ispa

26
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering terjadi pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Infeksi telinga, Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini, kasus ISPA adalah kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12 tahun. Kasus ISPA di negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di negara maju. Perbedaan ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko. Dinegara maju, ISPA di dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang ISPA sering disebabkan oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza. Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita (WHO, 2008). Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai ”pembunuh utama”. Kasus ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana kesehatan yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan

Upload: chimotona

Post on 12-Aug-2015

102 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ispa

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita

di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering

terjadi pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),

Infeksi telinga, Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini,

kasus ISPA adalah kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari

seluruh penyakit pada anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12

tahun. Kasus ISPA di negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di

negara maju. Perbedaan ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko.

Dinegara maju, ISPA di dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang

ISPA sering disebabkan oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza.

Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan

bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita (WHO, 2008).

Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai ”pembunuh utama”. Kasus

ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana

kesehatan yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-

30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit.

Diperkirakan kematian akibat ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus

diantara 1000 balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan 150.000 balita

meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus perhari,

atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5 menit (Depkes, 2004).

Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai

derajat ISPA yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi telah

mencapai paru-paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau

pneumonia. Sebagian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan (ISPA

ringan) yang diabaikan. Sering kali penyakit dimulai dengan batuk pilek biasa,

tetapi karena daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat

menjalar ke paru-paru. Jika penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak

tidak mendapat pengobatan serta perawatan yang tepat, anak dapat meninggal.

Page 2: Ispa

2

Perawatan yang dimaksud adalah perawatan dalam pengaturan pola makan

balita, menciptakan lingkungan yang nyaman sehingga tidak mengganggu

kesehatan, menghindari faktor pencetus seperti asap dan debu serta menjaga

kebersihan diri balita. (Depkes, 2004).

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan Laporan Pendahuluan ini agar kita

sebagai mahasiswa keperawatan mengetahui tentang ISPA dan cara

penanganan pada klien dengan masalah system pernafasan “ISPA”.

1.3 Manfaat

Laporan Pendahuluan ini bermanfaat sebagai panduan atau pedoman

bagi mahasiswa keperawatan untuk melakukan penulisan Asuhan

Keperawatan secara baik dan benar tanpa mengalami kesulitan terutama pada

klien dengan masalah system pernafasan “ISPA”.

Page 3: Ispa

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute

Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu

infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut:

Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari

diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit

yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari

14 hari.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran

pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan

berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau

infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada

patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (Apriyaningsih,

2008).

ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang

disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia.

Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai

beberapa hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri

tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas (WHO,

2008).

2.2 Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Depkes (2004) menyatakan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh

berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya.

ISPA bagian atas umumya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian

Page 4: Ispa

4

bawah dapat disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis

yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus,

Stapilococcus, Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan

corynobacterium. Virus penyebab ISPA antara lain golongan Paramykovirus

(termasuk di dalamnya virus Influenza, virus Parainfluenza dan virus

campak), Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.

Di negara-negara berkembang umunya kuman penyebab ISPA adalah

Streptocococcus pneumonia dan Haemopylus influenza.

2.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut

2.3.1 Berdasarkan lokasi anatomik

Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya,

yaitu: ISPA atas (ISPaA) dan ISPA bawah (ISPbA). Contoh ISPA atas

adalah batuk pilek (Common cold), Pharingitis, Otitis, Flusalesma,

Sinusitis, dan lain-lain. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan

Pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan

kematian (WHO, 2008).

2.3.2 Berdasarkan golongan Umur

Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA

sebagai berikut:

1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding

dada kedalam (chest indrawing).

2. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa

disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas

cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan

pneumonia (Depkes, 2004).

berdasarkan golongan umur, ISPA dapat diklasifikasikan atas 2

bagian, yaitu sebagai berikut:

1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: Pneumonia berat

dan bukan Pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya

nafas cepat, yaitu pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih,

Page 5: Ispa

5

atau adanya tarikan dinding dada yang kuat pada dinding dada

bagian bawah ke dalam ( severe chest indrawing), sedangkan bukan

pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah

dan tidak ada nafas cepat (WHO,2008).

2. Kelompok umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun dibagi atas:

pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia

berat, bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada

bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas. Pneumonia

didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai

adanya nafas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali permenit atau lebih.

Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan terikan dinding dada bagian

bawah dan tidak ada nafas cepat (WHO, 2008).

