isi

64
BAB 1 LAPORAN PENDAHULUAN 1.1 Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Smeltzer dan Bare, 2002). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan / atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Arif Mansjoer, 2000:346). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. (Marylin E. Doengoes. 2000). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi. (Soebroto Sapardan, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah). Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2001). Fraktur cruris adalah suatu keadaan dikontinuitas jaringan struktural pada tulang tibia danfibula. Fraktur terbuka adalah terputusnya kontiunitas tulang yang diakibatkan oleh trauma beberapa fraktur sekunder dan proses penyakit 1

Upload: rhiirii-chiiechemonkk-gonjezz

Post on 19-Jan-2016

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fraktur cruris

TRANSCRIPT

Page 1: Isi

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai

jenis dan luasnya. (Smeltzer dan Bare, 2002).

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan

tulang dan / atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa

(Arif Mansjoer, 2000:346).

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. (Marylin E.

Doengoes. 2000). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang

rawan epifisis atau tulang rawan sendi. (Soebroto Sapardan, Kumpulan

Kuliah Ilmu Bedah).

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan

sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi

jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.

(Brunner & Suddart, 2001).

Fraktur cruris adalah suatu keadaan dikontinuitas jaringan struktural

pada tulang tibia danfibula. Fraktur terbuka adalah terputusnya kontiunitas

tulang yang diakibatkan oleh trauma beberapa fraktur sekunder dan proses

penyakit seperti osteoforosis yang menyebabkan fraktur yang patologis

( Barbara, 1999 ; 136 ).

Menurut Muttaqin (2011;313), fraktur cruris terbuka adalah

terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula disertai kerusakan jaringan

lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pebuluh darah) sehingga memungkinkan

terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar

yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung yang mengenai kaki.

Menurut Muttaqin (2011;333), fraktur cruris tertutup adalah

terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula tanpa disertai luka terbuka

fragmen tulang yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung atau

tidak langsung.

1

Page 2: Isi

1.2 Etiologi

Menurut Smeltzer (2001;2357) dan Kusuma ed. (2013;162), fraktur

disebabkan oleh:

1. Pukulan langsung.

2. Gaya meremuk.

3. Gerakan mendadak.

4. Kontraksi otot yang ekstrem.

5. Trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.

6. Patologis, terjadi pada tulang karena adanya kelainan/penyakit yang

menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan)

dan dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan.

Dikutip dari Anonim (2009), penyebab dari fraktur yaitu:

1. Trauma langsung

Jika ada kekuatan yang langsung mengenai tulang, seperti tapping

fraktur (pada luka benturan), fraktur penetrasi (luka tembakan).

2. Trauma tidak langsung

Terjadi jika ada kekuatan yang terjadi jauh dari lokasi fraktur.

Mekanismenya termasuk tekanan (traksi), dan kekuatan rotasi.

3. Stress fraktur

Terjadi jika tulang menjadi sasaran tekanan yang berulang, sebenarnya

tidak menyebabkan fraktur tetrapi secara akumulatif mengarah ke

kelelahan.

4. Fraktur patologis

Tulang mempunyai kekuatan di bawah normal sehingga mudah patah,

terjadi pada keadaan infeksi, keganasan, penyakit metabolisme tulang,

dan operasi yang menyebabkan defek tulang.

Menurut Oswari E (1993), penyebabnya adalah :

1. Kekerasan langsung: Terkena pada bagian langsung trauma.

2. Kekerasan tidak langsung: Terkena bukan pada bagian yang terkena

trauma.

2

Page 3: Isi

3. Kekerasan akibat tarikan otot.

Menurut Barbara C Long (1996):

1. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan).

2. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan).

3. Patah karena letih.

1.3 Manifestasi Klinis

Menurut Joyce. M. Black (1993 : 199), manifestasi klinis dari fraktur

cruris adalah:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang

diimobilisasi, hematoma, dan edema.

2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.

3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang

melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

6. Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam

jaringan yang berdekatan dengan fraktur.

7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya

saraf/perdarahan).

8. Pergerakan abnormal.

9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah.

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan

warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001)

adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.

Menurut Smeltzer (2001;2358), manifestasi klinis fraktur adalah.

1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk

3

Page 4: Isi

bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan

antarfragmen tulang.

2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan

cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya

tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan

atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)

ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstremitas

normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi

normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya

otot.

3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang

sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah

tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai

2,5-5 cm (1-2 inchi).

4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan

lunak yang lebih berat.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai

akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

1.4 Patofisiologi

Menurut Muttaqin (2011;333), kondisi anatomis yang terletak di

bawah subkutan memberikan dampak resiko fraktur terbuka lebih sering

dibangdingkan dnegan tulang panjang lainnya apabila mendapat suatu

trauma. Fraktur cruris dapat terjadi akibat daya putar atau puntir yang dapat

menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat berbeda;

daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya

pada tingkat yang sama.

Kondisi klinis fraktur cruris tertutup menimbulkan berbagai maslah

keperawatan pada klien, meliputi respons nyeri hebat akibat rusaknya

jaringan lunak dan kompresi saraf, resiko tinggi cidera jaringan akibat

4

Page 5: Isi

kerusakan vascular dengan pembengkakan lokal yang menyebabkan

sindrom kompartemen yang sering terjadi pada fraktur froksimal tibia, dan

hambatan mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen tulang. Pada

beberapa keadaan, perawat sering melakukan usaha keperawatan klien

fraktur cruris tertutup.

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya

pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila

tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang,

maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau

terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi

fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,

dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi

karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula

tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.

Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon

inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,

dan infiltrasi sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang

(Black, J.M, et al, 1993).

Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma

karena kecelakaan bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan

rusak atau putusnya kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan

patologik tulang seperti Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang

menurun, tulang rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian

tulang dan kedua penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas

jaringan tulang yang dapat merobek periosteum dimana pada dinding

kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-saraf sehingga dapat timbul rasa

nyeri yang bertambah bila digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut

kerusakan jaringan tulang. Grade I menyebabkan kerusakan kulit, Grade II

fraktur terbuka yang disertai dengan kontusio kulit dan otot terjadi edema

pada jaringan. Grade III kerusakan pada kulit, otot, jaringan saraf dan

pembuluh darah.

5

Page 6: Isi

Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan

puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002).

Umunmya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang

berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya

fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan

olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan

bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami

fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan rneningkatnya insides

osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause

(Reeves, 2001).

1.5 Komplikasi

Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat

fatal dalam beberapa jam setelah cedera; emboli lemak, yang dapat terjadi

dalam 48 jam atau lebih; dan sindrom kompartemen, yang berakibat

kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera.

Komplikasi awal lainnya yang herhubungan dengan fraktur adalah infeksi,

tromboemboli, (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian beberapa

minggu setelah cedera; dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).

