maret 2019 - ii edisi #10 kareba palu koro · 44 unit di kabupaten donggala dengan konsep rumah...

8
KAREBA PALU KORO KABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG Maret 2019 - II edisi #10 KEGIATAN PSIKOSOSIAL BAGI DAMPINGAN P ersatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (Perdhaki) sejak bulan Februari lalu telah bergerak bersama Emergency Response Capacity Building (ERCB) dalam tahapan pemulihan awal (early recovery) sebagai tahapan lanjutan setelah tahap tanggap bencana. Berbeda dengan yang dikerjakan oleh rekan-rekan lainnya, tim Perdhaki tidak mengerjakan atau menyentuh pekerjaan- pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan fisik, namun mereka lebih menyentuh ke manusianya. Dalam masa tanggap darurat yang lalu, Perdhaki memberikan pelayanan kesehatan dan psikososial kepada para penyintas. Fokus pelayanan pada tahapan sekarang adalah pelayanan psikososial karena dirasa masih banyak penyintas yang membutuhkan pendampingan dan dorongan. Tidak hanya memberikan pelayanan personal kepada para penyintas yang membutuhkan, namun tim yang terdiri dari Retno Graito, Lidya Chika Andra, dan Magdalena Areta ini juga menyasar ke institusi-institusi seperti sekolah dan para kader yang ada di masyarakat dengan mengadakan kegiatan berupa Pembekalan Kader Lokal bagi Penyintas Bencana. “Tujuan kami masuk ke institusi-institusi dan mendampingi para kader adalah agar para pengelola sekolah, misalnya, dan para kader mampu menyusun sebuah program kegiatan yang dapat mendukung pemulihan trauma,” kata Lena, demikian Magadalena Areta akrab dipanggil. “Kita tidak akan membuatkan mereka sebuah program tapi itu harus muncul dari mereka sendiri,” tambahnya. Pertimbangan tim Perdhaki untuk tidak merancang atau membuatkan program tersebut adalah karena para pengelola institusi dan para kaderlah yang lebih tahu kebutuhan di lapangan, misalnya kebutuhan para siswa, orang tua siswa. Pada pertemuan awal selama dua hari, Kareba Palu Koro berkesempatan untuk mengikutinya di SD Kristen GPID Palu dan di desa Boladangko, Kulawi, bersama para kader. Di hari pertama yang bertemakan “Saya dan Bencana” para peserta diajak untuk melewati beberapa tahapan. Sedikitnya ada empat tahapan dimana para peserta diajak untuk merefleksikan kembali perasaan dan kondisi mereka ketika bencana (28/9/2018) terjadi, bagaimana lingkungan dan orang-orang di sekitar mereka, dan bagaimana mereka melalui semua itu hingga sekarang ini. Bersambung ke halaman 6... Kegiatan Pembekalan Kader Lokal bagi Penyintas Bencana di SDK GPID Palu oleh Perdhaki. Foto: Martin Dody/ERCB

Upload: doannhan

Post on 01-Jul-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Maret 2019 - II edisi #10 KAREBA PALU KORO · 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh. ... Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono

KAREBA PALU KOROKABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG

Maret 2019 - II edisi #10

KEGIATAN PSIKOSOSIAL BAGI DAMPINGANPersatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (Perdhaki)

sejak bulan Februari lalu telah bergerak bersama Emergency Response Capacity Building (ERCB) dalam

tahapan pemulihan awal (early recovery) sebagai tahapan lanjutan setelah tahap tanggap bencana.

Berbeda dengan yang dikerjakan oleh rekan-rekan lainnya, tim Perdhaki tidak mengerjakan atau menyentuh pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan fisik, namun mereka lebih menyentuh ke manusianya.

Dalam masa tanggap darurat yang lalu, Perdhaki memberikan pelayanan kesehatan dan psikososial kepada para penyintas. Fokus pelayanan pada tahapan sekarang adalah pelayanan psikososial karena dirasa masih banyak penyintas yang membutuhkan pendampingan dan dorongan.

Tidak hanya memberikan pelayanan personal kepada para penyintas yang membutuhkan, namun tim yang terdiri dari Retno Graito, Lidya Chika Andra, dan Magdalena Areta ini juga menyasar ke institusi-institusi seperti sekolah dan para kader yang ada di masyarakat dengan mengadakan kegiatan berupa Pembekalan Kader Lokal bagi Penyintas Bencana.

