isi
DESCRIPTION
isiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Epidemiologi Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan yang berhubungan
dengan kehamilan ibu, sebelum ibu mengalami persalinan atau janin tersebut
lahir. Perdarahan antepartum didefinisikan sebagai perdarahan pervaginam
sebelum janin lahir, terhitung sejak 20 minggu usai kehamilan (Sinha et al.,
2008).
Perdarahan antepartum berisiko pada trimester berapapun. Insidensi
perdarahan antepartum pada trimester pertama mencapai 25 % (Sinclair,
2009). Sedangkan pada trimester ketiga, perdarahan antepartum dapat
menimbulkan komplikasi dan memiliki angka kejadian hingga 4% dari
semua. Hal ini dianggap sebagai suatu kedaruratan obstetrik karena
perdarahan tetap merupakan penyebab kematian ibu yang paling lazim di
beberapa daerah terutama di Negara berkembang. Di India sendiri, angka
prevalensi kematian akibat perdarahana antepartum ini adalah 16,9%
(Hussein et al., 2012).
Perdarahan antepartum ini dapat terjadi akibat plasenta previa, solusio
plasenta, dan ruptur uteri. Pada kejadian plasenta previa, di Inggris kematian
maternal terjadi pada 0,39 dari 100.000 kehamilan (Centre for Maternal and
Child Enquiries Mission, 2011).
B. Komplikasi dari Perdarahan Antepartum Apabila Tidak Ditangani
Perdarahan antepartum ini jika tidak ditangani dengan baik berisiko
pada kematian. Dalam hal ini dapat menjadi kematian ibu, dan ajnin yang
dilahirkan. Perdarahan antepartum yang tidak ditangani dengan baik akan
berlanjut semakin parah dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu, akibat
lain yang dapat terjadi adalah infeksi pada ibu akibat ada perdarahan dan
tidak tertangani. Tanda infeksi ini adalah panas tinggi lebih dari dua hari
setelah melahirkan atau setelah keguguran. Keadaan ini dapat membahayakan
ibu, dan diperlukan perawatan intensif. Infeksi ini dapat dicegah dengan
pertolongan persalinan yang bersih dan aman (Wiknjosastro, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Plasenta Previa
1. Tanda dan Gejala (Manuaba, 2004)
a. Anamnesis
1) Perdarahan tanpa sebab, tanpa rasa nyeri serta berulang, darah
berwarna merah segar sering pada akhir trimeser kedua atau
setelahnya
2) Perdarahan pertama biasanya tidak banyak, tetapi perdarahan
berikutnya hampir selalu lebih banyak dari sebelumnya
3) Timbulnya penyulit pada ibu yaitu anemia sampai syok dan pada
janin dapat menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam
rahim
b. Pemeriksaan fisik
1) Bagian terbawah janin belum masuk pintu atas panggul dan atau
disertai dengan kelainan letak plasenta yang berada dibawah janin
2) Pemeriksaan dalam dilakukan diatas meja operasi, teraba jaringan
plasenta
2. Pemeriksaan Penunjang
Belum ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu
menegakkan diagnosis dari plasenta previa ini. Namun beberapa
pemeriksaan darah seperti pemeriksaan hemoglobin dan hematolrit tetap
harus dilakukan secara berkala. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
memonitoring perdarahan dan ancaman anemia (Benson, 2008).
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat menegakkan plasenta
previa adalah ultasonografi. Ultrasonografi merupakan modalitas pilihan
yg digunakan untuk menegakkan diagnosis plasenta previa. Pemeriksaan
USG pada kehamilan awal dapat mendeteksi adanya plasenta previa
dengan lebih akurat. Naumn, pada kehamilan lanjut, akan menjadi lebih
2
sulit, karena bagian terbawah janin dapat menghalangi visualisasi optimal
dari plasenta yang berhubungan dengan ostium uteri interna (Benson,
2008).
3. Penegakkan Diagnosis
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama sekali harus dicurigai
bahwa hal itu bersumber dari kelainan plasenta, dengan penyebab utama
yaitu plasenta previa dan solusio plasenta sampai ternyata dugaan itu
salah. Diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala-gejala klinis dan
beberapa pemeriksaan (Prawirohardjo, 2010):
a. Anamnesis (Prawirohardjo, 2010 dan Gultom, 2009)
1) Perdarahan pada kehamilan sekitar 28 minggu.
2) Perdarahan pervaginam yang tanpa nyeri dan dapat berulang.
3) Warna darah merah terang.
b. Pemeriksaan fisik (Gultom, 2009)
1) Tekanan darah, nadi, dan pernapasan dalam batas normal. Atau
tekanan darah turun, nadi dan pernapasan meningkat.
2) Inspeksi
a) Dijumpai keadaan (ibu) bervariasi dari keadaan normal sampai
syok.
b) Kesadaran penderita (ibu) bervariasi dari kesadaran baik
sampai koma.
c) Daerah ujung (akral) menjadi dingin.
d) Perdarahan yang keluar pervaginam encer sampai bergumpal.
e) Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis
c. Pemeriksaan khusus kebidanan
1) Palpasi abdomen (Gultom, 2009)
a) TFU masih normal
b) Uterus teraba lunak dan lembut
c) Bagian janin mudah diraba
2) Auskultasi Denyut Jantung Janin (DJJ)
Bila keadaan janin masih baik, DJJ mudah didengar
3
d. Pemeriksaan dalam
Untuk menegakkan diagnosa yang tepat maka dilakukan pemeriksaan
dalam yang secara langsung meraba plasenta. Pemeriksaan dalam
harus dilakukan di atas meja operasi dan siap untuk segera mengambil
tindakan operasi persalinan atau hanya memecahkan ketuban
(Prawirohardjo, 2010).
e. Pemeriksaan inspekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan
berasal dari uterus atau dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio
porsionis uteri, karsinoma porsionis uteri, polipus servisis uteri,
varises vulva, dan trauma. Apabila perdarahan berasal dari uterus,
adanya plasenta previa dan solusio plasenta harus dicurigai
(Prawirohardjo, 2010).