2.4 Patofisiologi ISPA

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus

dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan

menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke

atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks

spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan

epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan.

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk

kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan

kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran

nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal.

Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk.

Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi

sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme

mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran

pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri

patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus

pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa

yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus

Page 6: Ispa

6

bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak

nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini

dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi.

Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan

infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada

bayi dan anak.

Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-

tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam,

dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder

bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang

biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya

infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia

bakteri.

Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan

aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di

saluran nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan

sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri

dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system

imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan

pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui

pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan

integritas mukosa saluran nafas.

Page 7: Ispa

7

2.5 Pathway ISPA atas (ISPaA)

Menempel pada

Hidung; Sinus Faring Laring Rinitis;

sinusitis Faringitis Laringitis

Menginvasi sel Sel korban mengirimkan sinyal

* aktivasi sistem imun

Melepaskan mediator inflamasi

Mengeluarkan IL-1, IL-6

Respon pertahanan sel

hipotalamus ↑ set point

demam

Vasodilatasi area yang terinfeksi

Rubor, kalor

↑ produksi mukus

Kongesti hidung

Kesulitan saat bernapas

MK: Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Edema mukosaBlokade

ostium sinus

Retensi mukus

Rasa penuh dan kongesti

Nyeri

malaise

anoreksia

MK: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

↓ intake nutrisiNyeri saat

menelan (disfagia)

* aktivasi sistem imun

Obstruksi yang parah

Edema plika vokalis

Suara serak

Penyempitan jalan napas

Pengeluaran CO2

tak adekuat

Asidosis respiratori

Berusaha keras menarik udara

Stridor saat inspirasi

Retraksi suprasternal

Virus Bakteri jamur

terhirup

MK: Ketidakefektifan pola nafas

Page 8: Ispa

8

2.6 Tanda dan Gejala klinis ISPA

ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan

atau lebih saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga

tengah dan pleura. Secara umum gejala dan tanda-tanda ISPA adalah terjadi

demam, batuk, pilek dan disertai nafas cepat ataupun tarikan dinding dada ke

bagian bawah dalam. penyakit paru atau saluran nafas dengan gejala umum

maupun gejala pernafasan antara lain batuk, sputum berlebihan, hemoptisis,

dispnea dan dada nyeri.

Pertama, batuk merupakan gejala paling umum akibat penyakit

pernafasan. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan

mekanik dan kimia. Inhalasi debu, asap dan benda-benda asing berukuran

kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering.

Kedua sputum, orang dewasa normal membentuk sputum sekitar 100

ml per hari dalam saluran pernafasan, sedangkan dalam keadaan gangguan

saluran pernafasan sputum dihasilkan melebihi 100 ml per hari.

Ketiga, Hemoptisis, yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan

batuk darah atau sputum berdarah.

Keempat, dispnea atau sesak nafas yaitu perasaan sulit bernafas dan

nyeri dada.

2.7 Faktor Resiko ISPA

Menurut Depkes (2004) faktor resiko terjadinya ISPA terbagi atas dua

kelompok yaitu:

1. Faktor internal merupakan suatu keadaan didalam diri penderita (balita)

yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit (agent) ISPA

yang meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, status ASI, dan status

imunisasi.

2. Faktor eksternal merupakan suatu keadaan yang berada diluar diri

penderita (balita) berupa lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi

yang memudahkan penderita untuk terpapar bibit penyakit (agent)

meliputi: polusi asap rokok, polusi asap dapur, kepadatan tempat tinggal,

keadaan geografis, ventilasi dan pencahayaan.

Page 9: Ispa

9

2.8 Penatalaksanaan

Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk

standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi

penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi

penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan

kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman

sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA.

Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :

1. Upaya pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

a. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.

b. Immunisasi.

c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

2. Perawatan

Prinsip perawatan ISPA antara lain :

a. Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari

b. Meningkatkan makanan bergizi

c. Bila demam beri kompres dan banyak minum

d. Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan

sapu tangan yang bersih

e. Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak

terlalu ketat.

f. Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak

tersebut masih menetek

Page 10: Ispa

10

BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM

PERNAFASAN PADA KASUS ISPA

3.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan

suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber

data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien

(Nursalam, 2001)

1. Data subyektif

Data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu

situasi dan kejadian (Nursalam, 2001)

2. Data objektif

Data yang dapat diobservasi dan diukur (Nursalam, 2001)

3.1.1 Pengumpulan data

Merupakan upaya untuk mendapatkan data sebagai informasi

tentatang pasien. Data yang dibutuhkan tersebut mencakup data tentang

biopsikososial dan spiritual atau data yang berhubungan dengan

masalah pasien serta data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

masalah pasien (Hidayat, A.A, 2006)

1. Identitas pasien meliputi nama pasien, tempat dan tanggal lahir,

suku/bangsa, status perkawinan, agama, pendidikan, tanggal dan

waktu datang ke Rumah sakit (Hidayat, A.A, 2006)

2. Identitas penanggung jawab: nama, umur jenis kelamin, alamat,

pekerjaan, hubungan dengan klien.