“Tujuan kami masuk ke institusi-institusi dan mendampingi

para kader adalah agar para pengelola sekolah, misalnya, dan para kader mampu menyusun sebuah program kegiatan yang dapat mendukung pemulihan trauma,” kata Lena, demikian Magadalena Areta akrab dipanggil.

“Kita tidak akan membuatkan mereka sebuah program tapi itu harus muncul dari mereka sendiri,” tambahnya.

Pertimbangan tim Perdhaki untuk tidak merancang atau membuatkan program tersebut adalah karena para pengelola institusi dan para kaderlah yang lebih tahu kebutuhan di lapangan, misalnya kebutuhan para siswa, orang tua siswa.

Pada pertemuan awal selama dua hari, Kareba Palu Koro berkesempatan untuk mengikutinya di SD Kristen GPID Palu dan di desa Boladangko, Kulawi, bersama para kader. Di hari pertama yang bertemakan “Saya dan Bencana” para peserta diajak untuk melewati beberapa tahapan. Sedikitnya ada empat tahapan dimana para peserta diajak untuk merefleksikan kembali perasaan dan kondisi mereka ketika bencana (28/9/2018) terjadi, bagaimana lingkungan dan orang-orang di sekitar mereka, dan bagaimana mereka melalui semua itu hingga sekarang ini.

Bersambung ke halaman 6...

Kegiatan Pembekalan Kader Lokal bagi Penyintas Bencana di SDK

GPID Palu oleh Perdhaki. Foto: Martin Dody/ERCB

Page 2: Maret 2019 - II edisi #10 KAREBA PALU KORO · 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh. ... Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono

KAREBA PALU KORO

Lebih baik di sini, rumah kita sendiriSegala nikmat dan anugerah yang kuasa

Semuanya ada disiniRumah kita…

Sepenggal lirik lagu lama milik God Bless yang berjudul Rumah Kita ini terlintas saat Kareba Palu Koro melihat pembangunan hunian sementara (huntara) di beberapa

tempat di wilayah Palu, Sigi, Donggala (Pasigala). Salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi untuk para penyintas bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi (28/9/18) adalah kebutuhan akan tempat tinggal.

Berdasarkan Laporan Dampak Bencana Alam Gempa Bumi, Tsunami, dan Likuefaksi di Wilayah PADAGIMO (Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong) Provinsi Sulawesi Tengah yang disampaikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Dr. H. Longki Djanggola, M.Si, sebanyak 94.855 rumah terdampak bencana tersebut di Pasigala. Dengan kategori rusak ringan hingga hilang. Oleh karenanya pemerintah daerah, berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan berbagai organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM), berupaya untuk menyediakan huntara bagi para penyintas yang terpaksa tinggal di pos-pos pengungsian setelah bencana karena rumah mereka rusak atau bahkan hilang.

Dari pendataan di tingkat kabupaten dan kota, dibutuhkan sedikitnya 1.834 unit huntara dan dari pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), akan membangun sebanyak 699 unit yang hingga bulan Februari 2019 lalu dan baru terbangun sebanyak 535 unit (sumber: PUPR 22

Februari 2019).Terdapat kesenjangan yang cukup besar antara kebutuhan

huntara dengan yang disediakan oleh pemerintah. Untuk menutup kesenjangan tersebut, kolaborasi dengan berbagai LSM dilakukan oleh pemerintah. Terdapat kurang lebih 33 LSM yang terlibat, diantaranya ERCB (Emergency Response Capacity Building) yang merupakan konsorsium dari beberapa lembaga. ERCB akan membangun sebanyak 179 unit di Kabupaten Sigi dan 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh.

“Rumah tumbuh ini dirancang agar bisa dikembangkan oleh penerima manfaat dikemudian hari, baik dikembangkan pada saat stimulan dari pemerintah turun maupun dikembangkan secara mandiri,” kata Sumino dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan yang tergabung dalam ERCB.

“Rumah tumbuh ini dibangun dengan mengadopsi kearifan lokal terkait desain dan material yang tahan gempa,” kata Sutikno Sutantio dari ERCB.