4. Patomekanisme
Letak plasenta secara fisiologis umumnya di depan atau
dibelakang dinding uterus, agak ke atas arah fundus. Hal ini disebabkan
karena permukaan corpus uteri yang lebih luas, sehingga tersedia lebih
banyak tempat untuk berimplantasi. Plasenta kan berimplantasi pada
pada tempat tertentu dimana terdapat vena- vena yang lebar (sinus)
(Abdat, 2010).
Pada plasenta previa plasenta tidak terimplantasi sesuai dengan
tempatnya namun berimplantasi pada segmen bawah rahim. Hal ini dapat
disebabkan karena vaskularisasi desidua yang tidak memadai mungkin
sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut,
cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi dapat
berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi didinding
endometrium. Pada perempuan yang merokok insidensi plasenta previa
bertambah menjadi dua kali lipat, hal ini dikarenakan hipoksemia akibat
karbon monoksida yang menyebabkan placenta menjadi hipertofi sebagai
kompensasinya dan melebar hingga menutupi sebagian atau seluruh
4
ostium uteri internum (Prawirohardjo,2010).
Pada usia kehamilan yang bertambah tua menyebabkan segmen
bawah uterus melebar dan servik mulai membuka. Implantasi yang
abnormal pada segmen bawah uteri akan menyebabkan pelebaran
segmen bawah uteri dan pembukaan servik, serta terjadi pelepasan
sebagian plasenta dari dinding uterus. Plasenta yang terlepas akan
menyebabkan terjadinya perdarahan. Perdarahan ini berasal dari sirkulasi
maternal yaitu dari ruangan intervilus dari plasenta. Oleh karena
fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada
plasenta previa betapapun pasti akan terjadi. Perdarahan relative
dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan
servik tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang
dimilikinya sangat minimal, dengan demikian pembuluh darah pada
tempat itu tidak dapat tertutup dengan sempurna.perdarahan akan
berhenti jika terjadi pembekuan darah kecuali terjadi laserasi yang
mengenai sinus yang lebih besar dari plasenta sehingga perdarahan akan
berlangsung lebih lama dan lebih banyak. Oleh karena pembentukan
segmen bawah rahim akan berlangsung secara progresif dan bertahap
maka laserasi baru akan mengulang kehjadian perdarahan. Perdarahan ini
akan berulang tanpa sesuatu sebab yang lain. Darah yang keluar akan
berwarna merah segar tanpa rasa nyeri. Pada plasenta yang menutupi
seluruh ostium uteri internum perdarahan akan terjadi lebih awal karena
segmen bawah rahim terbentuk terlebih dahulu pada bagian terbawah
yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa parsial atau
letak rendah perdarahan akan terjadi pada waktu mendekati persalinan.
Perdarahan pertama biasanya sedikit dan cenderung akan bertambah pada
perdarahan berikutnya (Prawirohardjo, 2010).
Dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah diinvasi oleh
pertumbuhan vili dan trofoblas, akibatnya plasenta akan melekat pada
dinding uterus hingga dapat menerobos ke miometrium sampai
perimetrium dan mengakibatkan kejadian plasenta akreta, inkreta dan
bahkan plasenta perkreta. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya retensio
5
plasenta sehingga pada bagian yang terlepas timbulah perdarahan pada
kala tiga dan lebih sering terjadi pada uterus yang pernah dilakukan
section caesarea (Prawirohardjo,2010).
Gambar 2.1 Patomekanisme Plasenta Previa (Prawirohardjo, 2010).
5. Rencana Terapi
Untuk melakukan diagnosis dan manajemen perdarahan
antepartum, kita dapat merujuk kepada algoritma berikut (Norwitz dan
Perdarahan (berwarna merah
dan tanpa rasa nyeri)
Segmen bawah rahim dan servik tidak mampu
berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang
dimilikinya sangat minimal
pembentukan segmen bawah rahim akan berlangsung secara
progresif dan bertahap
Perdarahan berulang dan jumlah lebih
banyak sebelumnya
Plasenta berimplantasi pada segmen bawah
rahim
Pada usia kehamilan yang bertambah tua menyebabkan segmen bawah uterus melebar dan servik mulai
membuka
terjadi pelepasan sebagian plasenta
dari dinding uterus
6
Schorge, 2001).
Gambar 2.2. Diagram Algoritma Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum
(Norwitz dan Schorge, 2001)
a. Manajemen Antepartum
Tujuan manajemen antepartum adalah memaksimalkan
maturasi janin, sekaligus meminimalisir risiko bagi ibu dan janin.
