iv hasil dan pembahasan 4.1 keadaan umum daerah...

21
34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kota Bandung merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, terletak di antara 107º Bujur Timur (BT) dan 6,55º Lintang Selatan (LS). Secara administratif berbatasan dengan daerah lainnya, yaitu: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat (KBB) 2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung 4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Kondisi ini menjadikan Kota Bandung berada pada lokasi yang strategis yang pada akhirnya berimplikasi terhadap potensi perekonomian. Kota Bandung menjadi tempat wisata bagi warga daerah di sekitar Jabodetabek dan Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang). Banyaknya wisatawan dari luar negeri dan luar daerah yang bercampur mengakibatkan terbentuknya gaya hidup metropolitan, diantaranya perbaikan taraf hidup dan perubahan pola konsumsi yang mengarah pada protein hewani asal ternak (daging, telur, dan susu). Permintaan sapi terus bertambah seiring dengan peningkatan konsumsi daging sapi di wilayah konsumen, yakni Jabodetabek dan Bandung Raya. Dampak dari kondisi ini adalah terjadi peningkatan permintaan protein hewani asal ternak, khusunya daging sapi. Namun, disisi lain laju penyediaan daging sapi tidak mampu memenuhi permintaan tersebut. Hal itu berujung pada

Upload: truongduong

Post on 01-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

34

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

Kota Bandung merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, terletak di antara

107º Bujur Timur (BT) dan 6,55º Lintang Selatan (LS). Secara administratif

berbatasan dengan daerah lainnya, yaitu:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung, dan Kabupaten

Bandung Barat (KBB)

2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung

4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung

Kondisi ini menjadikan Kota Bandung berada pada lokasi yang strategis yang

pada akhirnya berimplikasi terhadap potensi perekonomian. Kota Bandung menjadi

tempat wisata bagi warga daerah di sekitar Jabodetabek dan Bandung Raya (Kota

Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan

Kabupaten Sumedang). Banyaknya wisatawan dari luar negeri dan luar daerah yang

bercampur mengakibatkan terbentuknya gaya hidup metropolitan, diantaranya

perbaikan taraf hidup dan perubahan pola konsumsi yang mengarah pada protein

hewani asal ternak (daging, telur, dan susu). Permintaan sapi terus bertambah seiring

dengan peningkatan konsumsi daging sapi di wilayah konsumen, yakni Jabodetabek

dan Bandung Raya. Dampak dari kondisi ini adalah terjadi peningkatan permintaan

protein hewani asal ternak, khusunya daging sapi. Namun, disisi lain laju penyediaan

daging sapi tidak mampu memenuhi permintaan tersebut. Hal itu berujung pada

35

dikeluarkannya kebijakan impor sapi bakalan dari Australia untuk memenuhi

permintaaan sapi dan daging sapi bagi konsumen.

Kebijakan Pemerintah untuk mengimpor sapi bakalan dari Australia harus

didukung oleh infrastuktur yang mendukung, seperti kandang di perusahaan feedlot

harus sesuai dengan standar Australia dan Rumah Potong Hewan (RPH) sesuai

ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Australia melalui Department of

Agriculture, Fish and Forestry Australia (DAFF). Wilayah Jawa Barat memiliki 22

RPH ESCAS (Exporter Supply Chain Assurance System) dan 9 RPH Non-ESCAS

(Tawaf, dkk, 2014). Pemerintah Kota Bandung sendiri memiliki 2 RPH ESCAS

sebagai penyedia jasa pemotongan guna memenuhi permintaan konsumen akan sapi

siap potong, yaitu RPH Ciroyom yang beralamat di Jalan Arjuna No. 45, Bandung

dan RPH Cirangrang berada di Jalan Kopo Cirangrang No. 38, Bandung. Pengelolaan

kedua RPH tersebut berada dibawah Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota

Bandung.

Jumlah pemotongan sapi di RPH Ciroyom rata-rata 60-70 ekor sapi impor per

hari, sedangkan sapi lokal sebanyak 5-10 ekor setiap minggunya. RPH Cirangrang

melakukan pemotongan rata-rata 40-50 ekor per hari dan tidak ada pemotongan sapi

lokal. Jenis sapi impor yang biasa dipotong di RPH adalah Australian Commercial

Cross (ACC) dan sapi lokal hasil Inseminasi Buatan (IB). Dalam hal penyediaan sapi

impor, pihak RPH Ciroyom bekerjasama dengan PT. Santosa Agrindo (Santori) dan

RPH Cirangrang bekerja sama dengan PT. Lembu Jantan Perkasa (LJP). Berikut data

jumlah pemotongan sapi di RPH Ciroyom dan Cirangrang selama 6 tahun terakhir

dapat dilihat pada Tabel 2.

