islamia.pdf

12
Pancasila, Tauhid, dan Syariat Kamis, 19 Juni 2014, 12:00 WIB Banyak kaum Muslim me man dang bahwa hilang nya "tujuh kata" dari sila pertama naskah Piagam Jakarta—dan digantikan dengan rumusan "Ketu hanan Yang Maha Esa"—adalah sebuah kekalahan perjuangan Islam di Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan IJ Satyabudi, seorang penulis Kristen. Dalam bukunya yang berjudul Kontroversi Nama Allah (1994), ia justru mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila pertama tersebut. Satyabudi menulis: "Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kali mat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu iden tik dengan ‘Ketuhanan Yang Satu!’ Kata ‘maha esa’ itu memang harus ber arti ‘satu’. Oleh sebab itu, tidak ada pe luang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapakbapak Kristen dan Hindu ketika me nyusun sila pertama ini." Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul Awal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan: (1) Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Re publik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat 1 Undang- Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian ke imanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan ma nusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (3) Penerimaan dan pe nga malan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar KH A Mustofa Bisri berjudul "Pancasila Kembali" untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakar ta: LP3ES, 2009). Makna tauhid pada dari sila Ketu hanan Yang Maha Esa juga ditegaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul "Hubungan Agama dan Pancasila" yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, KH Achmad Siddiq menya takan: "Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa." Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: "Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara preambul dengan materi undangundang." (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm 224). Asas berbangsa Jika ditelaah secara cermat dan ju jur, berdasarkan proses penyusunan Pancasila itu sendiri

Upload: alee-masaid

Post on 26-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Islamia.pdf

Pancasila, Tauhid, dan Syariat Kamis, 19 Juni 2014, 12:00 WIB

Banyak kaum Muslim me man dang bahwa hilang nya "tujuh kata" dari sila pertama naskah Piagam Jakarta—dan digantikan dengan rumusan "Ketu hanan Yang Maha Esa"—adalah sebuah kekalahan perjuangan Islam di Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan IJ Satyabudi, seorang penulis Kristen. Dalam bukunya yang berjudul Kontroversi Nama Allah (1994), ia justru mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila pertama tersebut. Satyabudi menulis: "Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kali mat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu iden tik dengan ‘Ketuhanan Yang Satu!’ Kata ‘maha esa’ itu memang harus ber arti ‘satu’. Oleh sebab itu, tidak ada pe luang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapakbapak Kristen dan Hindu ketika me nyusun sila pertama ini." Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul Awal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan: (1) Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Re publik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian ke imanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan ma nusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (3) Penerimaan dan pe nga malan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar KH A Mustofa Bisri berjudul "Pancasila Kembali" untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakar ta: LP3ES, 2009). Makna tauhid pada dari sila Ketu hanan Yang Maha Esa juga ditegaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul "Hubungan Agama dan Pancasila" yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, KH Achmad Siddiq menya takan: "Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa." Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: "Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara preambul dengan materi undangundang." (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm 224). Asas berbangsa Jika ditelaah secara cermat dan ju jur, berdasarkan proses penyusunan Pancasila itu sendiri