Fetal distress dan perdarahan maternal masif merupakan indikasi
untuk dilakukan terminasi, misalnya melalui operasi Caesar, tanpa
mempedulikan usia gestasional. Bagaimanapun, beberapa perdarahan
tidak terlalu membahayakan sehingga persalinan dapat ditunda untuk
menunggu janin matur. Manajemen rawat jalan dapat dilakukan bagi
wanita dengan perdarahan minimal, namun tetap diberikan batasan
dalam beraktivitas, dan harus menjaga koneksi dengan rumah sakit
sehingga dapat segera ditangani jika terjadi suatu komplikasi. Bahkan
plasenta previa dapat segera membaik, sehingga memungkinkan
dilakukan persalinan pervaginam (Norwitz dan Schorge, 2001).
7
Rawat inap diindikasikan untuk memonitor kondisi maternal
dan janin. Metode dan waktu persalinan tergantung pada kondisi fetus,
usia kehamilan, kondisi ibu, dan keadaan cervix uteri. Jika terjadi
instabilitas hemodinamik, perlu dilakukan monitoring invasif dan
persalinan Caesar segera. Jika solusio plasenta masih dalam skala
ringan, serta kehamilan masih preterm, manajemen perpanjangan
waktu harus dilakukan. Solusio plasenta merupakan kontraindikasi
tokolisis (Norwitz dan Schorge, 2001).
b. Manajemen Intrapartum
Persalinan Caesar dapat dilakukan pada usia kehamilan 36
minggu setelah maturitas paru-paru janin terpenuhi. Persalinan
pervaginam cukup jarang dilakukan, namun dapat saja diindikasikan
misalnya pada fetus yang sudah previable dengan perdarahan
pervaginam minimal. Apabila previa ditemukan, persalinan Caesar
dapat segera dilakukan. Sedangkan jika tidak ada plasenta yang
terpalpasi, dapat dilakukan amniotomi dan induksi persalinan
(Norwitz dan Schorge, 2001).
c. Penatalaksanaan
Plasenta previa merupakan salah satu penyebab perdarahan
antepartum. Penatalaksanaan medikamentosa dan nonmedikamentosa
untuk placenta previa adalah sebagai berikut (Oppenheimer, 2007):
1) Prehospital Care
a. Jaga stabilitas hemodinamik
b. Segera bawa ke fasilitas kesehatan yang memadai
2) Emergency Department Care
a. resusitasi dengan kristaloid intravena, atau transfusi darah
b. monitoring janin kontinu
c. jika usia kehamilan masih preterm, dan perdarahan tidak ter-
lalu gawat, pasien harus ditatalaksana agar persalinan dapat di-
tunda, sehingga dapat dilakukan rawat jalan
8
d. jika janin sudah masuk usia ideal (>37 minggu), dan terdapat
perdarahan yang masif, penatalaksanaan yang harus dilakukan
adalah persalinan segera dengan menjaga resusitasi cairan
e. augmentasi persalinan dengan oksitosin
3) Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa tersebut ditujukan untuk
menjaga stabilitas hemodinamik.
a. Prothrombin complex
b. Recombinant factor VII
c. Kortikosteroid, misalnya betametason, untuk menunjang mat-
urasi paru janin
Tokolitik untuk menunda waktu persalinan, misalnya MgSO4 dan
terbutalin.
6. Prognosis
Pada plasenta previa dengan penanggulangan yang baik maka kematian
ibu rendah sekali,tapi jika keadaan janin buruk menyebabkan kematian
perinatal prematuritas (Mochtar, 1998).
7. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan post partum
dan syok karena kurang kuatnya kontraksi segmen bawah rahim, infeksi
dan trauma dan uterus/servik (Siswosudarmo, 2008).
a. Perdarahan dan syok.
b. Infeksi.
c. Laserasi serviks.
d. Plasenta akreta. Pada kondisi ini, plasenta berimplantasi terlalu dalam
dan kuat pada dinding uterin, yang menyebabkan sulitnya plasenta ter-
lepas secara spontan saat melahirkan. Hal ini dapat menyebabkan per-
darahan hebat dan perlu operasi histerektomi. Keadaan ini jarang,
tetapi sangat khas mempengaruhi wanita dengan plasenta previa atau
wanita dengan sesar sebelumnya atau operasi uterus lainnya
9
e. Prematuritas atau lahir mati
f. Prolap stali pusar.
g. Prolaps plasenta
h. Anemia karena perdarahan
i. Endometritis pasca persalinan
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin yang mengalami
plasenta previa adalah:
a. Persalinan premature
b. Asfiksia berat
B. Solusio Plasenta
1. Tanda dan Gejala (Cunningham et al, 2012)
a. Anamnesis
1) Perut terasa nyeri
2) Terdapat perdarahan disertai rasa nyeri
3) Diikuti penurunan sampai terhentinya gerakan janin dalam rahim
4) Usia ibu > 40 tahun
5) Keluarga ada yang pernah mengelu sama
6) Merokok
7) Pengguna kokain
8) Pernah trauma
9) Solusio berulang
10) Apakah hipertensi sebelumnya
b. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan fisik umum
a) Keadaan umum penderita tampak anemis
b) Tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat
c) Penderita tampak anemis
2) Pemeriksaan fisik khusus
a) Palpasi abdomen
i. Perut tegang terus menerus
ii. Terasa nyeri saat di palpasi
10
iii.Bagian janin sukar ditentukan
b) Auskultasi : Denyut jantung janin bervariasi dari asfiksia
ringan sampai berat
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit penting sekali untuk
mengetahui keadaan ibu akibat terjadinya perdarahan. Hal ini
dikaitkan apakah ibu mnegalami komplikasi anemia atau syok
hipovolemik akibat perdarahan. Selain itu, pemeriksaan golongan
darah juga penting dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
apakah golongan darah ibu dan rhesusnya berbeda dengan janin
atau tidak (Benson, 2008).