Menurut Sylvia and Price (2001), komplikasi yang biasanya

ditemukan antara lain :

1. Komplikasi Awal

a. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya

nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,

dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan

emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan

reduksi, dan pembedahan.

b. Kompartement Syndrom

Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi

karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam

jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang

6

Page 7: Isi

menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan

dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.

c. Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang

sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena

sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran

darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang

ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,

tachypnea, demam.

d. Infeksi

System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada

trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan

masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,

tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan

seperti pin dan plat.

e. Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang

rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan

diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

f. Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya

permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya

oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2. Komplikasi Dalam Waktu Lama

a. Delayed Union

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai

dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini

disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.

b. Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan

memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9

7

Page 8: Isi

bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih

pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.

Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

c. Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan

meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).

Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang

baik.

1.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Radiologi : X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan

metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan arus

vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang

kompleks.

2. Laboratorium : Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui :

Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah

(LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa

penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah

3. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

4. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens

ginjal.

5. Pofil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah ,

tranfusi multiple atau cidera hati. (Doengoes)

1.7 Penatalaksanaan Medis

1. Penatalaksanaan kedaruratan

Menurut Lukman (2009;32), bila dicurigai ada fraktur maka

penting untuk melakukan imobilisasi segera. Bila klien mengalami

cedera, sebelum dilakukan pembidaian ekstremitas harus disangga di

atas sampai di bawah tempat patahan untuk mencegha gerkan rotasi

maupun angulasi. Pembidaian sangat penting untuk mencegah

kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.

8

Page 9: Isi

Nyeri yang terjadi karena fraktur yang sangat berat dapat

dikurangi dengan menghindari fragmen tulang. daerah yang cedera

diimobilisasi dengan memasang bidai sementata dengan bantalan yang

memadai, dan kemudian dibebat dengan kencang namun tetap harus

memperhatikan nadi perifer. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas

bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama,

dengan ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas

yang cedera.

Luka ditutup dengan pembalut steril untuk mencegah kontaminasi

jaringan yang lebih dalam pada luka terbuka.

Untuk cedera muskuloskeletal perlu ditangani segera untuk

memungkinkan penyembuhan dan meminimalkan kecacatan, cedera

jaringan lunak ditangani dengan RICE (rest, ice, compression,

elevation). Kompres es diberikan selama 20-30 menit secara intermitten

selama 24 jam untuk mengontrol pembengkakkan dan mengurangi

nyeri. Daerah yang sakit dibalut dengan balutan kompresi elastik untuk

meminimalkan efusi dan mentangga daerah tersebut dan memberikan

rasa nyaman, balutan tidak boleh terlalu ketat atau menjerat.

Ekstremitas yang cedera ditinggikan sampai setinggi jantung untuk

mengontrol pembengkakkan dan memungkinkan istirahat (Smeltzer,

2001;2356).

Pertolongan pertama pada penderita patah tulang di luar rumah

sakit adalah sebagai berikut.

a. Jalan napas, bila penderita tidak sadar maka jalan napas dapat

tersumbat karena lidahnya jatuh ke dalam faring sehingga menutup

jalan napas atau adanya sumbatan oleh lendir, darah, muntahan

atau benda asing. Untuk mengatasi keadaan ini, penderita

dimiringkan sampai tengkurap. Rahang dan lidah di tarik ke depan

dan bersihkan faring dengan jari-jari.

b. Perdarahan pada luka, cara yang paling efektif yaitu dengan

meletakkan kain yang bersih yang cukup tebal dan dilakukan

penekanan dengan tangan atau dibalut dengan verban yang cukup

9

Page 10: Isi

menekan. Dalam melakukan penekanan harus diperhatikan denyut

nadi perifer, serta pengisian kapiler untuk mencegah terjadinya

kematian jaringan.

c. Syok, terjadi bila orang kehilangan darahnya ± 30% dari volume

darahnya. Pada fraktur femur tertutup orang dapat kehilangan

darahnya sekitar 1000-1500 cc. Paling baik untuk mengatasi syok

karena perdarahan yaitu dengan tranfusi darah.

d. Fraktur dan dislokasi, harus dilakukan imobilisasi. Pada

fraktur/dislokasi servikal dapat digunakan gulungan kain tebal yang

diletakkan di sebelah kanan dan kiri kepala. Pada tulang belakang

cukup diletakkan di alas keras. Pada bahu atau lengan atas cukup

diberikan sling. Pada femur atau dislokasi sendi panggul dapat

dipakai Thomas splint atau papan panjang dipasang dari aksila

sampai pedis dan difiksasi dengan tungkai sebelah yang normal.

2. Prinsip penanganan fraktur

Menurut Smeltzer (2001;2360).

a. Reduksi fraktur, berarti mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajarannya dan rotasi anatomis.

1) Reduksi tertutup, dilakukan dengan mengembalikan fragmen

tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual.

2) Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan

imobilisasi.

3) Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah fragmen tulang

direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup,

plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk

mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi.

b. Imobilisasi fraktur, setelah direduksi fragmen tulang harus

diimobilisasi baik dengan fiksasi interna dan eksterna.

c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, latihan isometrik dan

setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan

10

Page 11: Isi

meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup

sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan

harga diri.

3. Penatalaksanaan operatif

1) ORIF Open Reduction Internal Fixation

ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi), merupakan suatu

tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen

tulang yang patah sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.

Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku

maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahankan fragmen

tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid

terjadi.

Menurut Apley (1995) dalam Priyanta (2010), terdapat 5 metode

fiksasi internal yang digunakan, antara lain.

1) Sekrup kompresi antar fragmen.

2) Plat dan sekrup, paling sesuai untuk lengan bawah.

3) Paku intermedula, untuk tulang panjang yang lebih besar.

4) Paku pengikat sambungan dan sekrup, ideal untuk femur dan

tibia.

5) Sekrup kompresi dinamis dan plat, ideal untuk ujung proksimal

dan distal femur.

Indikasi ORIF yaitu.

1) Fraktur intraartikuler.

2) Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan.

3) Terdapat interposisi jaringan di antara kedua fragmen.

4) Diperlukan fiksasi rigid.

5) Terdapat fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi secara

baik dengan reduksi tertutup.

6) Fraktur terbuka.

7) Terdapat kontraindikasi pada mobilisasi sedangkan dibutuhkan

mobilisasi yang cepat.

11

Page 12: Isi

8) Eksisi fragmen yang kecil.

9) Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan mengalami nekrosis

avaskuler.

10) Fraktur avulsi dan fraktur multiple.

2) OREF Open Reduction External Fixation

Menurut Putra (2012), OREF adalah reduksi terbuka dengan

fiksasi eksternal di mana prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas

dan di bawah fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian

proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan

suatu batang lain. Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati

fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini

memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur

atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga

posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini

memberikan rasa nyaman  bagi pasien yang mengalami kerusakan

fragmen tulang.

Indikasi OREF yaitu.

1) Fraktur terbuka pada grade 2 dan 3.

2) Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang

hebat.

3) Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartritis.

4) Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF.

5) Non-union.

6) Fraktur dengan gangguan neurovaskuler.

7) Fraktur kominutiva.

8) Fraktur pelvis.

9) Fraktur multiple.

3) Reposisi/Pemasangan gips

Menurut Lukman (2009;78), gips adalah alat imobilisasi

eksternal yang kaku, dicetak sesuai kontur tubuh di mana gips

dipasang. Secara umum gips memungkinkan mobilisasi klien,

sementara membatasi gerakan bagian tubuh tertentu. Tujuan

12

Page 13: Isi

pemasangan gips adalah untuk mengimobilisasi bagian tubuh

dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan yang merata pada

jaringan lunak yang terletak di dalamnya. Gips dapat digunakan

untuk mengimobilisasi fraktur yang telah direduksi, mengoreksi

deformitas, memberikan tekanan merata pada jaringan lunak di

bawahnya, memberikan dukungan dan stabilitas bagi sendi yang

mengalami kelemahan.

Menurut Suratun (2008;39), indikasi pemasangan gips yaitu

pasien dengan dislokasi sendi, fraktur, penyakit tulang spondilitis

TBC, pascaoperasi, skoliosis, dan lain-lain.

Menurut Apley (1995) penatalaksanaan medis yang dilakukan

adalah:

1. Penatalaksanaan konservatif. Merupakan penatalaksanaan non

pembedahan agar immobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi.

1) Proteksi (tanpa reduksi atau immobilisasi). Proteksi fraktur

terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara

memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat

pada anggota gerak bawah.

2) Imobilisasi degan bidai eksterna (tanpa reduksi). Biasanya

menggunakan plaster of paris (gips) atau dengan bermacam-macam

bidai dari plastic atau metal. Metode ini digunakan pada fraktur

yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan.

3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang

menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi

dilakukan dengan pembiusan umum dan local. Reposisi yang

dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur.penggunaan gips

untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.

4) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi.

Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu berupa reduksi

yang bertahap dan imobilisasi.

13

Page 14: Isi

1.7.1 Klasifikasi

Klasifikasi fraktur cruris, ada 2 tipe dari fraktur cruris yaitu :

1. Fraktur intra capsuler : yaitu terjadi dalam tulang sendi panggul dan

captula.

1) Melalui kapital fraktur

2) Hanya dibawah kepala femur

3) Melalui leher dari femur

2. Fraktur ekstra kapsuler

1) Terjadi diluar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih

besar atau yang lebih kecil pada daerah intertrokanter.

2) Terjadi di bagian distal menuju leher cruris tetapi tidak lebih dari 2

inci di bawah trokanter terkecil.

Selain dari dua tipe diatas klasifikasi fraktur lain yaitu:

1. Klasifikasi umum.

a. Simpleks (tertutup) fragmen tulang tidak menembus kulit.

b. Compound (terbuka) fragmen tulang menembus kulit.

c. Inkompleta (parsial) kontinuitas tulang belum terputus seluruhnya.

d. Kompleta (total) kontinuitas tulang sudah terputus seluruhnya.

2. Klasifikasi berdasarkan posisi fragmen.

a. Kominutiva (communited, remuk) tulang pecah menjadi sejumlah

potongan kecil-kecil.

b. Impakta (impacted) salah satu fragmen fraktur terdorong masuk

kedalam fragmen yang lain

c. Angulata (angulated, bersudut) kedua fragmen fraktur berada

pada posisi yang membentuk sudut terhadap yang lain.

d. Dislokata (displacted) fragmen fraktur saling terpisah dan

menimbulkan deformitas.

e. Nondislokata (nondisplacted) kedua potongan tulang tetap

mempertahankan kelurusan (alignment) tulang yang pada dasarnya

masih normal.

14

Page 15: Isi

f. Overrding fragmen fraktur saling menumpuk sehingga

keseluruhan panjang tulang memendek.

g. Segmental fraktur terjadi pada dua daerah yang berdekatan

dengan segmen sentral yang terpisah.

h. Avulasi (avulsed) fragmen fraktur tertarik dari posisi normal

karena kontraksi otot atau resistensi ligamen.

3. Klasifikasi berdasarkan garis fraktur :

a. Linier garis fraktur berjalan sejajar dengan sumbu tulang.

b. Longitudinal garis fraktur membentang dalam arah longitudinal

(tetapi tidak sejajar) disepanjang sumbu tulang.

c. Oblik garis fraktur menyilang tulang pada sudut sekitar 45 derajat

terhadap sumbu tulang.

d. Spiral garis fraktur menyilang tulang pada sudut yang oblik

sehingga menciptakan pola spiral.

e. Transversal garis fraktur membentuk sudut tegak lurus terhadap

sumbu tulang.

15

Page 16: Isi

Perubahan jaringan sekitar

Deformitas

Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang Nyeri Akut

Pergeseran fragmen tulangLaserasi kulit

Resiko Syok Hipovolemik

Hambatan Mobilitas Fisik

Ggn. Fungsi ektremitas Perdarahan

Kehilangan volume cairan

Putus vena/arteri

Spasme otot

Pelepasan histamin

Tek kapiler

Protein plasma hilang

Edema

Penekanan pembuluh darah

Kerusakan Integritas Kulit Resiko Infeksi

Tek sumsum tulang lebih tinggi dari kapiler

Bergabung dengan trombosit

Metabolism asam lemak

Melepaskan katekolamin

Menyumbat pembuluh darah

Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer

Kerusakan fragmen tulang

Emboli

Fathway Fraktur

16

Page 17: Isi

Pathoflow Fraktur

17

Manifestasi klinis

kesadaran Hipotensi Akral dingin Takikardia Anemis

Rontgen CT-scan MRI

Trauma langsung (jatuh, kecelakaan, olah raga, dll)

Stres fraktur Trauma tidak langsung Obat-obatan seperti preparat steroid

Kondisi patologis (osteoporosis, osteomielitis, tumor tulang, dll)

Penekanan pada tulang

Fraktur

Kerapuhan tulangKetidakmampuan menahan tekanan

Pergeseran fragmen tulang dan menembus kulit Intervensi bedah (traksi, terapi bedah fiksasi interna dan eksterna)

Terputusnya hubungan tulang

Ketidakmampuan melakukan

pergerakan

Gangguan fungsi ekstremitas

HAMBATAN MOBILITAS FISIK.