Page 11: Ispa

11

3.1.2 Riwayat keperawatan

1. Riwayat keperawatan sekarang

Riwayat keperawatan sekarang adalah faktor-faktor yang

melatarbelakangi atau hal-hal mempengaruhi atau mendahului

keluhan.

2. Keluhan utama

Keluhan utama, apa yang menyebabkan pasien berobat.

3. Lama keluhan

Lama keluhan, seberapa lama pasien merasakan keluhan.

4. Riwayat penyakit saat ini

Riwayat penyakit saat ini, merupakan penyakit yang

dirasakan pasien pada saat dikaji (Hidayat, A.A, 2006).

5. Riwayat keperawatan sebelumnya

Riwayat keperawatan sebelumnya adalah riwayat atau

pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit yang

pernah di alami (Hidayat, A.A, 2006).

6. Riwayat keperawatan keluarga

Riwayat keperawatan keluarga adalah riwayat kesehatan

atau keperawatan yang dimiliki oleh salah satu anggota

keluarga, apakah ada yang menderita penyakit yang seperti

dialami pasien (Hidayat, A.A, 2006).

7. Riwayat lingkungan

Apakah keadaan lingkungan keluarga / klien sudah

memenuhi syarat kesehatan.

3.1.3 Pola-pola fungsi kesehatan (Doegoes, 2000)

1. Aktivitas /Istirahat

2. Integritas Ego

3. Makanan/Cairan

Page 12: Ispa

12

4. Nyaman/nyeri

5. Pernapasan

6. Kemanan/Keselamatan

7. Interaksi Sosial

3.2 Diagnosa yang mungkin muncul (Nanda, 2012)

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu

atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi

dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan

menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah (Nursalam, 2001).

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas

2. Ketidakefektifan pola nafas

3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan

3.3 Intervensi (Nic Noc, 2006)

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas

a. Tujuan

Jalan nafas efektif, ditandai dengan

b. Kriteria Hasil

1) Stutus jalan napas baik ditandai dengan hasil GDA ( - ).

2) Ventilasi adekuat.

3) Klien tampak rileks.

4) CRT ≤ 2 detik.

5) Tidak ada sianosis.

6) Klien bernapas dengan rileks (tidak ada dispnea).

7) Temuan sinar-x dada pada rentang yang diharapkan.

8) Klien mengeluarkan sekresi secara efektif.

9) Klien mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di

Rumah.

Page 13: Ispa

13

c. Rencana Keperawatan

1) Kaji kondisi umum klien.

R/ untuk mengetahui efek penyakit terhadap bodi sistem.

2) Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman

dan penggunaan otot aksesori.

R/ Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.

3) Ajarkan klien tehnik napas dalam dan batuk efektif.

R/ Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan

gerakan ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.

4) Ajarkan kepada klien dan keluarga tentang pentingnya perubahan pada

sputum, seperti warna, karakter, jumlah dan bau.

R/ Sangat penting untuk memantau prognosis penyakit klien, sehingga

informasi dari klien dapat mempercepat pemberi asuhan keperawatan

untuk bertindak.

5) Pantau kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif dan

catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.

R/ Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau

cerah diakibatkan kerusakan (kavitasi) atau lukaan bronchial.

6) Atur posisi semi fowler dan anjurkan klien untuk menggunakan posisi

semi fowler jika merasa tidak nyaman.

R/ Memaksimalkan ekspansi paru.

7) Kolaborasi pemberian suction (oral, dan atau trakeal).

R/ Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat diperlukan

apabila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.

8) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra

indikasi.

R/ Pengeluaran dahak, batuk dan ketidak adekuatan asupan cairan

akan beresioko pada dehidrasi.

9) Kolaborasi dengan ahli lab. Untuk pemantauan GDA.

R/ Untuk mengetahui efek terapi dan keadekuatan pemenuhan gas.