2) Urinalisis
Salah satu tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk
mengetahui apakah ibu mengalami preeklamsia atau eklamsia
atau tidak. Jika ibu sudah mengalami eklamsia, maka penanganan
yang dilakukan pun tentu berbeda pada ibu yang tidak mengalami
eklamsia. Selain itu, pemeriksaan urin juga digunakan untuk
mendeteksi apakah ibu mengalami hematuri atau tidak untuk
menghilangkan bias antara perdarahan pervaginam atau
perdarahan dari saluran kemih (Benson, 2008).
b. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang yang
dapat membedakan penyebab perdarahan pervaginam pada ibu,
apakah oleh plasenta previa, atau solusio plasenta, dan lain-lain
(Benson, 2008).
3. Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis (Gultom, 2009)
1) Inpartu
2) Perdarah pervaginam disertai nyeri terus-menerus.
11
3) Warna darah merah gelap disertai bekuan-bekuan darah.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Tekanan darah, nadi, dan pernapasan dalam batas normal. Atau
tekanan darah turun, nadi dan pernapasan meningkat.
2) Inspeksi
a) Dijumpai keadaan (ibu) bervariasi dari keadaan normal-syok.
b) Kesadaran penderita (ibu) bervariasi dari kesadaran baik-
koma.
c) Daerah ujung (akral) menjadi dingin.
d) Perdarahan yang keluar pervaginam encer sampai bergumpal.
e) Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis.
4. Patomekanisme
Solusio plasenta merupakan manifestasi akhir dari pemisahan
vili-vili khorialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis
sehingga terjadi perdarahan. Dalam banyak kejadian perdarahan berasal
dari kematian sel (apoptosis) yang dapat disebabkan oleh iskemia dan
hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentukkan
thrombosis dalam pembuluh darah dalam desidua atau dalam vaskuler
vili dapat berujung pada iskemia dan hipoksia setempat yang
menyebabkan kematian sel dan akhirnya menyebabkan perdarahan.
Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapis
tipis yang tetap melekat pada miometrium (Prawirohardjo, 2010).
Terbentuknya hematoma retroplasenta disebabkan putusnya arteri
spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi
penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal ke sirkulasi
janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan
plasenta lebih luas sampai ke bagian pinggirnya sehingga darah yang
keluar merembes di antara selaput ketuban dan miometrium untuk
kemudian keluar melalui serviks ke vagina, pada tipe revealed
hemorrhage. Perdarahan pada beberapa kasus tidak bisa berhenti karena
uterus yang dalam keadaan hamil tidak dapat berkontraksi untuk
12
menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus. Perdarahan yang
tinggal dan terperangkap di dalam uterus disebut sebagai concealed
hemorrhage (Prawirohardjo,2010).
Gambar 2.3 Patomekanisme Solusio Plasenta (Prawirohardjo, 2010).
5. Rencana Terapi
Penatalaksanaan medikamentosa dan nonmedikamentosa untuk solusio
Perdarahan yang berwarna tua
Hematoma retroplasent
a
mempengaruhi penyampaian nutrisi dan
oksigen dari sirkulasi maternal ke sirkulasi
janin.
Munculnya rasa nyeri
perut
Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan
pembentukkan thrombosis dalam pembuluh darah dalam desidua atau dalam vaskuler
vili
iskemia dan hipoksia setempat
Nekrosis sel
desidua basalis terlepas kecuali selapis tipis yang
tetap melekat pada miometrium
Putusnya arteri spiralis dalam
desidua
13
plasenta adalah (Oyolese dan Ananth, 2006):
a. Pertimbangan Transfer ICU
Jika terjadi syok, komplikasi operasi, perlu dipertimbangkan untuk
mentransfer pasien menuju intensive care unit (ICU). Transfer menuju
ICU neonatal adalah jika fetus sudah preterm, setelah persalinan dilak-
sanakan dan ibu menjadi stabil.
b. Manajemen Inisial
1) Mulai melaksanakan monitoring denyut jantung janin dan kon-
traksi
2) Melaksanakan akses intravena dan memberikan resusitasi
kristaloid
3) Mengetahui golongan darah
4) Memulai transfusi apabila resusitasi cairan tidak memperbaiki
kondisi hemodinamik pasien
5) Mengoreksi koagulopati
6) Memberikan immunoglobulin Rh apabila pasien Rh (-)
c. Persalinan Pervaginam
Persalinan ini merupakan metode yang paling dianjurkan jika fetus
telah mengalami solusio plasenta. Kemampuan pasien untuk men-
jalani persalinan pervaginam sangat tergantung stabilitas hemodi-
namik. Persalinan dapat terjadi cepat jika terjadi peningkatan kon-
traksi dan tonus uterin.
d. Persalinan Caesar
Persalinan caesar dapat dilakukan untuk memfasilitasi persalinan
cepat dan akses langsung ke uterus dan pembuluh darahnya. Namun
persalinan ini dapat berujung pada komplikasi apabila pasien memiliki
status koagulasi yang kurang bagus. Pada perdarahan postpartum
masif yang tidak dapat dikontrol, dapat dilakukan koreksi koagulopati,
ligasi arteri uterus, administrasi uterotonik, dan pilihan terakhir berupa
histerektomi caesar untuk menyelamatkan nyawa hidup.
e. Invasive Monitoring
14
Pada pasien dengan status hemodinamik tidak stabil, perlu dilakukan
monitoring invasif di dalam ICU.
f. Modifikasi Diet
Restriksi makanan, dengan menggunakan sistem nothing by mouth
(NPO).
g. Aktivitas
Pasien harus tirah baring dan dipantau secara rutin untuk mengetahui
kelainan pada ibu maupun janin, agar langsung mengetahui jika ada
indikasi persalinan darurat.
h. Medikamentosa
1) Vitamin prenatal
2) Suplementasi besi
Tokolisis untuk pasien hemodinamik stabil, misalnya nifedipin dan
magnesium sulfat.