RESIKO TINGGI TRAUMA

Kerusakan jaringan lunak

Kerusakan saraf, kompresi saraf

Pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin, serotonin, lidokain, dll)

Reseptor nyeri

Impuls ke otak

Muncul persepsi nyeri

NYERI

R : Rest (Istirahat) I : Ice (Kompres dingin) C : Compression (pembidaian atau pembebatan) E : Elevasi (meninggikan bagian yang sakit)

Spasme otot

tekanan kapiler

Pelepasan histamin

Protein plasma hilang

Oedema

Penekanan pembuluh darah

RESIKO TINGGI PENURUNAN

PERFUSI JARINGAN PERIFER

R. I. C. E.

Kerusakan otot, kulit

KERUSAKAN INTEGRITAS JARINGAN

Luka

Kerusakan vaskular

Kerusakan arteri dan vena

Perdarahan

RESIKO TINGGI SYOK HIPOVOLEMIK

Arteriogram

Penggantian cairan. Tranfusi darah. Penekanan langsung

untuk mengendalikan perdarahan

Page 18: Isi

Pre op. Post op.

18

Intervensi bedah (traksi, terapi bedah fiksasi interna dan eksterna)

Kurangnya informasi terhadap proses

pembedahan

Krisis situasional

ANSIETAS

Prognosis pembedahan,

ancaman kehilangan organ dan

fungsi tubuh setelah

pembedahan

KOPING TIDAK

EFEKTIF

NYERI

Trauma jaringan lunak

Stumuli reseptor nyeri

Ketidaktahuan teknik mobilisasi

Pasca bedah

Port de entree kuman

RESIKO TINGGI INFEKSI

Resiko malunion, delayed union,

non-union

PEMENUHAN

INFORMASI

Efek anastesi

B1

Menekan saraf pusat pernapasan

Kontrol kepatenan jalan napas (lidah) menurun

Kontrol batuk efektif dan muntah menurun

KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS

Penumpukan sekret

B3B2

Depresi mekanisme regulasi sirkulasi normal

Perdarahan pascaoperatif

Penurunan curah jantung

RESIKO TINGGI

PENURUNAN PERFUSI JARINGAN PERIFER

Kontrol kesadaran menurun

Kemampuan orientasi masih menurun

Nyeri pascaoperatif meningkat sekunder

PENURUNAN KESADARAN

NYERI

Page 19: Isi

KETERANGAN :

= Penatalaksanaan

= Pemeriksaan diagnostik

19

Post op.

Peristaltik usus menurun Kemampuan pengosongan

lambung menurun

KONSTPASI

Efek anastesi

B4

Kontrol kemampuan miksi menurun

Penurunan aktivitas

GANGGUAN PEMENUHAN ELIMINASI

URINE

B5 B6

Respons resiko posisi bedah. Luka pascabedah. Lemahnya ligamen tulang belakang. Penurunan kontrol otot dan

keseimbangan

Kelemahan anggota gerak

RESIKO TINGGI CEDERA

Page 20: Isi

Pathway Fraktur Cruris Tertutup

20

Trauma putar atau punter, trauma dengan daya angulasi, cedera tidk langsung pada kaki

Fraktur cruris tertutupTerputusnya

hubungan tulang

Pembengkakan lokal

Ketidakmampuan melakukan

pergerakan kaki

Kerusakan saraf spame otot

Terapi imobilisasi gips sirkular

Terapi bedah fiksasi interna dan fiksasi

eksterna

Hambatan mobilitas Resiko tinggi trauma

Nyeri

Resiko sindrom kompartemen

Kerusakan vaskular

Kerusakan jaringan lunak

Ketidaktahuan teknik mobilisasi

Respons psikologis

Ansietas

Resiko malunion, delayed union,

non-union

Pasca bedah

Port de entree

Pemenuhan informasi

Resiko tinggi infeksi

Page 21: Isi

BAB 2

ASUHAN KEPERAWATAN

Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan

secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah klien,

merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil

tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Nasrul Effendy, 1995 : 2-3).

Adapun tahapan dalam proses keperawatan antara lain:

2.1 Pengkajian

Menurut Muttaqin (2011;335), pengkajian fokus pada fraktur yaitu.

1. Look

Pada fase awal trauma, wajah klien terlihat meringis kesakitan.

Terlihat deformitas yang jelas pada tungkai bawah. Apabila ditemukan

pembengkakan pada proksimal cruris pada fraktur tertutup dan

terbuka, perlu dikaji adanya keluhan nyeri lokal hebat disertai

perubahan nadi, perfusi yang tidak baik (akral dingin pada sisi lesi),

CRT > 3 detik pada bagian distal kaki. Hal ini merupakan tanda-tanda

penting terjadinya sindrom kompartemen yang harus dihindari. Pada

kondisi klinis, perawat sering menemukan klien fraktur cruris tertutup

dengan komplikasi lanjut. Komplikasi tersebut adalah fraktur cruris

dengan infeksi dan penutupan jaringan lunak yang tidak sempurna.

2. Feel

Pada fraktur tertutup dan terbuka akan didapatkan adanya nyeri

tekan (tenderness) dan krepitasi.

3. Move

Gerakan pada tungkai bawah yang patah tidak boleh dilakukan

karena menimbulkan respons trauma pada jaringan lunak disekitar

ujung ragmen tulang yang patah. Klien tidak mampu melakukan

pergerakan pada tungkai bawah yang patah. Akan didapatkan adanya

gangguan keterbatasan gerak ekstremitas, ketidakmampuan

21

Page 22: Isi

menggerakkan ekstremitas. Karena timbulnya nyeri dan keterbatasan

gerak, semua kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien

banyak dibantu oleh orang lain.

Menurut hidayat (2004:98), pengkajian merupakan langkah pertama

dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari

klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada. Pengkajian

yang harus dilakukan adalah :

1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus fraktur, klien

biasanya merasa takut akan mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh

karena itu, klien harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk

membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu juga, dilakukan

pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan

obat steroid yang dapat mengganggu metabolism kalsium,

pengonsumsian alcohol yang dapat mengganggu keseimbangan klien,

dan apakah klien melakukan olah raga atau tidak.

2. Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengknsumsi nutrisi

melebihi kebutuhan sehari harinya, seperti kalsium, zat besi, protein,

vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.

3. Pola eliminasi. Urine dikaji frekwensi, kepekatan, warna, bau, dan

jumlahnya. Feses dikaji frekuensi, konsistensi, warna dan bau. Pada

kedua pola ini juga dikaji adanya kesulitan atau tidak.

4. Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur biasanya merasa nyeri,

geraknya terbatas, sehingga dapat mengganggu pola dan kebutuhan

tidur klien. Pengkajian juga dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana

lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan penggunaan obat tidur.

5. Pola aktifitas. Hal yang perlu dikaji adalah bentuk aktifitas klien

terutama pekerjaan klien, karena ada beberapa bentuk pekerjaan

beresiko untuk terjadinya fraktur.

6. Pola hubungan dan peran. Klien akan mengalami kehilangan peran

dalam keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat

inap.

22

Page 23: Isi

7. Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul adalah ketakutan

akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk

melakukan aktifitas secara optimal, dan gangguan citra diri.

8. Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang

terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan pada indera yang lain

dan kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga timbul rasa

nyeri akibat fraktur.

9. Pola reproduksi seksual. Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual

karena harus menjalani rawat inap, mengalami keterbatasan gerak, serta

merasa nyeri. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya

termasuk jumlah anak dan lama perkawinan.