Hal tersebut selain untuk memberikan tempat tinggal yang lebih layak bagi para penyintas, juga untuk melestarikan kembali kearifan lokal berupa rumah kayu yang sudah terbukti tahan terhadap gempa.

“Masyarakat trauma dengan bangunan beton,” kata Ardi Nono, salah seorang warga Desa Tangkulowi saat berbincang-bincang dengan Kareba Palu Koro.

“Lebih baik begini (dengan bahan kayu). Lebih aman untuk ditinggali, nyaman juga, dan kembali ke rumah-rumah jaman dulu,” tambahnya.

Bersambung ke halaman 8...

RUMAH TUMBUH:BERANGKAT DARI KEARIFAN LOKAL

Desain Rumah Tumbuh ERCB.

Desain: Agus Suranto/ERCB

02

Page 3: Maret 2019 - II edisi #10 KAREBA PALU KORO · 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh. ... Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono

KAREBA PALU KORO

“Saya sedang berada di masjid yang di atas sana ketika gempa terjadi. Beruntung saya bisa keluar padahal untuk berdiri pun susah karena kuatnya gempa,” cerita Kasrudin (66 tahun) mengenang kejadian 6 bulan lalu ketika gempa dan tsunami melanda wilayah Panau.

Dalam kepanikan dan situasi yang mencekam, Kasrudin hanya bisa berlari bersama warga yang lain ke dataran yang lebih tinggi, tanpa sempat pulang ke rumah untuk memeriksa keadaan keluarganya.

Setelah beberapa jam berlalu, ia berjalan kembali ke rumahnya untuk mencari tahu kondisi keluarganya dan melihat keadaan. Setelah beberapa kilometer berjalan ia sampai ke wilayah diaman rumahnya berada, namun belum bisa bertemu dengan keluarganya karena suasana cukup gelap saat itu.

“Baru keesokan harinya saya bisa bertemu istrinya, Atni, dan anak-anak di lokasi pengungsian. Bersyukur mereka semua selamat,” katanya. Istri, ketiga anak, dan menantunya selamat karena anaknya yang kedua sempat melihat gelombang air yang cukup tinggi dari arah teluk sebelum kemudian menghantam wilayah perkampungan mereka.

Kenangan yang tidak terlupakan tersebut bercampur dengan kegetiran Kasrudin ketika menyadari perahu andalannya untuk mencari nafkah hilang, bersama dengan 77 perahu milik nelayan di wilayah tersebut.

“Saya bisa membangun rumah untuk keluarga dan menyekolahkan adik saya sampai kemudian menjadi polisi dari pendapatan saya melaut,” kata Kasrudin.

Hasil tangkapan utamanya adalah ikan rono, semacam ikan teri yang berukuran kecil. Di saat musim tangkap, para nelayan disana bisa turun melaut dua hingga tiga kali.

Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono dan satu termosnya dihargai 300 ribu hingga 500 ribu rupiah. Untuk mendapatkan penghasilan tambahan, istrinya biasanya membuat paketan yang dibungkus dengan daun. Satu paketnya yang berisi 1-3 sendok makan ikan rono dijual 5 ribu rupiah per paket.

Situasinya cukup berbeda pascabencana (28/9/2018). Ketidakadaan perahu membuat para nelayan tidak bisa melaut untuk mencari nafkah.

“Beruntung saya ada sedikit keterampilan sebagai tukang bangunan dan dipercaya untuk menggarap sawah yang telah digarap oleh ayahnya sejak Kasrudin berusia 7 tahun. Pemilik sawah pun berbaik hati membuatkan tempat tinggal sementara di area sawah tersebut setelah mengetahui Kasrudin dan keluarganya berpindah tempat sebanyak 3 kali.

“Dikasih pinjam saja saya sudah senang sekali. Apalagi jika diberi perahu,” kata Kasrudin dengan mata berbinar, harapan seakan muncul kembali.

Sebanyak sepuluh unit perahu nelayan akan diberikan kepada kelompok nelayan di wilayah Panau, tempat Kasrudin tinggal. Berdasarkan musyawarah dan kesepakatan dengan kelompok tersebut, prioritas pemberian perahu tersebut untuk mereka yang sudah lama bermatapencaharian sebagai nelayan dan menjadi mata pencaharian utama. Persyaratan utama dari pemberian perahu adalah bahwa para penerima manfaat tidak boleh menjual perahu tersebut.