6. Prognosis
Prognosis untuk anak pada solutio plasenta yang berat adalah kematian
anak 90%, dan perlu diketahui bahwa ibu dengan solusio plasenta juga
merupakan keadaan yang berbahaya tapi dengan persediaan darah yang
cukup dan penanganan yang baik, maka kematian ibu dapat dihindari.
Prognosis bergantung pada besarnya bagian plasenta yang terlepas,
banyaknya perdarahan, beratnya hipofibrinogenemi, apakah perdarahan
nampak atau tersembunyi dan lamanya keadaan solusio plasenta
berlangsung (Sastrawinata, 2004).
7. Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari
luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio
plasenta berlangsung.
Komplikasi yang dapat terjadi pada Ibu:
a. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio
15
plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan
menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah
diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum
karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan
perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada
pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok
sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat
(Wiknjosastro, 2005).
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia,
karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume
intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu
tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat
terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas
kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang
berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya
perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan
tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan
stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk
tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena
pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga
dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan (Wiknjosastro, 2005).
b. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan
hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis
tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong
dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena
syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi
akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak (2,5). Oleh
karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran
pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio
plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah
16
yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi
hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan
mengatasi kelainan pembekuan darah (Resnik, 2008) .
c. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya
disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan
oleh Wirjohadiwardojo di RSUPNCM dilaporkan kelainan
pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta
yang ditelitinya.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup
bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar
fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi
gangguan pembekuan darah (Resnik, 2008) .
Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua
fase (Siswosudarmo, 2008):
1) Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi
pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting.
Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi)
terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen
disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut
juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom
subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan
pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat gangguan
mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan
pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal
yang dapat menyebabkan oliguria/anuria (Siswosudarmo, 2008).
2) Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh
untuk membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat.
Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang
berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi kadar
17
fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis . Kecurigaan
akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan
pemeriksaan laboratorium, namun di klinikpengamatan
pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik
karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu
terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan
penderita saat itu (Siswosudarmo, 2008).
d. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot
rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam
ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan
kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu
yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus
diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam
membantu menghentikan perdarahan (Saifuddin, 2008).
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin (Saifuddin, 2008) :
a. Fetal distress
b. Gangguan pertumbuhan/perkembangan
c. Hipoksia dan anemia
d. Kematian
C. Ruptur Uteri
1. Tanda Gejala (Manuaba, 2004)
a. Dalam anamnesa dikatakan telah ditolong/didorong oleh
dukun/bidan, partus sudah lama berlangsung
b. Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri
diperut
c. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan
mengerang kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya
dikeluarkan.
d. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
e. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu
18
mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
f. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
g. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal
dan keras terutama sebelah kiri atau keduanya.
h. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik)
sedangkan SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
i. Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan
melintang yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan SBR
yang semakin tipis dan teregang. Sering lengkaran bandl ini
dikelirukan dengan kandung kemih yang penuh, untuk itu dilakukan
kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan tipisnya SBR
terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa,
misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-
ubun belakang.
j. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan
teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih,
maka pada kateterisasi ada hematuri.
k. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia)
l. Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari
obstruksi, seperti oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin
yang besar.
2. Pemeriksaan Penunjang (Widjanarko, 2013)
a. Hitung Darah lengkap dan Apusan Darah, batas dasar hemoglobin
dan nilai hematokrit dapat tidak menjelaskan banyaknya kehilangan
darah.
b. Urinalisis Hematuria sering menunjukkan adanya hubungan denga
perlukaan kandung kemih.
c. Golongan Darah dan Rhesus, 4 sampai 6 unit darah dipersiapkan
untuk tranfusi bila diperlukan
3. Penegakan Diagnosis (Widjanarko, 2013)
19
a. Anamnesis
1) Nyeri Abdomen dapat tiba-tiba, tajam dan seperti disayat pisau.
Apabila terjadi rupture sewaktu persalinan, konstruksi uterus
yang intermitten, kuat dapat berhenti dengan tiba-tiba. Pasien
mengeluh nyeri uterus yang menetap.
2) Perdarahan Per Vaginam dapat simptomatik karena perdarahan
aktif dari pembuluh darah yang robek.
3) Gejala-gejala lainnya meliputi berhentinya persalinan dan syok,
yang mana dapat di luar proporsi kehilangan darah eksterna
karena perdarahan yang tidak terlihat. Nyeri bahu dapat
berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum.
4) Riwayat Penyakit Dahulu, ruptur uteri harus selalu diantisipasi
bila pasien memberikan suatu riwayat paritas tinggi,
pembedahan uterus sebelumnya, seksio sessaria, miomektomi
atau reseksi koruna.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Umum
Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi dari
kehilangan darah akut, biasanya perdarahan eksterna dan
perdarahan intra abdomen.