36

Tabel 2. Jumlah Pemotongan di RPH Ciroyom dan Cirangrang Tahun 2009-2014

No RPH Tahun

2009 2010 2011 2012 2013 2014

1 Ciroyom 7,347 7,600 10,404 12,493 11,396 15,207

2 Cirangrang 16,960 16,107 15,461 5,707 8,628 10,969

Jumlah (ekor) 24,307 23,707 25,865 18,200 20,024 26,176

Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, 2015

Berdasarkan Tabel 2. jumlah pemotongan sapi yang dilakukan di RPH

Pemerintah Kota Bandung terjadi peningkatan dari tahun 2009 hingga 2011, namun

pada tahun 2012 mengalami penurunan jumlah pemotongan sebesar 7.665 ekor. Hal

itu akibat di berlakukannya penghentian ekspor sapi bakalan oleh Australia karena

terjadi pelanggaran animal welfare yang dilakukan oknum RPH di Indonesia. Selain

itu, akibat dari stop impor sapi bakalan maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

akan daging sapi terjadi pemotongan sapi lokal secara besar-besaran. Akhirnya terjadi

peningkatan jumlah pemotongan sapi dari tahun 2013 sampai 2014, jumlahnya

mencapai 26.176 ekor.

Jumlah pemotongan sapi impor di RPH cenderung konstan setiap harinya,

namun terjadi peningkatan permintaan sapi cukup banyak yaitu pada saat sebelum

Ramadhan, selama Ramadhan, sebelum Idul Fitri, dan setelah Idul Fitri. Berdasarkan

Ilustrasi 2. dapat dijelaskan bahwa jumlah pemotongan sapi impor di RPH Tanggal 1

Juni 2015 atau hari ke-1 penelitian, pemotongannnya cenderung stabil. Pada saat

menjelang Ramadhan atau biasa disebut “munggahan” yaitu hari ke-14 jumlah

pemotongan sapi impor meningkat tajam dibandingkan hari sebelumnya, kemudian

hari ke-18 jumlah permintaan sapi impor oleh pemotong mengalami penuruan drastis

karena jumlah stock daging sapi di pedagang masih ada dari sisa pemotongan hari

sebelumnya. Pemotongan normal lagi dari hari ke 20 sampai ke 40 atau seminggu

37

sebelum Idul Fitri. Puncak pemotongan atau permintaan sapi impor para pemotong

yaitu pada hari ke 44 atau tanggal 14 Juli 2015, yaitu 3 hari menjelang Idul Fitri

sebanyak 270 ekor sapi impor. Tingginya jumlah pemotongan ini dipengaruhi oleh

perilaku konsumen daging sapi, seperti penyediaan paket daging dan Idul Fitri.

Pemotongan kembali normal saat seminggu setelah Idul Fitri.

Ilustrasi 2. Grafik Jumlah Pemotongan Sapi Impor di RPH milik Pemerintah

Kota Bandung

Pemotongan dan penyediaan daging sapi tidak terlepas dari peran orang-orang

yang terlibat dalam bisnis sapi di tingkat hilir ini. Orang-orang yang terlibat di RPH

biasa dikenal dengan istilah pemotong atau jagal. Jagal sapi biasa disebut juga

sebagai konsumen sapi siap potong atau sebelum konsumen akhir yaitu Rumah

Tangga dan HOREKA (Hotel Restoran, dan Katering). Jagal membeli sapi dari

perusahaan feedlot sebagai penyedian sapi impor siap potong atau bisa juga membeli

melalui jasa bandar sapi yang berada di RPH. Pemotong sapi di RPH cukup banyak,

-

50

100

150

200

250

300

0 10 20 30 40 50 60 70

Jum

lah

Pe

mo

ton

gan

(e

kor)

Hari ke-

38

namun yang selalu memotong sapi setiap hari berjumlah 20 orang pemotong.

Responden atau pemotong sapi di RPH Ciroyom berjumlah 15 orang dan responden

di RPH Cirangrang sebanyak 5 orang, sehingga secara keseluruhan jumlah responden

dalam penelitian ini sebanyak 20 orang. Profil identitas responden atau jagal dapat

dilihat pada Lampiran 1. Adapun karakteristik atau identitas dari para responden

adalah sebagai berikut :

A. Umur Responden

Umur responden akan mempengaruhi bagaimana cara melakukan kegiatan

usaha pemotongan sapi dan transaksi jual beli daging kepada konsumen di pasar.