10. Pola penanggulangan stress. Timbul rasa cemas akan keadaan dirinya.

Mekanisme koping yang ditempuh klien dapat tidak efektif.

11. Pola tata nilai dan keyakinan. Klien fraktur tidak dapat melakukan

ibadah dengan baik, hal ini disebabkan oleh rasa nyeri dan keterbatasan

gerak klien.

1. Pengkajian primer

a. Airway Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya

penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk

b. Breathing Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas,

timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas

terdengar ronchi /aspirasi

c. Circulation TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi

pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini,

disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada

tahap lanjut

2. Pengkajian sekunder

a. Aktivitas/istirahat

1) Kehilangan fungsi pada bagian yangterkena

2) Keterbatasan mobilitas

b. Sirkulasi

23

Page 24: Isi

1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)

2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)

3) Tachikardi

4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera

5) Capilary refil melambat

6) Pucat pada bagian yang terkena

7) Masa hematoma pada sisi cedera

c. Neurosensori

1) Kesemutan

2) Deformitas, krepitasi, pemendekan

3) Kelemahan

d. Kenyamanan

1) Nyeri tiba-tiba saat cidera

2) Spasme/ kram otot

e. Keamanan

1) Laserasi kulit

2) Perdarahan

3) Perubahan warna

4) Pembengkakan local

2.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut Muttaqin (2011;337), diagnosis keperawatan yang sering

muncul pada klien fraktur crusis tertutup adalah sebelum dan setelah

intervensi medis, meliputi diagnosa post op :

1. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan

neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, trauma jaringan

lunak pascabedah.

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi

ekstremitas, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen

tulang.

3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya cedera

jaringan lunak, kerusakan otot dan kulit.

24

Page 25: Isi

4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan

kontrol kepatenan jalan napas (lidah), penurunan kontrol batuk efektif

dan muntah menurun, efek anestesi.

5. Gangguan pemenuhan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan

kontrol kemampuan miksi, penurunan aktivitas, dan efek medikasi.

6. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan hilangnya darah

dari luka terbuka, kerusakan vaskular, cedera pada pembuluh darah.

7. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka

fraktur terbuka, luka pasca bedah.

8. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan ketidakmampuan

menggerakkan ekstremitas, penurunan kekuatan otot, dan

ketidaktahuan cara mobilisasi yang adekuat.

9. Resiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

adanya penekanan pembuluh darah, depresi mekanisme regulasi

sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, dan penurunan curah

jantung.

10. Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan.

11. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit

dan pembedahan.

2.3 Intervensi Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan

neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, trauma jaringan

lunak pascabedah.

Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang atau teradaptasi.

KH :

- Secara subjektif klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.

- Klien tidak gelisah dan tampak rileks.

- Skala nyeri 0-3 (0-10)

- TTV dalam batas normal (TD = 120/80 mmHg, S = 36-37,5 0C, N = 60x100 x/menit,

RR = 16-24 x/menit).

25

Page 26: Isi

Intervensi Rasional

Kaji nyeri dengan skala 0-4 Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat

dikaji dengan menggunakan skala nyeri.

Klien melaporkan nyeri biasanya di atas

tingkat cedera.

Pantau keluhan nyeri lokal,

apakah disertai

pembengkakkan.

Deteksi dini untuk mengetahui adanya tanda

sindrom kompartemen.

Lakukan manajemen nyeri.

1. Atur posisi imobilisasi pada

tungkai bawah.

2. Manajemen lingkungan :

lingkungan tenang, batasi

pengunjung, dan

istirahatkan klien.

3. Ajarkan teknik relaksasi

pernapasan dalam ketika

nyeri muncul.

4. Ajarkan teknik distraksi

saat nyeri.

1. Imobilisasi yang adekuat dapat

mengurangi pergerakan fragmen tulang

yang menjadi unsur utama penyebab nyeri

pada tungkai bawah.

2. Lingkungan yang tenang akan menurunkan

stimulus nyeri eksternal dan pembatasan

pengunjung akan membantu meningkatkan

kondisi O2 ruangan yang akan berkurang

apabila banyak pengunjung di ruangan.

Istirahat akan menurunkan kebutuhan O2

jaringan perifer.

3. Meningkatkan asupan O2 sehingga akan

menurunkan nyeri sekunder akibat iskemia.

4. Distraksi dapat menurunkan stimuluus

internal dengan mekanisme peningkatan

produksi endorfin dan enkafelin yang

dapat memblok reseptor nyeri agar tidak

dikirimkan ke korteks serebri sehinggga

menurunkan persepsi nyeri.

26

Page 27: Isi

5. Lakukan manajemen

sentuhan.

5. Manajemen sentuhan pada saat nyeri

berupa sentuhan dukungan psikologis

dapat membantu menurunkan nyeri.

Kolaborasi.

1. Pemberian analgesik.

2. Pemasangan traksi skeletal.

3. Pembedahan untuk

pemasangan fiksasi interna

(ORIF) dan fiksasi eksterna

(OREF).

1. Analgesik memblok lintasan nyeri

sehingga nyeri akan berkurang.

2. Penarikan dengan traksi skeletal dapat

mengurangi pergerakan fragmen tulang

yang dapat meneka jaringan saraf sehingga

dapat menurunkan respons nyeri.

3. Intervensi medis berupa stabilisasi dengan

melakukan fiksasi pada tulang yang patah

akan dapat menurunkan stimulus nyeri.

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi

ekstremitas, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen

tulang.

Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam, klien mampu melaksanakan aktivitas fisik.

KH :

- Klien dapat ikut serta dalam program latihan.

- Tidak terjadi kontraktur sendi.

- Bertambahnya kekuatan otot.

- Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilisasi.

Intervensi Rasional

Kaji mobilitas yang ada dan observasi

peningkatan kerusakan. Kaji secara

Mengetahui tingkat kemampuan

klien dalam melakukan aktivitas .

27

Page 28: Isi

teraturfungsi motorik.

Atur posisi imobilisasi pada daerah

fraktur.

Imobilisasi yang adekuat

mengurangi pergerkan fragmen

tulang yang menjadi unsur utama

penyebab nyeri pada tungkai bawah.

Ajarkan klien untuk melakukan latihan

gerak aktif pada ekstremitas yang tidak

sakit.

Gerakan aktif memberikan massa,

tonus, dan kekuatan otot serta

memperbaiki fungsi jantung dan

pernapasan.

Bantu klien melakukan latihan ROM,

perawatan diri sesuai toleransi.

Untuk memelihara fleksibilitas sendi

sesuai kemampuan.

Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk

latihan fisik klien.

Peningkatan kemampuan dalam

mobilisasi ekstremitas dapat dicapai

dengan latihan fisik dari tim ahli

fisioterapi.

3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya cedera

jaringan lunak, kerusakan otot dan kulit.