Page 14: Ispa

14

2. Ketidakefektifan pola nafas

a. Tujuan

Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal

b. Kriteria hasil

Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada

pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan,

bunyi nafas terdengar jelas.

c. Rencana tindakan

1) Identifikasi faktor penyebab.

R/ Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan

jenis effusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.

2) Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan

setiap perubahan yang terjadi.

R/ Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman

pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi

pasien.

3) Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk,

dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.

R/ Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga

ekspansi paru bisa maksimal.

4) Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan

respon pasien).

R/ Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya

penurunan fungsi paru.

5) Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.

R/ Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian

paru-paru.

6) Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang

efektif.

R/ Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam.

Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih

efektif.

Page 15: Ispa

15

7) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-

obatan serta foto thorax.

R/ Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan

mencegah terjadinya sianosis akibat hipoxia. Dengan foto thorax

dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan

kembalinya daya kembang paru.

3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan

a. Tujuan

Kebutuhan nutrisi terpenuhi, ditandai dengan

b. Kriteria hasil

1) Berat badan klien bertahan/bertambah dari keadaan sebelumya

2) Klien menyatakan keinginan mengikuti diet.

3) Klien menunjukkan toleransi terhadap diet yang dinajurkan

4) Nilai laboratoorium (misalnya: transferin, albumin, dan elektrolit)

dalam rentang normal.

5) Klien tampak segar dan tidak lemas.

c. Rencana keperawatan

1) Kaji status nutrisi

R/ Mengetahui kondisi pasti status nutrisi

2) Kaji/catat pola dan pemasukan diet

R/ Kebiasaan makan klien sangat perlu untuk diketahui dalam

rangka penyesuaian dalam pemberian diet.

3) Motivasi klien untuk mengubah kebiasaan makan

R/ Dengan motivasi, diharapkan klien terpacu untuk

meningkatkan asupan makannya.

4) Berikan makanan sedikit tapi sering

R/ Sebagai antisipasi mual muntah yang dialami klien.

5) Berikan makanan dalam kondisi hangat

R/ Makanan yang hangat meningkatkan nadsu makan melalui

rangsangan indra penciuman dan pengecapan.

Page 16: Ispa

16

6) Berikan makanan sesuai kesukaan, kecuali jika kontra indikasi.

R/ Membantu meningkatkan asupan makanan.

7) Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut.

R/ Kebersihan mulut akan meningkatkan kenyamanan dan

mengguggah naffsu makan.

8) Timbang berat berat badan klien setiap hari.

R/ Sebagai monitor perkembangan status nutrisi dan efek terapi

yang telah diberikan.

9) Kolaborasi pemberian jenis diet dengan team gizi

R/ Masing-masing kondisi penyakit mempunnyai jenis

kebutuhan akan nutrisi yang berbeda-beda.

10) Kolaborasi pemberian terapi tambahan nutrici dan cairan

R/ Meningkatkan asupan kebutuhan cairan.

11) Kolaborasi pemantauan hasil biokimia status gizi dengan team

laboratorium

R/ Mengetahui perkembangan kebutuha gizi dari segi biokimia.

12) Kolaborasi pemberikan obat sesuai indikasi : sediaan besi;

Kalsium; Vitamin D dan B kompleks; Antiemetik

R/ Penanganan penyebab gangguan nutrisi bermanfaat untuk

mengatasi/membatasi masalah yang muncul akibat kekurangan

asupan nutrisi.

3.4 Implementasi

Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai

tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001).

3.5 Evaluasi

Hal hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan

berfokus pada criteria hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan

pedoman pembuatan SOAP, atau SOAPIE pada masalah yang tidak

terselesaikan atau teratasi sebagian.

Page 17: Ispa

17

DAFTAR PUSTAKA

Apriyaningsih. (2008). Indicator perbaikan kesehatan lingkungan anak. EGC: Jakarta.

Depkes RI. (2004). Etiologi ISPA dan Pneumonia. Direktorat bina kesehatan anak kemenkes RI : Jakarta

Doenges, Marilyn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.

Herdman, TH. (2012). NANDA International Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta.

Hidayat, A.A. (2006). Kebutuhan dasar manusia 1. salemba medika: Jakarta

Nursalam. (2001). Proses & dokumentasi keperawatan. salemba medika: Jakarta

Santosa, Budi. (2005). Panduan Dignosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Prima Medika : Jakarta.

WHO (2008). Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan. WHO : Jenewa

Wilkinson, judith M. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta