januari 2019 - i edisi #5 kareba palu koro · dan alamat, agar penyaluran bantuan benar-benar tepat...
TRANSCRIPT
KAREBA PALU KOROKABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG
Januari 2019 - I edisi #5
Warga Desa Tondo melakukan jitupasna.
Foto: Evan/ERCB
LIBATKAN MASYARAKAT UNTUK JITUPASNA
Masuk bulan ke tiga pascabencana gempa, tsunami dan
likuifaksi di Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala), Sulawesi
Tengah, tim Emergency Response Capacity Building (ERCB)
memasuki tahap selanjutnya yaitu melakukan Kajian Kebutuhan
Pascabencana (jitupasna). Adapun saat ini ERCB sedang
melakukan jitupasna di 7 desa dari 15 desa yang direncanakan
yang tersebar di Pasigala.
“Jitupasna merupakan suatu rangkaian kegiatan pengkajian
dan penilaian akibat, analisis dampak dan perkiraan kebutuhan,
yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana aksi rehabilitasi
dan rekonstruksi. Jitupasna mengkaji kerusakan, kerugian,
gangguan akses, gangguan fungsi, peningkatan risiko, dan
kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan sosial,” Agung
Prasetyo dari Bina Swadaya yang juga menjadi juru bicara ERCB
menjelaskan.
Menggunakan metode focus group discussion (FGD) yang
dilakukan bersama lapisan masyarakat, diharapkan melalui
jitupasna masyarakat dapat mengetahui secara bersama
kebutuhan pascabencana di desanya. Jitupasna yang diikuti
lapisan masyarakat seperti kepala desa, kepala dusun, tokoh
masyarakat hingga para ibu rumah tangga juga bertujuan
memperkuat SDM pada bidang rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Agar mempunyai pemahaman yang sama mengenai
pengkajian kebutuhan pascabencana, serta mampu menyusun
dokumen rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana,” kata Titik Susana Ristiyawati dari Lembaga
Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) saat menjelaskan
alasan keterlibatan masyarakat dalam jitupasna.
Mohamad Fauzan, salah satu fasilitator ERCB dari Yayasan
Merah Putih (YMP) yang melakukan jitupasna di dua desa
mengungkapkan, masyarakat antusias mengikuti jitupasna
karena dilibatkan dalam merumuskan kebutuhan di wilayah
tempat tinggalnya.
“Respons masyarakat semangat untuk mengikuti jitupasna
karena berharap wilayah mereka dapat disentuh oleh pihak-pihak
yang akan membantu nantinya,” ujar Fauzan yang melakukan
jitupasna di Desa Loli Pesua dan Panau.
Keterlibatan masyarakat dalam proses jitupasna dinilai
penting, karena dalam metode FGD warga dilibatkan saling
mengungkapkan pemikiran maupun pendapat. Selain itu, jika
nantinya ada program bantuan atau dampingan di desa tersebut
maka dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Bersambung ke halaman 7...
KAREBA PALU KORO
MASA TRANSISI DARURAT SULTENG DIPERPANJANG
PALU — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah memperpanjang
masa transisi darurat selama 60 hari dari 25 Desember 2018
menjadi 23 Februari 2019. Ini adalah perpanjangan kedua yang
dilakukan pemerintah.
Sebelumnya, masa transisi darurat diperpanjang dari 26
Oktober 2018 menjadi 25 Desember 2018.
Hal itu diputuskan Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola
dalam Rapat Koordinasi Forkompinda bersama Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR), Pemerintah Kabupaten Donggala dan
Sigi, Jumat (21/12) di ruang kerja gubernur.
Keputusan memperpanjang masa transisi darurat setelah
mendengarkan masing-masing pemangku kepentingan dan
perkembangan di lapangan.
"Sejumlah stakeholder seperti para bupati dan BNPB meminta
perpanjangan karena masih banyak hal yang harus dibenahi," kata
Longki.
Dalam rapat itu juga, Longki meminta kepada bupati Donggala,
Sigi dan walikota Palu untuk segera menyelesaikan pendataan
sebelum akhir bulan Desember disertai Surat Keputusan Bupati/
Walikota.
Data tersebut penting sebagai acuan untuk menyalurkan
bantuan, dana stimulan, santunan, pembagian huntara (hunian
sementara) dan hunian tetap.