Tujuan : Dalam waktu 7x24 jam integritas kulit membaik secara optimal

KH :

- Pertumbuhan jaringan meningkat.

- Keadaan luka membaik.

- Luka jahitan bersih dan tidak basah.

- Luka menutup

Intervensi Rasional

Kaji daerah sekitar luka,

apakah ada pus, jahitan yang

basah, atau ada kerusakan

jaringan lunak.

Sebagai data dasar untuk memberikan

informasi intervensi perawatan luka, alat yang

akan digunakan.

Lakukan perawatan luka.

a. Lakukan perawatan luka a. Mengurangi kontaminasi kuman langsung

28

Page 29: Isi

dengan teknik steril.

b. Observasi keadaan luka

dengan teknik membuka

balutan, mengurangi

stimulus nyeri, jika kasa

melekat diguyur dengan

NaCl.

c. Lakukan pembilasan luka

dari arah dalam ke luar

dengan larutan NaCl.

d. Tutup luka dengan kasa

steril atau kompres dengan

NaCl yang dicampur

dengan antibiotik.

e. Lakukan nekrotomi pada

jaringan yang mati

f. Rawat luka setiap hari atau

setiap kali jika pembalut

basah atau kotor

ke area luka.

b. Manajemen membuka balutan luka dengan

menguyur larutan NaCl ke kasa dapat

mengurangi stimulus nyeri dan dapat

menghindari terjadinya perdarahan pada

lukan akibat kasa yang melekat pada luka.

c. Teknik membuang jaringan dan kuman di

area luka.

d. NaCl merupakan larutan fisiologis yang

lebih mudah diabsorbsi oleh jaringan

dibandingkan larutan antiseptik. Dan

campuran antibiotik mempercepat

penyembuhan luka.

e. Jaringan nekrotik dapat menghambat

proses penyembuhan luka.

f. Memberikan rasa nyaman pada klien dan

dapat membantu meningkatkan

pertumbuhan jaringan luka.

Perhatikan intake nutrisi klien. Penting untuk membantu mempercepat

penyembuhan luka.

Bantu pasien untuk ambulasi

dini.

Membantu memperlancar peredaran darah,

mengembalikan aktivitas normal pasien, dan

mempertahankan tonus otot.

Evaluasi kerusakan jaringan

dan perkembangan

Apabila masih belum tercapai kriteria

evaluasi, sebaiknya perlu dikaji ulang faktor-

29

Page 30: Isi

pertumbuhan jaringan. faktor apa yang menghambat pertumbuhan

jaringan luka.

4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan

kontrol kepatenan jalan napas (lidah), penurunan kontrol batuk efektif

dan muntah menurun, efek anestesi.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, jalan napas

kembali efektif.

KH :

- Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-24 x/menit).

- Pasien tidak menggunakan otot bantu napas.

- Saturasi oksigen 100%.

- Oral airway sudah bisa dilepas saat pasien keluar ruang pemulihan.

Intervensi Rasional

Kaji dan monitor kontrol pernapasan. Obat anestesi dapat menyebabkan

depresi pernapasan, sehingga

perawat harus mewaspadai

pernapasan yang dangkal dan

lambat serta batuk yang lemah.

Monitor frekuensi, irama, kedalaman

ventilasi pernapasan, kesimetrisan gerakan

dinding dada, bunyi napas, dan warna

membran mukosa.

Deteksi awal adanya perubahan

terhadap kontrol pola pernapasan

dari medula oblongata untuk

intervensi selanjutnya.

Pastikan fungsi pernapasan sudah optimal. Tindakan evaluasi untuk

menentukan dimulainya latihan

pernapasan sesuai yang diajarkan

pada saat praoperatif.

Instruksikan pasien untuk melakukan

napas dalam.

Meningkatkan ekspansi paru.

Untuk memperbesar ekspansi

dada dan pertukaran gas.

30

Page 31: Isi

Instruksikan untuk melakukan batuk

efektif.

Batuk juga didorong untuk

melonggarkan sumbatan mukus.

5. Gangguan pemenuhan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan

kontrol kemampuan miksi, penurunan aktivitas, dan efek medikasi.

Tujuan: Dalam waktu 8-12 jam pasien mampu berkemih.

KH : Pasien mampu berkemih secara spontan dan tanpa bantuan selang kateter.

Intervensi Rasional

Kaji kemampuan kontrol berkemih. Efek depresan dari anestesi dan

analgesik dapat mengganggu sensasi

penuhnya kandung kemih. Apabila

tonus kandung kemih menurun,

pasien akan mengalami kesulitan

untuk memulai berkemih. Namun,

pasien harus berkemih dalam waktu

8-12 jam setelah pembedahan.

Bantu pasien untuk berkemih dalam

posisi normal.

Pasien laki-laki akan membutuhkan

bantuan untuk berdiri saat berkemih.

Pispot menyebabkan pasien sulit

berkemih. Pasien wanita akan

berkemih dengan baik jika ia dapat

berkemih di toilet.

Monitor keinginan berkemih dari

pasien.

Pasien bedah yang diharuskan baring

di tempat tidur memerlukan bantuan

untuk memegang dan menggunakan

pispot/urinal.

Kaji adanya distensi kandung kemih. Apabila pasien tidak berkemih dalam

waktu 8 jam setelah pembedahan,

pasien perlu dipasang kateter urine,

dan diperlukan instruksi dokteer.

Monitor asupan dan keluaran cairan tiap

4 jam.

Agar tercapai asupan cairan dan

haluaran urine yang normal. Jumlah

31

Page 32: Isi

haluaran urine untuk dewasa

minimal 2 ml/kg/jam. Apabila urine

berwarna gelap, pekat, dan

volumenya sedikit, dokter perlu

diberitahu.

6. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan hilangnya darah

dari luka terbuka, kerusakan vaskular, cedera pada pembuluh darah.

Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam resiko syok hipovolemik tidak terjadi.

KH :

- Klien tidak mengeluh pusing.

- Membran mukosa lembab.

- Turgor kulit normal.

- TTv dalam batas normal (TD = 120/80 mmHg, S = 36-37,5 0C, N = 60x100 x/menit,

RR = 16-24 x/menit).

- CRT < 3 detik.

- Urine > 600 ml/hari

Intervensi Rasional

Pantau status cairan (turgor

kulit, membran mukosa,

haluaran urine).

Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan

oleh keadaan status cairan. Penurunan volume

cairan mengakibatkan penurunan produksi

urine, pemantauan yang ketat pada produksi

urine < 600 ml/hari merupakan tanda-tanda

terjadinya syok kardiogenik.

Kaji sumber kehilangan cairan. Kehilangan cairan dapat berasal dari faktor

ginjal dan di luar ginjal. Penyakit yang

mendasari terjadinya kekurangan volume

cairan juga harus diatasi. Perdarahan harus

dikendalikan.

Kaji warna kulit, suhu,

sianosis, nadi perifer, dan

diaforesis secara teratur.