Umur pemotong yang masih produktif akan menunjang dalam keberhasilan usaha

yang dijalankan. Menurut Herliawati (2007), kelompok umur produktif merupakan

sumber tenaga yang produktif sehingga diharapkan mampu mengembangkan

usahanya. Umur responden bervariasi, yaitu mulai umur 36 sampai 58 tahun.

Kelompok umur produktif akan dapat bekerja dengan baik sehingga dapat

memperhitungkan keuntungan usaha yang akan diperoleh. Pada usia produktif,

pemotong akan mencoba hal-hal baru yang dapat meningkatkan pendapatan mereka

terutama saat pembelian sapi impor siap potong, karena jika salah perhitungan ketika

membeli sapi maka akan merugikan pemotong itu sendiri. Selain itu, para pemotong

juga menjual sapi yang telah disembelih ke pasar-pasar di Wilayah Kota Bandung

dan sekitarnya. Usia dari setiap responden dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Kelompok Umur Responden

Klasifikasi Umur Jumlah (orang) Persentase

15-55 Tahun 17 85%

>55 Tahun 3 15%

Jumlah 20 100%

39

Seseorang termasuk ke dalam golongan umur produktif akan memiliki

motivasi yang tinggi dalam dirinya sehingga akan berusaha untuk lebih maju dalam

segala hal yang dikerjakan untuk medapatkan hasil yang lebih baik (Adiwilaga,

1982). Umur 15-55 tahun merupakan usia produktif, sedangkan umur 1-14 tahun dan

di atas 55 tahun usia non produktif (Chandriyanti, 2000). Kelompok usia produktif

akan dapat bekerja dengan baik sehingga keuntungan usaha yang diperoleh

diharapkan maksimal. Pada golongan usia produktif biasanya seseorang lebih aktif

dalam melakukan aktivitas seperti pemilihan sapi, penjualan daging sapi, dan lain-

lain. Sejalan dengan pernyataan tersebut, jika dilihat pada Tabel 3. terlihat bahwa

sebagian besar umur responden termasuk ke dalam usia produktif yaitu sebesar 85%

atau 17 responden yang berumur antara 15 sampai 55 tahun dan 15% saja yang

termasuk usia non produktif yaitu berumur di atas 55 tahun.

Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

responden yang melakukan pemotongan sapi impor di RPH Ciroyom dan Cirangrang

termasuk ke dalam golongan usia produktif. Pemotong yang termasuk dalam

golongan usia produktif secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatkan

kegiatan usaha yang dijalankannya, yaitu dalam komoditas sapi siap potong dan

daging sapi.

B. Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan merupakan lama pendidikan yang ditempuh responden

pada bangku sekolah. Responden dengan pendidikan yang relatif tinggi akan

cenderung terbuka menerima hal-hal yang baru. Tingkat pendidikan responden yang

melakukan pemotongan sapi impor bisa dilihat pada Tabel 4.

40

Tabel 4. Persentase Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase

Sekolah Dasar - -

Sekolah Menengah Pertama 4 20 %

Sekolah Menengah Atas 16 80 %

Perguruan Tinggi - -

Jumlah 20 100%

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Bab I Pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Berdasarkan Tabel 4. responden memiliki tingkat pendidikan minimal

Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berjumlah 4 orang atau sebesar 20%.

Pendidikan yang paling tinggi yang pernah ditempuh oleh para responden adalah

setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) / STM, sebesar 80% atau sebanyak 16

orang dari keseluruhan responden. Tingkat pendidikan tersebut merupakan syarat

penunjang dalam memperlancar suatu pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan

semakin baik juga tingkat pengetahuan dan penyerapan dalam aktivitas usaha.

Tingkat pendidikan responden yang cukup tinggi, hal itu menunjukan bahwa

pada umumnya para jagal telah memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan baik

formal maupun non formal. Pendidikan dapat diperoleh melalui pendidikan non

formal seperti mengikuti kursus, aktif dalam mengikuti pelatihan dari Dinas

Peternakan atau pihak-pihak yang terkait sehingga jagal mendapatkan inovasi baru

dan informasi-informasi baik mengenai teknologi, produksi, pemasaran, dan lain-lain.

41

C. Mata Pencaharian

Mata pencaharian seluruh responden merupakan pemotong sapi atau

konsumen sapi di RPH dan dagingnya dijual di pasar-pasar tradisional di sekitar Kota

Bandung. Selain berdagang di pasar, ada beberapa responden mempunyai mata

pencaharian sampingan seperti berdagang dan membuka rumah makan di rumahnya.