2) Pemeriksaan Abdomen
Sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau
perubahan kontur uterus yang tiba-tiba dapat menunjukkan
adanya ekstrusi janin. Fundus uteri dapat terkontraksi dan erat
dengan bagian-bagian janin yang terpalpasi dekat dinding
abdomen diatas fundus yang berkontraksi. Kontraksi uterus
dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-
tiba menghilang. Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen
sering sangat lunak, disertai dengan nyeri lepas mengindikasikan
adanya perdarahan intraperitoneum.
3) Pemeriksaan Pelvis
Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami
20
regresi dan tidak lagi terpalpasi melalui vagina bila janin telah
mengalami ekstrusi ke dalam rongga peritoneum. Perdarahan
pervaginam mungkin hebat. Ruptur uteri setelah melahirkan
dikenali melalui eksplorasi manual segmen uterus bagian bawah
dan kavum uteri. Segmen uterus bagian bawah merupakan
tempat yang paling lazim dari ruptur. Apabila robekannya
lengkap, jari-jari pemeriksa dapat melalui tempat ruptur
langsung ke dalam rongga peritoneum, yang dapat dikenali
melalui :
a) Permukaan serosa uterus yang halus dan licin
b) Adanya usus dan ommentum
c) Jari-jari dan tangan dapat digerakkan dengan bebas
4. Patomekanisme
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi.
Dengan demikian,dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi
lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh
janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen bawah
rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya
dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi
segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran
retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi.
Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab
(misalnya : panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang
bertambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan
segmen bawah rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran retraksi
fisiologis semakin meninggi kearah pusat melewati batas fisiologis
menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring van bandl). Ini
terjadi karena, rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi
tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh
ligamentum – ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina),
pada sisi kanan dan kiri (ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar
21
kandung kemih (ligamentum vesikouterina).Jika his berlangsung terus
menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak kunjung turun lebih ke
bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi dan segmen
bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat
tipis. Ini menandakan telah terjadi tanda- tanda ruptur uteri iminens dan
rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek
spontan pada tempat tertipis ketika his berikutnya datang, dan terjadilah
perdarahan yang banyak bergantung pada luas robekan yang terjadi dan
pembuluh darah yang terputus. Umumnya robekan terjadi pada dinding
depan segmen bawah rahim, dan luka robekan bisa meluas secar
melintang atau miring. Bila mengenai ligamnetum latum maka terejadi
luka robekan yang meluas kesamping. Robekan dapat juga meluas ke
korpus, servik terus ke vagina bahkan bisa sampai mencederai kandung
kemih. Pertumpahan darah sebagian besar mengalir di dalam rongga
peritoneum sebagian yang lain mengalir melalui pembukaan servik ke
vagina. Terjadinya perdarahan dapat menyebabkan penurunan Hb,
tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat, anemis dan tanda- tanda
lain dari hipovolemia. Robekan rahim yang mengikutsertakan peritoneum
visceral dan merangsang ujung saraf sensoris menyebabkan adanya rasa
nyeri di abdomen. Adanya darah pada rongga peritoneum
( hemoperitoneum) dapat merangsang diafragma dan menimbulkan nyeri
memancar ke dada menyerupai nyeri dada pada emboli paru atau emboli
air ketuban (Prawirohardjo, 2009).
22
\
23
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi
segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus
uteri menjadi lebih kecil
Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan dindingnya
menjadi lebih tipis
Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun (panggul sempit atau kepala besar)
rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi tertahan dibagian distalnya
oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh ligamentum – ligamentum
retraksi fisiologis semakin meninggi kearah pusat dan segemen bawah
rahim semakin tipis
Muncul lingkaran retraksi fisiologis
24
Retraksi menjadi patologis lingkaran bandl (ring van bandl)
ruptur uteri iminensketika his berikutnya datang, dapat terjadi robekan di segmen bawah yang tipis
Perdarahan
ruptur uteri
Robekan rahim yang mengikutsertakan
peritoneum visceral
tanda- tanda hipovolemia
Terjadi penurunan Hb, tekanan darah
yang menurun, nadi yang cepat,
anemis dan.
merangsang ujung saraf sensoris
rasa nyeri di abdomen
Hemoperitoneum
rangsang diafragma
nyeri memancar ke dada menyerupai nyeri dada pada emboli paru
atau emboli air ketuban.
Gambar 2.4. Patomekanisme Ruptur Uteri (Prawirohardjo, 2009).
5. Terapi
a. Stabilisasi maternal. Pertimbangkaan pasien untuk ditransfer ke ICU
jika terjadi syok, maupun komplikasi operasi (Cunningham et al.,
2010).
b. Manajemen Inisial (Oyolese dan Ananth, 2006):
1) Mulai melaksanakan monitoring denyut jantung janin dan
kontraksi
2) Melaksanakan akses intravena dan memberikan resusitasi
kristaloid
3) Mengetahui golongan darah
4) Memulai transfusi apabila resusitasi cairan tidak memperbaiki
kondisi hemodinamik pasien
5) Mengoreksi koagulopati
6) Memberikan immunoglobulin Rh apabila pasien Rh (-)
c. Lakukan dengan sigap karena hanya ada 10-37 menit untuk
mencegah onset morbiditas mayor pada janin. Oleh karena itu
terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu (Cunningham et
al., 2010):
1) Selalu waspada dan menjadikan ruptur uterus sebagai salah satu
diagnosis banding terutama pada pasien berisiko tinggi
2) Apabila ragu segera beri tindakan definitif.
d. Setelah pasien siap dan stabil segera laksanakan persalinan segera
untuk menyelamatkan janin dan ibu (Cunningham et al., 2010).
e. Operasi konservatif uterus dengan penjahitan (suture repair) yang
tergantung pada tipe dan ekstensi ruptur, derajat perdarahan, kondisi
umum ibu, dan keinginan untuk hamil kembali di masa depan.
