agustino

15

Upload: zahraadenia

Post on 11-Sep-2015

35 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Leo

TRANSCRIPT

  • 1.

    2.

    3.

    DAFTAR ISI

    Masa Depan Otonomi Khusus PapuaDjohermansyah DjohanEsensi dan Peran Pamong PrajaAries DjaenuriPenguatan Satuan Polisi Pamong PrajaDalam Penyeleng garaan Pemerintahan DaerahHyronimus Rowa

    Menimbang Kembali Pemilihan Kepala DaerahTak Langsung, Respon Terhadap MekanismeDemokrasi Langsung Di IndonesiaMuhadam Labolo

    Politik Lokal dan Otonomi, Sebuah Perbincangan SingkatLeo Agustino

    Implementasi Kebij akan Pendelegasian WewenangDari Bupati Kepada Camat Bidang PengembanganOtonomi Daerah dan KependudukanAndi Pitono

    Realitas dan Upaya Reformasi BirokrasiRahman Hadi

    Rencana Pembentukan Kota Maumere, Dintinjau dariAspek Politik dan AdministratifHelianus Rudianto

    Pertumbuhan Ekonomi Daerah Otonom Baru(Studi Kasus Pada Kabupaten Pemekaran di Indonesia)Bambang Supriyadi, Arya Hadi Dharmatvan, Setia Hadi dan Akhmad Fauzi

    l-5

    6-12

    t3-21

    22-30

    3t-42

    43-49

    69-76

    4.

    5.

    6.

    7.

    8.

    9.

  • Politik Lokal Dan OtonomioSebuah Perbincangan Singkat

    LEO AGUSTINO

    Dosen di Program Sains Politik, Pusat Pengajian Sejarah, Politik dan Shategi (PPSPS)Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan (FSSK), Universiti Kebangsaan Malaysia

    (uKM), Bangi, Malaysia E-mail: [email protected]

    Abstrak: Artikel ini mendiskusikan dan menganalisis mengenai politik lokal secarakonseptual dan aplikasinya di beberapa negara berkembang. Hal ini menjadi pentingkarena pelajaran yang dapat dipetik darinya berguna bagi penyempurnaan sistemotonomi di Indonesia. Beberapa hal yang digariskan dalam artikel ini ialah mengenaimanfaat dan kekurangan yang dapat ditimbulkan oleh otonomi, makna dasar otonomidan perbincangan yang menyertainya serta implementasi otonomi di beberapa negara.Pelajaran apa yang bisa di petik dari ketiga perkara ini? Satu yang pasti, otonomitidak selalu mengantar daerah ke arah positif, terkadang justru ia membawa ekonomi-politik daerah ke arah yang negatif. Ini karena otonomi tidak dijalankan secara efeltifsehingga menguncupkan makna dan tujuan asas otonomi daerah itu sendiri danpengalaman beberapa negara menunjukkan hal ini semua. Artikel ini memfokuskanpada perbincangan konseptual mengenai politik lokal dan otonomi serta aplikasinya dibeberapa negara. Ini dilatari oleh satu hal yaitu terkait dengan perubahan sosiopolitiksejak tahun 1970-an, dari rejim otokratik yang sentralistik ke demokrasi politik yangterdesentralisasi.

    Keyword : Politik Lokal, Otonomi, Implementasi

    Demokrasi dirasa banyak pihak memberikanierempatan pada pelembagaa\ kewenangan yanghb'ih mandiri dan luas kepada pemerintahan daerahhrsusnya), yang berbeda dengan rejim otokratik,ffi mana segala hal ditentukan oleh pemerintah pusat1 g acap kali tidak rasional dengan kebutuhanmasyarakat di level lokal. Persoalannya, mengapahita mesti mendukung demokrasi atau desentralisasiErutama di aras lokal? Apa keuntungan yang dapat,diperoleh darinya? Dan, bagaimana desentralisasi.ilTnt mendorong dan memperkuat demokrasi di leveluasional?

    Untuk membahasnya, artikel ini dibagikanke dalam empat bagian. Pertama, menganalisismanfaat pembangunan demolaasi politik bagidesentralisasi politik. Kedua, menguraikan perdebatan$mgkat mengenai politik lokal yang terkait denganmonomi. Ketiga, (terkait dengan hal sebelumnya)membincangkan kerangka konseptual mengenai,xonomi daerah yang berkait erat dengan desentralisasifolitik. Dan keempat, sebagai bahasan terakhir,nenilai beberapa aplikasi otonomi atau desentralisasidi beberapa negara. Untuk menghasilkan analisis yang

    kaya perdebatan dan perbincangan, pengumpulandata dilakukan dengan cara studi literatur. Sumberliteratur dipilih secara selektif agar dapat menjelaskanfokus analisis artikel ini, dengan berlandaskansumber literatur yang otoritatif dan tepat, makahasilnya memberikan'warna' terhadap analisis yangberkualitas. Dengan merujuk pada kerangka sepertiini, maka artikel ini mendapat pondasi yang kukuhuntuk memulai perbincangannya pada bagian-bagianseterusnya.

    I\'I{NIIAAT DAN KEKURANGAN OTONOMIDAERAH

    Merujuk pertanyaan di atas, setidaknya adabeberapa argumen di mana otonomi atau desentralisasibermanfaat bagi pembangunan demokrasi politik di araslokal. Pertama, menumbuhkembangkan akuntabilitasdan responsivitas. Desentralisasi mendorongpemerintah daerah untuk lebih bertanggungjawab danresponsif atas keperluan warganya. Dalam konteksdemokrasi lokal, akuntabilitas perlu diartikan sebagaikemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi

    31

  • 32 Politik Lokal Dan Otonomi, Sebuah Perbincangan Singkat

    kebutuhan untuk pemerataan ekonomi dan politik.Sebab, sejalan dengan istilah desentralisasi itu sendiri,logika penyebaran wewenang dan kekuasaan menjadilandasan dalam pemerintahan. Sedangkan responsivitasbukan hanya dimaknai sebagai kemampuan pemerintahlokal untuk menanggapi kebutuhan dan keperluanwarga setempat, tetapi lebih jauh dari itu adalahadanya kemauan untuk mendishibudikan pelayananpublik tidak pernah terlaksana secara optimal selamasistem sentralisasi berkuasa.

    Kedua, mengembangakan warga sebagaimasyarakat sipil dalam arti yang sejati. Desentralisasidi level lokal sedikit banyaknya turut mendorong kadarpartisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahandaerah, selain juga menanamkan kemampuankewargaan sesama mereka. Hal ini dimungkinkanoleh satu keyakinan bahwa masyarakat setempat lebihmengetahui masalah yang mereka rasakan berbandingpemerintah pusat. Untuk menyelesaikan masalah,masyarakat akan saling berinteraksi satu sama lainmengembangkan komitmen bersama yang padaakhirnya menumbuhkan sifat saling percaya, toleransi,kerjasama dan solidaritas. Dari sifat inilah kemudianketerlibatan masyarakat dalam penyelanggaraanpelayanan publik di tingkat lokal mencetuskanketerampilan masyarakatnya sehingga menjadimodal sosial yang bermanfaat bagi pelembagaandesentralisasi. Ujung dari itu semul adalah tumbuhdan matangnya organisasi dan jaringan masyarakatsipil di daerah. Ini semua pada gilirannya melindungisistem demokrasi dari alienasi masyarakatnya terhadapkehidupan politik di aras lokal.

    Ketiga, melembagakan mekanisme checks andb al ances (pengawasan dan penyeimbangan). Denganberkembangnya antitesis sentralisasi dalam bentukotonomi daerah, pemerintah daerah diberi peluanguntuk bertindak sebagai pengawal dan pengawasstruktural bagi pemerintah pusat dari tindakan-tindakan yang mengarah pada tumbuhnya rejimotokratik. Ini karena kekuasaan pemerintah daerahdapat hadir secara lugas dalam mekanisme checksand balances atas penerapan kekuasaan pusat;misalnya dengan membuat kebijakan-kebijakanyang berorientasi publik manakala pemerintah pusatberkebalikan dengannya, sehingga warga terlindungioleh implementasi peraturan tersebut.