Data itu meliputi jumlah korban jiwa, korban luka, jumlah
pengungsi, kebutuhan huntara, dan kondisi penyintas saat ini.
Data-data korban dan penyintas harus lengkap dengan nama
dan alamat, agar penyaluran bantuan benar-benar tepat sasaran.
“Saya minta bulan ini sudah selesai. Karena data tersebut akan
direkap dan dilaporkan kepada Presiden,” kata Longki.
Ketua Satuan Tugas Kementerian PUPR untuk Rehabilitasi dan
Rekontruksi Pascabencana Sulteng, Arie Setiadi, mengatakan,
pihaknya mengharapkan perpanjangan masa transisi darurat
karena pembangunan huntara belum tuntas.
Saat ini, Kementerian PUPR baru menyelesaikan 110 unit dari
target 1.200 unit.
“Sementara 220 unit huntara di Palu, 193 unit di Sigi dan
140 unit di Kabupaten Donggala masih proses,” kata Arie,
sebagaimana siaran pers dari Humas Pemprov Sulteng.
Perpanjangan transisi darurat juga diminta oleh Kepala Dinas
Sosial Propinsi Sulawesi Tengah Ridwan Mulu, Kepala Dinas
Binamarga dan Tata Ruang Syaifullah Djafar, dan juga Deputi
Logistik BNPB Rudi Phadmanto.
Perpanjangan transisi darurat itu bertujuan, untuk
mempermudah akses distribusi bantuan terhadap pemulihan
dampak bencana. (Patarudin/Ika Ningtyas. Sumber: Kabar Sulteng Bangkit)
Warga mencoba menyelamatkan barang yang masih bisa digunakan di bekas rumah mereka di Petobo. Foto: Martin Dody/ERCB
02
KAREBA PALU KORO
Masnani dan Risnawati terlihat ceria ketika ditemui kembali oleh Kareba Palu Koro di posko pengungsian di Desa Panau hari Rabu, 26 November lalu. Sangat berbeda dengan kondisinya ketika ditemui 5 hari sebelumnya. Saat itu Masnani terlihat berada di bilik kamar hunian sementaranya. Sedangkan Risnawati hanya bisa duduk dengan bersangga pada tangan kanannya karena kaki kiri dan tangan kirinya mengalami pergeseran sendi.
Masnani dan Risnawati adalah penyintas bencana tsunami
yang melanda desanya di wilayah Kelurahan Panau.
“Saya sempat timbul tenggelam di air,” kata Masnani
mengingat kejadian tsunami September 2018 lalu.
“Saya pasrah saja, tubuh saya terhantam barang-barang.
Bahkan ada paku menancap di tubuh saya,” tambahnya.
Benturan-benturan itulah yang mungkin menyebabkan kaki
kiri Masnani mengalami pergeseran sendi, serta sakit di bagian
pinggangnya.
Lain halnya dengan Risnawati, ia bercerita bahwa dirinya
terlempar dari rumah dan tubuhnya terbentur sesuatu yang
keras.
“Sakit sekali tubuh bagian kiri ini, saya tidak bisa bergerak,”
katanya. Tangan kirinya mengalami pergeseran sendi yang cukup
parah. Kaki kiri dan tangan kanannya tidak terlalu parah.
Mengetahui hal tersebut, Gede Arya Wibawa pun segera
meluncur menuju ke Desa Panau untuk menemui keduanya.
Gede Arya Wibawa yang lebih akrab dipanggil dengan
Pakde memiliki keahlian khusus dengan cara mengurut dan
menyalurkan tenaga penyembuh. Pakde berada di Palu bersama
Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) yang
membantu penyintas di bidang kesehatan dan tergabung dalam
konsorsium Emergency Response Community Building (ERCB)
pada respons bencana di Sulawesi Tengah.
Gede Arya Wibawa lahir di Bali, tepatnya di kota Tabanan,
03 Juli 1957. Setelah lulus SMP, Pakde melanjutkan ke Akademi
Keperawatan (AKPER) St. Borromeus Bandung. Karena prestasi
dan kecekatannya, lulus dari AKPER St. Borromeus langsung
ditempatkan di kamar operasi.