Mata pencaharian responden dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Mata Pencaharian Responden

Mata Pencaharian Jumlah (orang) Keterangan

Utama (pemotong sapi) 17 -

Utama dan Sampingan 3 Warung dan Rumah Makan

Jumlah 20

Berdasarkan Tabel 5, semua mata pencaharian utama para responden sebagai

pemotong sapi, namun ada 3 orang responden yang memiliki pekerjaan sampingan

yaitu membuka tempat usaha rumah makan dan warung. Pekerjaan utama responden

adalah sebagai pemotong atau konsumen sapi siap potong saat berada di RPH.

Setelah membeli sapi dari pihak bandar atau perusahaan feedlot yang menyimpan sapi

di RPH, kemudian responden menyembelih sapi tersebut melalui jasa tukang potong

(modin) yang rata-rata berjumlah tiga orang. Selanjutnya karkas sapi dibawa ke pasar

induk (Caringin dan Gedebage) dan pasar-pasar tradisional lainnya di sekitar Kota

dan Kabupaten Bandung untuk dijual kepada masyarakat atau konsumen daging sapi,

tetapi ada juga yang dijual kembali kepada pedagang kecil disekitar pasar. Beberapa

responden memiliki pekerjaan sampingan, seperti membuka warung dan rumah

makan. Pekerjaan sampingan tersebut dikelola oleh istrinya untuk menambah

penghasilan keluarga dan mengisi waktu kosong selama istri ada di rumah.

42

D. Pengalaman Berdagang Responden

Suatu usaha akan berjalan dengan baik ditentukan oleh banyak faktor. Salah

satu faktor yang menentukan maju mundurnya usaha adalah pengalaman, yaitu

lamanya seseorang berkecimpung dalam usaha yang dilakukannya. Pengalaman

merupakan guru yang baik yang menjadi sumber pengetahuan dan merupakan suatu

cara untuk mendapatkan kebenaran (Notoatmomodjo, 2005).

Pengalaman menjadi pemotong atau jagal menunjukan lamanya seseorang

dalam usaha pada komoditas sapi. Pengalaman responden tersebut dapat

mempengaruhi keterampilan mereka dalam mengelola usaha pada daging sapi,

sehingga pemotong yang mempunyai pengalaman lebih lama, relatif akan lebih

mampu dalam mengelola usaha daging sapi dibandingkan pemotong yang memiliki

pengalaman kurang. Berikut Tabel 6, menyajikan lama pengalaman menjadi

pemotong sapi dalam satuan tahun dari masing-masing responden yang melakukan

pemotongan sapi di RPH Ciroyom dan Cirangrang.

Tabel 6. Pengalaman Berdagang Responden

Klasifikasi Pengalaman

(tahun) Jumlah (orang) Persentase

0-5 - -

6-10 2 10 %

11-15 7 35 %

16-20 5 25 %

21-25 3 15 %

26-30 3 15 %

Jumlah 20 100%

Berdasarkan Tabel 6, pengalaman berdagang dari responden atau pemotong

sapi lebih dominan antara 11 hingga 15 tahun atau 35% dari keseluruhan pengalaman

bekerja para responden. Pengalaman menjadi pemotong ada yang sudah lama, yakni

43

hampir 21-30 tahun sebanyak 3 orang atau 15% dari keseluruhan responden.

Biasanya responden yang sudah berpengalaman lama dibidang pemotongan sapi

sudah menjadi pedagang besar di pasar induk. Tingkat pengalaman yang tinggi

diharapkan akan mengembangkan usaha seseorang sebab orang tersebut akan

semakin mengetahui seluk-beluk dari usaha yang dijalankannya. Menurut Herlawati

(2007), suatu usaha akan berjalan dengan baik ditentukan oleh banyak faktor. Salah

satu faktor yang menentukan maju mundurnya usaha adalah pengalaman, yaitu

lamanya seseorang berkecimpung dalam usaha yang dilakukannya.

4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemotongan Sapi Impor di RPH

Pemerintah Kota Bandung

Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan berdasarkan analisis model yang

dibangun melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan kegiatan dalam analisis model

untuk pengujian hipotesis adalah sebagai berikut:

1. Penetapan model

2. Estimasi koefisien variabel dalam model analisis fungsi regresi berganda

4.2.1 Penetapan Model

Penetapan model bertujuan untuk melihat kemampuan (Goodness of Fit)

model persamaan yang dibangun dalam hal menjelaskan variasi variabel terikat

(dependent) terhadap variabel bebas (independent) dengan metode pendugaan yang

digunakan adalah metode OLS (Ordinary Least Square). Untuk pemberlakuan

metode tersebut, ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi yaitu: pengujian

multikolinieritas, autokorelasi, dan heterokedastis. Berikut hasil pengujian

multikolinieritas, autokorelasi, dan heterokedastis:

44

A. Pengujian Multikolinieritas

Pengujian multikolinieritas bertujuan agar variabel independen yang

digunakan tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Analisis mengenai uji

multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factors) dan nilai

tolerance, untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai yang umum dipakai

untuk menunjukkan adanya masalah multikolonieritas dalm suatu model adalah nilai

tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10 (Ghozali, 2013). Hasil pengujian

antar variabel pada Tabel 7 menyatakan bahwa model yang digunakan tidak terdapat

masalah multikolinieritas pada setiap variabel. Hal itu dapat dilihat bahwa nilai VIF

dari empat variabel tidak ada yang lebih dari 10 dan nilai tolerance lebih dari 0,1

sehingga model dikatakan baik dan tidak melanggar multikolinieritas, kemudian

dapat dilakukan analisis berikutnya.

Tabel 7. Nilai Tolerance dan VIF

Variabel Tolerance VIF

Konstanta - -

X1 0,453 2,208

X2 0,479 2,086

X3 0,280 3,566

X4 0,890 1,124

B. Pengujian Autokorelasi

Pengujian autokorelasi bertujuan untuk mengetahui adanya autokorelasi di

dalam model jumlah pemotongan sapi impor di RPH pemerintah Kota Bandung,

sehingga dilakukan uji Durbin-Watson. Nilai d yang didapat dari hasil Uji Durbin-

Watson yang didapat adalah sebesar 1,209. Menurut pendapat Sugiyono (1999), jika

besarnya nilai d (Durbin-Watson) ≥ 5 maka dapat dikatakan terjadi autokorelasi

45

dalam model, sedangkan jika besar nilai d < 5 maka tidak terdapat autokorelasi antar

kesalahan pengganggu yang satu dengan yang lainnya. Pernyataan tersebut

menerangkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model.

C. Pengujian Heterokedastis

Pengujian heterokedastis bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya

penyimpangan asumsi klasik heterokedastis yaitu adanya ketidaksamaan varian dari

residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Model regresi yang baik

adalah memilki distribusi normal atau mendekati normal. Prasyarat yang harus

terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala heterokedastis. Metode

pengujian yang digunakan adalah melihat pola grafik regresi. Pendeteksian

heteroskeditas pada model regresi jumlah pemotongan sapi impor yaitu menggunakan

metode grafik p-plot, histogram, dan grafik scatterplot yang dapat dilihat pada

Lampiran 6. Dapat dilihat pada grafik histogram membentuk gambar seperti lonceng,

persebaran titik-titik scatterplot tidak membentuk suatu pola tertentu, dan pada grafik

p-plot titik-titik menyebar mengikuti garis plot normal. Oleh karena itu, dapat

diartikan bahwa dalam model jumlah pemotongan sapi impor normal dan tidak terjadi

masalah heteroskeditas. Model regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau

tidak terjadi masalah heteroskeditas (Ghozali, 2005).

Berdasarkan ketiga pengujian di atas menunjukkan besaran model pendugaan ini

telah ditetapkan sebagai model yang dapat menggambarkan kondisi aktual. Oleh

karena itu, langkah selanjutnya adalah estimasi koefisien variabel dalam model

analisis regresi berganda non linier.

46

4.2.2 Estimasi Variabel Jumlah Pemotongan Sapi Impor di RPH Pemerintah

Kota Bandung

Fungsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda non linier

dengan empat variabel bebas. Variabel bebas yang diamati yaitu berat badan sapi

(X1), harga sapi impor (X2), harga sapi lokal (X3), dan Dummy jenis kelamin (X4).

Berdasarkan keempat variabel tersebut akan dilihat berapa besar pengaruhnya

terhadap Jumlah Pemotongan (Permintaan) Sapi Impor (Y). Pendugaan parameter

pada fungsi persamaan, data akan diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk double

logaritma (ln).

Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan, maka model penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Y = 17,063 X1-4,187

X2 8,944

X3 -7,752

X4 1,102

Model fungsi tersebut apabila dilinierkan menjadi:

Ln Y = 17,063 – 4,187 Ln X1 + 8,944 Ln X2 – 7,752 Ln X3 + 1,102 Ln X4

Keterangan:

Y : Jumlah Pemotongan Sapi Impor (ekor)

X1 : Berat Badan Sapi (Kg/ekor)

X2 : Harga Sapi Impor (Rp/ Kg Berat Hidup)

X3 : Harga Sapi Lokal (Rp/ Kg Berat Hidup)

X4 : Dummy Jenis Kelamin

Kode Jantan : 1 Betina: 0

Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan SPSS 21.0 maka diperoleh

hasil pendugaan fungsi seperti pada Tabel 8. Pada tabel nilai koefisien determinasi

(R2) sebesar 0,564. Artinya variabel bebas yang digunakan dalam model berpengaruh

sebesar 56,4 % terhadap variabel terikat, sedangkan sisanya yaitu 43,6 %

dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model.

47

Tabel 8. Hasil Pendugaan Fungsi Regresi

Variabel Koefisien

Regresi

T hitung R2

Tolerance VIF Fhit Ttab

Konstanta 17,063 0,626 0,564 - - 16,806 1,672

X1 - 4,187 - 3,418 0,453 2,208

X2 8,944 3,282 0,479 2,086

X3 - 7,752 - 3,873 0,280 3,566

X4 1,102 5,522 0,890 1,124

Tabel 8. memperlihatkan bahwa nilai F hitung diperoleh sebesar 16,806,

kemudian nilai F hitung dibandingkan dengan F tabel, nilai F tabel yang diperoleh

dari tabel F untuk probabilitas 0,05 yaitu 2,77. Hal ini menunjukan bahwa F hitung >

F tabel yang berarti H0 di tolak sehingga variabel-variabel bebas yang digunakan

dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya.

Variabel berat badan sapi impor, harga sapi impor, harga sapi lokal, dan jenis kelamin

mempengaruhi secara bersama-sama (simultan) terhadap jumlah pemotongan sapi

impor di RPH Kota Bandung.

Pengujian satistik Uji-t menunjukan nilai Ttab pada model adalah sebesar

1,672. Hasil uji-t untuk berat badan sapi menunjukan, bahwa secara parsial berat

badan sapi (Thit - 3,418 < Ttab 1,672) tidak berpengaruh nyata terhadap pemotongan

sapi impor. Hasil uji-t untuk harga sapi impor, bahwa harga sapi impor secara parsial

berpengaruh nyata terhadap permintaan atau pemotongan sapi di RPH (Thit 3,282 >

Ttab 1,672). Hasil uji-t untuk harga sapi lokal menunjukan bahwa sapi lokal secara

parsial tidak berpengaruh nyata terhadap pemotongan sapi impor (Thit - 3,873 < Ttab

1,672). Hasil uji-t untuk dummy jenis kelamin sapi, bahwa jenis kelamin (Thit 5,522 >

Ttab 1,672) secara parsial berpengaruh nyata terhadap jumlah pemotongan sapi impor

yang dilakukan di RPH Pemerintah Kota Bandung.

48

Adapun estimasi koefisien variabel yang mempengaruhi jumlah pemotongan sapi

impor adalah sebagai berikut:

1. Berat Badan Sapi (X1)

Berat badan sapi memiliki koefisien regresi sebesar -4,187 artinya dalam

setiap kenaikan X1 atau berat badan sapi sebesar satu persen, maka akan

mengakibatkan penurunan jumlah pemotongan sebesar 4,187 persen. Berat badan

sapi berpengaruh negatif terhadap jumlah pemotongan sapi impor yang dilakukan

para jagal di RPH. Semakin berat bobot sapi maka akan semakin mahal juga biaya

yang harus dikeluarkan oleh konsumen atau jagal. Berdasarkan uji t (α= 0,05), berat

badan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah pemotongan sapi. Para jagal lebih

mementingkan faktor lain dibanding dengan bobot sapi dalam melakukan

pemotongan sapi di RPH Pemerintah Kota Bandung.

Berat badan sapi akan mempengaruhi tingkat daya beli konsumen atau

pemotong. Rata-rata bobot sapi yang dibeli oleh para pemotong berada dikisaran 400-

450 kg per ekor karena jika dikalkulasikan menjadi harga per ekor, nilai tersebut

cukup terjangkau bagi para pemotong. Selain itu, jika responden membeli sapi

dengan bobot diatas 500 kg, biasanya para pemotong mengalami kerugian, yaitu

harga sapi menjadi mahal dan karkas sapi yang didapatkan lebih banyak lemak

dibanding dagingnya. Kurva bobot badan sapi yang sering dipotong di RPH dapat

dilihat pada Ilustrasi 3.

Bobot badan sapi berhubungan langsung dengan harga sapi karena harga sapi

per ekor didapat dari berat badan sapi dikali harga per kg bobot hidup sapi, sehingga

besar kecilnya berat badan sapi berimplikasi terhadap tinggi rendahnya harga sapi per

ekor dan permintaan sapi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sukirno (2002)

49

bahwa semakin tinggi harga suatu barang maka akan menurunkan permintaan barang

tersebut, sebaliknya semakin rendah harga suatu barang maka akan meningkatkan

permintaan akan barang tersebut.

Ilustrasi 3. Grafik Bobot Badan Sapi yang dipotong di RPH Kota Bandung

2. Harga Sapi Impor (X2)

Harga sapi impor memiliki koefisien regresi sebesar 8,944. Harga sapi impor

berpengaruh positif terhadap jumlah pemotongan sapi impor sesuai dengan hipotesis

awal. Berdasarkan uji t, harga sapi impor berpengaruh nyata terhadap jumlah

pemotongan sapi impor (thit 8,944 > 1,672). Kegiatan pemotongan sapi di RPH di

dominasi oleh sapi impor dibandingkan sapi lokal, dengan perbandingan 98,4% sapi

impor dan 5,2% sapi lokal (Disnak Kota Bandung, 2015). Hal itu bisa

mengindikasikan bahwa sapi impor merupakan barang pengganti (subtitusi) dari sapi

lokal yang harganya semakin mahal. Pemotongan sapi di RPH Kota Bandung lebih

350

400

450

500

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61

Bo

bo

t B

adan

Sap

i

Hari Ke-

50

banyak sapi impor karena dari sisi harga cukup terjangkau dan konsumen bisa

memperoleh keuntungan dari hasil penjualan dagingnya yang relatif banyak. Harga

sapi impor yang lebih rendah dibanding sapi lokal mengakibatkan permintaannya

meningkat terus setiap waktu. Hal itu sesuai dengan hukum permintaan yang

diungkapkan Sukirno (2002) bahwa semakin rendah harga suatu barang maka akan

meningkatkan permintaan barang tersebut, sebaliknya semakin tinggi harga barang

akan menurunkan permintaan akan barang tersebut. Sehingga apabila terjadi

peningkatan harga sapi lokal maka akan berpengaruh signifikan terhadap

meningkatnya permintaan sapi impor di RPH.

Ilustrasi 4. Grafik Harga Sapi Impor di RPH Pemerintah Kota Bandung.

Pada waktu tertentu, dalam hal ini pada saat bulan Ramadhan dan menjelang

hari raya (Idul Fitri), permintaan sapi mengalami peningkatan cukup tinggi sehingga

mengakibatkan harga daging sapi di pasar semakin mahal. Fenomena naiknya

permintaan saat bulan tersebut merupakan kenaikan reguler setiap tahunnya dan tidak

akan menurun lagi pada bulan-bulan setelah Idul Fitri. Berdasarkan Ilustrasi 4, Harga

terendah sapi impor berada pada harga Rp 38.400 atau hari ke-19 beberapa hari

38,000

39,000

40,000

41,000

42,000

43,000

44,000

45,000

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61

Rp

/ k

g B

B H

idu

p

Hari

51

setelah “munggahan”, sedangkan harga tertinggi sapi hari ke-59 sebesar Rp 43.800

harga sapi tersebut tidak mengalami penurunan yang signifikan setelah Idul Fitri.

Hal itu sesuai dengan penyataan Ilham (2001), seandainya harga sapi siap

potong menurun setelah hari raya Idul Fitri, harga sapi tidak akan sama atau lebih

rendah dari harga sebelum Idul Fitri. Hal itu juga terjadi di RPH Pemerintah Kota

Bandung, yaitu adanya peningkatan harga dari sebelum Ramadhan hingga setelah

hari raya atau Idul Fitri. Harga sapi kembali menurun beberapa minggu setelah Idul

Fitri, namun turunnya harga sapi potong tidak terlalu signifikan sehingga

berimplikasi juga terhadap harga daging yang dibeli konsumen akhir menjadi mahal.

3. Harga Sapi Lokal (X3)

Harga sapi lokal memiliki koefisien regresi sebesar -7,752 artinya dalam

setiap kenaikan X3 atau harga sapi lokal sebesar satu persen, maka akan

mengakibatkan penurunan jumlah pemotongan sebesar 7,752 persen. Harga sapi

lokal berpengaruh negatif terhadap jumlah pemotongan sapi impor di RPH

Pemerintah Kota Bandung. Hal itu menunjukan bahwa semakin mahal harga sapi

lokal (Rp/Kg Bobot Hidup) maka permintaan jagal terhadap sapi lokal akan semakin

menurun karena biaya yang dikeluarkan dalam pembelian sapi lebih besar

dibandingkan keuntungan yang didapatkan para jagal. Berdasarkan fakta di lapangan,

jika harga sapi lokal naik maka permintaan akan turun karena ada subtitusi dari sapi

lokal, yakni sapi impor yang harganya lebih murah. Akhirnya, jumlah pemotongan

sapi yang terjadi di RPH Pemerintah Kota Bandung lebih banyak sapi Impor

dibandingkan sapi lokal. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Sukirno

(2002), bahwa jika barang pengganti (subtitusi) bertambah murah, maka barang yang

digantikannya akan mengalami pengurangan permintaan.

52

Berdasarkan Ilustrasi 5. dapat dilihat bahwa harga sapi lokal siap potong di

RPH Pemerintah Kota Bandung saat bulan Juni atau sebelum “munggahan” berkisar

antara Rp. 39.000 sampai Rp. 40.000 kemudian pada dua hari menjelang Ramadhan

meningkat lagi menjadi Rp. 42.000 harga tetap cenderung stabil hingga beberapa hari

selanjutnya. Menjelang idul fitri harga sapi lokal naik lagi menjadi Rp. 46.000 hal ini

mengakibatkan harga daging di tingkat pasar melonjak tajam hingga Rp. 130.000.

Harga sapi lokal yang tak kunjung turun dan tetap lebih mahal dari sapi impor

mengakibatkan permintaannya semakin menurun terus menerus dan para pemotong

sekarang lebih banyak membeli sapi impor karena harganya lebih murah.

Ilustrasi 5. Grafik Harga Sapi Lokal di RPH Pemerintah Kota Bandung.

4. Jenis Kelamin (X4)

Jenis kelamin sapi memiliki koefisien regresi sebesar 1,102 hal ini

menunjukan bahwa setiap kenaikan X4 sebesar satu persen, maka jumlah pemotongan

sapi akan bertambah sebesar 0,013 persen. Dumi jenis kelamin berpengaruh positif

38,000

39,000

40,000

41,000

42,000

43,000

44,000

45,000

46,000

47,000

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61

Har

ga

Hari

53

terhadap jumlah pemotongan sapi impor di RPH yang dilakukan para jagal. Hal itu

sesuai dengan kenyataan pada saat penelitian di lapangan, yakni pada hari-hari biasa

pemotongan sapi impor di RPH lebih banyak sapi berjenis kelamin jantan atau Steer

dibandingkan betina (Heifer dan Cows) karena kualitas dari daging sapi jantan lebih

bagus dibandingkan sapi betina, seratnya bagus, dan tidak terlalu basah. Namun,

pemotongan sapi saat menjelang Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri

kondisi pemotongan sapi di RPH tidak seperti biasanya, yakni lebih banyak sapi jenis

kelamin betina yang dipotong untuk pasokan ke pasar. Pada saat menjelang

Ramadhan dan Idul Fitri permintaan daging sapi oleh kosumen akhir cukup tinggi,

maka para pemotong lebih memilih sapi betina karena harganya lebih murah dari sapi

jantan hal itu dilakukan untuk menutupi biaya tinggi yang harus dikeluarkan bila

membeli steer dan mengalihkan biaya untuk upah para pekerja tambahan saat

menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Selain itu, keuntungan dari memotong sapi

betina ialah para pemotong mendapatkan bonus dari jeroan sapi yang lebih banyak

dibandingkan sapi jantan atau steer. Sehingga pengaruh jenis kelamin berpengaruh

signifikan untuk setiap hari pemotongan selama bulan Juni dan Juli, pemilihan jenis

kelamin bisa dikatakan sebagai selera para pemotong sapi yakni pada saat menjelang

Ramadhan dan menjelang Idul Fitri agar keuntungan mereka dapat bertambah.

Faktor yang paling berpengaruh terhadap pemotongan sapi impor di RPH

Pemerintah Kota Bandung adalah harga sapi impor. Hal itu dapat dibuktikan dengan

nilai terbesar pada Standardized Coefficients Beta dari setiap variabel. Nilai koefisien

beta harga sapi impor sebesar 0,434. Nilai Standar koefisien beta dapat

memperlihatkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hal itu

54

sesuai dengan pernyataan Gujarati (2003) bahwa standar koefisien beta adalah

variabel-variabel yang datanya telah di stadardisasi dengan standar deviasi masing-

masing variabel, sehingga dapat membandingkan secara langsung antar variabel

independen dalam pengaruhnya terhadap variabel dependen. Jadi, variabel harga sapi

impor merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pemotongan sapi impor di

RPH Pemerintah Kota Bandung