    Keempat, memantapkan legitimasi politikpemimpin-pemimpin daerah. Karenapemerintah daerahberangkat dari ketulusan warga untuk mengangkatpimpinan formal lokal melalui mekanisme pemilihan

    secara langsung, maka secara otomatis keadaan initurut mencetuskan legitimasi politik yang lebh tinggibagi pimpinan daerah. Atau jika tidak pemilihan itutidak dilakukan secara langsung, paling tidak, logikadesentralisasi dapat memberikan kesempatan kepadakelompok minoritas dan pengakuan sosiopolitikkepada mereka untuk aktif dalam kancah politik lokalmelalui kesepakatan yang telah ditetapkan bersama.

    Selain itu, keempat hal di atas ada beberapalagi kategori yang dapat dituliskan di sini mengenaimanfaat desentralisasi seperti memberi peluangkepada pemerintah daerah untuk berinovasi tanpaperlu menjustifikasi kepada daerah lain, menciptakankestabilan politik dengan memberi peluang kepadamasyarakat dalam skop teritori yang tidak terlaluluas, meningkatkan pembangunan secara berprioritassehingga menekan biaya dan lainnya. Namun palingtidak, empat hal di ataslah yang sering kali menjadialasan mengapa desentralisasi menjadi penting jikadibanding dengan logika politik sentralisasi.

    Walaupun demikian, perlu diingat bahwadampak desentralisasi tidak semuanya bersifat positif(memberikan manfaat) terhadap demokrasi di levelsubnasional. Kendati sistem sentralisasi sudah tidakada, tetapi perlu diingat bahwa warisannya dalambentuk intoleransi dan diskriminasi antara kelompokpendatang dan pribumi sangat mungkin (semakin)menguat, ini yang pertama. Logika 'keputradaerahan'atau apapun namanya sering digunakan untukmenjustifikasi perihal sebegini. Dengan menggunakanlabel 'putra (asli) daerah', terutama untuk kasusdi Indonesia, setiap orang kini dapat menciptakanpeluangnya masing-masing ke arah sumber PendapatanAsli Daerah (PAD) yang berimplikasi pada pemasukanekonomi bagi mereka. Kedua, terjadinya pemborosankeuangan atau anggaran daerah. Pemindahankekuasaan dan kewenangan dari pusat kepadapemerintah yang lebih rendah tingkatannya secaraotomatis mendorong terciptanya banyak posisi barudalam birokrasi daerah. Meski hal ini menguntungkandari aspek akses dan pelayanan yang diterima warga,tetapi realitas ini juga mencetuskan jumlah biaya yangturut membengkak. Satu yang pasti ialah kadar belanjadaerah menjadi (amat) besar. Tanggungan sebeginibukan hanya diletakkan pada pundak pemerintahdaerah semata, tetapi juga dikalungkan padapemerintah pusat dan juga rakyat selaku pembayarpajak kepada pemerintah. Akibatnya anggaran belanjanasional melonjak dan dapat mendatangkan utang-utang baru. Ketiga, kekhilafan dalam mengidentifikasi

  • Gcara saksama otoritas pekerjaan pusat ataupun{rErah dapat menghadirkan duplikasi pekerjaan, ataudaliknya kegagalan kerja karena masing-masingErganggap pihak lain telah mengerjakan pekerjaantrsebut. Duplikasi ini (mungkin) dirasa tidakkmasalah walaupun dana yang keluar besar, sebablmrerintah telah melalcukan pekerjaan utamanya yakniclaksanan pembangunan daerah. Yang bermasalahgbila pembangunan itu tidak dilakukan karena*riap pemerintah mengharapkan dari yang lain,nmlm dana tetap habis keluar. Hal ini terkait seperti&rgan perkara kedua di atas yang memboroskanha baik di aras pusat maupun daerah. Keempat,mcul dan menguatnya kantong-kantong kekuasaanmiter baru di tangan-tangan kelompok tertentu*bd s trongman). Kelompok ini boleh j adi kelompok-ldompok yang benar-benar baru atau juga kelompokha yang telah berubah owarna' dengan cara menata&i sedemikian rupa sehingga kehadirannya di masahh 1.ang dekat dengan rejim otokratik tidak dilffitikC mesa sekarang ini. Siapa mereka? Menurut Vedif flarliz (2003:124) (mereka) adalah: "... ambitiousplitrcal fixers and entrepreneurs, wily and still-pfuory state bureaucrats, and aspiring and newlywtdant business groups, aswell as wide range ofplitical gangsters, thugs and civil militia."

    Mengikut pada dua pandangan di atas, terdapathfrat' dan 'kurafat' otonomi daerah, maka uraianr&el ini menumpukan analisisnya pada perkara yang&hrkan terakhir. Mengapa? Setidaknya ada tigarlmen yang melatarbelakangi tulisan ini. Pertama,mbahas'manfaat' desentralisasi sangat mungkinmrbrrat kita terbuai bahwa segala berjalan sesuai*q--.io. Padahal bisa jadi apa yang sedang terjadi:rr hi adalah perjalanan yang mengarah pada tanggap benar dalam bangunan yang salah. Maknanya,ffirrfan yang terjadi di sana-sini, jangan-janganhqdah upaya restrukturisasi atau reformat sifat dan1deku otoritarianisme rejim sebelumnya ke dalamh=s*n baru oleh aktor-aktor tertentu. Kedua, denganhFerhatikan peristiwa, mengurai fakta dan menelitih. bisa sangat mungkin terbit suatu pola, arahry kebiasaan yang sangat pekat dengan aktivitasrH aktor-aktor lokal. Sesuatu hal yang tidak mustahiltr pola arah ataupun kebiasaan yang terekam dalamftr{ ini menjadi alternatif atau modal jalan keluarlhi perbaikan desentralisasi di masa depan. Ketiga,rQrakat kita terlalu gandrung dengan penemuann barang baru yang mengarah diskontinuitas.'[fibfberlanjutan pada satu hal mungkin baik, tetapi

    Jurnal PamongPraja, Vol. I Thhun 2011 : 31-42 33

    dalam konteks desentralisasi ia berarti kesalahan fatal.Sebagai contoh, partai politik secara teoritik diyakinisebagai institusi demokrasi yang berperan melakukanagregasi dan artikulasi, tetapi pada kenyataannya padamasa lalu dan sekarang mereka hanya bisa mengobraljanji, memobilisasi massa dan tidak mendidikkonstifuen. Dengan format baru pemilihan umum didaerah, masyarakat kembali tidak mampu menjadibenteng pengawas dan penyeimbang kekuatan partaipolitik sehingga warga kembali terjerembab padamoney politics, barter politik, negosiasi kepentingandan lainnya. Oleh karena itulah, 'sisi gelap' kerapmuncul daripada'sisi terang'nya.

    Berdasarkan pada beberapa alasan di atasterutama tiga bagian terakhir, artikel ini mengajakpembaca untuk saling mengingatkan akan adanyahal-hal yang perlu diperbaiki, baik dalam lanskappolitik lokal maupun pelaksanaan otonomi daerah.Untuk menambah matangnya pemahaman mengenaisisi gelap otonomi daerah, maka bagian selanjutnyamendiskusikan dulu mengenai kerangka konseptualmengenai politik lokal.