Mengetahui adanya pengaruh peningkatan

tahanan perifer.

32

Page 33: Isi

Pantau frekuensi dan irama

jantung.

Perubahan frekuensi dan irama jantung

menunjukkan komplikasi disritmia.

Kolaborasi dalam pemberian

cairan melalui IV.

Jalur yang paten penting untuk pemberian

cairan cepat dan memudahkan perawat dalam

melakukan kontrol asupan dan haluaran

cairan.

7. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka

fraktur terbuka, luka pasca bedah.

Tujuan : Dalam waktu 10x24 jam, resiko infeksi tidak terjadi..

KH :

- Tidak ada tanda dan gejala infeksi.

- Pengangkatan jahitan pasca bedah dapat dilakukan pada hari ke-10.

Intervensi Rasional

Kaji faktor-faktoryang

memungkinkan terjadinya infeksi

yang masuk ke port de entree.

Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat

dikaji dengan menggunakan skala nyeri.

Klien melaporkan nyeri biasanya di atas

tingkat cedera.

Lakukan manajemen

keperawatan.

1. Lakukan perawatan luka

steril pada hari ke-2 pasca

bedah fiksasi interna

apabila kasa terlihat kotor.

2. Lakukan perawatan luka

secara steril pada luka pasca

bedah dengan iodin

providum dan dibersihkan

dengan alkohol 70% dengan

1. Perawatan luka steril dilakukan idealnya

pada hari ke-2 dan perawatan selanjutnya

tidak setiap hari. Biasanya dilakukan

setiap 2 hari sekali atau apabila kasa

terlihat kotor dapat dilakukan setiap hari.

2. Teknik swibbing secara steril dapat

membersihkan sisa nekrotik, debris, dan

dapat mengurangi kontaminasi kuman.

33

Page 34: Isi

teknik swaabbing dari arah

dalam ke luar.

3. Desinfeksi daerah

pemasangan fiksasi

eksterna dengan providum

dan bilas dengan alkohol

70%.

4. Tutup luka OREF dengan

kasa gulung.

5. Pantau kondisi luka.

Apabila kotor segera

lakukan pernggantian

balutan.

3. Desinfeksi dengan iodin providum dapat

menghilangkan kuman pada sekitar logam

yang masuk ke kulit pada fiksasi eksterna.

Pembersihan iodin providum dengan

alkohol dapat mengurangi dampak iritasi

pada kulit sehingga dapat meningkatkan

pertumbuhan jaringan.

4. Menghindari kontak dengan udara luar.

5. Kasa yang kotor akibat sisa perdarahan

pasca bedah merupakan stimulus yang

dapat meningkatkan resiko infeksu.

Pantau/batasi pengunjung Mengurangi resiko kontak infeksi dari orang

lain.

Tingkatkan asupan nutrisi

TKTP.

Meningkatkan imunitas tubuh secara umum

dan membantu menurunkan resiko infeksi.

Kolaborasi dalam pemberian

antibiotik.

Antibiotik dapat menurunkan invasi kuman

yang dapat meningkatkan resiko cedera

jaringan lunak.

8. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan ketidakmampuan

menggerakkan ekstremitas, penurunan kekuatan otot, dan

ketidaktahuan cara mobilisasi yang adekuat.

Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam klien kooperatif untuk ikut serta dalam menghindari

resiko trauma.

KH :

34

Page 35: Isi

- Secara subjektif klien mampu mengulang kembali faktor-faktor yang

menyebabkan trauma dan terlihat melaksanakan kegiatan menghindari

trauma.

Intervensi Rasional

Kaji tingkat pengetahuan klien

tentang faktor yang beresiko

menyebabkan trauma pada

fraktur.

Sebagai data dasar melaksanakan intervensi

sesuai dengan tingkat pengetahuan yang klien

miliki.

Lakukan manajemen fiksasi

eksterna.

1. Atur posisi fiksasi

eksterna.

2. Anjurkan klien untuk

tidak menginjakkan

kaki yang masih

terpasang fiksasi

eksterna.

3. Atur posisi telapak kaki

fleksi 900 menghadap ke

atas.

4. Fiksasi eksterna jangan

ditutup dengan selimut.

1. Posisi yang ideal pada fiksasi eksterna

dapat menghindari resiko trauma.

Biasanya dengan melatakkan bantal kecil

pada lipat siku (disesuaikan dengan

kenyamanan klien) dapat meningkatkan

rasa nyaman klien.

2. Penyembuhan penyambungan tulang

pada fraktur agar dapat menahan berat

tubuh selama 3 bulan, sehingga sebelum

waktu tersebut klien dianjurkan untuk

menggunakan alat bantu tongkat apabila

melakukan mobilisasi.

3. Dapat menghindari kontraktur sendi

telapak kaki.

4. Ketidaktahuan akan adanya fiksasi

eksterna dapat meningkatkan resiko

cedera.

35

Page 36: Isi

5. Beri penumpul pada

bagian logam yang

tajam.

5. Untuk mengurangi respon cedera

jaringan lunak pada sisi yang sehat.

Kolaborasi pemberian

antibiotik

Antibiotik dapat menurunkan invasi kuman

yang dapat meningkatkan resiko cedera

jaringan lunak.

9. Resiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

adanya penekanan pembuluh darah, depresi mekanisme regulasi

sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, dan penurunan curah

jantung.

Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam terjadi peningkatan perfusi jaringan perifer.

KH :

- TTV dalam batas normal (TD = 120/80 mmHg, S = 36-37,5 0C, N = 60x100 x/menit,

RR = 16-24 x/menit).

- CRT < 2 detik.

- Penyembuhan luka perifer cepat.

- Tidak ada oedema.

Intervensi Rasional

Evaluasi kualitas nadi perifer

distal terhadap cedera dengan

palpasi. Bandingkan dengan

ekstremitas yang sehat.

Penurunan/tidak adanya nadi dapat

menggambarkan cedera vaskular dan

perlunya evaluasi medik segera terhadap

status sirkulasi.

Kaji aliran kapiler, warna kulit,

dan kehangatan distal pada

fraktur.

Kembalinya warna harus cepat (< 2). Warna

kulit putih menunjukkan gangguan arterial.

Sianotik diduga ada gangguan vena.

Pertahankan peninggian

ekstremitas yang cedera

Meningkatkan drainase vena /menurangi

oedema. Pada sindrom kompartemen

36

Page 37: Isi

kecuali ada kontraindikasi

seperti adanya sindrom

kompartemen.

peninggian ekstremitas menghalangi aliran

arteri, menurunkan perfusi.

Berikan kompres es sekitar

fraktur sesuai indikasi.

Menurunkan oedema/pembentukan

hematoma, yang dapat mengganggu sirkulasi.

Buat bebat/spalk sesuai

kebutuhan

Untuk menghilangkan retriksi sirkulasi yang

diakibatkan oleh pembentukan oedema pada

ekstremitas yang cedera.

Pantau TTV, pucat/sianotik

umum, kulit dingin, perubahan

mental.

Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan

memengaruhi sistem perfusi jaringan.

10. Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan.

Tujuan: Secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang.

KH :

- Pasien mampu mengungkapkan perasaannya kepada perawat.

- Pasien dapat mendemontrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan

perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi.

- Pasien dapat mencatat menurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar.

- Pasien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik.

Intervensi Rasional

Monitor respons fisik, seperti:

kelemahan, perubahan tanda vital,

gerakkan yang berulang-ulang, catat

kesesuaian respons verbal dan nonverbal

selama komunikasi.

Digunakan dalam mengevaluasi

derajat/tingkat kesadaran

konsentrasi, khususnya ketika

melakukan komunikasi verbal.

Anjukan pasien dan keluarga untuk

mengungkapkan dan mengeksperesikan

rasa takutnya.

Memberikan kesempatan untuk

berkonsentrasi, kejelasan dari rasa

takut, dan mengurangi cemas yang

berlebihan.

Catat reaksi dari pasien/keluarga. Anggota keluarga dengan

37

Page 38: Isi

Berikan kesempatan untuk

mendiskusikan

perasaannya/konsentrasinya, dan

harapan masa depan.

responsnya pada apa yang terjadi

dan kecemasannya dapat

disampaikan kepada pasien.

Anjurkan aktivitas penglihatan perhatian

sesuai kemampuan individu, seeperti

menulis, nonton TV, dan keterampilan

tangan.

Sejumlah aktivitas atau keterampilan

baik sendiri maupun dibantu selama

melakukan rawat inaap dapat

menurunkan tingkat kebosanan yang

dapat terjadi stimulus kecemasan.

11. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit

dan pembedahan.(Taylor, 2010).

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, koping

individu efektif.

KH :

- Pasien menyatakan alasan hospitalisasi.

- Pasien berpartisipasi dalam perawatan diri.

- Pasien berinteraksi dengan orang lian dengan cara yang dapat diterima

secara sosial.

- Pasien menerima tanggung jawab atas perilakunya.

Intervensi Rasional

Dorong pasien untuk mengevaluasi

dirinya.

Membantu pasien

mengidentifikasi hal-hal yang

berkaitan dengan dirinya dan

menghubugkan setiap perubahan

dengan variabel spesifik.

Berikan kesempatan kepada klien

seluasnya untuk melakukan perawatan diri

Untuk memberikan rasa nyaman

dan kontrol diri.

Bantu pasien dalam membuat keputusan

yang berkaitan dengan terapi dan dorong

pasien untuk mengikutinya

Membuat keputusan adalah

komponen utama otonomi.

Berikan umpan balik positif pada saat Menguatkan perilaku koping yang

38

Page 39: Isi

pasien mengemban tanggung jawab atas

perilakunya

efektif.

2.4 Implementasi Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan

neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, trauma jaringan

lunak pascabedah.

1) Mengkaji nyeri dengan skala 0-4.

2) Melakukan manajemen nyeri : mengajarkan teknik relaksasi

pernapasan dalam ketika nyeri muncul, dan mengajarkan teknik

distraksi saat nyeri, serta mengatur posisi imobilisasi pada tungkai

bawah.

3) Berkolaborasi dalam pemberian analgesik.

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi

ekstremitas, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen

tulang.

1) Mengatur posisi imobilisasi pada daerah fraktur

2) Mengajarkan klien untuk melakukan atihan gerak aktif pada

ekstremitas yang tidak sakit.

3) Membantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai

toleransi.

3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya cedera

jaringan lunak, kerusakan otot dan kulit.

1) Mengkaji daerah sekitar luka, apakah ada pus, jahitan yang basah,

atau ada kerusakan jaringan lunak.

2) Melakukan perawatan luka.

3) Membantu pasien untuk ambulasi dini.

39

Page 40: Isi

4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan

kontrol kepatenan jalan napas (lidah), penurunan kontrol batuk efektif

dan muntah menurun, efek anestesi.

1) Mengkaji dan monitor kontrol pernapasan.

2) Memonitor frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernapasan,

kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi napas, dan warna

membran mukosa.

3) Menginstruksikan pasien untuk melakukan napas dalam.

4) Menginstruksikan untuk melakukan batuk efektif.

5. Gangguan pemenuhan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan

kontrol kemampuan miksi, penurunan aktivitas, dan efek medikasi.

1) Mengkaji kemampuan kontrol berkemih.

2) Mengkaji adanya distensi kandung kemih.

3) Memonitor asupan dan keluaran cairan tiap 4 jam.

6. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan hilangnya darah

dari luka terbuka, kerusakan vaskular, cedera pada pembuluh darah.

1) Memantau status cairan (turgor kulit, membran mukosa, haluaran

urine).

2) Mengkaji sumber kehilangan cairan.

3) Berkolaborasi dalam pemberian cairan melalui IV.

7. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka

fraktur terbuka, luka pasca bedah.

1) Melakukan manajemen keperawatan.

2) Berkolaborasi dengan keluarga dalan meningkatkan asupan nutrisi

TKTP.

3) Berkolaborasi dalam pemberian antibiotik.

40

Page 41: Isi

8. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan ketidakmampuan

menggerakkan ekstremitas, penurunan kekuatan otot, dan ketidaktahuan

cara mobilisasi yang adekuat.

1) Melakukan manajemen fiksasi eksterna.

2) Berkolaborasi dalam pemberian antibiotik.

9. Resiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

adanya penekanan pembuluh darah, depresi mekanisme regulasi

sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, dan penurunan curah

jantung.

1) Mengevaluasi kualitas nadi perifer distal terhadap cedera dengan

palpasi. Bandingkan dengan ekstremitas yang sehat.

2) Mengkaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada

fraktur.

3) Memberikan kompres es sekitar fraktur sesuai indikasi.

4) Mengobservasi TTV, pucat/sianotik umum, kulit dingin, perubahan

mental.

10. Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan.

1) Menganjurkan aktivitas penglihatan perhatian sesuai kemampuan

individu, seeperti menulis, nonton TV, dan keterampilan tangan.

11. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit

dan pembedahan.

1) Mendorong dan membantu pasien untuk mengevaluasi dirinya.

2) Memberikan kesempatan kepada klien seluasnya untuk melakukan

perawatan diri.

2.4.1 Evaluasi

1. Nyeri berkurang atau teradaptasi.

2. Pasien dapat melakukan mobilisasi secara bertahap.

3. Tidak terjadi kerusakan integritas jaringan dan kondisi luka kering.

41

Page 42: Isi

4. Jalan napas menjadi efektif.

5. Klien mampu berkemih.

6. Tidak terjadi syok hipovolemik.

7. Menurunkan terjadinya infeksi pada luka.

8. Tidak terjadi trauma pada cedera pasien.

9. Perfusi jaringan perifer menjadi efektif.

10. Ansietas berkurang/tidak ada.

11. Pasien memiliki koping yang efektif..

42