Page 2: Islamia.pdf

sebenarnya lebih masuk akal jika pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa lebih merujuk kepada konsep ketuhanan dalam Islam, yaitu konsep tauhid. Sebab, rumusan "Ketu hanan Yang Maha Esa" itu memang datang dari para tokoh Islam, seperti KH Wachid Hasyim (NU), Kasman Si ngo dimedjo, Ki Bagus Hadikusumo (Mu hammadiyah), dan sebagainya. Rumusan itu juga muncul sebagai kompensasi dari dihapuskannya tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam sidang penetapan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Pancasila yang resmi berlaku saat ini adalah rumusan Pancasila hasil sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang ke mudian diperkuat lagi dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam sejarah Indonesia, ada lima jenis rumusan Pan casila yang pernah diterapkan secara resmi. Pertama, rumusan Piagam Ja kar ta (yang sila pertamanya berbunyi: Ke tuhanan, dengan kewajiban menja lankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya). Kedua, rumusan pembukaan UUD 1945 (yang sila pertama berbunyi: Ke tuhanan Yang Maha Esa). Ketiga, rumusan versi Konstitusi Repub lik Indonesia Serikat (RIS), yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Perikemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial. Rumusan ini berlaku 27 Desember 1949. Keempat, rumusan UUDS 1950 yang isinya sama dengan rumusan UUD RIS. Dan kelima, rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya sama dengan rumusan 18 Agustus 1945, tetapi ada penegasan bahwa, "Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut." Prof Muhammad Yamin, seorang perumus Lima Asas Negara di samping Soekarno yang juga penandatangan Piagam Jakarta, dalam bukunya, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, menyatakan: "Ajaran filsafat Pancasila seperti berturut-turut diuraikan dalam kata pembuka Kon stitusi Republik Indonesia 1945, dalam Mukadimah Konstitusi Republik Indo nesia Serikat tahun 1949 dan Konstitusi Republik Indonesia 1950 adalah seluruhnya berasal dari Piagam Jakarta bertanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh sembilan orang Indo nesia terkemuka, sebagai suatu pembangunan tinjauan hidup bangsa Indonesia bagaimana Negara Republik Indonesia harus dibentuk atas panduan ajaran itu." Jadi, Pancasila yang berlaku resmi sekarang adalah berbeda dengan konsep Pancasila yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI. Ketika itu, Soekarno mengusulkan lima dasar untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Inter nasio nalisme atau Perikemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejah teraan Sosial, (5) Ketuhanan. Ketika memasuki pembahasan da lam Panitia Sembilan di BPUPKI, ru mus an itu berubah. Sila pertama men jadi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pe meluk-pemeluknya. Di sini tampak bahwa pandangan-alam Islam yang tentunya diajukan oleh para tokoh Islam anggota Panitia Sembilan cukup me warnai rumusan Pancasila tersebut. Ru musan itu bertahan sampai 18 Agustus 1945. Berubahnya urutan sila dari usulan Bung Karno menjadi rumusan versi Panitia Sembilan tersebut juga merupakan hal yang mendasar. Tahun 1976, Pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof HA Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr Alex

Page 3: Islamia.pdf

Andries Maramis, Prof Sunario SH, dan Prof Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumus kan: "Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita ke negaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi." (Lihat, Muham mad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989). Adalah menarik rumusan Tim Lima pimpinan Bung Hatta tersebut, yang menyatakan bahwa "Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik ...." Pemaknaan seperti ini tentu bu kanlah sembarangan jika Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai sebagai kon sep tauhid. Sebab, itu berarti sama saja dengan menyatakan bahwa tauhid Islam menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia. Penafsiran se macam ini, bagi para tokoh Islam, jelas bukan mengada-ada. Jika dilihat sejak penyusunan Piagam Jakarta sampai sidang PPKI 18 Agustus 1945, dan terakhir Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tam pak jelas semangat dan visi Ke tuhanan Yang Maha Esa memang mengarah kepada konsep tauhid Islam. Aplikasi tauhid Konsep tauhid Islam berpijak di atas prinsip "Laa ilaaha illallah, Muham madur Rasuulullah" (Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seorang yang bertauhid akan mengikrarkan dan meyakini bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah, bukan Tuhan yang lain. Hanya Allah semata. Allah adalah nama Tuhan yang ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Tauhid artinya tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang Maha Kuasa sebagai satu-satunya Tuhan. Orang yang menjadikan tuhantuhan selain Allah, disebut orang musyrik. Dan syirik adalah tindakan zalim yang sangat besar. (QS 31: 13). "Memang aniaya besarlah orang kepada dirinya kalau dia mengakui ada lagi Tuhan selain Allah, padahal selain Allah itu adalah alam belaka. Dia aniaya atas dirinya sebab Tuhan mengajaknya agar membebaskan jiwanya dari segala sesuatu, selain Allah," tulis Prof. Hamka dalam Tafsir Al Azhar. (Hamka, Tafsir Al-Azhar juz XXI, hlm 128, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988). Tauhid Islam juga mewajibkan pe nga kuan dan keimanan terhadap kenabian Muhammad SAW. Dalam konsepsi tauhid Islam, setelah diutusnya Muham mad SAW, tidak mungkin seorang dapat mengenal Allah dan dapat mengetahui cara beribadah kepada Allah dengan benar, kecuali melalui nabi-Nya tersebut. Karena itu, Imam al-Ghazali dalam Fashlut Tafriqah menegaskan: "Saya per lu menegaskan bahwa kufur itu adalah mendustakan Rasulullah saw da lam segala ajaran yang beliau bawa. Sedang kan iman adalah membenarkan (tash diq) kepada seluruh ajaran yang beliau sampaikan." (Imam al-Ghazali, Tauhidullah: Risalah Suci Hujjatul Islam, hlm 181, Surabaya: Risalah Gusti, 1998). Konsep tauhid Islam pun mewajibkan kaum Muslim untuk berlaku toleran terhadap kaum non-Muslim. Tidak boleh ada pemaksaan terhadap orang lain untuk bertauhid, sebab telah jelas mana yang salah dan mana yang benar (QS 2:256). Kaum Muslim diwajibkan menghormati agama lain