    POLITIK LOKAL : SATU PERDEBATAN KONSEPTUAL

    Pada dasarnya membicarakan politik lokal danotonomi daerah adalah membicarakan hubunganpemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Karena,membicarakan dua entitas dalam level yang berbedaini merupakan inti untuk mengukur praktik otonomi,di mana hubungan tersebut juga dapat mengungkapkankedudukan dan autoritas masing-masing skoppemerintahan. Bagi para sarjana beraliran Marxis,membahas hubungan pusat-daerah tidaklah relevankarena pemerintah pusat dan pemerintah daerahdianggap sebagai satu kesatuan aparatus negara.Pemerintah daerah hanya merupakan institusi yangmenghadirkan negara di daerah. Dalam arti katalain, pemerintah daerah merupakan instrumen bagipemerintah pusat, ini satu hal.

    Hal lain, adalah politik lokal itu sendiri. Politiklokal dalam artikel ini diartikan sebagai interaksiantar aktor dalam satu wilayah sehingga mencetuskandinamika politik di dalamnya. Namun sebelum jauhberdialektika mengenai interaksi tersebut, terlebihdahulu perlu dipahami apa itu pemerintah? Daripadanya nanti, dapat dibedakan antara'pemerintahpusat' dan 'pemerintah daerah,' yang berkorelasidengan 'politik pusat' dan 'politik lokal.' Perkara iniperlu dimunculkan agar tidak menimbulkan perbedaan

  • 34 Politik Lokal Dan Otonomi, Sebuah Perbincangan Singkat

    pemahaman. Oleh karena itu, hal yang mesti dibahassekarang adalah apa itu negara danapa itu pemerintah?Dan di mana letak perbedaan keduanya sehinggaanalisis artikel ini bisa memastikan bahwa yangdibahas adalah mengenai politik lokal dan otonomidaerah yang berhubungan dengan interaksi pemerintahpusat dengan pemerintah daerah, bukan hubungannegara pusat dengan negara lokal?

    Pada umumnya sarjana ilmu sosial sepakatbahwa negara dan pemerintah adalah dua entitas yangberbeda. Walaupun demikian, keduanya tidak dapatdipisahkan. Berkaitan dengan hubungan negara danpemerintah ini, Maclver (1964) menyatakan bahwanegara merupakan sistem organisasi yang memilikikedaulatan tertinggi dan mampu menciptakan hukumyang bersifat mengikat dan memaksa sehingga dapatmengatur serta mengendalikan interaksi masyarakatdalam wilayahnya. Sedangkan pemerintah adalahorganisasi yang melaksanakan peranan negara ini,urainya The state is an association which, actingthrough law os promulgated by a govbrnment endowedto this end with coercive power maintains within acommunity teruitorially demarcated the universolexternal conditions of social order (MacIver 1964:22).

    Dalam perspektif yang tidak berbeda, Kousoulass(197 5) menyetujui uraian Maclver. Beliau menegaskanbahwa pemerintah adalah badan yang berkuasa untukmembuat aturan yang mengikat, mengimplementasikankebijakan, menyelesaikan konflik dalam masyarakatdan menggunakan kekuasaan koersif apabilaotoritasnya digugat (Kousoulass 1975:6). Dalampraktik kekuasaan pusat, pemerintah dipandang sebagaibadan yang memiliki kaitan dengan manajemen publikdalam rangka menjaga kepentingan negara yang lebihbesar, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat danmemperkuatkan legitimasi negara. Dalam arti katalain, pemerintah merupakan bagian dari usaha untukmemaksimumkan kekuatan negara.

    Kajian klasik Miliband dalam bukunya Thestate in capitalist society (1969) sejalan denganargumen kedua sarjana di atas. Menurutnya, negaradan pemerintah adalah dua entitas yang berbeda dantidak bisa dipisahkan. Lebih lanjut menurut Miliband(1969:50): "It is not very surprising that governmentand the state should often appear as synonymous. ForI Argumen ini sejalan dengan kajian klasik Poulantzas (1913) yangmengatakan bahwa otonomi negara merupakan bentuk kemampuan negara untuk

    merumuskan kepentingannya secara bebas, terutamanya dari tekanan klas dominan atau klas kapitalis. Walaupun terkadang negara perlu mengakomo-dasi kepentingan satu kelompok, tetapi karena otonomi negara inilah negara dapat menjaga dan mencipta keseimbangan kepentingan semua kelompokdalam masyarakat yang diwamai oleh beraneka persaingan. Dalam konteks ini negara memiliki kecendenrngan 'bebas dari kendali klas dominan,'teru-tamanya dalam melayani kepentingan mereka. Inilah yang dimaksudkan sebagai otonomi negara Elaborasi Poulantzas (1973) sejalan dengan analisisOffe & Ronge (1975) yang bertajuk 'Theses on the theory of the state.' Menurut mereka, negra memiliki pandangan yang bebas unhrk rnemformulasikebijakan bagi menciptakan stabilitas dalam sistem kapitalis, dan bukan (untuk) melayani kepentingan klas tefientu.

    it is the governmentwhich spealcs on the stateb behalf."Tambahnya lagi, negan adalah pemilik monopolilegitimasi yang dapat menggunakan kekuatan fisikuntuk memaksa rakyat taat atas pelbagai kebijakanyang telah diformulasi dalam teritorinya. Penggunaankekuatan tersebut menurutnya hanya dapat dilakukanoleh pemerintah; karena pemerintahlah yang dapatmewujudkan kekuatan tersebut.

    Elaborasi Miliband (1969) di atas bolehdikata tidak setarikan nafas dengan kajian Skocpol(1979\ yang menyatakan bahwa tidak selamanyatujuan negara sejalan dengan langkah yang diambiloleh pemerintah. Argumen ini dilandaskan padapemahaman akan termanipulasinya pemerintaholeh (berbagai) kepentingan elit berkuasa sehinggamembuatnya tidak dapat mencapai'kebaikan bersama.'Pandangan Skocpol ini dapat dirunut akarnyapada argumen Stepan (1978) yang melihat negarasebagai organisasi yang otonom dan dominan dalammenjalankan kekuasaannya. Menurut Stepan, negaraadalah organic-statism yang memiliki fungsi yangterpusat terutamanya dalam menciptakan kestabilandan ketertiban. Kembali pada Skocpol, menurutnya,negara itu bersifat otonom karena ia bebas menentukancaranya sendiri dalam menjalankan kekuasaan, kedapdari intervensi klas kapitalis, sehingga ketertiban dankestabilan politik dalam wilayahnya dapat diwujudkan(Skocpol 1979:11).1 Lebih lanjut beliau menyatakan,otonomi negara adalah sifat asli negara yang wujudbersama dengan kemunculan negara. Ia bukandiciptakan dan dimanipulasi oleh klas dominan sepertiyang dituduhkan oleh pengikut Marxis. Karena itu,dalam analisis Skocpol (1985:13) dinyatakan bahwaotonomi negara dapat dilihat dari adanya dominasiyang dilakukan oleh agensi rregara, yaitu birokrasisebagai pelaksana fungsi negara yang bersifatsentralistik.

    Pandangan Skocpol (1979;1985) tentang negaraditentang oleh Shively (1999) yang menyatakanbahwa entitas negara dan pemerintah adalahberbeda. Perbedaan paradigma ini dilandaskan padapendefinisian yang cair atas kedua entitas tersebut.Menurut Shively (1999:49) pemerintah sebagaiadalah: "... a group of people within the state whohave the ultimate authority to act on behalf of the

  • ffie." Pendapat Shively ini menunjukkan bahwaFcmerintah adalah sekumpulan orang yang memilikimitas paling tinggi dalam negara untuk bertindakres nama negara. Takrifan ini menjustifikasirctaligus menegaskan bahwa hanya pemerintahlah1ug dapat bertindak melaksanakan kekuasaan atasofina negara untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara.lLebih jauh Shively (1999) menerangkan bahwa negaramupakan organisasi pemilik kekuasaan tertinggi danpemilik legitimasi sah, sedangkan pemerintah hanyapelaksana kekuasaan tersebut.

    Studi terkini yang dilakukan oleh Migdal &Schlichte (2005) berusaha untuk menengahi perbedaaniua pandang di atas. Menurut mereka, otonomiocgara yang ditelurkan oleh aliran pemikiran neo-llanris bersurnber dari: "... ability of state to transcendrie power of these organizations and their interest ande-frame them in terms of the stateb territory, whichrculated space" (Migdal & Schlichte 2005:4). Karenamlleh, otonomi neigara ini haruslah didukung olehnmber daya yang memadai, terutamanya birokrasirutuk melaksanakan fungsi negara. Melalui birokrasimL tembah mereka lagi, "... the state exhibits its ownvzferences and has the strength to act the preferences.sd to change the behavior of others" (Migdal &i-hlichte 2005:5). Berkaitan dengan ketersediaanc.nmber daya inilah, maka politik negara dilaksanakan:nieh pemerintah. Hal ini menjustifikasi bahwa negarar"ielah entitas yang lebih besar dan lebih tinggi.aurpada pemerintah.

    Setelah secara sepintas lalu mengelaborasirefinisi negara dan pemerintah, maka tepatlah saatnyamnrk membicarakan pengertian 'politik pusat' danrulitik lokal' yang dilandaskan pada pengertian-

    Rosertian di atas. Istilah 'politik pusat'dan 'politikr'rriral'menurut Wolman (1990) adalah kurang tepat..m karena apa yang dinamakan 'politik lokal' adalahtaresentasi dari 'politik pusat.' Atau dalam bahasaffixn pran pemerintah pusat dalam memformulasir.ei"Uakan politik tujuannya amat luas, termasukmciiputi hal ihwal yang berkait dengan kepolitikanm level lokal (Wolman 1990:29). Sejalan denganmr- Johnson (1997:138) mengidentifikasi dua bentukman pemerintah pusat dalam 'politik lokal'dalam hal

    Jurnal PamongPraja, Vol. I Tahun 2011 : 31-42 35

    ini berkait erat dengan pembangunan daerah. Pertama,pemerintah pusat membuat keputusan pembangunansecara langsung melalui kementerian di tingkat pusatdan mengawal projek tersebut untuk kepentingan rakyatdi daerah. Kedua, pemerintah pusat mengembangkanmodel pengatwan sebagai pemegang kekuasaan negaraterhadap isu-isu yang berkembang di aras lokal. Untukmemastikan peranan tersebut berjalan, kajian Wolmandan Johnson dikukuhkan oleh studi Mann (2008) yangmenjelaskan perbedaan jenis kekuasaan pemerintahdalam dua matra, yaitu: (i) kekuasaan infrastruktur dan(ii) kekuasaan despotik. Menurut Mann (2008:356,passim), kekuasaan infrastruktur adalah kekuasaanatau kemampuan negara untuk masuk dalam aktivitaskelompok masyarakat yang bertujuan mengawasidan mengendalikan pelbagai aktivitas dan kegiatanmereka. Sedangkan kekuasaan despotik adalah bentukkehendak elit negara untuk memaksakan keinginannyadalam masyarakat demi kepentihgan tertentu.

    Dalam konteks unitary state seperti di Indonesia,upaya untuk mencapai tujuan negara sangat tergantungkepada sejauhmana pemerintahnya menyerahkansebagian kekuasaan itu kepada daerah. Jika kekuasaanitu terlalu disentralisasi, maka akan membuatnyamenjadi despotik. Agar hal ini tidak terjadi,pemerintah pusat harus mempunyai strategi dalammengaplikasikannya, misalnya melalui penerapanotonomi daerah. Tujuannya adalah menghadirkankekuasaan infrastruktur di aras lokal.2 Tetapi, merujukpada lanskap politik Orde Baru Soeharto yangantipolitik, kekuasaan despotik lebih ditonjolkansehingga pencederaan demokrasi berlaku, pelecahanhak asasi manusia terjadi, pemarginalan masyarakatwujud, yang pada intinya rejim Orde Baru despotikmerujuk pada kerangka Mann (2008).

    Untungnya, pada tahun 1998 terjadi transformasipolitik yang tercetus dari adanya tuntutan dan desakanmasyarakat untuk turut terlibat langsung dalam prosespolitik dan pemerintahan di aras lokal. Dalam Jiwazaman' yang tengah bertransformasi, pemerintahIndonesia merespons tuntutan tersebut denganmenerbitkan undang-undang pemerintahan daerahyang menjamin partisipasi dan penyertaan publikdalam pelbagai proses politik dan pemerintahan.

    l:ss dalam artikel ini berargumen bahwa dominasi yang dilalcukan negara dalam konteks otonomi bukanlah bagian dari hegemoni negara, tetapiicrliktya bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara itu sendiri. Otonomi daerah atau desentralisasi diimplementasikan dengan tujuan unnrkumJorong agar rakyat setia kepada negara, bukannya kepada pemerintah yang berkuasa seperti yang tedadi dalam konteks hegemoni negara. Mengikut-t-osci(1971:57),hegemonimerupakan:"...thesupremacyofasocialgroupmanifestitselfintwoways,as'dorninotion'andasintellectualandmoralea*rship." Dalam praktiknya, kekuasaan hegemoni ini cenderung diamalkan dengan cara consenti kendati demikian, pada umumnya ia dilalarkanr'n cana paksaan, manipulasi, dan bahkan tindakan represif (coercion). Singkatnya, hegemoni merujuk kepada proses di mana negara berusaham:apertahankan kekuasaannya dan kendalinya terhadap masyarakat melalui paksaan dan dominasi. Ililah yang te{adi di Indonesia pada masa Orde3'r-r Soeharto dalam hal ini mengutamakan hegemoni daripada otonomi dalani pemerintahannya dengan tujuan mengekalkan stdtus quo.

  • 36 Politik Lokal Dan Otonomi, Sebuah Perbincangan Singkat

    Implikasi dari penyerahaan dan penyertaan ini ternyatamendatangkan masalah seperti muncul semangatkedaerahan dan konflik efrik yang sampai saat inimasih mengancam stabilitas politik di Indonesia(Holtzappel & Ramstedt 2010; Leo Agustino2011). Hal ini dikarenakan adanya realignment ataupenyesuaian baru atas interaksi berbagai aktor di diaras lokal. Berlandaskan realignments inilah, artikelini memposisikan 'politik lokal' bersandar. Selainitu, dengan teras seperti ini pulalah perbincanganselanjutnya menempatkan diri untuk mengurai 'sisigelap'politik lokal dan otonomi di beberapa negarapaling tidak sebagai pelajaran bagi otonomi diIndonesia. Namun sebelum hal ini diutarakan, terlebihdahulu dianalisis kerangka konsep otonomi (secararingkas) di bagian seterusnya.

    URAIAN SINGKAT MENGENAI KONSEP OTONOMI

    Setelah membahas secara singkat mengenaipolitik lokal yang diawali dengan perdebatan idetentang negara dan pemerintah yang kemudiandiakhiri dengan perbedaan level pemerintah pusatdan daerah sehingga menghadirkan politik pusat danpolitik lokal, maka bagian ini melanjutkan diskusinyadengan menguraikan secilra ringkas mengenai konsep

    perintah. Merujuk pada dua perkataan tersebut, makasecara sederhana otonomi dapat diartikan sebagai'peraturan yang dibuat oleh satu entitas (pemerintahan)tersendiri', atau menurut Leo Agustino (2011:11)berarti 'memerintah sendiri.' Kajian klasik milikHoggart (1981) menyatakan otonomi harus dipahamisebagai sebuah interaksi antara pemerintah yangberada lebih tinggi kedudukannya dengan pemerintahyang berada di bawahnya. Dalam konteks tersebut,otonomi mesti dipahami sebagai independence oflocalities yang kedap dari adanya campur tanganpemerintah di aras atas. Senalar dengan uraian Hoggart,Samoff (1990:26) pula menyatakan otonomi sebagaitransferred power and authoriry over decision makingto local units are the core of autonomy. Berbagaiargumen di depan tidak disanggah oleh Rosenbloom(1993) yang menjelaskan otonomi sebagai wujudpenyerahan suatu kuasa kepada pemerintah yanglebih rendah tingkatannya untuk mengatur wilayahsecara bebas tanpa ada campur tangan dari pemerintahpusat. Bahkan Kirby (dalam Leo Agustino 2011:ll)memberi definisi otonomi daerah seperti berikut The

    freedom to sctwithout being controlled directly orindirectly by others. Local autonomy is perceived asthe capacity of local units to oct based on thetr owninterestwithout considering the reaction of upper levelagencies. Autonomous local units are self-sfficientand have the obility to determined local needs, goals,and resourcers allocations. r

    Jikamerujukpadabeberapa definisi di atas, otonomidaerah dapat diartikan sebagai kebebasan pemerintahdaerah untuk berperan dalam menentukan tujuan,kebijakan dan membuat keputusan pembangunan didaerah berdasarkan keperluan masyarakat tempatan.Tidak jauh berbeda, Escobar-Lemmon (2004:20)menyatakan otonomi sebagai pemindahan otoritas,fungsi dan tanggung jawab untuk memformulasikebijakan dan keputusan dari pemerintah pusat kepadapemerintah daerah. Atas dasar konsep tersebut, makaada bidang kuasa pemerintah daerah untuk membuatprogram dan peraturan sesuai keadaan wilayahnya.Karena itu, dalam artikata lain, otonomi merupakanantitesis dari sentralisasi kekusaan politik pemerintahpusat. Oleh karena itu, otonomi seringkali dipadankandengan desentralisasi. Karena keduanya menyiratkanpelembagaan kekuasaan dari pemerintah pusat kepadapemerintah daerah, maka beberapa sarjana sepertiSmith (1985:18) menyatakan desentralisasi sebagai

    may be clearly distinguished from the dispersal ofheadquareters'branchesfrom the capital city, as whenpart of a national ministry is moved to provincial cityto provided employment there.

    Inti dari uraian di atas adalah pendelegasianwewenang dari pemerintah yang lebih tinggi levelnyakepada pemerintahan yang lebih rendah bidangkuasanya. Menguntit uraian Smith, Bird & Wallich(1993) membuat argumentasi untuk merealisasikanotonomi melalui desentralisasi. Yang manamenurutnya, desenfralisasi mesti dibagi ke dalamtiga matra yakni dekonstrasi, delegasi dan devolusi.Tulisnya Deconcentration refers to dispersionof responsibilities within the central governmentstructure ftom the center to regional branch fficers,and difersfrom delegation in which local governmentmay execate certain functions on behalf of thecentral governt]tstl (otd accountable to it for theirperformare\ od bolution in which.full decisionmaking ad itryIatotaion anthority is transferred tolocal govwtuut,which is accountable only to its owncortsfiMios-

    ']tFTIIIrFHEIt:khf.-&

    otonomi. Otonomi secara etimologi berasal dari kata ... involves the delegation of power to lower levelsauto dannomos yang berarti sendiri dan peraturan atau in a tenitorial hierarchy;.......... Decentralization

    EbEEthrq:flEdH!qhCl:hh',b

  • f"

    Ih

    ttiLDqsihCA

    atamrhmmdaItigalEftbnof

    bneit_v

    firnFyamglichkanllnailamhrsi.surn

    I

    I

    l

    tentrers,

    nent' thetheirisioned totown

    Seabright (1996) mengambil sudut lain dalammemahami otonomi atau desentralisasi khususnyadalam konteks keterkaitan antara otonomi daerahdengan pengembangan otoritas pemerintah daerah.Ini menjadi penting karena hanya otoritas pemerintahdaerah yang dapat menjamin dilaksanakannya otonomidengan baik, di mana pemerintah daerah dapatmenentukan keputusan-keputusan yang bersifat lokal.Sejalan dengan pendapat tersebut, Lambright (2003 :3 1)menegaskan semula bahwa kewajiban pemerintahpusat hanyalah to inspect, monitori and wherenecessary offer technical advice, support supervision,and training within their respective sectors;tidak lebih.Atas dasar pengertian ini, keputusan dan tindakanpimpinan daerah diarahkan pada pilihan-pilihan yangberkembang di daerah berdasarkan keperluan bagimengembangkan kemampuan politik dan ekonomimasyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwaotonomi daerah adalah instrumen bagi mematangkandemokrasi politik, ekonomi, dan partisipasi rakyat dilevel lokal.

    Jika melihat srudi Seabright (1996) danLambright (2003), maka kajian klasik Rondinelli &Chemma (1983) mendapatkan tempatnya. Karenamenurut mereka, otonomi akan menyediakan ruangbagi 'kebaikan bersama' apabila pemerintahan daerahmemiliki otoritasnya sendiri dalam otonomi daerah.Beberapa kebaikan otonomi menurut Rondinelli& Chemma (1983:14) adalah: (i) mengatasi\.eterbatasan dana dan masa serta sesuai denganirepentingan masayarakat setempat, (ii) mengurangisit-at prosedural dan berbelit-belit dari birokrasi, (iii)nerumuskan kebijakan-kebijakan publik dengan lebih:ealistik, (iv) memberi layanan yang lebih baik dantpat kepada daerah-daerah terpencil, (v) melibatkan-nasyarakat luas dalam pemerintahan dan lainnya.Selaras dengan Rondinelli & Chemma, Leo Agustinol0ll:13) menyatakan bahwa 'kebaikan bersama'"ken lebih efektif dan efisien apabila didukung olehkemampuan daerah dalam aspekteknis, fiskal, institusi,Sm implementasi. Kemampuan teknis, lanjutnya,rs*"leh kemahiran pemerintah daerah merurnuskanh-msep untuk kemudian drgunakan dalam mencapaiptmbangunan daerah, berdasarkan keperluanrakyatnya. Kedua, kemampuan fiskal, adalahadanya kecukupan sumber dana dan daerah bebasdalam mencari sumber-sumber pendapatan dalammenjalankan fungsi pemerintah. Ketiga, kemampuaninstitusi, dimengerti sebagai adanya kemudahaninteraksi semasa organisasi pemerintah daerah guna

    Jurnal Pamong Praja, VoL I Tahun 2011 : 31-42 37

    merealisasikan perancangan dan pembangunandaerah. Keempat, kemampuan implementasi, yaitukesanggupan pemerintah daerah untuk mengatasiimplikasi dari setiap kebijakan yang diterapkannya.

    Wafiupun pelbagai kebaikan dapat hadir melaluikebijakan otonomi, namun beberapa implikasi negatifselalu ada. Misalnya, penyalahgunaan kekuasaanoleh elit lokal (sehingga menghadirkan para localstrongmen atau greatmen), berkembangnya politikpatron-clienl di tingkat daerah, menyebarnya kasusKKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di level lokal,perampokan kekayaan daerah baik berupa :uang cashmaupun dalam bentuk sumber daya alam dan lainnya.B eberapa temuan tersebut dibuktikan oleh kaj ian B land(1997) di Chile dan Venezuela, Harriss-White (1999)di India, Escobar-Lemmon (2000) di Colombia danCosata Rica, Clarke (200i) di Ghana, Edmonds (2001)di Mexico, Falleti (2003) di Argentina, Colombia danMexico seperti dibahas dalam bagian selanjutnya.

    GAMBARAN OTONOMI DI BEBERAPA NEGARA

    Hingga sejauh ini sudah banyak sarjana yangmelakukan penelitian dan menulis tentang praktikdesentralisasi dan otonomi daerah di berbagai negaraberkembang, terutama dalam kaitannya denganpelaksanaannya yang pelbagai. Antaranya dilakukanoleh Bland (1997), Escobar-Lemmon (2000), Clarke(2001), Edmonds (2001) dan Mahakanjana (2004).Bland (1997) mengkaji mengenai pemerintah lokaldan hubungan antartingkat pemerintahan dalamprogram desentralisasi di Chile dan Venezuela. Blandmenyatakan otonomi yang diimplementasikan di keduanegara berkenaan terlaksana secara beda khususnyadari segi pembagian otoritas antara pemerintah lokaldengan pemerintah pusat. Antara perbedaan tersebutialah kepala daerah di Chile tidak dipilih melaluipemilihan umum karena gubernur dilantik langsungoleh pemerintah pusat. Begitu juga dengan anggotaparlemen daerah dan pemerintah provinsi hanyaberfungsi dalam hal administratif saja, dan tidakmempunyai otoritas dalam menenflrkan rancanganpembangunan. Karena itu, lanjut Bland, politik lokaldi Chile menjadi kurang bekembang. Hal ini sejalandengan bahasan Jackson (2005) tentang politik lokaldi Chile yang menemukan bahwa pemerintah daerahtidak diberikan otonomi yang luas dalam menjalankanpemerintahannya sehingga menyebabkan banyakfungsi dan tanggungjawab pemerintah daerah tidakdapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Ini

  • 38 Politik Lokal Dan Otonomi, Sebuah Perbincangan Singkat

    karena kebijakan publik tidak sekehendak dengantuntutan dan keperluan masyarakat.

    Sebaliknya di Venezuela, merujuk Bland(1997), gubernur dipilih langsung oleh rakyat dandiselenggarakan seperti Pilkada atau pemilukadadi Indonesia, dan separuh anggota parlemen daerahdipilih langsung, manakala sisanya ditetapkan olehelit partai di tingkat pusat. Dari perbedaan tersebut,pemerintah lokal di Venezuela berkembang denganbaik, ia mempunyai kekuasaan dan sumber keuanganyangjelas bagi pembangunan di aras lokal sebagai hasilpembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah.Pada arah sebaliknya, pemerintah daerah di Chilemenjalankan pembangunan berdasarkan peruntukanotoritas dan keuangan yang dikehendaki olehpemerintah pusat (terhadap suatu daerah). Implikasinyatanggungjawab pemerintahan daerah di Chile menjadisesuatu yang mesti dipertanggungjawabkan kepadapemerintah pusat bukan kepada rakyat setempat.Kendati demikian, konflik kepentingan elit politiklokal justru banyak terjadi di Venezuela berbandingdi Chile. Ini disebabkan oleh pelimpahan kekuasaanyang besar pada daerah yang justru digunakan olehpara elit politik lokal untuk melakukan tawar menawardalam hal desentralisasi fiskal.

    Berbeda dengan kajian Bland, elaborasi Escobar& Alvarez (1992) tentang otonomi daerah menarikdiperhatikan karena melihat konsep ini dalamperspektif pelibatan rakyat dalam mensukseskandesentralisasi itu sendiri. Di samping itu, kajianEscobar& Alvarez menumpukan perhatiannya di Boliviabukan di Chile ataupun Venezuela. Selain itu, Escobar& Alvarez menyatakan, meskipun Bolivia merupakannegara yang tergolong sebagai negara berkembangdan mempunyai sumber daya yang terbatas, tetapidesentralisasinya dapat dikatakan sukses karenadidukung oleh rakyat dan organisasi masyarakatsipil di negara bersangkutan. Dukungan inilah yangmenjadi 'ramuan' penting bagi kesuksesan programsosial diselenggarakan secara amat baik. Tidak hanyaitu, bahkan pengelolaan pemerintah di tingkatan lokalsangat berdampak positif sehingga memberi pelayananpada rakyat secara tulus yang menyertakan empatidi dalamnya. Hasilnya, pelaksanaan desentralisasidi Bolivia berhasil membawa perubahan besar yangamat progresif, dan daerah berkembang dengancukup pesat. Pencapaian ini menyebabkan Boliviamendapat pengesahan oleh dunia internasional danpelaksanaannya kemudian dikenal sebagai Bolivianmodel of decentralization. Bank Dunia (World Bank)

    malah menganjurkan supaya Costa Rica, Panama,Haiti dan Republik Dominica untuk mempelajarisertarmengikuti jejak otonomi di Bolivia (PopulorParticipation Bolivia\ untuk dijalankan di negaramereka masing-masing (Escobar & AIv arez 1992:1 83).

    Kelebihan kajian Escobar & Alvarez ialahbeliau mampu menunjukkan kekuatan pelaksanaandesentralisasi di Bolivia yakni desentralisasi mampumengembangkan proses demokratisasi dalamformulasi kebijakan daerah. Selain itu, karena adapembagian kuasa yang jelas antara pusat denganlokal, capaian pemerintah daerah menjadi jauh lebihefektif dan efisien. Tetapi malangnya, kajian Escobar& Alvarez (1992) terdapat kelemahan, misalnya,beliau tidak menjelaskan mekanisme yang berkaitandengan dimensi ekonomi-politik dan keuangan yangmenyebabkan tercapainya pemerintahan yang efisienberdasarkan pendemokrasian formulasi kebijakan ditingkat lokal. Bagaimanapun, fokus kajian Escobar &Alvarez telah menjelaskan kepada pembaca mengenaikeberhasilan suatu negara memperluas partisipasirakyat sehingga tercapai pemerintahan yang efektifdan efisien.

    Kajian mengenai proses desentralisasi diColombia dan Costa Rica sebagai negara kesatuan, danVenezuela sebagai negara federal diurai oleh Escobar-Lemmon (2000). Perbincangannya sangat menarikkarena membandingkan otonomi daerah di dua sistemyang berbeda. Hasil kajiannya mendapati bahwaotonomi di Colombia lebih maju dalam desentralisasipolitik dan keuangan karena pemilihan pimpinandaerah dilakukan secara langsung dan demokratis.Di samping itu, pemerintah daerah di Colombiajuga diberi tanggungiawab besar untuk mengelolapelayanan yang cocok dan sesuai dengan kehendakrakyat di daerah otonom masing-masing. Bahkanpemerintah daerah mempunyai hak terhadap berbagaimacam pajak dan cukai sehingga mempermudahmereka untuk menetapkan rancangan pembangunandaerah. Dan, pembagian hasil pajak tersebut antarapemerintah daerah dengan pusat dilakukan berdasarkanpersentase.

    Sebaliknya di Costa Rica, otonomi tidak berjalandengan mulus karena pemerintah daerah hampir tidakmemptrnyai otonomi sebab semuanya ditentukandan dikuasai oleh pusat. Selanjutnya di Venezuelapula, walaupun negara tersebut menjalan sistemfederalisme, namun pemerintahan di negara bagiantidak mempunyai kekuasaan untuk menarik pajak

    l,,LHr-*

    hrlln3rn

    -ITrh-

    -EqI

    qrdrEtFcrbarrhbiFtirH.qFElrtHfrEFI

    DqFrlle

    hE!rrxFiETh

  • liIiI!IItF

    kIIFtpI!