“Keterlibatan Pakde dengan PERDHAKI dimulai saat terjadi
bencana alam tsunami di Aceh pada Desember 2004,” kata Irene
Kusuma, Manajer Program PERDHAKI.
“Kemudian ikut pula dalam respons gempa Nias bulan Maret
2005, gempa Yogyakarta bulan Mei 2006, dan gempa Sumatera
Barat bulan Maret 2007,” tambahnya.
Setelah pensiun dari RS Borromeus Bandung, Pakde menjadi
pengajar di salah satu akademi keperawatan dan menjadi asisten
bedah di sebuah klinik swasta. Saat bencana gempa, tsunami,
dan likuifaksi melanda Sulawesi Tengah, Pakde terpanggil untuk
kembali bergabung dalam tim medis PERDHAKI, membantu para
penyintas agar mendapatkan layanan medis yang sesuai standar.
“Intinya adalah pelayanan. Bagaimana kita melayani
masyarakat, dalam hal ini warga terdampak, dengan sepenuh
hati,” kata Pakde kepada Kareba Palu Koro.
“Melihat senyum mereka yang disembuhkan adalah suatu
kebahagian tersendiri yang tidak dapat dinilai dengan apapun,
rasa capai dan lelah sirna seketika,” katanya.
Disamping piawai dalam hal keperawatan, beliau juga ahli
dalam penyembuhan energi prana. Tidak sedikit penyintas yang
mengalami kesembuhan dari cidera atau pergeseran sendi akibat
bencana.
“Saya menggunakan teknik ini (perawatan medis dan tenaga
prana) untuk mengurangi penggunaan obat dalam proses
penyembuhan,” kata Pakde.
“Selain itu, saya ingin orang yang saya bantu merasa nyaman.
Nyaman dalam hal bisa beraktivitas kembali. Rasa sakit pasti ada,
tapi paling tidak sudah banyak berkurang,” tambahnya.
Bersambung ke hal. 6...
MELAYANIDENGANHATI Gede Arya Wibawa sedang merawat
penyintas. Foto: Martin Dody/ERCB
03
KAREBA PALU KORO
Sejak awal keterlibatan, konsorsium
Emergency Response Capacity Building
(ERCB) telah melakukan intervensi di 15
desa dan kelurahan yang tersebar di tiga
wilayah kabupaten di Sulawesi Tengah
selamat kurang lebih 3 bulan ini. Untuk
melihat lebih dalam proses dan capaian
yang telah dilakukan, selama dua hari, 17-18
Desember 2018 ERCB melakukan rapat
evaluasi selama dua hari di Yogyakarta.
“Kita akan berbagi pengalaman
dari masing-masing organisasi selama
merespons bersama di Palu kemarin, suka
dukanya bagaimana, kita berikan waktu
untuk bapak ibu bisa share disini,” kata
Johan Rachmat Santosa, Koordinator
Program KARINA Yogyakarta.
Pertemuan ini dihadiri oleh semua anggota konsorsium
ERCB: Yayasan Pusaka Indonesia (YPI), Bina Swadaya, Lembaga
Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP), Persatuan Dharma
Karya Kesehatan Indonesia (Perdhaki), termasuk para mitra lokal
yakni Yayasan Merah Putih (YMP) dan Karsa Institute. Proses
evaluasi membahas capaian yang telah dilakukan dan proses yang
telah dijalani, dan apa yang akan dilakukan selanjutnya.
“Kita sudah melakukan sesuatu yang luar biasa dengan begitu
banyak barang yang harus kita distribusikan, program yang harus
kita kerjakan dengan orang-orang yang terbatas,” kata Sutikno
Sutantio dari KARINA Yogyakarta selaku Koordinator ERCB.
Dalam perjalannya, ERCB telah memberikan bantuan food items
berupa 100 ton beras untuk 4.000 kepala keluarga (KK), 12.164kg
minyak goreng untuk 3.041 KK, dan 618,5kg ikan asin untuk
2.474 KK. Non-food items berupa 2.175 paket hygiene kit untuk
2.175 KK, 323 paket family kit untuk 323 KK. Di sektor water and sanitation (WATSAN), ERCB memberikan 35 unit tangki air di 17
desa, 297 unit water purifier di 15 desa, 25 paket tempat sampah
di 2 kelurahan. Yang masih dalam proses penyelesaian di sektor ini
adalah pembangunan 17 unit fasilitas MCK (11 unit sudah selesai)
untuk 9 desa dan 9 titik pemipaan di 7 desa (4 titik sudah selesai).