Page 4: Islamia.pdf

agar bisa menjalankan agamanya. Namun, Islam juga mewajibkan umatnya untuk menjaga iman mereka dari berbagai bentuk pemurtadan. Bukan sekuler Dengan berbagai pemahaman tersebut, jelas bahwa para pendiri bangsa Indonesia sama sekali tidak mencitakan Indonesia sebagai negara "netral aga ma" atau "negara sekuler". Panca sila dan Pembukaan UUD 1945 sarat de ngan muatan Islamic worldview (pandangan- alam Islam). Hilangnya "tujuh kata" dari Pembukaan UUD 1945, mes kipun sangat disesalkan oleh umat Is lam, sama sekali tidak membuang ke rang ka Islamic worldview tersebut. Itu bisa dibuktikan dari munculnya kata "Allah" dalam alinea ketiga Pem bukaan UUD 1945. Allah adalah nama Tuhan bagi orang Islam, di mana pun. Satu-satunya agama di Indonesia yang kitab sucinya menyebut nama Tu hannya Allah adalah agama Islam. Ka rena itulah, sila Ketuhanan Yang Ma ha Esa, bermakna pengakuan akan Allah sebagai satusatunya Tuhan. Mun culnya istilah-istilah baku dalam Islam (Islamic basic vocabulary), seperti kata "adil", "adab", "musyawarah", "hikmah", "wa kil" menunjukkan, bahwa UUD 1945 sama sekali tidak netral agama. Karena itu, seyogianya, pemahaman terhadap Pancasila dan UUD 1945 tidak dilepaskan dari kerangka Islamic worldview dan diseret ke kutub netral agama. Pemahaman semacam ini, selain keliru, juga akan berakhir dengan sia-sia, sebab kaum Muslim—secara umum— tidak mungkin bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam, baik secara akidah maupun syariahnya. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Prof Ha zairin dalam bukunya, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet ke-6), menulis: "Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah," (hlm 31). "Negara RI wajib menjalankan sya riat Islam bagi orang Islam, syariat Nas rani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara," (hlm 34). Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekadar pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan be lum memenuhi konsep tauhid yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam Alqur an, Iblis disebut kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin). Seorang Muslim yang baik tentulah tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi membangkang terhadap aturan-aturan Allah SWT. Karena itu, sangatlah keliru dan aneh jika ada sebagian kalangan yang berkampanye bahwa jika calon presidennya menang, maka pemerintahannya akan melarang munculnya peraturan daerah baru yang berlandaskan syariat Islam. (www.republika.co.id, 4 Juni 2014). Kita berharap, janganlah mendorong bangsa Indonesia untuk menyamai prestasi Iblis, makhluk yang hanya mengakui adanya Tuhan, tapi tidak mau tunduk dan patuh pada syariat-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. (Aceh, 17 Juni 2014).

Page 5: Islamia.pdf

Dr Adian Husaini Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Page 6: Islamia.pdf

Ijtihad Ulama untuk Pemimpin Perempuan Pertama Aceh Thursday, 19 June 2014, 12:00 WIB

Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan ter besar dalam sejarah wilayah di utara Pulau Sumatra ini. Kerjaan ini me wariskan nama se orang raja legendaris, Iskandar Muda. Di bawah kepemimpinannya, Aceh sam pai pada puncak peradaban. Ia dikenal sebagai raja yang adil. Sayang sekali, ia tidak meninggalkan anak laki-laki untuk meneruskan kepemimpinannya, seperti adat kebiasaan para raja di Aceh. Sebetulnya, ia sudah menobatkan anak lelakinya, Meurah Pupok. Tapi, karena ia berzina dengan istri salah seorang perwiranya, Iskandar Muda sendiri yang memutuskan agar anaknya ini dirajam sampai mati sesuai dengan hukum Islam yang berlaku di Aceh. Jadilah, ia tidak memiliki putra mahkota. Untuk menjamin kepemimpinan Aceh terus berjalan, ia menunjuk me nan tunya yang menikah dengan anak perempuannya Safiatuddin untuk me neruskan takhtanya. Menantunya inilah yang kemudian dikenal sebagai Iskan dar Sani. Ia sebelumnya dikenal dengan sebutan Sultan Bungsu. Iskandar Sani naik takhta di usia 25 tahun pada 1636. Sayang, usianya tidak panjang. Ia me ning gal dalam usia 30 tahun dan me ning galkan istri tanpa anak, Safia tuddin. Aceh menjadi sedikit kacau de ngan mangkatnya Iskandar Sani. Dalam situasi seperti itu, para ulama, tokoh, dan pemuka kerajaan saat itu harus mengambil keputusan siapa yang harus menggantikan Iskandar Sani. Setelah diperbincangkan cukup la ma, nama yang paling serius dipertim bang kan adalah istri Iskandar Sani sen diri yang juga anak dari Iskandar Muda, yaitu Safiatuddin. Selain memiliki ke cakapan dari segi agama dan ilmu pe nge tahuan untuk mengelola negara, ia adalah anak dan istri raja, sehingga akan sangat memahami bagaimana ke ra jaan dikelola. Akan tetapi, di kalang an ulama sendiri, berbeda pandangan me nge nai statusnya sebagai "perempuan". Dalam sebagian pandangan ula ma fikih, perempuan dilarang menjadi pe mimpin, apalagi pemimpin kerajaan. Nuruddin Ar-Raniry, ulama yang sangat disegani saat itu, untuk mencegah ke mudha ratan yang lebih besar dengan ti d ak adanya calon pemimpin Kerajaan Aceh yang mumpuni dan legitimated se cara politik, akhirnya menyimpulkan untuk meng ambil pendapat yang membolehkan pemimpin perempuan. Itu pun, tentu bukan tanpa syarat. Ia harus me rupakan sosok yang amanah, adil, dan memiliki keluasan ilmu yang me mung kinkannya duduk sebagai ratu. Semua syarat itu ternyata ada dalam diri Safiatuddin. Kecakapannya ini memang telah terasah sejak kecil. Dalam usia 7 tahun, ia bersama dengan putra dan putri ista na lainnya, termasuk Iskandar Sani yang kemudian menjadi suaminya, telah belajar kepada ulama-ulama besar dan sarjana-sarjana terkenal. Di antara guru-guru Safiatuddin, antara lain, Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nurud din Ar-Raniry, Syekh Faqih Zainul Abidin Ibnu Daim Mansur, Syekh Kamaluddin, Syekh Alaiddin Ahmad, Syekh Muhyiddin Ali, Syekh Taqiy yudin Hasan, Syekh Saifuddin Abdul kahhar, dan lainnya. Semangat belajar yang tinggi itu ak hirnya membentuk pribadi dan pengetahuan Safiatuddin yang luar biasa. Ia menguasai banyak bahasa asing, antara lain, Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Ia juga menguasai ilmu fikih, sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, sastra, dan lainnya. Barangkali, yang boleh dikata kan sebagai salah satu kelemahannya adalah tidak menguasai seluk-beluk militer secara detail. Inilah juga yang menyebabkannya tidak terlalu berhasil dari segi militer dan