Lakukan operasi tersebut jika terdapat keinginan untuk hamil
kembali, ruptur uterin transversus tidak terlalu lebar, tidak ada
ekstensi robekan ke ligamentum latum uteri, cervix, maupun
25
paracolpos. Selain itu operasi dapat dilakukan pada kondisi umum
ibu yang baik, perdarahan masih dapat dikontrol, dan tidak ada bukti
gangguan koagulopati (Cunningham et al., 2010).
f. Histerektomi dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi jika
ruptur uterus terjadi multipel, longitudinal, dan letak rendah
(Cunningham et al., 2010).
6. Prognosis
Pada perdarahan dengan etiologi terdapat kelainan pada serviks
uteri atau tempat jalan lahirnya bayi misalnya pada trauma, berprognosis
lebih baik jika kondisi faktor pembekuan darah ibu baik. Karena jika
perdarahan tidak teratasi akibat terjadi faktor pembekuan darah yang
rendah akan mengakibatkan perdarahan yang terus menerus, karena pada
serviks uteri adalah tempat yang terkkompres dengan sangat kuat akibat
kontraksi dari fundus uteri pada saat akan mendorong bayi keluar
(Mochtar, 2013).
7. Komplikasi
Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis
akibat infeksi adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura
uteri. Syok hipovolemik terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus
cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat
digantikan dengan transfusi darah segar. Darah segar mempunyai
kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga mengandung
semua unsur atau faktor pembekuan dan karena itu lebih bermanfaat
demi mencegah dan memngatasi koagulopati dilusional akibat pemberian
cairan kristaloid yang umumnya banyak diperlukan untuk mengatasi atau
mencegah gangguan keseimbangan elektrolit antar-kompartemen cairan
dalam tubuh dalam menghadapi syok hipovolemik (Norwitz , 2007).
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana
ruptura uteri telah terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah
mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang.
26
Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh
terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita
peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah. Sayangnya hasil
pemeriksaan kultur dan resistensi bakteriologik dari sampel darah pasien
baru diperoleh beberapa hari kemudian. Antibiotika spektrum luas dalam
dosis tinggi biasanya diberikan untuk mengantisipasi kejadian sepsis.
Syok hipovolemik dan sepsis merupakan sebab-sebab utama yang
meninggikan angka kematian maternal dalam obstetrik (Norwitz, 2007).
Meskipun pasien bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan
tetap tinggi. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus
yang belum punya anak hidup meninggalkan sisa trauma psikologis yang
berat dan mendalam. Jalan keluar bagi kasus ini untuk mendapatkan
keturunan tinggal satu pilihan melalui assisted reproductive technology
termasuk pemanfaatan surrogate mother yang hanya mungkin dikerjakan
pada rumah sakit tertentu dengan biaya tinggi dan dengan keberhasilan
yang belum sepenuhnya menjanjikan serta dilema etik. Kematian
maternal dan/atau perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan
komplikasi sosial yang sulit mengatasinya (Norwitz, 2007).
27
BAB III
PEMBAHASAN
A. Teori Baru Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum didapatkan tindakan penatalaksanaan baru terkait
menejemen perdarahan antepartum. Sesuai dengan logaritma diatas seorang
pasien dengan perdarahan antepartum harus dipindahkan kerumah sakit
segera, sehingga dapat dilakukan diagnosis dan pengobatan dengn cepat. Jika
ketika perdarahan edikit dan berhenti sebelum dokter datang ke rumah sakit
maka harus diperiksa kondisi uum pasien. Obat penenang dapat diberikan
agan kondisi pasien lebih tenang dan menjaga kestabilan mental ibu. Jika
ternyata pasien mengalami perdarahan berat maka berikanlah tranfusi darah
segera untuk mengurang resiko terjadina syok. Darah yang diberikan harus
sesuai dengan golongan darah yang cocok.pengecekan hemoglobin juga harus
dilakukan untuk mengeahui transport oksigen yang akan dialirkan menuju
janin dan organ tubuh ibu (Anderson, 2007).
Pemeriksaan lanjutan akan membantu menentukan kondisi pasien dan
janin. Dapat melihat apakah perdarahan berlanjut atau tidak dan apakah
persalinan dapat dilakukan atau tudak.Semua perlakuakan dan pengobatan
yang dilakukan pada pasien perdarahan antepartum bertujuan untuk
memperpanjang kehamilan sampai umur kehamilan 37 minggu sehingga
janin lebih matang dan dapat dilakukan partus (Anderson, 2007).
Perdarahan dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya plasenta
previa,solusio plasenta dan hal hal yang belum diketahui. Penatalaksanaan
secara spesifik sebagai berikut (Anderson,2007) :
1. Plasenta Previa
Menejemen yang dilakukan adalah penanganan terhadap syok dan
anemia, selanjutnya melihat terminasi dari kehamilan apakah siap untuk
dilakukan partus atau tidak. Partus dilakukan dengan melihat keadaan
28
umum ibu dan janin. Terminasi yang dapat ditunda dan dipertahankan
sampai kondisi memungkinkan untuk dilakukan partus yaitu umur
kehmilan lebih dari 37 minggu adalah keadaan janin tanpa kegawat
daruratan, kondisi ibu baik dan tanpa anemia berat, perdarahan
prevaginam sedikit. Sedangkan, kondisi janin dengan kegawat daruratan
atau mati dan perdarahan pervaginam banyak harus segera dilakukan
terminasi kehamilan aktif. Cara persalinan yang dapat dilakukan adalah
sebaiknya dilakukan terminasi dengan seksiosesarea. Prognosisnya baik
jika tersedia darah untuk tranfusi, fasilitas kamar bedah dan personil yang
memadai, fasilias anesthesia dan personil yang memadai,dan fasilitas
perinatologi dan personil yang memadai.
2. Solusio Plasenta
Solusio plasenta dalah lepasnya plasenta dari implantasi di segmen
atas rahim sebelum persalinan (pada umur <21 minggu). Menejement
yang dapat dilakukan adalah perbaiki keadaan umum dengan pemberian
cairan dan tranfusi darah. Selanjutnya dapat di lakukan terminasi
kehamilan (mengendalikan perdarahan, menyelamatkan ibu dan
menyelamatkan janin). Umur janin kurang dari 37 minggu, keadaan
umum ibu baik, perdarahan sedikit, dapat dilakukan penundaan
terminasi. Namun, jika terjadi perdarahan yang banyak, umur janin sudah
melebihi 37 minggu daiapt dilakukan terminasi dan persalinan.
Persalinan harus dipercepat pada gawat darurat yaitu melalui
seksiosesarea. Pertimbangan prevaginam untuk janin mati dan pada
koagulopati konsumtif. Prognosisnya baik jika tersedia darah untuk
tranfusi, fasilitas kamar bedah dan personil yang memadai, fasilias
anesthesia dan personil yang memadai,dan fasilitas perinatologi dan
personil yang memadai.
3. Ruptur Uteri
Tindakan pertama adalah memberantas syok, memperbaiki keadaan
umum penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah,
kardiotinika, antibiotika, dsb. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan
selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi :
29
1. histerektomi baik total maupun sub total
2. histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik-baiknya
3. konserfatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang
cukup.
Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya
adala :
1. keadaan umum penderita
2. jenis ruptur incompleta atau completa
3. jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan
sudah banyak nekrosis
4. tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
5. perdarahan dari luka : sedikit, banyak
6. umur dan jumlah anak hidup
7. kemampuan dan ketrampilan penolong
MANAJEMEN
segera hubungi dokter, konsultan, ahli anestesi, dan staff kamar operasi
buat dua jalur infus intravena dengan intra kateter no 16 : satu oleh larutan
elektrolit, misalnya oleh larutan rimger laktat dan yang lain oleh tranfusi
darah. ( jaga agar jalur ini tetap tebuka dengan mengalirkan saline normal,
sampai darah didapatkan ).
Hubungi bank darah untuk kebutuhan tranfusi darah cito, perkiraan jumlah
unit dan plasma beku segar yang diperlukan
Berikan oksigen
Buatlah persiapan untuk pembedahan abdomen segera ( laparatomi dan
histerektomi )
Pada situasi yang mengkhawatirkan berikan kompresi aorta dan tambahkan
oksitosin dalam cairan intra vena.
30
B. Harapan
Harapan setelah dilakukan tatalaksana pada perdarahan antepartum
adalah sebagai berikut:
1. Plasenta previa
Plasenta previa memberikan manifestasi klinis berupa perdarahan yang
tidak disertai rasa sakit di trimester ketiga (Manuaba, 2004). Oleh karena
itu, deteksi dini diharapakan dapat mencegah perdarahan dalam jumlah
yang lebih banyak. Pemberian kristaloid intravena atau transfusi darah
diharapkan dapat mencegah hipovolemia. Secara umum, harapan
penatalaksanaan plasenta previa adalah dapat mencegah gangguan
pembentukan segmen bawah rahim (SBR) dan mencegah distosia.
2. Solusio plasenta
Berikut merupakan harapan dari tatalaksana abrupsio plasenta:
a. Mengurangi kesakitan pada ibu akibat perdarahan
b. Penatalaksanaan pada abrupsio plasenta ringan diharapkan dapat
mencegah terjadinya fetal distress yang merupakan manifestasi klinis
pada abrupsio plasenta sedang
c. Penatalaksanaan pada abrupsio plasenta sedang diharapkan dapat
mencegah kematian pada janin dan syok pada ibu yang merupakan
manifestasi klinis pada abrupsio plasenta berat
d. Mencegah komplikasi, seperti (Manuaba, 2004):
1) Gejala kardiovaskular
2) Atonia uteri
3) Gangguan pembekuan darah
4) Gagal ginjal akut.
3. Ruptur Uteri
31
BAB IV
KESIMPULAN
1. Perdarahan yang berhubungan dengan persalinan dibedakan dalam dua
kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum.
2. Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terjadi sebelum
bayi lahir, terhitung sejak 20 minggu usai kehamilan. Perdarahan antepartum
yang terjadi sebelum kehamilan memasuki usai 28 minggu seringkali
berhubungan dengan aborsi dan kelainan. Perdarahan yang terjadi sesudah 28
minggu dapat disebakan karena plasenta previa, solusio plasenta, atau ruptur
uteri.
3. Pemeriksaan yang dilakukan pada saat ibu dating dengan keluhan perdarahan
antepartum adalah anamnesis, pemeriksaan fisik obstetri, dan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan USG.
32