    :tFbItI

    lrena ihwal ini dikendalikan oleh pemerintah pusat.&i Lemmon(2000:235), hal ini menjadi penghalanghrgi kesuksesan otonomi daerah. Kajian Escobar-lgnmon ini menyita perhatian karena ia berhasilmrgilustrasikan bahwa negara yang berbentukbc$atuan lebih sukses melaksanakan otonomihbanding negara federal. Kajiannya pada tahun 2000o diperkukuh lagi oleh analisis Mohammad Aguslbotr & Leo Agustino (2011) yang menjelaskan&deralisme di Malaysia dalam konteks hubunganrrsat dengan daerah di Malaysia tidak mencerminkanrrl*n1'n otonomi di tingkat lokal karena adanyasekatandm halangan dalam aspek politik dan ekonomi dirstiap negara bagian. Oleh karena itu, MohammadAgus Yusoff dan Leo Agustino (2011) menyebut&derali sme Malaysia sebagai qu as i -fe der al i s me.

    Merujuk pada uraian Escobar-Lemmon (2000)dn Mohammad Agus Yusoff dan Leo Agustino (201 I )t[ atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa kesuksesand.smtralisasi ataupun otonomi bukanlah terletaknda bentuk negara, tetapi lebih pada political willm& saling berbagi kekuasaan dan melaksanakan

    gg"rngjawab masing-masing di tingkat pusat@il+rrn daerah.

    Elaborasi mengenai desentralisasi dan politik lokaly g diselenggarakan di Amerika Selatan diuraikanp&a oleh Edmonds (2001). Edmonds membahasmgenai hal tersebut di Mexico, studinya mendapatimcapaian pembangunan setiap daerah berbeda-hda karena tiga faktor. Pertama, terdapat persaingannrrsetiap pemerintah daerah untuk membuatHijakan publik yang dapat mendukung aspirasi danptisipasi masyarikat dalam pelaksanaan otonomillni&nl Kedua, terdapat pertentangan di kalanganm kong partai politik sehingga menyebabkannsryulitkan partai politik untuk mengontrol kepala{h:rah (chief government) dalam melaksanakanmmi lokal di Mexico. Ketiga, kemampuanmintah daerah dalam mencari sumber-sumber-

    iT\atan berbeda di daerahnya masing-masing.Dalam perspektifyang berbeda dengan beberapa

    qpa di atas, khususnya dalam konteks skop

    Jurnal Pamong Praja, Vol. I Tahun 20II : 3I-42 39

    analisisnya, Clarke (2001) membahas desenfralisasidan demokrasi lokal di Ghana. Kajian Clarkemendiskusikan struktur desentralisasi di Ghana danmenganalisis kompleksitas jaringan relasi dan interaksiyang mempengaruhi pemerintah daerah. Beliaumembagi struktur desentralisasi di Ghana ke dalamempat tingkatan, yaitu dewan koordinator nasional,dewan daerah, majelis daerah, dan unit jawatan kuasalainnya.3 Clarke selanjutnya menyatakan meskipunGhana melaksanakan desentralisasi, tetapi pemerintahpusat tetap melakukan pengawalan dan pengawasanterhadap pembagian keuangan kepada pemerintahdaerah. Walau pemerintah pusat mengawal danmengawasi keuangan pemerintah daerah, namundesentralisasi di Ghana mencapai keberhasilan karenakebijakan pembangunan negaranya berlandaskanpada partisipasi lokal. Implikasi dari realitas inimenghasilkan pemerintah daerah yang mempunyaiprosedur perancangan yang baik, dan daerah berhasilmenjalankan projek dan pelayanan pembangunankarena aspirasi publik di tingkat lokal dipenuhi,kerjasama dengan NGO dijalankan dan pemerintahdaerah mengakfifkan pertemuan-pertemuan bagipembangunan desa sesuai dengan keperluan mereka.

    Temuan Clarke di atas selaras dengan kajianNyendu setahun sebelumnya. Nyendu (dalam LeoAgustino 2011) dalam konteks ini meneliti partisipasirakyat dalam program desentralisasi politik di Ghana.Beliau menyimpulkan bahwa otonomi di Ghanaberhasil memperluas ruang publik yang berfungsidalam proses dan penentuan kebijakan di aras lokal.Kendati demikian, kajian Nyendu dan Clarke (2001)tidak saling melengkapi dan kurang menerka sisi gelapdesentralisasi di Ghana.

    Lambright (2003) pula mengkaji politik lokal diAfrika tepatnya di Uganda. Kajiannya menjelaskankaitan antara politik pemerintah pusat dengandaerah dalam menjalankan desentralisasi. Lambrightmenemukan bahwa dukungan politik yang kuat daridaerah kepada pemerintah pusat berdampak padapencapaian pembangunan di daerah. Ini karenasokongan dari pemerintah daerah dapat mewujudkan

    s iryi

  • .ro Politik Lokal Dan Otonomi, Sebuah Perbincangan Singkat

    hubungan yang harmonis dengan pemerintahpusat berbanding pemerintah daerah yang terus-menerus membangkang terhadap kebijakan pusat.Pembangkangan kepada pusat, lanjut Lambright,disebabkan oleh (i) strategi elit pemerintah daerahuntuk menguasai (kekuasaan) politik di tingkat lokalsupaya pusat tidak banyak melakukan intervensidalam urusan daerah dan (ii) supaya pemerintah pusatmemberi perhatian pada daerah dalam melaksanaanpembangunan (Lambright 2003 :430, 432).

    Nakano (dalam Leo Agustino 201 1) pula mengkaj itentang desentralisasi dan politik lokal di Prancis danJepang. Nakano menemukan bahwa desentralisasidi Perancis berjalan lebih baik berbanding denganpelaksanaan hal yang sama di Jepang. Ini karena diPrancis masyarakat awam mempunyai'suara langsung'dalam proses formulasi kebijakan nasional melaluicumul des mandats yang diamanatkan oleh undang-undang desentralisasi Prancis, sedangkan di Jepangtidak mempunyai model politik desentralisasi sepertiitu. Hal lain yang berbeda antara kedua negarayaflgditeliti oleh Nakano adalah pemilihan anggota senatyang dipilih langsung oleh parlemen lokal (Nakano2006:247), sedangkan di Jepang pemilihannyadilakukan melalui minister of home affair. Selain itu,konstitusi Prancis mensyaratkan pembagian bidangkuasa antara pemerintah daerah dan pusat berdasarpada kemampuan yang dimiliki oleh masing-masingpemerintah daerah, sedangkan di Jepang tidak.Kendati demikian, untuk mengawal dan memperkokohpelaksanaan desentralisasi di Jepang pemerintah pusatmembentuk decentr al iz ation c o mmis s ion yangbekerj auntuk memberdayakan dan menguatkan otonomilokal berdasarkan isu dan masalah publik utama yangterdapat dalam masyarakat.

    Uraian di atas menunjukkan otonomi tidak selaluberjalan mulus. Kadang jalan berliku, menanjak, terjaldan lainnya. Sebab itulah, ramai para penyelenggarayang kemudian mengambil jalan pintas dalammenyelenggarakan pemerintahan secara serampangan.Perbedaan hasil akhir dalam impelementasi misalnyadapat ditunjukkan dalam kasus Chile dan Venezuelayang dikaji oleh Bland, Prancis dan Jepang yangdijelaskan Nakano serta Colombia dan Costa Rica yangdinilai oleh Escobar-Lemmon. Merujuk pada seluruhuraian dalam bagian ini satu yang dapat disimpulkanotonomi selalu menghasilkan wajah gandanya; di satusaat ia bisa menghadirkan karunia, tetapi di saat yanglain (karena pelaksanaannya yang dilaksanakan tanpa

    pengelolaan dan komitmen yang kuat) ia dapat menjadikutuk bagi semesta ekonomi-politik di aras lokal.