Page 7: Islamia.pdf

ekspansi kekuasa an. Akan tetapi, kecintaannya pada ilmu pengetahuan telah mengantarkan pres tasi yang cukup baik, yaitu berkembangnya berbagai lembaga pendidikan dan hidupnya ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Aceh, Sultan yang pa ling besar dan mengantarkan Aceh sampai puncak kejayaannya adalah ayah Shafiatuddin, Iskandar Muda. Oleh sebab itu, dibandingkan dengan ayahnya, prestasi Shafiatuddin memang masih berada di bawahnya. Secara poli tik, militer, dan ekonomi, menurun, te tapi kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan sastra membuat Shafiatud din akhirnya berfokus untuk menghi dupkan bidang ini. Tidak mengheran kan, perkembangan ilmu pengeta huan, sastra, dan seni-budaya pada zamannya sangat pesat dibandingkan dengan zaman sebelum atau sesudahnya. Universitas Baiturrahman (Jami’ Baiturrahman) di Banda Aceh bertambah maju. Demikian juga dayah-dayah (pesantren-pesantren) di seluruh daerah wilayah kekuasaan Aceh juga berkembang dengan baik. Perkembangan ini tidak terlepas dari kebijakan Sa fiatud din yang sangat mendorong berkembangnya pendidikan. Salah satu contohnya adalah kebijakannya terhadap para ulama yang tidak setuju atas pengangkatannya sebagai ratu. Safiatuddin tidak mengambil sikap represif. Para ulama yang jumlahnya sekitar 300 tersebut dibiarkan untuk pindah dari Banda Aceh untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Di antaranya, Syekh Abdul Wahhab dibiarkan hijrah ke Tiro dan mendirikan dayah di sana. Dayah Syekh Abdul Wahhab ini berkembang sangat pesat menjadi salah satu dayah terbesar di Aceh. Safiatuddin sebagai ratu yang peduli terhadap pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak mengganggu perkembangan dayah ini walaupun pendirinya berseberangan dengannya. Kecintaannya pada ilmu pengeta huan ini pun terlihat dari banyaknya kar ya para ulama yang lahir pada ma sa nya, baik atas permintaannya atau atas inisiatif dari para ulama sendiri. Syekh Nuruddin Ar-Raniry, salah satu ulama-pengarang yang sangat produktif pada masa Safiatuddin, pernah menulis kitab Hidayatul-Iman bi Fadhlil-Manan dalam bahasa Melayu. Menurut penga kuan nya, kitab yang berisi tentang aki dah dan ibadah ini ditulis atas permin taan sang ratu. Pernyataan ini di tulis dalam mukadimah kitabnya. Se lain menulis kitab ini, ia juga menulis lebih kurang 27 kitab lain dalam bahasa Me layu dan Arab. Selain Ar-Raniry, ulama lain yang juga didorong oleh ratu untuk menulis kitab adalah Abdurrauf As- Sinkily yang diminta menulis kitab yang kemudian diberi judul Mir’atut-Thullab fi tashili Ma’rifatil-Ahkam selain sembilan kitab lainnya. Ulama lain nya yang juga mengarang kitab atas permintaan Ratu adalah Syekh Daud Ar-Rumy yang menulis Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Mubtadi. Kitab-kitab itu kemudian oleh ratu dianjurkan agar dibaca masyarakat umum karena isinya diperuntukkan bagi kalangan awam. Sebagai ratu perempuan pertama, Safiatuddin juga sangat memperhatikan nasib para wanita. Sebagaimana ayah dan kakeknya terdahulu, ia mene kan kan agar lembaga-lembaga pendidikan dibuka bukan hanya untuk laki-laki, melainkan juga untuk perempuan. Ini berimplikasi pada pembukaan kesempatan bagi kaum perempuan untuk turut ikut ambil bagian dalam berbagai bidang pekerjaan yang memungkinkan mereka melakukannya. Pada masa Safiatuddin, dipertahankan prajurit perempuan pengawal istana yang sudah dibentuk sejak masa ayahnya, Sultan Iskandar Muda. Prajurit pengawal ini diberi nama Dipisi Keumala Cahaya.

Page 8: Islamia.pdf

Armada Inong Bale (perempuan janda) yang dibentuk pada masa Sultan Riayat Syah juga terus dipertahankan. Bahkan, pada zamannya armada yang dipimpin pertama kali oleh Laksamana Malahayati ini tidak hanya melibatkan janda-janda, melainkan juga perawan yang belum menikah. Pada bidang yang lain, seperti pengajaran, pemerintahan, perdagangan, pertanian, dan lainnya, banyak perempuan yang ambil bagian. Situasi yang tidak membeda-bedakan gender ini sudah sejak lama hidup di Aceh, sehingga tidak heran bila ber abad-abad setelahnya lahir wanita Aceh, seperti Cut Nyak Din yang hidup sezaman dengan Kartini. Oleh sebab itu, nestapa dan nasib perempuan yang tersisih sesungguhnya tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia yang sesungguhnya. Kalaupun ada, sangat mungkin ini adalah efek dari kolonialisme yang destruktif terhadap berbagai sendi kehidupan. Dalam menjalankan kerajaannya, Safiatuddin sebagaimana para penda hulunya tetap berpegang pada Kanun Meukuta Alam atau Kanun Aceh yang merupakan undang-undang dasar kerajaan Aceh. Undang-undang ini sangat dipengaruhi fikih Islam. Ia pun menjalin komunikasi intensif dengan kerajaankerajaan penting di seluruh dunia, ter utama dengan Turki Usmani. Sudah ba nyak riset yang mengkaji surat-surat Sa fiatuddin kepada penguasa Usmani yang menunjukkan kecakapan Sa fiatud din dalam memimpin Aceh. Bukan hanya berhubungan dengan Usmani, ia pun harus menghadapi VOC Belanda dan kekuatan-kekuatan luar lain yang meng ancam kedaulatan kerajaannya. Semua nya dilalui dengan cukup baik tanpa harus mengorbankan Kerajannya. Al hasil, selama 34 tahun pemerintahannya (1641-1674), Sadiatud din dapat melalui nya dengan cukup gemilang. Ijtihad Ar-Raniry, Abdurrauf As-Sinkily, dan ulama lainnya ternyata tidak terlalu meleset. Walaupun banyak ulama yang tidak setuju, demi menghindarkan kemudha ratan yang lebih besar, ijtihad yang hatihati untuk menaikkan Safiatuddin ternyata masih berbuah kebaikan untuk Aceh. Wallahu A’lam. Tiar Anwar Bachtiar Dosen Sejarah Islam pada STAI Persis Garut

Page 9: Islamia.pdf

Kedekatan Ulama dan Penguasa : Tradisi Melayu Kamis, 19 Juni 2014, 12:00 WIB

Dalam tradisi politik Me layu, senantiasa terjadi ke dekatan para ulama atau cendekiawan Islam de ngan penguasa (raja).Nasihat-nasihat ulama men dapat tempat yang utama bagi para raja. Ar-Raniri adalah ulama pertama da lam jaringan dengan Timur Tengah abad ke-17. Ia lahir di Ranir, sebuah kota pe la buhan tua di pantai Gujarat. Ibunya ada lah orang Melayu. Setelah menggali ilmu di tempat kelahirannya, ia melan jut kannya ke Makkah dan Hadramaut. Setelah belajar lama dan menjadi ulama, ar-Raniri pulang ke Aceh dan diangkat menjadi Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh tahun 1637. Ia diangkat Raja Is kan dar Tsani (1637-1641). Selama menjabat seba gai syaikhul Islam, ulama ini menulis le bih dari 29 karya (lihat Ulama dan Ke kuasaan, Jajat Burhanudin, Mi zan 2012). Ar-Raniri bersikap keras terhadap pe mikiran sufi wahdatul wujud. Ia meng gantinya dengan sufi yang berorientasi syariat. Sikapnya yang keras itu membawanya membakar buku-buku yang beraliran wahdatul wujud ini. Hingga akhirnya menimbulkan konflik di kerajaan. Sementara, saat itu Kera jaan Aceh kedatangan ulama Minang kabau Saiful Rijal yang menganut paham wahdatul wujud. Karena sikapnya yang dapat mengambil hati raja, ma ka akhirnya ar- Raniri diusir meninggal kan Aceh. Saat itu, raja Aceh yang ba ru naik, Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675), cenderung mendukung Saiful Rijal. Di tempat pengasingannya, Ranir, ulama ini tetap berkarya dengan me nu lis. Di tangan muridnya, Abdurrauf as- Sinkili (1615-1693), pemikiran ar-Raniri dihidupkan kembali. As-Sinkili bersikap lebih kompromis terhadap paham wujudiyah. Karena itu, tahun 1661, setelah ia kembali dari Hijaz, Raja Tajul Alam mengangkatnya sebagai hakim agung kerajaan, Kadi Malikul Adil. Ia menulis buku lebih dari 22 buah. Sedangkan, Yusuf al-Maqassari di angkat sebagai dewan penasihat Sultan. Ia memiliki hubungan yang dekat de ngan Raja Banten Sultan Ageng Tirta yasa (1651-1683). Ia akhirnya menikah de ngan anak perempuan Sultan. Ber sama Sultan Ageng, ia melakukan perlawanan keras kepada VOC Belanda ka rena Belanda melakukan tindakan se mena-mena terhadap rakyat nusantara. Kembali ke Aceh. Aceh saat itu me mang menerapkan syariat Islam. Ke ra jaan dengan tegas melarang minuman ber alkohol, zina (hubungan di luar ni kah), pencurian, dan uang haram. Kera ja an juga melarang berlakunya riba da lam masyarakat. Karena itu, bila Aceh saat ini kembali mempraktikkan hukum Islam, maka Aceh kembali pada fitrahnya dan menuju kegemilangan Islam. Di dalam kitab Tajus Salatin karya ulama Aceh Bukhari al-Jauhari (1603), perihal pentingnya kekuasaan politik. Menurutnya, kekuasaan politik, yakni pengaturan masyarakat, sejajar dengan tugas-tugas kenabian, yakni membimbing manusia ke jalan yang benar. Kedua, tugas itu harus ada dalam wewenang politik raja. Keduanya digambarkan "dua pertama dalam satu cincin".

Page 10: Islamia.pdf

Menurut Tajus Salatin, Tuhan adalah sumber otoritas politik bagi raja dan kedaulatan tertinggi kerajaan. Nabi Adam digambarkan sebagai nabi perta ma yang diangkat Allah menjadi khalifah atau raja pertama di bumi. Adam mengatur masyarakat berdasarkan perintah Tuhan atau secara Islam. Kitab itu juga menggambarkan raja yang baik, yaitu Nabi Musa, melawan raja tiran yang jahat Firaun. Karena kejahatannya, akhirnya Firaun dihukum oleh Allah dengan ditenggelamkan di Laut Merah. Tajus Salatin memasukkan kriteria Islam bagi para raja. Para raja bisa ber gelar khalifah atau zill Allah fil alam dengan syarat mereka menjalankan ke kuasaan menurut prinsip-prinsip Islam. Semetara itu, para penguasa tiran (za lim) yang menjerumuskan kerajaan ke jalan yang sesat adalah bayangan Iblis atau khalifah setan. Kitab itu juga menjelaskan sifat ihsan dan adil yang harus dimiliki para raja. Raja adil adalah raja yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama, memperhatikan kondisi sosial rakyatnya, meng anjurkan kebajikan dan melarang keburukan, melindungi rakyat dari kejahatan, serta menjadi mirip wali atau nabi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain, Bukhari al-Jauhari, Nuruddin ar-Raniri juga menulis kitab penting tentang politik dengan judul Bustanus Salatin (1630). Buku ini menjadi pedo man Raja Iskandar Tsani. Kitab ini ter diri dari tujuh buku. Buku pertama ten tang penciptaan dunia, kemudian seja rah para nabi dan para raja dari masa pra-Islam. Buku kedua tentang sejarah Islam di Asia Tenggara, berpusat pada Kerajaan Malaka, Pahang, dan Aceh. Buku ketiga sampai keenam tentang panduan politik dan nasihat bagi para raja, didasarkan pada kisah-kisah yang berkaitan dengan khalifah atau raja dulu. Buku ketujuh tentang prestasi ilmiah kaum Muslim dalam bidang filsafat, anatomi, dan kedokteran. Sebagaimana raja di Aceh yang me ne rapkan Islam dalam kekuasaannya, raja di Jawa pun demikian. Sultan Agung, raja Mataram, menerapkan sya riat Islam di wilayah Jawa. Dia bahkan mengubah sistem kalender Jawa dari kalender Matahari Saka Hindu ke kalender campuran bulan Islam Islam-Jawa (Lihat Ricklefs dalam Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan). Raja-raja Mataram setelah Sultan Agung, seperti Pakubuwana II, juga memiliki perhatian terhadap perkembangan Islam. Ia bekerja sama dengan para kiai mendirikan pesantren-pesan tren di daerah-daerah Jawa. Di antara pesantren yang terkenal adalah Pesan tren Tegalsari. Bila di Jawa tumbuh pesantren, di Minangkabau tumbuh surau dan di Aceh tumbuh dayah. Selain pesantren, hal yang membantu dalam penyebaran Islam adalah perja lanan ibadah haji. Pemerintah Inggris dan kolonial Belanda saat itu sangat khawatir dengan orang-orang yang telah berhaji ke Makkah ini. Thomas Stamford Raffles (1811-1816) sangat mengkha watirkan keberadaan para haji ini yang mengancam kekuasaan kolonial. Pada tahun 1664, VOC pernah melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Makkah untuk mendarat di nusantara. Alasan VOC, "Kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius." Pada tahun 1716, VOC membolehkan sepuluh orang yang telah berhaji untuk tinggal dengan pengawasan yang ketat. Sementara, Raffles, dalam sebuah laporannya 10 Juni 1811, menulis, "Dengan dalih mengajar orang-orang

Page 11: Islamia.pdf

Melayu tentang prinsip-prinsip agama Muham mad, menanamkan kefanatikan yang sangat intoleran dan membuat mereka tidak mampu menerima suatu jenis pengetahuan yang berguna." Nasehat ulama kepada raja Para ulama menulis kitab, selain ditujukan kepada masyarakat, terutama ditujukan kepada raja. Dalam kitabnya Bustanul Katibin, ulama besar Raja Ali Haji (1808-1873) misalnya, menulis ten tang kejayaan dan kehinaan sebuah bangsa. Kata hukama, "Al fadhlu bil aqli wal adabu, la bil ahli wan nasabi", arti nya kelebihan itu pada akal dan adab dan bukan karena bangsa dan dan asal (nasab). Maka, terangnya, "Jikalau bebe rapa pun bangsa jika tiada ilmu, akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga yang akan diperolehnya." Dalam mukadimah kitab itu, Raja Ali Haji, penasihat raja, mengutip hadis Rasulullah SAW yang terkenal: "Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu aga ma (ad-diin)." Kemudian, Ali Haji menyatakan, "Adapun kelebihan akal itu seperti kata hukama husnu haliah, artinya akal itu sebaik-baik perhiasan." Di sini, Ali Haji mengaitkan hubungan yang erat antara ilmu, akal, dan adab. Artinya, agar akal dan adab seseorang, masyarakat atau bangsa menjadi baik (menjadi unggul), maka mesti diberi ilmu yang benar. Lebih tegas lagi, Ali Haji menyatakan : "Man sa’a adabahu dha’an nas bahu, artinya barang siapa jahat adabnya, maka sia-sialah bangsanya." Selain itu, ulama, penasihat raja dan sas trawan dari Riau ini juga menjelas kan tentang tanda-tanda orang ber akal. Ia mengungkapkan: "Dan lagi kata hu kama, bermula itu akal basra’atul fahm, artinya, tanda berakal segera paham dan buah akal itu membaikkan ikhtiar, dan tandanya bersahabat dengan orangorang pilihan di antara orang-orang yang baik." Kemudian, Ali Haji menunjukkan hubungan ilmu dengan kalam (kalimat/ bahasa). "Adapun kelebihan ilmu walkalam amat besar sehingganya mengatakan setengah hukama, segala pekerjaan pedang bisa diperbuat dengan kalam. Adapun pekerjaan-pekerjaan kalam tidak bisa diperbuat dengan pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris kalam jadi tersarung, terkadang jadi tertangkap dan terikat dengan pe dang sekali." Dalam "Gurindam 12", Raja Ali Haji juga menasihatkan penguasa agar tidak zalim, dengki, dan bohong. Ia menulis: Hati kerajaan di dalam tubuh, ji ka lau zalim segala anggota pun roboh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah.Mengum pat dan memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir. Pekerjaan marah ja ngan dibela, nanti hilang akal di ke pala. Jika sedikit pun berbuat bohong, boleh diumpamakan mulutnya itu pekong Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat. Kasihkan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu. Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.

Page 12: Islamia.pdf

Ulama terkemuka Melayu lainnya, Syekh Ahmad al-Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga pernah mengirim surat kepada Sultan Zainal Abidin, sultan Treng ganu, agar sultan-sultan berperan aktif dalam menyebarkan ilmu di ma syarakat. Ia menulis: "Aku berharap se mo ga bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai ke pun cak peradaban kesejahteraan. Aku ber harap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu, makrifat, dan petunjuk. Lalu baginda menjadi kegembiraan dan rakyat mendapat kejayaan. Agar mereka dapat membukukan bahasa Melayu. Karena aku bimbang ia akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa. Begitu pula hendaklah mereka mengarang sejarah Melayu yang meliputi segala perihal orang Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah. Wahai para cerdik pandai. Hidup kanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan disebut dalam sejarah dan namamu akan harum sepanjang masa. (lihat plakat Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah). Sedangkan di Jawa, Sunan Kalijaga dalam nasehatnya menyatakan bahwa jika kelak seorang menjadi raja, maka pekerjakanlah orang yang baik, seperti yang dimetaforakan dengan empat hal, yakni wanita, keris, intan, dan burung. Wanita melambangkan bahwa ia harus bertutur halus dan tertib dalam bersikap. Keris, harus tajam pikirannya dan ahli berperang. Intan, ia harus memiliki hati dan pikiran yang bening. Sedangkan burung, memiliki makna mengetahui hal yang tersamar, yang baik, dan yang buruk. (lihat www.nu.or.id/a,publicm, dina mics,detail-ids,44id,47585lang, idc,nasionalt,Tiga+Nasehat+Sunan+Kalij aga+kepada+Sutawijaya-.phpx). Namun, selain menjalankan empat hal tersebut, seorang raja juga harus hati-hati karena ada empat pantangan yang harus dihindari. Pertama, bersenang- senang, berjudi hingga mengha biskan harta benda. Kedua, gemar ber cinta atau main perempuan sehingga lalai pada tugas dan kewajibannya. Ke tiga, suka berotak kosong, yakni se ring menghabiskan waktu hanya untuk makan dan minum, tidak mau belajar atau membaca. Keempat, melupakan asal mula dan menganggap kedudukannya sebagai raja adalah berkat kehebatan dirinya sendiri. Nuim Hidayat Peneliti INSISTS