Untuk rencana pembuatan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) mini
dialihkan menjadi pembelian 1 unit truk sampah beserta bak
sampahnya karena berdasarkan kajian akan lebih bermanfaat.
Sekitar 3.110 orang warga terdampak telah mendapatkan
pelayanan kesehatan dan sekitar 2.000 orang mendapatkan
layanan psikososial melalui tim dari Perdhaki. Lalu dari
Perlindungan anak ada 7 Ruang Ramah Anak yang memberi ruang
untuk bermain dan belajar untuk 631 anak. 25 orang pendamping
lokal pun diberi peningkatan kapasitas oleh YPI sehingga mereka
mampu mendampingi anak-anak.
Pertemuan ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi
dari masing-masing organisasi, kesepakatan tentang perbaikan
koordinasi, perbaikan data dan proses pendataan, serta
peningkatan kecepatan respon. Protokol bersama ERCB pun
dibahas kembali untuk merefleksikan tugas dan peran masing-
masing dalam konsorsium ERCB.
“Jadi di dalam protokol bersama kita akan melihat kira-kira apa
yang sudah kita lakukan apakah sudah sesuai jika sudah sesuai
kita lihat lagi pembagian perannya,” kata Johan.
Belajar dari pengalaman penanganan di beberapa wilayah
bencana yang dikemukakan dalam pertemuan ini, ERCB
bersiap melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas secara
kelembagaan.
Masing-masing anggota konsorsium ERCB juga menyatakan
komitmen untuk terus terlibat dalam fase selanjutnya yakni
rehabilitasi dan rekonstruksi.
Saat ini ERCB sedang melakukan Kajian Kebutuhan Pasca
Bencana (JITUPASNA). Wilayah kajian ini berada di 15 desa/
kelurahan di tiga wilayah kabupaten yang terdampak. Kajian akan
berlangsung hingga Januari 2019.
Hasil dari kajian inilah yang nantinya akan menjadi dasar untuk
melakukan intervensi kedepannya.
Sebagai partner lokal YMP dan Karsa Institute dalam pertemuan
evaluasi ini juga menyatakan komitmen untuk terus terlibat dalam
program-program yang dijalankan oleh ERCB. (mf/mdk)
ERCB Belajar dari Proses
M. Fauzan dari Yayasan Merah Putih sedang memaparkan hasil diskusi
kelompok. Foto: Martin Dody/ERCB
04
KAREBA PALU KORO
Semangatku hancur secara perlahan, cita-citaku untuk memberikan yang terbaik pada anak-anak di desaku seperti meleleh dan hanyut bersama lumpur-lumpur yang menghantam Dusun 3, desa kami. Pandanganku nanar melihat tumpukan dan puing-puing bangunan ruang ramah anak (RRA) yang baru dua bulan ini berjalan dengan suka cita. Masih tergambar jelas dimataku, anak-anak yang bermain hula hoop, puzzle, belajar membaca menulis dan berhitung di bawah tenda yang penuh dengan balon dan pita-pita.
Ungkapan Dewi Fatimah, guru Taman
Kanak-kanak Pelangi Salua yang juga
menjadi relawan di RRA yang dikelola
Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) melalui
konsorsium ERCB.
Sebelumnya, pada Selasa petang
tanggal 11 Desember 2018, banjir
bandang kembali menerjang Desa Salua,
Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi,
khususnya RT 1 dan RT 2 Dusun 3. Akibat
banjir bandang tersebut, fasilitas RRA
yang berada di Dusun 3 hanyut, sehingga
pelayanan untuk bermain dan belajar anak
pun terhenti.
“Lebih tiga hari aktivitas RRA berhenti,
kegiatan anak-anak bermain dan belajar
tidak berjalan,” kata Dewi.
“Yang paling perih adalah aku tak
mampu untuk memandang serta
menjawab ketika anak-anak bertanya
padaku: Bu, kapan kita bisa bermain di
RRA lagi? Bu, masih adakah puzzle dan
bola yang bisa kita mainkan?” tambahnya.
Kondisi RRA pasca banjir bandang
tidak dapat digunakan lagi. Tenda dan
bangunan sudah rata dengan tanah.
Hampir sebagian besar mainan rusak dan
hancur. Untuk membangun kembali RRA
di tempat yang sama tidak memungkinkan
karena dianggap rawan jika kembali
terjadi banjir.
Marjoko dan Khairul Amri, selaku
pelaksana tim di lapangan mencoba
berdiskusi dengan Kepala Desa Salua,
Yohanis Romang, serta beberapa pihak
yang terkait tentang pembangunan
kembali RRA tersebut. Diputuskan lokasi
pembangunan RRA baru di Dusun 1.
“Seperti yang lalu, partisipasi warga
kami dorong dalam pembangunan
kembali RRA di Salua. Saling berbagi peran
dalam hal penyediaan bahan, peralatan,
dan tenaga tukang untuk pembangunan
RRA tersebut,” kata Marjoko.
YPI sendiri juga memberikan bantuan
pembiayaan selain memberikan bantuan
logistik untuk sekitar 80 kepala keluarga
yang terdampak banjir bandang. Warga
Desa Salua dengan suka rela menyisihkan
bahan baku serta peralatan yang ada
untuk pembangunan kembali RRA,
demikian juga untuk tenaga tukangnya.
Beberapa lembar terpal disediakan oleh
kepala desa.
Kurang lebih seminggu pasca bencana
banjir bandang yang menerjang Desa
Salua, RRA sudah kembali berdiri.
Peralatan untuk belajar dan bermain anak-
anak pun kembali disediakan. Sebanyak
sekitar 160 anak kembali belajar dan
bermain di RRA yang baru.
“Senangnya saya, melihat keceriaan
anak-anak yang kembali muncul, setelah
dua kali desa kami dilanda bencana,
gempa dan banjir bandang. Terima
kasih untuk semua pihak yang telah
mewujudkan mimpi anak-anak Desa
Salua untuk kembali bermain dan belajar,”
ungkap Dewi.
Desa Salua, terutama Dusun 3 sendiri
masih terkendala untuk menyediakan
huntara maupun merelokasi warga
maupun fasilitas umum yang berada di
dusun tersebut.
“Kepala sekolah TK, SD, dan SMP pun
bertanya tentang kemana fasilitas sekolah
sebaiknya direlokasi, karena kebetulan
fasilitas-fasilitas sekolah tersebut dan juga
pasar terletak di Dusun 3 yang terkena
banjir bandang,” kata Yohanis.
Terjadi bencana gempa ataupun tidak,
Desa Salua terutama Dusun 3 terancam
banjir hampir di setiap tahunnya ketika
musim hujan datang. Dibutuhkan
pemikiran dan solusi yang tepat untuk
meminimalkan ancaman tersebut
terhadap masyarakat yang tinggal di
wilayah itu. (mdk)
RRA SALUA,BANGKIT
Suasana tenda RRA di Desa Salua.
Foto: Martin Dody/ERCB
05
KAREBA PALU KORO
Sambungan halaman 3... Keinginan untuk berbagi juga memotivasi Pakde untuk selalu
terlibat dalam tugas-tugas kemanusiaan di lokasi-lokasi bencana.
“Saya sudah pensiun, keluarga sudah diberi kecukupan. Selagi
saya mampu, saya ingin berbuat sesuatu untuk sesama. Selain itu,
menjadi suatu kebanggaan tersendiri buat saya ketika bersama
tim Perdhaki mampu membuat pelayanan menjadi lebih hidup,”
ungkap Pakde.
Yang dimaksud dengan hidup disini adalah tidak hanya sekedar
melaksanakan tugas dan rutinitas pelayanan medis namun juga
menyapa serta berempati kepada para penyintas.
“Satu kebahagian bagi tim saat melihat penyintas yang
kesakitan saat bangun atau berjalan bisa tersenyum dan berjalan
setelah pengobatan yang diberikan,” kata Pakde.
Masnani dan Risnawati pun menyampaikan rasa terima kasih
mereka kepada Pakde. Tanpanya, rasa sakit Masnani dan Risnawati
tak berkurang. (mdk)
Melayani...
Infografis
sebaran respons
gempa tsunami
dan likuifaksi
di Kabupaten
Donggala, Sulteng.