“Sudah lebih dari cukup. Perahu tradisional untuk tangkap rono, dari kayu kayamo atau tea tambaita, lengkap dengan motor dan gensetnya, kurang apalagi,” kata Kasrudin.

Perlengkapan lain seperti saklar, fitting lampu, jaring penyerok rono akan diadakan sendiri oleh para penerima manfaat sebagai bentuk partisipasi mereka.

“Nilainya tidak seberapa dibandingkan apa yang diberikan kepada kami,” Kasrudin menambahkan.

“Sudah terbayang di depan mata, kami akan berlomba-lomba untuk turun ke laut dan saling berkejaran lagi untuk menangkap rono,” kata Kasrudin.

“Lima bulan sudah kami rindu melaut dan sebentar lagi kerinduan itu akan terjawab. Kami akan bisa kembali melaut dan memberi nafkah untuk keluarga,” tutupnya sambil tersenyum. (mdk)

PERAHU HARAPAN

03

Page 4: Maret 2019 - II edisi #10 KAREBA PALU KORO · 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh. ... Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono

KAREBA PALU KORO

Pada 7 Maret 2019 yang lalu, Kareba Palu Koro berkesempatan mengadakan perjalanan ke Kaliburu dan Batusuya di Kecamatan Sindue Tambusabora, Kabupaten

Donggala. Kaliburu berjarak kurang lebih 60km dari kota Palu. Sedangkan Batusuya, yang juga terletak di Kabupaten Donggala, berjarak kurang lebih 75km dari kota Palu. Tujuan kami adalah untuk melihat proses pengerjaan perahu nelayan oleh pengerajin perahu disana.

Setelah perjalanan yang cukup jauh, melalui jalan yang berkelok dan disuguhi pemandangan indah Pantai Enu, tibalah kami di Kaliburu. Kami kemudian langsung menuju ke tempat pembuatan perahu milik Bahrun. Setibanya kami di sana, tampaklah 6 unit perahu kayu yang baru jadi bagian lunas dasarnya, lunas perahu adalah bagian bawah dari perahu.

"Waduh listrik mati lagi ini, hampir setiap hari seperti ini dan lama matinya," kata Bahrun menyambut kedatangan kami.

"Kalau listrik tidak sering mati bisa lebih cepat ini

pengerjaannya, satu bulan pun selesai" tambahnya. Perahu yang dibuat adalah perahu nelayan tradisional yang

dikhususkan untuk menangkap ikan rono. Perahu ini berbentuk ramping dengan panjang total sekitar 6,85 meter. Desain yang ramping dan tidak terlalu besar tersebut dimaksudkan agar perahu tersebut dapat bergerak lincah ketika digunakan para nelayan berburu ikan rono. Bahan baku yang digunakan adalah kayu tea.

“Ada dua jenis kayu tea yang biasa dan tea tambaita. Yang dipakai disini adalah tea tambaita karena bagus kualitasnya. Nanti di atas lunas ini ditambah lagi papan di bagian sisi-sisinya serta disiapkan dudukan untuk motor dan genset," terang Bahrun.

Ia sudah menjalani profesi sebagai pembuat perahu selama kurang lebih 25 tahun. Dahulu pengerjaannya masih dengan alat-alat tradisional seperti kampak kecil yang dibengkokkan bagian pegangannya untuk membuat coakan pada bagian lunas. Untuk menghaluskan digunakanlah daun ampelas.

Bahrun, seorang pengrajin perahu di Kaliburu, Kecamatan Sindue

Tambusabora, Kabupaten Donggala. Foto: Martin Dody/ERCB

PARA PENGRAJIN PERAHU: BERKEJARAN DENGAN PADAMNYA LISTRIK

04

Page 5: Maret 2019 - II edisi #10 KAREBA PALU KORO · 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh. ... Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono

KAREBA PALU KORO

"Sekarang sudah ada alat-alat seperti ini, pengerjaan jadi bisa lebih cepat," katanya. Namun lagi-lagi ia mengeluhkan seringnya pemadaman listrik di wilayahnya.

Yang menarik adalah, walaupun sudah mengadopsi penggunaan alat-alat modern, tapi ia tetap mempertahankan kearifan lokal yang sudah lama digunakan dalam pembuatan perahu. Salah satunya adalah paku yang digunakan untuk menyambung papan ke lunas.

"Tidak pakai paku besi, tapi kayu," katanya. Walaupun dari kayu tapi kekuatannya tidak diragukan lagi.

Kayu yang digunakan sebagai paku tersebut sejenis kayu hitam. Panjangnya sekitar 16cm.

"Keras kayunya, kena air pun tidak masalah. Malah kalau paku besi bisa berkarat dan kadang bikin kayu pecah," jelasnya.

Setelah cukup berbincang-bincang dengan Bahrun Kami pun melanjutkan perjalanan ke Batusuya. Lama perjalanan dari Kaliburu ke Batusuya kurang lebih 20 menit. Di sana kami menemui Hatama dan Hasan yang sedang mengerjakan 4 unit perahu. Jenis perahu yang dikerjakan pun sama yaitu perahu penangkap rono. Hanya bahan yang digunakan berbeda. Jika di Kaliburu menggunakan kayu tea tambaita, di Batusuya bahan baku yang digunakan adalah kayu kayamo. Memang kedua jenis kayu ini yang menjadi pilihan untuk membuat perahu karena kekuatannya. Dengan perawatan yang tepat, perahu-perahu rono tersebut dapat bertahan hingga 5 tahun, bahkan lebih.

Hatama sendiri sudah menekuni pekerjaan sebagai pembuat perahu yang digelutinya secara turun-temurun.

“Ini om saya,” katanya sembari menunjuk Hasan yang juga sedang mengerjakan perahu.

“Kami ini juga nelayan, jadi tidak mau sembarang menggunakan kayu dalam membuat perahu,” kata Hasan.

Sebelum menangkap rono, ia dulu lebih memilih untuk menangkap ikan tongkol dengan perahu yang lebih besar dan melaut hingga jauh ke tengah. Namun setelah melihat hasil tangkapan rono, ia pun beralih dan membuat perahu rono.

Pengerjaan perahu di Batusuya tidak jauh berbeda dengan di Kaliburu. Yang membedakan hanya bahan baku perahu dan pakunya. Di Batusuya, untuk paku perahu menggunakan kayu Ulin yang kurang lebih sama kuatnya dengan kayu hitam. Hal yang mereka keluhkan pun sama yaitu sering padamnya listrik.

“Kalau tidak ada hambatan, saya berdua (dengan Hasan) bisa menyelesaikan satu perahu dalam 5 hari,” keluhnya atas sering padamnya listrik di wilayah mereka.

Baik Bahrun di Kaliburu maupun Hatama dan Hasan di Batusuya akan melaut ketika tidak ada pesanan perahu. Selain melaut untuk mencari ikan, mereka juga menggarap ladang mereka yang ditanami kelapa, cengkeh, jagung, dan beberapa lainnya. Ketidakpastian pesanan perahu dalam sebulan membuat mereka harus memiliki mata pencaharian alternatif untuk memberi nafkah keluarga.

Kesepuluh perahu yang dikerjakan baik di Kaliburu maupun di Batusuya merupakan pesanan dari ERCB (Emergency Response Capacity Building) yang rencananya akan diserahkan kepada kelompok nelayan di Kelurahan Panau. Kontribusi dan bentuk kepedulian baik dari Bahrun di Kaliburu maupun Hatama dan Hasan di Batusuya adalah dengan memberikan harga yang lebih rendah dari biasanya.

“Kami masih beruntung karena tidak kehilangan rumah maupun perahu,” pungkas Hatama. (mdk)

Hatama (kiri) dan Hasan, pengrajin perahu di Batusuya, Kecamatan

Sindue Tambusabora, KabupatenDonggala. Foto: Martin Dody/ERCB

05

Page 6: Maret 2019 - II edisi #10 KAREBA PALU KORO · 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh. ... Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono

KAREBA PALU KORO

“Semua tahapan tersebut diharapkan mampu membantu para peserta untuk berdamai dengan diri mereka dan bangkit untuk kemudian mampu untuk membantu orang lain,” jelas Lena.

Ada dua hal yang menarik ketika mengikuti proses yang dilakukan Perdhaki. Yang pertama adalah ketika para peserta diajak untuk membandingkan keadaan mereka 1 bulan, 3 bulan, dan 5 bulan pascabencana. Dalam proses ini para peserta seolah disadarkan bahwa mereka sudah membuat suatu kemajuan dari yang sebelumnya selalu dihantui rasa takut akibat trauma hingga kemudian mampu bangkit untuk mengatasinya, bahkan ada yang berkontribusi untuk masyarakat di sekitarnya. Proses penyembuhan masing-masing individu akan berbeda tentunya.

“Dari apa yang disampaikan oleh para peserta, kita bisa melihat kemampuan untuk memulihkan diri sendiri dan juga tingkat ketangguhan dari para peserta untuk kemudian dapat bangkit menjadi lebih baik dari keadaan mereka di satu bulan pascabencana,” kata Retno.

Hal kedua yang menarik adalah, di hari kedua, para peserta kembali disadarkan bahwa mereka telah melaksanakan

kegiatan-kegiatan yang sebenarnya dapat dikemas kembali dan dilaksanakan sebagai bentuk kegiatan psikososial bagi dampingan-dampingan mereka.

“Kegiatan-kegiatan seperti pendalaman alkitab, senam bersama, maupun membuat kerajinan tangan dapat kemudian dikemas menjadi bentuk dampingan psikologis awal. Harapannya, dengan kegiatan tersebut, ketidaknyamanan yang timbul akibat bencana dan timbulnya masalah pada para penyintas dapat dicegah,” terang Lidya.

Meiting, M.Pd., M.Si., kepala sekolah SD Kristen GPID Palu ketika ditemui oleh Kareba Palu Koro menyampaikan bahwa kegiatan pembekalan seperti ini belum pernah didapatkan dan dibutuhkan.

“Kami membutuhkan cara bagaimana untuk mengatasi tidak hanya para siswa namun juga orang tua para siswa pasca bencana ini,” kata Meiting.

Trauma masih dirasakan oleh para siswa dan juga orang tua siswa, terutama di bulan-bulan awal pascabencana. Bahkan dikatakan oleh Meiting bahwa banyak orang tua yang menunggu

Berita Foto

Kegiatan...

06

Page 7: Maret 2019 - II edisi #10 KAREBA PALU KORO · 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh. ... Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono

KAREBA PALU KORO

Berita fotoWarga di Desa Tangkulowi, Kecamatan Kulawi, nampak

sedang bergotong royong memindahkan kayu yang akan

digunakan untuk membangun rumah tumbuh di wilayah

mereka. Disaat banyaknya gelombang program bantuan ke

wilayah Kulawi, masyarakat disana tetap mempertahankan

kekuatan kearifan lokal yang selama ini mereka pegang,

salah satunya gotong royong.

Gotong royong atau yang dalam bahasa daerah disebut

sintuvu telah menjadi mendarah daging dalam kehidupan

masyarakat di Sulawesi Tengah. Istilah sintuvu yang artinya

tindakan untuk saling bekerja sama dimaknai sebagai

saling menghidupi dan berkegiatan bersama, baik dalam

lingkungan keluarga maupun dalam konteks bermasyarakat.

Foto: Martin Dody/ERCB

anak-anaknya sekolah di bulan-bulan awal pascabencana tersebut.

“Kami sudah berupaya maksimal untuk mengatasinya, bahkan ada ruang-ruang kelas darurat di halaman sekolah bagi anak-anak yang masih trauma untuk belajar di dalam ruang kelas. Namun tetap saja, ketidakpuasan dari orang tua masih kami terima,” kata Meiting.

“Oleh karenanya, pembekalan seperti ini kami butuhkan, tapi waktunya mungkin bisa lebih panjang lagi,” tambahnya.

Pembekalan bagi para kader ini memang hanya dilaksanakan selama dua hari. Namun pendampingan sampai dengan para kader tersebut bisa menyusun sebuah program bagi para dampingan para kader tersebut akan terus dilakukan.

“Namun tetap, kami hanya mendampingi dan memberi masukan, tidak untuk membuatkan program bagi mereka. Karena (program) harus muncul dari para kader tersebut agar lebih tepat sasaran,” pungkas Lena. (mdk)

07

Page 8: Maret 2019 - II edisi #10 KAREBA PALU KORO · 44 unit di Kabupaten Donggala dengan konsep rumah tumbuh. ... Sekali melaut biasa dapat sebanyak lima termos nasi ikan rono

KAREBA PALU KORO

Kareba Palu Koro adalah media penyebaran informasi terkait penanganan bencana di Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Jaringan Emergency Response Capacity Building (ERCB) pada masa tanggap darurat hingga masa rehabilitasi pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Media ini didukung oleh pendanaan dari SHO dan Cordaid dan terbit dua mingguan.

Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa (ERCB Indonesia)

Redaksi: Martin Dody Kumoro

Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui [email protected] atau dialamatkan ke Jl. Karanja Lembah, Lorong BTN Polda, Samping Perum Kelapa GadingDesa Kalukubula, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulteng

REDAKSIONAL

Dengan dukungan:

Nono mencontohkan bangunan kayu yang digunakan sebagai tempat pembuatan kerangka-kerangka rumah tumbuh tersebut (fabrikasi). Tidak nampak kerusakan pada bangunan tersebut.

“Hanya seperti lompat-lompat saja karena tiang-tiang penyangganya tidak diikat pada alas (neut) tiang,” kata Nono.

“Banyaknya bangunan beton yang rusak membuat rumah tumbuh yang diberikan ini disukai warga,” kata Kepala Desa Tangkulowi, Kristison Towimba.

“Warga tetap bisa beraktivitas seperti biasa karena rumah tumbuh dibangun di bekas rumah mereka yang rusak. Sangat membantu,” tambahnya.

Desain yang diacu dalam pembangunan rumah tumbuh ini adalah rumah adat khas Kulawi yaitu Lobo. Selain sebagai tempat tinggal, rumah adat Lobo ini juga berfungsi sebagai tempat musyawarah, tempat pengadilan adat, dan upacara adat. Material kayu tetap dipertahankan karena berdasarkan kajian, pada saat kejadian bencana (28/9/2018), rumah kayu relatif lebih tahan terhadap gempa daripada rumah-rumah dengan desain modern yang menggunakan batako dan semen. Dari segi kekuatan, kaitan-kaitan pada pertemuan kayu juga mempertahankan desain lama yang terbukti kuat.

“Tentu ada penguatan kapasitas kepada tukang-tukang lokal, terutama untuk memperbaiki beberapa teknik dalam

merangkai kerangka rumah dan beberapa lainnya,” kata Agus Suranto dari LPTP sebagai koordinator tim teknis ERCB.

“Penjaminan mutu dari mutu bahan baku hingga pengerjaan pun kami pastikan, untuk menjamin kekuatan bangunan dan keselamat penghuni yang akan tinggal di dalam rumah tersebut,” kata Agus.

Kearifan lokal lain yang dipertahankan dalam penyediaan rumah tumbuh di wilayah Sigi dan Donggala ini adalah gotong royong. Selain sebagai bentuk pelibatan masyarakat dalam pemberian bantuan, juga sebagai bentuk penyadaran kepada masyarakat akan kapasitas yang mereka miliki untuk kembali bangkit. Oleh karenanya, para penerima manfaat dibagi menjadi beberapa kelompok beranggotakan 5-7 orang. Secara bergotong-royong mereka akan secara bertahap membangun hingga rumah tumbuh bagi seluruh anggota tersebut berdiri.

Ketika Kareba Palu Koro membahas kembali tentang bahan dan luasan bangunan rumah tumbuh tersebut bersama beberapa warga yang berkumpul, mereka menjawab bahwa yang diberikan sudah lebih dari cukup.

“Kami juga tidak mau terus begini dan akan terus bekerja keras perbaiki keadaan. Ketika (keadaan) sudah membaik dan ada rejeki, akan kami bikin baik lagi rumahnya,” kata mereka. (mdk)

Proses pembuatan kerangka rumah untuk digunakan pada

pembangunan Rumah Tumbuh. Foto: Martin Dody/ERCB

Rumah...

08