    PENUTUP

    Artikel ini telah menunjukkan manfaat daripelaksanaan otonomi daerah di banyak negara.Antaranya menumbuhkembangkan akuntabilitasdan responsivitas, mengembangakan warga sebagaimasyarakat sipil dalam arti yang sejati, melembagakanmekanisme checlcs and balances (pengawasan danpenyeimbangan), memantapkan legitimasi politikpemimpin-pemimpin daerah, memberi peluangkepada pemerintah daerah untuk berinovasi tanpaperlu menjustifikasi kepada daerih lain, menciptakankestabilan politik dengan memberi peluang kepadamasyarakat dalam skop teritori yang tidak terlalu luasdan meningkatkan pembangunan secara berprioritassehingga menekan biaya. Walau begitu, otonomitidak jarang mencetuskan pembusukan pembangunanpolitik yang justru hendak dibangunnya. Ini misalnyaditunjukkan dengan adanya intoleransi dan diskriminasiantara kelompok pendatang dan pribumi sangatmungkin (semakin) menguat, terjadinya pemborosankeuangan atau anggaran daerah, kekhilafan dalammengidentifikasi secara saksama otoritas pekerjaanpusat ataupun daerah sehingga menghadirkanduplikasi pekerjaan dan juga muncul dan menguabryakantong-kantong kekuasaan otoriter baru di tangan-tangan kelompok tertentu (local strongman).

    Realitas tersebut misalnya ditunjukkan denganrealitas yang terjadi di beberapa negara seperti yangditunjukkan oleh Bland di Chile dan Venezuelayang dikajinya, Nakano di Prancis dan Jepang danEscobar-Lemmon di Colombia dan Costa Rica. Satukecenderungan yang muncul dari bahasan artikelini adalah keberhasilan otonomi diperoleh daripemberian kekuasaan yang penuh dari pemerintahpusat kepada daerah untuk menentukan kebijakanpungutan daerah bagi memenuhi anggaran belanjadaerah. Keadaan ini menjayakan setiap daerah untukmengembangkan sumber keuangannya masing-masing bagi pencapaian ekonomi yang dikehendaki.Tetapi, hal ini juga menyebabkan pemerintah daerahmembuat pelbagai kebijakan yang bersifat pungutankepada rakyat sehingga mencetuskan peraturan-peraturan bermasalah. Akibatnya, kebijakan pungutanyang diformulasi oleh pemerintah daerah menjadikontraproduktif dengan kehendak rakyat untuk

    tI

    fiIII

    .sa

    (lo

    nryIIl!i(

  • na.

    as

    pian

    an

    riknglpa(anadauas

    itasomi

    mperluas kegiatan ekonomi mereka. Di luar ituslua, kondisi ini menyebabkan timbulnya perbedaanmis belanja pembangunan antara daerah. Akibatnya,Fengeluaran pemerintah daerah kerap dimanipulasiffi elit lokal, sehingga mencetuskan otonomi yangfihk efektif. Pelajaran otonomi yang tidak efektifinilah yang justru ditonjolkan dalam artikel ini dalamrmgka memperbaiki dan menyempumakan otonomidrrah yang sedang dilaksanakan di Indonesia.

    DAFTAR PUSTAKA

    Btrd R. & Wallich, C. 1993. Fiscal decentralizationand intergovernmental relation in transitioneconomies: toward a systemic frameworkof analysis. Washington D.C.: World BankInstitute.

    Bland, G. 1997. Political broker revisited: localgovernment, decentralization, anddemocracy in Chile andVenezuela. DisertasiPhD. University of Baltimore.

    Clarke, V.B. 2001. In search of good governance:decentralization and democracy in Ghana.Disertasi PhD. Northern Illinois University.

    Edmonds, E. 2001. Decentralization and localautonomy in Mexico. Disertasi PhD.University of Colorado.

    Escobar, A., & Alvarez, S.E. 1992. The makingof social movements in Latin America:identity, strategl, and democracy. Boulder:Westview.

    Escobar-Lemmon, M.C. 2000. The causes andprocess of decentralization. Disertasi PhD.The Univrsity ofArizona.

    Falleti, T.G. 2003. Governing govemors: coalitionsand sequences of decentralization inArgentina, Colombia, and Mexico. DisertasiPhD. Northwestern University.

    Harriss-White, B. 1999. How India works: thecharacter of the local cconomy. Cambridge:Cambridge University Press.

    Hure-girrt, K. 1981. Local decision-making autonomy:a review.of conceptual and methodologicalissues. London: King's College Press.

    Holuappel, C.J.G. & Ramstedt, M. (eds.). 2010.Decentralization and regional autonomy inIndonesia. Singapore: ISEAS.

    ,lncLson, S.M. 2005. Identity matters: politicalidentity construction and the process of

    Jurnal PamongPraja, Vol. I Tahun 20ll : 31-42 41

    identity influence. Disertasi PhD. Universityof Minnesota.

    Johnson, W.C. 1997. Urban planning and politics.Chicago: Planners Press.

    Kousoulass, G.D. 1975. On government and politics.Califomia: Duxburry Press.

    Lambright, G.M.S. 2003. The dillema ofdecentralization: a study of local politics inUganda. Disertasi PhD. Michigan StateUniversity.

    Leo Agustino. 2011. Sisi gelap otonomi daerah.Bandung: Widya Padjadj aran.

    Maclver, R.M. 1964. The modern state. London:Oxford University Press.

    Mann, M. 2008. Infrastuctural powerrevisited. Studyof Comparative International Development43:355-365.

    Migdal, J.S. & Schlichte, K. 2005. Rethinking thestate. Dlm. K. Schlichte.(ed.). The dynamicsofstates: theformation and crises of the statedomination, 1-40. Burlington: Ashgate.

    Milliband, R. 1969. The state in capitalist society.New York: Basic Books.

    Mohammad Agus Yusoff & Leo Agustino. 2011.Federalisme di Malaysia: potret hubunganpusat-daerah. Analisis CSIS 42(2): 193-216.

    Offe, C. & Ronge, V.H. 1975. Theses on the theory ofthe state. New German Critique 6: 137-147.

    Poulantzas, N. 1973. Political power and socialclasses. Ted. London: Verso.

    Rondinelli, D.A., & Cheema. 1983. Decentralizationin developing countries. California: SagePublications.

    Rosenbloom, D.H. 1993. Public administrastion:understanding management, politics, and lawin the public sector. New York: McGraw-Hill.

    Sammoff, J. 1990. Decentralization: the politics ofintervention. Development and Change 2l:5 13-530.

    Seabright, P. I 996. Accountability and decentralizationin government: an incomplete contractsmodel. European Economics Review 40:6l-89.

    Shively, W.P. 1999. Power and choice: an introductionto political science. Boston: McGraw-Hill.

    Skocpol, T. 1979. State and revolution: old regimeand revolutionary crises in France, Rusia,and China. Theory and Society 7(l):7-95.

    man

    lnyanasingatosan

    alamrjaanirkanrtnyargan-

    :nganyangntela! dan

    Satuutikel

    daririntah'ijakanrclartjauntuk

    rasing-ndaki.daerahngutanaturan-mgutannenjadi

    untuk

  • 42 Politik Lokal Dan Otonomi, Sebuah Perbincangan Singkart

    Skocpol, T. 1985. Bringing the state back in: strategiesof analysis in current research. Dlm. PeterB. Evans, Dietrich Rueschemeyer & ThedaSkocpol (eds.). Bringing the state back in,3-44. Cambridge: Cambridge UniversityPress.

    Smith, B.C. 1985. Decentralization: the tenitorialdimension ofthe state. London: Allen & Unwin.

    Stpan, A. 1978. The state and society: Perucomparative perpective. Princeton:Princeton University Press.

    Wolman, H. 1990. Decentralization: what it is andwhywe should care. Dlm. R.J. Bennett (ed.).Decentralization, local government, andmarkets : towards a post-welfare agenda, 29-42. Oxford: Oxford University Press.

    iSu*iffitll$&;1

    ;&*,

    f,ihehhttEi-hiltDr.tqErprp,bh,

    tanftft,,!|-