06
KAREBA PALU KORO
Sambungan dari halaman 1...“Jitupasna bertujuan agar upaya-upaya pemulihan pascabencana berorientasi pada pemulihan harkat dan martabat manusia secara
utuh,” kata Agung.
Titik menambahkan, “Hasil jitupasna yang dilakukan tim ERCB juga berguna untuk membantu pemerintah maupun pihak swasta lain,
dan juga LSM yang akan melakukan pendampingan di desa tersebut dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.”
“Diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dan pihak swasta lainnya dalam melakukan verifikasi dampak kerusakan dan
perhitungan kebutuhan pasca bencana. Jika seandainya kita hanya bisa di 3 desa, maka (lembaga) lain bisa membantu di desa lainnya
melihat hasil jitupasna tim ERCB,” ujar Titik.
Kegiatan jitupasna ditargetkan di 15 desa yang menjadi lokasi intervensi ERCB. Di Kabupaten Sigi sebanyak 7 desa (Boladangko,
Bolapapu, Tangkulawi, Omu, Tuva, dan Lewara), Kabupaten Donggala sebanyak 5 desa (Loli Pesua, Loli Saluran, Lampo, Limboro, dan
Salumbone), dan Kota Palu sebanyak 4 kelurahan (Panau, Tondo, Lambara, dan Buluri).
Adapun 7 lokasi desa yang telah dilakukan Jitupasna saat ini yaitu Kelurahan Panau, Kelurahan Tondo, Desa Loli Pada, Desa Lampo,
Desa Tangkulowi, Desa Boladangko dan Desa Bolapapu. “Sejauh ini sudah terlaksana pelatihan pertama (sosisalisasi alat jitupasna)
pada tanggal 30 November 2018 yang diikuti oleh 30 peserta dari mitra lokal ERCB (Karsa, Awam Green dan YMP),” tambah Ilham Syaiful
Huda dari LPTP.
Tujuan dari pelatihan ini agar peserta paham tujuan jitupasna, mampu menerapkan metode dan tool jitupasna. Selain itu, pelatihan
kedua (evaluasi hasil Jitupasna) juga telah terlaksana pada tanggal 11 Desember 2018, diikuti oleh 25 peserta dari mitra lokal ERCB
(Karsa, Awam Green dan YMP) di Villa Sutan Raja, Kelurahan Mantikulore, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu. Tujuannya agar peserta
paham alur, target dan mampu menyusun dokumen jitupasna.
Jitupasna ini nantinya tidak sekedar kajian kebutuhan pascabencana tetapi juga akan dilakukan PDRA (Participatory Disaster Risks Appraisal) guna mendukung adanya kajian risiko yang menyeluruh terhadap kondisi saat ini yang akan digunakan dalam memberikan
rekomendasi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang lebih memperhatikan risiko bencana yang ada. (ta/mdk)
Berita Foto
Anak-anak di Kelurahan Mamboro, Palu Utara, Sulteng bermain karet di
tempat pengungsian. Foto: Martin Dody/ERCB
Libatkan...
07
KAREBA PALU KORO
Kareba Palu Koro adalah media penyebaran informasi terkait penanganan bencana di Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Jaringan Emergency Response Capacity Building (ERCB) pada masa tanggap darurat hingga masa rehabilitasi pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Media ini didukung oleh pendanaan dari SHO dan Cordaid dan terbit dua mingguan.
Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa (KARINA Yogyakarta)
Redaksi: Martin Dody Kumoro, Thomas Aquinus (Bina Swadaya), M. Fauzan (Yayasan Merah Putih)
Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui [email protected] atau dialamatkan ke Jl. Karanja Lembah, Lorong BTN Polda, Samping Perum Kelapa GadingDesa Kalukubula, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulteng
REDAKSIONALINFOGRAFIS DISTRIBUSI BANTUAN ERCB DI MARAWOLA BARAT
Infografis distribusi bantuan Konsorsium ERCB di Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten
Sigi, Sulawesi Tengah sampai dengan 9 Desember 2018. Bantuan yang diberikan untuk 11
desa berupa bahan makanan seperti beras, ikan asin, dan juga non-food item seperti tangki
air, terpal serta pelayanan kesehatan. (mdk)
08